Wednesday, May 12, 2010

bgp8_part1

Jilid 8. Bahagia Binal
Angin masih tetap meniup mendesir-desir, tapi kedengarannya tidak lagi menangis.

Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan saling berdekapan dengan diam saja. Kegelapan dan kesunyian yang tak terbatas ini memang seakan-akan karunia Thian bagi pasangan kekasih di dunia ini yang sedang tenggelam di lautan cinta.

Cinta adalah semacam bunga yang aneh, dia tidak memerlukan cahaya matahari, juga tidak memerlukan air embun, dalam kegelapan bunga cinta ini malah akan mekar terlebih indah.

Namun kegelapan perlahan mulai lalu, malam panjang akhirnya pergi, fajar telah menyingsing pula.

Mendadak Thi Sim-lan menghela napas panjang, katanya, “Hari sudah terang, cepat amat hari sudah terang!”

Bu-koat hanya memandangi keremangan fajar di luar dengan rawan dan tidak bersuara lagi.

Ia tahu saat bahagia yang dimilikinya selama hidup ini kini sudah tamat terbawa oleh datangnya cahaya sang fajar. Cahaya memang lebih sering membawakan harapan yang tak terkatakan bagi orang lain, tapi bagi Bu-koat sekarang hanya penderitaan belaka.

“Kau pikir hari ini dia akan datang atau tidak?” kata Sim-lan kemudian.

“Mungkin mau tak mau dia akan datang juga,” jawab Bu-koat.

“Betul,” kata Sim-lan dengan menghela napas, “Urusan toh harus diselesaikan cepat atau lambat, meski dia hendak lari juga tidak bisa lagi. Meski aku tidak berani membayangkan, tapi tak tahan rasanya untuk tidak membayangkan, bilamana fajar menyingsing pula esok, dunia ini entah akan berubah menjadi bagaimana keadaannya?”

“Esok pagi sang surya akan tetap terbit dengan cahayanya yang cemerlang, apa pun takkan terjadi perubahan,” ucap Bu-koat dengan tersenyum pedih.

“Akan tetapi bagaimana dengan kita? ....”

Mendadak Thi Sim-lan merangkul Bu-koat erat-erat, katanya pula dengan suara lembut, “Apa pun juga, sekarang kita sudah berada bersama, dibandingkan Siau-hi-ji kita tetap lebih beruntung. Dapat hidup sampai sekarang, tiada sesuatu lagi yang perlu kita sesalkan, betul tidak?”

Hati Bu-koat seperti disayat-sayat, jawabnya dengan menghela napas panjang, “Betul, sesungguhnya kita memang jauh lebih beruntung daripada dia. Dia ....”

“Dia benar-benar seorang yang harus dikasihani,” tukas Sim-lan “Selama hidupnya ini pada hakikatnya tidak pernah merasakan setitik bahagia apa pun juga. Dia tidak punya orang tua, tak punya sanak famili, ke sana-sini selalu dicemoohkan orang, dimaki orang. Bilamana dia mati mungkin tiada seberapa orang yang akan meneteskan air mata baginya, sebab semua orang hanya kenal dia sebagai orang busuk ....”

Sampai di sini Thi Sim-lan tidak sanggup melanjutkan lagi, suaranya tersendat-sendat, tenggorokannya serasa tersumbat.

Dengan rawan Bu-koat berkata, “Ya, selama hidupnya memang penuh penderitaan, kecuali malapetaka dan kemalangan, hampir tiada hal lain yang didapatkannya. Dia tidak pernah mendapatkan pujian, juga tidak ....” Ia pandang Thi Sim-lan dengan perasaan pedih dan tidak melanjutkan lagi.

Selama hidup Siau-hi-ji, paling tidak toh masih ada seorang nona yang mencintainya dengan segenap jiwa-raganya, yakni Thi Sim-lan, akan tetapi sekarang ....

Hoa Bu-koat tidak berani lagi memandang si nona, ia menunduk dengan air mata bercucuran.

Sim-lan juga menunduk, katanya kemudian, “Aku ... aku cuma ingin memohon sesuatu padamu, entah ... entah engkau sudi menerima atau tidak?”

“Mana bisa aku tidak menerima?” jawab Bu-koat dengan tersenyum pedih.

Thi Sim-lan memandang jauh ke depan sana, katanya, “Kurasa bilamana sekarang dia mati, maka matinya pasti tidak rela, mati penasaran, sebab itulah ....” Tiba-tiba ia menatap Bu-koat lekat-lekat, lalu menyambung dengan sekata demi sekata, “Kumohon dengan sangat padamu, janganlah engkau membunuhnya. Betapa pun jangan engkau membunuhnya!”

Seketika Bu-koat melenggong, sedetik itu darahnya serasa membeku.

Dalam hati seakan-akan menjerit: “Kau minta aku jangan membunuh dia, bukankah ini berarti aku harus dibunuh oleh dia? Demi mempertahankan hidupnya, kau tidak sayang mengorbankan kematianku? Kedatanganmu ke sini ini apakah melulu untuk memohon padaku agar bertindak demikian?”

Walaupun begitu kata hatinya, namun Hoa Bu-koat takkan mengucapkannya, selamanya takkan diucapkannya. Ia lebih suka dirinya sendiri yang menderita daripada mencelakai orang lain. Lebih-lebih ia tidak ingin melukai perasaan dan mengecewakan harapan orang yang dicintainya.

Maka dia cuma tersenyum getir saja, katanya kemudian, “Andai kata kau tidak minta padaku, pasti juga aku takkan membunuh dia.”

Dengan lekat-lekat Thi Sim-lan memandang Bu-koat, sorot matanya penuh rasa kasih mesra, penuh rasa simpatik dan pedih pula, bahkan timbul juga semacam rasa hormat dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Tapi ia pun tidak bicara apa-apa lagi, hanya dengan perlahan ia berucap, “Terima kasih!”

*****

Sang surya belum lagi menongol, suasana sunyi senyap, lereng bukit ini diliputi kabut tipis putih. Angin sepoi-sepoi sejuk membawa bau harum bunga hutan yang membangkitkan semangat.

Siau-hi-ji menarik napas dalam-dalam, gumamnya, “Tampaknya cuaca hari ini pasti sangat cerah, dalam keadaan yang baik ini, siapakah yang ingin mati?”

Dengan tersenyum So Ing menggelendot di samping Siau-hi-ji, sebenarnya ia ingin bilang, “Biarpun hari bercuaca betapa buruk tentu juga jarang ada orang yang ingin mati?”

Namun sekarang ia tidak mau berdebat dengan Siau-hi-ji, dalam saat demikian, ia ingin menurut segala tindak dan ucapan anak muda itu. Biarpun Siau-hi-ji bilang matahari itu persegi dan bulan itu gepeng, pasti dia akan mengiakan dan tidak lagi menyangkalnya.

Akan tetapi Siau-hi-ji lantas berkata pula dengan tertawa, “Sebenarnya seorang ingin mati atau tidak kan tiada sangkut-pautnya dengan cuaca yang baik atau buruk. Misalnya seseorang kalau baru punya istri, lalu mendapat lotere satu miliar, maka sekalipun cuaca berubah menjadi buruk dan hujan dua tahun lebih tiga bulan juga takkan dipedulikannya, apalagi disuruh mati.”

So Ing tersenyum, katanya, “Tepat sekali apa yang kau katakan.”

“Umpama seseorang mempunyai istri, lalu istrinya menyeleweng, main pat-gulipat dengan lelaki lain, anaknya menjadi perampok pula, maka biarpun cuaca sangat cerah dan semuanya serba indah toh dia lebih suka mati juga.”

“Ya, memang tidak salah,” kata So Ing.

Mendadak Siau-hi-ji mendelik, katanya, “Jika istrinya menyeleweng dan anaknya menjadi rampok, semua itu kan anak dan istrinya yang brengsek, mengapa dia harus mati?”

“Aku kan tidak bilang dia harus mati?” jawab So Ing tertawa.

“Kau tidak bilang habis siapa yang bilang?” teriak Siau-hi-ji pula.

“Baiklah, anggaplah aku yang bilang, aku salah omong,” ujar si nona.

Serentak Siau-hi-ji berjingkrak, teriaknya pula, “Sudah jelas bukan kau yang omong, mengapa kau mau mengakui?”

Berputar-putar biji mata So Ing, dengan suara lembut ia berkata, “Apakah kau sengaja mau bertengkar?”

“Aku memang ingin bertengkar, kau mau apa?” jawab anak muda itu.

Mendadak So Ing juga berteriak, bahkan tidak kalah galaknya, “Baik, akan kukatakan padamu bahwa sesungguhnya kau orang yang paling brengsek, bagi seorang lelaki sejati, seorang jantan gagah perwira, menghadapi sesuatu harus dapat berpikir secara tegas, kalau kuat harus dijinjing, bila tidak sanggup harus ditaruh, bila perlu silakan turun gunung, kalau tidak ya naiklah ke sana dan bertempur. Bila seperti caramu ini, belum berhadapan dengan lawan hati sendiri sudah kacau lebih dahulu, setiap orang kau jadikan pelampiasan, maka pertandingan ini akan lebih baik diurungkan saja, sebab sebelum bertanding jelas-jelas kau sudah kalah lebih dulu.”

Dia mengira sekali ini Siau-hi-ji akan berjingkrak murka. Tak terduga, setelah didamprat begini, Siau-hi-ji berbalik menjadi sopan dan termangu-mangu hingga lama sekali.

“Ya, ucapanmu memang tidak salah, aku memang betul-betul seorang yang sangat brengsek, seorang konyol,” kata Siau-hi-ji tiba-tiba sambil menghela napas menyesal. “Memang betul, sebelum bertanding hatiku sudah bingung, pikiranku sudah kacau. Bila benar-benar bertanding nanti, jelas aku pasti kalah.”

Melihat sikap Siau-hi-ji yang lesu dan lemas itu, tanpa terasa timbul pula rasa kasih sayang So Ing, perlahan ia membelai rambut anak muda itu.

Selagi ia hendak mengucapkan beberapa kata halus untuk menghiburnya, sekonyong-konyong seorang berseru dengan suara tertahan di samping, “Pertarungan antara jagoan kelas tinggi, bila pikiran kacau pasti akan kalah. Jika kau tahu teori ini, mestinya tenangkan dulu hatimu. Ketahuilah bahwa pertandingan ini sangat besar sangkut-pautnya, maka kau harus menang dan tidak boleh kalah.”

Tanpa menoleh juga Siau-hi-ji tahu siapa pembicara itu, yaitu Yan Lam-thian, terpaksa ia mengiakan dengan menunduk.

Perawakan Yan Lam-thian yang kekar itu laksana malaikat gunung yang tegap berdiri di tengah-tengah kabut pagi yang masih remang-remang itu. Sinar matanya mencorong terang, ia memandang Siau-hi-ji dengan tajam, katanya pula, “Apakah dendam selama hidupmu ini sudah kau selesaikan seluruhnya?”

Siau-hi-ji mengiakan. Tapi mendadak ia menengadah dan berkata pula, “Tapi, masih ada budi besar seorang lagi yang belum kubalas hingga sekarang.”

“O, siapa,” tanya Yan Lam-thian.

“Ialah paman Ban, paman Ban Jun-liu yang baik hati itu,” jawab Siau-hi-ji.

Sinar mata Yan Lam-thian yang kereng itu menampilkan perasaan hangat, katanya, “Kau masih mempunyai pikiran demikian, tidak percumalah dia pernah sayang padamu. Tapi embun menyuburkan segala macam tanaman bukanlah karena berharap segala macam tumbuhan itu akan membalas budinya. Asalkan segalanya tumbuh dengan subur, maka cukup puaslah dia.”

“Yang kuharapkan sekarang hanya ingin tahu di mana beliau berada? Apakah beliau tetap sehat walafiat?” kata Siau-hi-ji

“Maksudmu, kau ingin menemui dia?” tanya Yan Lam-thian.

Siau-hi-ji mengiakan.

“Baik sekali,” ujar Yan Lam-thian dengan tersenyum. “Dia memang sedang menunggumu dan ingin melihat dirimu ....”

Dengan kegirangan Siau-hi-ji lantas berseru, “He, apakah paman Ban sekarang juga berada di sini?”

“Ya, baru kemarin ia sampai di sini,” jawab Yan Lam-thian.

*****

Sudah lama juga So Ing ingin bertemu dengan tabib sakti yang berbudi luhur dan berilmu tinggi ini. Waktu ia menoleh, terlihatlah seorang Tojin berjubah panjang dan berkopiah kuning berdiri di bawah pohon sebelah sana.

Kejut dan girang Siau-hi-ji tak terkatakan, cepat ia memburu ke sana. Sebenarnya banyak urusan yang akan ia bicarakan, tapi seketika tenggorokannya seperti tersumbat oleh sesuatu sehingga satu patah kata saja tidak sanggup diucapkannya.

Wajah Ban Jun-liu yang kelihatan tenang itu pun menampilkan perasaan terharu, sudah sekian tahun mereka berpisah, kini ternyata masih dapat berjumpa di sini, sudah tentu timbul rasa girang dan terharu yang sukar dilukiskan.

Yan Lam-thian juga tertegun sejenak karena harunya, tiba-tiba ia berkata, “Sang surya hampir terbit, sudah waktunya aku pergi.”

Dengan terharu Siau-hi-ji berseru, “Aku ....”

“Untuk sementara boleh kau tinggal di sini,” kata Yan Lam-thian. Lalu dengan kereng ia menyambung pula, “Lantaran pikiranmu belum lagi tenang, saat ini tidak cocok bagimu untuk bertempur.”

“Tapi kalau menunggu terlalu lama juga dapat mengacaukan pikiran,” ujar Ban Jun-liu.

“Jika begitu, akan kujanjikan pada mereka untuk bertempur tepat pada siang hari nanti,” kata Yan Lam-thian. Begitu kata-kata terakhir itu terucapkan, segera bayangannya menghilang di tengah kabut.

Ban Jun-liu memandang Siau-hi-ji sekejap, lalu dipandangnya So Ing, katanya kemudian dengan tersenyum, “Sebenarnya aku pun mesti menyingkir pergi, tapi kesempatan bicara kalian selanjutnya kan masih banyak, sedangkan aku ....”

“Apa yang engkau kehendaki, paman Ban?” tanya Siau-hi-ji dengan terharu.

“Tidak ada apa-apa yang kuhendaki selain ingin melihatmu saja, di dunia fana ini pun tiada sesuatu yang memberatkanku lagi,” ucap Ban Jun-liu dengan menghela napas.

Siau-hi-ji termenung sejenak, mendadak ia menarik muka dan berkata kepada So Ing, “Jika ada dua lelaki sedang bicara, apakah pantas kau ikut mendengarkan di sini?”

So Ing tertawa, jawabnya, “Memangnya antara engkau dan paman ini ada sesuatu rahasia yang perlu dibicarakan?”

“Ada pembicaraan rahasia atau tidak, pokoknya, kalau lelaki sedang bicara, tidak pantas jika perempuan ikut mendengarkan,” kata Siau-hi-ji.

Berputar biji mata So Ing, katanya dengan tersenyum, “Baiklah, biar kupergi jalan-jalan dulu ke sana.”

Melihat si nona sudah pergi jauh, dengan tersenyum Ban Jun-liu berkata, “Kuda liar yang terlepas dari kekangan, tampaknya akhirnya toh dapat dipasangi pelana.”

Siau-hi-ji mencibir, katanya, “Huh, selama hidupnya jangan dia harap akan dapat mengendalikan diriku, akulah yang akan mengendalikan dia.”

“Ooo? Apa betul?” tanya Ban Jun-liu.

“Hm, jika bukan lantaran dia suka menuruti setiap perkataanku, tentu sudah sejak mula kudekap dia,” ujar Siau-hi-ji.

“Hahaha, dasar Siau-hi-ji, sekali Siau-hi-ji tetap Siau-hi-ji,” seru Ban Jun-liu dengan tertawa, “Meski di dalam hati sudah lunak, tapi di mulut tetap keras dan tidak mau kalah.”

“Siapa bilang hatiku sudah lunak?” tanya Siau-hi-ji.

“Jika dia tidak yakin pasti akan memilikimu mana dia mau tunduk dan menuruti segala kehendakmu?” kata Ban Jun-liu. “Dan kalau dia yakin selanjutnya kau juga pasti akan menuruti setiap perkataannya, masa dia mau menurut pada kehendakmu sekarang?”

Dia berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan tersenyum, “Dalam hal ini perempuan selalu lebih pintar daripada lelaki, perempuan pasti tidak mau kalah.”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapannya kemudian dengan tersenyum, “Dalam hal meracik obat dan menyembuhkan orang, sudah barang tentu paman Ban Jun-liu jauh lebih ahli daripadaku, tapi mengenai urusan perempuan ....” Dia tertawa cekikikan dan tidak melanjutkan lagi.

Ban Jun-liu tersenyum, katanya, “Orang muda selalu mengira pengetahuannya terhadap perempuan jauh lebih banyak daripada siapa pun juga. Tapi nanti, kalau usiamu sudah lanjut, barulah kau akan mengetahui bahwa dirimu sesungguhnya tidak memahami urusan perempuan sama sekali?”

Siau-hi-ji tertawa, katanya kemudian, “Paman Ban, pertemuan kita ini bukan maksudku hendak belajar urusan perempuan dengan engkau.”

“Ya, kutahu,” jawab Ban Jun-liu sambil manggut-manggut. “Sejak mula memang sudah kuduga pasti ada sesuatu urusan yang sangat penting dan penuh rasa rahasia yang akan kau mohon padaku. Nah, sesungguhnya urusan apa, toh aku tidak dapat menolak permintaanmu.”

Ia pandang anak muda itu dengan sorot mata yang penuh rasa kasih sayang, katanya pula dengan tersenyum, “Apakah kau masih ingat kejadian dahulu, pernah kau minta sebungkus obat bau busuk padaku untuk mengerjai Li Toa-jui sehingga dia kelabakan dan merasa kapok untuk mengganggumu lagi, dan sekali ini hendak kau kerjai siapa pula?”

Siau-hi-ji jadi teringat kepada peristiwa lucu waktu kecilnya itu, ia pun tertawa geli.

Akan tetapi segera sikap Siau-hi-ji berubah prihatin, dengan suara tertahan ia berkata dengan sungguh-sungguh, “Paman Ban, sekali ini bukan maksudku hendak minta bantuanmu untuk bergurau dengan orang lain, tapi soal ini menyangkut suatu urusan penting mengenai, mati dan hidup dua orang.”

Selama kenal anak muda itu, belum pernah Ban Jun-liu melihat Siau-hi-ji bicara serius begini, segera ia tanya, “Sesungguhnya ada urusan apa, masa begini gawat?”

Siau-hi-ji menghela napas, lalu ia ceritakan apa yang akan dilakukan nanti, katanya pula, “Oleh karena itulah, kumohon paman suka ....”

*****

Sementara itu So Ing sedang berjalan sendirian menyusuri lereng bukit sana, selama dua bulan ini, boleh dikatakan sudah sangat mendalam So Ing memahami Siau-hi-ji. Seorang perempuan kalau ingin memahami lelaki yang dicintainya memang bukan sesuatu pekerjaan sulit.

Berbeda dengan lelaki, semakin dia mencintai perempuan itu, semakin dia tidak dapat memahaminya, nanti kalau dia sudah benar-benar memahami perempuan itu, bisa jadi dia sudah tidak mencintainya lagi.

Biasanya, apa yang dipikirkan Siau-hi-ji dan apa yang hendak dilakukannya, hampir seluruhnya pasti dapat diterka oleh So Ing. Tapi sekali ini, hanya sekali ini, si nona benar-benar tidak tahu sesungguhnya rahasia apa yang hendak dibicarakan Siau-hi-ji dengan Ban Jun-liu.

Semula ia tidak ingin menyingkir terlalu jauh, tapi pikir punya pikir, mendadak matanya terbeliak, tiba-tiba ia seperti mengambil sesuatu keputusan yang besar. Segera ia mendaki ke atas bukit dengan tergesa-gesa.

Setiap pelosok bukit ini boleh dikatakan sudah sangat hafal baginya. Sambil berjalan ia pun berpikir, “Sudah dua hari Ih-hoa-kiongcu dan Hoa Bu-koat menunggu di atas bukit, di manakah mereka bertempat tinggal? ....”

Baru saja hatinya berpikir begitu, segera matanya telah memberi jawaban.

Di balik bayang-bayang pepohonan di lereng bukit di depan sana tampak menongol ujung tembok merah, maka tahulah dia itulah Hian-bu-kiong, sebuah kelenteng yang dahulu sangat ramai dikunjungi peziarah dan tahun-tahun terakhir ini hampir tidak pernah didatangi pengunjung lagi.

Dari situlah sekarang kelihatan muncul beberapa orang.

Usia berapa orang ini sudah sama-sama lanjut, tapi masih tetap tangkas dan gesit, sinar matanya terang, jelas semuanya tokoh kelas tinggi dunia persilatan. Anehnya, salah seorang kakek itu membawa serta sebuah tambur yang terbuat dengan sangat indah dengan bentuk yang khas pula.

Di antaranya ada seorang nenek, meski giginya sudah ompong seluruhnya, tapi kerlingan matanya tetap menggiurkan, kalau bicara masih bernada genit, dapat diperkirakan pada waktu mudanya dahulu pasti seorang perempuan yang bergaya dan sangat cantik.

So Ing tidak kenal kawanan kakek dan nenek ini, ia pun tidak ingat siapakah gerangan tokoh Bu-lim jaman ini yang terkenal suka membawa tambur? Tapi di antara rombongan ini terdapat pula seorang nona jelita yang dikenalnya.

Nona jelita ini ialah Thi Sim-lan.

Dilihatnya Thi Sim-lan tidak sekurus dan pucat seperti beberapa hari yang lalu, malahan wajahnya kini tampak menampilkan semacam cahaya yang aneh. Dengan sendirinya ia tidak tahu urusan apa yang dapat mengubah pikiran Thi Sim-lan.

Ia tidak ingin dilihat oleh Thi Sim-lan, segera ia bermaksud mencari suatu tempat sembunyi. Tapi dilihatnya Thi Sim-lan berjalan dengan menunduk, seperti menanggung pikiran yang berat sehingga sama sekali tidak melihat So Ing yang berada tidak jauh di sisi mereka.

Orang-orang itu terus menuju ke atas bukit. Apa yang dipercakapkan mereka itu tidak terdengar oleh So Ing, hanya salah seorang kakek yang bercambang-bauk lebat dan kelihatan sangat kekar itu mempunyai suara yang sangat keras bila bicara.

Terdengar kakek brewok itu sedang berkata, “Siau Lan, untuk apa lagi hatimu merasa bimbang, kukira kau harus ambil keputusan untuk memilih Hoa Bu-koat saja. Meski bocah ini agak menyerupai perempuan, tapi masih lumayan jika kau mendapatkan dia.”

Thi Sim-lan tampak tetap menunduk dan entah menjawab atau tidak.

Lalu kakek brewok itu menepuk pundak si nona dan berkata pula dengan tertawa, “Setan cilik, di depan bapakmu sendiri berlagak bodoh apalagi? Ayo katakan, ke mana kau semalam? Memangnya kau kira bapakmu sudah pikun dan tidak tahu?”

Thi Sim-lan tetap tidak bicara, tapi mukanya menjadi merah.

Si nenek genit tadi lantas menyela dengan tertawa, “Hihi, masa ayah bercanda dengan anak perempuannya sendiri, kukira kau memang sudah pikun.”

Si kakek brewok menengadah dan bergelak tertawa, tampaknya sangat gembira.

So Ing girang dan terkejut, karena girangnya hampir saja ia berjingkrak jingkrak.

Dari pembicaraan mereka tadi jelas Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat telah bertambah erat hubungannya, malahan ayah si nona jelas-jelas mendorong dan menyuruh Thi Sim-lan memilih Hoa Bu-koat. Sungguh hal ini sangat menggembirakan So Ing.

Padahal boleh dikatakan tiada perbedaan antara semua orang tua di dunia ini, setiap orang tua tentu berharap anak perempuan sendiri akan mendapatkan suami yang dapat diandalkan. Seumpama kelak kalau So Ing sendiri mempunyai anak perempuan, tentu pula dia berharap akan mendapatkan ahli waris Ih-hoa-kiong, tak nanti menghendaki anak perempuannya mendapat suami yang dibesarkan di Ok-jin-kok.

Didengarnya si kakek brewok tadi berkata pula dengan tertawa, “Jika kau sudah bertekad akan ikut Hoa Bu-koat, lalu apa pula yang kau risaukan? Nanti, setelah pertandingan ini berakhir, segera akan kukawinkan kalian, maka kau pun tidak perlu banyak khawatir lagi.”

Dengan tertawa si nenek lantas berkata, “Bakal suami akan berkelahi dengan orang, tentu saja dia khawatir, jika aku menjadi dia, mungkin ... mungkin sudah kucarikan akal untuk membinasakan ikan kecil itu.”

Si kakek terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, jika demikian barang siapa bisa mendapatkan dirimu sebagai istri, wah, benar-benar akan mendapatkan pembantu yang menyenangkan.”

“Memang, cuma sayang, kalian semuanya tiada yang punya hokkhi untuk mendapatkan istri seperti diriku,” jawab si nenek.

Tiba-tiba salah seorang kakek yang tinggi kurus menyela, “Menurut pendapatku, Hoa Bu-koat ini kelihatan sangat tangkas, baik Lwekang maupun Gwakangnya, semuanya sudah cukup sempurna, rupanya pembawaannya memang baik, ditambah lagi mendapatkan didikan guru ternama, dengan sendirinya makin menonjol. Kang Siau-hi-ji yang menjadi lawannya itu jika berusia sebaya dia, ilmu silatnya pasti takkan mencapai tingkatan seperti Hoa Bu-koat. Maka pertarungan ini jelas Hoa Bu-koat sudah berada di tempat yang tak terkalahkan, hakikatnya kalian tidak perlu berkhawatir baginya.”

Ucapan si kakek ini sudah tentu membuat hati semua orang menjadi mantap, terutama Thi Sim-lan dan si kakek brewok yang bukan lain daripada Thi Cian itu, mereka menjadi tidak perlu khawatir lagi.

Tapi So Ing justru mulai berkhawatir, sudah tentu khawatir bagi Siau-hi-ji.

Tadinya dia anggap kalah-menang pertarungan ini, kuncinya tidak terletak pada tinggi dan rendahnya ilmu silat. Tapi sekarang ia mulai merasakan jalan pikirannya itu tidak seluruhnya tepat. Jika ilmu silat Siau-hi-ji memang bukan tandingan Hoa Bu-koat, maka seumpama dia sampai hati untuk membunuh lawannya juga tiada gunanya, yang pasti sekarang kunci daripada pertarungan ini justru terletak di tangan Hoa Bu-koat, apakah dia tega membinasakan Siau-hi-ji?

So Ing sendiri tahu ilmu silat Siau-hi-ji pasti bukan tandingan Hoa Bu-koat. Jika kedua anak muda itu mengadu akal, maka jelas Siau-hi-ji akan menang. Tapi bila keduanya harus adu otot, keras lawan keras, jelas Siau-hi-ji tiada harapan sama sekali. Maka kalau So Ing ingin Siau-hi-ji memenangkan pertandingan ini, maka tidak cuma Siau-hi-ji saja yang harus tega turun tangan membunuh lawan, sebaliknya Hoa Bu-koat juga harus dibikin tidak sampai hati untuk turun tangan.

Kiasan ini sungguh sangat lucu dan janggal, ini sama halnya orang lain dilarang makan tapi dirinya sendiri masuk restoran setiap hari. Jelas pikiran demikian hanya ingin menang sendiri.

Kalau Siau-hi-ji boleh membunuh Hoa Bu-koat, berdasar apa Hoa Bu-koat tidak boleh membunuh Siau-hi-ji. Semut saja ingin hidup, apalagi manusia?

Hoa Bu-koat hidup cukup senang dan bahagia, berdasarkan apa dia disuruh jangan membunuh lawannya? Dengan alasan apa dia harus mengorbankan dirinya sendiri agar orang lain dapat hidup?

So Ing menghela napas, tiba-tiba ia menyadari bahwa yang dipikirnya sejak dulu hanya satu saja daripada persoalan ini, dia hanya berpikir bagi Siau-hi-ji dan tidak pernah berpikir bagi Hoa Bu-koat.

Jelas bagi pandangannya jiwa Siau-hi-ji lebih penting daripada Hoa Bu-koat. Akan tetapi bagaimana di mata orang lain? Dan bagaimana di mata Hoa Bu-koat sendiri?

Begitulah pikiran So Ing bergolak, makin dipikir makin kacau, ia merasa selama hidupnya belum pernah mengalami pikiran kusut seperti sekarang ini.

Padahal berpikir kian kemari yang diharapkannya cuma satu, yakni Siau-hi-ji harus tetap hidup.

Dan kalau Siau-hi-ji harus hidup, maka dia harus berdaya agar Hoa Bu-koat mati.

Orang mati tentu tidak dapat membunuh orang lagi.

Hingga lama So Ing bersembunyi di balik pohon, akhirnya dilihatnya para kakak beradik keluarga Buyung beserta suami masing-masing berturut-turut keluar dari kelenteng.

Wajah mereka tampak lesu, mata agak membesar, jelas selama dua hari mereka tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Umumnya orang Kangouw mengutamakan “di segenap penjuru adalah rumah sendiri”, di mana pun dapat tidur. Tapi tuan-tuan dan nyonya-nyonya ini sudah biasa hidup mewah di rumah, mereka bukan lagi orang Kangouw umumnya. Sekalipun cuma berganti tempat tidur saja mereka tak dapat pulas, apalagi disuruh tidur di kelenteng bobrok yang sunyi ini.

Namun dandanan mereka masih tetap rapi, rambut tersisir dengan baik, bahkan pakaian juga tetap rajin dan bersih.

Sambil berjalan mereka pun ramai berbicara, tanpa pasang telinga juga So Ing tahu yang dibicarakannya mereka pasti mengenai pertarungan maut Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat.

Duel ini bukan saja menggemparkan, bahkan juga pasti akan tercatat dalam sejarah dan menjadi cerita menarik di kemudian hari. Sebab itulah mereka rela menderita tidur di kelenteng rusak itu dan ingin menyaksikan pertarungan yang luar biasa ini.

Sesudah rombongan ini naik ke atas gunung, So Ing menunggu lagi hingga lama, ternyata tiada orang keluar lagi dari kelenteng itu. Malahan tiada terdengar suara apa-apa pula di sana.

Lalu di manakah Hoa Bu-koat, apakah masih tertinggal di kelenteng itu? Apakah Ih-hoa-kiongcu juga masih mendampingi anak muda itu?

So Ing mengertak gigi, ia bertekad akan menyerempet bahaya.

Ia pikir, pertarungan maut sudah hampir tiba, semua orang telah meninggalkan kelenteng itu, bisa jadi mereka ingin memberi kesempatan istirahat bagi Hoa Bu-koat, maka mereka berangkat dulu menunggu di atas bukit.

Sekarang Yan Lam-thian pasti sudah berada di puncak bukit, mungkin Ih-hoa-kiongcu juga tidak berada di kelenteng itu. Paling sedikit kedua Kiongcu itu mesti memberi waktu bagi Hoa Bu-koat untuk merenungkan siasat pertempuran nanti.

Kelenteng Hian-bu-kiong itu memuja Hian-thian-siang-te, mesti akhir-akhir ini sudah tiada pengunjungnya lagi, tapi seperti halnya suatu keluarga besar yang telah jatuh miskin, betapa pun bekas-bekas kemegahannya masih tersisa.

Di halaman depan kelenteng itu ada beberapa pohon cemara tua yang menjulang tinggi menembus awan, meski sang surya sudah memancarkan sinarnya yang gemilang, namun suasana di dalam kelenteng terasa suram dan seram.

So Ing terus masuk ke halaman kelenteng yang sunyi senyap itu dan menaiki undak-undakan batu yang cukup panjang.

Patung Hian-thian-siang-te di altar pendopo kelenteng itu tampak cukup angker, tapi tubuh patung yang sudah hangus oleh asap dupa itu sudah terkupas, di beberapa bagian. Kedua anak buahnya yaitu Ku dan Coa, kura-kura dan ular, yang biasanya terinjak di bawah telapak kaki Hian-thian-siang-te itu sudah rusak, bahkan bagian kepalanya sudah terkupas sebagian. Kain kuning yang menutupi kotak altar pun sudah luntur dan sukar lagi dibedakan apa warnanya.

Belasan Tosu tampak duduk bersimpuh di sana, semuanya menunduk dengan mulut komat-kamit, entah sedang berdoa atau lagi memaki orang.

Selama dua hari ini Hian-bu-kiong pasti telah kacau balau, mungkin tempat tidur kawanan tosu ini terpaksa juga harus diserahkan pada orang lain.

Tapi sedekah yang diberikan para tuan dan nyonya keluarga Buyung pasti juga tidak sedikit, maka seumpama para tosu ini ingin memaki orang tentu juga tidak berani keras-keras dan terpaksa menggerutu di dalam hati.

So Ing berada di samping mereka, agaknya mereka sama sekali tidak tahu. Mestinya So Ing hendak minta keterangan kepada mereka. Tapi melihat keadaan mereka yang lesu itu terpaksa ia urungkan maksudnya. Kecuali orang sinting, kalau tidak, mungkin tidak banyak anak perempuan yang suka mendekati kaum Hwesio dan Tosu.

Di belakang pendopo adalah dua deret kamar tidur, semuanya sunyi sepi, tiada bayangan seorang pun.

So Ing jadi heran, apakah Hoa Bu-koat sudah pergi?

Selagi So Ing merasa sangsi, tiba-tiba dilihatnya di balik pintu bundar, di bawah rumpun bambu sana masih ada beberapa kamar. Mungkin di situlah kamar pribadi sang ketua kelenteng.

Biarpun para nona keluarga Buyung itu sudah biasa hidup disanjung puji, kalau makan ayam minta bagian paha, bila tinggal di rumah minta yang menghadap selatan, tapi dalam permainan yang akan dipentaskan nanti, peranan utamanya ialah Hoa Bu-koat, peranan utama dengan sendirinya harus mendapat pelayanan khusus, biarpun para nona Buyung itu juga ingin tinggal di kamar ketua kelenteng yang tentu lebih mewah daripada kamar lain, tapi mau tak mau mereka harus mengalah juga kepada Hoa Bu-koat.

Begitulah, segera So Ing menuju ke kamar sana, kamar tinggal sang Hongtiang (ketua) memang kelihatan sangat resik, pintu setengah tertutup dan bergerak-gerak tertiup angin. Di langit serambi rumah tampak seekor labah-labah sedang membuat sarang, terdengar pula bunyi jangkrik di pojok rumah sana, daun warna kuning bertebaran tertiup angin menimbulkan suara gemersik. Namun di dalam rumah tetap sunyi senyap tiada suara orang sama sekali.

“Hoa-kongcu?!” So Ing coba memanggil dengan perlahan.

Namun tiada suara jawaban seorang pun.

Jangan-jangan Hoa Bu-koat sudah pergi? Bahkan waktu perginya lupa menutup pintu?

Tapi So Ing sudah berada di sini, betapa pun dia ingin masuk ke situ untuk melihatnya.

Perlahan dia mendorong pintu, dilihatnya kamar Hongtiang ini pun sangat sederhana, di dalam kamar terdapat sebuah meja dengan dua kursi. Saat itu di atas meja tampak tertaruh dua poci arak dan beberapa macam santapan.

Tampaknya santapan yang tersedia itu sama sekali belum tersentuh, tapi araknya entah sudah terminum berapa banyak.

Di pojok kamar ada sebuah ranjang kasur, selimut tampak acak-acakan, seakan-akan habis ditiduri oleh beberapa orang dan cara tidurnya seperti tidak sopan.

Hoa Bu-koat ternyata tidak pergi, dia masih berada di dalam kamar. Namun hatinya seolah-olah sudah terbang jauh ke awang-awang.

Dia berdiri termangu-mangu di depan jendela, orang yang bermata-telinga setajam dia, sekarang ternyata sama sekali tidak tahu datangnya So Ing.

Sinar matahari menembus tirai jendela dan menyorot mukanya, muka yang pucat pasi, namun matanya tampak merah, suatu tanda kurang tidur, kelihatan lesu dan agak kurus.

Aneh juga, menghadapi pertarungan maut, mengapa Ih-hoa-kiongcu tidak berusaha memberi waktu istirahat yang cukup baginya? Apakah mereka yakin dalam keadaan betapa sulit pun Hoa Bu-koat pasti dapat mengalahkan Siau-hi-ji?

Atau Ih-hoa-kiongcu pada hakikatnya tak peduli siapa bakal menang atau kalah? Tujuan mereka hanya mengadu Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat supaya keduanya bertempur sampai mati dan urusan lain tak terpikir oleh mereka.

So Ing merasa sangat heran, tapi ia tidak ingin mencari tahu sebab musababnya, ia pun tahu pasti tiada seorang pun yang dapat memberitahukan padanya.

Mendadak didengarnya Hoa Bu-koat menghela napas panjang, tarikan napas ini entah mengandung berapa banyak rasa derita dan duka nestapa yang sukar diutarakan kepada orang lain. Mengapa Hoa Bu-koat sedemikian sedih? Apakah lantaran Siau-hi-ji?

Perlahan-lahan So Ing mendekatinya dan memanggilnya lirih, “Hoa-kongcu ....”

Sekali ini Hoa Bu-koat dapat mendengarnya. Perlahan ia menoleh, dipandangnya So Ing. Mesti matanya menatap si nona, tapi sinar matanya seperti melayang jauh ke sana, ke tempat yang pada hakikatnya tak terlihat olehnya.

So Ing masih ingat Hoa Bu-koat mempunyai mata yang sama jeli dan sama terangnya dengan Siau-hi-ji, akan tetapi sepasang mata ini kini telah berubah buram, seperti sepasang mata orang mati, kaku dan dingin. Tidak enak rasanya dipandang oleh mata yang begini.

Hampir berkeringat dingin So Ing karena pandangan Hoa Bu-koat itu, ia coba tertawa dan berkata, “Apakah Hoa-kongcu sudah lupa padaku?”

Bu-koat manggut-manggut, tiba-tiba ia berkata, “Apakah kau datang untuk mohon padaku agar jangan kubunuh Siau-hi-ji.”

So Ing melengak, belum lagi ia menjawab, mendadak Bu-koat bergelak tertawa.

Begitu aneh tertawanya, seperti tertawa orang gila, tidak pernah terpikir oleh So Ing bahwa macam Hoa Bu-koat bisa mengeluarkan suara tertawa yang begini menakutkan. Orang yang normal tidak nanti tertawa cara demikian, hampir saja So Ing lari.

Setelah tergelak-gelak, lalu Bu-koat berkata, “Setiap orang sama datang meminta padaku agar jangan membunuh Siau-hi-ji, sungguh aneh mengapa tiada seorang pun yang minta Siau-hi-ji agar dia jangan membunuh diriku? Apakah aku saja yang harus terbunuh, hanya aku saja yang pantas mati?”

“Soalnya mungkin ... mungkin setiap orang tahu bahwa Siau-hi-ji pasti tidak dapat membunuh engkau,” kata So Ing.

Seketika Bu-koat berhenti tertawa, tanyanya, “Dan bagaimana dengan dia? Dia sendiri tahu tidak?”

“Sekalipun dia tahu juga pasti takkan diutarakannya,” ujar So Ing.

“Ya, benar, dia memang suka menang, dia selalu menganggap orang lain tidak dapat mengalahkan dia,” kata Bu-koat. “Tapi, tapi sekali ini ....”

Ia melototi So Ing dan berseru, “Sekali ini mengapa dia menyuruhmu kemari untuk memohon padaku?”

“Tidak, dia tidak menyuruh aku kemari, pada hakikatnya dia tidak tahu aku akan ke sini,” jawab So Ing.

“Dia tidak tahu?” Bu-koat menegas.

So Ing menghela napas, jawabnya, “Jika tahu, pasti dia akan melarang kedatanganku ini, sebab kedatanganku ini pun bukan untuk memohon kemurahan hatimu.”

“Bukan untuk memohon aku jangan membunuh dia?” tanya Bu-koat pula.

“Bukan,” jawab So Ing tegas. Ia pun balas menatap tajam anak muda itu dan menyambung pula sekata demi sekata, “Kedatanganku ini adalah untuk membunuhmu.”

Sekali ini berbalik Hoa Bu-koat yang melengak, ia menatap So Ing sejenak, mendadak ia bergelak tertawa seperti mendengar sesuatu yang sangat lucu.

“Kau tidak percaya?” tanya So Ing.

Bu-koat tidak lantas menjawab, ia terbahak-bahak pula. Sejenak kemudian baru menjawab, “Berdasarkan apa kau kira dapat membunuh diriku”

“Dan berdasarkan apa kau kira aku tidak mampu membunuhmu?” balas tanya So Ing.

Seketika Bu-koat berhenti tertawa pula, katanya, “Jika benar-benar kedatanganmu ini bermaksud membunuhku, seharusnya hal ini tidak kau katakan padaku.”

“Memangnya kenapa?” ujar So Ing.

“Jika tidak kau katakan, mungkin masih bisa terbuka kesempatan bagimu.”

“Dan karena sudah kukatakan, maka tidak ada lagi kesempatan lagi bagiku, begitu?”

“Andaikan ada, mungkin sedikit sekali,” kata Bu-koat dengan gegetun.

“Kesempatan bagiku setidak-tidaknya pasti jauh lebih banyak daripada kesempatan bagi Siau-hi-ji,” ujar So Ing dengan tertawa. “Kalau tidak, tentu aku takkan kemari.”

Mendadak ia membalik ke sana, ia menuang dua cawan arak, lalu berkata pula, “Jika aku bergebrak dengan engkau, sudah tentu tidak ada kesempatan sama sekali bagiku. Tapi kita adalah manusia dan bukan hewan. Hewan hanya mengenal menyelesaikan segala persoalan dengan kekerasan, manusia kan tidak perlu.”

“Cara apa yang digunakan manusia?” tanya Bu-koat.

“Cara manusia kan lebih sedikit sopan daripada hewan,” ucap So Ing, lalu ia membalik tubuh dan menuding kedua cawan arak yang terletak di meja, katanya, “Akulah yang menuang kedua cawan arak itu.”

“Ya, aku tahu,” jawab Bu-koat.

“Nah, boleh pilih salah satu cawan itu dan minumlah, maka persoalan kita pun selesai.”

“Hanya minum salah satu cawan arak itu? Kenapa begitu?” tanya Bu-koat.

“Sebab sudah kutaruh racun pada salah satu cawan arak itu, bila yang kau pilih adalah cawan yang beracun, maka kau pasti akan mati, sebaliknya jika yang kau pilih tidak beracun, akulah yang mati,” So Ing tersenyum, lalu menambahkan pula, “Bukankah cara ini sangat sopan dan sangat adil?”

Bu-koat memandang kedua cawan arak di atas meja, tak terasa kulit mukanya menjadi berkerut.

“Kau tidak berani?” tanya So Ing.

“Mengapa aku harus minum salah satu cawan itu?” jawab Bu-koat dengan suara parau.

“Sebab aku ingin duel denganmu, duel secara halus, masa alasan ini tidak cukup bagimu!?” kata So Ing tegas.

“Mengapa aku harus mengadu jiwa denganmu?” jawab Bu-koat.

“Dan mengapa harus mengadu jiwa dengan Siau-hi-ji?” tanya So Ing. “Jika kau boleh mengadu jiwa dengan dia, mengapa aku tidak boleh mengadu jiwa denganmu?”

Kembali Bu-koat melengak.

“Apakah kau rasa cara mengadu jiwa begini kurang sip bagimu?” jengek So Ing. “Apakah hanya kau yakin dapat mengalahkan lawan barulah kau mau duel dengan orang? Tapi, hm, bila benar-benar kau tahu pasti akan menang baru mau mengadu jiwa, itu tidak dapat dikatakan duel lagi, tapi lebih tepat dikatakan pembunuhan, pembunuhan dengan intrik.”

Wajah Bu-koat tampak pucat, butiran keringat dingin memenuhi dahi dan ujung hidungnya.

So Ing menjengek pula, “Hm, jika kau tidak berani terima tantanganku, ya, aku pun tidak dapat memaksa, cuma ....”

Dengan mengertak gigi, akhirnya Bu-koat menjadi nekat, ia pegang secawan arak itu.

So Ing menatapnya dengan lekat-lekat dan berucap sekata demi sekata, “Cawan ini apakah beracun atau tidak adalah pilihanmu sendiri. Kau harus percaya bahwa cara ini adalah duel yang paling adil, jauh lebih adil daripada duel mana pun di dunia ini.”

Mendadak Hoa Bu-koat tertawa dan berkata, “Betul, cara ini memang sangat adil, aku ....”

“Tidak, tidak adil, sedikit pun tidak adil,” tiba-tiba seorang membentak. “Sekali-kali tidak boleh kau minum arak itu!”

“Blang,” mendadak pintu didobrak dan seorang menerjang masuk. Kiranya Siau-hi-ji adanya.

“He, kenapa kau pun datang kemari?” seru So Ing.

“Kenapa aku tidak boleh kemari?” jengek Siau-hi-ji, sembari bicara ia terus rampas cawan arak yang dipegang Hoa Bu-koat itu dan berteriak pula, “Bukan saja aku datang kemari, bahkan aku pun ingin minum arak ini.”

“Jangan, arak ini tidak boleh kau minum,” seru So Ing dengan muka pucat.

“Kenapa tidak boleh kuminum?” tanya Siau-hi-ji.

“Arak ... arak ini beracun,” jawab So Ing.

“Kiranya kau tahu cawan arak inilah yang beracun?” jengek Siau-hi-ji.

“Kusendiri yang menaruh racunnya, dengan sendirinya kutahu,” kata So Ing.

“Jika kau tahu arak ini beracun, mengapa kau suruh dia minum?” Siau-hi-ji meraung murka.

“Ini memang duel yang menentukan mati hidup, harus salah seorang minum arak ini, dia sendiri bernasib jelek dan memilih cawan ini, mana boleh menyalahkan aku?” kata So Ing pula. Dia melototi Bu-koat dan menambahkan, “Kan tidak kusuruh kau pilih cawan arak ini, betul tidak?”

Terpaksa Bu-koat mengangguk. Biarpun dia tidak takut mati, tapi bila mengingat baru saja dirinya seolah-olah sudah “piknik” sekeliling ke gerbang neraka, mau tak mau ia pun berkeringat dingin.

Siau-hi-ji pandang arak dalam cawan yang dipegangnya itu, jengeknya pula, “Kutahu kau tidak menyuruh dia memilih cawan ini, tapi kan sama saja bila dia mengambil cawan yang itu.”

“Masa sama?” tanya So Ing.

“Ya, sebab kedua cawan arak ini beracun semuanya,” Siau-hi-ji meraung pula. “Hm, permainanmu ini dapat menipu orang lain tapi masa bisa menipu diriku? Kutahu cawan mana pun yang dia pilih, habis diminum dia tetap akan mati, pada hakikatnya kau sendiri tidak perlu minum lagi cawan yang lain.”

So Ing memandangnya dengan terkesima, matanya mulai basah dan hampir-hampir meneteskan air mata.

Siau-hi-ji menggeleng kepala, ucapnya, “Hoa Bu-koat, O, Bu-koat, kelemahanmu adalah karena terlalu percaya pada mulut perempuan ....”

So Ing menghela napas dengan perasaan hampa, ia pun bergumam, “Siau-hi-ji, O, Siau-hi-ji, penyakitmu adalah terlalu tidak percaya kepada perempuan.”

Mendadak ia pun angkat cawan arak yang lain terus ditenggaknya hingga habis.

Seketika berubah air muka Hoa Bu-koat, serunya dengan parau, “Kau ... kau salah menuduhnya. Arak beracun tetap harus kuminum.”

“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Ini kan duel yang paling adil, jika aku harus kalah, mati pun aku rela,” seru Bu-koat tegas.

“Ai, engkau benar-benar seorang Kuncu (lelaki sejati, gentleman),” ucap So Ing dengan menghela napas gegetun. “Sungguh aku menyesal mengapa ….”

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, memang betul, dia memang seorang Kuncu, sebaliknya aku ini Siaujin (orang kecil, orang rendah, pengecut) makanya kutahu segala sesuatu permainanmu.”

Bu-koat menjadi gusar, dampratnya, “Mengapa kau sembarangan menuduhnya? Bukankah dia sudah minum arak itu?”

“Sudah tentu dia dapat minum, biarpun minum lagi sepuluh cawan juga tidak menjadi soal,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Sebab racun kan dia yang menaruhnya, jika sebelumnya ia sendiri sudah minum obat penawarnya, lalu apa gunanya racun? Masa permainan sederhana begini saja kau tidak paham?”

Seketika Bu-koat jadi melenggong dan tidak sanggup bersuara lagi.

So Ing juga memandang Siau-hi-ji dengan terkesima, lama dan lama sekali barulah dia bergumam, “Engkau benar-benar seorang pintar, seorang yang mahapintar.”

Dia tersenyum pedih, lalu menyambung pula, “Tapi apa pun juga, semua ini kulakukan demi dirimu, seharusnya engkau tidak boleh bersikap sedemikian padaku?”

Kembali Siau-hi-ji meraung murka, teriaknya, “Memangnya kau ingin cara bagaimana sikapku padamu? Apakah kau kira setelah kau bunuh Hoa Bu-koat lantas aku harus berterima kasih padamu?”

“Sudah tentu kutahu engkau takkan berterima kasih padaku, sebab kalian adalah kaum ksatria yang gagah perwira dan berbudi luhur, kalian tidak sudi sembarangan membunuh, harus membunuh dengan tangan sendiri,” bicara sampai di sini, air matanya tak terbendung lagi dan mulai bercucuran.

Tapi segera ia mengusap air matanya, lalu berkata pula, “Sekarang aku cuma ingin tanya padamu, seumpama aku membunuh seseorang dengan akal, lalu apa bedanya dengan cara kalian.”

“Sudah tentu berbeda, bahkan sangat jauh berbeda,” Siau-hi-ji meraung pula. “Paling sedikit cara kami jauh lebih Kong-beng-cing-tay (terang-terangan dan secara adil) daripada caramu.”

“Kong-beng-cing-tay?” jengek So Ing. “Sudah jelas kalian tahu pihak lawan bukan tandinganmu, tapi tetap kau ingin duel dengan dia, apakah ini yang dinamakan adil? Apakah ini yang disebut terang-terangan dan blak-blakan? Apakah membunuh orang dengan senjata barulah terhitung cara yang adil dan terang-terangan. Mengapa kalian tidak gigit-menggigit saja seperti anjing? Bukankah cara begini jauh lebih adil dan lebih terus terang?”

Lalu dia tunjuk Siau-hi-ji dan menyambung pula, “Apalagi maksudku membunuh orang paling tidak kan ada tujuan tertentu, yakni demi membela kau. Seorang perempuan demi membela orang yang dicintainya, apa pun yang diperbuatnya pasti dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memalukan. Sebaliknya kalian? Apa maksud kalian dengan pertarungan maut kalian nanti? Segera kalian akan mengadu jiwa, jika kau tidak membunuhnya, kaulah yang akan terbunuh, lalu semua ini untuk apa dan demi siapa? Apa pula sebabnya kalian berbuat demikian? Huh, kalian ini tidak lain daripada seperti anjing menggigit anjing, bahkan lebih tepat dikatakan dua ekor anjing gila.”

Melengak juga Siau-hi-ji mendengar dampratan So Ing yang penuh emosi itu, satu kata saja ia tidak sanggup menjawabnya.

Bahwa Siau-hi-ji sampai membisu didamprat orang, selama hidup benar-benar baru terjadi sekarang.

Hoa Bu-koat juga berdiri mematung di situ, dahinya penuh keringat dingin dan bercucuran seperti hujan.

Dengan suara parau So Ing mencerca pula, “Ya, aku ini memang perempuan yang bawel, perempuan judes, perempuan berhati keji. Sedangkan engkau adalah seorang Enghiong seorang ksatria sejati, selanjutnya aku pun tidak berani naksir lagi padamu, siapa di antara kalian yang bakal mati atau hidup bukan lagi urusanku dan juga tiada sangkut-pautnya denganku ....”

Suaranya semakin tersendat dan tambah tergegap, akhirnya meledaklah tangisnya, segera ia lari pergi sambil mendekap mukanya.

Ia tidak menoleh lagi. Hati seorang perempuan kalau sudah remuk redam, untuk selamanya dia takkan berpaling lagi.

Daun waru masih bertebaran tertiup angin dan menimbulkan suara gemersik, jangkrik di pojok halaman sana masih terus mengerik, sarang labah-labah di langit serambi sana telah bobol tertiup angin.

Namun benang sarang labah-labah yang putus itu tidak membuat jera labah-labah itu, dengan cepat jaringannya sudah tersambung dan membentang lagi. Selamanya labah-labah tidak kenal patah semangat, tapi kalau benang cinta juga putus, apakah dengan cepat dapat tersambung kembali?
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes