Wednesday, May 12, 2010

bgp7_part3

Yan Lam-thian hanya menghela napas dan tidak menanggapi, tiba-tiba ia berkata kepada Siau hi-ji, “Ayolah kita pergi.”

“Tidak, paman, sekarang aku tidak dapat pergi,” jawab Siau-hi-ji.

“Apa yang kau tunggu lagi?” tanya Yan Lam-thian dengan kurang senang.

Siau-hi-ji menunduk, katanya, “Waktu kecilku, paman Li tidaklah jelek terhadapku. Sekarang dia dalam keadaan begini mengenaskan, mana boleh kutinggalkan dia menantikan ajalnya sendiri di sini?”

Mendadak Li Toa-jui berteriak, “Siau-hi-ji, tidak perlu kasihan padaku, juga tidak perlu kau balas budi kebaikan. Hakikatnya aku tidak berbuat sesuatu kebaikan padamu. Bahwa kami membesarkanmu di Ok-jin-kok, maksud tujuan kami juga tiada lain daripada mengharapkan setelah kau dewasa akan melakukan kejahatan dan membuat celaka orang lain seperti halnya perbuatan kami.”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Aku tidak peduli apa maksud tujuan kalian, yang jelas aku memang telah dibesarkan oleh kalian. Sekarang hidupku terasa sangat menyenangkan, maka tidak bolehlah kulupakan budi kebaikan kalian.”

Li Toa-jui menghela napas panjang-panjang, gumamnya, “Budi kebaikan ... O budi kebaikan. Anak yang dibesarkan Cap-toa-ok-jin ternyata tidak pernah melupakan budi kebaikan, tampaknya sejak dulu-dulu seharusnya Cap-toa-ok-jin mesti ganti profesi untuk menjadi juru rawat saja.”

“Betul, kelak bila kami mempunyai anak, tentu kami akan mengundang engkau untuk menjadi juru rawat anak kami,” tiba-tiba seorang menanggapi dengan tertawa.

Kiranya So Ing juga telah menyusul tiba, cuma sejak tadi dia tidak bersuara.

Li Toa-jui terbelalak, tanyanya, “Kalian akan punya anak? Anakmu dengan siapa?”

So Ing melirik Siau-hi-ji sekejap, ia menunduk, lalu berkata dengan menahan tawa, “Sekarang memang belum punya anak, tapi kelak kami pasti punya.”

“Haha, luar biasa, tak tersangka ikan kecil ini akhirnya terkail juga,” seru Li Toa-jui dengan tertawa. “Wah, tampaknya kepandaianmu memancing ikan memang sangat lihai.”

Tapi Siau-hi-ji lantas menjengek, “Hm, kepandaiannya memuaskan diri sendiri memang hebat.”

“Baik, anggaplah aku memang suka memuaskan diri sendiri, apa pun yang kau lakukan pasti akan kuturut seluruhnya,” kata So Ing dengan tersenyum, “Pokoknya, bilamana aku melahirkan anak, maka kaulah ayahnya.”

Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya dengan muram, “Ai, sungguh sialan, menghadapi orang begini memang benar-benar bisa mati konyol.”

Li Toa-jui bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, tak tersangka akhirnya Siau-hi-ji ketemu batunya. Haha, nona yang baik, sungguh aku kagum padamu, nyata kau jauh lebih hebat daripada gabungan Cap-toa-ok-jin kami dalam hal menjinakkan ikan kecil ini.”

Setelah bergelak tertawa, mendadak air muka Li Toa-jui menampilkan rasa menderita lagi, jelas lukanya menjadi kesakitan pula.

Mendadak Yan Lam-thian berkata, “Menerima budi harus membalas, inilah sifat sejati seorang lelaki, maka boleh kau tinggal saja di sini.”

“Dan ke mana paman akan pergi?” tanya Siau-hi-ji.

Yan Lam-thian berpikir sejenak, jawabnya kemudian, “Akan kutunggu kau di puncak bukit sana, mungkin mereka sudah berhasil menemukan Hoa Bu-koat, maka selekasnya kau pun pergi ke sana.”

“Ya, kalau aku sudah berjanji pada paman Yan, sekalipun dengan merangkak juga akan hadir ke sana,” ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum getir.

“Baik sekali,” kata Yan Lam-thian, habis itu ia lantas bertindak pergi dengan langkah lebar.

Sambil memandangi bayangan pendekar besar yang kekar itu menghilang di kegelapan, Li Toa-jui menghela napas gegetun, katanya, “Orang ini memang sangat tegas dan bijaksana, sungguh tidak malu disebut sebagai seorang lelaki sejati.”

“Kukira engkau sendiri pun tidak malu untuk disebut sebagai lelaki sejati,” tiba-tiba So Ing menukas dengan tertawa.

Li Toa-jui jadi melengak. “Aku?” ia menegas.

“Ya,” jawab So Ing. “Di antara Cap-toa-ok-jin hanya engkaulah yang dapat dianggap sebagai lelaki sejati. Cuma sayang seleramu berbeda dengan orang lain, kalau tidak mungkin engkau sudah menjadi sahabat karib Yan-tayhiap.”

“Hahaha, bagus, bagus!” seru Li Toa-jui dengan terbahak-bahak. “Ada seorang nona cantik memuji diriku sebagai lelaki sejati, sungguh mati pun tidak perlu penasaran lagi. Cuma sayang, aku tidak dapat menyaksikan Siau-hi-ji kecil yang akan kau lahirkan kelak.”

“Wah, tak kusangka paman Li juga tidak tahan disanjung puji orang, hanya sedikit diumpak saja, seketika membantu orang menjaring diriku,” kata Siau-hi-ji dengan menyengir.

“Menjaring engkau?” seru Li Toa-jui dengan melotot. “Ketahuilah, kau bisa memperoleh bini seperti dia adalah kemujuranmu yang mahabesar. Jika aku tidak sekarat begini, mustahil kalau aku tidak bersaing denganmu untuk memperebutkan dia.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Bukan mustahil kelak seleraku juga akan berubah seperti paman Li dan tengah malam akan kumakan dia bulat-bulat.”

Sorot mata Li Toa-jui menampilkan rasa derita lagi, agaknya dia tidak suka mendengar peristiwa yang menyakitkan hati tentang istrinya itu.

Siau-hi-ji sangat cerdik, melihat air muka Li Toa-jui itu segera ia tahu diri, cepat ia ganti haluan dan berkata pula, “So Ing, jika kau benar-benar menginginkan paman Li akan menjadi juru rawat anakmu kelak, maka lekaslah kau menyembuhkan luka paman Li ini.”

“Apa? Kau minta dia menyembuhkan lukaku?” tanya Li Toa-jui dengan melenggong.

“Masa paman Li belum tahu?” tanya Siau-hi-ji. “Budak ini selain mahir memuaskan dirinya sendiri, kepandaiannya mengobati orang juga lumayan.”

Mendadak Li Toa-jui bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, kukira kau ini orang pintar, tak tahunya kau adalah orang goblok.”

“Masa ... masa paman Li tidak ... tidak ingin di ....”

“Coba jawab,” potong Toa-jui sebelum ucapan Siau-hi-ji berlanjut, “bilakah kau lihat aku berlagak pahlawan, berlagak gagah perwira?” Dia menggeleng-geleng, lalu menjawab pertanyaannya sendiri, “Tidak pernah, selamanya tidak pernah. Aku adalah orang yang paling takut mati, maka bila lukaku ini dapat disembuhkan, kan sejak tadi aku sudah berlutut memohon pertolongannya.”

“Tapi paling tidak keadaan lukamu kan harus kuperiksa dahulu,” kata So Ing.

“Periksa apa?” Li Toa-jui melotot. “Betapa parah lukaku masakah aku sendiri tidak tahu? Memangnya kau kira aku ini orang yang goblok?”

Siau-hi-ji saling pandang sekejap dengan So Ing, mereka tahu Li Toa-jui sudah bertekad tidak mau hidup lagi. Keduanya lantas saling mengedip, diam-diam mereka sudah mempunyai perhitungan.

Tiba-tiba Li Toa-jui berkata pula dengan tertawa “Jika kau benar-benar ingin membayar utang budimu padaku, kukira memang ada suatu cara yang baik.”

“Cara bagaimana?” tanya Siau-hi-ji.

“Aku merasa sangat kelaparan sehingga kepala pusing tujuh keliling,” ucap Li Toa-jui dengan tertawa. “Maka harus kau carikan akal agar aku dapat makan dengan sekenyang-kenyangnya. Konon jalan yang menuju ke akhirat sama sekali tiada rumah makan, jika aku harus menghadap Giam-lo-ong (raja akhirat) dalam keadaan lapar, kukira tidak enak rasanya.”

Siau-hi-ji melenggong sejenak, katanya kemudian dengan menggaruk-garuk kepala sambil tersenyum, “Wah, tidaklah mudah mencari daging manusia di tempat begini, rasanya terpaksa harus minta kelonggaran paman Li, seadanya bolehlah secuil daging pahaku sekadar mengisi perutmu.”

“Daging manusia lagi maksudmu? Siapa bilang aku minta makan daging manusia?” kata Li Toa-jui dengan melotot.

“Jadi ... jadi paman Li tidak … tidak makan daging manusia?”

“Sekalipun daging manusia benar-benar paling lezat di dunia ini, kan sudah berpuluh tahun aku memakannya, rasanya tentu juga sudah bosan,” kata Li Toa-jui. Mendadak ia meludah, lalu menyambung pula, “Hm, bicara sejujurnya, bilamana sekarang aku ingat pada daging manusia, rasanya aku menjadi mual.”

Sekali ini Siau-hi-ji benar-benar melenggong.

Li Toa-jui tertawa dan berkata pula, “Apakah kau kira aku benar-benar sangat suka makan daging manusia? Hm, terus terang kuberitahukan, sebabnya aku suka makan daging manusia tiada lain hanya karena aku ingin menggertak orang saja.”

“Menggertak orang? Maksudmu menakuti-nakuti orang?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya,” jawab Li Toa-jui. “Apakah kau tahu apa sebabnya To Kiau-kiau, Ha-ha-ji dan lain-lain selalu jeri padaku? Nah, tiada sebab lain daripada karena aku suka makan manusia. Orang yang suka makan manusia tentu akan membuat takut orang.”

Siau-hi-ji garuk-garuk kepala lagi, ia menjadi bingung.

Kembali Li Toa-jui menghela napas, katanya, “Manusia hidup di dunia ini demi untuk berbuat jahat atau untuk berbuat bajik? Perbedaan antara keduanya sebenarnya sangat sedikit. Sebabnya aku bisa menjadi Cap-toa-ok-jin sebenarnya juga cuma disebabkan kesalahan berpikir sekilas saja. Dia tertawa, lalu bertanya, “Apakah kalian dapat menerka cara bagaimana aku bisa menjadi anggota Cap-toa-ok-jin?”

Siau-hi-ji menggeleng, jawabnya, “Tidak, aku tidak tahu.”

Li Toa-jui menatap kegelapan di kejauhan sana, katanya kemudian dengan perlahan, “Sejak kecil aku memang punya hobi makan, segala makanan pasti kucoba, sampai-sampai barang yang tidak berani dimakan orang Kwitang (Kanton) yang terkenal ahli makan, semuanya pernah kucoba. Di atas semua makanan itu, hanya daging manusia saja yang belum pernah kumakan, maka kemudian aku lantas ingin mencicipi bagaimana rasanya daging manusia.”

Dia tertawa, lalu menyambung pula, “Masih mendingan bila aku tidak memikirkan urusan makan daging manusia, sekali memikirnya, maka rasa ingin tahu rasanya semakin menjadi-jadi. Suatu hari aku telah membunuh satu orang, aku menjadi tak tahan, akhirnya kupotong dagingnya dan kumasak untuk dimakan, ternyata rasanya cuma begini saja, tiada sesuatu yang luar biasa, meski lebih halus seratnya daripada daging kuda, tapi rasanya lebih masam, supaya bisa lebih lezat harus diberi bumbu masak seperlunya.”

“Jika rasa daging manusia ternyata tiada yang istimewa, lalu mengapa engkau masih memakannya?” tanya Siau-hi-ji.

“Di sinilah letak rahasianya, yaitu untuk menakut-nakuti orang seperti kukatakan tadi,” tutur Li Toa-jui. “Waktu untuk pertama kalinya aku makan daging manusia itulah, mendadak kepergok orang. Sebenarnya orang ini adalah musuhku yang paling tangguh, ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripadaku, tapi begitu dia melihat aku sedang makan daging manusia, seketika mukanya berubah pucat, ia ketakutan setengah mati terus lari terbirit-birit. Selanjutnya bila melihat diriku segera ia pun ngacir pula, seterusnya ia tidak berani menantang berkelahi lagi padaku.”

Ia tertawa, lalu menyambung lagi, “Karena itulah aku lantas menarik kesimpulan bahwa makan daging manusia juga bisa membuat takut orang. Setelah menemukan kenyataan ini, mendadak aku berubah menjadi gemar makan daging manusia.”

“O, jadi ... jadi paman Li suka ditakuti orang?” tanya Siau-hi-ji.

“Sifat manusia di dunia ini macam-macam ragamnya, ada sementara orang yang sangat menyenangkan orang, tapi ada setengah orang yang sangat menjemukan. Aku sendiri tidak menyenangkan orang dan juga tidak ingin membuat jemu orang, maka aku sengaja mencari caraku sendiri, yaitu, membuat orang takut padaku,” setelah tertawa, lalu Li Toa-jui melanjutkan, “Kalau bisa membuat orang takut, cara ini kan boleh juga. Sebab itulah aku pun tidak pedulikan daging manusia masam atau tidak, terpaksa kumakan untuk menakuti orang lain.”

Siau-hi-ji melongo, ya heran, ya gegetun, sungguh tak terpikirkan olehnya bahwa untuk membuat takut orang ternyata ada orang yang sengaja makan daging manusia, benar-benar sukar dimengerti.

Sebenarnya Siau-hi-ji ingin tanya, “Dan mengapa daging anak istri sendiri juga kau makan?” Tapi pertanyaan ini tidak sudi dilontarkan, sebab ia tidak sampai hati membuat berduka Li Toa-jui lagi.

Li Toa-jui lantas berkata pula, “Selama bertahun-tahun terakhir ini, sudah tentu aku pun kepingin makan enak seperti orang lain, terpaksa secara sembunyi-sembunyi aku memasak daging babi sekadar memuaskan selera makanku, akan tetapi harus kujaga sedemikian rupa sehingga tidak dilihat orang lain, jadi seperti Hwesio mencuri makan daging, semakin main sembunyi-sembunyi semakin merasa enak makanan yang akan dimakannya.”

Ia bergelak tertawa, lalu menyambung pula, “Tapi sekarang aku tidak perlu mencuri makan lagi, tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Maka lekas kalian menjamu makan padaku, aku ingin makan Ang-sio-ti-te, pilihlah tite gemuk dan empuk ....”

*****

Di kota kecil ini sudah tentu tidak terdapat makanan spesial, tapi untuk mencari tite atau kaki babi tentu tidak terlalu sukar.

Dua potong kaki babi (koki yang pandai tentu memilih kaki babi bagian depan) seberat tiga-empat kati telah dilalap habis sendiri oleh Li Toa-jui. Untung mereka membuka kamar di sebuah hotel dan makan di dalam kamar, kalau cara makannya dilihat orang tentu akan dikira dia ini penjelmaan setan kelaparan.

Selagi Li Toa-jui menyikat Ang-sio-ti-te, diam-diam Siau-hi-ji menarik So Ing keluar kamar, dengan suara tertahan ia tanya si nona, “Waktu kau memapahnya ke sini, apakah sudah kau periksa keadaan lukanya?”

“Sudah,” jawab So Ing. “Lukanya memang cukup parah, tulang iganya yang patah sedikitnya sepuluh biji, belum lagi luka-lukanya bagian lain. Bila tubuhnya tidak kekar dan kuat, mungkin sudah lama jiwanya melayang.”

“Aku cuma ingin tahu sekarang masih dapat kau tolong dia atau tidak?” tanya Siau-hi-ji pula.

“Jika dia mau menuruti segala perintahku dan dirawat dengan baik-baik, kujamin akan dapat menyelamatkan jiwanya. Cuma ....” So Ing menghela napas, lalu menyambung pula, “Apabila dia sendiri tidak mau hidup lebih lama lagi, maka siapa pun tak mampu menolong dia.”

Siau-hi-ji menggigit bibir dan termenung, katanya kemudian, “Sungguh aku tidak paham, sebenarnya dia adalah seorang yang bisa berpikir dan berpandangan jauh, mengapa sekarang dia menjadi putus asa dan tiba-tiba ingin mati saja?”

Dengan rawan So Ing berkata, “Seorang kalau sudah mendekati ajalnya tentu akan terkenang kepada pengalaman yang diperbuatnya selama hidup ini, dalam keadaan demikian, orang yang bisa merasa tenang dan tidak malu pada dirinya sendiri selama hidup ini, kukira tidak banyak di dunia ini.”

“Ya, kukira dia pasti sangat menyesal terhadap apa yang telah diperbuatnya selama hidup ini, makanya dia ingin menebus semua dosanya itu dengan mati saja,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Dalam keadaan demikian, bila seorang dapat memandang mati dan hidup sebagai hal yang wajar, maka patutlah orang ini dipuji, karena itu aku bilang paman Li ini tidak malu disebut sebagai lelaki sejati.”

“Dia memang seorang lelaki sejati, tidak perlu kau mengumpaknya lagi,” omel Siau-hi-ji dengan melotot.

So Ing tertawa, katanya, “Betul juga, memangnya aku harus selalu mengumpak dan menyanjung dirimu saja.”

Siau-hi-ji melotot pula, seperti mau marah, tapi urung.

Pada saat itulah, mendadak dilihatnya ada seorang lagi melongok mengintip mereka di ujung halaman sana, sekilas pandang saja Siau-hi-ji sudah dapat mengenali siapa orang itu. Segera ia berkata, “Paman Li cukup baik padaku, dia mengalami nasib malang begini, dengan sendirinya aku ikut sedih sehingga ingin melampiaskan rasa marahku kepada seseorang. Sekarang ternyata sudah kutemukan orang yang dapat kujadikan alat pelampias ....” sembari bicara, sekonyong-konyong ia melayang ke sana.

Keruan orang yang sembunyi di pojok halaman sana terkejut, akan tetapi tampaknya dia tiada maksud melarikan diri, sebaliknya ia terus memberi hormat dan menyapa dengan cengar-cengir, “Hehe, memang sudah kuketahui Hi-heng adalah orang yang besar rezeki dan dengan sendirinya pula banyak hokhi, bencana apa pun yang menimpa Hi-heng akhirnya pasti akan berubah menjadi keberuntungan. Sekarang dapat kulihat kalian suami-istri bijaksana benar-benar telah lolos dengan selamat, sungguh aku ikut sangat gembira.”

“Eh, sejak kapan kau si kelinci ini berubah menjadi bajik dan mahir menyanjung puji?” tanya Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Kiranya orang ini adalah Oh Yok-su, si kelinci dari Cap-ji-she-shio.

Sebenarnya Siau-hi-ji hendak menggunakan Oh Yok-su untuk melampiaskan rasa gemasnya, tapi karena sanjung pujinya itu, hati Siau-hi-ji menjadi lembut. Oh Yok-su lantas berkata pula, “Sejak tempo hari kalian suami-istri bijaksana memberi hidup bagiku, semenjak itu pula senantiasa Cayhe ingin mencari kalian untuk menyampaikan rasa terima kasihku, syukurlah sekarang cita-citaku telah terkabul.”

“Jika begitu maksudmu, mengapa kau tidak mendatangi kami, sebaliknya malah main sembunyi-sembunyi di sini?” tanya Siau-hi-ji dengan bengis.

“O, soalnya kulihat kalian suami-istri sedang asyik bicara dengan mesra, mana Cayhe berani mengganggu?” ujar Oh Yok-su dengan mengiring tawa.

Dengan tertawa Siau-hi-ji mengomel, “Sialan, caramu menjilat ini benar-benar mengkili-kili hati So Ing. Kutanggung dia pasti akan kemari dan bantu bicara bagimu.”

Belum habis ucapnya, benar juga, So Ing tampak sudah mendekati mereka, katanya dengan tertawa, “Eh, orang ternyata tidak lupa pada kita, sungguh baik juga hatinya, mengapa kau tidak mengundangnya ke dalam rumah untuk minum dua cawan?”

“Lihatlah, betul tidak ucapanku,” seru Siau-hi-ji dengan tertawa. “Jika kau sebut lagi beberapa kali suami-istri bijaksana, andaikan kau minta dia menggadaikan baju untuk membeli arak bagimu, pasti akan dia lakukan dengan senang hati.” Mendadak ia berhenti tertawa seperti ingat sesuatu, lalu bertanya, “Eh, di manakah nona Thi Peng-koh itu?”

Oh Yok-su tampak melengak, jawabnya dengan tergagap, “O, aku tidak ... tidak begitu jelas.”

Siau-hi-ji mengernyitkan kening, katanya, “Kalian kan lolos bersama dari sumur gua itu, jika kau tidak jelas, lalu siapa yang lebih jelas daripadamu?”

Oh Yok-su menunduk, dengan gelagapan ia berkata pula sambil tertawa, “Dia ... dia seperti berada juga di ... di sekitar sini, cuma ... cuma ….”

Dengan mendongkol Siau-hi-ji cengkeram leher baju orang, dampratnya, “Kau main gila apalagi? Ayo lekas bicara terus terang! Hm, hanya orang macammu juga berani bertingkah di hadapanku? Huh, kan seperti menjual obat di depan tabib?”

Oh Yok-su menjadi pucat dan tambah gelagapan sehingga semakin tidak dapat bersuara.

“Ada urusan apa, bicaralah baik-baik, untuk apa kau mesti bersikap begini galak padanya?” bujuk So Ing dengan suara lembut.

“Masa kau malah menyalahkan aku bersikap galak?” teriak Siau-hi-ji. “Jika bocah ini tidak berbuat sesuatu kesalahan, masa dia ketakutan begini? Kukira bukan mustahil nona Thi itu telah dijual olehnya.”

“Dia takkan berbuat demikian,” kata So Ing.

“Tidak akan berbuat demikian katamu? Hm, kau kira bocah ini orang baik-baik? Hakikatnya dia ini manusia yang gila perempuan, masa dapat dipercaya?”

So Ing menghela napas, katanya kemudian, “Oh-siansing, kukira lebih baik kau bicara terus terang saja. Bilamana nanti amarahnya tambah berkobar, rasanya aku pun tidak sanggup membantumu lagi.”

Kedua sejoli ini benar-benar pasangan menurut kodrat. Mereka bicara seperti bertentangan, yang satu bilang begini, yang lain berdebat begitu, tapi tujuannya satu, yakni agar orang mau mengaku terus terang, kalau cara mereka ini masih juga tidak berhasil mendapatkan pengakuan orang, maka di dunia ini tiada lain lagi yang mampu mengorek keterangan apa pun.

Oh Yok-su kelihatan takut-takut, jawabnya kemudian, “Dia ... dia menyuruhku agar ... agar mengganggu kalian sebentar saja, entah untuk apa, Cayhe sendiri tidak tahu.”

Siau-hi-ji terbelalak, tanyanya, “O, jadi nona Thi yang menyuruhmu mengganggu kami agar tertahan di sini?”

“Ya, begitulah,” sahut Oh Yok-su.

“Omong kosong,” bentak Siau-hi-ji dengan gusar, “Mana mungkin kau mau menuruti kehendaknya?”

Muka Oh Yok-su tampak merah, dengan tergagap ia berkata pula, “Sungguh, memang ... memang begitulah, aku ... aku ....”

“Aku pun percaya apa yang kau katakan pasti tak dusta,” ujar So Ing dengan tertawa. “Kebanyakan lelaki sebenarnya sangat penurut, suka menurut perkataan perempuan, bagiku hal ini tidak perlu diherankan, hanya dia saja yang selamanya takkan memahami hal ini.”

“Jika hal ini dapat kupahami, tentunya aku pun harus menuruti setiap perkataanmu, begitu bukan?” tanya Siau-hi-ji dengan mencibir.

“Sudah tentu aku pun berharap akan terjadi demikian, tapi aku pun tidak percaya dapat memaksa kambing naik pohon,” ucap So Ing dengan tertawa.

“Hm, asal kau tahu saja,” jengek Siau-hi-ji. “Coba jawab, keparat ini dan Thi Peng-koh kan tidak cocok satu sama lain, mengapa dia mau menuruti perkataannya?”

So Ing berkedip-kedip, jawabnya kemudian, “Dari mana kau tahu mereka tidak cocok satu sama lain? Bisa jadi mereka sekarang sudah ... sudah ….”

“Sudah apa?” teriak Siau-hi-ji. “Memangnya kau kira Thi Peng-koh bisa penujui orang macam begini?”

“Mengapa tidak?” jawab So Ing. “Dalam hal apa Oh-heng ini kurang baik? Paling sedikit dia jauh lebih penurut daripadamu? Lelaki yang penurut biasanya paling disukai oleh kaum perempuan.”

“Kalau begitu jadi aku ini tidak disukai orang perempuan?” seru Siau-hi-ji dengan melotot.

“Kau? Sudah tentu kau harus dikecualikan,” ujar So Ing dengan tertawa menggiurkan, “Memangnya di dunia ini ada berapa orang Siau-hi-ji?”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, gumamnya kemudian, “Ya, masuk di akal juga, Thi Peng-koh memang harus mencari seorang lelaki yang mau menuruti perkataannya. Sudah kenyang dia dibikin susah oleh kaum lelaki. Adalah pantas jika sekarang ia pun mendapatkan seorang lelaki yang menuruti segala perintahnya, paling sedikit dapatlah dia melampiaskan dendamnya.”

Sejenak kemudian, mendadak ia berteriak pula, “Akan tetapi, mengapa Thi Peng-koh menyuruh dia menahan kita di sini? Apa yang akan dilakukannya di luar tahu kita?”

So Ing menggigit bibir sambil berpikir, katanya kemudian, “Menurut pendapatmu, mungkinkah dia ada sesuatu hubungan dengan paman Li?”

“Ada hubungan dengan paman Li?” tukas Siau-hi-ji sambil berkerut kening.

“Ya, bukankah istri paman Li dahulu konon juga she Thi?” kata So Ing.

Hati Siau-hi-ji tergetar, tiba-tiba teringat olehnya dahulu bila Thi Peng-koh mendengar orang menyebut Ok-jin-kok dan Li Toa-jui, seketika air muka nona itu berubah hebat.

Teringat pula olehnya dahulu Peng-koh juga pernah bertanya padanya jalan menuju Ok-jin-kok, tampaknya nona itu seperti ingin pergi ke sarang penjahat yang sangat ditakuti orang itu. Lalu apa maksud semua itu? Jangan-jangan tujuan Thi Peng-koh hendak pergi ke Ok-jin-kok itu adalah untuk mencari Li Toa-Jui?

Teringat pada hal-hal itu, Siau-hi-ji tidak bicara apa-apa lagi, segera ia lari kembali ke kamarnya. Belum lagi dia masuk ke kamar, baru sampai di ambang pintu, terdengarlah suara isak tangis orang di kamar mereka itu.

Begitu mendengar suaranya, segera Siau-hi-ji tahu memang betul itulah suara tangis Thi Peng-koh.

Segera ia menerjang ke dalam, dilihatnya Li Toa-jui sedang duduk mematung di atas kursi, wajahnya penuh rasa sedih dan menderita.

Yang lebih aneh adalah Thi Peng-koh yang tampak menangis sedih mendekap di samping Li Toa-jui, tangan si nona memegang belati, cuma pegangannya sekarang sudah kendur, belati hampir terlepas dari tangannya.

Siau-hi-ji tercengang, tanyanya heran, “He, apa-apaan ini? Nona Thi, apakah kau kenal paman Li?”

Thi Peng-koh terus menangis sehingga tidak dapat menjawab.

Dengan tersenyum pedih Li Toa-jui berkata, “Waktu dia kenal aku, tatkala mana engkau sendiri mungkin belum lagi lahir.”

Siau-hi-ji tambah bingung, tanyanya pula, “O, jadi ... jadi dia ini ....” Dia pandang Li Toa-jui lalu memandang Thi Peng-koh, ia tidak sanggup menyambung ucapannya lagi sebab kalau diucapkannya, mungkin dia sendiri pun tidak dapat mempercayainya.

Li Toa-jui menghela napas panjang, katanya dengan rawan, “Ya, dia memang anak perempuanku!”

Sekali ini Siau-hi-ji benar-benar melenggong.

Setahunya, di dunia Kangouw tersiar cerita bahwa Li Toa-jui telah menyembelih dan memakan anak istrinya. Sebenarnya ia hendak tanya kebenaran hal ini, tapi sekarang ia merasa bukan waktu dan bukan tempatnya bertanya mengenai hal ini.

Namun Li Toa-jui seperti dapat meraba jalan pikirannya, dengan menyesal ia berkata, “Selama ini setiap orang Kangouw mengira orang she Li ini benar-benar telah makan anak istrinya sendiri, selama dua puluh tahun ini aku pun tidak pernah menyangkal, sampai sekarang .... Ai, rasanya sekarang mau tak mau harus kubeberkan duduk perkara yang sebenarnya, kalau tidak, menjadi setan pun penasaran bagiku.”

Nada ucapannya penuh rasa pedih dan penasaran, seperti orang yang mengalami fitnah dan penuh menahan duka nestapa.

Perlahan So Ing merapatkan pintu kamar dan menuang secangkir teh serta disodorkan kepada Li Toa-jui.

Dengan rasa terima kasih Li Toa-jui mengangguk kepada So Ing, lalu mulai bercerita, “Thi-loenghiong terkenal sangat sayang pada pemuda berbakat, dia telah menyerahkan anak perempuannya padaku, tujuannya agar seterusnya aku dapat memperbaiki kelakuanku, untuk itu aku pun sangat berterima kasih kepada maksud baik beliau, akan tetapi ... akan tetapi ....” Dia menggereget, lalu menyambung, “Akan tetapi anak perempuannya ternyata sangat benci padaku dan menganggap aku tidak setimpal memperistrikan dia, diam-diam ia telah mengadakan hubungan gelap dengan Sutenya (adik seperguruannya).”

Siau-hi-ji teringat kepada kematian Thi Bu-siang dahulu, antara lain juga karena ada anak muridnya yang berkhianat. Maka dengan gemas ia berkata, “Memang betul, Thi Bu-siang terkenal sayang pada orang yang berbakat, tapi caranya memilih orang sering-sering ngawur juga, di antara muridnya itu memang banyak pula anasir-anasir jahat, malah kematiannya juga disebabkan pengkhianatan seorang muridnya, hal ini kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri.”

“Setelah kuketahui perbuatan serong istriku, sudah tentu hatiku menjadi dendam dan menyesal pula,” tutur Li Toa-jui lebih lanjut. “Tapi mengingat budi kebaikan Thi-loenghiong padaku, masih kuharapkan kalau dia bisa menyadari perbuatannya yang tersesat itu, asalkan dia tidak melakukan lagi perbuatannya tidak senonoh itu, maka aku pun tidak ingin membeberkan persoalannya yang memalukan ini pada orang luar.”

Ujung mulut Li Toa-jui tampak bergetar, ia mengertak giginya kencang-kencang, lalu menyambung pula, “Siapa tahu, bukan saja tidak mau menerima nasihatku, sebaliknya dia malah mencaci maki diriku dengan segala macam kata-kata kotor dan keji dan menyuruh aku jangan mengurusi perbuatannya. Karena gusar aku menjadi kalap, aku membunuhnya dan kumakan dagingnya untuk melampiaskan rasa benciku.”

“Kalau urusan ini ternyata berliku-liku begini mengapa paman Li selama ini tidak pernah membeberkan duduk perkara yang sebenarnya?” tanya So Ing terharu.

“Pertama lantaran aku menghormati Thi-loenghiong dan tidak ingin membuat malu padanya, apalagi bila dia mengetahui anak perempuannya berbuat serendah itu, tentu beliau juga akan berduka. Selain itu, aku pun ingin menjaga kehormatan sendiri,” dia tersenyum pedih, lalu berkata pula, “Coba kalian pikir, bila orang mengetahui istri Li Toa-jui main gila dengan lelaki lain, cara bagaimana pula aku dapat berkecimpung di dunia Kangouw? Makanya aku lebih suka dibenci orang, disangka aku sampai hati makan daging anak-istriku sendiri, tapi sekali-kali diriku tidak boleh dihinakan ditertawakan orang Kangouw.”

So Ing menunduk dengan terharu, ia tidak dapat bersuara lagi, sebab ia dapat memahami perasaan lelaki semacam Li Toa-jui ini, ia pun bersimpatik atas nasib yang menimpanya itu.

“Sesudah kubunuh dia, kutahu di dunia Kangouw tiada lagi tempat berpijak bagiku, sebab Thi Bu-siang pasti sangat benci padaku dan bisa jadi akan menawan dan mencincang diriku, karena itulah terpaksa aku kabur ke Ok-jin-kok, akan tetapi ....” Dia pandang Thi Peng-koh sekejap, lalu berkata pula dengan rawan, “Akan tetapi aku pun tidak ingin membesarkan anak perempuanku di sarang penjahat begitu, maka aku telah menyerahkan dia kepada orang lain, yang kuharapkan semoga dia dapat tumbuh besar dengan selamat tanpa alangan apa pun.”

“Kepada siapa kau serahkan anak perempuanmu?” tanya Siau-hi-ji.

Dengan gemas Li Toa-jui menjawab, “Semula kukira orang itu adalah kawan baikku, siapa tahu .... Ai, rupanya orang macam diriku ini selamanya takkan punya kawan baik.”

Mendadak Thi Peng-koh menyambung dengan menangis, “Kedua suami-istri yang menerima diriku itu sedikit pun tidak sayang padaku, sebaliknya aku disiksa siang dan malam, aku dikatakan anak Li Toa-jui, anak pemakan manusia, bibit jelek takkan mendatangkan buah baik. Sebab itulah sejak masih kecil aku lantas melarikan diri.”

“Akhirnya kau dapat masuk Ih-hoa-kiong, sungguh boleh dikatakan beruntung juga bagimu,” ujar Li Toa-jui dengan sedih.

Dengan menangis Thi Peng-koh berkata pula, “Kemudian aku pun mendengar cerita orang bahwa Li ... Li ....”

“Kau dengar cerita orang tentang Li-toasiok, maka kau lantas mengira ibu dan saudaramu telah dimakan seluruhnya oleh Li-toasiok, begitu bukan?” tukas So Ing dengan suara lembut. “Juga lantaran Li-toasiok telah meninggalkan dirimu sehingga kau mengalami macam-macam siksaan, maka selama itu timbul rasa bencimu kepada ayahmu sendiri, kau anggap dia telah membuat celaka ibumu dan juga membuat susah selama hidupmu.”

Tersedu-sedanlah tangis Thi Peng-koh sehingga tidak sanggup bicara lagi.

“Makanya, seumpama sekarang dia hendak membunuhku, aku pun tidak akan menyalahkan dia,” kata Li Toa-jui dengan rawan, “Sebab ... sebab dia ....” Sampai di sini air matanya pun bercucuran.

Mendadak Siau-hi-ji berseru, “Dan sekarang kalian ayah dan anak telah dapat berkumpul kembali, salah paham antara kalian pun sudah dijernihkan, seharusnya kalian mesti merayakannya dengan bergembira ria, mengapa kalian menangis seperti anak kecil saja?”

Li Toa-jui menggebrak meja, mendadak ia pun berseru, “Betul, ucapan Siau-hi-ji memang betul, hari ini kita harus bergembira ria, siapa pun tidak boleh mencucurkan air mata lagi.”

“Ya, barang siapa mencucurkan air mata, segera akan kupaksa dia menjadi biniku, setiap hari akan kusuruh dia mencuci kakiku,” sambung Siau-hi-ji.

Thi Peng-koh lantas menunduk, diam-diam ia mengusap air matanya.

Mendadak So Ing mendekap mukanya terus menangis terguguk-guguk, tampaknya sangat sedih tangisnya.

Tentu saja Siau-hi-ji melengak, tanyanya, “He, Siocia yang baik, apa pula yang kau tangiskan? Memangnya kau pun anak perempuan paman Li?”

“Aku telah menangis, mengapa aku tidak kau jadikan istrimu?” kata So Ing, belum habis ucapannya ia sendiri lantas mengikik tawa.

Akhirnya Thi Peng-koh juga ikut tertawa geli.

Oh Yok-su mendekati Peng-koh, agaknya bermaksud mengusapkan air matanya. Tapi si nona lantas menarik muka dan menyemprotnya, “Siapa suruh kau mendekat? Minggir sana!”

Muka Oh Yok-su menjadi merah, benar juga ia lantas menyingkir agak jauh.

Siau-hi-ji saling pandang dengan So Ing sambil tertawa.

“Tampaknya hari ini ada perayaan ganda, kita harus lebih bergembira ria,” seru So Ing.

Li Toa-jui memandang Oh Yok-su, lalu memandang anak perempuannya, katanya kemudian, “Tuan ini ....”

“Wanpwe she Oh, bernama Yok-su,” kata Oh Yok-su dengan menunduk kikuk.

“Oh Yok-su,” Li Toa-jui mengulang nama itu. “Jangan-jangan si kelinci dari Cap-ji-she-shio itukah?”

“Betul, memang Wanpwe adanya,” jawab Yok-su dengan hormat.

“Sungguh tak tersangka ada anggota Cap-ji-she-shio yang akan menjadi anak menantuku. Haha, tampaknya tiada rugi kalau mempunyai anak perempuan yang cakap,” kata Li Toa-jui dengan terbahak-bahak.

Thi Peng-koh menunduk dengan muka merah, tapi tiada tanda-tanda marah atau kurang senang pada ucapan orang tua itu.

Sedangkan Oh Yok-su tetap berdiri di kejauhan sambil terkadang melirik si nona.

Diam-diam So Ing membisiki Oh Yok-su, “Jangan takut, tabah sedikit, segala urusan pasti akan kubantu.”

Siau-hi-ji bertepuk dan tertawa, katanya, “Hahaha, tampaknya beberapa kali ucapanmu ‘kalian suami istri bijaksana’ tadi tidaklah sia-sia, paling tidak kau mendapat dukungan suara yang memastikan. Tapi sekarang mengapa kepandaianmu menjilat telah kau lupakan seluruhnya? Ayolah lekas berlutut dan memanggil Gakhu (ayah mertua)!”

Dengan muka merah Oh Yok-su benar-benar hendak berlutut dan menyembah kepada Li Toa-jui, tapi ketika dilihatnya Thi Peng-koh menarik muka dengan mata melotot, seketika ia mengkeret dan menyurut lagi.

Siau-hi-ji jadi teringat kepada penderitaan Thi Peng-koh waktu yang lalu, teringat cara bagaimana Kang Giok-long telah menipunya untuk kemudian meninggalkan dia, maka diam-diam Siau-hi-ji bergirang bagi si nona yang sekarang telah bisa memperoleh perhatian seorang lelaki.

Meski usia Oh Yok-su memang jauh lebih tua, tapi ibarat sekuntum bunga yang telah kenyang merasakan damparan hujan badai, kini ia memerlukan seorang lelaki yang lebih tua untuk melindunginya.

Maklumlah, lelaki yang berusia lebih tua daripada usia istri yang muda pada umumnya akan lebih mengerti bagaimana harus mencintai istrinya, lebih-lebih perempuan yang pernah mengalami nasib malang seperti Thi Peng-koh, lelaki yang berpengalaman luas tentu takkan memandang hina padanya.

Siau-hi-ji bergumam sendiri, “Tampaknya Thian mahaadil dan pengasih, perjodohan setiap orang pasti diaturnya dengan baik dan setimpal, pada hakikatnya orang tidak perlu dan susah memikirkannya.”

“Betul,” dengan tertawa So Ing menanggapinya, “Jika Thian telah mengatur pertemuan kita, maka jangan kau harap akan dapat lari dariku.”

Baru saja Siau-hi-ji mendelik, mendadak Li Toa-jui bergelak tertawa dan berkata, “Hari ini aku benar-benar teramat gembira, selama hidupku ini belum pernah merasa gembira dan bahagia seperti sekarang ini, jika aku dapat mati pada saat dan tempat begini, maka tidak sia-sialah hidupku ini ….”

Terdengar suaranya makin lama makin lemah dan lirih, akhirnya tak terdengar lagi. Ternyata napasnya sudah putus, Li Toa-jui benar-benar telah mangkat dengan mengulum senyum.

*****

Oh Yok-su dan Thi Peng-koh telah berangkat dengan mengawal jenazah Li Toa-jui.

Sebelum pergi, Thi Peng-koh seperti ingin bicara apa-apa kepada Siau-hi-ji, beberapa kali dia sudah mau bicara, tapi tidak jadi, akhirnya tiada satu pun patah-kata yang diucapkannya.

Siau-hi-ji tahu si nona pasti ingin tanya bagaimana dan di mana Kang Giok-long, tapi akhirnya tidak jadi ditanyakan, ini menandakan bahwa hati Thi Peng-koh terhadap Kang Giok-long kini sudah pupus, sudah tamat.

Sungguh hal ini merupakan kejadian yang paling menggembirakan Siau-hi-ji, hal ini yang paling membuat lega hati Siau-hi-ji selama beberapa bulan terakhir ini.

Pada sebelum berangkat, Oh Yok-su juga seperti mau omong apa-apa kepada Siau-hi-ji, tapi seperti juga Thi Peng-koh, ia pun urung bicara.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji juga tahu yang hendak ditanyakan Oh Yok-su pastilah keadaan Pek-hujin sekarang, tapi toh tidak jadi ditanyakannya, ini pun bukti hati Oh Yok-su sekarang hanya tertumpah seluruhnya kepada Thi Peng-koh seorang.

Sudah tentu hal ini pun membuat Siau-hi-ji sangat gembira.

Orang yang berkasih sayang akhirnya terikat menjadi suami-istri, inilah peristiwa yang paling menyenangkan bagi kehidupan manusia.

Dengan mengulum senyum Siau-hi-ji bergumam, “Apa pun juga tetap tak kupahami mengapa kedua orang ini bisa saling jatuh cinta, sungguh peristiwa aneh.”

“Sedikit pun tidak aneh dan tidak perlu diherankan,” ucap So Ing dengan suara lembut. “Mereka kenal dalam keadaan sama-sama terancam bahaya. Perasaan manusia paling mudah tumbuh dalam keadaan sama menderita, apalagi mereka pun sama-sama mengalami hal yang mengecewakan, jadi boleh dikatakan senasib, dengan sendirinya lebih mudah pula menimbulkan cinta kasih di antara mereka.”

Dia tertawa lalu berkata pula sambil menunduk, “Antara engkau dan aku, bukankah kita pun berkenalan dan menjadi akrab dalam keadaan terancam bahaya?”

Siau-hi-ji mencibirnya, katanya, “Kau yang akrab padaku, sedangkan aku suka padamu atau tidak kan belum pasti?”

“Eh, jangan lupa, semua ini kan sudah diatur oleh Thian,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Hm, jangan kau gembira dulu, jangan lupa sainganmu yang belum lagi muncul itu, apa jadi ....” Maksud Siau-hi-ji hendak menggoda So Ing, tapi, begitu menyinggung Thi Sim-lan, mau tak mau ia jadi teringat pula kepada Hoa Bu-koat, seketika hatinya seperti ditusuk-tusuk sehingga malas untuk bicara lagi.

Air muka So Ing seketika juga berubah prihatin, katanya kemudian dengan gegetun, “Tampaknya pertarungan dengan Hoa Bu-koat sukar lagi dihindarkan.”

“Ehmm,” Siau-hi-ji mengangguk dengan menghela napas.

“Apakah kau ingin mencari akal untuk mengulur waktu pula?” tanya So Ing.

“Ehmm,” kembali Siau-hi-ji mengangguk. Mendadak ia melototi si nona dan bertanya, “Apa yang kupikirkan, mengapa kau tahu?”

“Entahlah, mungkin inilah yang disebut ada ikatan batin,” jawab So Ing dengan tersenyum manis.

Tapi senyuman manisnya itu hanya sekilas saja menghiasi wajahnya, segera ia mengernyitkan kening dan bertanya pula, “Apakah sudah kau dapatkan akalnya?”

Siau-hi-ji tidak lantas menjawab, dengan malas-malas ia duduk, lalu berkata, “Jangan khawatir, akhirnya aku pasti mendapatkan akalnya.”

“Ya, kutahu kau pasti punya akal,” ucap So Ing dengan lembut. “Akan tetapi, sekalipun kau bisa mendapatkan akal yang jauh lebih baik daripada caramu yang dulu itu, lalu apa gunanya?”

“Siapa bilang tiada gunanya?” jawab Siau-hi-ji dengan melotot.

So Ing menghela napas, katanya, “Sekali ini misalnya kau masih dapat mengulur waktu lagi, tapi cepat atau lambat, persoalan ini toh harus diselesaikan juga, betapa pun Ih-hoa-kiongcu pasti tidak akan melepaskan dirimu, lihat saja, ketika berada di liang tikusnya Gui Bu-geh itu, tampaknya mereka sudah mulai ramah padamu, akan tetapi begitu keluar dari gua itu, sikap mereka seketika berubah lagi.”

“Ya, seharusnya kutahu mereka pasti akan lupa pada pertolonganku bila sudah keluar dari sana, pada umumnya manusia memang suka lupa budi pertolongan orang, setelah menyeberang sungai segera merusak jembatannya,” ucap Siau-hi-ji.

“Sebab itulah cepat atau lambat pertarunganmu dengan Hoa Bu-koat toh tetap tak dapat dihindarkan,” kata So Ing pula, “Kecuali ....”

“Kecuali apa?” tanya Siau-hi-ji.

So Ing menatap dengan penuh kasih sayang, katanya kemudian dengan lembut, “Kecuali kita pergi sekarang juga, pergilah ke tempat yang jauh, ke tempat yang indah permai dan sembunyi di sana, tidak perlu bertemu dengan siapa pun dan tidak perlu berurusan lagi segala tetek bengek di dunia ini.”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, mendadak ia berseru, “Tidak, tidak bisa, tidak boleh kularikan diri, jika aku diharuskan bersembunyi dan tidak bertemu dengan siapa-siapa, lebih baik aku mati saja. Apalagi masih ada paman Yan ... aku sudah berjanji padanya.”

Dengan suara rawan So Ing berkata, “Ya, aku pun tahu engkau pasti tidak mau bertindak demikian. Akan tetapi, bilamana pertarungan kalian berlangsung, akibatnya pasti akan terjadi malapetaka. Salah satu di antaranya pasti mati, begitu bukan?”

Sorot mata Siau-hi-ji memandang jauh ke depan dengan hambar, gumamnya, “Memang, sekali kami sudah bergebrak, maka salah satu pasti akan mati ....” Mendadak ia tertawa kepada So Ing, katanya, “Dan kalau salah seorang di antara kami sudah mati, kan segala persoalan menjadi mudah diselesaikan pula, betul tidak?”

Sekonyong-konyong tubuh So Ing menjadi gemetar, katanya dengan suara terputus-putus, “Apakah ... apakah kau tega membunuhnya?”

Siau-hi-ji memejamkan mata dan tidak menjawabnya lagi.

“Kutahu, kalah atau menang antara pertarungan kalian ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan tinggi rendahnya ilmu silat masing-masing,” kata So Ing pula dengan sedih. “Persoalannya hanya terletak pada hati nurani masing-masing, siapa yang tega turun tangan, dialah yang akan menang ....” Mendadak ia genggam tangan Siau-hi-ji dengan erat-erat, lalu berkata pula dengan suara gemetar, “Aku hanya ingin memohon sesuatu padamu, maukah kau meluluskan?”

Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, “Apakah kau ingin minta aku mengawinimu?”

So Ing menggigit bibir, katanya kemudian, “Aku cuma mohon padamu agar mau berjanji, janganlah sampai engkau terbunuh oleh Hoa Bu-koat, betapa pun engkau tidak boleh mati.”

“Ooo?” Siau-hi-ji terbeliak. “Tapi kalau tiada jalan lain bagiku kecuali mati?”

Tubuh So Ing bergetar pula, katanya dengan gemetar, “Jika ... jika demikian, maka ... maka terpaksa aku pun akan mati bersamamu....” Mendadak menitik dua tetes air matanya, ia pandang Siau-hi-ji dengan termangu-mangu, lalu berkata pula, “Tapi kuyakin kau takkan mati, aku pun tidak ingin mati, aku ingin hidup bahagia denganmu, aku ingin hidup seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi. Kuyakin kita pasti akan hidup bahagia dan sangat gembira.”

Dengan terkesima Siau-hi-ji memandang si nona, tanpa terasa sorot matanya menampilkan juga perasaan kasih sayang yang amat mesra.

“Asalkan engkau masih tetap hidup, apa pun juga yang harus kulakukan pasti akan kulaksanakan dengan baik tanpa syarat,” kata So Ing pula.

“Bila kau disuruh mati, kau mau?” tanya Siau-hi-ji.

“Jika kematianku akan dapat menyelamatkanmu, maka aku bersedia mati ....” So Ing berkata dengan tegas dan penuh tekad, diucapkannya tanpa pikir.

Tapi sebelum habis ucapannya, segera Siau-hi-ji menariknya terus mendekapnya, katanya dengan suara lembut, “Jangan khawatir, kita pasti tidak akan mati, kita pasti akan hidup dengan baik ....”

Ia pandang cuaca di luar jendela, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, “Padahal paling sedikit kita masih dapat hidup gembira selama satu hari penuh, mengapa yang kita pikirkan hanya satu hari saja?”

Waktu satu hari memang singkat, tapi bagi dua orang yang sedang dibuai cinta, rasa bahagia, rasa manisnya sehari penuh itu sudah cukup membuat mereka melupakan segala siksa derita, melupakan duka nestapa ....

*****

Hari sudah jauh malam, suasana sunyi senyap, setiap orang seakan-akan sudah hanyut di alam mimpi masing-masing.

Di dalam kelenteng yang dikelilingi oleh lereng bukit itu, orang terkadang dapat meresapi senangnya suasana sunyi.

Akan tetapi bagi Hoa Bu-koat sekarang, rasa sunyi ini sungguh tidak enak, bahkan terasa sangat menyiksa.

Hampir semua orang sudah datang ke sini. Thi Cian dan kawan-kawannya, para nona Buyung beserta suami masing-masing, dan sudah tentu juga kedua Ih-hoa-kiongcu.

Hoa Bu-koat merasa heran mengapa sama sekali tidak terdengar suara mereka?

Bisa jadi mereka tidak ingin mengganggu Hoa Bu-koat, mereka ingin anak muda ini dapat istirahat dengan sebaik-baiknya agar dapat menghadapi pertarungan esok harinya dalam kondisi yang fit. Akan tetapi mengapa mereka tidak bicara sama sekali?

Betapa pun Bu-koat ingin ada seorang yang mengajaknya bicara.

Tapi kepada siapakah dia akan mengajak bicara? Kepada siapa pula ia harus membeberkan isi hatinya?

Angin meniup mendesir-desir, angin pun seperti lagi menangis.

Bu-koat duduk termangu-mangu di tempatnya, apa yang sedang dipikirnya? Apakah dia memikirkan Thi Sim-lan? Apakah memikirkan Siau-hi-ji?

Tapi siapa pun yang dipikirnya, yang pasti, dia tetap berduka dan menderita.

Di dalam rumah tiada lampu, di atas meja ada satu poci arak yang belum habis terminum.

Ia menghela napas perlahan, selagi ia hendak memegang cawan arak, tiba-tiba daun pintu tertolak perlahan, sesosok bayangan yang ramping mendadak menyelinap masuk seperti badan halus.

Kiranya Thi Sim-lan!

Dalam kegelapan, wajah si nona kelihatan sedemikian pucat, tapi sorot matanya sebaliknya mencorong terang seakan-akan serangkum bara sedang membakar di dalam hatinya.

Tangan si nona juga kelihatan gemetar, tampaknya sangat tegang dan bingung.

Memangnya apa sebabnya?

Apakah dia sudah bertekad akan melakukan sesuatu yang menakutkan?

Dengan terkesiap Bu-koat memandang si nona, hingga lama sekali keduanya tidak bersuara.

Perlahan Thi Sim-lan merapatkan pintu pula, kemudian ia menatap Bu-koat lekat-lekat, tetap tanpa bicara apa-apa.

Begitu terang sorot matanya. Mengapa matanya mencorong seterang ini? Begitu terang sehingga boleh dikatakan sangat menakutkan.

Lama dan lama sekali barulah Hoa Bu-koat menghela napas panjang, katanya kemudian, “Ada ... ada urusan apakah?”

Thi Sim-lan tidak menjawab, ia hanya menggeleng perlahan.

“Jika demikian, mestinya jangan ... jangan kau kemari,” kata Bu-koat pula.

Thi Sim-lan mengangguk.

Bu-koat seakan-akan terpengaruh oleh sorot mata si nona yang membara itu, seketika ia pun tak tahu apa yang harus diucapkannya. Poci arak yang telah dipegangnya ditaruh kembali. Ia pegang cawan arak dan menenggaknya, tapi lupa bahwa cawan itu sudah kosong.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan membuka suara, “Sebenarnya aku berharap akan menganggapmu sebagai kakakku sendiri, tapi sekarang baru kuketahui bahwa anggapanku itu keliru, sebab perasaanku padamu ternyata bukan lagi perasaan antara kakak dan adik, kukira kita tidak perlu lagi menipu diri kita sendiri.”

Apa yang diucapkannya ini entah sudah berapa kali dia katakan kepada dirinya sendiri, tapi sebegitu jauh tidak berani diutarakan kepada Hoa Bu-koat.

Sekarang rupanya ia telah bertekad bulat untuk dikatakannya kepada pemuda itu, maka sekaligus dicetuskan seluruhnya tanpa ragu sedikit pun.

Tentu saja Bu-koat tercengang, cawan arak yang dipegangnya sampai terlepas.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Thi Sim-lan dapat mengutarakan hal demikian padanya, meski betapa rasa cintanya kepada Thi Sim-lan, begitu pula sebaliknya betapa rasa cinta Thi Sim-lan kepadanya, kedua orang sesungguhnya sama jelasnya.

Akan tetapi mereka anggap perasaan cinta itu adalah rahasia lubuk hati masing-masing dan selamanya takkan diutarakan. Mereka menganggap sampai mati juga rahasia itu akan tetap terpendam di dalam lubuk hati mereka.

Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, sampai lama sekali masih tetap menatapnya, katanya kemudian dengan rawan, “Kutahu bagaimana perasaanmu padaku, perasaanmu padaku juga pasti bukan perasaan antara kakak dan adik, betul tidak?”

Begitu terang sinar mata si nona sehingga seakan-akan hendak menembus ke lubuk hati Hoa Bu-koat yang paling dalam, ibarat hendak menghindar saja tak dapat lagi, terpaksa Bu-koat menunduk, jawabnya, “Namun aku ... aku ....”

“Kau tak punya anggapan begitu? Atau cuma tidak berani kau katakan saja?” tanya Thi Sim-lan.

Bu-koat menghela napas panjang, jawabnya dengan rawan, “Ya, mungkin karena aku tidak dapat mengutarakannya.”

“Mengapa tidak dapat?” tanya Sim-lan pula. “Jika cepat atau lambat toh harus kau katakan, mengapa tidak lekas-lekas kau katakan, agar kedua pihak tidak sama-sama menderita.”

Ia bicara dengan menggigit bibir sampai bibirnya pecah dan berdarah.

“Ada juga urusan yang tak terkatakan selamanya akan jauh lebih baik daripada diutarakannya,” kata Bu-koat.

Thi Sim-lan tersenyum pedih, katanya, “Betul juga perkataanmu, sebenarnya aku pun tidak ingin mengutarakan isi hatiku, akan tetapi sekarang mau tidak mau harus kukatakan, sebab kalau sekarang tidak kukatakan, maka seterusnya tiada waktu lagi.”

“Memang betul, kalau tidak diutarakan sekarang, mungkin selamanya tiada kesempatan lagi,” kata Bu-koat dengan menghela napas sedih.

“Jika ... jika demikian, mengapa kau tidak berani mengutarakannya? Apakah kau anggap tindakan ini sangat memalukan?” tanya Sim-lan dengan air mata bercucuran.

Perasaan Bu-koat seperti disayat-sayat, seperti dipuntir-puntir, dengan pedih ia mencela dirinya sendiri kenapa tidak seberani Thi Sim-lan? Padahal persoalan ini seharusnya diucapkan oleh dia sendiri.

Dengan pedih Thi Sim-lan berkata pula, “Kutahu sebabnya engkau tidak mau bicara adalah karena Siau-hi-ji. Sebenarnya aku pun merasa tindakan kita ini berdosa padanya, akan tetapi sekarang persoalannya sudah cukup gamblang, urusan ini tidak dapat dipaksakan, apalagi pada hakikatnya aku pun tidak utang apa-apa padanya.”

Dengan rawan Bu-koat mengangguk, katanya “Ya, kau memang tidak bersalah ....”

“Kau pun tidak bersalah,” kata Sim-lan. “Thian mahaadil, Thian kan tidak mengharuskan siapa harus menyukai siapa.”

Mendadak Hoa Bu-koat mengangkat kepala dan memandang si nona, ia merasakan sorot mata Thi Sim-lan itu jauh lebih dalam daripada lautan, tubuh Bu-koat sendiri pun mulai gemetar, ia pun tidak mampu menguasai diri lagi.

“Besok, tibalah saatnya kau harus duel dengan dia,” kata Thi Sim-lan pula. “Sudah lama sekali, ya, sudah lama sekali kupertimbangkan. Akhirnya kuputuskan harus kukatakan isi hatiku padamu, asalkan kau tahu perasaanku, maka urusan lain tidak menjadi soal lagi.”

Bu-koat tak tahan lagi, ia pegang tangan si nona, katanya dengan gemetar, “Aku ... aku sangat berterima kasih padamu, sebenarnya kau tidak perlu sebaik ini padaku.”

Mendadak Thi Sim-lan tertawa, katanya, “Kan sudah sepantasnya aku bertindak dan berbuat baik padamu? Jangan lupa, kita sudah terikat menjadi suami istri, sekarang tiada perbedaan antara engkau dan aku lagi.”

Bu-koat memandangnya dengan termangu-mangu, tangan si nona perlahan bergeser ke muka Bu-koat dan perlahan membelai wajahnya yang makin hari makin kurus itu ....

Setitik air mata akhirnya menetes di tangan Thi Sim-lan, titik air seputih mutiara.

Tapi kemudian mutiara air mata itu pun hancur luluh ....
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes