Wednesday, May 12, 2010

bp8_part3

“Tapi akhirnya kau toh tertangkap juga,” ucap So Ing dengan gegetun.

Siau-hi-ji melotot, jengeknya, “Hm, kau tahu apa? Jika adu akal, masih jauh dia ketinggalan.”

“Tapi ... tapi kau tetap ....”

“Adu akal dia tak dapat melawanku, tapi mengadu tenaga aku pun tak dapat melawannya,” kata Siau-hi-ji menyesal. “Terus terang, sesungguhnya aku pun tidak menyangka ilmu silat binatang itu ternyata begitu lihai.”

“Konon pada dua puluh tahun yang lalu ilmu silatnya sudah tergolong top di antara beberapa tokoh terkemuka yang dapat dihitung dengan jari,” tutur So Ing. “Sebabnya Cap-ji-she-shio bisa malang melintang di dunia Kangouw boleh dikatakan adalah berkat pengaruhnya melulu.”

“Hal ini memang betul dan bukan bualan,” tukas Siau-hi-ji. “Tokoh-tokoh Cap-ji-she-shio yang lain juga sudah pernah kujumpai, kalau dibandingkan dia, ilmu silat mereka boleh dikatakan tidak ada artinya.”

“Pada dua puluh tahun yang lalu,” tutur So Ing pula, “Dia mengira ilmu silatnya sudah tiada tandingannya di kolong langit ini. Tapi kemudian dia kebentrok dengan Ih-hoa-kiongcu dan mungkin kecundang, maka dia lantas cuci tangan dan mengasingkan diri ke sini. Selama dua puluh tahun ini siang dan malam dia tekun meyakinkan ilmu. Menurut ceritanya, sekarang biarpun Ih-hoa-kiongcu kakak beradik maju sekaligus juga bukan tandingannya.”

“Hahaha!” Siau-hi-ji bergelak tertawa. “Ini jelas membual belaka. Tidak perlu Ih-hoa-kiongcu sendiri, cukup muridnya saja pasti akan membuatnya keok dan minta ampun.”

Berkilau sorot mata So Ing, tanyanya, “Ada berapa orang murid Ih-hoa-kiongcu?”

“Yang perempuan entahlah, yang lelaki hanya ada satu.”

“Dan kau ... kau sahabat muridnya itu?” tanya So Ing dengan pandangan lekat-lekat.

Siau-hi-ji menghela napas menyesal, jawabnya, “Mestinya kami dapat bersahabat, tapi sekarang ... sekarang seakan-akan harus menjadi musuh.”

“O, bagus, bagus sekali!” kata So Ing dengan tersenyum.

“Apa? Bagus?” Siau-hi-ji melotot.

So Ing menunduk dengan mengulum senyum dan tidak menjawabnya.

Sudah tentu Siau-hi-ji tidak paham maksud ucapan si nona, lebih-lebih tidak tahu bahwa pada saat itu Hoa Bu-koat sudah mendekati ajalnya. Dia memandang si nona dengan terbelalak, sejenak kemudian baru berkata pula, “Waktu dia menyilakan aku duduk, sudah tentu aku pun menyadari dia pasti akan menjebak aku dengan tipu muslihatnya, tapi yang kutakutkan cuma mengadu kekuatan dengan dia dan tidak gentar untuk mengadu akal, makanya aku lantas duduk tanpa sungkan.”

“Sebenarnya kursi itu terpasang pesawat rahasia,” tutur So Ing dengan tertawa. “Asalkan jarinya menekan sedikit, segera orang yang duduk di kursi itu akan terjerumus ke dalam liang bergolok, betapa pun tinggi ilmu silatnya juga pasti akan binasa.”

“Betulkah begitu lihai?” tanya Siau-hi-ji.

“Bukan cuma ilmu silatnya saja yang tinggi, dia juga mahir macam-macam ilmu pengetahuan yang lain,” tutur So Ing, “Ia yakin asalkan menggerakkan alat rahasianya, maka kau pasti akan binasa, makanya dia tidak ingin membuang tenaga untuk bergebrak dengan kau.”

“Mungkin dia tidak menyangka bahwa setelah dia menggerakkan alat rahasianya dan aku masih tetap duduk saja dengan bergeming,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Ya, bukan saja dia terheran-heran, bahkan aku pun sangat heran,” kata si nona.

“Hahaha!” Siau-hi-ji terbahak-bahak. “Terus terang, sebelumnya sudah kulihat kursi itu tidak beres. Sebab itulah tampaknya aku duduk, tapi sebenarnya pantatku tidak pernah menyentuh kursi.”

“Hihi, kau benar-benar setan cerdik,” So Ing mengikik.

“Kemudian aku memaki dia, tak tersangka binatang tua itu terlebih keras daripadaku, dia terus melabrak diriku. Melihat dia mulai pakai kekerasan, segera aku menyadari urusan bisa runyam.”

“Tapi kau tetap sempat bergebrak cukup lama dengan dia. Pertarungan sengit itu sungguh tak pernah kulihat sebelumnya.”

“Binatang tua itu memang lihai, ilmu silatnya tinggi, jurus serangannya keji, caranya juga licin, seumpama ilmu silatku lebih tinggi daripada dia juga sukar mengalahkan dia.”

“Dia sendiri juga bilang begitu, sekalipun ilmu silat orang lain lebih tinggi juga belum tentu bisa mengalahkan dia, sebab setiap jurus serangan yang dimainkannya selalu diperhitungkan dan dia lebih dulu menduduki tempat yang tak terkalahkan.”

“Justru lantaran dia selalu menyisihkan sebagian tenaganya sebagai cadangan, makanya aku sanggup berkutek sekian lama dengan dia. Tapi aku pun tahu, apabila aku meleng sedikit saja pasti akan binasa di tangannya.”

“Ya, di bawah tangannya memang tidak pernah ada lawan yang lolos dengan hidup,” ucap So Ing dengan gegetun.

“Tapi aku lantas berpikir, andaikan aku harus mati juga tidak sudi mati di tangan orang macam begitu,” ujar Siau-hi-ji.

“Maka ... maka kau lantas ... lantas ....”

“Lantas mundur setindak demi setindak, mundur ke pojok sana.”

“Di pojok ruangan itu pun ada pesawat rahasianya, bila kau menginjak bagian sana, segera akan menyambar pisau terbang.”

“Memangnya kau kira aku tidak tahu?”

“Kau tahu? Jika tahu mengapa mundur ke sana?”

“Justru lantaran kutahu di pojok sana ada alat rahasia dan kutahu dia hendak memancing diriku ke sana, makanya aku sengaja pura-pura terdesak dan menginjak alat rahasianya, begitu pisau menyambar keluar, aku pun pura-pura tak sempat menghindar dan membiarkan diriku terkena pisau.”

So Ing jadi melenggong, serunya, “He, mengapa begitu? Untuk apa kau sengaja pura-pura terjebak?”

“Sebab aku tidak sudi mati di tangannya,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Tapi tahukah bahwa pisau terbang itu pun beracun?”

“Sekalipun pisau itu beracun juga lebih baik daripada kena cakar oleh kukunya yang mirip cakar setan itu. Bilamana aku kena dicakar oleh kukunya, jelas pasti akan mati, maka aku lebih suka kena pisau,” setelah terbahak-bahak lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Sudah kuperhitungkan, apabila aku terkena pisau, tentu dia takkan turun tangan lagi. Nah, tentunya kau tahu sekarang bahwa sama sekali tidak betul aku masuk perangkapnya.”

So Ing memandangnya sejenak, setelah menghela napas panjang lalu berkata, “Kalau bicara tentang kecerdikan dan kegesitan bertindak serta akal yang aneh-aneh, di dunia ini memang jarang ada yang bisa menandingimu.”

“Masa kau tidak tahu aku ini orang pintar nomor satu di dunia?” tukas Siau-hi-ji dengan membusungkan dada.

So Ing mengikik tawa, selang sejenak baru berkata pula, “Tapi kalau kau tidak bertemu dengan aku, orang pintar nomor satu di dunia seperti engkau ini tentu tidak bisa hidup lebih lama lagi. Cara ... cara bagaimana engkau mesti berterima kasih padaku.”

Tak terduga Siau-hi-ji lantas mendengus, “Hm, sekalipun kau tidak menyelamatkan aku, pasti juga ada orang lain yang akan menolong aku.”

So Ing melengak, “Siapa?” tanyanya.

“Mungkin Thio Sam, bisa jadi Tan Si atau Ong Ngi, mungkin A Li atau Bu Ki, sekarang belum diketahui secara pasti, tapi bila waktunya pasti ada orang akan menolong diriku. Memangnya kau lihat aku ini mirip orang yang pendek umur?”

Perlahan So Ing menggigit bibir, katanya, “Jika demikian, jadi mestinya aku tidak perlu menolong kau.”

“Ehm,” dengus Siau-hi-ji.

“Ya, seharusnya aku menunggu dan melihat saja, entah si tolol mana yang akan menolongmu.”

“Haha, betul, yang menolong aku adalah orang tolol, ucapanmu memang tepat.”

So Ing menyadari ucapannya yang keseleo lidah, ia membanting kaki dan mengomel, “Kau ... kau ....”

Siau-hi-ji tertawa geli, ucapnya, “Apalagi, seumpama tiada orang tolol yang mau menolongku tetap aku takkan mati. Orang baik tidak panjang umur, orang busuk hidup seribu tahun. Pemeo ini tentunya pernah kau dengar bukan?”

Akhirnya So Ing juga tertawa geli, katanya, “Ai, kau ini memang ... memang telur busuk cilik, setiap orang pasti mati kutu terhadapmu.”

“Bicara kian kemari sesungguhnya kau memang tidak perlu menolong aku, sekarang mungkin kau merasa menyesal.”

“Menyesal?” So Ing menegas. “Apa yang telah kulakukan selamanya aku tidak pernah menyesal.” Setelah berhenti sejenak, lalu ia menyambung pula, “Sesudah engkau terkena pisau beracun itu, tidak lama engkau lantas tak sadarkan diri, Gui Bu-geh yakin engkau pasti mati, segera dia hendak menyuruh orang menyeretmu keluar untuk dijadikan makanan tikus.”

“Dijadikan makanan tikus?” seru Siau-hi-ji sambil melelet lidah.

“Ya,” jawab So Ing singkat.

Seketika Siau-hi-ji merinding. Tapi dia tetap tertawa dan berkata, “Wah, jika begitu, untunglah aku ....”

“Sekarang kau pun tahu nasibmu tidak jelek ya?” tanya So Ing dengan tertawa.

“Bukan nasibku yang baik, tapi nasib kawanan tikus itu yang baik,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Apa? Nasib kawanan tikus yang baik?” So Ing merasa bingung.

“Habis, coba kau pikir. Seluruh tubuhku dari atas sampai bawah, dari dalam sampai luar, dari otot sampai tulang, semuanya sudah busuk habis-habisan, jika tikus berani makan aku, mustahil tidak akan tumpah-tumpah atau mencret.”

Belum lagi habis ucapannya So Ing sudah terpingkal-pingkal hingga menungging.

“Kau sangat gembira bukan?” kata Siau-hi-ji.

So Ing masih terus tertawa dan tertawa, tiba-tiba ia berhenti tertawa dan memandang termangu-mangu sejenak, lalu berkata dengan rawan, “Tahukah engkau, sejak dilahirkan hingga sekarang, belum pernah aku tertawa gembira seperti sekarang ini.”

“Apakah kehidupanmu kurang baik?”

“Aku ... aku ....” tiba-tiba mata So Ing berkaca-kaca, ia menunduk dan tidak sanggup meneruskan.

Siau-hi-ji memandangnya sekian lama, katanya kemudian dengan tertawa, “Kau jangan sedih, biarpun begini mulutku berucap, tapi dalam hatiku tetap berterima kasih padamu.”

So Ing menunduk, katanya, “Kutahu meski kau bicara yang buruk-buruk, sesungguhnya hatimu ... hatimu bajik, tapi ada sementara orang yang bicara muluk-muluk, hatinya justru jahat.”

Siau-hi-ji menengadah dan tertawa, katanya, “Haha, kau kira kau sangat pintar karena kau dapat menyelami jalan pikiran orang lain?”

So Ing menggeleng tanpa menjawab, lewat sejenak baru berkata, “Tempo hari sebenarnya aku pun tiada kesempatan baik untuk menolongmu, syukur pada waktu itu secara kebetulan Gui Bu-geh kedatangan seorang tamu penting, dia menyambut tamunya ke ruangan dalam, sebab biasanya ia tidak suka orang lain melihat diriku.”

“Soalnya setiap orang lain pasti jauh lebih cakap daripada dia, dengan sendirinya dia khawatir orang lain akan membawa lari kau,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Ucapan ini seakan-akan mengenai lubuk hati So Ing. Kembali ia menunduk, selang sejenak barulah ia menyambung lagi, “Setelah dia pergi barulah kusuruh kedua muridnya itu membawamu ke sini. Kukatakan pada mereka bahwa ada sejenis bunga yang kutanam memerlukan orang mati sebagai rabuk, hanya dengan begitu barulah bunganya dapat mekar dengan indahnya.”

“Mungkin kedua muridnya yang bodoh itu mau percaya padamu, tapi Gui Bu-geh apa juga mau percaya?”

“Dia takkan tahu,” jawab So Ing.

“O, mengapa?” Siau-hi-ji merasa tidak paham.

“Anak muridnya sama takut padanya, di depannya satu patah kata saja tidak berani bersuara.”

“Apakah kau merasa sayang bila orang pintar seperti diriku ini mati konyol begitu, makanya kau menolong aku?” tanya Siau-hi-ji sambil menggeliat.

So Ing tertawa, jawabnya, “Entah, aku pun tidak tahu sebab apakah aku menolong engkau. Mungkin ... mungkin karena aku tertarik oleh sikapmu yang kereng waktu berhadapan dengan Gui Bu-geh, bisa jadi juga lantaran sekilas engkau telah tersenyum padaku waktu engkau terkena pisau berbisa itu. Orang mau tertawa padaku sebelum ajalnya, mana boleh kubiarkan dia mati sungguh-sungguh.”

“Haha, jika begitu, jadi senyumanku itu ternyata membawa keberuntungan bagiku,” seru Siau-hi-ji sambil berkeplok tertawa.

“Apakah ... apakah tertawamu padaku itu adalah karena menghendaki aku menolongmu?”

“Apalagi jika bukan begitu maksudku? Kalau tidak, sudah dekat ajal untuk apa mesti tertawa?”

“Ken ... kenapa engkau tidak membohongi aku, lantaran kesengsem padaku, maka tanpa terasa kau tertawa ....”

“Sekarang kau telah menolong aku, untuk apa aku membohongimu lagi? Apa pula ... apa pula waktu kau marah ternyata jauh lebih menarik daripada waktu tertawa.”

Kembali So Ing mengikik tawa, ucapnya, “Kiranya kau telur busuk kecil ini tidak berdusta.” Lalu ia menyambung pula, “Cuma masih ada sesuatu yang belum jelas bagiku.”

“Mengingat kau telah memaki aku sebagai telur busuk kecil, urusan apa yang belum jelas bagimu, coba katakan, pasti akan kuberitahu.”

“Sebab apa engkau mencari Gui Bu-geh?”

“Bukankah sudah kukatakan tempo hari? Karena ingin menolong kawan-kawanku, maka aku mencari dia.”

“Dari mana kau tahu kawan-kawanmu berada di sana?”

“Sepanjang jalan kawan-kawanku meninggalkan tanda rahasia dan menunjukkan bahwa mereka telah pergi ke liang tikus itu.”

“Bisa jadi mereka cuma putar kayun saja di luar dan pada hakikatnya tidak pernah masuk ke situ.”

“Tidak, tidak bisa. Jika mereka tidak masuk ke sana, atau sudah masuk dan keluar lagi, tentu juga mereka akan meninggalkan tanda bagiku. Tanda rahasia mereka sudah kupelajari sejak masih kecil.”

So Ing terdiam sejenak, katanya kemudian, “Tapi dapat kuberitahukan padamu bahwa selama tiga bulan terakhir ini sama sekali tiada orang berkunjung ke tempatnya itu, hanya kau ... kaulah orang pertama yang menerobos ke sana.”

Siau-hi-ji melonjak bangun dan berseru, “Tidak, tidak mungkin.”

So Ing menatapnya tajam-tajam, katanya dengan tegas, “Harap kau percaya padaku, sama sekali aku tidak dusta.”

“Tapi jelas kulihat tanda rahasia mereka ....”

“Memangnya tanda itu tidak mungkin palsu?”

“Tidak, kecuali mereka sendiri, tidak mungkin ada orang lain yang dapat membuatnya.”

So Ing menghela napas, katanya, “Jika begitu pasti kawan-kawanmu itu bohong padamu.”

“Mereka membohongi aku? Untuk apa mereka menipu aku?” kembali Siau-hi-ji berjingkrak.

“Mungkin mereka sendiri tidak berani menerobos ke sana, maka mereka sengaja menyuruhmu menjadi pelopor pencari jalan bagi mereka, bisa jadi mereka sirik padamu, maka sengaja mengorbankan kau.”

Siau-hi-ji duduk selonjor di kursinya, matanya memandang jauh ke depan sana, gumamnya, “Tidak, tidak mungkin .... Sejak kecil aku dibesarkan mereka. Untuk apa sekarang mereka malah membikin celaka diriku?”

Mendadak ia melompat bangun pula dan menerjang ke depan terali besi, teriaknya, “Lepaskan aku, keluarkan aku dari sini, akan kucari dan menanyai mereka.”

So Ing menghela napas, katanya sekata demi sekata, “Jika kau keluar sekarang, maka selamanya jangan harap akan kau dapatkan keterangan tentang persoalan ini.”

“Itu urusanku sendiri, tidak perlu kau pusingkan,” teriak Siau-hi-ji gusar.

“Lukamu sekarang belum lagi sembuh, racunnya juga belum bersih dikeluarkan, mana boleh kau keluar ....” ucap So Ing dengan suara lembut, “Kau kan orang pintar nomor satu di dunia, mengapa tidak dapat bersabar.”

“Wah, alangkah mesranya, alangkah asyiknya!” tiba-tiba seorang berseru mengejek dengan suara dingin.

Siau-hi-ji terkejut, “Siapa itu?” bentaknya dengan suara serak.

Namun So Ing sama sekali tidak terpengaruh, perlahan-lahan dia membalik tubuh dan berkata dengan tenang, “Jarang ada tetamu agung di sini, maka siapa saja yang berkunjung kemari pasti kusambut dengan gembira.”

“Cuma sayang, kedatanganku ini tidak tepat pada waktunya, bukan?” kata seorang di balik semak-semak bunga sana sambil terkekeh-kekeh.

“Semak-semak bunga bukan tempat untuk melayani tetamu,” ujar So Ing dengan tersenyum hambar. “Jika Tuan sudah datang, mengapa tidak sudi keluar untuk bertemu?”

Orang itu tergelak-gelak, katanya, “Jika kau ingin melihat diriku, mengapa kau sendiri tidak kemari saja.”

“Apa boleh buat jika Tuan tidak sudi keluar,” ucap So Ing dengan tertawa. “Cuma harus kuingatkan, semak bunga itu banyak durinya, malahan duri beracun, jika terjadi apa-apa atas diri Tuan, janganlah engkau menyalahkan aku kurang adat terhadap tetamu.”

Belum habis ucapannya, kontan seorang melompat dari semak-semak bunga sana seperti orang yang mendadak ditendang pantatnya.

Orang ini bermuka tirus, hidung betet, mata tikus, bentuknya itu membuat orang merasa muak bila melihatnya. Tapi pakaiannya justru sangat mentereng. Melihat So Ing, segera ia memberi hormat sambil terkekeh-kekeh, “Cayhe hanya bergurau sedikit saja, tak tersangka nona So menjadi sedikit terkejut, harap nona sudi memberi maaf sedikit.”

Hati Siau-hi-ji merasa lega setelah mengetahui orang ini dikenal oleh So Ing, rupanya dia cuma sengaja berkelakar saja.

Tapi bentuk orang ini jelas menjemukan, cara bicaranya juga menyebalkan, sungguh Siau-hi-ji ingin menempelengnya ‘sedikit’, lalu ditendangnya pula ‘sedikit’.

So Ing juga lantas menarik muka dan mendamprat, “Untuk apa kau datang ke sini? Apakah gurumu tidak pernah memberitahukan padamu bahwa tempat ini tidak boleh sembarangan didatangi kalian?”

“Ah, sedikit nyali Cayhe mana berani terobosan ke tempat kediaman nona,” jawab orang itu dengan tertawa ngikik. “Tapi sekali ini Suhu sendiri yang menyuruh Cayhe kemari.”

“Dia menyuruhmu ke sini? Untuk apa?” tanya So Ing.

Mata orang itu terpicing dan menjawab sambil cengar-cengir, “Beliau menyuruh Cayhe menjenguk kemari untuk mengetahui bunga yang harus diberi rabuk dengan orang mati itu apakah sudah mekar atau belum? Sebab beliau kedatangan seorang tamu yang juga ingin lihat bunga ini.”

Ucapan ini membuat So Ing dan Siau-hi-ji sama terkejut.

Sikap dingin So Ing tadi segera berubah agak ramah, tanyanya dengan tersenyum, “Siapakah tamu itu?”

“Hehehe, sedikit nyali Cayhe ini mana berani kutanya nama tamu Suhu?” jawab orang itu.

“Jika demikian, baiklah kubawa kau melihat bunga itu,” kata So Ing.

“Tapi sekarang tidak perlu kulihat lagi,” kata orang itu.

“Sebab apa?” tanya So Ing.

“Kalau rabuknya masih bisa minum arak di sini, dengan sendirinya bunga itu belum lagi mekar, betul tidak?” kata orang itu sambil tertawa dan mengerling Siau-hi-ji dengan mata tikusnya.

“Habis apa ... apa kehendakmu?” tanya So Ing dengan gaya merayu.

“Nona sendiri ingin bagaimana?” jawab orang itu dengan menyesal.

“Asalkan kau kembali ke sana dan bilang bunga itu sudah mekar, kebaikanmu tentu takkan kulupakan.”

“Sedikit nyali Cayhe ini mana ... mana berani berdusta pada Suhu, kecuali ....”

“Kecuali apa?” tanya So Ing.

“Kecuali nona dapat membuat besar nyaliku.”

“Cara bagaimana membuat besar nyalimu?”

“Hehehe, masa ... masa nona tidak tahu ....” kata orang itu sambil memicingkan mata dan cengar-cengir.

Air muka So Ing rada berubah, tapi tetap mengulum senyum, katanya, “Kau tidak takut dicemburui Suhumu?”

“Hehe, Suhu memang suka cemburu,” kata orang itu dengan terkekeh-kekeh. “Apabila beliau mengetahui nona sedang minum arak dengan si rabuk .... Wah, kukira beliau tidak sungkan-sungkan lagi padamu.”

So Ing menggigit bibir, katanya kemudian, “Sebenarnya untuk apa kau menakut-nakuti aku, sebenarnya aku memang ingin kau ....” sambil bicara, seperti tidak sengaja sebelah tangannya lantas hendak memegang terali besi.

Mendadak orang itu tertawa dan berseru, “Apakah nona bermaksud melepaskan si rabuk itu untuk membunuh diriku dan menghilangkan saksi? .... Hehehe, sekali tangan nona menjamah terali besi, segera kuangkat kaki dan dalam waktu singkat Suhu pasti akan datang.”

Tangan So Ing lantas ditarik kembali, ucapnya dengan tertawa, “Ai, kau ini memang suka curiga.”

“Sedikit-sedikit Cayhe cukup tahu diri, kutahu nona tidak mungkin penujui diriku. Kalau kesempatan baik ini tidak kugunakan sekarang, mana bisa ‘si katak buduk dapat makan si angsa’.”

“Tapi ... tapi di sini bukan tempat yang baik, marilah kita masuk ke dalam rumah,” ujar So Ing.

“Wah, tidak, tidak perlu,” cepat orang itu menggeleng, “Sudah lama kudengar di dalam rumah nona itu banyak terpasang pesawat rahasia yang lihai, bilamana kumasuk ke situ, bisa jadi jiwaku akan amblas seketika.”

“Habis bagaimana ... masa ... masa kau ingin di sini ....” dengan suara lembut dan senyuman menggiurkan So Ing lantas mendekati orang itu.

Tapi mendadak orang itu surut mundur malah, katanya, “Jangan mendekat ke sini.”

So Ing terkikik-kikik, katanya, “Kan kau menghendaki diriku ... mengapa aku tidak boleh mendekat ke situ?”

“Dengan sendirinya Cayhe ingin nona mendekat ke sini, cuma ... cuma harus membuka pakaian dulu, harus buka semuanya, telanjang bulat,” ucap orang itu sambil menyeringai.

“Meng ... mengapa harus membuka pakaian?” meski So Ing tetap tersenyum, namun suaranya mulai gemetar.

“Soalnya Cayhe cukup tahu kelihaian nona,” orang itu bergelak tertawa.

“Aku kan tidak bisa ilmu silat, masa kau tidak tahu?” ujar So Ing.

“Meski nona tidak mahir ilmu silat, tapi banyak tipu akalmu, mana Cayhe tahan, namun bila ....” dengan menyengir kemudian orang itu menyambung pula, “Bila nona sudah telanjang, maka Cayhe tidak perlu lagi khawatir, sebab seorang perempuan jika dalam keadaan bugil, maka tiada sesuatu yang dapat lagi dimainkannya.”

Sungguh hampir meledak perut Siau-hi-ji menyaksikan lagak orang itu. Sungguh licik dan licin orang ini. Sungguh celaka tiga belas orang yang bertemu dengan manusia begini.

Dilihatnya So Ing hanya tersenyum saja, sepasang tangannya yang putih mulus itu benar-benar mulai membuka kancing bajunya.

Saking tak tahan Siau-hi-ji lantas berteriak, “Kenapa kau takut padanya, biarkan dia kembali dan lapor gurunya ... jika saat ini dia berani mendekat ke sini segera kubinasakan dia.”

So Ing berpaling dengan tertawa manis, katanya, “Engkau ternyata sangat memperhatikan diriku, mana boleh aku tidak memperhatikan dirimu?”

“Aku tidak takut,” teriak Siau-hi-ji dengan gusar. “Seumpama aku tak dapat melawan Gui Bu-geh, memangnya aku tidak bisa lari? .... Jika keparat ini sudah kembali ke sana, segera kubawa lari kau.”

So Ing menghela napas, ucapnya, “Kita tak dapat kabur.”

“Hehehe, betapa pun memang nona So lebih cerdik,” seru orang itu sambil terkekeh-kekeh. “Pokoknya, asalkan nona menurut, sekembaliku ke sana kujamin takkan melapor apa pun ....” saking senangnya, dia tertawa gembira sehingga matanya terpicing rapat, air liur pun hampir-hampir menetes.

So Ing masih terus membuka kancing baju, setiap kali dia membuka satu kancing, setiap kali pula orang itu menelan air liur.

Tidak kepalang dongkol Siau-hi-ji, ia membanting kaki keras-keras dan berteriak, “O, mati aku!”

“Wah, kau jangan mati,” ucap So Ing dengan suara lembut. “Aku pun pasti tidak ....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara mendesing, sejalur angin tajam dan kuat menyambar lewat.

Orang itu terkejut, cepat ia membalik tubuh, namun tiada sesuatu yang terlihat. Ia melenggong, perlahan-lahan ia memutar balik pula sambil bergumam, “Apakah ... apakah ada setan ....”

Belum lenyap suaranya, mendadak ia menjerit dan roboh terjungkal. Menyusul sebatang bambu hijau melayang tiba dan memanteknya di lantai, darah muncrat bertebaran. Orang itu kelejetan sejenak, lalu tidak bergerak lagi.

Sekalipun orang berpandangan tajam seperti Siau-hi-ji juga tidak tahu mengapa orang ini mendadak bisa roboh, betapa cepat cara orang membunuhnya sungguh sukar dibayangkan.

Waktu bambu hijau itu dipandangnya, selain dada orang itu tertembus, bahkan ambles lebih satu kaki ke dalam tanah, maka dapat diperkirakan betapa lihai tenaga dalam penyambit bambu runcing itu.

Wajah So Ing tampak pucat, ia berseru, “Cianpwe siapakah yang telah sudi menolong, mohon keluar untuk terima kasihku.”

Terdengar angin meniup perlahan dan suara daun pohon berkeresekan, namun keadaan sunyi senyap tiada jawaban.

“Apakah Cianpwe tidak sudi menemui diriku?” So Ing bersuara pula. Tapi keadaan tetap hening, tiada jawaban seorang pun.

“Dalam keadaan begini kau tetap tidak mau melepaskan aku agar kuperiksa kejadian ini?” seru Siau-hi-ji.

So Ing menghela napas, katanya, “Jika sekarang juga kulepaskanmu, ini sama dengan membikin celaka engkau. Selama hidupku ini belum pernah kuperhitungkan mati hidup orang lain, hanya terhadapmu ....” lalu dia menyambung dengan sekata demi sekata, “Makanya, apa pun juga, tak dapat kubiarkan engkau mati.”

“Aku justru ingin mati, kau bisa apa?” teriak Siau-hi-ji gusar.

“Bilamana aku sudah bertekad demikian, maka selamanya pendirianku ini takkan berubah,” kata So Ing dengan tersenyum. “Sekarang seumpama engkau benar-benar membunuh diri, dengan segala daya upaya juga akan kutolong engkau.”

“Kau ... kau hakikatnya bukan manusia tapi siluman,” omel Siau-hi-ji.

So Ing tertawa, jawabnya, “Siluman berjodohkan telur busuk kecil, kan pasangan yang setimpal?” Habis bicara ia menjadi jengah sendiri, dengan muka merah cepat ia lari pergi.

Siau-hi-ji terkesima memandangi bayangan si nona, gumamnya sambil menyengir, “Sungguh jarang kulihat perempuan begini, tampaknya dia benar-benar hendak ikut padaku, wah, bisa repot aku.”

Terdengar So Ing berseru dari kejauhan, “Kau tunggu saja di situ, akan kulihat Cianpwe itu sesungguhnya berada di mana, segera aku akan kembali.”

“Kepandaian orang itu mahatinggi, kau ... kau harus hati-hati,” tanpa terasa Siau-hi-ji memberi pesan.

“Jangan khawatir,” jawab So Ing dengan tertawa dari kejauhan, “Kau belum lagi mati, aku pun tidak mau mati. Apalagi Cianpwe ini kan telah menyelamatkan diriku, masa dia bermaksud jahat pula padaku?”

Makin jauh suaranya dan akhirnya bayangannya lenyap di balik semak-semak sana.

Siau-hi-ji menggeleng dan bergumam dengan gegetun, “Tampaknya dia lebih lemah daripada siapa pun juga, siapa pula yang menduga nyalinya sedemikian besar dan demikian keras pula tekadnya.”

So Ing memang gadis yang aneh. Jika dia tidak suka padamu, maka biarpun kau bertekuk lutut di depannya atau golok mengancam di kuduknya, semuanya tiada gunanya.

Sebaliknya kalau dia penujui dirimu, maka di dunia tiada seorang pun atau kejadian apa pun yang dapat mengubah pendiriannya. Dia tidak seperti Thi Sim-lan yang dapat menyimpan perasaan. Jika dia penujui dirimu, segera dia ambil keputusan suka padamu. Jika sudah demikian, maka jangan harap kau akan dapat kabur, bahkan ingin mati pun tidak dapat.

Malam sudah larut, meski bintang berkelip-kelip memenuhi cakrawala, namun lembah yang berselimutkan semak-semak bunga ini tampaknya tetap seram. Bangau putih dan menjangan jinak yang pintar itu menjadi tiada gunanya jika keadaan menjadi bahaya.

Tapi seorang gadis yang lemah ibarat tenaga untuk menyembelih ayam saja tidak ada justru berani berkeluyuran sendirian di tempat demikian, maka keberaniannya dapatlah dibayangkan.

Begitulah So Ing terus menyusuri semak-semak bunga itu dan maju ke depan, gumamnya sambil tertawa, “Meski tempat ini tampaknya indah, tapi di mana-mana terpasang perangkap maut. Cianpwe telah menolong diriku, apabila engkau terjebak dan terluka, kan hatiku bisa tidak enak.”

Menghadapi seorang tokoh kosen yang sukar dijajaki kepandaiannya. So Ing tetap tidak menghiraukan bahaya yang mungkin menimpanya, sebaliknya malah bersuara mengkhawatirkan kecelakaan orang lain. Namun sayang, seumpama orang itu dapat mendengar ucapannya, nyatanya tetap tidak menggubrisnya.

So Ing menghela napas dan bergumam pula, “Orang ini benar-benar sangat aneh, sudah menolong aku, tapi juga tidak berani menjumpai diriku. Apakah sebabnya?”

Di ruangan gedung sana cahaya lampu masih terang benderang dan tiada nampak bayangan orang, kursi itu pun masih terletak di tempatnya, tiada tanda-tanda pernah diutik orang.

Setelah berputar sekeliling, kemudian So Ing kembali lagi ke gua sana. Tapi ia menjadi kaget, terali besi penutup gua itu telah dibuka orang. Siau-hi-ji yang terkurung di situ sudah lenyap.

Apakah benar-benar anak muda itu telah melarikan diri tanpa pikir segala akibatnya.

Seluruh tubuh So Ing serasa lemas lunglai. Tapi segera ia menghibur dirinya sendiri, “Tidak, tidak mungkin dia melarikan diri. Terali besi ini tidak mungkin dibuka olehnya. Yang dapat membukanya hanya Gui Bu-geh dan murid pertamanya, Gui Moa-ih. Apakah mungkin mereka pun datang ke sini dan menggondol pergi Siau-hi-ji?”

Jika orang lain tentu sudah kelabakan dan bingung setengah mati, tapi So Ing dapat menenangkan diri.

Maklumlah, bilamana seorang sudah terlalu pintar, setiap tindak tanduknya tentu rada-rada gegabah, sebab pada hakikatnya dia meremehkan orang lain. Tapi bila menghadapi sesuatu bahaya atau menghadapi kesulitan, orang begini bisa berubah jauh lebih tenang daripada orang biasa, bila bertindak juga lebih hati-hati daripada siapa pun juga.

Demikian pula dengan So Ing sekarang, ia tahu cemas dan gelisah juga tiada gunanya, jalan paling baik adalah tenang.

Ia pikir apabila benar Siau-hi-ji telah diculik oleh Gui Bu-geh, lalu tokoh kosen yang menolongnya tadi pergi ke mana lagi? Apakah setelah menolongnya lantas pergi pula segera?

Dan jika benar Gui Bu-geh telah datang, mengapa sama sekali Siau-hi-ji tidak bersuara dan mau dibawa pergi begitu saja?

Dari semua ini, bukan mustahil orang kosen itu pula yang telah membawa kabur Siau-hi-ji.

Lantas siapakah sesungguhnya orang kosen itu? Untuk apa dia menolong Siau-hi-ji dan mengapa pula tidak mau menemuinya?

Diam-diam So Ing menghela napas.

Pada saat itulah dari kejauhan tiba-tiba berkumandang suara teriakan kaget dan dampratan orang gusar. Jelas itulah suara Siau-hi-ji.

Kiranya tadi setelah Siau-hi-ji menyaksikan kepergian So Ing, segera ia angkat cawan hendak menenggak araknya lagi. Tapi baru saja cawan menempel bibir, sekonyong-konyong satu biji batu membentur terali besi dan mencipratkan lelatu api. Menyusul terali besi itu lantas naik ke atas perlahan-lahan.

Terkejut dan bergirang Siau-hi-ji, seketika ia jadi terkesima.

Dalam kegelapan lantas muncul sesosok bayangan laksana badan halus, bayangan ini sangat tinggi, memakai jubah panjang, berkopiah besar, sorot matanya dingin seram, dan menatap Siau-hi-ji dengan tajam. Tapi tidak bersuara.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, tegurnya kemudian, “Kau datang untuk menolong diriku?”

“Ehm,” orang itu menjawab singkat.

“Yang membunuh murid Gui Bu-geh tadi juga engkau?” tanya Siau-hi-ji pula.

Kembali orang itu hanya mendengus saja.

“Jika begitu, mengapa tadi kau tidak keluar untuk bertemu?”

“Kalau sekarang kukeluar tentu sekarang tak dapat kutolong kau.” jawab orang itu dengan ketus.

“Siapakah engkau sebenarnya? Mengapa engkau menolong aku?”

“Jika kau tidak mau keluar, boleh juga kututup kembali terali besi ini,” jengek orang itu.

Siau-hi-ji mengerling orang itu sekejap, katanya kemudian dengan tertawa, “Kau harus tahu, tak peduli apa maksudmu menolong aku, yang jelas aku tidak merasa utang budi padamu dan juga takkan kubalas kebaikanmu segala.”

“Jika kau bisa membalas budi kebaikan orang tentu aku takkan datang menolongmu.”

“Baiklah, karena persyaratanku sudah jelas, bolehlah kubiarkan engkau menolong diriku satu kali,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sungguh janggal. Orang mau menolongnya, bukannya dia menerima kebaikan itu dan berterima kasih, sebaliknya seakan-akan orang lain yang harus berterima kasih padanya.

Tapi orang itu pun tidak banyak cincong, ia membalik tubuh, lalu berkata, “Ayo ikut aku.”

Siau-hi-ji melompat keluar gua itu, gumamnya dengan tertawa, “Maaf, nona So, kelak bila sempat, bisa jadi aku datang menjengukmu lagi. Maksud baikmu padaku juga kuterima di dalam hati saja.”

Terlihat gerakan orang itu sangat enteng, jalannya cepat laksana tidak menyentuh tanah.

Sambil mengintil di belakang orang, Siau-hi-ji berkata dengan tertawa, “Ginkang Anda boleh juga.”

“Ya, lumayan,” sahut orang itu ketus.

“Aku hendak kau bawa ke manakah?” tanya Siau-hi-ji.

“Kalau sudah sampai tentu kau tahu sendiri,” jawab orang itu.

Mendadak Siau-hi-ji berhenti dan berkata, “Jangan kau kira karena aku telah kau tolong, lalu aku pasti ikut pergi denganmu. Kan sudah kukatakan sebelumnya bahwa sama sekali aku tidak merasa utang budi padamu, jika sekarang tidak kau katakan terus terang, maka maaf, silakan kau menuju ke sana dan aku akan pergi ke jurusanku sendiri.”

Orang itu menoleh dan tertawa, katanya, “Pantas orang bilang kau ini orang yang sukar didekati, tampaknya memang tidak salah ....” sampai di sini mendadak ia mendesis, “Ssst, awas, ada orang datang, bisa jadi dia ini Gui Bu-geh.”

Siau-hi-ji terkejut benar-benar, cepat ia tanya dengan suara tertahan. “Di mana dia?”

Orang itu menarik tangannya dan mendadak menjengek, “Di sini!”

Kembali Siau-hi-ji terkejut, tahu-tahu setengah badannya kaku kesemutan. Rupanya urat nadinya telah kena di pencet oleh orang itu, jari orang mencengkeram seperti tanggam, mana Siau-hi-ji bisa berkutik lagi?

“He, apa-apaan ini?” seru Siau-hi-ji.

Orang itu tidak menjawabnya, secepat kilat ia tutuk pula beberapa Hiat-to penting di tubuh anak itu.

Siau-hi-ji menjadi gusar, dampratnya, “Gila kau! Setelah menolong aku, mengapa kau kerjai diriku pula sekarang?”

“Tak tersangka, bukan?” tanya orang itu.

“Persetan! Jika sudah tersangka olehku masa kau mampu mengerjai aku?”

“Hm, justru lantaran tak tersangka olehmu makanya aku berhasil mengerjaimu,” sambil menjengek, orang itu lantas meringkus tubuh Siau-hi-ji dengan tali terus digantung di atas pohon.

Kejut dan gusar Siau-hi-ji, dampratnya gemas, “Kau orang gila, binatang kau, sesungguhnya apa kehendakmu?”

Orang itu tidak memandangnya lagi, setelah tepuk-tepuk tangannya yang kotor, lalu tinggal pergi.

Sungguh sukar dimengerti maksud tujuan orang itu.

Jika dia bermaksud baik, setelah menolong Siau-hi-ji dari kurungan gua itu, tentunya anak muda itu akan dibawa pergi, tapi mengapa malah menggantungnya di pohon ini?

Sebaliknya kalau dia ingin membikin susah Siau-hi-ji, mengapa sekarang dia tidak membunuhnya?

Karena tergantung di pohon dan tak bisa berbuat apa-apa, Siau-hi-ji hanya dapat mencaci maki dengan gusar, “Gila, orang gila kau ... sungguh sial, selalu orang gila saja yang kujumpai.”

Begitulah tadi So Ing terkejut dan bergirang ketika mendengar suara raungan Siau-hi-ji itu, apa pun juga yang terjadi, nyata anak muda itu masih berada di lembah pegunungan ini.

Baru saja ia hendak memburu ke sana, sekonyong-konyong di tempat gelap ada seseorang menjengek, “Kau tidak perlu cari lagi, di sinilah aku berada!”

Menyusul suara itu seorang muncul perlahan dari kegelapan sana, tubuhnya kurus kering, memakai kopiah tinggi dan berbaju belacu, tulang pelipisnya menonjol, hidungnya besar seperti paruh elang, sorot matanya tajam, sikapnya angkuh dan garang.

Melengak juga So Ing, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Kiranya engkau!”

“Hmk,” dengus si baju belacu.

“Tadi ... tadi engkau yang membunuh Gui Pek-ih?” tanya So Ing.

Kembali orang itu mendengus.

So Ing tersenyum, ucapnya, “Memang sejak tadi kurasakan cara membunuh orang itu mirip benar caramu, tapi aku tidak menyangka ....”

“Tidak menyangka akan kedatanganku, begitu?” tukas si baju belacu.

“Ya, memang tak kusangka,” jawab So Ing sambil menghela napas gegetun. “Sejak engkau cekcok dan meninggalkan si tua, sampai kini sudah empat tahun lebih ... lebih tiga bulan, selama ini tiada terdengar kabarmu.”

Si baju belacu menengadah, dengusnya, “Hm, masih ingat juga kau padaku.”

So Ing menunduk, katanya, “Mana bisa kulupakan engkau, sejauh ini engkau cukup baik padaku.”

“Siapa bilang aku baik padamu?” teriak si baju belacu dengan gusar. “Selama ini tidak pernah aku membaiki siapa pun juga.”

“Tak peduli apa ucapanmu, yang pasti kucukup paham isi hatimu,” kata So Ing dengan rawan. “Jika bukan lantaran diriku, mana bisa kau bertengkar dengan si tua terus tinggal pergi.”

“Memangnya kau sangka aku mencemburui si tua sehingga aku bertengkar dengan dia?” jengek si baju belacu.

“Masa bukan begitu?” ujar So Ing.

“Aku cuma tidak tahan melihat lagaknya,” kata si baju belacu dengan gusar. “Sudah berapa banyak pekerjaan yang telah kulaksanakan baginya, tapi selama ini dia tetap menganggap aku sebagai kuda atau kerbau, dianggap sebagai budak belaka.”

“Selain itu masa tiada alasan lain pula?” ucap So Ing dengan perlahan.

Si baju belacu menarik napas panjang-panjang, teriaknya, “Betul, juga lantaran dirimu. Aku merasa sirik melihat tua bangka seperti itu, sebelah kakinya sudah menginjak liang kubur, tapi masih hendak meng ... mengangkangi dirimu, asal orang lain memandang sekejap, lantas dia marah, seperti orang gila.”

So Ing terdiam sejenak, katanya kemudian, “Dan sekarang kau toh kembali lagi ke sini.”

“Kapan pun aku ingin datang bisa lantas datang, mau pergi bisa terus pergi, siapa yang dapat menghalangi aku?” jengek si baju belacu.

“Memang betul juga, sampai si tua juga rada-rada menyesal,” ujar So Ing. “Setelah kau pergi, dia sering menyatakan bahwa anak muridnya memang banyak, tapi yang mendapat ajarannya sungguh-sungguh cuma seorang.”

“Hm, kau kira Kungfuku ini kubelajar dari dia?” jengek si baju belacu. “Huh, Gui Bu-geh terkenal mementingkan diri sendiri dan mahapelit, siapa tidak tahu dirinya ini. Dia menerima murid sebanyak itu, tujuannya cuma memperbudak mereka, budak tanpa gaji, ilmu silatnya juga cuma diajarkan bagian yang tidak penting, dengan sedikit kepandaian yang tak berarti ini anak muridnya lantas disuruh bekerja dan berjuang mati-matian.”

“Jika begitu kepandaianmu ....”

“Kepandaianku adalah hasil curian, dari sedikit-sedikit kukumpulkan, yaitu waktu dia sendiri berlatih, diam-diam aku mengintip dan mempelajarinya secara seksama.”

“Ya, dia memang kurang baik terhadap muridnya, makanya meski engkau cekcok dengan dia kebanyakan orang juga bersimpati padamu. Tapi ... tapi mengapa sekarang kau kembali lagi ke sini?”

“Aku ... aku cuma ingin tahu keadaan di sini,” jawab si baju belacu.

“Keadaan yang ingin kau lihat tentunya bukan dia, betul tidak?”

“Hmk,” si baju belacu hanya mendengus.

So Ing mengerling genit, katanya pula dengan tersenyum, “Kau kembali lagi ke sini lantaran ingin menjenguk aku bukan?”

Dengan gemas si baju belacu melototinya sejenak, katanya kemudian dengan tandas, “Betul, dahulu aku memang suka padamu, tapi sekarang ….”

“Sekarang tidak suka lagi?” tukas So Ing dengan suara lembut.

“Sekarang sudah kuketahui, kau ini pada hakikatnya tidak tahu budi, tidak kenal kebaikan orang, betapa pun orang berbaik padamu juga takkan kau rasakan dan tak tahu berterima kasih.”

So Ing bersikap sedih seperti difitnah orang, jawabnya dengan menunduk, “Ma ... masa orang demikian diriku ini?”

“Sudah tentu kau memang orang demikian. Tua bangka itu meski berjiwa kecil dan kikir, tapi terhadapmu .... Hm, bagaimana terhadapmu tentunya kau sendiri cukup jelas.”

“Dia baik padaku, memangnya aku tidak berterima kasih padanya?” ujar So Ing. “Jika aku tidak tahu kebaikannya, mengapa aku tidak pergi saja.”

“Kau adalah orang pintar, dengan sendirinya kau tahu dirimu tak mungkin bisa pergi begitu saja,” jengek si baju belacu.

So Ing tertawa, ucapnya, “O, kau kira aku tak dapat melindungi diriku sendiri?”

“Memangnya kau kira dapat melindungi dirimu sendiri? Kau kira orang lain benar-benar jeri padamu?”

Mendadak So Ing menarik muka dan berkata, “Tapi selama ini tiada yang berani menyatroni tempat tinggalku.”

“Itu lantaran orang lain mengetahui kau ini kesayangan si tua bangka, makanya mereka tidak berani merecokimu,” ujar si baju belacu. “Jika tiada si tua bangka yang menjadi tulang punggungmu, hm, tempatmu ini mungkin sudah sejak dulu-dulu rata menjadi puing dan kau pun entah sudah mati berapa kali.”

So Ing termenung sejenak, dengan tersenyum hambar kemudian ia berkata, “Kiranya engkau tetap membela si tua.”

“Jangan khawatir, urusanmu pasti takkan kukatakan padanya,” ujar orang itu.

“Sudah tentu kau tidak serendah Gui Cap-pek, kalau tidak, masakah kau mau membunuh dia, betul tidak?”

“Hmk,” si baju belacu hanya mendengus saja.

“Tapi sebabnya kau bunuh dia kan juga lantaran diriku. Kau tidak suka melihat aku digoda dia, dari sini pun kelihatan bahwa engkau tetap sangat baik padaku.”

Si baju belacu lantas bergelak tertawa.

So Ing berkedip-kedip bingung, tanyanya kemudian, “Apa yang kau tertawakan?”

Mendadak orang itu berhenti tertawa dan menjawab, “Terus terang kukatakan padamu bahwa sudah lama tak kupikirkan dirimu lagi. Walaupun aku tidak sudi berbuat hal-hal yang rendah seperti membongkar urusan pribadi orang lain atau memberi laporan gelap segala, siapa pun yang kau sukai aku pun tidak ambil pusing.”

So Ing memandangnya lekat-lekat sejenak, katanya kemudian, “Jika begitu, mengapa engkau menculik orang yang kusukai?”

“Alasannya selekasnya pasti akan kau ketahui,” jengek orang itu. “Sekarang apakah kau ingin menjenguk dia?”

“Mengapa tidak?” jawab So Ing.

“Baik, ikutlah padaku,” kata si baju belacu.

Ketika melihat So Ing datang bersama si baju belacu, bahkan tampaknya kedua orang ini sudah kenal lama, tentu saja Siau-hi-ji terkejut dan heran. Dengan gusar ia berteriak, “Sesungguhnya siapakah orang gila ini? Kau kenal dia? Kalian kawan lama?”

Melihat Siau-hi-ji digantung orang di pohon, So Ing menghela napas gegetun, ucapnya sambil menyengir, “He, orang pintar nomor satu di dunia, mengapa kau berubah jadi begini?”

Dengan gusar Siau-hi-ji menjawab, “Lantaran aku tidak menyangka orang ini adalah orang gila, tindak tanduknya membuat orang bingung.”

“Soalnya kau tidak tahu siapa dia,” ujar So Ing.

“Jika kutahu perlukah kutanya kau?” tukas Siau-hi-ji.

“Dia juga murid Gui Bu-geh, murid yang paling tinggi ilmu silatnya,” tutur So Ing. “Bilamana nama ‘Busiang-so-beng’ (setan Bu-siang menagih nyawa) Gui Moa-ih disebut, orang Kangouw mana yang tidak ketakutan. Maka tidaklah heran jika kau pun tertipu olehnya.”

Siau-hi-ji melenggong sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata, “Jadi dia pun murid Gui Bu-geh? Wah, tampaknya aku benar-benar ketemu setan.”

“Jika benar sudah ketemu setan, lalu apa yang hendak kau katakan lagi?” jengek Gui Moa-ih atau Gui si baju belacu.

Siau-hi-ji mencibir, jawabnya, “Kata-kata sih tidak ada, yang ada cuma kentut, kau mau membaunya tidak?”

Seorang kalau digantung terjungkir dengan kaki di atas dan kepala di bawah, maka wajahnya saja sudah tampak lucu, kini dia mencibir pula, tentunya tambah menggelikan kelihatannya.

So Ing tidak tahan, ia mengikik geli.

Sekali pun Gui Moa-ih juga sedang mendongkol, demi melihat lagak Siau-hi-ji yang kocak itu, hampir saja ia pun tertawa. Segera ia berpaling dan melototi So Ing, tanyanya, “Inikah orang yang kau sukai?”

Jika perempuan lain, biarpun dalam hati sangat suka juga pasti tidak enak untuk mengaku terus terang. Tapi So Ing tidak kikuk dan tidak menunduk, ia menjawab dengan tegas, “Betul.”

“Kusangka penilaianmu tentu sangat tinggi, siapa tahu yang kau sukai adalah si tolol yang sinting ini,” ejek Gui Moa-ih.

“Kau anggap dia ini si tolol sinting, aku justru bilang dia ini ksatria sejati, seorang pahlawan gagah berani,” kata So Ing dengan tertawa.

“Pahlawan? Ksatria? .... Hehe!” jengek Gui Moa-ih.

“Coba jawab, jika seorang digantung terjungkir di pohon, adakah yang tahan dan bahkan masih sanggup tertawa dan berseloroh seperti dia?” tanya So Ing.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes