Wednesday, May 12, 2010

bp6_part3

Namun Peng-koh benar-benar teramat lelah, ia tiada tenaga buat memikirnya lebih seksama, di tempat asing ini semula ia mengira dirinya pasti sukar pulas. Tapi tahu-tahu ia sudah tidur.

Esok paginya, begitu bangun, segera ia merasa lapar sekali.

Persoalan lapar memang sangat menggemaskan. Tatkala kau tidak ingin kehadirannya, dia justru muncul. Dan orang yang tiada mempunyai sesuatu barang makanan akan terasa lebih lapar. Orang yang selalu ada makanan malahan tidak mudah merasakan lapar.

Beberapa kali Peng-koh ingin memanggil makanan, tapi hasrat ingin makan ini sedapatnya ditahannya. Tapi semakin dia ingin menahan lapar, sang perut justru tidak mau turut perintah, bahkan rasanya seperti mau berontak.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pelayan berseru di luar kamar, “Kang-kongcu menyuruh hamba mengantarkan sarapan pagi bagi nona, apakah nona akan makan sekarang?”

Sudah tentu Peng-koh ingin makan sekarang juga. Selesai makan, akhirnya Peng-koh mendapatkan bentuk dirinya yang menakutkan, dengan gemas ia ingin melemparkan cermin tembaga yang berada di atas meja, sekujur badannya tiba-tiba terasa gatal.

Namun dia tak punya baju lain untuk salin, ia pun tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan pakaian. Pada saat serba susah inilah kembali datang si pelayan.

Sekali ini dia membawa beberapa pasang pakaian baru dan halus, satu perangkat alat rias, lengkap dengan pupur kelas tinggi, ditambah lagi sepatu dan kaus kaki. Semua barang ini apakah dapat ditolak oleh Thi Peng-koh? Anak perempuan di dunia ini yang dapat menolak barang-barang antaran begini rasanya tidaklah banyak.

Dengan sendirinya barang-barang antaran ini berasal dari “Kang-kongcu”. Bilamana Thi Peng-koh sudah memakai baju serta perlengkapan yang lain dan selesai berdandan, pada saat itulah suara Kang Giok-long lantas muncul.

“Apakah Cayhe boleh masuk?” demikian tanya anak muda itu dengan sopan.

Kini, dalam perut Thi Peng-koh terisi santapan pemberian orang, yang dipakai di tubuhnya ialah perlengkapan kiriman orang. Dalam keadaan demikian dapatkah dia menolak anak muda itu masuk ke kamarnya?

Dan sampai hari sudah Iohor Kang Giok-long masih ngendon di kamar si nona, tampaknya Thi Peng-koh juga tiada pikiran hendak mengusir anak muda itu. Sekarang ia merasakan dirinya benar-benar tidak dapat kehilangan dia.

Kalau Kang Giok-long duduk di sampingnya, Peng-koh merasa hal ini adalah layak. Sekalipun dia tetap menahan perasaannya, sedapat mungkin tidak banyak bicara dengan anak muda itu.

Dengan sendirinya kamar ini pun berada di suatu hotel kecil, ruangan makan hotel kecil ini hanya terdapat mereka berdua. Menurut cerita Kang Giok-long, katanya nona Buyung tidak enak badan, maka tidak dapat ikut keluar.

Padahal, yang benar ialah Kang Giok-long telah menutuk Hiat-to tidurnya. Buyung Kiu dibungkus dengan selimut dan direbahkan di tempat tidurnya. Meski nona itu tidak lebih hanya seorang linglung saja, tapi Kang Giok-long tetap tidak ingin terganggu olehnya.

Di hotel kecil ini dengan sendirinya tiada santapan yang lezat, tapi Kang Giok-long sengaja memesan makanan satu meja penuh, malahan minta disediakan dua poci arak. Dengan tertawa ia berkat, “Apabila nona tidak menolak, Cayhe juga ingin mengiringi minum barang dua cawan, mengenai nona, akan lebih baik kalau tidak minum arak.”

Peng-koh tidak menanggapi, tapi ketika arak sudah diantarkan, segera ia pegang poci dan menuang satu cawan penuh, sekali tenggak lantas dihabiskannya. Ia merasakan cairan yang pedas dan panas membara itu mengalir masuk ke perutnya, saking panasnya hingga air mata hampir merembes keluar. Maklum, selama hidupnya baru pertama kali ini minum arak.

Diam-diam Giok-long merasa geli, tapi dia sengaja berkata, “Apabila nona tidak pernah minum arak, lebih baik janganlah minum, kalau mabuk .... Ai”

Lagaknya seperti orang yang sangat menaruh perhatian dan berhati tulus, khawatir si nona menjadi mabuk. Padahal dia justru berharap selekasnya Peng-koh mabuk dan tak sadarkan diri.

Sudah tentu ia tahu sifat anak perempuan, semakin mencegahnya jangan minum, dia justru minum semakin banyak. Sebaiknya kalau kau menganjurkan dia minum, satu tetes pun dia malah tidak mau minum.

Benar juga, belum lagi habis ucapan Kang Giok-long, segera Peng-koh menuang arak dan menenggaknya habis pula.

Menyaksikan itu, Giok-long pura-pura menghela napas gegetun, tapi di dalam hati sebenarnya senang sekali.

Setelah minum tiga cawan, Peng-koh merasakan sekujur badan menjadi hangat dan enak, seolah-olah ingin “terbang”. Waktu isi cawan keempat sudah masuk perutnya, dia merasa arak adalah cairan yang paling sedap di dunia ini, tidak terasa pedas dan juga tidak terasa pahit.

Waktu isi cawan kelima sudah ditenggaknya, maka semua duka nestapa telah dilupakannya seluruhnya.

Kini Kang Giok-long tidak lagi mencegah si nona minum, bahkan dia mulai menuangkan isi cawannya. Katanya dengan tertawa, “Asalkan nona tidak sampai mabuk, sebenarnya Cayhe juga ingin menyuguh secawan padamu.”

“Mabuk?” Peng-koh mendelik. “Air gula begini bisa membuat mabuk?”

“Sungguh tak tersangka kekuatan minum nona sungguh luar biasa,” kata Giok-long. “Marilah, Cayhe menyuguh secawan lagi pada nona.”

Di dunia ini jarang ada orang yang tidak suka dipuji dan diumpak. Karena itu kembali Thi Peng-koh menghabiskan secawan pula. Mendadak ia melototi Kang Giok-long dan bertanya, “Sesungguhnya kau ini orang baik atau orang jahat?”

Giok-long tersenyum, jawabnya, “Apakah nona melihat Cayhe ini memper orang jahat?”

“Kau memang tidak menyerupai orang jahat, tapi ... tapi mengapa Kang Siau-hi-ji bilang kau ini bukan manusia baik?”

“Cayhe juga tahu nona adalah teman Kang Siau-hi, sebab itulah aku tidak ingin berbincang tentang kejelekannya di luar tahunya. Ai, padahal dia seharusnya tidak perlu benci diriku.”

“Tapi mengapa dia benci padamu?”

“Apakah nona cukup akrab dengan dia?”

“Cukupan ... cukupan, tidak terlalu akrab.”

“Kelak bila nona sudah kenal lebih mendalam kepribadiannya tentu akan paham .... Ai, sebabnya nona Buyung itu menjadi kurang waras kan juga gara-gara perbuatannya.”

Thi Peng-koh melenggong sejenak, lalu ia menuang pula secawan arak dan diminum habis.

“Dalam keadaan sekarang ini sebenarnya tidak pantas Cayhe menyinggung urusan yang dapat membuat kesal,” kata Giok-long dengan tertawa.

Tiba-tiba Peng-koh juga nyekikik, katanya, “Benar, kita harus membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Eh, adakah kau punya kisah yang menyenangkan, lekaslah bercerita, setiap ceritamu akan kuiringi dengan minum secawan arak.”

Bercerita adalah bakat pembawaan Kang Giok-long, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan habis bilamana dia mau bercerita hal-hal yang menyenangkan. Karena itulah terus-menerus ia bercerita.

Dengan sendirinya Thi Peng-koh juga minum arak secawan demi secawan, sambil tertawa sambil minum, kadang-kadang tersembur keluar, tapi segera minum pula dan tertumpah lagi sehingga tubuh Kang Giok-long juga tersembur basah oleh arak.

Sampai akhirnya Kang Giok-long sudah berhenti cerita, tapi si nona masih cekakak dan cekikik, kemudian ia tak dapat tertawa lagi, ia memberosot jatuh ke bawah kursi dan tak dapat bangun lagi.

Berkilat-kilat mata Kang Giok-long, ia coba memanggilnya, “Apakah nona masih tahu apa yang kukatakan?”

Tapi mendengus saja Peng-koh tidak dapat.

Giok-long menariknya bangun dari kolong meja, terasa seluruh tubuh si nona sudah lemas lunglai seperti tak bertulang. Ke mana Giok-long membawanya, ke situ pula dia menurut.

Tersembul senyum gembira pada ujung mulut Kang Giok-long, gumamnya perlahan, “Kau sendiri yang ingin minum, jangan kau salahkan aku ....”

Pada saat itulah mendadak terdengar seorang bergelak tertawa dan berkata, “Pandai benar cara saudara ini, sungguh Cayhe kagum sekali.”

Giok-long terperanjat, cepat ia menurunkan Peng-koh dan membalik tubuh. Dilihatnya seorang jangkung dan seorang pendek telah melangkah masuk.

Sementara sudah magrib, di ruangan kecil ini belum lagi dinyalakan lampu, keadaan menjadi guram, berdiri di ruangan yang remang-remang ini kedua orang tinggi-pendek itu tampaknya rada-rada menyeramkan.

Meski dalam hati rada waswas, tapi lahirnya Giok-long tenang-tenang saja, dengan tersenyum ia menyapa, “Apakah yang kalian maksudkan adalah diriku?”

“Ya, betul,” jawab si jangkung.

Yang pendek terkekeh-kekeh dan berkata, “Banyak juga tukang pikat perempuan dan ahli merayu yang pernah kulihat, tapi rasanya tiada seorang pun yang lebih pandai daripada saudara.”

“Hahaha, kepandaian berkelakar kalian sungguh sangat bagus,” jawab Kang Giok-long dengan tergelak-gelak.

Tiba-tiba si jangkung menarik muka, katanya, “Selamanya Cayhe tidak suka berkelakar segala.”

“Habis kalian ....”

Dengan terkekeh seram si pendek memotong, “Nona ini sekarang sudah berada di tanganmu, tampaknya sebentar lagi saudara akan mengeloni si cantik, tapi apakah saudara tidak dapat membuat kami juga ikut-ikut senang sedikit.”

“Apa yang kalian maksudkan, sungguh aku tidak paham,” ucap Giok-long dengan suara lirih.

“Maksudku, jikalau saudara ingin mengeloni si cantik, maka kepada kami berdua perlu juga diberi bagian,” jengek si jangkung. “Kalau tidak ....”

“Untuk berusaha mungkin kami tidak mampu, untuk menggagalkan rasanya kami cukup sanggup,” sambung si pendek dengan tertawa.

Tiba-tiba Giok-long mendapatkan akal, dengan tersenyum ia berkata pula, “O, jadi kalian juga ingin icip-icip, begitu?”

“Hehe, ini sih kami tidak berani,” kata si pendek. “Cuma saudara kan sudah mendapatkan yang baru, kalau yang lama, yaitu nona yang berada di dalam selimut, tentunya dapat kau berikan kepada kami.”

“Wah, tampaknya banyak juga yang kalian ketahui,” ucap Giok-long dengan tertawa.

Yang jangkung menjengek, “Bicara terus terang, sejak saudara mulai mengincar nona ini, setiap gerak-gerikmu sudah kami lihat dengan jelas.”

Dengan terkekeh-kekeh si pendek menyambung, “Caramu mengantar uang, menyediakan sarapan, membawakan pakaian dan segala perlengkapan yang diperlukan, semuanya telah kami saksikan dengan seksama. Dalam hati kami sungguh kagum luar biasa atas kepandaian saudara, maka sejak mula kami sudah tahu bahwa nona ini pasti tak dapat lolos dari telapak tangan saudara.”

“Bagus, bagus,” Giok-long bergelak tertawa, “Sungguh tidak nyana kalian berminat besar terhadap diriku. Silakan duduk, marilah kita minum bersama barang tiga cawan.”

Si jangkung menjawab, “Arak, dapat kami minum, tapi barang pengiring arak kami sudah membawa sendiri.” Mendadak ia menarik keluar seekor tikus dari dalam lengan bajunya terus dijejalkan di dalam mulut dan mengganyangnya mentah-mentah.

Melengak juga Kang Giok-long, katanya kemudian dengan tertawa, “Ah, kiranya kalian adalah sekaum dengan kelima sahabat tadi, pantas kalian sedemikian jelas terhadap diriku.”

“Bukan saja jelas terhadapmu, bahkan juga sangat jelas terhadap nona di dalam selimut itu,” tukas si pendek dengan tertawa.

“Jadi kedatangan kalian ini ingin ….”

“Selain minta saudara suka memberikan nona Buyung kepada kami, ada lagi suatu hal yang perlu kami tanyakan padamu,” sela si jangkung dengan ketus.

“O, urusan apa?” tanya Giok-long.

Sorot mata si jangkung menjadi buas, katanya, “Siapa sebenarnya ketiga orang di dalam gua itu? Apa hubungannya pula dengan dirimu?”

“Nama ketiga orang itu ialah Han-wan Sam-kong, Kang Siau-hi dan Hoa Bu-koat, tadi kalian tentu sudah melihat sendiri bahwa mereka adalah musuhku.”

“Beratkah permusuhan kalian?” tanya si jangkung.

“Terserah penilaianmu, yang pasti mereka ingin membunuhku dan aku pun ingin membunuh mereka,” jawab Giok-long dengan tertawa.

“Ehm, bagus, bagus sekali,” si jangkung menyeringai.

Giok-long coba memancing pula, “Kelima sahabat tadi apakah telah ....”

“Ya, telah terbunuh oleh mereka,” kata si pendek.

Giok-long menghela napas lega, ucapnya, “Jika begitu, kalian dan Cayhe mempunyai musuh yang sama, sepantasnya Cayhe menyuguh kalian satu cawan.”

“Baik, setelah minum boleh saudara ikut kami berangkat,” kata si jangkung.

Si pendek lantas menyambung, “Mengenai nona ini, boleh saudara berbuat sesukamu dalam perjalanan .... Haha, kami pasti akan menyiapkan tempat yang baik bagimu di dalam kereta yang longgar.”

Kang Giok-long melenggong, tanyanya, “Memangnya kalian hendak mengajak aku ke mana?”

Si jangkung menjawab dengan perlahan, “Jika saudara sudah bermusuhan dengan ketiga orang itu, bilamana mereka mengetahui jejakmu, bukankah mereka akan segera menyusul ke tempat sembunyimu?”

“Bi ... bisa jadi,” sahut Giok-long.

“Makanya kami ingin mengajakmu ikut kami pulang untuk memancing kedatangan ketiga orang itu,” kata si jangkung dengan tertawa.

Si pendek menyambung pula, “Meski cara ini kurang baik dan membikin susah padamu, tapi selain ini kami benar-benar tidak punya upaya lain, sedangkan kami tidak boleh pulang dengan tangan hampa, maka terpaksa ....”

“Ya, maksud kalian kini sudah kupahami seluruhnya,” tiba-tiba Giok-long tertawa “Bila tujuan kalian cuma menggunakan diriku sebagai umpan untuk memancing kedatangan ketiga orang itu, hasilnya kan juga menguntungkan diriku, masa aku tidak mau?”

Si pendek bergelak tertawa, katanya, “Saudara benar-benar seorang bijaksana dan dapat memahami maksud baik orang, biarlah Cayhe juga menyuguhmu satu cawan.”

“Habis minum segera kita berangkat saja,” ucap Giok-long sambil angkat cawannya.

Kedua orang itu pun angkat cawan masing-masing dan sekali tenggak habislah isinya.

Tapi baru saja mereka mendongak, belum lagi arak masuk kerongkongan, sekonyong-konyong cawan di tangan Kang Giok-long menyambar ke depan, menyambit ke tenggorokan si jangkung.

Kontan orang itu mengerang, arak tersembur dari hidungnya, tubuh pun roboh terjengkang.

Baru saja yang pendek terkejut dan belum sempat berbuat apa-apa, arak juga masih berada di kerongkongan, betapa pun dia harus menelan dulu arak yang berada di tempat kepalang tanggung itu.

Tapi pada saat itu juga secepat kilat kedua tangan Kang Giok-long telah menghantam. Meski gerak serangannya tidak selihai Siau-hi-ji, tapi sudah cukup ganas. Terdengar suara “blak-bluk dua kali, si pendek juga lantas roboh terkapar.

Giok-long tepuk-tepuk tangannya sambil menjengek, “Hm, cuma kalian berdua saja ingin membawaku pergi? Masih selisih jauh kemampuan kalian.”

Kedua orang itu roboh telentang di lantai tanpa bergerak, tapi jiwa mereka belum melayang, Kang Giok-long hanya menutuk Hiat-to mereka.

Sebelum tahu jelas asal-usul kedua orang ini tidak mungkin Kang Giok-long membunuh mereka, dalam hal ini Kang Giok-long memang berbeda daripada Toh Sat. Ingin membunuh orang, tentu Kang Giok-long memilih tempat dan waktu yang tepat.

Sementara itu Thi Peng-koh telah memberosot pula dari kursinya, di tempat yang remang-remang ini wajahnya kelihatan kemerah-merahan dan sangat menggiurkan.

Kang Giok-long memandang kedua orang yang menggeletak di lantai itu, lalu memandang pula Thi Peng-koh. Dengan sendirinya ia dapat membedakan urusan mana yang lebih penting, ia pun sangat paham urusan apa yang harus dikerjakan lebih dulu dan urusan apa pula yang dapat ditunda.

Menghadapi suatu kesempatan baik selamanya tidak pernah disia-siakan olehnya. Dia cukup paham bilamana kesempatan tersia-sia, maka kesempatan itu takkan kembali untuk selamanya.

Dengan suara keras ia lantas memanggil pelayan. Sudah tentu sebelumnya pelayan sudah dipesan apabila tidak dipanggil dilarang masuk, dengan sendirinya pesan ini disertai uang sogokan

Pesan yang tanpa disertai uang tip takkan mendatangkan daya guna sebaik ini.

Kini dia memberi pesan pula agar pelayan membawa kedua temannya yang “mabuk” ini ke kamar di sebelah, agar dibaringkan bersama si nona yang sedang “sakit” itu.

Walaupun kedua orang ini tiada sesuatu tanda mabuk, tapi kebanyakan pelayan adalah orang cerdik, mereka tahu bilamana mata mereka harus dipejamkan dan bilamana harus dipentang.

Malam sudah gelap, hotel kecil itu tenggelam di tengah kekelaman dan ketenangan. Cahaya lampu yang guram di hotel kecil ini tak dapat menahan kegelapan yang pekat itu. Apalagi kebanyakan kamar di hotel ini tidak menyalakan lampu, atau kalau perlu diperinci selain ruangan “kantor”, pada hakikatnya keenam kamar yang dimiliki hotel ini sama sekali tiada menyalakan lampu.

Sudah tentu keempat kamar yang tiada penghuninya itu tidak perlu penerangan. Lalu bagaimana dengan kedua kamar yang ada tamunya?

Kamar yang sebelah timur, sudah sehari semalam si nona yang sakit itu tak pernah keluar, kini ditambah lagi dua lelaki yang “mabuk”. Pelayan yang cerdik itu dengan sendirinya tidak ingin mereka menghamburkan minyak yang tidak perlu.

Padahal, pelayan ini juga si pemilik hotel. Kalau hotel selalu kekurangan tamu, dengan sendirinya ia perlu berhemat dalam segala hal.

Sedangkan kamar yang di sebelah barat itu, mengapa juga tidak menyalakan lampu?

“Pelayan” telah meninggalkan kantornya yang berlampu dan berdiri di sudut halaman yang gelap. Dengan sendirinya bukan maksudnya ingin mengintip rahasia orang lain, tapi bilamana dari kamar ini terdengar sesuatu suara yang menarik, dengan sendirinya dia tidak perlu mendekap telinganya, dia memang tidak ingin menjadi seorang “Kuncu”.

Benar juga, dari kamar itu memang terdengar sesuatu suara yang menarik.

Semula adalah suara keluhan, lalu suara keluhan itu semakin keras. Bila kemudian suara keluhan itu berubah menjadi suara napas yang terengah-engah, maka tanpa terasa tangan si “pelayan” telah penuh berkeringat.

Kadang-kadang dia suka menyesali dirinya sendiri mengapa harus membuka hotel, perusahaan ini tidak banyak menguntungkan, malahan selalu menimbulkan semacam rasa penyesalan berdosa.

Biasanya dia cuma dapat menyaksikan berlangsungnya perbuatan berdosa itu tanpa berdaya sedikit pun, ini bukan saja membuatnya menyesal, tapi juga membuat dia merasa dirinya adalah seorang pengecut.

Kini, bilamana terdengar suara yang khas ini, perasaan yang menekan itu bertambah keras. Ai, betapa moleknya anak perempuan itu, sebaliknya lelaki itu ....

Sekonyong-konyong didengarnya jeritan melengking, ia tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, dengan hati kebat-kebit cepat ia lari kembali ke dunianya sendiri.

Tindakannya ini mirip seperti seekor kura-kura bilamana mengalami sesuatu kejadian, maka cepat kepalanya mengerut ke dalam batoknya, asalkan ia sendiri tidak melihat, maka aman tenteramlah rasanya.

Sementara itu Thi Peng-koh sudah siuman dari mabuknya. Dia merasa sekujur badan kesakitan, ruas tulang seakan-akan retak, kepala juga sakit. Lalu tiba-tiba ia merasa ada seseorang berbaring di sebelahnya, waktu ia berpaling, dilihatnya Kang Giok-long yang masih terengah-engah itu. Dia menjerit kaget sejadi-jadinya. Dia mendorong sekuatnya sehingga Kang Giok-long terperosok ke bawah tempat tidur.

Anak muda itu mendekam di lantai, dia tidak merangkak bangun, sebaliknya malah menangis sedih.

Sungguh luar biasa, yang menangis seharusnya orang lain, tapi dia malah mendahului.

Peng-koh membungkus tubuhnya dengan selimut, teriaknya dengan parau, “Kau ... kau sungguh keji, tapi ... kau malah menangis ....”

“Aku tahu telah berbuat salah padamu, kumohon engkau sudi memaafkan aku ....” demikian Giok-long meratap.

Sekujur badan Peng-koh gemetar saking geregetan, teriaknya, “Kubenci ... ingin ku ....”

“Jika kau benci padaku, boleh bunuhlah diriku, tadi aku benar-benar tidak mampu mengendalikan diriku, sebab aku pun mabuk, kita memang tidak pantas minum sebanyak itu,” sampai di sini mendadak ia menubruk ke atas tempat tidur pula dan berseru dengan menangis, “Kumohon kau bunuh saja diriku, bila kau bunuh aku, bisa jadi hatiku akan lebih tenteram.”

Sebenarnya saking geregetan Thi Peng-koh memang ingin membunuh anak muda itu, tapi sekarang ... sekarang tangannya ternyata lemas tak bertenaga sedikit pun. Semula dia sangat berduka dan penuh rasa benci, sangat murka. Tapi Kang Giok-long telah mendahului menangis, begitu sedih tangisnya sehingga membuat Peng-koh kehilangan pegangan.

Sungguh tak tersangka olehnya Kang Giok-long bisa menangis. Apakah dia benar-benar menyesal, jangan-jangan ia memang terdorong oleh hasrat yang berkobar dan seketika itu tak dapat mengekang diri, jangan-jangan dia bukan orang busuk?

Hati perempuan pada umumnya memang mudah lunak, lebih-lebih dalam keadaan ... keadaan “nasi sudah jadi bubur”, apa yang sudah kehilangan jangan harap akan diperolehnya kembali untuk selamanya.

Miliknya kini telah menjadi miliknya pula, kini anak muda itu kan sudah berubah menjadi orang yang mempunyai hubungan paling erat dengan dia?

Dari celah-celah jarinya Giok-long coba mengintip perubahan sikap si nona, tapi ia sengaja menangis semakin sedih, ia tahu air mata lelaki terkadang jauh lebih efektif daripada tangisan perempuan.

Menangis, ini memang senjata utama perempuan, tapi sekali-kali bukan monopoli kaum perempuan. Bilamana kaum lelaki mau menggunakan senjata ini, kadang-kadang malah jauh lebih berdaya guna daripada perempuan.

Akhirnya Peng-koh mendekap di tempat tidur dan menangis tergerung-gerung.

Selain menangis memang tiada jalan lain baginya.

Sorot mata Kang Giok-long memancarkan rasa senang, tapi dia masih tetap menangis, ratapnya pula, “Kutahu telah berbuat salah, tapi aku ... aku sejak pertama kali melihatmu, pada saat itu juga aku lantas tahu selama hidupku ini tak boleh kehilangan kau, hidup bagimu, mati pun bagimu.”

Perlahan ia menggeser lebih dekat si nona, lalu berkata pula, “Meski salah perbuatanku, tapi hatiku benar-benar tulus, asalkan kau percaya padaku, tentu akan kubuktikan ketulusan ini, selama hidupku ini takkan membuat kecewa padamu.”

Dia telah menyentuh tubuh Peng-koh pula dan si nona tidak menghindar. Kalau seorang perempuan tidak menghindar, apa itu artinya?

Sudah tentu Kang Giok-long sangat paham urusan beginian. Mendadak ia memeluk erat-erat si nona dan berseru, “Hanya ada dua kemungkinan, maafkan aku atau boleh bunuhlah diriku. Tapi biarpun aku kau bunuh, kau tak dapat menyuruh aku jangan menyukaimu, biarpun mati tetap kusuka padamu ....”

Peng-koh tetap tidak bergerak sama sekali. Kalau anak perempuan dipeluk oleh lelaki dan tidak melawan atau meronta, maka tiada suatu persoalan lagi yang tak dapat dimaafkan.

Giok-long tahu usahanya berhasil. Dia mendekap di tepi telinga Thi Peng-koh, dibisikkannya kata-kata yang halus dan paling manis di dunia ini, ia tahu inilah yang dibutuhkan si nona sekarang. Perempuan yang mampu melawan bujukan manis dan rayuan madu kaum lelaki sampai detik ini mungkin belum lahir.

Benarlah suara tangis Thi Peng-koh mulai lirih, memangnya dia sebatang kara, memangnya ia merasa bingung dan tiada punya sandaran apa-apa, kini tiba-tiba ia merasa tidak lagi terpencil sendirian.

Kang Giok-long tertawa senang, katanya dengan lembut, “Sekarang dapat kau maafkan daku?”

“Ehm,” terdengar suara si nona yang kepalanya terbenam di bawah bantal.

“Kau tidak benci lagi padaku?” tanya Giok-long pula sambil menyanggah telinga si nona di bawah bantal.

Dengan tabahkan hati mendadak Thi Peng-koh menongolkan kepalanya dan berkata sambil menggigit bibir, “Asalkan apa yang kau katakan adalah sungguh-sungguh dan setulusnya, asalkan engkau tidak melupakan ucapanmu sekarang ini, maka aku pun ....”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan ngeri berkumandang dari kamar sebelah, jeritan ngeri itu sangat singkat, tapi cukup membuat orang merinding.

Dalam keadaan demikian Kang Giok-long benar-benar mahagesit, dengan kecepatan yang maksimal dapat dicapai oleh seseorang dia meringkasi segala sesuatu, lalu secepat anak panah dia melesat keluar, tindakannya ini seakan-akan sudah lupa sama sekali terhadap Thi Peng-koh.

Pada saat menghadapi bahaya, jangankan cuma Thi Peng-koh, biarpun bapaknya juga takkan dipikirkan lagi, yang dipikirkan hanya dia sendiri. Sedangkan dari suara jeritan ngeri itu dia telah mengendus adanya bau mara bahaya.

Suara jeritan ngeri itu benar-benar dapat membuat orang banyak merasa mual dan tumpah-tumpah, jika bukan orang yang mahaganas dan sangat membahayakan, tidak mungkin membuat orang menjerit begitu ngeri.

Begitu melompat keluar, Kang Giok-long tidak menerobos ke kamar sebelah yang menyuarakan jeritan tadi, tapi lebih dulu ia dobrak daun jendela kamar itu hingga terpentang. Lalu ia menyalakan sebuah lampu terus dilemparkan ke dalam kamar.

Lampu minyak itu jatuh berantakan di lantai, api lantas berkobar. Di bawah cahaya api yang berkedip-kedip, kamar yang sempit dan lembap itu tampaknya jadi lebih suram.

Dilihatnya Buyung Kiu masih tetap berbaring terbungkus selimut, ia menghela napas lega. Tapi segera diketahuinya pula bahwa kedua orang, yaitu si jangkung dan si pendek, sudah lenyap semua, mereka telah berubah menjadi dua genangan air darah.

Pemandangan ini membuat Kang Giok-long mengkirik, tapi hatinya lantas tenteram pula.

Kalau kedatangan orang yang mahaganas dan berbahaya itu hanya bermaksud membunuh kedua orang ini, kenapa dia harus tidak setuju? Kenapa dia harus khawatir dan takut?

Dan pada saat itu juga, di tengah berkelipnya cahaya api seorang telah muncul.

Sekilas pandang orang ini tampak gagah, jubahnya yang berwarna putih mulus itu bersulam bunga merah, kebanyakan wanita pasti akan tergila-gila pada kegagahannya.

Tapi bila dipandang lagi lebih cermat, maka kebanyakan perempuan pasti akan kaget dan jatuh semaput.

Mukanya, itulah yang luar biasa, di bawah sinar api mukanya itu seakan-akan tembus cahaya, begitu putih bening sehingga kelihatan tulangnya yang berwarna kehijau-hijauan.

Matanya, sepasang matanya juga tidak menyerupai mata manusia, tapi lebih mirip mata binatang buas yang kelaparan.

Jubahnya yang putih mulus itu sebenarnya juga bukan bersulam bunga merah segala, bunga merah itu adalah percikan darah segar yang baru saja menempel di jubahnya.

Kang Giok-long bukanlah pemuda yang hijau dan mudah digertak, tapi demi nampak orang ini, jantungnya serasa hendak berhenti berdenyut.

Dengan dingin orang itu pun sedang menatap Kang Giok-long, dengan sekata demi sekata, ia tanya, “Kaukah yang menutuk Hiat-to kedua orang tadi?”

Sedapatnya Kang Giok-long memperlihatkan senyuman wajar, jawabnya, “Betul, memang Cayhe lagi bingung entah bagaimana harus memperlakukan mereka, kini saudara sudah membereskan mereka, sungguh Cayhe merasa sangat berterima kasih.”

Diam-diam ia telah merasakan pendatang ini jauh lebih berbahaya daripada apa yang diperkirakan, maka cepat-cepat ia menyuarakan persahabatan.

Namun orang itu telah melototnya dengan dingin, katanya pula, “Apakah kau tahu siapa diriku?”

“Itulah yang ingin kuketahui,” jawab Giok-long.

Tiba-tiba orang itu tertawa sehingga tertampak barisan giginya yang putih gilap, katanya dengan perlahan, “Aku adalah majikan mereka. Mereka adalah kaum budakku.”

“Tapi ... tapi engkau yang membunuh mereka dan bukan aku,” ujar Giok-long dengan kebat-kebit.

“Kau sudah menghinakan mereka, terpaksa aku membunuh mereka agar tidak lagi membikin malu,” ucap orang itu.

“Alasanmu membunuh orang apa biasanya memang sederhana begini?” tanya Giok-long dengan menyengir.

“Terkadang malahan lebih sederhana lagi,” ujar orang itu.

“Kadang-kadang aku pun membunuh orang, tapi aku harus mempunyai suatu alasan yang tepat, misalnya ....”

Pada saat itulah api yang menyala di lantai tiba-tiba padam, keadaan menjadi gelap gulita.

Tapi mata orang ini tampak berkelip-kelip dalam kegelapan. Terdengar dia menjengek, “Misalkan apa?”

“Misalnya, bilamana kutahu seorang hendak membunuhku, biasanya akan kubunuh dia lebih dulu,” mata Kang Giok-long juga berkedip-kedip dan setiap detik siap turun tangan.

Meski dia yakin orang ini pasti bukan lawan empuk, tapi ia pun percaya pada kemampuan sendiri yang pasti juga tidak empuk. Sebabnya dia belum mau turun tangan adalah karena dia merasa berada di posisi yang menguntungkan, dia tidak ingin sia-siakan posisi yang menguntungkan ini, dia hendak menunggu orang itu menerjang keluar lebih dulu.

Tak terduga orang itu mendadak tertawa. Suara tertawanya itu mirip seekor tikus yang sedang menggerogoti peti kayu, membuat orang merinding.

“Memangnya kau kira sekarang juga akan kubunuh kau?” kata orang itu dengan tergelak-gelak.

“Kau kan sudah mempunyai cukup alasan untuk membunuhku!” ujar Giok-long.

“Bilamana kuingin membunuh orang, tentu aku takkan banyak bicara dengan dia,” ujar orang itu.

“O, jadi maksudmu tak berniat membunuhku? Mengapa?” tanya Giok-long heran.

Mendadak orang itu berhenti tertawa dan berkata, “Kau harus membawaku pergi mencari tiga orang.”

“Ya, tahulah aku. Sebelum mereka kau bunuh tentunya engkau sudah tanya jelas semua kejadiannya.”

“Jika di dalam tujuh hari kau dapat membawaku menemukan Han-wan Sam-kong, Kang Siau-hi dan Hoa Bu-koat, maka kau takkan mati dengan segera, bahkan hidupmu masih bisa diperpanjang cukup lama.”

“Mereka kan juga musuhku?” ucap Giok-long sambil berpikir, “Jika kau mampu membunuh mereka, dengan sendirinya aku suka membawamu pergi mencari mereka. Cuma sayang, untuk membunuh mereka bukan pekerjaan yang gampang Sebaliknya terbunuh oleh mereka kukira akan lebih mudah. Nah, bila engkau tidak berhasil membunuh mereka, bukankah aku pun ikut susah?”

“Hehehehe?” orang itu terkekeh-kekeh. “Kau ini orang yang tidak mau rugi, justru aku suka pada orang semacam kau ini.”

“Orang yang tidak mau dirugikan biasanya tidak perlu disukai orang,” kata Giok-long.

“Lalu dengan cara bagaimana baru kau percaya aku mampu membunuh mereka? Coba katakan!” bentak orang itu dengan bengis.

“Ini perlu kau perlihatkan dengan cara apa kau dapat menarik kepercayaanku,” jawab Giok-long.

“Hm, untuk membuatmu percaya kukira bisa lebih dari seribu cara,” jengek orang itu. “Jika kau ingin belajar kenal ilmu sakti perguruan Bu-geh, biarlah lebih dulu kuperlihatkan sesuatu padamu ....” mendadak tangannya seperti bergerak, segera semacam lelatu hijau menyambar ke depan dan nempel di dinding, lelatu api itu tidak keras, ketika nempel di dinding juga lantas padam, hakikatnya tidak berkobar.

Begitu lelatu api itu padam, segera pula orang itu melayang keluar halaman. Padahal jelas kelihatan dia tidak melayang keluar melalui jendela. Lalu dari manakah dia menerobos keluar?

Tentu saja Giok-long kaget, waktu dia mengamat-amati barulah diketahui di dinding sana telah bertambah sebuah lubang besar. Kiranya orang ini melayang keluar melalui lubang itu.

Padahal lelatu hijau tadi hanya seperti percikan api saja, tanpa suara dan tanpa berisik, tahu-tahu dinding yang tebal itu telah terbakar sebuah lubang besar.

Baru sekarang Kang Giok-long melongo terkejut, Ginkang orang memang cukup lihai dan tidak sampai mengejutkan dia, tapi api yang tidak berkobar itu dapat menghancurkan dinding, ini benar-benar belum pernah dilihatnya.

Sementara itu orang tadi sudah berada di sebelahnya, dengan sorot mata tajam ia tatap Kang Giok-long dan bertanya, “Apakah kau ingin belajar kenal ilmu sakti lainnya?”

“Aku ... aku ....” Giok-long menjadi ragu-ragu.

“Hehehe!” orang itu terkekek-kekek. “Ilmu sakti perguruan Bu-geh ....”

“Ilmu sakti perguruan Bu-geh bagiku tampaknya tiada sesuatu yang istimewa!” demikian tiba-tiba seorang menukas dengan bergelak tertawa. Di tengah gelak tertawanya itu sesosok bayangan orang tahu-tahu melayang tiba.

Selama hidup Kang Giok-long tak pernah mendengar suara tertawa yang menggetar sukma seperti ini, melulu suara tertawa yang hebat ini sudah cukup membuat kuncup nyali musuh.

Menyusul lantas dilihatnya perawakan pendatang ini, meski perawakan orang ini tidak terhitung tinggi besar, tapi tampaknya sekukuh gunung dan sekuat baja.

Anak murid perguruan Bu-geh itu juga menyurut mundur oleh perbawa orang, bentaknya segera dengan bengis, “Siapa itu berani bersikap kasar terhadap anak murid Bu-geh?”

“Aku Yan Lam-thian adanya!”

Nama ini seperti cahaya bintang kemukus yang dapat menerangi jagat raya ini.

“Kau murid Bu-geh? Di mana dia sekarang?” terdengar Yan Lam-thian membentak pula.

Meski nyali orang itu sudah kuncup, tapi dia masih tergelak-gelak dan menjawab, “Kau tidak perlu mencari guruku, keempat murid utama perguruan Bu-geh sudah lama ingin mencari Yan Lam-thian untuk mengukur tenaga, tak terduga aku Gui Pek-ih (Gui si baju putih) ternyata lebih beruntung daripada ketiga saudaraku ....”

“Kau ini kutu macam apa, berani kurang ajar terhadap Yan Lam-thian?” mendadak Kang Giok-long membentak gusar sebelum habis ucapan orang. Di tengah bentakannya segera ia pun menubruk maju, dan melancarkan tiga kali pukulan secepat kilat. Pukulan tiga kali ini ternyata ilmu pukulan Bu-tong-pay tulen.

Maklumlah, dia dan Siau-hi-ji mempelajari bersama ilmu silat yang tercantum di kitab pusaka yang mereka temukan di istana bawah tanah itu, ilmu silat itu mencakup semua intisari silat berbagai perguruan dan aliran, dengan kecerdasannya tentulah sangat mudah pula untuk belajar ilmu pukulan dari perguruan lain.

Sedangkan ilmu pukulan Bu-tong-pay pada masa itu justru sangat digemari, yang belajar sangat banyak walaupun yang mahir terlalu sedikit. Diam-diam Kang Giok-long juga telah mencuri belajar ilmu pukulan Bu-tong-pay, sudah tentu dengan maksud tujuan yang tidak baik.

“Hm, kau juga berani bergebrak dengan aku?” jengek Gui Pek-ih.

Ia menyangka cukup dengan dua-tiga kali gebrak saja pasti dapat menjatuhkan lawannya. Tak terduga meskipun Kang Giok-long ini seorang pengecut, tapi bukan orang bodoh. Ia telah salah menilai kepandaian Kang Giok-long.

Karena itulah dia telah kena didahului oleh Kang Giok-long, sekaligus diberondong dengan beberapa kali serangan maut sehingga membuatnya rada kerepotan.

Giok-long tahu Yan Lam-thian pasti takkan membiarkan dia dikalahkan, kalau Yan Lam-thian jelas berada di pihaknya, lalu apa pula yang ditakutinya? Karena hatinya tabah, semangatnya lantas berkobar, serangannya tambah gencar.

Dalam keadaan demikian, sekalipun kepandaian Gui Pek-ih cukup tinggi dan keji juga tidak dapat mengapa-apakan Kang Giok-long.

Yan Lam-thian hanya menonton saja dengan penuh perhatian, lambat-laun terunjuk senyuman pada wajahnya, berulang-ulang ia mengangguk dan berkata, “Ya, bagus, jurus ini biarpun dimainkan sendiri oleh si tua Ci-si juga tak lebih hebat daripada ini.”

Nyata Yan Lam-thian menyangka Kang Giok-long adalah anak murid Bu-tong-pay, murid Ci-si Totiang, ketua Bu Tong-pay.

Tiba-tiba dilihatnya Gui Pek-ih mulai berputar-putar dengan cepat, sekonyong-konyong beberapa jalur api hijau terpencar keluar, kurang jelas terpancar dari mana. Di bawah cahaya api itu air muka Kang Giok-long juga berubah hebat.

Untunglah Yan Lam-thian membentak disertai serangkum angin pukulan yang dahsyat, tubuh Kang Giok-long didorong ke samping, angin pukulan itu masih terus menerjang ke tengah kobaran api hijau sehingga Gui Pek-ih tergetar mundur sempoyongan.

Menyusul suara bentakan Yan Lam-thian lantas berubah menjadi siulan panjang, bayangan tubuh laksana burung raksasa telah melayang maju dan berputar di atas.

Gui Pek-ih mendongak ke atas, nyalinya serasa pecah. Ia mau menghindar, namun sudah terlambat. Terpaksa ia sambut tubrukan lawan dengan kedua tangannya, segera terdengar suara “krak-krek”, empat tangan saling bentur, kedua tangan Gui Pek-ih kontan patah tulang pergelangannya. Menyusul darah segar lantas tersembur dari mulutnya dan roboh terjengkang.

Yan Lam-thian jambret leher baju Gui Pek-ih, bentaknya dengan bengis, “Coba katakan, di mana Gui Bu-geh?”

Gui Pek-ih membuka matanya, dipandangnya Yan Lam-thian sejenak, lalu menjawab dengan menyeringai, “Hm, apakah kau berani mencarinya? Dia berada di Ku-san.”

“Sekarang juga kau harus membawaku ke sana!” bentak Yan Lam-thian dengan gusar.

“Silakan mengantar kematianmu ke sana, aku takkan mengiringimu,” seru Gui Pek-ih dengan tertawa. Mendadak ia menggereget dan berteriak dengan parau, “Anak murid Bu-geh, boleh dibunuh tidak boleh dihina ....”

Menyusul dari mulutnya lantas merembes keluar cairan hijau yang berbau busuk, lalu tidak bergerak lagi untuk selamanya.

Yan Lam-thian melepaskan tubuh yang sudah tak bernyawa itu, katanya dengan gegetun, “Tak tersangka anak murid Gui Bu-geh terdapat orang gila sebanyak ini ....” mendadak ia berpaling ke arah Kang Giok-long, tanyanya dengan tertawa, “Apakah kau anak murid Bu-tong?”

Baru sekarang Giok-long sempat menenangkan diri, cepat ia memberi hormat dan menjawab, “Anak murid Bu-tong, Kang Giok-long menyampaikan sembah hormat kepada Yan-locianpwe.”

“Sudahlah,” kata Yan Lam-thian dengan tertawa. “Jika dari golongan Cing-pay (aliran baik) banyak terdapat anak murid pilihan seperti dirimu, biarpun golongan Gui Bu-geh lebih banyak menerima murid gila juga tak perlu kukhawatirkan lagi.”

Dengan sikap penuh hormat Giok-long berkata pula, “Jika Locianpwe tidak kebetulan datang, tentu jiwa Tecu sudah melayang sejak tadi.”

“Kebetulan”, kata-kata ini diucapkannya dengan penuh arti. Bayangkan, bilamana Yan Lam-thian datang lebih dini sedikit dan sempat mendengar beberapa patah ucapannya, saat ini mungkin dia sudah menggeletak sejajar dengan Gui Pek-ih.

“Ya, sungguh sangat kebetulan,” ucap Yan Lam-thian. “Bilamana aku tidak berjanji akan bertemu dengan seorang kawan kecil di sini, tentu juga aku takkan datang ke sini.” Dia tepuk-tepuk pundak Kang Giok-long, dengan tertawa ia menambahkan pula, “Kau dan kawan kecilku itu sama-sama jago muda yang berbakat dan sukar dicari di dunia Kangouw, bolehlah kau berdiam di sini untuk menunggunya bersamaku. Jika kalian bertemu, bukan mustahil kalian akan menjadi sahabat baik dalam waktu singkat.”

“Pesan Locianpwe sudah tentu kuturut saja, apalagi orang yang bisa mendapatkan pujian Locianpwe pastilah pemuda gagah pilihan, Wanpwe jadi ingin pula berkenalan.”

“Dia bernama Hoa Bu-koat, bila akhir-akhir ini kau sering berkelana di dunia Kangouw tentu pernah mendengar namanya ini.”

Giok-long tenang-tenang saja, jawabnya dengan tersenyum, “Wanpwe belum lama turun gunung sehingga masih asing terhadap urusan dunia Kangouw.”

Sejak tadi dia memperhatikan keadaan di dalam kamar, tapi selama itu tiada terlihat sesuatu gerak-gerik Thi Peng-koh, hal ini membuatnya merasa lega. Segera ia berkata pula, “Tadi waktu Tecu sampai di sini, Gui Pek-ih sedang berbuat tidak senonoh terhadap nona Buyung, kini nona ini masih berbaring di dalam, apakah Cianpwe mau melihatnya?”

“Nona Buyung?” Yan Lam-thian menegas, “Apakah anggota keluarga Buyung Yong?”

Sambil bicara ia terus melayang masuk ke dalam kamar.

Sudah tentu Buyung Kiu masih meringkuk di dalam kemul.

Di dalam kamar gelap gulita, Yan Lam-thian hanya memandang sekejap saja, lalu berkata, “Anak ini telah tertutuk Hiat-to bisunya, meski Hiat-to ini tidak begitu penting, tapi lantaran tutukannya terlalu berat dan sedikitnya juga sudah berlangsung hampir setengah hari.”

“Masa sudah setengah hari lamanya dia tertutuk?” Kang Giok-long pura-pura kaget. “Wah, jika begitu, tentu kesehatan nona ini akan banyak terganggu.”

“Betul,” kata Yan Lam-thian, “Kalau sekarang kubuka Hiat-tonya yang tertutuk, mungkin diperlukan tiga bulan baru kesehatannya dapat pulih.”

“Wah, lantas bagaimana baiknya?”

“Sebab itu, sebelum kubuka Hiat-tonya, paling baik kalau kubantu melancarkan darahnya dengan tenaga dalamku,” dengan tertawa Yan Lam-thian menuding si nona dan melanjutkan, “Untung juga dia, selain ketemu kau juga ketemu aku pula. Bilamana tiada kau, bisa jadi dia harus menderita sedikit.”

“Sesungguhnya Wanpwe tidak paham apa maksud Locianpwe,” tanya Giok-long

“Begini soalnya, mana kala aku sedang mengerahkan tenaga dalam untuk menolong dia, tentunya pantang diganggu orang, bilamana terganggu, selain dia akan celaka, aku sendiri pun bisa cedera. Tapi bila kau mau berjaga di samping, tentu aku tidak perlu khawatir lagi.”

Giok-long menjawab dengan mengiring tawa, “Cianpwe tidak perlu khawatir, biarpun Tecu tidak becus, urusan kecil begini rasanya masih sanggup kulakukan.”

“Bilamana aku khawatir, masa aku mau menyerempet bahaya ini?” ujar Yan Lam-thian tertawa. “Kalau murid si tua Ci-si tak dapat kupercayai, lalu kepada siapa lagi harus kupercayai?”

Begitulah ia lantas duduk bersila di atas ranjang, kedua tangannya menahan punggung Buyung Kiu. Meski dalam kamar gelap gulita, tapi dapat dibayangkan pula betapa prihatinnya pendekar besar ini.

Kang Giok-long berdiri di belakangnya, tanpa terasa tersembul senyuman licik pada ujung mulutnya.

Dan mengapa sebegitu jauh tidak tampak sesuatu gerak-gerik Thi Peng-koh?

Rupanya sejak tadi nona itu sudah pergi, sukar untuk dibayangkan ketika perginya itu betapa rasa derita pertentangan batinnya.

Bujuk rayu Kang Giok-long yang manis itu meski telah meredakan kekalapannya, tapi telah membuatnya merasa lebih malu dan terhina pula. Setelah sadar kembali, dia merasa seakan-akan dirinya telah menjual dirinya sendiri.

Dia benci pada dirinya sendiri, mengapa tadi tidak membunuh anak muda bergajul itu? Ia menyesal mengapa dirinya tidak tega turun tangan membunuhnya? Ia tahu kalau tadi tidak turun tangan, maka untuk seterusnya juga tak mungkin dilakukannya pula.

Ia benci pada dirinya sendiri, mengapa mestika yang paling berharga selama hidupnya ini begitu mudah dirampas orang? Lebih celaka lagi dirinya seakan-akan telah menyukai bandit yang jahat ini.

Ia pun takut, takut dipandang rendah Kang Giok-long. Karena itulah dia ya benci, ya takut, ya suka, hatinya seperti sudah tersayat-sayat menjadi beribu-ribu keping.

Lantaran pergolakan perasaannya yang kusut dan bertentangan itu, sekaligus ia terus menerjang keluar. Sudah tentu ke arah yang tidak dilihat oleh Kang Giok-long.

Ia terombang-ambing dalam kegelapan, ia merasa dunia ini sedemikian asing dan menakutkan, tiba-tiba ia menyesal pula mengapa meninggalkan anak muda itu?

Akan tetapi sekarang ia merasa malu untuk kembali ke sana.

Hotel kecil itu memang terletak di ujung kota kecil itu, maka sekeluarnya dia lantas terbenam dalam kegelapan yang sukar membedakan arah.

Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan ke mana harus pergi. Ia merasa pepohonan yang tak bernyawa itu pun punya teman dan punya sandaran, tapi bagaimana dengan dia? Ia benar-benar sebatang kara.

Mendadak ia menjatuhkan diri di bawah pohon, lengan bajunya sudah basah oleh air mata.

Entah berselang berapa lama lagi, mungkin air matanya sudah kering, ia hanya membentang matanya lebar-lebar, memandang jauh ke sana dengan rasa hampa.

Tiba-tiba dalam kegelapan itu tamak muncul dua sosok bayangan orang. Bayangan kedua orang ini hampir sama besar dan sama tingginya, sungguh mirip barang dari satu cetakan.

Kedua bayangan itu berhenti di kejauhan, dengan sendirinya Thi Peng-koh tidak dapat melihat jelas wajah dan perawakan mereka, tapi di tengah malam sunyi demikian, biarpun bisikan yang paling lirih juga dapat terdengar dengan jelas.

Didengarnya seorang di antaranya sedang berkata, “Kang Siau-hi, apakah kau benar-benar tidak mau menemuinya?”

“Kang Siau-hi”, nama ini berkumandang ke telinga si nona dan hampir saja membuatnya melonjak bangun, dan berlari-lari ke sana serta menjatuhkan diri ke dalam rangkulannya.

Akan tetapi ia tahu dirinya sekarang tidak memenuhi syarat lagi untuk menjatuhkan diri ke dalam pelukan orang. Ia hanya menggigit bibirnya kencang-kencang dan menahan perasaan sebisanya.

Benar juga, angin yang meniup sayup-sayup itu telah membawa suara Kang Siau-hi.

Terdengar anak muda itu sedang menjawab dengan tertawa, “Kau telah salah omong, bukanlah aku tidak mau menemui beliau, yang benar aku tidak ingin menemuinya sekarang.”

“Dari mana kau tahu bahwa dia akan merintangi kepergianmu? Bisa jadi ....”

“Ya, bisa jadi beliau akan mengizinkan kepergianku ke Ku-san, tapi aku tidak mau menerima risiko ini. Bilamana suatu urusan sudah kuputuskan begini, maka betapa pun harus kulaksanakan.”

“Tapi kau kan sudah menemani aku sampai di sini ....” pembicara ini jelas Hoa Bu-koat adanya.

Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya. “Ya, sebenarnya aku harus menemanimu.”

Bu-koat mendongak memandang langit dan termenung-menung sekian lama, katanya kemudian dengan perlahan, “Kembali satu hari telah lalu, sang waktu sungguh lewat dengan sangat cepat, tiga bulan dengan cepat akan lalu pula. Sampai kini hanya bersisa ....”

“Tinggal tujuh puluh enam hari saja,” sambung Siau-hi-ji.

“Ya, antara kita hanya dapat bersahabat selama tujuh puluh enam hari lagi,” kata Bu-koat.

Siau-hi-ji termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum, “Ada setengah orang yang meski bersahabat selama hidup, tapi selama itu pula selalu bertentangan dan perang dingin, persahabatan kita meski tidak panjang waktunya, tapi kan jauh lebih baik daripada mereka.”

“Tapi setelah tujuh puluh enam hari lagi ....”

Siau-hi-ji seperti tidak ingin melanjutkan persoalan yang menyedihkan ini, mendadak ia memotong ucapan Hoa Bu-koat, “Yan-tayhiap akan menunggumu di mana?”

“Di hotel, di kota kecil sana, di situ cuma ada sebuah hotel, pasti akan kudapatkan dia,” jawab Bu-koat.

Mendengar ini, jantung Thi Peng-koh kembali berdebar lagi. Saat ini Kang Giok-long masih berada di hotel itu, sedangkan Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji segera akan menuju ke sana.

Meski si nona sangat membenci Kang Giok-long, tapi demi mengetahui anak muda itu akan terancam bahaya, seketika ia melupakan segalanya dan secara aneh menaruh perhatian terhadap keselamatan anak muda itu.

Walaupun terkadang dia geregetan dan ingin bisa membunuh Kang Giok-long, tapi bilamana ada orang lain hendak membunuh anak muda itu, tiba-tiba ia menjadi khawatir dan berduka baginya.

Inilah hati anak perempuan.

Dalam hati anak perempuan umumnya selalu timbul semacam pertentangan batin yang sukar dipahami orang lain. Ya suka ya benci. Padahal dia benar-benar menyukainya atau membencinya, mungkin dia sendiri pun tidak dapat membedakannya dengan jelas.

Terdengar Siau-hi-ji lagi berkata dengan perlahan, “Sebenarnya kuharap engkau suka menemani aku ke Ku-san, tapi bila engkau sudah ada janji dengan orang lain, tentunya kau tidak boleh ingkar janji.”

“Ya, apalagi janji bertemu dengan Yan-tayhiap,” tukas Bu-koat.

“Jika demikan, silakan berangkatlah.”

“Dan kau?” tanya Bu-koat.

“Aku pun hendak pergi menyelesaikan urusanku.”

Bu-koat termenung-menung sejenak, katanya, “Setelah berpisah sekarang, entah kita akan ....” mendadak ia tidak meneruskan.

Siau-hi-ji meremas keras-keras bahu Bu-koat sambil membuang muka ke arah lain, ucapnya dengan suara rendah, “Betapa pun juga, ada waktunya berkumpul dan ada waktunya kita akan berjumpa pula ....” sambil berucap demikian segera ia pun melangkah pergi.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes