Wednesday, May 12, 2010

bp6_part1

Dengan ilmu silat Siau-hi-ji sekarang tingkatannya sudah sebanding dengan tokoh-tokoh Bu-lim terkemuka, dalam gusarnya, pukulan yang dilontarkan ini sekaligus mencakup ilmu pukulan sakti dari Bu-tong-pay dan Kun-lun-pay. Dengan sendirinya ilmu pukulan ini berasal dari beberapa tokoh dunia persilatan yang diciptakan secara gabungan di istana bawah tanah itu. Kini Siau-hi-ji sudah dapat memainkannya dengan leluasa, bahkan mengerahkan segenap daya serangannya.

Siapa tahu, pukulan yang cukup membuat keder setiap tokoh Bu-lim ini bagi Tong-siansing tidak lebih hanya menggeliat, tubuhnya seakan-akan patah menjadi dua. Pada saat itu pukulan balasannya juga lantas dilontarkan, kalau tidak menyaksikan sendiri, siapa pun takkan percaya seorang dapat melancarkan serangan dalam posisi yang aneh begitu.

Seketika Siau-hi-ji merasa tubuhnya tergetar, kontan ia jatuh terguling pula, meski tidak terluka, tapi ia benar-benar takut dan terkesima oleh ilmu silat yang aneh dan lihai ini.

Sambil memandangi anak muda itu, Tong-siansing menjengek, “Ilmu silatmu ini paling-paling hanya mampu menahan lima jurus serangan Hoa Bu-koat. Tadinya kukira kau sanggup mengadu jiwa dengan dia, tak tahunya, kau sangat mengecewakan harapanku.”

“Aku mampu menahan berapa jurus serangannya, peduli apa denganmu?” damprat Siau-hi-ji gemas.

“Memangnya kau tidak ingin mengalahkan dia?” jengek Tong-siansing.

“Aku ingin mengalahkan dia atau tidak memangnya kau mau apa?” jawab Siau-hi-ji.

Tong-siansing tidak marah lagi, dia malah mengeluarkan satu lipatan kain kuning, katanya, “Di sini ada pelajaran tiga jurus serangan yang dapat mematahkan ilmu silat Ih-hoa-kiong, bilamana kau dapat memahaminya di dalam tiga bulan ini, andaikan kau tidak dapat mengalahkan Hoa Bu-koat sedikitnya mampu tertahan lebih lama.”

Ternyata dia hendak mengajarkan ilmu silat kepada Siau-hi-ji, sungguh hal yang sukar dipercaya oleh siapa pun duga. Keruan Siau-hi-ji melenggong heran, tanyanya dengan tergagap, “Apa ... apa maksudmu ini?”

Tong-siansing lantas melemparkan lipatan kain itu ke depan Siau-hi-ji sambil mendengus, lalu melangkah pergi.

“Sebenarnya kau ingin Hoa Bu-koat membunuh diriku atau ingin kubunuh Hoa Bu-koat?” teriak Siau-hi-ji. “Hm, sebenarnya kau ini dihinggapi penyakit apa?”

Sekonyong-konyong Tong-siansing membalik tujuh, jengeknya, “Hm, selama hidupmu ini sudah ditakdirkan akan berakhir dengan tragis. Tak peduli kau yang membunuh Hoa Bu-koat atau dia yang membunuhmu, semuanya sama saja.”

“Tapi jelas ini tidak sama. Mana bisa sama?” geram Siau-hi-ji “Kau ... sebenarnya ....”

Namun Tong-siansing sudah melangkah keluar tanpa menoleh, “blang”, pintu digebrak hingga tertutup.

Siau-hi-ji termenung sejenak, waktu berpaling, dilihatnya anak dara yang masih berada di situ sedang mengucurkan air mata. Tapi sekarang ia tidak berani lagi mengajaknya bicara, sungguh ia tidak tega menyaksikan anak dara yang cantik itu mati pula akibat tingkah lakunya.

Anak dara itu berdiri termenung di situ dan membiarkan air matanya meleleh di pipi tanpa mengusapnya. Siau-hi-ji jadi terharu, ia menghela napas, kemudian ia coba membentang kain sutera pemberian Tong-siansing tadi.

Memang benar, kain tadi melukiskan tiga jurus ilmu silat yang mahahebat, sederhana, tapi tajam, benar-benar merupakan jurus serangan mematikan bagi ilmu silat Hoa Bu-koat yang ruwet itu.

Ketiga jurus itu selain dilukiskan dengan gambar secara jelas, bahkan diberi keterangan pula dengan tulisan. Kalau bukan orang yang sangat memahami ilmu silat Ih-hoa-kiong, rasanya tidak mungkin menciptakan ketiga jurus serangan yang hebat ini, sungguh aneh bin ajaib.

Namun Siau-hi-ji tidak memikirkan hal ini, pada hakikatnya sekarang ia tidak ingin memikirkan apa pun, ia hanya memandangi gambar itu dengan termangu-mangu.

Tidak lama kemudian datanglah orang mengantarkan santapan, ternyata terdiri dari masakan Sujwan kegemaran Siau-hi-ji, bahkan ada sebotol arak pilihan.

Tanpa sungkan-sungkan lagi Siau-hi-ji terus makan sekenyang-kenyangnya, tapi ia sengaja menyisihkan sepotong bebek rebus dan satu porsi Ang-sio buntut, lalu seperti bicara pada dirinya sendiri ia bergumam, “Kedua macam makanan ini tidak pedas, makan atau tidak terserah padamu.”

Sejak tadi anak dara itu berdiri saja, satu ujung jari saja tidak bergerak. Tapi sekarang mendadak ia memutar tubuh dan mendekati meja, tanpa permisi lagi ia ambil sepotong bebek rebus itu terus dimakan dengan lahapnya.

Bila dia tidak mau makan, tentu Siau-hi-ji tidak perlu heran, kini dia justru makan dengan lahapnya, hal ini malah membuat Siau-hi-ji terbelalak heran.

Setelah menghabiskan sepotong bebek rebus, tampaknya nona ini sudah tidak sanggup makan lebih banyak lagi, tapi sedapatnya ia menghabiskan pula seporsi Ang-sio buntut. Sambil makan tanpa berkedip ia pun mengawasi sebuah saringan pasir pengukur waktu, setitik demi setitik butiran pasir menerobos saringan dan sang waktu pun ikut berlalu.

Yang keluar dari saringan sekarang rasanya bukan lagi butiran pasir melainkan jiwa manusia.

Siau-hi-ji tersenyum kecut, waktu, baginya kini terasa terlalu mahal, namun dia cuma dapat menyaksikan sang waktu berlalu begitu saja tanpa berdaya sedikit pun.

Tiba-tiba anak dara itu mendekatinya, lalu mendesis perlahan, “Apakah engkau cukup kenyang?

Bahwa anak perempuan itu mendadak mau bicara. Siau-hi-ji jadi kaget.

Segera nona itu berkata pula, “Tak menjadi soal bicara sekarang, tak ada orang lain yang akan datang.”

Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas menjawab, “Perutku serasa mau pecah karena kenyangnya, mungkin seekor semut saja tak sanggup kutelan lagi.”

“Sebaiknya kau makan lebih banyak, selama dua hari nanti mungkin kita tak dapat makan apa-apa,” ucap si nona.

Siau-hi-ji terkejut, “Sebab apa?” tanyanya.

Terpancar sinar tajam dari biji mata si nona yang hitam itu, katanya dengan tegas, “Sebab sekarang juga kita akan mulai kabur, dalam pelarian ini pasti kita takkan makan apa pun juga, bahkan air minum pun sukar diperoleh.”

“Lari?” Siau-hi-ji menegas dengan melenggong. “Maksudmu melarikan diri?”

“Ya, sebabnya aku makan dengan lahap tadi ialah supaya aku mempunyai tenaga untuk melarikan diri?”

“Tapi ... tapi Tong-siansing ....

“Saat ini dia sedang bersemadi, sedikitnya dalam dua jam dia takkan ke sini.”

“Kau yakin?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, kebiasaan ini sudah berlangsung selama berpuluh tahun dan tidak pernah berubah, konon belasan tahun yang lalu juga ada seorang anak perempuan yang berkedudukan seperti diriku melarikan diri dengan membawa kabur seorang pada saat dia sedang semadi seperti sekarang ini.”

“Ah, pantas dia begitu murka tadi, kiranya dia khawatir sejarah akan berulang pula,” ucap Siau-hi-ji, baru sekarang ia paham.

Tiba-tiba mata anak dara itu berkilau-kilau mengembang air mata, katanya, “Tahukah engkau siapa anak perempuan yang dibunuhnya tadi?”

Siau-hi-ji jadi tertarik, jawabnya, “Jangan-jangan ... jangan-jangan dia ....”

“Adikku, adik kandungku,” tukas si nona dengan suara gemetar, akhirnya air mata pun bercucuran.

Siau-hi-ji melenggong sejenak, ucapnya kemudian dengan menyesal, “Maaf, tadi seharusnya aku tidak boleh memancing dia tertawa.”

“Sudah tujuh tahun adikku ikut dia, tapi cuma persoalan sekecil itu ia pun tega membunuhnya, sebaliknya engkau tak pernah kenal adikku, namun engkau malah membelanya, bahkan tidak sayang mengadu jiwa baginya ....”

“Lantaran inikah kau menolong aku dengan menyerempet bahaya?” tanya Siau-hi-ji.

“Hakikatnya dia bukan manusia, ia pun tidak menganggap kami sebagai manusia, hidupku di sini biarpun cukup sandang pangan, namun rasanya seperti hidup di dalam kuburan, sedikit pun tiada gairah hidup ....”

“Jika begitu mengapa ketika itu kau mau datang ke sini?”

“Kami kakak beradik sebenarnya yatim piatu dan sejak kecil sudah kenyang siksa derita, kami mengira setelah masuk perguruannya dapatlah kami menanjak ke atas dan hidup bahagia. Siapa tahu meski kami berhasil belajar ilmu silatnya, tapi kami pun dijadikan budak olehnya, terkadang sepanjang hari kami dilarang buka suara sama sekali.”

“Kesepian, ya, kesepian sedemikian lama memang lebih banyak menyiksa daripada penderitaan orang lain ....” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun. Tiba-tiba ia pegang tangan si nona yang dingin ini dan berkata pula dengan suara berat, “Tapi setelah peristiwa belasan tahun yang lampau itu, penjagaannya pasti bertambah ketat, apakah kita dapat kabur tanpa diketahuinya?”

“Jika berada di istananya memang sama sekali tiada harapan bagi kita untuk lari, tapi di sini, tempat ini hanya pondoknya untuk sementara saja.” Untuk pertama kalinya si nona menampilkan senyum getir, lalu menyambung pula, “Apalagi akulah yang menemukan tempat ini, bahkan aku yang mengatur tempat ini, walaupun kita belum pasti dapat lolos, tapi apa pun juga harus kita coba daripada menunggu ajal di sini.”

Siau-hi-ji memandang sekelilingnya, lalu bertanya, “Sebenarnya tempat apakah ini?”

“Sebuah biara,” tutur si nona.

“Biara?” Siau-hi-ji menegas dengan heran. Yang terlihat olehnya sekarang adalah perabotan yang mewah, yang terendus adalah bau harum semerbak, sungguh sukar dipercaya kalau tempat ini adalah sebuah biara.

“Tempat ini semula adalah sebuah biara tua. Setelah kami atur seharian barulah berubah bentuk begini,” tutur si nona.

“Kepandaian kalian sungguh luar biasa,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun. Sambil tertawa tiba-tiba ia menyambung pula, “Waktu sangat berharga, kenapa kita tidak lekas berangkat. Jika ingin mengobrol, setelah lolos kukira masih mempunyai waktu banyak.”

“Tunggu sebentar, kita harus menunggu setelah peralatan makan ini di bersihkan orang barulah berangkat, kalau tidak kaburnya kita akan segera ketahuan.”

“Ya, dalam hal-hal kecil aku memang suka teledor, rasanya setiap anak perempuan sepertimu jauh lebih cermat daripadaku,” kata Siau-hi-ji tertawa.

Nona itu menatapnya sejenak, katanya kemudian, “Tentunya sangat banyak anak perempuan yang kau kenal?”

“Ah, sungguh kuharap jangan banyak-banyak anak perempuan yang kukenal .... Dan kau? Anak lelaki yang kau kenal ....”

“Satu pun tidak ada,” jawab anak dara itu dengan dingin.

“Tapi sekarang sedikitnya kau sudah kenal diriku,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Aku she Kang bernama Siau-hi, dan kau?”

Nona itu terdiam sejenak, jawabnya kemudian, “Boleh kau panggil aku ini Thi Peng-koh”

Siau-hi-ji seperti melengak, ucapnya dengan menyengir, “Kau pun she Thi? Aneh, mengapa anak perempuan she Thi sedemikian banyak ....”

Belum habis ucapannya, mendadak Thi Peng-koh mendesis dan memberi tanda agar jangan bersuara.

Segera terdengar langkah perlahan di luar pintu, cepat Siau-hi-ji merebahkan diri di tempat tidur. Habis itu masuklah seorang anak perempuan berbaju ungu dan berwajah dingin bersama seorang perempuan setengah umur berbaju hijau.

Thi Peng-koh tetap berdiri di tempatnya tanpa menghiraukan kedua pendatang itu.

Nona baju ungu lantas mendekatinya, dengan dingin ia menegur, “Adikmu sudah meninggal.”

“Aku tahu,” jawab Peng-koh dengan sikap sama dinginnya.

“Kau berduka tidak?”

“Jika aku berduka apakah kau gembira?”

Cepat si baju ungu melengos dongkol, sorot matanya yang penuh rasa gusar itu kebetulan menghadapi Siau-hi-ji. Tapi anak muda itu malah mencibir padanya dengan menjulurkan lidah segala.

Sementara itu perempuan baju hijau tadi sudah selesai mengukuti mangkuk piring dan membawanya pergi.

Tiba-tiba si nona baju ungu berkata, “Kau pun boleh keluar sana!”

Siau-hi-ji melengak, ucapnya dengan menyengir, “Maksudmu aku sudah boleh keluar?”

Tapi di baju ungu lantas memutar balik ke sana dan menatap Thi Peng-koh jengeknya, “Tentunya kau tahu yang kumaksudkan ialah kau. Mengapa kau tidak lekas pergi?”

Siau-hi-ji terperanjat, denyut jantungnya hampir saja berhenti. Thi Peng-koh disuruh pergi, itu berarti rencana akan kabur mereka gagal total.

Tapi Thi Peng-koh lantas menjawab, “Siapa yang suruh aku pergi?”

“Sekarang sudah waktunya giliran jaga, kau dapat istirahat, memangnya kurang enak bagimu?” jengek si baju ungu.

Thi Peng-koh tidak bicara pula, segera ia membalik tubuh dan melangkah pergi.

Dengan terbelalak Siau-hi-ji menyaksikan Thi Peng-koh melangkah keluar, meski gelisah, tapi tak berdaya.

Dalam pada itu si nona baju ungu sedang menatapnya pula dengan tajam dan bertanya, “Kau tidak ingin dia pergi?”

“Haha!” Siau-hi-ji sengaja latah, “Lebih baik kalau dia pergi. Mukanya yang senantiasa merengut itu membuat jemu saja. Meski kau belum tentu lebih enak dipandang daripada dia, tapi ganti yang baru tentu lebih baik daripada yang lama. Memangnya watakku juga suka pada yang baru dan bosan pada yang lama.”

“Hm, jika kau menatap diriku, segera kucolok biji matamu,” ancam si baju ungu.

Siau-hi-ji dapat melihat Thi Peng-koh yang telah keluar itu diam-diam telah menyelinap masuk kembali. Maka ia sengaja bergelak tertawa dan berolokolok. “Hahaha! Di mulut kau bilang tidak mau dipandang, tapi dalam hati tentu kau ingin sekali. Bisa jadi kau harap aku akan mendekapmu dan menciummu, kalau tidak mengapa kau segera menyuruh dia pergi dan kau sendiri malah tinggal di sini?”

Tampaknya si baju ungu menjadi gusar, dengan suara gemetar ia membentak, “Kau ... kau berani bicara begini padaku?”

Siau-hi-ji melelet lidah, ucapnya dengan tertawa, “Kau kan bukan macan betina, mengapa aku tidak berani? Malahan kuingin menggigit bibirmu!”

Dilihatnya Thi Peng-koh sudah dekat di belakang si baju ungu, maka dia sengaja membuatnya marah-marah dan lupa daratan.

Benarlah, dengan murka si baju ungu membentak pula, “Jangan kau kira aku tak dapat membunuhmu, sedikitnya dapat kupatahkan ....”

Belum habis ucapannya, tahu-tahu kepalanya telah menjulai ke bawah, menyusul tubuhnya lantas roboh terjungkal tanpa bersuara sedikit pun. Ternyata telapak tangan Thi Peng-koh dengan tepat telah menebas kuduk si baju ungu.

Cepat Siau-hi-ji melompat bangun dan berseru, “Kau tidak khawatir dilihat orang lain ....”

Dengan ketus Thi Peng-koh memotongnya, “Kesempatan sukar dicari lagi, terpaksa aku harus menyerempet bahaya. Apalagi penghuni-penghuni di sini kebanyakan tidak suka memperhatikan urusan orang lain. Seumpama tiga hari dia tidak muncul juga tiada orang yang menanyakan dia.”

Sembari bicara ia terus menggeser tempat tidur itu dan meraba-raba dinding, segera tertampaklah sebuah pintu sempit.

Cepat Thi Peng-koh menyelinap ke balik pintu sambil berseru tertahan, “Lekas ikut padaku!”

Di balik dinding itu ternyata ada sebuah jalan di bawah tanah yang berliku-liku entah menembus ke mana. Hanya terasa hawa dingin dan lembap dengan bau apek yang memuakkan.

Kejut dan girang Siau-hi-ji, sambil mendekap hidung ia ikut berjalan sekian lamanya, akhirnya ia berkata dengan gegetun, “Sungguh tidak disangka di dalam kelenteng ini ada jalan rahasia begini, sejak kapan kau menemukannya?”

“Waktu akan mengatur dan memperbaiki tempat ini lantas kutemukan jalan rahasia ini,” tutur Peng-koh. “Menurut perkiraanku, biara ini mungkin dibangun pada jaman ‘Ngoh-oh-cok-loan’ (geger lima suku bangsa), waktu itu suasana kacau balau, kejahatan merajalela, jiwa manusia lebih rendah daripada binatang. Banyak orang-orang baik yang memotong rambut menjadi rahib untuk menghindari kerusuhan yang berkecamuk. Namun biara juga bukan tempat yang aman, maka para paderi di sini membangun jalan rahasia ini untuk menghindari bahaya.”

“Tampaknya kau memang agak berbeda daripada anak perempuan lain yang pernah kukenal.” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.

“O, memangnya berbeda dalam hal apa?”

“Kau bisa memakai otak,” kata Siau-hi-ji. “Di dunia ini anak perempuan yang dapat menggunakan otaknya kini makin sedikit, malahan ada sementara perempuan yang punya otak sekalipun tapi justru malas menggunakannya. Mereka mengira cukup asalkan anak perempuan mempunyai wajah yang lumayan.”

Thi Peng-koh seperti tertawa, katanya, “Tapi itu pun salah kaum lelaki.”

“O, alasannya?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebab pada umumnya kaum lelaki tidak menyukai anak perempuan yang berotak, mereka takut bilamana anak perempuan akan mengungguli mereka, sebab itulah anak perempuan yang semakin pintar juga semakin berlagak bodoh dan lemah. Pada dasarnya kaum lelaki memang suka menganggap dirinya lebih kuat daripada perempuan dan lebih suka menjadi si pelindung, jika demikian, mengapa pihak perempuan tidak membuat mereka memeras otak lebih banyak dan lebih banyak pula mengeluarkan tenaga?”

“Wah, jika begini jadinya yang bodoh adalah kaum lelaki?” kata Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. “Tapi katanya kau tidak pernah kenal seorang lelaki mana pun, mengapa kau sedemikian memahami kaum lelaki?”

“Secara kodrat perempuan memang dilahirkan agar memahami kaum lelaki.”

Siau-hi-ji menghela napas gegetun, ucapnya, “Ya, memang benar juga perkataanmu, seorang lelaki kalau menganggap dirinya dapat memahami jalan pikiran perempuan, maka masa menderitanya pasti akan bertambah lama.”

Dalam hati mereka sekarang sebenarnya penuh rasa khawatir, sebab itulah mereka sengaja pasang omong sedapatnya dengan tujuan sekadar mengendurkan saraf yang tegang.

Maklumlah, di lorong bawah tanah yang pengap dan seram itu, sedangkan keselamatan jiwa mereka pun tidak diketahui apakah dapat dipertahankan, kalau mereka tidak bicara, tentu suasana akan bertambah mencekam.

Jalan di bawah tanah itu semakin lembap dan juga semakin gelap. Waktu Siau-hi-ji merabanya, terasa kedua sisi bukan lagi tembok yang licin melainkan dinding batu yang keras, kasap dan berlumut.

Sementara itu ia pun merasakan jalanan juga mulai tidak rata. Tanyanya kepada Thi Peng-koh. “Apakah dinding biara tua ini berhubungan dengan perut gunung?”

Thi Peng-koh tidak menjawabnya, tapi ia lantas menyalakan sebuah obor kecil. Tempat di mana mereka berada memang betul di dalam perut gunung dengan gua yang saling menyilang laksana jaringan labah-labah. Angin, ada tiupan angin entah berasal dari mana, angin yang dingin membuat orang merinding.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, “Di tempat begini, sekalipun Tong-siansing memiliki kesaktian setinggi langit juga tidak mudah menemukan kita.”

“Tapi kalau kita ingin keluar rasanya juga tidak mudah,” ujar Thi Peng-koh.

Siau-hi-ji kaget, serunya, “Masa kau tidak tahu jalan keluarnya?”

“Dari mana kutahu?” jawab Peng-koh.

“Jika ... jika begitu mengapa kau bilang kita dapat lari keluar?”

“Asalkan ada jalan, dengan sendirinya kita ada harapan untuk lari keluar.”

“Tampaknya nona terlalu meremehkan persoalan ini,” ujar Siau-hi-ji dengan murung. “Tahukah bahwa gua-gua begini kebanyakan tidak ada jalan tembusnya.”

“Tapi juga ada sebagian yang dapat tembus keluar bukan?”

“Sekalipun ada jalan keluarnya, tapi gua-gua begini sungguh ruwet melebihi pat-kwa-tin yang pernah diciptakan Khong Beng di jaman Sam-kok itu. Bisa jadi setelah berputar dua-tiga bulan di dalamnya akhirnya baru diketahui masih tetap berada di tempat semula. Setahuku, dari dahulu kala hingga sekarang, setan penasaran yang terkurung mati di dalam perut gunung semacam ini bilamana dikumpulkan mungkin akan membuat penuh istana raja akhirat.”

Peng-koh berjalan di depan, tanpa menoleh ia menjengek, “Jika begitu, kalau sekarang bertambah lagi dua orang kan tidak banyak.”

“Ma ... masa kau tidak cemas?” tanya Siau-hi-ji.

“Jika cemas, sekarang juga boleh kau kembali ke sana, kan belum terlambat.”

Siau-hi-ji melengak, ucapnya sambil menyengir, “Ai, kau jangan marah, aku tidak menyalahkanmu, hanya ....”

Mendadak Peng-koh berpaling dan berteriak, “Memangnya kau kira aku tidak tahu betapa bahayanya tempat begini? Tapi apa pun juga kita kan ada setitik harapan buat lari keluar daripada duduk menunggu ajal di sana?”

Siau-hi-ji melelet lidah, katanya dengan tertawa, “Wah, bila kutahu kau akan marah begini tentu aku tidak bicara seperti tadi.”

Dengan mendongkol Thi Peng-koh menatapnya sejenak, tiba-tiba ia menghela napas gegetun dan berucap, “Sungguh tak terpikirkan olehku bahwa engkau adalah orang seaneh ini.”

“Aku pun tidak pernah membayangkan bahwa kau akan marah-marah begini,” ujar Siau-hi-ji tertawa.

Sembari bicara terus matanya juga tidak menganggur. Kini mendadak ditemukannya bahwa lumut yang melapisi dinding gua itu samar-samar ada ukiran ujung panah, sinar mata Peng-koh tampak gemerlap, agaknya dia juga sudah melihat tanda panah ini.

Segera nona itu mendahului menuju ke arah yang ditunjuk ujung panah. Belasan tombak kemudian, pada belokan sana kembali ada tanda panah lagi. Tapi Siau-hi-ji lantas berdiri di situ tanpa bergerak pula.

“Kini sudah ada petunjuk kita akan menuju keluar, mengapa engkau malah berdiri diam saja?” tanya Peng-koh sambil mengeryitkan kening.

Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, “Jika kita menuju arah menurut ujung panah ini, sebentar lagi kita akan berjumpa pula dengan Tong-siansing. Rasanya aku sudah bosan melihat wajah seperti setan itu.”

Thi Peng-koh terkejut, “Masa tanda panah ini bukan petunjuk jalan?”

“Tanda panah ini memang petunjuk jalan, tapi yang ditunjuk bukan jalan keluar.”

“Dari mana kau tahu?” tanya si nona.

“Tanda panah ini tentunya diukir oleh para Hwesio yang dahulu menghuni biara ini, betul tidak?”

“Ya,” kembali si nona mengangguk.

“Mereka sembunyi di sini untuk menghindari kerusuhan, setelah kawanan penjahat pergi, coba katakan, lalu para Hwesio itu akan ke mana lagi?”

“Dengan sendirinya kembali ke kelenteng mereka,” setelah berucap begitu baru Peng-koh sadar dan cepat menambahkan pula, “Aha, betul juga. Tanda panah ini pasti petunjuk jalan untuk kembali ke kelenteng sana. Tapi mereka hanya sembunyi sementara saja di sini, mengapa mesti meninggalkan penunjuk jalan segala?”

“Memang sudah kukatakan sejak tadi bahwa kau ini anak perempuan yang suka memakai otak,” ucap Siau-hi-ji sambil tertawa, “Akhirnya kau paham juga, mungkin tadi kau hanya pura-pura bodoh saja.”

Tanpa terasa Thi Peng-koh menunduk dengan muka merah. Tiba-tiba ia menyerahkan obornya kepada Siau-hi-ji dan berkata, “Kau ... engkau saja yang mencari jalan.”

Dengan menghela napas Siau-hi-ji bergumam, “Makanya anak perempuan yang semakin pintar tentu juga semakin suka berlagak bodoh dan lemah, makanya lagi sekarang kau ingin aku memeras otak dan lebih banyak mengeluarkan tenaga ....”

Belum habis ucapannya, Thi Peng-koh membanting kaki dengan muka merah, serunya, “Baiklah, anggap engkau benar, kan tidak menjadi soal bukan?”

Dengan muka cengar-cengir Siau-hi-ji memandang si nona, sejenak kemudian baru berkata pula, “Justru kuingin melihat wajahmu merah dan marah-marah, dalam keadaan marah barulah kau mirip benar anak perempuan, sesungguhnya aku tidak tahan melihat wajahmu yang selalu dingin membeku ini.”

Selagi Thi Peng-koh hendak mengomel namun Siau-hi-ji telah membalik ke sana sambil tertawa. Tanpa terasa si nona ikut tersenyum, gumamnya, “Apakah betul mukaku menjadi merah? Sungguh aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk wajahku bilamana sedang marah, mungkin untuk pertama kalinya selama hidupku ini ....”

Begitulah mereka terus maju ke depan, setiap ada tanda panah, bila menuju ke depan, maka Siau-hi-ji berbalik menuju ke belakang, bilamana tanda panah mengarah ke kanan, maka dia justru belok ke kiri. Tanda-tanda panah yang dilaluinya juga segera dihapuskannya.?

Setelah berjalan sejenak pula mengikuti anak muda itu, tiba-tiba Peng-koh bertanya, “Caramu berjalan ini apakah akhirnya dapat keluar?”

“Aku pun tidak tahu, yang pasti cara kita berjalan ini, sedikitnya jarak kita dengan kelenteng itu sudah semakin jauh,” jawab Siau-hi-ji.

Namun sekarang gua itu sudah semakin sempit, terkadang Siau-hi-ji harus memiringkan tubuh baru dapat menyelinap lewat, sedangkan panah penunjuk jalan juga sudah tiada terlihat lagi.

Siau-hi-ji menghela napas, katanya, Agaknya sekarang kita harus main untung-untungan, biarlah kita pejamkam mata,” Sembari bicara segera ia pun memadamkan obor.

“Kenapa kita tidak mencari lagi kalau-kalau ada ….”

“Percuma,” potong Siau-hi-ji. “Para Hwesio dahulu itu mungkin tidak sembunyi sampai ke sini, maka mereka pun tidak perlu mengukir penunjuk jalan, biarpun kita mencari lagi juga cuma sia-sia belaka.”

Peng-koh tidak bicara lagi, tiba-tiba terasa tangannya dipegang Siau-hi-ji. Seketika jantungnya berdebar keras, dalam kegelapan detak jantungnya seakan-akan tambah keras. Muka si nona menjadi merah, kalau ada lubang di tanah rasanya ia ingin menyusup dan sembunyi di situ.

“Terpaksa, tak berdaya,” ucap Siau-hi-ji.

“Soal ... soal apa tak berdaya?” tanya si nona.

“Jika jantung harus berdetak, siapa pun tak berdaya membuatnya berhenti,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Peng-koh mengikik tawa, segera ia hendak mencubit lengan anak muda itu, tapi mendadak tangannya berhenti di tengah jalan serta melenggong, tiba-tiba terasa olehnya selama bertahun-tahun ini baru sekarang untuk pertama kalinya ia merasa dirinya adalah perempuan, untuk pertama kalinya ia merasa dirinya berdarah dan berdaging. Perasaan ini membuat sekujur badannya panas membara, hampir-hampir berjalan saja tidak sanggup lagi.

Lorong gua ini semakin sempit, terkadang dilalui dengan merangkak. Berjalan di dalam kegelapan di tempat demikian rasanya sungguh tidak enak. Pakaian Peng-koh sudah robek, badan ada yang lecet dan berdarah, tapi sedikit pun dia tidak merasa sakit, dia terus mengikuti langkah Siau-hi-ji tanpa bicara.

Setiap satu jarak Siau-hi-ji lantas menyalakan obor untuk memeriksa keadaan sekitarnya, sampai akhirnya cahaya obornya sudah semakin guram. Ia tahu obornya sudah hampir terpakai habis, ia harus menghemat dan tidak berani menggunakan obor lagi, ia tahu di tempat demikian tanpa cahaya api akan berarti maut. Karena itu perjalanan mereka menjadi lebih sulit.

Entah sudah berapa lama mereka menyusur dalam kegelapan, rasanya sudah dua-tiga hari, tapi juga seperti sudah sebulan atau dua bulan. Langkah Peng-koh akhirnya mulai berat. Menyusul sekujur badan terasa linu, kepala pusing dan mata berkunang-kunang, lapar, dan dahaga.

Dengan sendirinya kondisi tubuhnya tidak sekuat Siau-hi-ji yang sudah kebal itu, mana dia sanggup tahan derita sehebat ini, kalau saja Siau-hi-ji tidak mengajaknya bicara dan bersenda-gurau, sungguh selangkah saja ia tidak kuat berjalan pula.

Padahal Siau-hi-ji sendiri juga payah.

Bila orang lain menghadapi keadaan buntu begini, andaikan tidak kelabakan hingga gila, paling tidak pasti juga akan berkeluh-kesah dan meratapi nasibnya yang celaka.

Tapi dasar watak Siau-hi-ji memang aneh, menghendaki kematiannya bisa jadi akan lebih mudah, kalau dia disuruh cemas, gelisah atau sedih atau jangan tertawa, inilah yang mahasulit.

Akhirnya Thi Peng-koh tak tahan, katanya, “Marilah kita mengaso sejenak.”

“Jangan, tidak boleh berhenti, sekali berhenti maka jangan harap akan sanggup berjalan pula,” ujar Siau-hi-ji.

“Tapi ... tapi aku ... tidak sanggup ....”

“Coba bayangkan, sejak dahulu kala sampai sekarang bilakah ada orang banyak yang masuk ke gua rahasia ini untuk berjalan-jalan dengan tangan bergandengan tangan seperti kita sekarang? Ai, betapa indah dan betapa romantisnya peristiwa ini. Orang lain tidak mungkin mendapatkan kesempatan bagus begini, kenapa sekarang kita tidak menikmatinya dan meresapinya.”

“Tapi ... tapi sayang aku bukan ... bukan kekasihmu,” ucap Peng-koh dengan perasaan hampa.

“Siapa bilang bukan?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, “Saat ini, detik ini, selain kau, siapa pula di dunia ini yang lebih berdekatan denganku?”

Kembali Peng-koh mengikik tawa, tanpa terasa seluruh badannya lantas jatuh ke dalam pelukan Siau-hi-ji, wajahnya panas seperti bara. Bara ini timbul dari lubuk hatinya yang dalam.

Sekalipun perempuan yang sudah kenyang asam garamnya penghidupan, kalau berada bersama pemuda seperti Siau-hi-ji di tempat gelap dan pada hakikatnya belum pernah menyentuh lelaki. Masa remajanya yang membakar itu memang sudah tertahan terlalu lama, apalagi seorang yang sedang menghadapi tepi batas antara hidup dan mati, pada saat-saat demikian pikiran sehat seseorang paling mudah runtuh.

Peng-koh sendiri pun tidak membayangkan dirinya bisa jatuh ke dalam pelukan Siau-hi-ji, dan sekarang dia sudah menjatuhkan diri, namun sedikit pun ia tidak menyesal. Ia merasa tangan anak muda itu mendekap pinggangnya dengan perlahan.

Keadaan gelap gulita. Kegelapan memang suka menyesatkan.

Dengan suara gemetar Peng-koh berkata, “Hidup manusia sungguh aneh dan menarik, baru sekarang kutahu hal ini. Dua-tiga hari yang lalu aku tidak kenal kau, tapi sekarang ... sekarang aku ….”

“Apakah kau tahu apa yang kupikirkan sekarang?” tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya.

“Tidak tahu,” jawab si nona.

“Yang paling kuinginkan sekarang adalah melihat wajahmu.”

“O, tidak ... tidak ... kumohon jangan ....” Namun obor sudah menyala pula. Cepat Peng-koh menutup mukanya dengan tangan.

Air mukanya kembali merah jengah. Serunya dengan suara gemetar, “Jang ... jangan, padamkan ... obornya sudah hampir habis ....”

“Biarpun obor ini sekarang sangat berharga bagi kita, tapi bisa kulihat wajahmu pada saat ini, betapa pun pengorbananku terasa setimpal juga,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Betul?” tanya Peng-koh sambil menurunkan tangannya perlahan-lahan.

“Cuma sayang saat ini tidak ada cermin, kalau ada ingin kuperlihatkan padamu bahwa wajahmu sekarang jauh lebih cantik daripada bentukmu dahulu yang dingin itu.”

Peng-koh menatap tajam anak muda itu, sampai lama sekali baru berkata dengan lirih, “Jika benar-benar kita tak dapat keluar, apakah engkau akan marah padaku?”

“Marah padamu? Mengapa kumarah padamu?”

“Sebenarnya engkau toh takkan meninggal biarpun terkurung di sana, tapi sekarang ....”

“Jika demikian halnya, sepantasnya kau yang harus marah padaku. Kalau bukan diriku, tentu kau takkan menderita begini.”

“Menderita?” tukas Peng-koh dengan tersenyum. “Tahukah engkau bahwa selama hidupku belum pernah segembira sekarang.”

Dia menatap ke arah yang jauh di sana, lalu katanya pula dengan perlahan, “Pada waktu aku hampir gila karena kesepian, entah berapa kali pernah kubermimpi, aku mendambakan ada seorang akan mengajak bicara padaku, bertengkar padaku, memancing aku tertawa dan membuat aku marah pula. Tadinya kukira impianku ini takkan terlaksana selamanya, kukira di dunia ini tidak ada orang yang mau menganggap diriku sebagai perempuan.”

“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kalau aku sendiri tidak menganggap diriku sebagai perempuan, apalagi orang lain? Bisa jadi orang lain memandang diriku seperti bidadari, bahkan seperti iblis, tapi pasti tidak menganggap diriku sebagai perempuan.”

“Tapi tidak kurang tidak lebih engkau benar-benar seorang perempuan, aku dapat membuktikannya dengan seribu macam cara bila perlu.”

“Ya, hal ini dapat kurasakan kini, makanya seumpama sekarang aku harus mati juga aku merasa siap dan merasa gembira.”

“Siapa bilang kau akan mati?” seru Siau-hi-ji. “segera juga kita akan menemukan jalan keluarnya.”

Peng-koh menggeleng dengan tersenyum, katanya, “Kutahu ... kutahu ... engkau tak dapat mendustaiku.”

Sementara itu api obor sudah tersisa setitik saja, sambil memandangi api obor kelopak mata Peng-koh terasa semakin berat, dengan suara lirih ia menyambung, “Aku pun tahu, sikap baikmu padaku bukanlah lantaran benar-benar menyukai aku melainkan cuma ingin menghiburku saja, agar aku mendapatkan kegembiraan terakhir.”

“Ah, kau ber ... berpikir terlalu banyak,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tersembul senyuman manis pada ujung mulut si nona, ucapnya perlahan, “Namun aku tetap berterima kasih padamu, aku benar-benar sangat ... sangat lelah, kumohon biarkanlah kutidur, sekalipun tidurku ini takkan siuman untuk selamanya juga aku merasa puas ....”

Memandangi kelopak mata si nona yang berat dan perlahan-lahan terkatup itu, tanpa terasa Siau-hi-ji menghela napas.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara keresek serta suara mencicit, ada sebarisan tikus besar lagi gemuk beriring-iringan lari lewat di depan mereka.

Peng-koh terkejut dan membuka mata lebar-lebar, tubuhnya meringkuk ketakutan. Sebaliknya Siau-hi-ji berseru girang, teriaknya, “Aha, kau tidak perlu tidur lagi, kita pasti tertolong.”

“Tapi ini kan cuma kawanan tikus saja?” ujar Peng-koh.

“Lihatlah, kawanan tikus ini rata-rata berbadan gemuk, jelas tidak tinggal di perut gunung ini, di sini tiada terdapat satu butir beras atau makanan lain, pasti takkan membuat kawanan tikus itu sedemikian gemuk.”

Terbeliak juga mata Thi Peng-koh, katanya, “Jadi maksudmu kawanan tikus ini masuk dari luar gunung sana?”

“Betul, tempat ini pasti sudah dekat dengan pinggir perut gunung dan jalan keluarnya pasti juga berada di dekat sini,” sembari bicara Siau-hi-ji terus melangkah ke arah datangnya kawanan tikus tadi.

Untung obor belum lagi padam seluruhnya, tidak lama kemudian dapatlah ditemukan sebuah lubang yang tidak besar tapi juga tidak kecil, di luar lubang remang-remang ada cahaya yang redup.

Cahaya ini sangat aneh, bukan sinar matahari juga bukan lampu, tapi adalah semacam cahaya kemilau yang redup. Namun Siau-hi-ji tidak pedulikan lagi cahaya apakah itu. Segera ia tarik Thi Peng-koh dan menerobos ke balik lubang sana.

Di balik gua situ ternyata ada sebuah gua mestika, berpeti-peti harta karun tertimbun di situ, walaupun tidak terlalu banyak, tapi juga tidak sedikit jumlahnya.

Siau-hi-ji jadi melenggong, ucapnya dengan tertawa, “Aku sebenarnya bukan manusia rakus harta, tapi Thian justru selalu membuatku menemukan tempat-tempat rahasia penyimpanan harta pusaka, sungguh aku tidak paham mengapa di dunia ini terdapat harta karun sebanyak ini.”

Sambil memegangi sebuah peti, tiba-tiba Peng-koh berkata, “Di sini bukanlah tempat harta karun segala.”

“O, dari mana kau tahu?” tanya Siau-hi-ji.

“Peti-peti ini belum lama dibawa masuk ke sini, lihatlah, di atas peti ini tiada terdapat debu kotoran apa pun,” kata Peng-koh.

Melengak juga Siau-hi-ji setelah tangannya mengusap tutup peti dan memang benar tiada terdapat debu kotoran apa pun. Katanya sambil menyengir, “Dalam keadaan demikian kau ternyata lebih cermat daripadaku.”

Tiba-tiba dilihatnya di atas setiap tutup peti itu tertempel etiket yang tertulis, “Milik Toan Hap-pui”. Penemuan ini membuat Siau-hi-ji melonjak kaget.

Rupanya harta pusaka ini adalah milik Toan Hap-pui yang dirampas oleh Kang Piat-ho dan Kang Giok-long dengan berbagai tipu daya itu. Mungkin Giok-long menganggap gua ini adalah tempat sangat rahasia, maka partai harta karun rampasannya itu disembunyikannya di sini, tak tersangka secara kebetulan justru ditemukan oleh Siau-hi-ji.

Terkejut dan bergirang anak muda itu, hampir saja ia bersorak gembira. Tapi mendadak Thi Peng-koh mendesis, “Ssst, ada orang di sini.”

Waktu Siau-hi-ji mengintip ke sana, benar juga dilihatnya di samping sepotong batu besar di luar sana duduk dua orang berhadapan. Seorang yang duduk menghadap ke sini berwajah putih pucat, ternyata Kang Giok-long adanya. Sedang orang yang duduk di seberangnya bertubuh kekar dan wajahnya tidak jelas terlihat.

Di samping batu itu tertaruh banyak santapan dan arak, tapi kedua orang itu bukan lagi makan dan minum, mereka hanya memandangi batu besar di depan mereka dengan penuh perhatian.

Keadaan kedua orang kelihatan lesu dan lelah, rambut semrawut, muka berlepotan seperti sudah beberapa hari tidak pernah cuci muka. Tapi mata mereka masih terbuka lebar tanpa berkedip.

Peng-koh merasa heran, dengan suara tertahan ia tanya Siau-hi-ji, “Adakah sesuatu yang menarik pada batu itu, mengapa kedua orang memandangnya sedemikian rupa? Jangan-jangan mereka orang gila semua.”

Siau-hi-ji menjawab dengan gegetun, “Setahuku orang ini tidaklah gila, bahkan otaknya jauh lebih cerdas daripada orang lain.”

“Kau kenal dia?” tanya Peng-koh.

“Ehm,” Siau-hi-ji hanya mendengus saja sambil menatap santapan dan arak yang ditaruh di sana itu.

“Mengapa mereka melototi batu besar itu?”

“Mungkin mereka berharap batu itu akan berbunga,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Akhirnya pandangannya beralih dari makanan kepada batu besar yang dimaksudkan Peng-koh itu.

Batu itu rata persegi, tiada sesuatu yang aneh, hanya bagian tengah ada satu garis ukiran, pada kanan-kiri garisan itu masing-masing tertaruh sekerat daging Samcan, yaitu daging iga babi. Dan daging itulah yang dipelototi oleh kedua orang itu tanpa berkedip, seakan-akan daging yang berminyak itu adalah wajah perempuan yang paling cantik di dunia ini.

Siau-hi-ji merasa bingung juga melihat kelakuan mereka, gumamnya dengan tertawa, “Dahulu kukenal bocah ini tidak mempunyai penyakit apa-apa, tapi sekarang bisa jadi sudah berubah, memangnya dia sudah lupa bahwa daging harus di makan dengan mulut dan bukan untuk dipandang mata.”

Bicara soal makan, Thi Peng-koh juga menelan air liur, ucapnya dengan suara tertahan sambil tertawa, “Jika kau kenal dia, sebaiknya kau beri petunjuk padanya.”

“Tentu saja aku ingin mengajarkan dia cara memakan daging,” ujar Siau-hi-ji. “Cuma sayang bilamana sekarang aku muncul, yang dimakan bukan lagi daging Samcan di meja batu itu melainkan daging pahaku ini. Maklumlah, karena geregetannya padaku sudah lama dia ingin memakan dagingku.”

Peng-koh menghela napas kecewa, tanyanya kemudian, “Dan siapa lagi yang seorang?”

“Orang ini belum jelas kelihatan, rasanya seperti ....” belum habis ucapan Siau-hi-ji, sekonyong-konyong seekor tikus menerobos keluar dari tempat gelap dan melompat ke atas batu besar itu dan sekeratan daging di depan lelaki itu terus digondol lari.

Tiba-tiba muka Kang Giok-long berubah lebih pucat, katanya sambil menyengir, “Baik, sekali ini kau lagi yang menang.”

“Sampai sekarang utangmu padaku seluruhnya berjumlah seratus tiga puluh laksa tahil perak, harta simpananmu di dalam sana sudah hampir ludes,” ujar lelaki kekar itu dengan tertawa.

“Jangan khawatir, masih cukup banyak,” jawab Kang Giok-long dengan dingin.

“Hahaha, sebelum pertaruhan ini memuaskan seleraku, mana boleh begini cepat modalmu ludes, awas bila ingin kupencet perutmu hingga keluar telurmu,” demikian lelaki kekar itu bergelak tertawa, lalu ia iris sekerat kecil daging dan ditaruh pula di atas batu.

Baru sekarang Peng-koh paham duduk perkaranya, bisiknya dengan tertawa, “Kiranya mereka sedang berjudi, bilamana daging yang ditaruh di depannya itu digondol lari tikus, maka dia yang menang. Cara pertaruhan demikian sungguh sangat langka di dunia ini.”

“Tapi cara pertaruhan ini juga sangat adil, siapa pun tidak dapat main kayu,” kata Siau-hi-ji.

“Akan tetapi kalau tikusnya tidak datang, lalu bagaimana?”

“Jika tikusnya tidak datang, mereka lantas menunggu dan menunggu terus, dasar orang ini memang keranjingan judi, asalkan judi, biarpun menunggu sepuluh hari sepuluh malam juga bukan soal baginya.”

“Hihi, memang betul, tampaknya cara mereka berjudi seperti ini sudah lebih daripada sepuluh hari sepuluh malam.”

“Apakah kau ingin tahu siapa orang yang duduk membelakangi kita ini?”

“Eh, engkau sudah mengenalnya?”

“Meski belum melihat mukanya, tapi suaranya sudah dapat kukenali.”

“Siapa dia?” tanya Peng-koh.

“Han-wan Sam-kong atau lebih terkenal dengan julukan ‘Ok-tu-kui’, sebelum semuanya serba ludes tidak mungkin dia berhenti berjudi.”

“Ok-tu-kui?” Peng-koh menegas, “Apakah tokoh Cap-toa-ok-jin itu?”

“Betul, rupanya kau pun tahu di dunia ini ada Cap-toa-ok-jin.”

Peng-koh termenung sejenak, tiba-tiba ia tanya, “Apakah engkau tahu Cap-toa-ok-jin itu sebenarnya orang-orang macam apa?”

“Haha, pertanyaanmu ini boleh dikatakan tepat diajukan kepada orangnya,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa, “Mungkin di dunia ini tiada orang lain yang lebih mengenal Cap-toa-ok-jin daripada diriku ini.”

Lalu dia angkat tangannya dan memperlihatkan jarinya satu per satu, “Cap-toa-ok-jin itu terdiri dari pertama, si tangan berdarah Toh Sat, kedua, tertawa sambil menikam Ha-ha-ji, ketiga si Banci To Kiau-kiau, keempat, setengah manusia setengah setan Im Kiu-yu, kelima tidak makan kepala manusia Li Toa-jui, lalu ....”

Sampai di sini, tubuh Thi Peng-koh seperti agak gemetar, air mukanya juga berubah, tapi Siau-hi-ji tidak memperhatikan, ia menyambung lagi, “Lalu ada lagi si Singa Gila Thi Cian, si tukang pikat Siau Mi-mi, Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, Pek Khay-sim dan ditambah lagi Auyang Ting dan Auyang Tong bersaudara.”

“Jika begitu, bukankah jumlahnya ada sebelas orang?” tanya Peng-koh.

“Soalnya kedua Auyang bersaudara itu adalah saudara kembar yang tidak pernah berpisah satu sama lain, sebab itulah mereka berdua cuma dianggap satu.”

Perlahan Peng-koh menunduk, ucapnya dengan lirih, “Apakah orang-orang itu memang betul sangat jahat?”

“Sebenarnya orang yang lebih jahat daripada mereka masih sangat banyak, soalnya tindak tanduk mereka ini terlebih mencolok dan jauh berbeda daripada orang lain.”

“Maksudnya bagaimana?” tanya Peng-koh.

“Umpamanya Li Toa-jui yang tidak makan kepala manusia itu, sehari-hari tampaknya ramah tamah, bahkan boleh dikatakan orang serba pintar dalam bidang sastra dan ilmu silat, tapi bila penyakitnya mulai kambuh, jangankan orang lain, istri sendiri juga disembelih dan dimakannya. Padahal orang yang berjumpa dengan dia pasti takkan menyangka dia dapat melakukan kekejaman sejauh itu.”

Menyinggung nama Li Toa-jui, kembali tubuh Thi Peng-koh agak gemetar. Ia terkesima sejenak, kemudian bertanya dengan perlahan, “Apakah engkau kenal mereka?”

“Bukan cuma kenal saja, bicara terus terang, bahkan aku dibesarkan bersama mereka?”

Kembali si nona melengak, tanyanya, “Apakah kau tahu di ... di mana mereka berada kini?”

“Bisa jadi mereka berada di sekitar Ku-san ….” tiba-tiba Siau-hi-ji menatap si nona dan bertanya dengan tersenyum, “Apa sebabnya kau tanya sejelas itu.”

Peng-koh tertawa, jawabnya, “Ah, aku cuma merasa tertarik oleh manusia-manusia yang serba aneh itu.”

Sudah tentu percakapan mereka itu dilakukan lirih, sedangkan Kang Giok-long dan Han-wan Sam-kong lagi asyik bertaruh hingga lupa daratan, dengan sendirinya mereka tidak mendengar suara mereka.

Tiba-tiba terlihat Kang Giok-long tertawa dan berkata, “Sudah sembilan hari kita bertaruh dan belum ada yang kalah ludes, apakah kau tidak merasa bosan dan kesal?”

“Tidak, biarpun taruhan ini berlangsung sembilan tahun juga aku takkan bosan,” jawab Ok-tu-kui.

“Tapi kalau pertaruhan ini diteruskan lagi, aku yang merasa kesal,” kata Kang Giok-long.

“Kesal atau tidak adalah urusanmu,” mendadak Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong melotot, “Pokoknya kau harus bertaruh denganku. Permainan harus jalan terus.”

“Maksudnya bukan menghentikan pertaruhan ini, aku justru ingin memperbesar jumlah taruhannya.”

“Hahaha, dalam hal berjudi, selamanya aku tidak kenal limit, makin besar taruhannya makin menyenangkan bagiku. Nah, katakan saja, kau ingin taruhan berapa banyak?”

Dengan tenang Kang Giok-long menjawab, “Modal yang Anda bawa tadi katanya bernilai tujuh puluh sampai delapan puluh laksa tahil perak, ditambah dengan jumlah kemenanganmu modalmu sekarang sudah ada dua juta tahil. Nah, boleh kita bertaruh dua juta tahil saja sekaligus.”

“Hahaha, bagus!” sorak Han-wan Sam-kong. “Satu kali taruhan menentukan kalah dan menang, ini benar-benar pertaruhan yang menyenangkan. Cuma ....” Mendadak ia berhenti tertawa dan membentak, “Sudah kuperiksa tadi, harta karun simpananmu itu paling-paling cuma bernilai dua sampai tiga juta tahil, kini sudah separo kau kalah padaku, dari mana lagi kau menyediakan modal dua juta tahil untuk bertaruh dengan aku?”

“Sisa harta simpananku itu sedikitnya masih ada satu juta tahil,” kata Kang Giok-long.

“Dan selisihnya lagi satu juta?” tanya Ok-tu-kui.

“Selisih satu juta tahil kupenuhi dengan manusianya.”

“Buset! Anak kura-kura macam kau ini masa bernilai satu juta tahil?” Ok-tu-kui terbahak-bahak.

Namun Kang Giok-long tetap tenang saja, jawabnya dengan tersenyum, “Biarpun Cayhe tidak berharga satu juta, tapi kan masih ada satu orang yang bernilai lebih dari satu juta.”

“Siapa? Di mana?” tanya Ok-tu-kui.

“Apakah Tuan perlu menimbang dulu barang dengan harganya?” tanya Giok-long dengan tertawa.

“Sudah tentu,” seru Ok-tu-kui dengan melotot, “Di meja judi yang dikenal cuma duit, biarpun ayah dan anak atau suami dan istri juga tidak peduli, satu sen pun harus dihitung dengan jelas.”

“Jika begitu, biarlah Cayhe membawanya kemari,” kata Giok-long.

Di belakang Han-wan Sam-kong adalah sebuah batu padas yang mencuat keluar, di atas batu itulah tertaruh sebuah lampu minyak. Kang Giok-long terus angkat lampu itu dan melangkah keluar, katanya pula dengan tersenyum, “Tuan jangan khawatir, segera Cahye akan kembali.”

“Sudah tentu Locu (bapak) tidak perlu khawatir,” ujar Ok-tu-kui dengan tertawa. “Semua kekayaanmu berada di sini, kau pun buru-buru ingin memenangkan kembali modalmu yang sudah habis sebagian ini, mustahil kalau kau tidak lekas kembali lagi ke sini.”

Habis berkata barulah dia mulai meraih sepotong paha ayam terus dilalapnya dan didorong dengan tenggakan arak.

Terkesima Thi Peng-koh menyaksikan tingkah laku kedua orang itu, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, “Sungguh luar biasa orang-orang ini, sekali taruhan bernilai jutaan tahil perak, harta mereka seakan-akan diperoleh dari mencuri.”

“Memangnya siapa bilang hartanya bukan berasal dari mencuri?” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Biarpun hasil mencuri juga perlu banyak membuang tenaga dan pikiran, kalau dihabiskan dalam pertaruhan begini, kan sayang?” tukas Peng-koh.

“Segala macam harta benda, kalau didapatkan dengan mudah, habisnya juga mudah,” ujar Siau-hi-ji. Apalagi seorang penjudi, sekalipun bininya dijadikan barang taruhan dan diambil lawannya juga takkan membuatnya menyesal. “ Ia tertawa, lalu menyambung, “Cuma tak terduga olehku bahwa Kang Giok-long ini juga setan judi, setelah kalah ludes masih belum rela dan ingin bertaruh pula dengan gadai orang.”

“Jangan-jangan istrinya yang akan digadaikan untuk taruhan?” kata Peng-koh dengan tertawa ngikik.

“Seumpama dia punya istri juga takkan laku satu juta,” kata Siau-hi-ji. “Permainan apa yang akan dilakonkan bocah ini sungguh aku pun tak dapat menerkanya. Maklum, orang yang berharga satu juta tahil perak kan langka?”

Dalam pada itu Kang Giok-long telah kembali dengan menggandeng satu orang yang bertubuh ramping, tampaknya seperti seorang perempuan, cuma mukanya memakai cadar sehingga wajahnya tidak kelihatan.

“Mengapa kau membawa perempuan kemari?” tegur Ok-tu-kui sambil berkerut kening.

“Dengan sendirinya harus perempuan, kalau lelaki kan tidak berharga,” jawab Giok-long dengan tersenyum.

“Tapi barang bekas pakai dari anak kura-kura macam kau ini mana bisa laku sepeser pun?” ujar Ok-tu-kui sambil terbahak-bahak.

Dengan sikap sungguh-sungguh Kang Giok-long menjawab, “Meski nona ini telah ikut aku beberapa hari, kujamin masih baru, masih tetap mulus, seujung rambut pun tak kuganggu. Garansi!”

“Ah, masa ada kucing yang tidak makan ikan asin? Locu tidak percaya.”

“Kalau Tuan tidak percaya, boleh diuji coba!” kata Giok-long dengan tertawa. Lalu ia menaruh lampu tadi di atas batu, cuma sekali ini tidak ditaruhnya di belakang Ok-tu-kui melainkan di belakangnya sendiri. Cahaya memancar dari atas pundaknya sehingga bagian depan Han-wan Sam-kong tersorot terang.

Sebuah lampu ditaruh di mana pun adalah soal kecil dan takkan diperhatikan oleh siapa pun. Namun hal ini justru menarik perhatian Siau-hi-ji, ia mengeryitkan kening dan bergumam, “Bocah ini sedang main gila apa lagi? Lampu itu dibawanya pergi datang, rasanya pasti mempunyai maksud tertentu.”

Isi perut Kang Giok-long yang penuh air busuk itu rasanya tiada orang yang tahu terlebih jelas daripada Siau-hi-ji.

Perempuan bercadar hitam tadi masih tetap berdiri mematung saja, Kang Giok-long lantas membukakan cadarnya dan dia masih tetap berdiri termangu-mangu tak bergerak.

Di bawah cahaya lampu yang cukup terang, terlihat wajah perempuan ini ternyata cantik sekali walaupun agak pucat.

Mata Thi Peng-koh terbeliak melihat wajah yang ayu itu. Sedangkan Siau-hi-ji hampir saja berteriak demi melihat wajah itu.

Buyung Kiu!

Perempuan ini ternyata Buyung Kiu adanya. Setelah diusir oleh Samkohnio, dia terus berlari-lari kian kemari sepanjang jalan tanpa arah tujuan, di tengah malam gelap dengan sendirinya tiada orang yang melihatnya.

Seperti orang tidur berjalan saja, dengan linglung ia terus lari keluar kota. Walaupun ada yang merasa heran, tapi melihat pakaiannya yang bagus, orangnya juga cantik, maka tiada orang yang berani mengganggunya.

Tingkah laku Buyung Kiu yang aneh itu telah didengar oleh Kang Giok-long, segera ia menduga perempuan aneh itu pasti Buyung Kiu adanya, maka dia lantas meninggalkan urusan lain dan putar balik, dan di tengah jalan kebetulan memergoki Buyung Kiu yang sedang kelaparan setengah mati.

Dengan sendirinya Kang Giok-long tidak khawatir rahasianya akan dibocorkan Buyung Kiu yang kurang waras itu, segera nona itu dibawanya serta ke tempat simpanan harta rampasanya ini. Tak tersangka, “serigala mengincar ayam, harimau justru mengintai di belakangnya”. Pada saat yang sama Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong juga menguntit di belakangnya, akhirnya mereka berhadapan dan terjadi pertaruhan besar-besaran.

Begitulah Ok-tu-kui jadi tercengang juga setelah melihat wajah Buyung Kiu, setelah terkesima sejenak, akhirnya ia berkata dengan gegetun, “Cantik memang, benar-benar perempuan cantik. Cuma sayang sudah dua puluh tahunan, setiap perempuan cantik sudah tidak menarik lagi bagiku, maka lebih baik kau membawanya pergi saja.”

“Meski nona ini sangat cantik, tapi harganya yang tinggi justru tidak terletak pada wajahnya ini,” ucap Kang Giok-long dengan tersenyum.

“Memangnya terletak di bagian mana?” tanya Ok-tu-kui, pikirannya lantas melayang-layang ke bagian tertentu.

“Terletak pada kedudukannya,” jawab Giok-long.

“Hahaha! Memangnya dia seorang putri raja?”

“Meski bukan putri raja, tapi juga terpaut tidak banyak dengan seorang putri.”

“Sesungguhnya siapa dia? Mengapa kau anak kura-kura ini sengaja jual mahal?” omel Ok-tu-kui dengan gusar.

Dengan tenang Giok-long menjawab, “Dia adalah Buyung Kiu, nona kesembilan dari Kiu-siu-san-ceng.”

Melengak juga Ok-tu-kui, tertarik hatinya, ia menegas, “Jadi putri kesembilan Buyung Yong? Mengapa bisa berada di tanganmu?”

“Akibat perbuatan orang jahat, pikirannya menjadi kurang waras dan berkeluyuran ke mana-mana, dengan segala daya upaya kedelapan kakak perempuan dan iparnya telah mencarinya dan tidak menemukannya. Rupanya nasibku lagi mujur, tanpa sengaja telah kutemukan dia,” setelah tertawa, lalu Giok-long melanjutkan, “Nah, coba pikir, bilamana dia diantar pulang kepada kakak-kakaknya, lalu cara bagaimana mereka akan berterima kasih padamu? Kuyakin hadiah besar pasti sudah disediakan di sana.”

Setelah berpikir, Ok-tu-kui bertepuk dan berseru, “Baik, jadi, kita langsungkan pertaruhan ini!”

“Jangan!” sekonyong-konyong seorang berteriak.

Teriakan Siau-hi-ji secara mendadak ini bukan saja membuat kaget Ok-tu-kui dan Kang Giok-long, bahkan Thi Peng-koh juga terperanjat.

Seketika Kang Giok-long melonjak bangun dan membentak, “Siapa itu?”

Siau-hi-ji tenang-tenang saja, lebih dulu ia membisiki Thi Peng-koh, “Mari ikut keluar, apa yang kau suka silakan ambil saja dan makan sekenyangnya, sekali-kali jangan sungkan. Kini aku sudah mempunyai akal untuk menghadapi bocah busuk ini.”

Habis memberi pesan kepada si nona barulah ia melangkah keluar dengan berlenggang, tegurnya sambil tertawa, “Wahai kawan yang suka sembunyi di liang jamban dan makan tahi itu, memangnya kau sudah lupa padaku?”

Melihat Siau-hi-ji, kaget Kang Giok-long melebihi melihat setan, ia tersurut mundur dan menjerit, “He, ken ... kenapa engkau berada di sini?”

“Arwah bapakmu ini masih penasaran, maka akan senantiasa membayangi anak kura-kura macam kau ini,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa ala Ok-tu-kui.

Dasarnya memang cerdik dan pintar, apa yang ditirunya pasti persis, caranya menirukan lagu dan lagak Ok-tu-kui bahkan hampir sukar dibedakan mana yang asli dan mana yang tiruan.

Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong menepuk pundak anak muda itu keras-keras, serunya sambil tertawa, “Hahaha! Jika orang lain yang muncul mendadak dari dalam sana mungkin akan membuatku kaget, tapi kau setan cilik ini, biarpun kau timbul dari bawah bumi juga takkan mengherankan aku.”

Setelah bergelak tertawa, lalu ia menyambung pula, “Di kolong langit itu tiada sesuatu yang tak dapat kau lakukan.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes