Wednesday, May 12, 2010

bp1_part2

“Anak baik, pulanglah sana dan camkan apa yang kukatakan,?? kata Siau-hi-ji. “Mengenai barang kiriman itu saat ini aku tidak tahu apa-apa, tapi tidak sampai setengah bulan pasti akan kuberitahukan duduk perkara yang sebenarnya.?? Sambil bicara ia terus melompat masuk ke kamar lagi dan menutup daun jendela, ia mencoba mengintip dari sela-sela jendela, dilihatnya si nona masih termangu-mangu di situ, setelah termenung sekian lamanya, akhirnya melangkah pergi juga.

Siau-hi-ji menggeleng kepala, sambil tersenyum getir ia bergumam, “Perempuan, mengapa perempuan selalu bawel begini? Biarpun bangun tubuhnya seperti lelaki, tapi perempuan tetap perempuan.??

*****

Malam ini Siau-hi-ji dapat tidur dengan nyenyak. Dia tidak memikirkan lagi peristiwa perampokan barang kiriman Toan Hap-pui yang mencurigakan itu, sebab terhadap kejadian ini dia sudah dapat menarik kesimpulan yang meyakinkan, soalnya hanya belum dibuktikannya saja.

Tengah ia tidur dengan lelapnya, sekonyong-konyong beberapa orang menerobos ke dalam kamarnya terus menyeretnya bangun, ada yang memakaikan baju, ada pula yang mengenakan sepatu baginya.

Beberapa orang ini termasuk kuasa pertama dan kedua rumah obat ini. Mata Siau-hi-ji masih sepat, dia kucek-kucek matanya yang masih belekan dan bertanya, “Belum tiba hari gajian, untuk apa kalian menculik diriku???

Sembari merapikan kancing baju Siau-hi-ji si kuasa kedua berkata dengan tertawa, “Sungguh berita baik bagimu, hari ini Tuan Besar kita ternyata ingin bertemu denganmu.??

Si kuasa utama lantas menyambung, “Tuan Besar hampir tidak pernah menemui pegawainya, tapi hari ini begitu sampai di Ankhing segera dia ingin bertemu denganmu? Rupanya kau sedang mujur dan akan dapat rezeki nomplok.??

Dan begitulah, beramai-ramai Siau-hi-ji lantas diusung ke atas kereta, tidak lama kemudian sampailah di depan sebuah rumah gedung yang sangat besar dan megah, beramai-ramai Siau-hi-ji lantas digiring ke dalam.

Rumah ini terdiri dari berlapis-lapis, Siau-hi-ji disongsong oleh seorang kacung dan dibawa masuk ke belakang, cukup lama barulah sampai di taman belakang. Di situlah ada sebuah paviliun indah.

Kacung itu membisiki Siau-hi-ji, “Tuan Besar berada di dalam situ, beliau ingin kau masuk sendiri saja.??

Siau-hi-ji ragu-ragu, ia merandek sejenak di luar pintu, akhirnya ia menyingkap kerai dan melangkah ke dalam. Pandangan pertama segera dilihatnya Samkohnio sudah berada di situ.

Dandanan Samkohnio hari ini sungguh jauh berbeda dari hari biasa. Pakaiannya tidak lagi celana singsat dan baju ringkas, tapi memakai gaun berwiru ditambah baju sutera biru berkembang putih, rambutnya juga sudah digelung.

Mukanya dibedaki dengan pupur tipis, gelung rambutnya dihiasi tusuk kundai dengan mainan burung Hong bermata mutiara, anting-anting juga tidak ketinggalan gemandul di daun telinganya.

Nona itu duduk tertunduk di situ dengan malu-malu kucing. Sekilas pandang Siau-hi-ji hampir tidak mengenali dia sebagai Li-beng-siang Samkohnio.

Sebaliknya sudah jelas melihat Siau-hi-ji masuk ke situ, namun nona gede itu tetap tidak angkat kepalanya, dia hanya melirik sekejap saja sambil menggigit bibir perlahan dan kepalanya tertunduk semakin rendah.

Hampir saja Siau-hi-ji tertawa geli saking tak tahan kalau saja dia tidak melihat di situ masih ada seorang lagi. Orang itu sangat aneh, sedang merangkak-rangkak di lantai.

Lantai dilapisi permadani Persia yang tebal, seorang gemuk dengan jubah yang longgar tampak merangkak di lantai sehingga kalau dipandang sepintas lalu orang akan mengira ada sebuah bola raksasa.

Di depan si gemuk itu ada sebuah kotak jamrud, kotak yang diukir dari sepotong batu jamrud besar, nilainya sukar diperkirakan, tapi kotak semahal itu isinya ternyata dua ekor jangkrik. Kiranya si gemuk lagi asyik mengadu jangkrik.

Siau-hi-ji lantas berjongkok juga di situ, setelah memandang sekian lama, dengan tertawa ia menimbrung, “Si setan hitam mungkin algojo ....??

Si gemuk menoleh dan tertawa sehingga matanya menyipit hampir tidak kelihatan, katanya, “Kau pun paham jangkrik???

“Selain melahirkan anak, segala urusan aku paham,?? sahut Siau-hi-ji.

Si gemuk terbahak-bahak, katanya, “Bagus, bagus sekali .... Eh, A Sam, apakah dia ini orang yang kau katakan???

Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa si gemuk ini dengan sendirinya adalah si hartawan termasyhur Toan Hap-pui.

Samkohnio tampak menunduk malu-malu dan mengiakan dengan suara perlahan.

Toan Hap-pui tergelak-gelak lagi, ucapnya, “Bagus, bagus sekali, pandanganmu memang tidak keliru.??

“Urusan apa ini??? Siau-hi-ji garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kau jangan tanya, segala urusan serahkan saja padaku .... O, tarik bangun aku dulu, yang kuat .... Ahhh, beginilah baru anak baik,?? dengan susah payah, dengan bantuan Siau-hi-ji barulah Toan Hap-pui dapat berdiri, tampaknya dia lebih payah daripada orang yang habis berlari sepuluh li jauhnya, napasnya terengah-engah dan mulut megap-megap.

“Bagus, bagus sekali ....?? dengan tertawa ia berkata pula pada Siau-hi-ji, “Apa kau gemar makan Ang-sio-bak? Hah, biarpun Hi-sit, Yan-oh, Pauhi atau Him-cio segala, semuanya omong kosong, yang paling lezat hanya Ang-sio-bak.??

Siau-hi-ji merasa bingung, tanyanya, “Sungguh aku tidak tahu ini ....??

Tapi cepat Toan Hap-pui memotongnya, “Kau tidak perlu tahu, segala apa tidak perlu tahu, serahkan saja padaku, tanggung beres. Makanlah di sini, kokiku paling mahir mengolah Ang-sio-bak, boleh dikatakan nomor satu di dunia.??

Maka tanpa bisa menolak dan tidak paham seluk-beluknya Siau-hi-ji lantas makan semangkuk besar Ang-sio-bak yang memang cukup lezat.

Berada di sini mulut Siau-hi-ji seakan-akan tiada gunanya lagi selain makan Ang-sio-bak belaka, sebab pada hakikatnya Toan Hap-pui tidak memberi kesempatan bicara padanya.

Petangnya ia sudah berada kembali di rumah obat dan tetap tidak tahu untuk apa Toan Hap-pui memanggilnya ke rumah tadi. Yang jelas sekarang segenap pegawai Ging-ih-tong telah berubah sikap padanya. Dengan sendirinya berubah lebih ramah dan lebih hormat.

Sehabis mandi, baru saja Siau-hi-ji berbaring di kursi malas, mendadak terdengar ribut-ribut di depan.

Seorang dengan suara yang kasar sedang berteriak, “Kuici, Bakkui, Lengka, Himta ....?? serentetan nama obat itu ternyata obat pilihan yang mahal.

Lalu terdengar sang kuasa kedua sedang bertanya dengan perlahan, “Tuan menghendaki berapa banyak obat-obat itu???

“Berapa banyak persediaan di toko obat ini, semuanya kami ambil, semuanya, setitik pun tidak boleh tersisa,?? teriak orang tadi.

Seorang lagi lantas menambahkan, “Ging-ih-tong kalian ini tentu masih ada gudang obat, coba kami dibawa melihat ke sana.?? Suara orang ini lebih nyaring dan cepat, agaknya sudah tidak sabar lagi.

Tergerak hati Siau-hi-ji, baru saja ia berdiri, segera dilihatnya sang kuasa kedua itu diseret masuk oleh dua orang lelaki kekar berjubah sulam,

Sang kuasa tidak mampu berkutik seperti anak ayam dicengkeram elang.

Di bawah cahaya pelita kelihatan kedua lelaki itu berwajah bengis, menghadapi orang begini apa yang dapat diperbuat oleh kuasa rumah obat itu?

Siau-hi-ji hanya berdiri menonton saja di samping, pegawai lain lantas membungkus seluruh obat-obatan yang diminta kedua lelaki itu, semuanya diikat menjadi empat bungkus besar.

Diam-diam Siau-hi-ji menyiapkan sebutir batu kecil, begitu bungkusan obat itu diangkat ke atas kereta mereka, perlahan ia menyelentik batu itu dan mengenai ujung bungkusan obat. Karena cahaya pelita hanya remang-remang, gerak tangannya cepat lagi, dengan sendirinya tiada seorang pun yang tahu akan perbuatannya itu.

Habis itu Siau-hi-ji merebahkan diri pula di kursi malasnya, sambil memandangi bintang yang bertaburan di langit ia bergumam, “Tampaknya bakal ada tontonan sandiwara yang menarik lagi ....??

*****

Malam semakin sunyi, semua orang di rumah obat itu sudah tidur, tapi Siau-hi-ji masih duduk di bawah cahaya berkelipnya bintang. Di tengah malam nan terang dan sunyi itu dia justru lagi mengharapkan terjadinya sesuatu yang mengejutkan.

Akan tetapi suasana tetap hening, tenang dan damai, di tengah desir angin yang lembut terkadang diselingi suara jangkrik, lebih dari itu tiada nampak tanda akan terjadinya sesuatu.

Siau-hi-ji memejamkan mata, tampaknya dia sudah ngantuk dan akan pulas.

Pada saat itulah di tengah malam sunyi tiba-tiba berkumandang suara derap kaki kuda yang dilarikan dengan cepat. Seketika mata Siau-hi-ji terbeliak, ia coba pasang telinga sambil bergumam, “Satu, dua, tiga, mengapa cuma tiga ekor kuda???

Dalam pada itu terdengar suara ringkik kuda, ringkik kuda yang berjingkrak kaget bilamana sedang lari cepat dan mendadak dihentikan. Benar juga, habis itu suara derap kaki kuda lantas lenyap. Jelas kuda-kuda itu sudah berhenti di depan Ging-ih-tong.

Menyusul itu lantas terdengar suara pintu digedor dengan keras, seorang berteriak, “He, buka pintu, lekas buka, kami ingin beli obat, ada orang sakit keras.??

Suaranya yang nyaring keras itu memang penuh rasa cemas dan gelisah.

Dengan sendirinya pegawai yang tidur di bagian depan terjaga bangun, maka suara gerundelan dan suara desakan menjadi bercampur aduk bersama dengan suara berkeriutnya pintu terbuka.

Siau-hi-ji bergumam sendiri, “Jika dugaanku tidak salah, obat-obat yang hendak dibeli orang ini pasti Kuici, Bakkui, Lengka, Himta dan sebagainya, sama seperti apa yang diborong orang tadi.??

Dan dugaannya ternyata tidak meleset, segera terdengar suara kasar tadi lagi berteriak, “Kami minta Kuici, Bakkui, Lengka, Himta … masing-masing tiga kati. Lekas, lekas bungkuskan! Penting, orang sakit keras!??

Sudah barang tentu pegawai Ging-ih-tong itu melengak heran, mengapa pembeli obat yang datang berturut-turut ini membeli obat yang sama. Dan dengan sendirinya dijawabnya obat-obat itu tidak ada, sudah habis.

Dengan sendirinya orang yang bersuara kasar tadi bertambah gelisah dan cemas, bahkan terus mengomel, “Rumah obat sebesar ini, masakah obat-obat begitu juga tidak tersedia???

Perawakan orang ini tinggi besar, sorot matanya tajam, namun merah beringas, tentu saja pegawai toko obat menjadi takut, terpaksa ia memberi penjelasan, “Rumah obat tua dan besar seperti toko kami ini dengan sendirinya mempunyai persediaan obat yang lengkap, cuma sayang dan sangat kebetulan, beberapa macam yang tuan kehendaki ini baru dua-tiga jam yang lalu diborong habis oleh pembeli lain, sebaiknya tuan coba mencari ke rumah obat yang lain saja.??

Diam-diam Siau-hi-ji mendekati dan mengintip dari celah-celah pintu, dilihatnya dahi lelaki kekar itu berkeringat saking gelisahnya, berulang-ulang ia mengomel pula, “Mengapa begini kebetulan. Masa belasan rumah obat di kota ini semuanya kehabisan beberapa macam obat ini?!??

Terlihat pula di luar pintu toko yang setengah terbuka itu menunggu seorang lelaki lain dengan menuntun dua ekor kuda, mulut kuda tampak berbusa, jelas kuda itu baru saja berlari jauh. Ada lagi seorang dengan kudanya berdiri rada jauh di sana.

Di bawah sinar bintang yang remang-remang kelihatan penunggang kuda itu memakai ikat kepala hitam, rambut panjang terurai, kiranya orang ini adalah perempuan.

Sambil membawa lilin, pegawai toko bermaksud mengantar pergi tetamunya, maklumlah dia masih ngantuk dan ingin tidur lagi.

Mendadak cahaya lilin berkelebat, perempuan baju hitam, yang menunggang kuda itu tahu-tahu sudah berada di depan pegawai toko obat itu, sorot matanya setajam sembilu.

Si pegawai terkejut dan mundur sempoyongan, tangannya ketetesan cairan lilin yang panas sehingga dia lepaskan pegangannya, tatakan lilin terus jatuh ke bawah.

Tapi tatakan lilin itu tidak jatuh ke lantai, entah cara bagaimana sudah berada di tangan perempuan baju hitam. Lilin pun tidak padam dan api lilin menyinari wajahnya yang putih pucat itu.

Dengan tajam perempuan itu menatap si pegawai, tanyanya dengan kata demi sekata, “Obat-obatan ini apakah dibeli oleh satu orang saja???

“Ya, o .. bukan ... dibeli dua orang!?? jawab si pegawai dengan suara gemetar dan ketakutan.

“Orang macam apa dan siapa mereka??? suaranya semula perlahan, tapi mendadak berubah menjadi melengking cepat penuh rasa, dendam dan benci seakan-akan dengan sekali tikam ia ingin membinasakan orang yang disebut si pegawai itu.

Keruan pegawai toko itu bertambah ketakutan, jawabnya dengan gelagapan, “En ... entahlah ... kami cuma berdagang, mana berani sembarang tanya asal usul langganan???

Perempuan baju hitam ini masih menatapnya dengan tajam tanpa berkedip seakan-akan ingin menyelami apa yang dikatakan pegawai itu sebenarnya betul atau bohong.

Padahal di bawah tatapan sinar mata yang tajam begitu siapa pula yang berani berdusta?

Kaki pegawai itu terasa lemas, untunglah perempuan baju hitam itu lantas lari keluar terus mencemplak ke atas kudanya dan dilarikan terlebih cepat daripada datangnya tadi, suara derapan kaki kuda itu pun semakin menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi.

Malam, kembali hening pula, angin masih mendesir dan mengaburkan secarik kertas di jalan raya.

Pegawai toko obat itu seperti habis bermimpi saja, waktu dia menunduk, terlihat tatakan Iilin justru tertaruh di depan kakinya, dengan sendirinya ini bukan mimpi, cepat ia berjongkok dan mengangkat lagi tatakan lilin itu .... Mendadak api lilin bergoyang, pegawai itu terkejut pula dan tatakan lilin itu tahu-tahu disambar oleh sebuah tangan.

Dengan terkejut pegawai toko obat itu berpaling dan yang terlihat ialah Siau-hi-ji.

Tangan Siau-hi-ji memegang tatakan lilin itu, sedangkan matanya memandang jauh ke sana sambil bergumam, “Tak tersangka ... sungguh tak tersangka dia adanya!??

Mata si pegawai toko obat terbelalak lebar, tanyanya, “Kau kenal perempuan tadi???

“Tentu saja kukenal dia,?? jawab Siau-hi-ji dengan tersenyum.

“Dia ... dia siapa??? tanya si pegawai.

“Dia bernama Ho-loh, seorang pelayan Ih-hoa-kiong ... meski kuberitahukan semua ini juga kau tidak paham,?? ujar Siau-hi-ji. Mendadak ia melompat perlahan, sebelah tangannya meraih kertas yang melayang-layang di udara tertiup angin tadi.

Dilihatnya di atas kertas itu tertulis nama rumah obat.

Pegawai toko obat itu pun melongok ingin tahu apa yang tertulis di kertas itu, segera ia pun bergumam, “Semua rumah obat di dalam dan luar kota ternyata tercantum pada kertas ini.??

“Kertas ini telah dibuang olehnya, jelas karena setiap rumah obat sudah didatanginya dan tetap tidak berhasil membeli obat-obat yang diperlukannya itu,?? kata Siau-hi-ji.

“Aneh, mengapa dia terburu-buru ingin membeli beberapa macam obat yang aneh ini???

“Dengan sendirinya lantaran di rumah mereka ada orang sakit aneh yang memerlukan obat-obat ini.??

“Lalu penyakit apakah itu? Kenapa memerlukan obat-obat yang istimewa ini,?? gumam si pegawai. Kemudian ia tanya Siau-hi-ji, “Tak pernah kudengar akan penyakit aneh begini, pernahkah kau mendengarnya???

Tapi waktu dia menoleh, tatakan lilin sudah tertaruh di lantai dan Siau-hi-ji sudah tidak tampak lagi.

Di tengah malam sunyi, sayup-sayup derapan kaki kuda masih terdengar, setelah berlari cepat melalui beberapa jalan samar-samar Siau-hi-ji dapat melihat ketiga ekor kuda yang dilarikan cepat tadi. Betapa pun cepat lari kuda-kuda itu ternyata tidak lebih cepat daripada Ginkang Siau-hi-ji yang kini telah mencapai taraf yang sukar dilukiskan.

Kuda-kuda itu lari di jalan raya, sedangkan Siau-hi-ji melayang-layang di atas rumah, dari wuwungan satu ke wuwungan rumah yang lain. Diam-diam ia pun bertanya di dalam hati, “Untuk apa Ho-loh terburu-buru membeli beberapa macam obat itu? Jangan-jangan ada orang yang kena racun yang mahapanas atau mahadingin? Masakah racun demikian tak dapat ditawarkan dengan obat mujarab yang dimiliki Ih-hoa-kiong???

Setelah berpikir lagi, ia menjadi bimbang, batinnya, “Orang yang menaruh racun rupanya sudah tahu mereka pasti akan mencari beberapa macam obat penawar racun ini, makanya lebih dulu beberapa macam obat yang berada di semua rumah obat itu diborongnya hingga habis, ini menandakan bahwa pemberi racun itu bertekad ingin membinasakan sasarannya itu ... Sungguh keji pemberi racun itu? Entah siapa dia? Lalu siapa pula yang diracuninya? Apakah Hoa Bu-koat?!??

Begitulah Siau-hi-ji terus berpikir bolak-balik dan entah pula girang atau khawatir perasaannya.

Setelah dilarikan sekian lama, ketiga ekor kuda tadi mendadak berhenti di depan sebuah dinding yang tinggi, dinding itu ada sebuah pintu kecil, rupanya sebuah pintu belakang.

Pintu itu tidak dipalang dari dalam, maka begitu Ho-loh melompat turun dari kudanya segera ia menolak pintu dan masuk ke situ.

Dengan tangkas dan enteng saja Siau-hi-ji melayang ke atas dinding yang tinggi itu terus meluncur ke sana, begitu cepat gerakannya sehingga kedua lelaki di bawah itu sama sekali tidak tahu.

Di balik dinding tinggi itu adalah sebuah halaman luas dengan taman, ada jembatan dan sungai kecil, ada gardu dan loteng megah di sebelah sana, di tengah pepohonan yang rimbun ada sebuah jalanan berbatu terawat bersih.

Ho-loh kelihatan berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri jalan berbatu itu sehingga menerbitkan suara gemertak, kain hitam ikat kepalanya sudah ditanggalkannya sehingga disanggulnya kelihatan sebiji mutiara besar bercahaya kelip-kelip.

Siau-hi-ji terus melayang ke puncak pohon dan mengikuti cahaya kelip-kelip mutiara itu.

Sinar mutiara itu kemudian lenyap di balik semak-semak pohon, di tengah pepohonan itu ada beberapa buah rumah indah.

Tempat sembunyi Siau-hi-ji di balik daun pohon yang lebat sehingga tidak mudah diketahui orang lain. Diam-diam ia mengintai ke bawah, sehingga dilihatnya seraut wajah yang cakap, wajah Hoa Bu-koat.

Wajah yang biasanya cerah dan penuh percaya pada diri sendiri itu tampak gelisah dan cemas, melihat kedatangan Ho-loh, cepat dia menyongsong maju dan kalimat pertama yang ditanyakan adalah, “Mana obatnya???

“Tak dapat dibeli,?? jawab Ho-loh dengan suara perlahan sambil memutar kain hitam ikat kepalanya itu.

Sebelum Ho-loh menjawab sebenarnya Hoa Bu-koat sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan pelayan itu demi melihat air mukanya yang murung. Tiba-tiba ia rebut kain hitam dari tangan Ho-loh dan menegas, “Meng ... mengapa tak dapat membelinya???

Biasanya tingkah laku Ho Bu-koat sangat sopan santun dan ramah tamah, terhadap kaum wanita bahkan sangat halus dan menghormat, tapi kini dia telah kehilangan kepribadiannya yang biasa.

Melihat perubahan sikapnya itu segera Siau-hi-ji dapat menerka hubungannya dengan orang yang sakit itu pasti sangat erat, kalau tidak rasanya tidak mungkin dia berubah bingung begitu.

Namun Hoa Bu-koat yang tampaknya ramah tamah itu sesungguhnya berhati angkuh, biasanya tidak menaruh perhatian sebesar itu terhadap seseorang, lantas siapakah gerangannya?

Begitulah sedang Siau-hi-ji merasa heran dan menerka-nerka, dilihatnya Ho-loh dan Hoa Bu-koat bicara beberapa patah kata lagi dan tidak terdengar olehnya, waktu dia kembali menaruh perhatian, namun kedua orang itu sudah masuk ke rumah.

Cahaya lampu tertampak di balik jendela, samar-samar kelihatan dua sosok bayangan, seorang menunduk dengan kopiahnya yang bergerak seperti orang lagi gemetar saking cemasnya.

Tak perlu dijelaskan lagi orang ini pasti Hoa Bu-koat adanya.

Seorang lagi berkopiah tinggi berjenggot panjang duduk menegak, mungkin sikapnya sangat kereng. Meski sudah diamat-amati, tetap Siau-hi-ji tidak tahu siapa yang seorang ini.

Sementara desiran angin rada mereda, suasana malam semakin sunyi, sampai-sampai suara Hoa Bu-koat yang menghela napas panjang sayup-sayup terdengar. Maka Siau-hi-ji juga menahan napas, tidak berani menerbitkan sesuatu suara.

Pada saat itulah tiba-tiba seorang bicara dengan suara ramah dan kalem, “Orang baik tentu dikaruniai baik, maka Kongcu juga tidak perlu terlalu sedih .... Padahal, bahwa nona Ho-loh akan pulang dengan tangan kosong memang juga sudah kuduga sebelumnya.??

Begitu mendengar suara orang ini, seketika jantung Siau-hi-ji berdetak keras.

Didengarnya Hoa Bu-koat lagi menghela napas dan berkata, “Meski obat-obatan itu tergolong mahal, tapi bukan bahan obat yang sukar dicari, namun kota Ankhing sebesar ini ternyata tak dapat dibeli beberapa macam obat ini, sungguh aku tidak mengerti.??

“Tentunya orang itu sudah memperhitungkan dengan tepat bahwa racunnya hanya dapat ditawarkan dengan beberapa macam obat ini,?? kata suara tadi. “Dengan sendirinya pula dia sudah tahu bahwa Kongcu pasti juga paham pengobatan ini, makanya dia mendahului memborong habis seluruh persediaan di pasaran, kalau tidak kan berarti sia-sia saja dia meracuni orang.??

Apa pun yang dikatakan suara itu seakan-akan selalu dilakukan dengan tenang dan sabar, diucapkan dengan sewajarnya. Maka sampai di sini Siau-hi-ji sudah dapat memastikan pembicara ini jelas Kang Piat-ho adanya.

Teringat kepada kelicinan dan keculasan orang ini, tanpa terasa Siau-hi-ji mengkirik sendiri, Hoa Bu-koat masih mendingan, kalau dirinya kepergok orang ini jangan harap dapat lolos dengan hidup.

Karena itu Siau-hi-ji tambah tak berani bergerak sedikit pun di tempat sembunyinya.

Terdengar Hoa Bu-koat lagi berkata dengan gemas, “Betul, orang itu tentu sudah memperhitungkan obat mujarab Ih-hoa-kiong kami juga tidak mampu menawarkan racun mahadingin ini, cuma ... cuma ada permusuhan apakah antara dia dan dia itu? Mengapa dia sengaja meracuni dia???

Sudah tentu Siau-hi-ji tidak tahu siapa yang dimaksud “dia?? yang pertama dan siapa pula “dia?? yang kedua, maka ia menjadi gelisah juga.

“Mungkin sasarannya bukan ‘dia’ melainkan Kongcu sendiri,?? ujar Kang Piat-ho.

“Tapi sejak kukeluar rumah belum pernah bermusuhan dengan siapa pun, untuk apakah orang itu hendak mencelakai diriku? Lantas siapakah gerangan orang ini? Sungguh aku tidak dapat menerkanya.??

“Bila Kongcu ingin tahu siapa dia, kukira tidaklah sulit,?? ujar Kang Piat-ho.

Hoa Bu-koat merenung sejenak, katanya kemudian, “Maksudmu ....??

Kang Piat-ho seperti tersenyum, lalu berkata dengan perlahan, “Asalkan Kongcu tidak berkhawatir bagi keadaan nona Thi dan mau ikut keluar bersama Cayhe sebentar, rasanya besar kemungkinan Cayhe akan dapat menemukan orang yang meracuni nona Thi itu!??

Nona Thi?! yang keracunan itu jangan-jangan Thi Sim-lan yang dimaksudkan?

Sungguh kejut Siau-hi-ji tak terkatakan, hampir saja ia terjungkal dari atas pohon. Seketika daun pohon berkeresek-keresekan.

Segera terlihat Hoa Bu-koat berbangkit dan membentak, “Siapa itu yang berada di luar???

Saking tegangnya jantung Siau-hi-ji serasa akan melompat keluar dari rongga dadanya.

Terdengar Kang Piat-ho berkata, “Suara angin, mana ada orang. Biarlah kita menjenguk dulu keadaan nona Thi saja.?? Lalu kedua orang lantas meninggalkan kamar.

Siau-hi-ji merasa lega, pikirnya, “Syukur Thian memberkati, biasanya Kang Piat-ho sangat cerdik, sekali ini ia rupanya lengah ….?? Sampai di sini ia terkesiap pula, “Ah, tak mungkin, biasanya Kang Piat-ho sangat hati-hati, tak mungkin ia lena begini, di balik ini tentu ada akal bulusnya.??

Siau-hi-ji memang mahacerdik, jalan pikirannya dapat bekerja cepat, begitu ingat segera ia bermaksud kabur. Walaupun begitu toh tetap terlambat. Di tengah kegelapan dua sosok bayangan telah melayang tiba secepat burung terbang.

Tentu saja Siau-hi-ji terkejut, sekilas lirik segera diketahuinya yang datang memang betul Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat berdua. Baju Hoa Bu-koat melambai-lambai tertiup angin sehingga seperti dewa yang baru turun dari kayangan, sepasang matanya gemerdep dalam kegelapan penuh mengandung rasa benci dan dendam, agaknya ia menyangka orang yang mengintai ini pasti ada sangkut-pautnya dengan peracunan Thi Sim-lan.

Meski tubuh Kang Piat-ho juga terapung, tapi jauh ketinggalan di belakang Hoa Bu-koat, agaknya bukan karena Ginkangnya lebih rendah, tapi mungkin karena sudah ada Hoa Bu-koat di depan, maka dia tidak perlu terburu-buru menyerempet bahaya dan kalau bisa mungkin juga tidak unjuk muka.

Biarpun ilmu silat Siau-hi-ji kini sudah lain daripada dulu, tapi ketemu kedua seteru ini mau tak mau ia rada jeri juga. Namun dia sudah biasa menyerempet bahaya, mati hidup baginya dipandangnya seperti makan sehari-hari, soal rutin, maka biarpun terkejut ia tidak menjadi bingung, sekali ia kerahkan tenaga murni, “krak??, dahan pohon yang didudukinya lantas patah, tubuh lantas anjlok ke bawah.

Harus diketahui bahwa Hoa Bu-koat dan Kang Piat-ho sedang melayang cepat ke depan, kalau Siau-hi-ji melompat turun untuk menghindar betapa pun pasti sukar meloloskan diri dari kejaran kedua tokoh besar ini. Tapi sekarang dia anjlok lurus ke bawah, begitu kaki menyentuh tanah seketika ia menerobos lewat di bawah kaki kedua orang itu.

Karena tubuh Hoa Bu-koat dan Kang Piat-ho terapung di udara, untuk anjlok seketika saja sukar apalagi hendak memutar balik. Maka begitu Siau-hi-ji merasa angin menyambar lewat di atas kepalanya, tanpa ayal ia terus melayang ke depan secepatnya.

Arah kedua pihak kini berlawanan, Siau-hi-ji sudah memperhitungkan bilamana Hoa Bu-koat memutar balik mengejarnya tentu akan ketinggalan sejenak, selisih waktu ini memang cuma sekejap, tapi bagi Ginkang Siau-hi-ji sekarang cukup dengan sekejap itu saja pasti dapat meninggalkan kedua pengejarnya.

Perhitungan Siau-hi-ji ini boleh dikatakan cukup tepat, perubahan tindakannya juga teramat cepat.

Tak terduga, meski Kang Piat-ho tidak dapat berhenti seketika dan tetap melayang lurus ke depan, tapi telapak tangannya sempat mengayun balik ke belakang, ternyata sebelumnya ia sudah menyiapkan senjata rahasia, maka beberapa bintik perak lantas menghambur ke punggung Siau-hi-ji.

Tubuh Hoa Bu-koat yang terapung itu mendadak juga mengayun sebelah kakinya sehingga tepat menjejak pada sebatang pohon, dengan tenaga tolakan ini seluruh tubuhnya lantas berganti arah, kepala dulu dan kaki belakang terus meluncur balik, cepatnya ternyata tidak kalah daripada sambaran senjata rahasia yang dihamburkan Kang Piat-ho.

Kejadian itu sedemikian cepatnya, begitu Siau-hi-ji mendengar suara mendenging, lalu bintik-bintik perak sudah menyambar tiba. Untuk meloncat ke atas terasa tidak keburu lagi, terpaksa dia menjatuhkan diri ke tanah terus berguling-guling, maka terdengar suara denting nyaring, bintik-bintik perak dengan tepat menancap di tanah tempat jatuhnya tadi.

Mati hidupnya sungguh boleh dikatakan cuma selisih sekian detik saja, belum lagi hilang kejut Siau-hi-ji dan belum sempat melompat pula ke depan, baru saja dia angkat kepala, tahu-tahu kesiur angin lengan baju Hoa Bu-koat terasa sudah ada di atas kepalanya.

Dalam keadaan demikian Siau-hi-ji serba susah, mundur tak dapat, menghindar juga sukar. Lebih celaka lagi tubuh Hoa Bu-koat yang terapung di atas itu terus menukik ke bawah dan kedua tangannya menghantam sekaligus.

Tak tahunya pada saat itu juga tujuh bintik perak yang menancap di tanah tadi sekonyong-konyong meluncur ke atas dan cepat menyambar ke muka Hoa Bu-koat. Perubahan cepat dan mendadak ini tampaknya sukar dihindarkan Hoa Bu-koat.

Betapa pun lihainya Kang Piat-ho juga tidak menyangka akan kejadian ini, pihak lawan ternyata dapat memperalat senjata rahasia yang disambitkannya tadi untuk menyelamatkan diri. Mau tak mau ia berseru kaget juga.

Tapi Hoa Bu-koat tidak menjadi gugup, kedua tangan mendadak merapat, ketujuh bintik perak itu pun lenyap seketika, semuanya tertangkap olehnya. Kejadian ini hanya berlangsung sekejap saja, namun telah mengalami gerak perubahan beberapa kali.

Ketika sekali sampuk Siau-hi-ji membikin bintik perak yang menancap di tanah itu terpental ke atas, berbareng itu dengan tenaga pukulannya ia pun melayang ke depan, dalam seribu kerepotannya ia sempat melirik, dilihatnya tenaga dalam Hoa Bu-koat yang luar biasa itu, tanpa terasa ia bersuara memuji, “Bagus!??

Sedangkan Kang Piat-ho juga tercengang oleh gerak perubahan Siau-hi-ji yang aneh dan sukar dibayangkan itu, segera ia berseru, “Hebat benar kepandaian sahabat ini, apa maksud kedatanganmu, mengapa tidak meninggalkan sesuatu pesan?!??

Tanpa menoleh Siau-hi-ji menjawab dengan suara yang dibikin kasar, “Ada urusan apa boleh dibicarakan besok saja, sampai bertemu!??

Belum habis ucapannya, dengan dingin Hoa Bu-koat lantas membentak, “Kepandaian sahabat memang luar biasa, kalau engkau pergi begini saja kan sayang.??

Suaranya serasa berada tepat di belakang Siau-hi-ji, tentu saja Siau-hi-ji tidak berani berpaling, bahkan bersuara menanggapi juga tidak berani, sekuat tenaga ia melayang ke depan.

Dilihatnya berderet-deret rumah telah dilintasinya, tapi ternyata belum juga keluar dari lingkungan perumahan ini. Entah rumah keluarga siapa, ternyata begini luas.

Terdengar Kang Piat-ho berkata pula, “Umur sahabat ini tampaknya belum begitu banyak, bukan saja gerak-geriknya cekatan, bahkan daya pikirnya juga cepat, ada ksatria muda begini di dunia Kangouw, kalau Cayhe tidak mengikat persahabatan denganmu sungguh berdosa rasanya.??

Sembari bicara ia pun terus mengejar dan sedikit pun tidak ketinggalan, nada ucapnya terdengar wajar, seperti seorang bicara dengan seenaknya, agaknya dia yakin Siau-hi-ji pasti takkan lolos dari tangannya.

“Betul, melulu Ginkang yang tinggi ini, biarpun belum terhitung nomor satu di dunia, tapi juga sudah jarang ada bandingannya,?? demikian Hoa Bu-koat menambahkan. Diam-diam ia pun heran mengapa sebegitu jauh dirinya tak berhasil menyusul lawan.

Maklumlah, biarpun Ginkangnya memang lebih tinggi setingkat daripada Siau-hi-ji, tapi orang yang lari itu dapat sembunyi ke sana kemari dan mengubah arah sesukanya, dengan sendirinya lebih bebas daripada orang yang mengejarnya.

Terdengar Kang Piat-ho berkata pula, “Bukan saja Ginkangnya tinggi, bahkan tenaga murni orang ini juga sangat kuat. Sekali ia berlari secepat ini, mungkin kita berdua tak dapat menyusulnya lagi.??

Demi mendengar ucapan ini, sekonyong-konyong Siau-hi-ji menyusup ke bawah. Di lingkungan ini memang banyak deretan rumah dengan serambi yang berliku-liku dan pepohonan lebat, sungguh bodoh kalau Siau-hi-ji tidak memanfaatkan keadaan ini.

Sebenarnya maksud Kang Piat-ho berucap begitu adalah untuk membesarkan hati Siau-hi-ji, sebab ia khawatir kalau anak muda itu melompat ke bawah dan menyembunyikan diri. Tak tahunya Siau-hi-ji memang setan cilik yang mahacerdik, sekali mendengar ucapan Kang Piat-ho tadi segera tergerak pikirannya dan cepat memanfaatkan lingkungan yang menguntungkan itu.

Diam-diam Kang Piat-ho mendongkol, namun sudah terlambat, Siau-hi-ji telah berputar ke sana sini, habis itu mendadak ia mendobrak sebuah jendela dan melompat masuk ke situ.

Cahaya lampu di rumah-rumah ini sudah seluruhnya dipadamkan, meski tak diketahuinya di dalam rumah ini ada orang atau tidak, tapi rumah ini sedemikian luas, dapat dibayangkan ruangannya pasti kosong. Dan rumah ini memang betul tiada penghuninya.

Baru saja Siau-hi-ji merasa lega, “serrr??, tahu-tahu Hoa Bu-koat ikut melayang masuk, malahan Kang Piat-ho juga tidak ketinggalan.

Di dalam rumah gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan. Waktu Siau-hi-ji melayang pula ke depan, hampir saja sebuah meja ditumbuknya terguling.

Kang Piat-ho tertawa dan berseru, “Lebih baik keluar saja, sahabat, Cayhe Kang Piat-ho, kujamin dengan nama ‘Kang-lam-tayhiap’, asalkan sahabat dapat menjelaskan asal-usulmu, tanggung engkau takkan dibikin susah.??

Kalau saja ucapan ini ditujukan kepada orang lain bukan mustahil orang itu akan percaya penuh. Tapi Siau-hi-ji cukup tahu orang macam apakah ‘Kang-lam-tayhiap’ ini, apalagi kalau siapa dirinya diketahui, maka mau tak mau pasti akan ‘dibikin susah’ olehnya.

“Jika sahabat tak mau menuruti nasihatku, tentu engkau akan menyesal nanti,?? kata Kang Piat-ho pula.

Diam-diam Siau-hi-ji angkat meja yang hampir terguling tadi terus dilemparkan ke arah Kang Piat-ho, di tengah deru angin itu dia terus melompat ke sudut kiri.

Dia memperhitungkan di sudut kiri sana pasti ada daun pintu dan dugaannya tidak meleset, begitu terdengar suara gemuruh jatuhnya meja, berbareng ia pun mendepak terpentang pintu sana dan menerobos keluar.

Rumah di sebelah ini terlebih gelap lagi dan kegelapan selalu bermanfaat baginya. Dia terus sembunyi di dalam kegelapan tanpa bergerak. Selagi menimang cara bagaimana agar dapat lolos, tiba-tiba pandangannya terbeliak, Kang Piat-ho telah menyalakan lampu di ruangan tadi.

Begitu cahaya lampu menyala, serentak Hoa Bu-koat juga melompat masuk. Sekenanya Siau-hi-ji tarik sebuah kursi terus dilemparkan, berbareng ia pun melompat mundur, ‘blang’, sebuah jendela dijebolnya, habis itu ia terus menerjang masuk kamar di seberang.

Setelah terjang sini dan seruduk sana sehingga menerbitkan suara gedobrakan, penghuni rumah-rumah ini juga bukan orang mampus, dengan sendirinya sebagian besar terjaga bangun, seketika suara orang ribut berjangkit dan sama berteriak menanyakan siapa dan ada urusan apa?

Dengan suara lantang Kang Piat-ho lantas menjawab, “Rumah ini kedatangan penjahat, hendaknya semua orang jangan gelisah dan sembarangan keluar agar tidak terkena senjata nyasar. Cukup asalkan menyalakan lampu masing-masing dan penjahat pasti takkan lolos!??

Diam-diam Siau-hi-ji mengeluh dan mengakui kelihaian Kang Piat-ho, apa yang dikatakannya selalu kena sasarannya. Maklumlah, yang diharapkan justru kalau suasana menjadi kacau-balau, dan kesempatan ini akan digunakan untuk kabur dengan mudah. Malahan ia pun berharap lampu jangan dinyalakan, sebab kalau keadaan terang benderang, jangankan hendak kabur, untuk sembunyi saja sulit.

Begitulah dari berbagai tempat lantas terdengar orang berseru, “Itu suara Kang-tayhiap, kita harus turut perkataannya!?? Menyusul lampu di segenap pelosok rumah-rumah itu lantas dinyalakan.

Waktu Siau-hi-ji mengawasi, ternyata dirinya sekarang berada di dalam sebuah kamar tulis, kamar ini terpajang dengan indah, di samping meja tulis ada sebuah bangku peranti menyulam.

Ia menjadi heran, mengapa di kamar tulis ada peralatan menyulam kaum wanita?

Dalam pada itu Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat sudah menyusul sampai di luar jendela. Cepat Siau-hi-ji mundur ke arah sebuah pintu.

Pada saat itulah dari belakang pintu tiba-tiba ada seorang menegur, “Siapa itu di luar??? Jelas itulah suara seorang perempuan.

Semula Siau-hi-ji terkejut karena di balik pintu itu ada orangnya, tapi segera pula ia merasa girang, tanpa ragu dan ayal ia terus menolak pintu dan menerobos ke situ.

Menurut perhitungannya, Kang Piat-ho yang munafik itu tentu akan menjaga gengsi dan tidak berani sembarangan menerjang ke kamar wanita, sedangkan Hoa Bu-koat lebih tidak mungkin berlaku keras di depan orang perempuan.

Akan tetapi Siau-hi-ji tidak pedulikan perempuan atau bukan, begitu dia menerjang masuk sekaligus ia sirapkan lampu, sekilas ia terlihat di pembaringan sana tertidur seorang perempuan, segera ia melompat ke sana, secepat kilat ia dekap mulutnya, tangan lain menahan pundaknya, lalu mengancam dengan suara tertahan, “Jangan bersuara jika kau tidak ingin mampus???

Karena menerobos ke kamar gadis secara kasar, betapa pun hati Siau-hi-ji merasa tidak enak, maka biarpun mengancam juga tidak terlalu menggunakan tenaga.

Di luar dugaannya tenaga perempuan itu ternyata kuat luar biasa, bahkan gerak tangannya juga teramat cepat, tahu-tahu kedua tangan Siau-hi-ji berbalik kena dicengkeram olehnya.

Sungguh kejadian yang tak pernah terpikir oleh Siau-hi-ji, dalam terkejutnya dia bermaksud meronta, akan tetapi perempuan itu telah menindihnya di atas tempat tidur, sikutnya juga menahan di tenggorokannya. Seketika setengah badan Siau-hi-ji terasa kaku kesemutan, ia benar-benar tak bisa berkutik dikerjai orang.

Diam-diam ia menghela napas, katanya dengan tersenyum getir, “Sudahlah, tamatlah aku sekali ini .... Agaknya hidupku ini memang ditakdirkan harus mati di tangan orang perempuan!??

Sementara itu suara Kang Piat-ho sudah berjangkit di luar, benar juga dia tidak berani masuk, hanya bertanya di luar, “Nona, apakah penjahat itu menyusup ke kamarmu???

Dalam keadaan demikian Siau-hi-ji sudah memejamkan mata dan pasrah nasib, ia tahu apa yang bakal dijawab oleh si nona.

Tak tahunya perempuan itu lantas berseru, “Betul, tadi memang ada seorang menerobos ke sini, tapi segera kabur lagi melalui jendela sebelah, mungkin lari ke taman, lekas Kang-tayhiap memburu ke sana.??

Mimpi pun Siau-hi-ji tidak menyangka akan jawaban perempuan ini, didengarnya Kang Piat-ho mengucapkan terima kasih, lalu buru-buru lari pergi.

Kejut dan girang Siau-hi-ji, seketika ia jadi terkesima. Perlahan-lahan perempuan itu lantas melepaskan tangannya dan seperti lagi tertawa lirih.

Siau-hi-ji tidak tahan, tanyanya, “Meng ... mengapa nona menolong diriku???

Perempuan itu tidak lantas menjawab, tapi merapatkan pintu lebih dulu.

Di dalam rumah gelap gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan, dengan sendirinya Siau-hi-ji tak dapat melihat bagaimana bentuk perempuan ini, maka ia menjadi rada curiga, segera ia melompat bangun dan bertanya pula dengan suara tertahan, “Selamanya Cayhe tidak kenal nona, tapi nona sudi menolongku, entah apa sebabnya???

Terhadap perempuan, tak peduli perempuan macam apa pun, Siau-hi-ji tak pernah menaruh kepercayaan sekalipun perempuan ini baru saja telah menyelamatkan jiwanya.

Tapi perempuan ini mendadak tertawa, katanya, “Apakah betul kau dan aku tidak saling kenal???

“Perempuan yang kenal padaku selalu ingin membunuhku dan tidak mau menolongku,?? kata Siau-hi-ji.

Kembali perempuan itu tertawa, katanya, “Haha, mungkin nyalimu sudah pecah saking takutnya sehingga suaraku juga tidak kau kenal lagi.?? Bicaranya tadi dengan suara lemah lembut, sekarang dia tertawa keras sehingga bersemangat lelaki.

Seketika Siau-hi-ji dapat mengenalnya, serunya, “He, engkau Samkohnio???

“Akhirnya kau ingat juga padaku,?? kata perempuan itu.

Kejut dan girang Siau-hi-ji, tanyanya, “He, mengapa engkau berada di sini???

“Ini rumahku, kalau aku tak berada di sini lalu di mana??? jawab Samkohnio.

Siau-hi-ji melengak, katanya kemudian dengan tertawa, “Ya, benar, aku sudah pikun barangkali, masa tidak tahu perumahan ini adalah tempat kediaman Toan Hap-pui. Sungguh sangat luas, begitu masuk ke sini aku seperti masuk ke lingkaran setan.??

“Jangankan dirimu, aku sendiri terkadang juga kesasar,?? kata Samkohnio.

“Tapi mengapa Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat juga berada di sini???

“Kedatangan mereka justru menyangkut persoalan hilangnya kiriman barang ayahku itu.??

“Wah, sungguh teramat kebetulan, mengapa segala kejadian yang kebetulan di dunia ini selalu kepergok olehku,?? kata Siau-hi-ji sambil menghela napas, “Tak pernah kuduga bahwa Kang Piat-ho bisa berada di rumahmu dan kebetulan aku pun menerobos ke rumahmu ini ....??

“Dan mereka pun tak pernah menyangka bahwa aku kenal kau,?? sambung Samkohnio dengan tertawa.

“Benar, kalau tidak masakah rase tua itu mau percaya pada keteranganmu tadi,?? kata Siau-hi-ji.

Maklumlah, betapa pun Kang Piat-ho tidak menyangka putri kesayangan Toan Hap-pui bisa menolong seorang penjahat, sebab itulah dia percaya kepada keterangan Samkohnio tadi yang mengatakan penjahat itu sudah lari.

Samkohnio lantas tanya pula, “Meng ... mengapa kau dan Kang-tayhiap bisa bermu ....??

“Kang-tayhiap apa? Hm, tayhiap sontoloyo, tayhiap persetan!?? jengek Siau-hi-ji.

“Aneh, siapa yang tak tahu namanya sebagai Kang-lam-tayhiap??? kata Samkohnio. “Jika dia bukan tayhiap, habis siapa lagi???

“Kalau dia terhitung tayhiap, maka segala setan belang juga akan menjadi tayhiap,?? kata Siau-hi-ji.

“Mungkin kau dibikin dongkol olehnya, maka kau benci padanya,?? ujar Samkohnio. “Padahal sebenarnya dia seorang baik, begitu mendengar barang kiriman kami dirampok, segera dia berkunjung kemari untuk membela kami ....??

“Hm, ini namanya musang mengucapkan selamat kepada ayam,?? jengek Siau-hi-ji.

“Maksudmu dia tidak berniat baik, tapi apa pula maksud jahatnya???

“Jalan pikiran manusia begitu selama hidupmu juga takkan paham,?? kata Siau-hi-ji.

Samkohnio duduk miring di atas tempat tidur, tepat di samping Siau-hi-ji, hati si nona berdebar-debar dan kepala tertunduk, setelah termenung sekian lama, kemudian ia berkata pula, “Hoa-kongcu itu juga ... juga Kang Piat-ho yang mengajaknya kemari. Konon Hoa-kongcu ini tergolong pahlawan nomor satu di Kangouw dan juga lelaki tercakap di dunia, tapi kulihat lagak-lagunya yang kebetina-betinaan itu rasanya tidak cocok.??

Siau-hi-ji merasa senang karena si nona mencaci maki Hoa Bu-koat, ia pegang tangannya dan berkata, “Benar, pandanganmu memang jitu dan ucapanmu juga tepat.??

“Aku ... aku ....?? dalam kegelapan tangannya dipegang Siau-hi-ji, Samkohnio merasa hatinya berdetak keras, muka merah dan tenggorokan serasa kering sehingga sukar untuk bicara lagi.

Diam-diam ia khawatir kalau-kalau Siau-hi-ji melakukan ‘sesuatu’ padanya, tapi sebenarnya ia pun berharap anak muda itu melakukannya, semakin banyak yang diperbuatnya semakin baik.

Selagi dia merasa kebat-kebit, sekonyong-konyong Siau-hi-ji berbangkit dan menubruk ke atas tubuhnya, seketika wajah Samkohnio menjadi panas seperti dibakar, serasa napas berhenti.

“Ap ... apa yang hendak kau lakukan??? tanyanya dengan terputus-putus.

“Sssstt, jangan bersuara!?? tiba-tiba Siau-hi-ji membisiki telinganya.

Sekujur badan Samkohnio menjadi lemas seperti tak bertulang lagi, katanya dengan tergagap, “Aku ... aku ti ... tidak mau ....?? Di mulut dia pura-pura tidak mau, tapi badan tidak bergerak sama sekali, bahkan mata pun sudah terpejam.

Kalau anak perempuan sudah memejamkan matanya, itu tandanya sudah terserah apa yang hendak kau lakukan atas dirinya.

Siapa tahu Siau-hi-ji ternyata tidak melakukan sesuatu tindak lanjut lagi, malahan ia terus bangkit berdiri dan menarik napas lega, katanya, “Wah, sungguh berbahaya! Baru saja ada Ya-heng-jin (orang lalu di waktu malam) di atas rumah, apakah kau tidak mendengarnya???

Buset! Jadi Samkohnio tadi hanya salah wesel dan menghayalkan akan terjadinya “sesuatu??.

Seketika Samkohnio melenggong dalam kegelapan, darah seluruh badannya serasa tersedot habis sekaligus, hatinya terasa kosong blong. Ia termangu-mangu agak lama, dengan hampa kemudian ia berkata, “Aku ... aku tidak mendengar apa-apa.??

Siau-hi-ji berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, “Hoa-kongcu yang kau maksudkan itu bukankah mempunyai seorang teman yang keracunan???

“Dari mana kau tahu??? tanya Samkohnio.

“Apabila dia memiliki kepandaian setinggi itu, mengapa temannya sampai diracun orang???

“Petang kemarin,?? demikian tutur Samkohnio, “Hoa-kongcu itu bersama Kang ... Kang Piat-ho keluar bersama, hanya nona Thi saja yang berada di kamar tamu, pada waktu itulah ada orang mengantarkan sesuatu oleh-oleh untuk Hoa-kongcu dan nona Thi sendiri yang menerimanya, di antara oleh-oleh itu ada makanan kecil, mungkin nona Thi telah mencicipi sedikit makanan itu dan akibatnya keracunan.??

“Siapa yang mengirim oleh-oleh itu???

“Oleh-oleh itu langsung diterimakan kepada nona Thi, orang lain tidak ada yang tahu.??

“Masakah nona Thi itu tidak menjelaskan???

“Waktu Hoa-kongcu pulang, nona Thi sudah pingsan keracunan dan tak dapat bicara lagi.??

“Mengapa dia begitu ceroboh dan sembarangan makan barang antaran orang lain??? ucap Siau-hi-ji dengan mengernyitkan kening, setelah berpikir sejenak, lalu dia berkata pula, “Ya, mungkin pengirim oleh-oleh itu adalah kenalannya yang dipercayainya, makanya tanpa sangsi dia makan begitu saja. Tapi ... orang yang dipercaya mengapa pula meracuni dia???

Samkohnio menghela napas, katanya, “Nona Thi itu sungguh cantik dan lemah lembut, dia dan Hoa-kongcu benar-benar suatu pasangan yang sangat setimpal. Kalau sampai nona Thi tidak tertolong, sungguh suatu hal yang sangat harus disesalkan.??

“Kau ... kau bilang dia dan Hoa...?? sedapatnya Siau-hi-ji menggereget menahan perasaannya.

“Mereka sungguh amat kasih sayang dan membuat kagum setiap orang yang melihatnya,?? tutur Samkohnio. “Lebih-lebih Hoa-kongcu, boleh dikatakan menuruti segala kehendak nona Thi itu, ya menyanjungnya, ya meladeninya, ya ....??

Mata Siau-hi-ji serasa gelap, dada hampir meledak, tanpa terasa ia berteriak, “Benci aku!??

“Sia ... siapa yang kau benci??? tanya Samkohnio.

“O, kumaksudkan ... orang yang meracuninya itu,?? jawab Siau-hi-ji.

“Sampai saat ini Hoa-kongcu dan Kang Piat-ho belum lagi mengetahui siapa yang meracunnya itu.??

Mendadak Siau-hi-ji tergelak-gelak, “Hahaha, begitu kasih sayang Hoa-kongcu padanya, tapi ... tapi dia tak mampu menyelamatkan jiwanya ... hahaha ... hehe ....??

Melihat cara tertawa Siau-hi-ji rada aneh, dengan heran Samkohnio lantas tanya, “Kenapa kau ini???

“O, aku tidak apa-apa, aku sangat gembira, belum pernah aku segembira seperti sekarang ini,?? jawab Siau-hi-ji.

Samkohnio menunduk, katanya, “Berada bersama ... bersamaku kau betul-betul merasa gembira???

Tampaknya dia salah terima lagi, disangkanya Siau-hi-ji benar-benar naksir padanya.

Sejenak Siau-hi-ji terdiam, mendadak ia tarik tangan Samkohnio pula dan berkata, “Sekarang ingin kumohon sesuatu padamu, apakah engkau dapat menerimanya???

Muka Samkohnio merah pula, jantungnya berdetak lebih keras, napasnya agak sesak, dengan kepala tertunduk dia menjawab, “Apa pun yang kau minta padaku pasti akan kusanggupi.??

“Kumohon kau suka mengantar aku keluar dari sini dan jangan sampai diketahui orang lain,?? ucap Siau-hi-ji dengan girang.

Kembali hati Samkohnio serasa kosong blong, malahan juga seperti kena dicambuk satu kali, seketika ia melenggong kesima.

Entah sudah berapa lamanya, akhirnya ia berkata dengan suara terputus-putus, “Apakah sekarang juga kau hendak ... hendak pergi???

“Ya, makin cepat makin baik,?? ucap Siau-hi-ji.

Perlahan Samkohnio berbangkit sambil menghela napas, “Baiklah, akan kuantar kau keluar.??

“Terima kasih banyak-banyak,?? Siau-hi-ji tertawa.

Di luar dugaannya mendadak Samkohnio terus berteriak, “Tolong ... tolong, di sini ada penjahat.??

Seketika wajah Siau-hi-ji menjadi pucat, ia mencengkeram tangan Samkohnio dan berkata, “Ap ... apa maksudmu ini???

Samkohnio tidak menjawab. Dalam pada itu terdengar suara berkibarnya kain baju, tahu-tahu Kang Piat-ho sudah berada di luar dan sedang bertanya di mana penjahat yang dimaksud? Datangnya sungguh cepat luar biasa. Keruan Siau-hi-ji terkejut, ya gemas, ya dongkol.

“Perempuan, dasar perempuan! Demi untuk menahanku di sini, dia tidak sayang mengorbankan diriku. Sejak mula juga kutahu perempuan adalah bibit penyakit, mengapa aku masih percaya padanya???

Begitulah Siau-hi-ji berpikir, ia sudah bertekad akan menerjang keluar dengan mati-matian, jika perlu.

Tak tersangka Samkohnio lantas berseru, “Baru saja kulihat bayangan seorang seperti lari ke tempat tinggal nona Thi.??

Belum lenyap suaranya, segera Hoa Bu-koat berteriak, “Wah celaka! jangan-jangan kita tepedaya oleh akal ‘memancing harimau meninggalkan gunung’ bangsat itu. Lekas kita ke sana!?? Menyusul mana lantas terdengar angin berkesiur, hanya sekejap saja kedua orang itu sudah pergi jauh.

Siau-hi-ji menghela napas lega, ucapnya dengan meringis, “Sungguh engkau membikin kaget padaku.??

“Jangan khawatir, aku takkan membikin susah padamu,?? kata Samkohnio dengan tenang.

“Tapi engkau telah ....??

“Aku sengaja berteriak memancing kepergian mereka agar dapat membantumu keluar dengan leluasa,?? Samkohnio terus ambil sebuah mantel dan dilemparkan pada Siau-hi-ji, katanya pula, “Pakai dan kubawa kau keluar.??

Entah bagaimana perasaan Siau-hi-ji, ia hanya bergumam, “Perempuan ... sungguh aku pun tidak jelas makhluk apakah sebenarnya perempuan???

“Kau bilang apa??? tanya Samkohnio.

“O, tidak, kubilang ... engkaulah anak perempuan yang paling jujur yang pernah kukenal.??

Samkohnio tertawa, katanya, “Jika benar aku ini jujur tentu aku takkan menggunakan akal ini.??

“Makanya aku merasa anak perempuan itu sangat aneh, anak perempuan yang paling jujur terkadang juga main tipu, anak perempuan yang paling licin terkadang justru sangat bodoh.??

Untung perawakan Samkohnio tinggi besar, mantelnya bagi Siau-hi-ji terasa cocok juga, dengan langkah lebar cepat mereka keluar.

Meski di halaman juga ada peronda, tapi demi melihat Samkohnio mereka lantas menunduk dan memberi hormat, siapa pun tiada yang berani bertanya.

Samkohnio membawa Siau-hi-ji ke pintu samping, ia membuka pintu dan berpaling, di bawah sinar bintang yang redup itu terlihat wajah Siau-hi-ji yang bandel, binal, tapi juga penuh daya tarik itu.

Samkohnio menghela napas perlahan, katanya kemudian, “Apakah kau akan ... akan datang menjenguk aku lagi???

“Ya, aku pasti akan datang lagi, hari ini juga ….?? sembari bicara anak muda itu terus lari pergi dengan cepat.

Termangu-mangu Samkohnio memandangi bayangan Siau-hi-ji, timbul semacam perasaan aneh, entah pilu entah girang, semacam perasaan yang belum pernah dirasakannya selama ini.

Kini Samkohnio telah menjadi seorang perempuan yang sempurna. Soalnya apa yang dirasakannya sekarang hanya timbul pada anak perempuan yang sedang rindu. Perempuan yang belum pernah mengalami perasaan demikian pada hakikatnya belum terhitung sebagai perempuan.

Malam sudah larut, waktu yang paling sunyi di tengah kota, jalan raya sepi tiada seorang pun, cepat Siau-hi-ji lari pulang ke rumah obat.

Sampai di jalan itu, samar-samar sudah kelihatan papan merek “Ging-ih-tong??, langkah Siau-hi-ji lantas dilambatkan.

Seperti seekor anjing pelacak, hidung Siau-hi-ji mengendus ke kanan ke kiri, matanya celingukan kian kemari, mendadak ia berjongkok dan mengawasi sesuatu, lalu bergumam, “Ya, ini dia ....??

Dilihatnya di atas jalanan balok batu yang mengkilap itu ada sedikit bubuk obat, beberapa kaki di depan sana terdapat lagi bubuk obat serupa. Dengan menggunakan indera matanya Siau-hi-ji terus melacak sepanjang jalan.

Kiranya semalam dia menyambit dengan batu pada bungkusan obat yang diborong kedua lelaki itu justru berharap obat-obat itu akan bocor keluar, dengan petunjuk obat bocoran itu dengan sendirinya ia pun akan menemukan ke arah mana bungkusan obat-obat diantar.

Meski masih muda belia, namun cara kerja Siau-hi-ji sangat cermat, bukan saja dia sudah menyiapkan jalur petunjuk ini, bahkan ia pun sudah memperhitungkan di malam sunyi begini, di jalanan yang sepi dengan orang berlalu lalang ini bubuk obat yang berserakan pasti tidak akan terinjak hilang.

Begitulah ia terus melacak ke depan, sampai akhirnya ia tidak perlu lagi berjongkok dan memeriksa, cukup dengan bau obat yang terembus angin malam yang sejuk itu dan pasti takkan salah alamat lagi.

Setelah sekian lamanya, jalanan makin lama makin terpencil dan sepi, tertampak di depan ada sebuah kolam, air beriak kemilau, di tepi kolam ada papan kayu yang bertulis, “Kolam ikan keluarga Tio, dilarang keras memancing di sini??.

Diam-diam Siau-hi-ji membatin, “Kolam sebesar ini ternyata milik pribadi, tampaknya keluarga Tio ini selain kaya tentu juga berpengaruh.??

Tertampak tidak jauh di seberang kolam sana memang ada sebuah perkampungan dengan rumah yang berderet-deret, walaupun tidak semegah perkampungan tempat kediaman Toan Hap-pui, tapi dibangun membelakangi bukit dan menyebelah kolam, kelihatannya menjadi sangat megah.

Dan bungkusan obat-obat itu ternyata diantar ke arah perkampungan ini.

Siau-hi-ji ragu-ragu, ia coba memandang sekelilingnya, di tengah malam sunyi di tengah perkampungan itu ternyata masih ada cahaya lampu, pintu gerbang yang bercat hitam juga ada sebuah papan.

“Thian-hiang-tong, Te-leng-ceng, Tio??, demikian tulisan di papan itu, artinya kolam Thian-hiang, perkampungan Te-leng, keluarga she Tio.

Siau-hi-ji membatin, “Melihat lagaknya, keluarga Tio ini tidak saja kaya dan berpengaruh, bahkan pasti juga tokoh kalangan Kangouw. Di tengah malam buta mereka belum tidur, rasanya bukan sedang berbuat sesuatu yang baik.??

Setelah mengincar baik-baik keadaan sekitarnya, Siau-hi-ji lantas melompat ke dalam perkampungan itu.

Pada dasarnya Siau-hi-ji memang pemberani, akhir-akhir ini ilmu silatnya maju pesat pula, tentu saja ia meremehkan segala sesuatu, langsung ia menuju ke tempat yang bercahaya lampu.

Itulah sebuah ruangan duduk. Siau-hi-ji merunduk maju sampai di bawah emper, dengan air ludah dia membasahi kertas penutup jendela dan membuat sebuah lubang kecil. Tertampak di tengah ruangan sedang duduk empat orang lagi minum arak.

Ruangan duduk ini dengan sendirinya juga teratur sangat indah, hidangan di atas meja juga kelas tinggi, semuanya ini tidak diteliti oleh Siau-hi-ji, pada hakikatnya ia malah tidak menaruh perhatian.

Yang diincarnya justru pada sudut kiri ruangan itu, di pojok sana penuh tertimbun bungkusan obat-obat sejenis Kuici, Lengka, Himta dan sebagainya.

Terdengar seorang di antaranya sedang bicara, “Betapa pun juga saudara bertiga sudah berkunjung kemari, sungguh suatu kehormatan besar bagi Cayhe, marilah kusuguh pula kalian secawan!??

Orang ini duduk di bagian tuan rumah, tinggi kurus, bermuka lonjong seperti kuda, hidung besar mirip paruh kakak tua, pelipisnya menonjol, sorot matanya tajam, tampaknya berwibawa.

Diam-diam Siau-hi-ji menduga orang ini tentu tuan rumah she Tio.

Segera terdengar seorang menanggapi dengan tertawa, “Ucapan Tio-cengcu ini entah sudah diulang beberapa kali dan arak juga entah disuguh berapa cawan, kalau Tio-cengcu masih sungkan-sungkan begini sungguh kami bersaudara akan merasa tidak tenteram.??

“Padahal kami bersaudara dapat menjadi tetamu Tio-cengcu, inilah yang benar-benar suatu kehormatan bagi kami,?? ucap orang ketiga. “Sepantasnya kami yang mesti menyuguh secawan, kepada Tio-cengcu.??

Kedua orang tamu yang bicara ini mempunyai rupa yang sama, sama-sama berwajah bundar dan gemuk. Waktu tertawa matanya menyipit hingga tidak kelihatan biji matanya, cara bicaranya ramah tamah, bentuk mereka seperti pinang dibelah dua.

Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli, “Kedua orang gemuk ini ternyata dicetak dari suatu klise yang sama. Meski banyak juga saudara kembar di dunia ini, tapi bentuknya yang benar-benar serupa seperti kedua orang ini tidaklah banyak.??

Ia tidak kenal ketiga orang tamu Tio-cengcu ini, ia lebih-lebih tidak tahu mengapa mereka meracuni Thi Sim-lan.

Selagi menimang-nimang, mendadak dilihatnya orang keempat itu menoleh. Orang ini rambut dan jenggotnya sudah beruban, sikapnya angker, ternyata bukan lain dari pada Thi Bu-siang yang berjuluk “Ay-cay-ji-beng??.

Melihat orang ini, Siau-hi-ji benar-benar terperanjat. Kiranya yang menaruh racun ialah Thi Bu-siang, sungguh sukar dibayangkan olehnya.

Pantas Thi Sim-lan percaya penuh dan tanpa sangsi makan panganan yang diantarkan padanya itu, “Ay-cay-ji-beng?? Thi Bu-siang, dengan sendirinya setiap orang persilatan percaya penuh pada nama tokoh besar ini. Sungguh tidak nyana Thi Bu-siang sama dengan Kang Piat-ho, juga manusia munafik yang lahirnya berbudi tapi hatinya berbisa.

Tapi mengapa dia meracuni Thi Sim-lan?

Sesaat itu pikiran Siau-hi-ji telah bekerja keras, ia terkejut dan curiga, ia benar-benar tidak percaya, tapi bukti tertampang di depan mata.

Dilihatnya Tio-cengcu itu sedang sibuk menuangkan arak, ia angkat cawan dan mengajak minum, katanya dengan tertawa, “Kalian bersaudara dan Thi-loenghiong adalah ksatria jaman ini, apa kepintaran dan kebaikanku Tio Hiang-leng sehingga mendapat perhatian kalian, mari, marilah, biar Cayhe menyuguh pula kalian secawan.??
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes