Wednesday, May 12, 2010

bp8_part2

“Sekarang tersedia tempat tidur, silakan berbaring di situ,” ucap So Ing dengan acuh. “Apalagi yang kau inginkan?”

“Aku ... aku ingin minum teh,” jawab Bu-koat.

Permintaan ini sebenarnya tidak sengaja diucapkannya, tapi tanpa terasa tercetus dari mulut. Sesungguhnya ia cuma ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak perempuan ini.

Didengarnya So Ing menjawab, “Oya, aku lupa, ada tamu, andaikan tiada arak, satu cangkir teh adalah pantas disuguhkan.” Sambil bicara kembali tangannya menyontek sekali lagi di dalam peti.

Terdengar dinding di balik rak buku sana ada suara gemerciknya air, menyusul rak buku itu menggeser perlahan secara otomatis, seorang boneka kayu kecil meluncur keluar dari balik rak itu.

Kacung robot ini benar-benar membawa sebuah nampan dengan dua cangkir kemala berisi air minum berwarna susu.

Dengan tersenyum So Ing berkata, “Maaf, di sini tidak ada teh, harap sudi minum sekadarnya air bening ini.”

“Haha, tampaknya robot kerbau dan kuda ciptaan Kong Beng di jaman Sam-kok juga tidak lebih daripada ini,” seru Bu-koat dengan tertawa.

“Untuk digunakan di medan perang memang robot kerbau dan kuda Cukat Liang itu sangat bagus, tapi kalau dipakai di rumah tangga untuk melayani tamu, rasanya kan kurang pantas,” kata So Ing dengan dingin. Di balik ucapannya ini seakan-akan kepandaian Cukat Liang dengan robotnya itu pun dipandang enteng olehnya.

Sementara itu malam gelap, sinar bintang berkedip-kedip, pada rak buku sana ada sebuah lampu minyak, tapi tidak dinyalakan.

Segera Bu-koat berkata pula, “Apakah tanpa bergerak nona juga dapat menyalakan lampu?”

“Aku ini pemalas, karena itu sering kali kuciptakan macam-macam akal malas ....” Kembali tangannya menyontek perlahan, rak buku di sebelah lampu minyak sana segera timbul batu api dan pisau ketikan. “Crik”, lelatu api lantas muncrat dan lampu itu pun benar menyala.

So Ing tersenyum, katanya, “Lihatlah, biarpun aku cuma duduk saja di sini kan juga dapat melakukan banyak pekerjaan.”

Bu-koat bergelak tertawa, bergelak sungguh-sungguh, serunya, “Menurut pandanganku, sekalipun menyalakan lampu dan menuang minuman sendiri juga jauh lebih mudah dari pada membuat peralatan rahasia, mengapa pemalas seperti engkau ini sengaja menciptakan cara-cara yang merepotkan ini?”

Entah mengapa, selalu dia berusaha hendak mematahkan keangkuhan So Ing, padahal mestinya dia bukan orang macam demikian, mungkin karena tertawa latahnya telah membuatnya kehilangan akal.

Segera terdengar So Ing mengejek, “Hm, orang seperti diriku ini apakah juga sudi menuangkan teh bagimu?”

“Mengapa kau tidak memakai budak atau pelayan, cara demikian kan jauh lebih mudah?”

“Aku justru takut ketularan tingkah laku orang-orang begitu,” jawab So Ing memandangnya dengan lekat-lekat, sambungnya kemudian, “Kau bicara begini, sebab kau merasa aku terlalu unggul dan kau ingin menjatuhkan aku, betul tidak? Biar kukatakan terus terang, di dunia ini tiada yang dapat menjatuhkan aku dan aku akan selalu paling atas, tidak perlu kau berusaha secara sia-sia.”

“Hahaha, padahal kau cuma seorang anak perempuan yang lemah tak tahan tiupan angin, sekali dorong saja setiap orang dapat merobohkan kau,” seru Bu-koat sambil tertawa.

“Tajam juga pandanganmu, kau ternyata dapat melihat aku ini tidak bisa ilmu silat.”

“Terima kasih,” jawab Bu-koat.

“Ilmu silatmu sangat hebat, bukan?”

“Ya, lumayan!”

“Tapi sekarang yang minta tolong padaku adalah kau, dari sini jelas kelihatan bahwa urusan di dunia ini tidak dapat diselesaikan dengan ilmu silat. Sebabnya manusia disebut makhluk paling cerdas di jagat ini adalah karena otaknya dan bukan tenaganya, kalau cuma bicara tenaga, maka keledai kan jauh lebih kuat daripada manusia.”

Seketika Bu-koat menjadi gusar pula, segera ia bermaksud tinggal pergi lagi. Tapi pada saat inilah tiba-tiba So Ing melangkah maju dengan tersenyum manis, katanya dengan suara lembut, “Sekarang silakan kau berbaring saja dengan baik, akan kuberi minum sebotol obat, habis itu suara tertawamu yang menyebalkan ini akan berhenti.”

Menghadapi senyuman yang menarik, suara selembut ini, lelaki mana di dunia ini yang dapat naik pitam pula? Apalagi ucapan si nona juga mengenai kepentingan Hoa Bu-koat.

Bu-koat tidaklah takut mati, namun tertawanya ... tertawanya yang sialan ini ... baginya sekarang rasanya tiada sesuatu di dunia yang lebih menakutkan daripada “tertawa”.

Suara tertawanya akhirnya berhenti juga. Setelah minum obat, Bu-koat lantas tertidur pulas.

Sekonyong-konyong terdengar seorang tertawa genit dan berseru, “Adik yang baik, sungguh hebat kau. Lelaki yang liar bagaimana pun juga, setelah berhadapan denganmu pasti akan berubah menjadi jinak seperti seekor anjing kecil ....” yang masuk menyusul suara tertawa itu adalah Pek-hujin.

So Ing tidak berpaling sama sekali, dengan hambar dia menjawab, “Mengapa kau datang sekarang? Memangnya kau sangsi padaku?”

“Dengan kepintaran dan kecerdikan adik, mana aku perlu sangsi lagi,” cepat Pek-hujin menjawab dengan tertawa. “Aku cuma ....”

“Cuma apa?” tanya So Ing.

“Cuma kita tahu watak adik yang angkuh dan tinggi hati, maka kudatang kemari untuk memohon agar adik suka bersabar sedikit, asalkan bocah ini sudah menceritakan rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, habis itu segera kita membunuh bocah ini untuk melampiaskan rasa dongkol adik.”

Sampai di sini barulah So Ing meliriknya dengan dingin, tanyanya, “Apa kau rasa caraku ini tidak baik?”

“Bukan tidak baik, cuma ... tujuan kita sekarang hendak memancing dia menguraikan rahasia Ih-hoa-kiong, maka ....”

“Maka kau anggap sikapku terlalu garang, terlalu kaku begitu?”

“Adik adalah orang pintar, tentunya tahu kebanyakan lelaki ....”

“Kau kira aku harus bersikap lebih lembut padanya, harus menjilat dan mengumpak dia, harus merayu dan bilamana perlu harus membuka baju dan menjatuhkan diri ke pangkuannya. Begitu?”

“Bocah ini toh pasti akan mati, diberi sedikit kemurahan kan tidak menjadi soal?”

“Untuk cara-cara demikian kau lebih mahir daripadaku, mengapa kau sendiri tidak mampu memancing rahasianya?” jengek So Ing.

Pek-hujin melengak sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, “Tacimu ini kan sudah keriput, tubuh pun tinggal kulit membungkus tulang, kalau bugil masa menarik?”

“Hm, sekalipun kau lebih muda dua puluh tahun juga tiada gunanya,” jengek So Ing.

Sekali ini Pek-hujin benar-benar rada kikuk dan tidak dapat tertawa lagi.

Dengan dingin So Ing lantas menyambung pula, “Terus terang, apabila aku menggunakan caramu ini terhadap dia, jelas dia pasti tidak mau membuka mulut. Bilamana caramu ini digunakan terhadap suamimu kukira masih boleh juga.”

“Tapi ... tapi ....”

“Pokoknya, terhadap orang macam dia harus menggunakan caraku barulah dapat menundukkan dia,” sela So Ing. “Dengan caraku ini, tentu dia takkan menyangka aku mengharapkan sesuatu dari dia dan dia juga pasti tidak curiga padaku, kalau tidak, masa aku sengaja membiarkan dia mengetahui aku ini tidak mahir ilmu silat? Tentunya kau tahu, meski aku tidak sudi belajar permainan yang menjemukan seperti kalian ini, tapi bilamana aku mau berlagak seorang jagoan tentunya setiap orang juga akan percaya.”

“Ya, ya, baru sekarang kupaham,” ucap Pek-hujin dengan berseri. “Cara adik memang hebat dan sukar ditandingi orang lain.”

So Ing tersenyum kemalas-malasan, ucapnya, “Asal kau tahu saja. Nah, sekarang lekas kalian menyingkir agak jauh, besok pada waktu yang sama seperti sekarang ini kutanggung sudah dapat membuat dia membeberkan rahasia Ih-hoa-kiong secara lengkap.”

Esoknya waktu Bu-koat siuman, benar juga suara tertawanya telah berhenti sama sekali, cuma sekujur badan terasa lemas lunglai tanpa tenaga sedikit pun, berbaring di tempat tidur itu rasanya hendak berbangkit duduk saja sukar.

Di dalam rumah tiada seorang pun, seputar sunyi senyap, hanya terdengar burung berkicau dan bau harum bunga semerbak.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar seorang bertindak aneh di belakang rumah sana, “Keluar, keluar sana! Sudah kukatakan aku tidak mau makan akar rumput dan kulit pohon beginian, mengapa kau selalu memaksa aku menelannya?”

Lalu terdengar suara So Ing berkata dengan lembut, “Ini bukan akar rumput dan kulit pohon segala, tapi Jinsom (ginseng).”

“Peduli Jinsom atau Kuisom (som setan), sekali kubilang tidak mau makan tetap tidak mau,” orang itu meraung pula.

Tapi So Ing malah tertawa dan berkata, “Ai, belum pernah kulihat orang seperti kau ini. Baik, baik, kau tidak mau makan, biar kubawa keluar.”

Bahwa gadis seperti So Ing manda menghadapi sikap kasar orang, hal ini benar-benar membuat Hoa Bu-koat keheranan. Diam-diam ia menerka siapa gerangan orang yang berani bersikap keras kepada So Ing itu, sesungguhnya tokoh macam apa dia?

Selang sejenak, tertampak So Ing muncul dengan tertunduk lesu.

Begitu masuk ke ruangan ini, segera si nona pulih lagi sikapnya yang angkuh dengan tidak tanduknya yang anggun. Cuma sekarang dia membawa semangkuk Jinsomtheng (kuah Jinsom atau Kolesom).

Diam-diam Bu-koat membatin, “Orang itu tidak mau minum air Jinsom ini, apakah sekarang hendak diberikannya padaku?”

Keadaan Bu-koat sekarang memang sangat memerlukan obat kuat seperti Jinsom dan sebagainya, tapi dalam hati ia sudah ambil keputusan, apabila si nona hendak menyuruhnya minum Jinsomtheng itu, maka dia juga pasti akan menolak.

Di luar dugaan So Ing langsung mendekati jendela, Jinsomtheng itu dibuang keluar, barang yang dibuatnya untuk “saudara” itu ternyata lebih suka dibuang daripada diberikan pada orang lain.

Diam-diam Hoa Bu-koat menyengir sendiri.

Sementara itu So Ing telah mendekati tempat tidurnya, tanyanya dengan hambar, “Sekarang kau sudah merasa lebih baik bukan?”

Baru sekarang juga Bu-koat ingat pada penderitaannya waktu tertawa latah kemarin, kini benar-benar dirasakan bedanya seperti langit dan bumi. Mau tak mau ia menghela napas lega dan berucap, “Terima kasih nona!”

“Sekarang belum lagi waktunya kau berterima kasih padaku,” kata So Ing.

“Se ... sebab apa?” tanya Bu-koat.

“Meski sekarang suara tertawamu sudah berhenti, tapi jarum itu masih ngendon di dalam Hiat-tomu, jarum itu terdesak oleh obatku hingga miring sedikit ke samping, tapi bila kau terlalu keras menggunakan tenaga, bukan mustahil penyakitmu akan kambuh lagi.”

“Lalu ... lalu bagaimana baiknya?” tanya Bu-koat terkejut. Ia lebih suka mengorbankan segalanya daripada menderita penyakit tertawa latah begitu.

“Bergantung pada dirimu sendiri, kau ingin mengeluarkan jarum itu tidak,” kata So Ing.

“Bergantung pada diriku sendiri?” Bu-koat menegas dengan melengak.

“Jarum ini sudah terlalu dalam menyusup ke Hiat-to, sekalipun disedot dengan benda sebangsa batu hitam (maksudnya, besi sembrani) juga sukar mengeluarkannya, jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tanganmu sendiri, dengan tenaga dalam yang kuat mungkin kau dapat mendesaknya keluar.”

“Tapi ... tapi saat ini sama sekali aku tak dapat mengerahkan tenaga sedikit pun,” kata Bu-koat.

“Dengan sendirinya saat ini kau tak bertenaga, kalau bertenaga tentunya kau tidak perlu mencari aku ke sini,” jengek So Ing.

“Apakah nona ada akal lain yang dapat membuat hawa murni di tubuhku berjalan lancar?”

“Sudah tentu ada, asalkan saja kau beritahukan padaku kunci Lwekang yang kau latih, nanti aku dapat membantu dari luar untuk melancarkan tenagamu dan mendesak keluar jarum berbisa itu.”

Cara bicara si nona sedemikian tenang dan hambar, seakan-akan hal ini adalah urusan biasa, seakan-akan Hoa Bu-koat pasti akan menuturkan rahasia Lwekangnya setelah mendengar ucapannya.

Dia sengaja bersikap demikian, sebab ia tahu hanya sikap dan cara bicara ketus beginilah baru tidak menimbulkan curiga Hoa Bu-koat, supaya pemuda itu tidak menyangka semua ini adalah perangkap yang sengaja diaturnya.

Hoa Bu-koat memang betul tidak berprasangka buruk. Namun Ih-hoa-ciap-giok adalah ilmu gaib yang paling hebat, rahasia paling besar dalam ilmu silat di dunia ini, jika dia disuruh menjelaskan begitu saja, mau tak mau ia menjadi ragu-ragu juga.

Setelah memandangnya sejenak, kemudian So Ing berkata pula dengan perlahan, “Barangkali kau khawatir aku mencuri belajar Lwekangmu?”

“O, Cayhe tiada maksud begitu, cuma .…”

“Orang macam diriku ini, apabila mempunyai setitik pikiran suka pada ilmu silat, maka saat ini sekalipun belum terhitung jago nomor satu di dunia rasanya pasti juga sudah mendekati,” So Ing menghela napas, lalu menyambung pula dengan dingin, “Orang yang meyakinkan ilmu silat seperti kalian ini selalu anggap ilmu silat seperti benda mestika, padahal bagi pandanganku pada hakikatnya tidak laku sepeser pun.”

Habis berkata segera ia melangkah pergi.

“He, nanti dulu, nona,” seru Bu-koat.

So Ing menjengek tanpa menoleh, “Bicara atau tidak terserah padamu, aku mau mendengarkan atau tidak juga belum pasti.”

Bu-koat menghela napas, katanya, “Lwekang yang kulatih itu disebut ‘Ih-hoa-ciap-giok’, pada dasarnya ialah ....”

*****

Waktu senja sudah tiba pula, Pek San-kun suami istri bersama Kang Giok-long dan Thi Peng-koh telah menunggu cukup lama di gardu kecil di mulut lembah sana. Dari air muka mereka jelas terlihat rasa gelisah dan tidak sabar menunggu lagi.

Kang Giok-long tidak tahan, ia berkata dengan tertawa, “Sungguh tak dapat kubayangkan orang macam apakah nona So itu? Mengapa kedua Cianpwe sedemikian kagum padanya.”

“Setan cilik,” jawab Pek-hujin dengan tertawa, “Supaya kau tahu, apabila kau bertemu dengan dia, mungkin bicara saja kau tidak sanggup.”

“Ah, tidakkah ucapan Cianpwe ini berlebihan? Masakan Cayhe begitu ....” sampai di sini mendadak ia tak sanggup melanjutkan lagi dengan mulut ternganga.

Rupanya dilihatnya ada seorang bidadari bermantel bulu sedang melangkah tiba di bawah cahaya mentari senja, seekor bangau putih dengan jengger merah berjalan menegak di depannya, seekor menjangan jinak mengikut di belakangnya, angin meniup lembut mengusap rambutnya yang rada kusut, sebelah tangannya membelai perlahan .... Hanya gaya belaian ini saja sudah cukup membuat setiap lelaki di dunia ini menahan napas, apabila adegan ini hendak dilukis, rasanya sukar dibayangkan oleh pelukis mana pun juga.

Mungkin dia tidak terlalu cantik, tapi keanggunannya, keluwesannya, sungguh tiada bandingannya.

Kang Giok-long melotot kesima seperti orang mabuk, mana dia sanggup bicara lagi.

Pek-hujin melirik sekejap, lalu memapak ke sana, sapanya sambil tertawa, “Adikku yang baik, kau benar-benar datang.”

“Apa yang sudah kukatakan bilakah pernah kuingkari?” jawab sang “bidadari” alias So Ing dengan acuh.

Pek San-kun juga maju menyambutnya, katanya dengan tertawa, “Sudah tentu, masa perlu disangsikan lagi. Tentang rahasia Ih-hoa-ciap-giok itu pasti adik sudah berhasil mengoreknya.”

“Betul, sudah berhasil kutanyai dia,” kata So Ing.

“Terima kasih, terima kasih,” seru Pek San-kun.

“Sekarang kau belum terburu-buru berterima kasih padaku,” jengek So Ing.

Cepat Pek-hujin menyambung pula, “Memangnya, kenapa kau tidak sabaran begitu. Kan lebih dulu kita harus menyilakan duduk adik baru nanti ….”

“Aku takkan duduk dan segera akan pulang saja,” tukas So Ing ketus.

“Lantas ... lantas ... Ih-hoa-ciap-giok itu, apakah adik sudah mencatat dengan baik?” tanya Pek-hujin.

“Untuk apa dicatat, masakan aku tidak dapat mengingatnya di luar kepala?”

“Betul, betul,” seru Pek San-kun dengan tertawa. “Siapa pun tahu daya ingat adik luar biasa, cuma ....”

“Cuma kami tidak mempunyai kemampuan seperti adik,” sambung Pek-hujin dengan tertawa. “Maka bagaimana pun juga engkau ....”

“Kalian juga tidak memerlukan kepandaian demikian,” ujar So Ing.

“Ya, ya dengan sendirinya adik akan menulisnya untuk kita, kenapa kau mesti terburu-buru,” omel Pek San-kun pada bininya.

“Sekarang aku pun tidak mau menulisnya untuk kalian,” ucap So Ing tak acuh.

Pek San-kun melengak, tanyanya, “Jika begitu, jadi ... maksudmu ….”

“Umpama kalian sendiri, apabila kalian mendapatkan sesuatu permainan menarik, apakah kalian rela segera diberikan lagi kepada orang lain?”

“Tapi ini ... ini ....” Pek San-kun jadi gelagapan.

“Habis kapan baru adik akan memberitahukannya kepada kami?” tanya Pek-hujin dengan mengiring tawa.

“Bisa jadi tiga hari lagi atau lima hari lagi, mungkin juga setengah tahun atau setahun lagi, nanti kalau aku sudah bosan, dengan sendirinya akan kukatakan pada kalian.”

Pek San-kun suami istri hanya saling pandang dengan tercengang. Kata Pek-hujin kemudian, “O, adikku yang baik, jangan engkau bergurau, masa pakai tahunan segala, bisa bikin orang kelabakan setengah mati.”

“Kelabakan sampai mati pun urusan kalian sendiri, peduli apa dengan aku?”

“Tapi ... tapi adik kan sudah berjanji ....”

“Aku cuma berjanji padamu akan mengorek keterangan Ih-hoa-ciap-giok dari Hoa Bu-koat, kan tak berjanji akan kuberitahukan rahasia itu padamu?”

Seketika Pek San-kun suami istri melenggong dan tidak dapat bersuara lagi.

Perlahan So Ing membalik tubuh sambil berkata, “Di pegunungan sunyi ini tiada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tetamu, aku pun tidak menahan kalian, silakan kalian pulang saja.”

Pek-hujin menjadi gelisah, cepat ia berseru, “Tunggu dulu, adik!”

“Kalian tentunya tahu apa yang sudah kukatakan selamanya takkan berubah, mengapa kalian mesti banyak urusan pula?” seru So Ing.

“Aku ... aku ingin tahu bagaimana keadaan bocah she Hoa itu sekarang?” ucap Pek-hujin dengan menyesal.

“Dia sudah masuk tempatku ini, mati atau hidupnya adalah urusanku, kalian tidak perlu memikirkannya lagi.”

“Tapi apakah dia takkan ....”

“Huh, bilakah pernah kulakukan hal yang memalukan? Malah aku takut membikin kotor tanganku,” setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Tapi kalian pun jangan khawatir, pasti tidak akan kulepaskan dia. Selama hidupnya mungkin takkan bertemu dengan siapa-siapa lagi.”

Habis berkata, tanpa menoleh ia terus melangkah pergi.

Terpaksa Pek San-kun suami-istri menyaksikan kepergian nona jelita itu dengan melongo, tiada satu pun berani merintanginya.

Selang sejenak, Kang Giok-long menghela napas gegetun dan berkata, “Orang kasar begitu, sungguh jarang terlihat.”

Thi Peng-koh melototnya sekejap dan menjengek, “Setelah orangnya pergi kau baru bisa bersuara bukan?”

Giok-long anggap tidak mendengar, katanya, “Jika budak itu tidak tahu ilmu silat sama sekali, kenapa Cianpwe tidak membekuknya saja tadi?”

Pek San-kun menghela napas, jawabnya, “Lothaucu (si kakek) memandangnya seperti mestika, barang siapa berani menyentuh sebuah jarinya, mustahil kalau tidak dilabrak habis-habisan oleh Lothaucu. Karena kami suami istri sekarang tidak ingin merecoki Lothaucu itu, terpaksa memberi kelonggaran juga pada nona angkuh itu.”

“Apalagi,” sambung Pek-hujin dengan menyengir, “jangan kau kira dia lemah ibarat tenaga menyembelih ayam saja tidak ada, namun tipu akalnya sungguh tidak terhitung banyaknya. Hanya kita beberapa orang ini belum pasti mampu mengatasi dia.”

Giok-long tersenyum dan tidak menanggapi.

Pek San-kun memandangnya sejenak, tiba-tiba matanya bercahaya, ucapnya, “Kau penasaran bukan?”

“Ya, memang agak penasaran,” jawab Giok-long dengan tertawa.

“Apakah kau ingin mencobanya?” tanya Pek San-kun.

Sambil melirik Thi Peng-koh, Kang Giok-long cuma tersenyum saja tanpa menjawab.

Mendadak Pek San-kun menggablok pundak Giok-long, katanya sambil ngakak, “Hahaha, sudah lama kutahu kau mempunyai kepandaian khas terhadap perempuan, memang tepat jika kau mau mencobanya. Tampaknya budak itu pun sedang berahi, bisa jadi dia akan terpelet olehmu dan menceritakan semuanya padamu.”

“Ah, kepandaian khas apa yang kumiliki, janganlah Cianpwe berkelakar,” ucap Giok-long dengan tertawa sambil melirik Thi Peng-koh.

Pek-hujin lantas merangkul Thi Peng-koh, katanya dengan tertawa genit, “Adik yang baik, biarkan saja dia pergi, kujamin dia pasti tidak berani mengkhianatimu, jika dia berani menyeleweng, kepalanya pasti akan kupenggal bagimu.”

Begitulah dengan berlenggang Kang Giok-long memasuki lembah pegunungan yang indah itu, angin senja meniup sejuk, bunga harum semerbak, badan terasa enteng seakan-akan tulangnya tiada setengah kati beratnya.

Terhadap perempuan, Kang Giok-long yakin dirinya adalah seorang ahli, sudah berpengalaman, apalagi menghadapi nona kecil muda belia begini, asalkan dia maju, mustahil takkan menundukkannya dengan mudah.

Yang paling melegakan hatinya ialah nona kecil ini tidak mahir ilmu silat sedikit pun, seumpama usahanya nanti gagal, paling-paling cuma mundur teratur saja dan takkan rugi apa-apa.

Apalagi dalam keadaan perlu, malahan dia dapat memakai kekerasan, diperkosa saja nona itu, kalau beras sudah menjadi nasi, mau apalagi nona itu, selain tunduk dan menurut belaka?

Sembilan di antara sepuluh perempuan kebanyakan memang seperti kuda binal, tapi kalau sudah mau kau tunggangi, tentu dia akan jinak dan membiarkan kau memasangi pelana dan membedalnya, segi ini cukup dipahami Kang Giok-long dengan jelas.

Contohnya Thi Peng-koh, dahulu nona itu suci bersih, keras dan kereng. Tapi sekarang, bukankah nona itu sudah ditundukkan?

Apalagi seumpama nona So itu berwatak keras, mati pun tidak mau menceritakan rahasia apa-apa, bila perlu juga dapat ditinggal pergi lagi, kalau dia sudah menarik keuntungan dari si nona, yang rugi kan orang lain dan pasti bukan Kang Giok-long.

Setelah membikin neraca dan menghitung untung ruginya, makin dipikir makin gembira Kang Giok-long sehingga hampir lupa daratan.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar seorang membentaknya, “Siapa kau? Mengapa berani sembarangan menerobos ke tempat orang?”

Rupanya Kang Giok-long terlalu gembira sehingga tidak mengetahui So Ing sudah sejak tadi melototinya dari jauh.

Melihat yang menegurnya adalah nona So yang hendak dicarinya, segera Giok-long bersikap memelas seperti pengemis minta sedekah. Ia tahu perempuan selalu bersimpati pada kaum yang lemah.

“Sesungguhnya untuk apa kau datang kemari?” tegur So Ing pula sambil berkerut kening.

Giok-long menunduk, dengan sikap minta dikasihani dia menjawab, “Cayhe masuk ke sini secara sembrono, sungguh tidak sopan ....”

“Jika tahu tidak sopan, sekarang juga seharusnya lekas kau keluar saja,” kata So Ing.

Tadinya Kang Giok-long sudah menyiapkan macam-macam ocehan manis dan muluk-muluk, ia mengira cukup akan menembus hati setiap gadis. Siapa tahu nona So ini ternyata mirip sebuah dinding yang kukuh, satu lubang saja tidak ada.

Kata-kata yang sudah terkumpul memenuhi perutnya kini sepatah saja belum sempat dikeluarkan, tiba-tiba So Ing lantas membalik tubuh dan berjalan kembali ke sana. Tentu saja Kang Giok-long rada bingung. Tapi dia memang cukup cekatan menggunakan otaknya, segera ia mendapat akal. Mendadak ia berseru, “Tunggu dulu, nona! Betapa pun juga mohon nona sudi menyelamatkan jiwaku.”

“Menolong jiwamu?” tanya So Ing sambil menoleh dan berkerut kening.

“Cayhe mengidap penyakit berat, kedatanganku ini hanya ingin mohon nona menolong ....”

“Jika sakit, carilah tabib, di sini bukan rumah obat dan juga bukan tempat praktik tabib, untuk apa kau datang kemari?” sela si nona.

“Apabila orang lain dapat menyembuhkan penyakit Cayhe, tentu Cayhe tak berani mengganggu nona,” ucap Giok-long dengan rawan. “Cuma sayang, di dunia ini meski banyak tabib, tapi kebanyakan adalah kaum penipu dan pembual saja, bilamana mereka mempunyai kepintaran setitik sebagai nona saja, tentu ... ai, tentu Cayhe tidak perlu lagi jauh-jauh datang ke sini untuk mengganggu ketenangan nona.”

Di dunia ini, salah satu akal tak berwujud yang paling ampuh ialah menjilat pantat, untuk ini Kang Giok-long jauh lebih paham daripada siapa pun juga. Bukti memang nyata, air muka So Ing segera berubah lebih ramah walaupun mulutnya berucap dengan dingin, “Dari mana pula kau tahu aku dapat menyembuhkan penyakitmu? Siapa yang bilang padamu?”

“O, dari ... dari seorang sahabat orang tua yang tidak sampai hati menyaksikan penderitaanku, beliau yang memberi petunjuk dan menyuruhku datang ke sini,” jawab Giok-long dengan menunduk. Lalu ia menyambung dengan menyengir, “Cianpwe itu sebenarnya melarangku menyebut namanya, tapi di depan nona mana berani kudusta. Beliau yang memberi alamat nona di sini ialah Pek San-kun, Pek-locianpwe dan istrinya.”

Kang Giok-long benar-benar menguasai tekniknya berdusta, maka dia harus menyelinginya dengan beberapa patah kata yang tidak penting tapi benar. Kata-kata benar ini bila sebelumnya sudah diketahui lawannya, maka hasilnya akan lebih cespleng.

Maklum, apabila kata-kata bohong seseorang diucapkan terlalu banyak, tentu tiada seorang pun yang mau percaya. Tapi jika di antara kata-kata bohong itu ada sebagian adalah kata-kata benar serta ditambah lagi kalimat-kalimat sanjung puji pada sasarannya, maka usahanya pasti akan lancar dan hasilnya pasti memuaskan.

Benar juga, air muka So Ing bertambah ramah tamah lagi, katanya sambil menggeleng, “Kedua orang itu hanya suka membikin repot padaku saja.”

Dari sikap dan ucapan orang, Kang Giok-long merasakan urusan telah banyak memberi harapan. Dia memang pintar melihat gelagat, menyusul segera ia berlutut di depan si nona dan berkata, “Penyakitku ini jelas tak dapat ditolong orang lain, apabila sekarang nona tidak ... tidak kasihan padaku, maka biarlah lebih baik kumati di depan nona saja.”

Sepasang mata nona yang bening itu memandangnya lekat-lekat, sejenak barulah ia menghela napas dan berkata, “Ai, kau ini juga suka merepotkan orang ....” Sambil berkata, kembali ia membalik tubuh dan melangkah pergi pula.

“He, jangan pergi nona, apa pun juga hendaklah nona menyelamatkan jiwaku!” seru Giok-long gugup.

Tiba-tiba So Ing mengikik tawa, ucapnya, “Tolol, aku pergi, memangnya kau tak dapat ikut kemari?”

Suara tertawa si nona benar-benar membuat tulang Kang Giok-long menjadi lemas seluruhnya, sebutan ‘tolol’ itu bahkan menggelitik hulu hatinya sehingga kalau bisa si nona hendak ditubruknya sekarang juga.

Begitulah akhirnya So Ing membawa Giok-long ke ruangan yang luas itu, api lilin sudah menyala, tempat tidur pun masih di situ, namun Hoa Bu-koat yang tadinya berbaring di ranjang itu entah berada di mana sekarang?

Melihat pinggang si nona yang ramping dengan gayanya yang menggiurkan itu, sungguh kalau bisa Kang Giok-long ingin merangkulnya sekarang juga. Tapi ia pun tahu, kalau ingin memelet seorang perempuan, maka cara yang paling baik harus bersabar dan tidak boleh bertindak secara kasar.

“Nah, sekarang boleh kau katakan dulu apa penyakit yang kau derita? Bagian mana yang merasa tidak enak?” demikian So Ing mulai bertanya.

“Yang sakit ... yang sakit bagian ... bagian perut,” jawab Giok-long agak gelagapan. Maklum, pada hakikatnya dia tidak sakit apa-apa, terpaksa ia omong sekenanya.

“Sakit perut masa kau anggap penyakit?” ujar So Ing dengan tertawa.

Melihat si nona cuma tertawa saja, hati Giok-long tambah mantap, segera ia menambahkan, “Bukan saja perut Cayhe sakit, sekujur badan juga terasa sakit ....”

“Hebatkah sakitnya?”

“Wah setengah mati rasanya!”

Tapi mendadak So Ing menarik muka dan berkata dengan ketus, “Tapi keadaanmu tidak mirip orang kesakitan.”

Giok-long jadi melengak. Apabila orang lain, saat itu mungkin mukanya sudah merah padam. Tapi Kang Giok-long tidak malu sebagai ahli pendusta, bukan saja mukanya tidak merah, bahkan lantas menjawab dengan tenang, “Di depan nona mana Cayhe berani sembarangan. Apalagi, siapa pun juga bila melihat orang cantik bak bidadari seperti nona, betapa pun pasti akan melupakan rasa sakitnya.”

Ucapan ini tampaknya mengenai sasarannya. Terlihat So Ing tertawa manis, katanya, “Jika sakitmu lantas hilang setelah melihat diriku, lalu apa yang perlu disembuhkan lagi?”

“Apabila aku dapat senantiasa berada di sisi nona, biarpun mati kesakitan juga mau,” ujar Giok-long dengan cengar-cengir. “Cuma ... cuma ....”

Karena Lwekangnya sudah cukup tinggi, kini diam-diam ia mengerahkan tenaga dan didesak, segera dahinya timbul butiran keringat sehingga mirip orang yang menahan sakit.

Tampaknya So Ing menjadi khawatir juga, katanya, “Wah, kau kesakitan begini, ayolah lekas berbaring.”

Diam-diam Giok-long bergirang dalam hati, tapi di mulut ia sengaja berkata dengan suara gemetar, “Cayhe ... cayhe tidak ....”

“Masa tenaga untuk berbaring di ranjang saja tidak ada lagi?” kata So Ing.

Berulang-ulang Giok-long mengangguk dan menjawab lemah, “Ehmm ... ehmmm ....”

So Ing menghela napas, ucapnya dengan tertawa, “Jika pasienku semua seperti kau bisa berabe.”

Perlahan dia tarik bahu Kang Giok-long. Tentu saja Kang Giok-long berlagak seperti lemas lunglai, dia terus menggelendot ke tubuh si nona dan berbisik di pinggir telinganya, “Terima kasih nona.”

So Ing juga tidak marah sehingga Giok-long tambah berani, segera ia hendak merangkul. Tapi sekali menggeliat So Ing memberosot ke sana, omelnya dengan kurang senang, “Jika kau tidak berbaring dengan baik-baik, aku takkan gubris kau lagi.”

Cepat Giok-long mengiakan, katanya, “Baiklah, aku menurut.”

“Anak baik harus menurut, nanti Taci memberi permen padamu,” ucap So Ing dengan tertawa.

Melihat si nona setengah mengomel dan juga tertawa, gayanya yang menggiurkan membuat hati Kang Giok-long seperti dikili-kili. Sambil memegang perutnya ia pura-pura merintih, “O, sakit ... sakit sekali, lekas ... lekas nona memeriksanya.”

“Mana yang sakit?” tanya So Ing sambil mendekat.

Giok-long pegang tangan si nona dan digosok-gosoknya pada perutnya, katanya, “Di sini ... di sini!”

Tangan si nona yang putih halus mulus seperti tak bertulang itu lantas meraba-raba perlahan di perut Kang Giok-long, sejenak kemudian ia bertanya dengan suara lembut, “Apakah sekarang sudah baikan?”

Giok-long memejamkan mata dan menjawab, “Ya, ya, sudah rada baikan ... tapi engkau jangan berhenti, sekali berhenti segera sakit lagi.”

Tangan So Ing benar-benar memijatnya terus-menerus tanpa berhenti.

Tentu saja hati Kang Giok-long sangat senang juga merasa geli, diam-diam ia membatin, “Orang lain sama bilang nona So Ing ini betapa pintar dan betapa lihai, tapi menurut pandanganku dia tidak lebih hanya seorang gadis hijau pelonco saja yang baru mulai berahi, asalkan kugunakan sedikit akal, mustahil takkan menjadi makananku yang empuk?”

Tiba-tiba hidungnya mengendus bau harum, sebelah tangan So Ing yang putih mulus itu mendekati mulutnya, tangannya memegang satu biji obat yang berbau harum. Dengan suara lembut si nona berkata, “Inilah pil mujarab pelenyap sakit yang kubuat sendiri, selain bisa menghilangkan rasa sakit juga merupakan obat kuat. Setelah telan pil ini segera sakitmu akan lenyap.”

“Tidak, aku tidak mau,” Giok-long menggeleng.

“Mengapa tidak mau?” So Ing berkerut kening.

“Setelah kuminum pil ini, perutku lantas tidak sakit lagi, apabila perutku tidak sakit, bukankah nona lantas ... lantas takkan memijatku pula?”

“Kau memang brengsek ....” omel So Ing. “Baiklah, setelah minum obat pil ini, tetap akan kupijat kau.”

Omelan dengan tersenyum manis itu membuat sukma Kang Giok-long hampir terbang meninggalkan raganya. Dia tambah aleman, ucapnya, “Pil ini pahit tidak?”

“Pil ini tidak pahit, bahkan sangat manis, seperti permen,” kata So Ing dengan tersenyum. “Ayolah buka mulutmu, akan kusuap kau.”

Kang Giok-long lantas memejamkan mata dan membuka mulut, hatinya senang sekali.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang berteriak di tempat kejauhan, “Mana araknya? Arak sudah habis lagi! Hai, budak cilik she So, lekas bawakan arak!”

So Ing berkerut kening dan berhenti memijat, katanya, “Berbaringlah baik-baik di sini, kupergi dan segera kembali.”

Dia seperti rada gelisah, belum habis ucapannya dia terus melangkah pergi dengan terburu-buru, tapi dia sempat menoleh dan memberi pesan, “Jangan bangun dan sembarangan berkeliaran, kalau tidak menurut tentu takkan kugubris kau lagi.”

Dalam pada itu orang tadi sedang meraung pula di kejauhan, “Budak she So, apakah kau tuli? Mengapa tidak lekas kemari?!”

“Ini dia, aku segera datang, segera kubawakan araknya,” seru So Ing dengan tertawa.

Diam-diam Giok-long sangat heran, pikirnya, “Nona So ini sungguh aneh. Orang lain bersikap hormat padanya, dia justru membalas dengan kaku dan ketus. Sebaliknya orang itu berteriak-teriak menyebut dia budak dan seakan-akan menganggap dia sebagai babu, namun dia justru benar-benar menuruti segala kehendaknya. Entah saudara itu mempunyai kepandaian apa yang dapat membuat si nona tunduk begitu?”

Sungguh dia ingin merangkak bangun untuk mengintip, tapi segera terpikir bahwa usahanya sudah kelihatan ada harapan, akan lebih baik kalau tidak sembarang bergerak supaya tidak menggagalkan urusan.

Karena itu ia lantas memejamkan mata pula dan membayangkan sebentar lagi si cantik akan berada dalam pelukannya serta dikeloninya, tidak ketinggalan pula rahasia ilmu silat yang diidam-idamkan setiap orang Bu-lim itu pun akan dapat diperolehnya.

Saking senangnya hampir-hampir ia tertawa, ia bergumam sendiri, “Wahai Pek San-kun, memangnya kau kira setelah kuperoleh rahasia ini akan kuberitahukan pula padamu? Hah, jika kau sangka aku akan memberitahukan rahasia yang kuperoleh ini, maka kaulah orang goblok nomor satu di dunia ini.”

“Siapa yang kau maksudkan paling goblok nomor satu?” tiba-tiba seorang bertanya dengan tertawa.

Diam-diam Giok-long terkejut, tapi segera ia menjawab dengan tertawa, “O, kumaksudkan barang siapa yang menyebut nona adalah budak, maka dia itulah orang goblok nomor satu di dunia.”

“Ah, itu kan ucapan si linglung, dan si setan arak tua itu, kita jangan gubris dia,” ujar So Ing dengan tertawa.

Legalah hati Kang Giok-long setelah mengetahui orang yang berteriak-teriak itu disebut “tua”, apalagi si nona memakai istilah “kita” pula, sungguh mesra sekali kata-kata ini, saking senangnya sampai Kang Giok-long tertawa gembira, katanya, “Ya, ya, kita tidak perlu gubris dia.”

“Sedemikian gembira tertawamu, apakah perutmu tidak sakit lagi?” tanya So Ing.

“O, sakit, masih sakit ....” cepat Giok-long berlagak meringis lagi. “Tolonglah nona memijat pula perutku.”

So Ing tertawa, kembali ia mengurut perut anak muda itu. Sekujur badan Kang Giok-long merasa enteng seakan-akan hendak terbang ke langit.

Setelah memijat sekian lama, dengan perlahan So Ing berkata pula, “Kukira yang benar dalam hatimu menganggap aku ini orang goblok nomor satu di dunia, betul tidak?”

Giok-long melengak, cepat ia jawab dengan tertawa, “Ah, mana berani kupikir begitu, memangnya aku ini sudah keblinger?”

“Kau anggap aku ini muda belia, masih hijau pelonco, tidak pernah bergaul, apa lagi menghadapi lelaki, tentu akan sangat mudah tertipu oleh lelaki. Sebaliknya kau merasa mempunyai kemampuan untuk memikat perempuan, cukup dengan rayuan gombalmu akan dapat membuat aku jatuh dalam pelukanmu. Bahkan rahasia Ih-hoa-ciap-giok itu akan kuberitahukan padamu tanpa kau minta, begitu bukan?”

Baru sekarang Kang Giok-long benar-benar terperanjat, tapi sedapatnya dia bersikap tenang, jawabnya dengan menyengir, “Ah, mana ... mana bisa begitu? Nona ... nona sendiri yang terlalu ….”

Dengan dingin So Ing memotong, “Lagi pula kau pun tahu aku tidak mahir ilmu silat, sekalipun kuketahui maksud tujuanmu yang busuk juga tak tak dapat bertindak apa-apa padamu, sebab itulah kau jadi tambah berani, betul tidak?”

Saking kejutnya segera Kang Giok-long bermaksud melompat bangun. Tapi apa lacur, entah mengapa, sekujur badan terasa lemah lunglai tiada tenaga sedikit pun. Keruan ia menjadi takut dan berseru, “Jangan ... janganlah nona salah sangka pada orang baik, sama sekali Cayhe tidak bermaksud begitu.”

“Huh, bukan saja kau bermaksud demikian, bahkan kalau perlu kau akan memakai kekerasan, makan dulu urusan belakang, kau pikir aku toh tidak mampu melawan, apabila beras sudah menjadi nasi, apalagi kalau sampai menjadi bubur, lalu bisa berbuat apa aku ini? Aku hanya tunduk dan menurut saja padamu.”

Sungguh celaka, berapa ekor cacing pita di dalam perut Kang Giok-long sekonyong-konyong dapat dihitung dengan jelas oleh si nona. Keruan sambil mendengarkan keringat dingin pun membasahi tubuh Kang Giok-long. Dengan suara gemetar ia berkata, “O, tidak, tiada maksudku begitu. Nona jangan menuduhku tanpa berdasar. Apabila aku mempunyai maksud jahat begitu, biarlah aku mati disambar geledek.”

So Ing tersenyum manis, ucapnya, “Dalam keadaan begini memangnya kau bisa mati dengan enak?”

Giok-long tambah ketakutan, serunya, “Nona ... nona ... aku ... aduuh!”

Sekonyong-konyong ia menjerit ketika tangan So Ing yang masih terus memijat perutnya itu mendadak meremasnya. Saking kesakitan sehingga keringat dingin membasahi seluruh badan pula. Ia sendiri heran mengapa sekarang dirinya berubah menjadi sedemikian takut sakit.

“Kau minta kupijat perutmu, dan aku lantas pijat bagimu, apakah kau tahu mengapa aku menuruti keinginanmu?” tanya So Ing dengan tertawa.

Dengan gemetar Giok-long menjawab, “Cayhe tidak ... tidak tahu, mohon ... mohon nona jangan mengurut lagi.”

“Sekarang terasa sakit, lantas kau minta jangan dipijat lagi,” ucap So Ing dengan tertawa. “Tapi setelah kutahu perutmu kesakitan, penyakitku tambah berat, masa hatiku tega tidak mengurutmu lagi.”

“Tapi ... tapi aku tidak ... tidak sakit, sama ... sama sekali tidak ada penyakit apa-apa,” teriak Giok-long.

“O, jadi kau tidak sakit?” mendadak So Ing menarik muka, “Jika begitu sebab apa kau dusta padaku?”

Habis berkata, tangan si nona lantas memegang perut Giok-long lagi. Cepat anak muda itu berteriak, “Oya, sakit ... aku memang sakit ....”

“Betul, bukan saja sakit, bahkan sangat berat penyakitmu, makin lama makin parah sampai akhirnya nanti biarpun cuma disentuh oleh sehelai kertas jatuh saja kau akan kesakitan seperti disayat pisau.”

Keruan Kang Giok-long tambah ketakutan, serunya, “O, jangan ... mohon ... mohon nona menolong ... menolong diriku ....”

Tangan So Ing masih mengurutnya perlahan, namun sedikit pun Kang Giok-long tidak lagi merasakan enaknya, sebaliknya ruas tulang sekujur badan terasa terurut lepas seakan-akan mereteli.

Didengarnya So Ing berkata pula dengan menyesal, “Saat ini aku pun tak dapat menolongmu lagi, sebab tadi aku salah ambil obat, yang kuberi minum padamu itu bukan obat pelenyap sakit sebaliknya adalah pil ‘Pek-tong-jui-sing-wan’ (pil membuat sakit dan pengurang hidup).”

“Wah, Pek-tong-jui-sing-wan? Obat macam apa itu?” tanya Giok-long ketakutan setengah mati. Sungguh, selama hidupnya tak pernah mendengar nama obat demikian.

“Obat ini kalau dimakan orang yang memang sakit akan bertambah parah sepuluh kali lipat, kalau tidak sakit dan minum obat ini, segera timbul juga macam-macam penyakit padanya, bahkan seluruh badan kesakitan setengah mati.”

“O, nona ... selamanya Cayhe tiada permusuhan apa-apa dengan nona, mengapa nona membikin celaka diriku?” ratap Giok-long dengan suara parau.

“Kan kau sendiri yang mengaku sakit berat?!” jawab So Ing dengan tertawa. “Karena aku tidak mau menganggap kau ini pendusta yang tidak tahu malu, maka dengan maksud baik kuberi minum obat ini, kalau sekarang kau sakit benar-benar kan berarti kau tidak berdusta .... Apalagi, lantaran khawatir sakitmu kurang cepat timbulnya, maka dengan maksud baik kupijat pula perutmu untuk membantu daya kerja obat itu.” Setelah menghela napas gegetun, ia menyambung pula, “Nah, sedemikian baik kulayanimu, masa kau tidak berterima kasih padaku?”

Ya kejut, ya takut, ya sakit, butiran keringat bertetes-tetes dari dahi Kang Giok-long seperti air hujan. Dengan suara gemetar ia berkata, “O, nona So, So-cianpwe, aku ... baru sekarang hamba tahu kelihaianmu, kumohon .... Mengingat Pek San-kun suami istri, sudilah engkau mengampuni diriku.”

“Ai, aku kok lupa bahwa kau adalah sahabat Pek San-kun suami-istri,” kata So Ing.

“Ya, ya, jangan sampai nona lupa.”

“Betul juga, lantaran kau adalah sahabat mereka, tidak boleh kusaksikan kau mati sakit di sini, betapa pun harus kutolong kau .... Cuma sayang obat ini bukan racun, maka tiada obat penawarnya. Padahal obat sudah kau minum, wah, bagaimana baiknya ini?”

“To ... tolong nona, eng ... engkau pasti bisa.”

“Aha, kuingat satu jalan,” seru So Ing tiba-tiba sambil berkeplok.

“Bagaimana caranya?” tanya Giok-long girang.

“Dengan cara operasi,” jawab So Ing. “Perutmu dibedah untuk mengeluarkan pil itu.”

“Perut dibedah?” Giok-long menegas dengan ternganga takut.

“Ya,” jawab So Ing. “Tapi kau tidak perlu khawatir, aku pasti memotongnya dengan perlahan dan mengeluarkan obat itu dengan hati-hati, kau pasti takkan merasakan apa-apa.”

“Jika perut dibedah, orangnya mati, tentu saja tidak merasakan apa-apa lagi,” ucap Giok-long dengan meringis.

“Hah, kau memang pintar,” kata So Ing dengan tertawa. “Beginilah resep menghilangkan rasa sakit dari keluarga kami. Tangan sakit potong tangan, kaki sakit potong kaki, kepala sakit potong kepala, perut sakit perut dibedah. Tanggung mujarab, tanggung ces-pleng!”

Sambil bicara ia terus menyingkir ke sana sembari bergumam, “Mana pisaunya ... di mana kutaruh pisauku? ....”

Keruan Kang Giok-long ketakutan, cepat ia berteriak, “Nona ... jangan nona ....”

“O, kau tidak memerlukan penyembuhanku lagi?” tanya So Ing.

“Ya, tidak ... tidak perlu lagi,” seru Giok-long dengan suara serak.

So Ing menghela napas gegetun, katanya, “Jika kau tidak mau disembuhkan, ya apa boleh buat, ini keputusanmu sendiri, jangan kau salahkan aku, betul tidak?”

“Ya, be ... betul, betul, betul sekali.”

“Dan sekarang tentunya kau tahu siapa orang goblok nomor satu di dunia, bukan?” tanya So Ing.

“Ya, ya, tahu, ialah aku ini ... aku inilah orang paling goblok di dunia, orang paling brengsek, paling busuk, dan ....” akhirnya Kang Giok-long menangis tergerung-gerung tanpa kenal malu lagi.

“Buset! Sudah gede begini juga suka menangis, sungguh menyebalkan ....” ucap So Ing dengan tertawa, kembali tangannya menekan perlahan pada sandaran tangan kursi tadi, mendadak tempat tidur itu menjeplak sehingga tubuh Giok-long terpental.

Tapi pada saat itu juga di belakang tempat tidur muncul sebuah lubang, di tengah jerit kaget Kang Giok-long terus terperosot ke dalam lubang itu dan merosot ke bawah seperti naik tangga luncur.

So Ing tersenyum dan bergumam, “Yang satu menangis, yang lain tertawa, kedua orang ini benar-benar satu pasangan, maka biar kalian menjadi teman saja di situ ....”

Sementara itu ranjang tadi telah anjlok lagi ke bawah, lubang gua itu pun merapat kembali.

Terdengar di kejauhan sana orang itu berteriak-teriak pula, “Minum arak sendirian tiada artinya, he, budak she So, kenapa kau tidak kemari mengiringi aku minum?!”

So Ing menghela napas, gumamnya dengan tersenyum getir, “Hanya dia, dia benar-benar bintang penggoda dalam hidupku ini. Sungguh aneh, aku pun tidak habis mengerti, apabila melihat dia, maka aku lantas kehilangan akal ....”

*****

Di belakang rumah ini ternyata masih ada dunia lain, di mana-mana bunga mekar menyelimuti bumi, pepohonan menghijau permai mengelilingi bukit kecil, di bawah bukit ini ada sebuah gua. Cahaya lampu tampak terang benderang di dalam gua yang luas dan terpajang mewah melebihi kamar anak perawan keluarga hartawan.

Cuma aneh, kamar gua sebagus itu justru pintu guanya ditutup oleh sebuah pagar besi, terali besinya besar-besar, lebih besar daripada lengan anak kecil.

Di dalam gua mewah itulah kini seorang duduk menyanding meja dan sedang asyik minum arak.

Tampaknya sudah tidak terhitung banyaknya arak yang telah diminumnya, air arak berceceran di atas meja, secawan demi secawan orang itu masih terus menenggak tanpa berhenti.

Rambutnya tampak kusut masai, berkaki telanjang, pakaiannya juga aneh, sebuah jubah putih yang longgar dan besar sehingga kelihatannya sangat lucu.

Orang itu duduk menghadap ke dalam sehingga wajahnya tidak jelas kelihatan. Terdengar dia sedang berteriak-teriak, “Budak she So, kenapa kau tidak lekas datang? Jika kau tidak segera datang, aku akan ....”

Pada saat itulah So Ing baru muncul, jawabnya dengan suara lembut, “Ini dia, sudah datang. Ai, jarang ada orang tidak sabaran seperti engkau ini.”

“Persetan!” orang itu meraung gusar sambil mengebrak meja. “Kau anggap aku tidak sabar? Memang beginilah watak pembawaanku, peduli apa denganmu? Jika tidak suka tidak perlu kau memandangku.”

So Ing menunduk sedih, air mata hampir saja menetes.

Tapi orang itu mendadak tertawa dan berkata pula, “Tapi aneh juga, bilamana aku terkenang padamu, mengapa buru-buru kuteriaki kau supaya lekas kemari. Orang lain suka bilang sehari tidak bertemu seolah-olah berpisah selama tiga tahun. Bagiku, pada hakikatnya sebentar saja sudah terasa rindu jika ditinggal pergi olehmu.”

Karena ucapan ini, dari menangis So Ing lantas tertawa, dengan menggigit bibir ia berucap, “Kutahu jiwaku ini cepat atau lambat pasti akan amblas dibikin gemas olehmu.”

“Eeh, jangan, sekali-kali kau jangan mati,” teriak orang itu dengan tertawa. “Jika kau mati, lalu siapa lagi yang akan mengiringi aku minum arak?”

Sembari bergelak tertawa ia lantas berpaling, cahaya lampu menyinari mukanya dengan terang.

Tertampak mukanya corang-coreng penuh garis-garis bekas luka, kalau dipandang sepintas lalu terasa sangat jelek dan menakutkan. Tapi kalau dipandang lagi lebih cermat, rasanya wajahnya cerah dan halus tiada sesuatu codet apa pun, matanya yang besar dan mencorong terang, hidungnya mancung, bibirnya yang tipis dengan senyumnya yang kemalas-malasan ....

Sungguh di dunia sukar dicari orang lain yang mempunyai daya tarik lebih kuat daripada orang ini.

Inilah dia yang senantiasa dirindukan orang siang dan malam, anak muda yang tak dapat terlupakan, ya dicinta, ya dibenci, ya menggeregetkan.

Siapa lagi dia kalau bukan Kang Siau-hi alias Siau-hi-ji.

Wahai Siau-hi-ji!!

Ke manakah kau selama ini, mengapa kau bisa muncul di sini?

Mengapa pula kau terkurung di gua ini dan apa pula hubunganmu dengan si nona jelita cendikia So Ing?

Perbuatan aneh dan kegemparan apalagi yang telah kau lakukan?

Melihat Siau-hi-ji mau berpaling ke arahnya, mata So Ing bercahaya, ucapnya dengan tersenyum lembut, “Sejak tadi kau berteriak-teriak meminta aku mengiringimu minum, sekarang aku sudah datang, mengapa tidak kau berikan cawan araknya?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Jika betul kau hendak mengiringi aku minum, mengapa kau tidak masuk kemari?”

Tapi So Ing lantas menggeleng, jawabnya, “Biar kuminum di luar sini, kan sama saja?”

“Mana bisa sama?” kata Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh. “Jika mau, kau harus duduk di sampingku, mengajak bicara padaku, dengan demikian barulah aku dapat minum dengan baik. Bukankah tadi sudah kukatakan, betapa kurindukan dikau?”

Sinar mata So Ing tampak berkilau-kilau, wajahnya bersemu merah, jawabnya dengan tertawa dan menunduk, “Meski aku berada di luar sini, kau tetap dapat melihat aku.”

“Tapi akan lebih baik jika kau masuk ke sini.”

“Tidak, lebih baik aku tidak masuk ke situ.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji melonjak bangun dan mendamprat, “Kau budak busuk, budak mampus! Siapa yang ingin kau mengiringi kuminum? Lekas kau enyah dari sini!”

Namun So Ing tidak marah sama sekali, sebaliknya ia menjawab dengan tertawa, “Pokoknya aku tidak ambil pusing, biar kau rayu juga aku takkan masuk ke situ, kau mencaci maki tetap juga aku tidak mau masuk ke situ.”

“Mengapa kau tidak mau masuk kemari!” Siau-hi-ji meraung murka. “Memangnya kau takut kumakan kau? Aku kan bukan Li Toa-jui?”

“Kutahu engkau tidak makan manusia,” ucap So Ing dengan tertawa. “Tapi aku pun tahu, apabila kubuka pintu dan masuk ke situ, kesempatan mana akan kau gunakan untuk kabur, betul tidak?”

Siau-hi-ji mencibir, jengeknya, “Hm, kau bukan cacing pita di dalam perutku, dari mana kau tahu isi hatiku?”

So Ing hanya tersenyum saja dan tidak menanggapi.

Siau-hi-ji berputar-putar beberapa kali di dalam, tiba-tiba ia berhenti pula di depan si nona, katanya dengan tertawa, “Kutahu kau ini orang bajik, bahkan sangat baik padaku, kumaki kau, sama sekali kau tidak marah. Tapi mengapa kau sengaja mengurung aku di sini? Untuk apa?”

So Ing menghela napas, jawabnya, “Masa kau tidak tahu maksudku?”

“Aku justru ingin mendengarnya darimu?” kata Siau-hi-ji.

“Kutahu engkau ini orang suka bergerak, watakmu juga pemberang, jika tidak kukurung di sini, sejak kemarin-kemarin engkau sudah pergi. Padahal sampai saat ini lukamu belum lagi sembuh, bilamana engkau bergerak, tentu bisa tambah parah.”

“O, jadi kau ini bermaksud baik?” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.

So Ing hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

Siapa tahu mendadak Siau-hi-ji berjingkrak gusar pula, teriaknya, “Tapi aku tidak sudi menerima kebaikanmu ini. Aku akan mati atau tetap hidup adalah urusanku dan tiada sangkut-pautnya denganmu. Jangan kau sangka setelah menyelamatkan aku, lalu aku harus menuruti segala kehendakmu dan berterima kasih padamu dan ....”

“Aku ... aku kan tidak minta engkau berterima kasih padaku, bukan?” ucap So Ing sambil menunduk.

Siau-hi-ji berputar kayun beberapa kali pula di dalam ruangan, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, “Bicara terus terang, untuk apakah kau menolong aku, sungguh aku tidak mengerti.”

So Ing terdiam sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan, “Hari itu kebetulan kudatang ke Thian-gua-thian (surga di langit) ....”

Baru satu dua kalimat ia bicara, mendadak Siau-hi-ji melonjak murka pula dan meraung, “Huh, Thian-gua-thian apa? Di sana tiada lain cuma sebuah liang tikus belaka.”

So Ing tertawa dan berkata, “Baiklah, anggap saja liang tikus, engkau kan tidak perlu marah toh?”

“Kenapa aku tidak marah,” teriak Siau-hi-ji. “Bila mendengar kata-kata ‘tikus’ langsung kepalaku sakit.”

“Tapi kata-kata ini kan kau sendiri yang mengucapkannya dan bukan aku,” ujar So Ing.

“Kepalaku sakit bila mendengar ucapan orang, apalagi aku sendiri yang mengatakannya, kepalaku jadi tambah sakit,” omel Siau-hi-ji.

“Jika begitu kan tidak perlu kau katakan, toh tiada orang yang memaksa kau bicara,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Tapi mulutku terasa gatal bila tidak bicara, apalagi aku ....” sampai di sini Siau-hi-ji geli sendiri, ia pun merasa dirinya terlalu kepala batu dan ingin menang sendiri. Ia berpaling ke sana sambil menahan tawa, katanya, “Kenapa tidak teruskan ceritamu?”

“Oya, hari itu kebetulan kudatangi Thian …. O, liang ti ....” mendadak So Ing serba salah, sebab Siau-hi-ji melarang dia bilang “Thian-gua-thian” dan juga tidak boleh berkata tentang “tikus”. Diam-diam ia merasa geli, terpaksa ia menggigit bibir dan berganti kalimat, “Hari itu kudatang ke sana, maksudku hendak mengambil bahan obat-obatan yang mereka kumpulkan bagiku itu. Tak tersangka di sanalah kulihat engkau kebetulan juga berada di sana.”

“Akulah yang sial bisa datang ke tempat setan sana, kau pun sial karena bertemu dengan aku,” kata Siau-hi-ji.

“Tapi waktu berjumpa denganmu tempo hari, sedikit tanda sial saja tak kulihat pada dirimu. Meski baju yang kau pakai waktu itu compang-camping, namun sikapmu dan lagakmu seperti pangeran yang memakai baju yang paling indah dan paling mewah di dunia ini.”

Siau-hi-ji duduk sambil melipat kakinya, katanya, “Lalu? Bukan saja lagakku menarik, memang potonganku kan juga tidak jelek.”

“Betul,” tukas So Ing sambil tersenyum, “engkau memang tidak jelek, lebih-lebih sepasang matamu ….”

“Dan alisku, hidungku, mulutku, apakah semua ini kurang baik?” seru Siau-hi-ji.

“Ya, ya, dari kepala sampai kakimu, tiada satu pun yang jelek, semuanya bagus ... nah, cukup?” So Ing tertawa nyekikik.

Siau-hi-ji menenggak araknya seceguk, jawabnya dengan tertawa, “Ehm, boleh juga ....”

So Ing tertawa terpingkal-pingkal, dengan napas terengah-engah, ia berkata pula, “Sungguh aneh kau ini, sengaja memaksa orang lain bilang kau ini bagus, cakap, ganteng. Orang seperti engkau ini sungguh belum pernah kulihat.”

“Orang seperti diriku ini memang tidak bisa sering-sering terlihat,” ucap Siau-hi-ji sambil mencibir.

“Sebenarnya aku bukan orang yang mudah terkejut, tapi ketika kulihat kau, aku menjadi ....”

Dengan tertawa Siau-hi-ji menukas, “Waktu melihat diriku, matamu terbelalak terkesima, mulutmu ternganga seakan-akan melihat hantu, sungguh ketika itu ingin kujejal mulutmu dengan sebutir telur.”

So Ing mengikik tawa, katanya, “Soalnya aku memang merasa heran.”

“Apa yang kau herankan?” tanya Siau-hi-ji.

“Yang kuherankan pertama adalah mengapa … mengapa engkau bisa berada di sana.”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian sambil berkerut kening, “Sudah tentu ada sebabnya, cuma ... cuma kau pun tidak perlu tahu, karena untuk apa dan cara bagaimana kudatang ke tempat setan itu, semuanya tiada sangkut-pautnya dengan kau.”

“Ada lagi yang membuatku heran, yakni, sama sekali tiada tanda-tanda merasa takut pada dirimu meski berada di tempat begitu,” ucap So Ing dengan gegetun.

“Apa yang perlu kutakuti?” jengek Siau-hi-ji. “Tempat yang lebih seram dan lebih mengerikan juga sudah banyak kulihat.”

“Tapi pernahkah kau lihat orang yang ... yang lebih menakutkan daripada Gui Bu-geh?” tanya So Ing.

Seketika Siau-hi-ji tak dapat menjawab lagi, tangannya yang memegang cawan arak seperti rada gemetar sehingga arak di dalamnya hampir tercecer keluar.

Dengan menghela napas So Ing menyambung lagi, “Semenjak berumur tujuh atau delapan tahun hampir setiap dua-tiga hari satu kali pasti aku menemui dia, tapi sampai saat ini, apabila kulihat wajahnya, rasanya aku tetap menggigil ketakutan padanya.”

Mendadak Siau-hi-ji gabrukkan cawannya di atas meja dan berteriak, “Tapi aku tidak takut padanya, aku cuma merasa mual, ingin muntah bila melihat cecongornya itu. Wajahnya, tampangnya itu pada hakikatnya bukan manusia, dia ... dia hakikatnya adalah hantu yang diciptakan secara gado-gado dari seekor tikus, seekor rase, seekor serigala dan dibumbui dengan sebotol racun dan sebotol karbol ….”

Hampir So Ing tertawa geli pula, ucapnya, “Apa pun juga, berhadapan dengan Gui Bu-geh, engkau tetap gagah dan angkuh. Padahal orang lain pasti ketakutan setengah mati bila bertemu dengan dia.”

Siau-hi-ji mendengus, tapi tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, “Bicara terus terang, waktu kulihat kalian, dalam hatiku juga merasa geli. Bilamana kalian duduk bersanding, mirip benar satu porsi Ang-sio-bak berjajar dengan satu porsi tahi kerbau. Sungguh di dunia ini sukar dicari keadaan yang tidak serasi seperti kalian.”

So Ing menunduk dan terdiam sejenak, katanya kemudian dengan rawan, “Meski dia bukan orang baik, tapi terhadapku ... terhadap diriku dia selalu sangat baik, selama sepuluh tahun ini, boleh dikatakan tidak pernah mengecewakan aku, apa pun yang kuinginkan selalu dipenuhi olehnya.”

“Hm, siluman ingin menjilat si cantik, adalah pantas kalau dia bersikap baik padamu.”

Kembali So Ing terdiam sejenak, lalu berkata dengan tertawa, “Waktu engkau mendadak menerobos masuk ke tempatnya dan berani pula melotot dan meraung padanya, mau tak mau ia pun kaget. Selama ini belum pernah kulihat seseorang dapat membuat air mukanya berubah, tapi ketika dia melihatmu, sorot matanya seakan-akan menghijau.”

“Semula mungkin mereka mengira besi tua yang dia pasang di mulut gua itu dapat merintangi aku, tak tahunya benda-benda itu bagiku tidak lebih hanya seperti permainan anak kecil saka,” kata Siau-hi-ji sambil tergelak-gelak.

“Kau anggap benda-benda itu besi tua dan permainan anak kecil, tapi tahukah alat-alat perangkap itu telah banyak mengambil korban?”

“Brak”, mendadak Siau-hi-ji menggebrak meja, teriaknya, “Hah, tahu begitu, permainan itu tentu sudah kubakar ludes.”

“Justru lantaran kau mampu menerobos melalui kedelapan belas pesawat rahasia yang dia pasang itu maka dia rada jeri padamu,” tutur So Ing. “Makanya meski engkau bersikap garang dan meraung padanya, dia tetap diam saja ....”

“Jika dia sudah tahu kelihaianku, mengapa dia menyuruh beberapa orang tolol itu mengantarkan kematiannya?” tukas Siau-hi-ji.

“Dia sendiri tidak turun tangan melainkan menyuruh anak muridnya saja, tujuannya ingin menjajal sampai di mana dan asal usul ilmu silatmu. Sudah tentu ia pun tahu anak buahnya itu pasti bukan tandinganmu.”

“Haha, memangnya kau kira aku tidak tahu jalan pikirannya? Makanya aku justru menyembunyikan gaya asal usul ilmu silatku.”

“Ya, aku pun heran ketika melihat gaya permainanmu,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Kau heran? Memangnya kau mengerti apa?”

“Meski aku malas belajar silat, tapi sedikit banyak aku pun tahu banyak gaya dan gerakan ilmu silat dari berbagai aliran dan golongan di dunia ini. Hihi, ilmu silatmu ternyata ....” So Ing tertawa dan menyambung pula. “Ilmu silatmu ternyata lebih aneh daripada dirimu, sekali tempo jurus yang kau mainkan tampaknya seperti gaya silat Bu-tong-pay, tapi kalau dilihat lebih teliti, ternyata bukan. Terkadang ....”

“Terkadang kau sangka itu satu porsi pecal lele, setelah didekati ternyata satu porsi gado-gado, begitu bukan?” tukas Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Betul, seakan-akan seluruh ilmu silat di dunia ini semuanya kau pelajari walaupun cuma sedikit-sedikit, tapi gaya yang kau mainkan justru berlainan.”

“Ilmu silatku memang terdiri dari satu porsi cap-cay, campur-aduk seperti gado-gado,” seru Siau-hi-ji sambil tertawa. “Tapi lantaran cap-cay ini hasil buatan dari belasan koki termasyhur, meski tampaknya tak keruan, tapi rasanya lumayan juga.”

Seperti diketahui, guru yang mengajarnya mula-mula memang tidak cuma seorang saja, apalagi ilmu silat Ha-ha-ji, To Kiau-kiau, Im Kiu-yu, Li Toa-jui, Toh Sat dan lain-lain memang juga campur aduk. Sebab itulah sebelum meninggalkan Ok-jin-kok, sudah berpuluh macam ilmu silat yang dipelajarinya.

Setelah dia meninggalkan sarang penjahat itu, setiap jago silat yang pernah dijumpainya, sedikit banyak ia pun berhasil mencuri beberapa jurus dari mereka. Akhirnya ditambah lagi kitab pusaka ilmu silat yang diketemukannya di istana bawah tanah itu, bahkan ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu adalah intisari ilmu silat hasil karya tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai aliran dan golongan.

Jika Siau-hi-ji dibandingkan dengan Hoa Bu-koat, maka ilmu silat Hoa Bu-koat boleh diibaratkan satu porsi nasi rawon yang dibuat oleh seorang koki pandai dari bahan-bahan pilihan. Sedangkan ilmu silat Siau-hi-ji benar-benar satu porsi gado-gado yang masih segar. Nasi rawon memang enak, tapi gado-gado juga tidak kurang lezatnya.

Begitulah dengan tertawa So Ing lantas berkata pula, “Sesungguhnya Cui Bu-geh juga tidak menyangka bahwa dia sendiri pun tidak dapat mengenali gaya ilmu silatmu.”

“Sebab itulah sejak mula dia hanya duduk saja tanpa turun tangan, begitu bukan?”

“Ehm,” So Ing tersenyum.

“Memangnya dia dapat menyaksikan anak buahnya kubinasakan begitu saja?”

“Walaupun orang-orang itu adalah muridnya, tapi semuanya belum termasuk hitungan dan bukan murid kesayangannya, apalagi mati hidup orang lain pada hakikatnya tidak pernah dipusingkan olehnya, asalkan menguntungkan dia, sekalipun kepala anaknya sendiri harus dipenggal juga dia tidak keberatan.”

“Hm, memang sejak mula kutahu dia bukan manusia!” teriak Siau-hi-ji dengan gusar. “Nyatanya dia bahkan lebih rendah daripada binatang.”

“Dan demikian setelah kau bereskan beberapa orang itu, lalu dia menyilakan kau duduk dan kau pun benar-benar duduk .... Ai, kau kan orang pintar, masa tidak tahu tindakannya itu pasti tidak bermaksud baik?”

“Justru lantaran kau anggap diriku ini mahapintar, kuyakin apa pun permainan yang akan dia keluarkan pasti takkan mampu terlepas dari genggamanku.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes