Wednesday, May 12, 2010

bp7_part1

Bu-koat melenggong sejenak, tiba-tiba ia memburu ke sana dan berseru, “Waktu masih cukup luang, biarlah aku pun mengantarmu sebentar.”

Thi Peng-koh mengikuti bayangan kedua orang itu hingga menghilang di kejauhan, tubuhnya rada gemetar, dengan mengertak gigi mendadak ia melompat bangun terus berlari kembali ke arah hotel kecil itu.

Sebuah kamar di hotel itu kini sudah menyalakan lampu.

Waktu Peng-koh tiba di situ, dilihatnya jendela kamar itu terbuka lebar, di luar dan di dalam tergeletak tiga sosok mayat, seorang lelaki kekar yang tak dikenalnya sedang mengurut punggung seorang nona di atas ranjang. Dan Kang Giok-long berdiri di belakang lelaki itu.

Sorot mata Kang Giok-long tampak gemerdep aneh, ujung mulutnya menampilkan senyum kejam, dia sedang menatap punggung lelaki itu, dan perlahan-lahan mengangkat tangannya.

Begitu sampai di depan jendela, belum lagi tahu apa yang terjadi sesungguhnya, demi nampak tindakan Kang Giok-long itu, tanpa pikir ia terus berseru, “Kang Giok-long, kau ....”

Mendengar suaranya, dengan cepat Yan Lam-thian menoleh, air mukanya berubah seketika, nyata dia telah merasakan gelagat jelek.

Namun sudah terlambat, tangan Kang Giok-long dengan keras telah menghantam punggungnya.

Yan Lam-thian meraung keras-keras, darah segar lantas tersembur keluar menyirami sekujur badan Buyung Kiu yang ramping itu.

Bilamana dia tidak lagi mengerahkan Lwekang untuk menolong orang, mana dapat Kang Giok-long melukainya .... Tapi Kang Giok-long sendiri juga tergentak kaget oleh suara raungan keras itu, ia terhuyung-huyung mundur mepet dinding.

Terlihat wajah beringas Yan Lam-thian, matanya melotot, bentaknya parau, “Kaum tikus, sudah kutolong jiwamu, tapi malah berani memperdayai diriku?” Seluruh ruas tulangnya seakan-akan berbunyi berkeriutan, perbawanya sedikit pun tidak berkurang daripada biasanya.

Saking ketakutan hingga kaki Kang Giok-long terasa lemas, “bluk”, ia jatuh duduk di pojok dinding, tenaga untuk merangkak bangun saja rasanya tidak ada.

Dengan tangan menggapai Yan Lam-thian mendekati Kang Giok-long setindak demi setindak, bentaknya, “Sesungguhnya siapa kau? Mengapa kau memperdayai aku? Bicara lekas!”

Mana berani Kang Giok-long memandangnya, diam-diam ia melirik ke arah Thi Peng-koh yang berada di luar jendela, sorot matanya tidak segarang seperti tadi, tapi kini penuh rasa mohon belas kasihan.

Di samping terkejut Peng-koh juga gusar melihat perbuatan licik dan keji Kang Giok-long itu, tapi demi melihat sorot matanya yang memelas itu hati si nona menjadi lemas lagi.

Entah mengapa, di luar sadarnya ia terus melompat masuk dan melontarkan suatu pukulan keras.

Tapi lantas terdengar raungan mengguntur, robohlah Yan Lam-thian akhirnya.

Dengan girang Kang Giok-long melompat bangun, bentaknya dengan tertawa terhadap Yan Lam-thian, “Haha, apakah kau ingin tahu siapa aku ini? Baik, kukatakan padamu, aku adalah putra kesayangan Kang-lam-tayhiap, Kang Giok-long adanya. Anak murid Bu-tong-pay apa segala, bagiku tidak laku sepeser pun.”

Yan Lam-thian terkejut dan melenggong, akhirnya memejamkan matanya dengan perlahan, mendadak ia bergelak tertawa pula dan berseru, “Bagus, bagus! Selama hidupku malang melintang di seluruh jagat ini, tak tersangka sekarang aku harus mati di tangan kaum tikus celurut macam kau ini.”

Kang Giok-long menyeringai, katanya, “Karena ucapanmu tidak sopan, sebelum ajalmu harus kutambahi sedikit hukuman bagimu.”

Setelah melancarkan pukulan tadi, Thi Peng-koh lalu berdiri melenggong sambil memandangi tangan sendiri. Sekarang mendadak ia gunakan tangannya itu untuk menarik Kang Giok-long sambil bertanya, “Siapa orang ini? Meng ... mengapa hendak kau bunuh dia?”

Sambil menuding mayat yang tergeletak di lantai, Giok-long berkata, “Jika orang ini tidak kelewat jahat, masa aku tega membunuhnya?”

Peng-koh menghela napas gegetun, ucapnya, “Biarpun begitu, sekarang ia sudah hampir meninggal, mengapa engkau memukulnya pula?”

Kini ia pun tahu ucapan pemuda bergajul itu tidak dapat dipercaya, tapi mau tak mau ia harus percaya padanya. Maklum ia telah menyerahkan kesuciannya pada anak muda itu.

Seorang anak perempuan bilamana telah menyerahkan kehormatannya pada seorang lelaki, maka itu sama dengan menyerahkan segalanya. Memangnya apa yang dapat diperbuatnya pula?

Dengan tertawa Giok-long mencolek pipi si nona, katanya, “Baiklah, kau suruh dia minta ampun padaku dan segera kuampuni dia ....”

Peng-koh mengipatkan tangan anak muda itu, katanya, “Sebentar lagi Hoa Bu-koat akan datang!”

Seketika lenyap senyuman yang menghiasi wajah Kang Giok-long, tanyanya cepat, “Kau lihat dia?”

“Ya,” jawab Peng-koh sambil menggigit bibir. “Ada pula Kang Siau-hi.”

Giok-long tidak bicara lagi, ia tarik Peng-koh terus melangkah pergi. Baru saja keluar pintu, tiba-tiba ia putar balik, dipanggulnya Buyung Kiu yang meringkuk di tempat tidur itu. Maklum, setiap barang yang menguntungkan dia selamanya takkan ditinggalkannya begitu saja.

Dengan mudah saja mereka sudah keluar kota kecil itu, dengan sendirinya lantaran Thi Peng-koh mengetahui dari arah mana lagi mereka akan datang dan ke arah mana lagi mereka harus menghindarinya.

Setelah merasa aman, tiba-tiba Giok-long tanya Peng-koh, “Kau bilang bertemu dengan Hoa Bu-koat, memangnya kau kenal dia?”

“Ehm,” Peng-koh bersuara singkat.

Giok-long memandangnya dengan rasa heran dan sangsi, tanyanya pula, “Cara bagaimana kau kenal dia?”

Peng-koh memandang jauh ke sana, ia diam agak lama, akhirnya menjawab dengan sekata demi sekata, “Sebab aku pun anak murid Ih-hoa-kiong ….”

*****

Di jurusan lain Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sedang berjalan dengan perlahan. Malam sunyi dan gelap.

Sekonyong-konyong, dari kejauhan berkumandang suara gerungan yang keras. Meski karena jauhnya tibanya suara gerungan itu kedengaran sudah sangat lirih, tapi seramnya, pedih dan penasaran yang terkandung dalam suara itu masih cukup membuat beku pembuluh darah dan membuat merinding siapa pun yang mendengarnya.

Serentak Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat berhenti melangkah. Keduanya tertegun sejenak, tanpa bicara apa pun mendadak keduanya lari ke arah datangnya suara itu.

Kota kecil itu terbenam dalam keheningan malam seperti tiada terjadi sesuatu. Hanya di depan pintu hotel kecil itu ada seorang sedang tumpah-tumpah sambil memegangi daun pintu.

Itulah “pelayan” merangkap pemilik hotel, ia mendengar dan melihat semua kejadian di hotelnya, serentetan pembunuhan telah berlangsung dengan kejam, tapi dia tak berdaya, hanya tumpah-tumpah belaka, rasanya ingin menumpahkan semua penderitaan dan rasa malunya.

Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tetap tidak bicara, keduanya cuma saling memberi tanda, berbareng terus menerjang ke dalam hotel dan menemukan kamar yang ada penerangannya itu.

Maka dapatlah mereka menemukan Yan Lam-thian yang menggeletak di tengah genangan darah.

Yan Lam-thian telah ambruk. Ini seperti gunung mendadak longsor di depan mereka, laksana bumi tiba-tiba merekah di depan mereka. Seketika mereka terkesima seperti patung.

Tapi Yan Lam-thian masih dapat bergerak, ia meronta-ronta dan membuka mata, mukanya yang sudah mulai kaku itu menampilkan secercah senyuman getir, katanya dengan lemah, “Ka ... kalian sudah ... sudah datang, ba ... bagus ... bagus sekali ….”

Akhirnya Hoa Bu-koat menubruk maju, ia berjongkok dan berseru dengan suara parau, “Wanpwe datang terlambat.”

“Tidak, kau ... kau tidak terlambat,” ucap Yan Lam-thian dengan tersenyum pedih. “Sebelum ajalku dapat kulihat kalian, mati pun aku tidak menyesal.”

Segera Siau-hi-ji mengangkat tubuh pendekar besar itu dari pelimbahan darah sambil berteriak, “Tidak, engkau takkan mati, tiada seorang pun yang dapat membunuh engkau.”

“Keadaan lukaku cukup kuketahui sendiri,” ujar Yan Lam-thian dengan tersenyum.

Mendadak Hoa Bu-koat juga berteriak, “Siapa yang turun tangan sekeji ini padamu? Siapa?”

“Kang Giok-long!” jawab Yan Lam-thian.

Bu-koat menarik napas panjang-panjang, ucapnya dengan sekata demi sekat, “Kuberjanji padamu, aku pasti akan membunuh dia untuk membalas sakit hatimu.”

Kembali Yan Lam-thian bergelak tertawa, ia berpaling ke arah Siau-hi-ji.

Selama ini anak muda itu pun memandangnya dengan tajam, mendadak ia berteriak, “Tidak perlu dia membunuh Kang Giok-long. Kang Giok-long adalah bagianku, tak peduli siapa pun juga Locianpwe ini, pasti akan kubalas sakit hati Locianpwe.”

Kembali Hoa Bu-koat melengak, serunya, “Tak peduli siapa pun juga Locianpwe ini? Maksudmu ... Locianpwe ini bukan Yan-tayhiap?”

Siau-hi-ji diam saja, tapi “Yan Lam-thian” lantas bergelak tertawa, meski tertawa yang menderita, dahi sudah penuh butiran keringat, tapi dia masih terus tertawa. Katanya kemudian sambil menatap Siau-hi-ji, “Kukira dapat mengelabui siapa pun juga, tak tahunya akhirnya toh tak dapat mengelabuimu.”

Bu-koat berteriak pula, “Jadi Locianpwe memang bukan Yan Lam-thian, Yan-tayhiap?”

“Yan Lam-thian hanya salah seorang sahabat karibku ....”

Cepat Bu-koat bertanya pula, “Lantas Cianpwe sendiri ....?”

“Aku she Loh,” jawab ‘Yan Lam-thian’.

“Loh Tiong-wan? Jangan-jangan Cianpwe inilah “Lam-thian-tayhiap” Loh Tiong-wan tukas Siau-hi-ji.

“Jadi kau pun tahu namaku?” ucap Loh Tiong-wan dengan tersenyum.

“Sejak umur lima Tecu sudah mendengar nama Locianpwe,” jawab Siau-hi-ji dengan gegetun. “Si tangan berdarah Toh Sat, meski dia hampir mati di tangan Locianpwe, tapi selamanya dia sangat kagum padamu.”

“Tapi ... tapi mengapa Loh-tayhiap memalsukan nama Yan-tayhiap?” tanya Bu-koat.

“Sebab ... sebab Yan ....” lantaran tertawa keras tadi, napasnya jadi semakin memburu, tenaganya sudah lemah, untuk bicara saja kini tampaknya sangat payah.

“Urusan ini sudah dapat kuterka sebagian, biarlah aku yang bicara bagi Loh-tayhiap saja,” kata Siau-hi-ji. “Bilamana uraianku betul, boleh Loh-tayhiap mengangguk, dan bila keliru nanti Cianpwe sendiri bercerita lagi.”

Sorot mata Loh Tiong-wan menampilkan rasa memuji dan setuju, dengan tersenyum getir ia mengangguk.

Setelah merenung sejenak, lalu Siau-hi-ji berkata, “Sesudah Yan-tayhiap lolos dari Ok-jin-kok, meski pikirannya sudah mulai jernih, tapi ilmu silatnya seketika tak dapat pulih seluruhnya, betul tidak?”

Loh Tiong-wan mengiakan sambil mengangguk.

“Setelah meninggalkan Ok-jin-kok, beliau lantas dapat menemukan Loh-tayhiap, begitu bukan?”

“Betul,” jawab Loh Tiong-wan.

“Sepanjang jalan, menurut pengamatannya, Yan-tayhiap merasa bakal terjadi kekacauan besar di dunia Kangouw, cuma sayang beliau sendiri tidak sanggup mencegahnya, maka beliau lantas minta Loh-tayhiap suka memberi bantuan. Demikian bukan?”

Loh Tiong-wan mengiakan pula.

“Beliau juga khawatir ilmu silatnya tiada mendapat keturunan, sebab itulah begitu bertemu dengan Loh-tayhiap segera beliau menghadiahkan kunci ilmu silatnya padamu.”

Tapi belum habis uraian Siau-hi-ji ini, Loh Tiong-wan telah menggoyang-goyang kepala dan berkata, “Salah!”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, ucapnya kemudian, “Mungkinkah Loh-tayhiap mengetahui kekuatan Yan-tayhiap tak dapat pulih dalam waktu singkat, sebab itulah Loh-tayhiap menghendaki beliau mengajarkan kunci ilmu silatnya ....”

Loh Tiong-wan menghela napas, ucapnya dengan megap-megap, “Soalnya pada belasan tahun yang lalu aku pernah kecundang di tangan Gui Bu-geh. Sesudah itu baru kusadari kepandaianku masih jauh daripada cukup, sebab itu pula aku lantas mengasingkan diri ....” sampai di sini wajahnya menampilkan rasa menderita pula.

Siau-hi-ji lantas menyambungnya, “Sebab itulah ketika Yan-tayhiap minta Locianpwe muncul kembali, Cianpwe khawatir ilmu silat sendiri tidak cukup kuat, maka engkau telah mohon Yan-tayhiap mengajarkan kunci ilmu silatnya padamu, demikian bukan?”

Loh Tiong-wan tersenyum dan mengangguk.

“Dan lantaran inilah, pula Loh-tayhiap tidak bertindak untuk keuntungan sendiri, maka kemunculanmu di dunia Kangouw sekali ini Loh-tayhiap sengaja menggunakan namanya Yan-tayhiap,” Siau-hi-ji merandek sejenak, kemudian menyambung lagi dengan tertawa. “Dengan kedudukan Loh-tayhiap dengan sendirinya tidak suka menggunakan ilmu silat Yan Lam-thian untuk menambah keharuman nama ‘Lam-thian-tayhiap’. Entah betul tidak tebakan Tecu ini?”

“Selain itu masih ada pula satu hal,” ucap Loh Tiong-wan dengan tersenyum.

Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian, “Jangan-jangan Yan-tayhiap telah memperhitungkan kawanan Ok-jin penghuni Ok-jin-kok itu akan berbondong-bondong keluar setelah beliau meninggalkan Ok-jin-kok, beliau khawatir kawanan Ok-jin itu akan mengacau Kangouw pula dengan macam-macam kejahatan mereka, beliau tahu hanya nama ‘Yan Lam-thian’ saja yang masih dapat mempengaruhi mereka, sebab itulah Loh-locianpwe telah diminta menggunakan nama beliau untuk sementara.”

“Kau benar-benar anak pintar,” ujar Loh Tiong-wan dengan gegetun. “Tapi ... tapi aku yakin setelah belajar ilmu silat Yan Lam-thian, bahkan telah kumohon Ban Jun-liu merias mukaku sedemikian rupa sehingga gaya dan suara Yan Lam-thian telah banyak kutiru dengan baik, sungguh aku tidak paham mengapa tetap tak dapat mengelabui kau.”

Mungkin soal inilah yang paling membingungkan dia, sebelum jelas mendapatkan jawabannya mungkin mati pun dia tetap penasaran, sebab itulah dengan sekuatnya dia mengajukan pertanyaan ini walaupun keadaannya sudah sangat payah.

Dengan gegetun Siau-hi-ji menjawab, “Waktu Cianpwe melihat diriku, sepantasnya engkau membicarakan Ban Jun-liu, tapi Cianpwe seakan-akan lupa sama sekali akan paman Ban, sebab itulah tatkala mana aku sudah mulai curiga.”

“Dan ke ... kemudian?” tanya Loh Tiong-wan.

“Kupikir pula, setelah mengalami siksa derita selama belasan tahun, baik jasmani maupun rohani, Yan-tayhiap sudah banyak mengalami perubahan, tapi sikap Loh-cianpwe ternyata tetap serupa Yan-tayhiap pada belasan tahun yang lampau sebagaimana menurut cerita orang, ini jelas tidak wajar dan pada hakikatnya tidak mungkin. Sebab kutahu dari dekat siksa derita selama belasan tahun yang dialami Yan-tayhiap, rasanya tidak mungkin seorang sanggup bertahan seperti sedia kala setelah mengalami penderitaan sehebat itu.”

“Betul,” kata Loh Tiong-wan dengan pedih, “Yan Lam-thian memang ... memang sudah banyak berubah.”

Suaranya sangat lemah sehingga hampir-hampir tak terdengar oleh Siau-hi-ji.

Masih ada sesuatu yang belum terpapar dan ini kunci daripada segala persoalannya. Umpama dia benar-benar Yan Lam-thian adanya, mustahil dia tidak kenal Kang Piat-ho sekarang sebenarnya adalah Kang Khim di masa lalu.

Tapi dia sudah berjanji pada Kang Piat-ho terpaksa dia harus menyimpan rahasia ini. Ksatria besar begini, bilamana dia sudah berjanji sesuatu, maka sampai mati pun dia tetap akan pegang janji.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya pula, “Sekarang kumohon sukalah Cianpwe memberitahukan padaku di manakah Yan-tayhiap, paman Yan?”

Loh Tiong-wan tidak menjawab, kembali dia memejamkan matanya, bahkan memejamkan mata untuk selamanya.

Kini Lam-thian-tayhiap Loh Tiong-wan telah istirahat selamanya di liang lahatnya. Di kota kecil sunyi begini, upacara penguburan tentu saja berlangsung dengan sangat sederhana, tapi juga sangat khidmat.

Sementara itu senja sudah tiba pula.

Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sedang berdiri tegak dengan perasaan berat di depan makam Loh Tiong-wan, mengheningkan cipta dan berdoa bagi arwah pendekar besar itu.

Cuaca remang-remang, suasana senja sunyi senyap, musim rontok terasa sudah hampir lalu. Sampai tabir malam sudah menyelimuti bumi dan sinar bintang-bintang berkelip di langit barulah mereka meninggalkan tempat ini.

Bu-koat menengadah dan mendesis, ucapnya dengan gegetun, “Kawanan durjana merajalela, dunia Kangouw belum lagi aman, meninggalnya Loh-tayhiap teramat dini .... Bahkan di mana beradanya Yan-tayhiap tidak sempat dia katakan lantas mengembuskan napasnya yang penghabisan, sungguh membuat yang hidup ini merasa serba susah.”

“Kuyakin Loh-tayhiap tahu di mana beradanya Yan-tayhiap,” ujar Siau-hi-ji dengan gegetun, “Sebelumnya beliau tidak mengatakan hal ini, mungkin beliau memang tidak mau memberitahukan pada kita.”

“Tidak mau memberitahukan pada kita, sebab apa?” tanya Bu-koat.

“Sebabnya sukar kukatakan,” ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum getir. “Bisa jadi dia tidak ingin Yan-tayhiap diganggu orang lain, mungkin pula Yan-tayhiap sudah ... sudah meninggal, maka dia tidak mau membuatku berduka.”

“Mudah-mudahan seumur hidupku ini dapat bertemu dengan Yan-tayhiap, kalau tidak ...” ucap Bu-koat dengan murung.

Mendadak Siau-hi-ji membusungkan dada, serunya, “Sudah tentu kau akan bertemu dengan dia, sudah pasti dia takkan meninggal. Sebelum beliau menyaksikan aku terkenal di dunia ini mana dia mau mati begitu saja.”

Bu-koat menatapnya dengan tajam, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Ya, betul, bilamana Yan-tayhiap tidak mau meninggal, siapa pun tak dapat membuatnya meninggal, bahkan Giam-lo-ong (raja akhirat) juga tidak terkecuali. Dan pada suatu hari pastilah dapat kulihat dia.”

“Bagus, tepat sekali ucapanmu, nada perkataanmu sekarang hakikatnya serupa dengan aku,” seru Siau-hi-ji sambil tertawa. “Selang tujuh puluh lima hari lagi, seumpama aku jadi mati, tentunya kau dapat hidup terus bagiku.”

Perasaan Bu-koat kembali tertekan, ia termangu agak lama, tiba-tiba ia tanya, “Dan sekarang juga kau hendak pergi ke Ku-san?”

“Marilah kita pergi bersama, kujamin pasti akan menyaksikan permainan yang menarik dan tegang,” kata Siau-hi-ji.

Bu-koat menunduk, jawabnya dengan perlahan, “Tapi aku tak dapat menemanimu pergi ke sana.”

“Tidak dapat? Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Tiba-tiba kuingat suatu urusan yang harus kukerjakan, sesuatu urusan ... urusan penting.”

Siau-hi-ji tercengang sejenak, serunya kemudian, “Tapi waktu berkumpul kita hanya tinggal tujuh puluh lima hari lagi, masa engkau tidak sudi menemani aku?”

Bu-koat memandang jauh ke remang sinar bintang di langit, jawabnya dengan perlahan, “Bilamana urusan ini berhasil kuselesaikan dengan baik, maka persahabatan kita pasti takkan terbatas cuma tujuh puluh lima hari saja.”

Siau-hi-ji menatapnya dengan tajam, serunya pula, “Apakah engkau pulang ke Ih-hoa-kiong?”

“Kenapa kau paksa jawabanku?” ucap Bu-koat dengan tersenyum getir.

“Jangan-jangan engkau ingin memohon Ih-hoa-kiongcu agar mereka jangan membunuh diriku?”

“Aku cuma ingin pulang untuk bertanya kepada mereka apa sebabnya mereka menyuruh aku membunuhmu.”

“Kau kira mereka akan memberitahukan padamu?”

“Sedikitnya, aku harus minta penjelasan mereka.”

“Kutahu, kau pun serupa diriku, kalau sudah bertekad berbuat sesuatu, maka tiada seorang pun yang dapat mengalang-alangimu. Tapi ingin tetap kukatakan padamu bahwa ada sementara orang yang hidupnya ditakdirkan akan berakhir dengan tragis, banyak terjadi hal begini di antara lelaki dan perempuan, di antara persahabatan juga demikian,” ia tersenyum pahit, lalu menyambung, “Ada sementara lelaki dan perempuan, walaupun sudah jelas saling mencintai dengan sangat mendalam, tapi akhirnya justru tidak keruan jadinya, dan inilah kehidupan manusia. Mengenai nasib kita, tampaknya kita memang sudah ditakdirkan tak dapat bersabahat, seumpama kelak kau dibolehkan tak jadi membunuh diriku tapi bukan mustahil aku yang akan membunuhmu malah.”

Bu-koat termangu-mangu agak lama, ia tersenyum hambar, katanya, “Kang Siau-hi, memangnya kau sudah bertekuk lutut menyerah kepada nasib?”

Siau-hi-ji terkejut, serunya sambil tertawa, “Baiklah, silakan berangkatlah, betapa pun juga kita toh pasti akan bertemu lagi dan ini pun sudah cukup menggembirakan bilamana terkenang.”

*****

Musim rontok, pepohonan layu dan bunga berguguran

Tapi di tempat ini justru bunga sedang mekar dengan suburnya, ada bunga seruni, peoni, mawar, anggrek, sedap-malam dan macam-macam lagi.

Bunga yang seharusnya tidak mekar pada suatu tempat, tidak layak mekar sekaligus pada waktu yang sama, kini justru mekar di sini.

Tempat ini terletak di pegunungan yang terpencil, di puncak yang curam sepantasnya diliputi kabut yang tebal dan lembap dengan angin yang semilir dingin, tapi di sini cahaya mentari justru benderang laksana kemilau emas, suhu di sini menjadi terasa hangat seperti di musim semi.

Tempat ini pada hakikatnya telah meniadakan segala macam hukum alam, di sinilah suatu dunia lain. Siapa pun kalau berada di sini pasti akan dimabukkan oleh lautan bunga yang semerbak itu dan melupakan segala macam duka derita alam sana, lebih-lebih akan melupakan bahaya, melupakan segalanya.

Tapi di sini pula adalah tempat yang paling misterius, tempat yang paling berbahaya di dunia.

Inilah Ih-hoa-kiong!! Istana Aneka Bunga.

Inilah tempat yang dipuja, dikagumi dan juga ditakuti oleh kebanyakan orang Kangouw.

Di tengah lautan bunga itu ada sebuah istana yang mentereng, di bawah cahaya mentari yang benderang itu kemegahan istana ini semakin indah laksana dibangun dengan kemala putih dan emas murni, mencorong menyilaukan pandangan mata.

Di semak-semak bunga sana tampak empat gadis sedang menyiram air, menyapu daun rontok dan memotong tangkai-tangkai pohon, selain itu tiada bayangan orang lagi dan tiada sesuatu suara apa pun.

Gadis-gadis itu adalah anak dara cantik yang jarang ditemukan, tapi pada wajah mereka yang molek itu tampak mengandung perasaan lesu, dingin, hampa.

Gadis yang sedang menyiram itu sebenarnya sudah kehabisan air, tapi ia tidak menyadari hal ini, dia termangu-mangu memandangi awan di langit.

Yang sedang memotong ranting bunga itu juga berdiri mematung dengan memegang gunting, terkesima entah apa yang sedang dipikirkan.

Yang menyapu juga berdiri tertegun memegangi sapunya sambil memandang daun rontok di sekitar kakinya seperti orang linglung tanpa menghiraukan sinar matahari yang panas.

Dunia yang hidup dan semarak ini setiba di sini rasanya telah berubah seluruhnya, berubah menjadi sunyi dan hambar. Walaupun hari di musim rontok lebih singkat daripada musim lainnya, tapi di sini hari terasa seperti sangat panjang.

Pemandangan indah di tempat yang laksana surga ini ternyata sedemikian hampa dan sunyi menakutkan.

Akan tetapi, meski tubuh gadis-gadis cilik itu tak bergerak, namun hati mereka sedang bergolak dan memberontak laksana api di dalam sekam yang membakar secara diam-diam.

Mereka masih muda belia, masa tiada gairah dan semangat remaja? Memangnya di tempat yang indah permai ini gairah remaja juga telah berubah sama sekali?

Di tempat ini gairah apa pun memang tak dapat hidup, mereka sedang termenung, hati mereka sudah terbang jauh ke sana, ke samping sang pangeran menurut khayalan mereka.

Terkadang mereka benar-benar ingin meninggalkan tempat ini tanpa menghiraukan segala akibatnya.

Akan tetapi pada saat demikian itu justru ada seorang gadis sedang merangkak ke situ tanpa menghiraukan apa pun.

Pakaian gadis itu mestinya putih mulus, tapi kini telah kotor dan berlepotan darah, wajahnya yang cantik itu kini tampak kurus dan pucat.

Siapa pun pasti dapat melihatnya bahwa si gadis pasti telah banyak berkorban dan menahan siksa derita untuk datang ke tempat yang misterius ini. Setiba di sini, sekujur badannya terasa sudah lunglai, bibir kering dan pecah, perut terasa kecut, untuk berdiri saja tidak kuat, terpaksa ia merangkak dan merangkak, dengan merangkak pun ia ingin mencapai puncak itu.

Tangannya yang halus dan indah itu kini juga berlumuran darah, hampir saja ia jatuh pingsan, tapi bau harum bunga telah membangkitkan semangatnya.

Gadis yang memegang sapu tadi mendadak berseru, “He, ada orang datang!” Sorot matanya yang dingin itu tiba-tiba memancarkan cahaya yang hangat.

Mata ketiga gadis yang lain juga memancarkan cahaya, cahaya yang terpencar dari mata mereka ini dapat dilukiskan seperti pancaran sinar mata seekor kucing yang mengantuk di samping tungku dan mendadak melihat tikus.

Kalau nafsu dan hasrat seorang terlalu lama dikekang, untuk melampiaskan hanya ada dua jalan, memperlakukan orang lain secara sadis dan membuat orang lain menderita adalah salah satu jalan tersebut.

Nona yang merangkak dari bawah gunung itu bukan lain daripada Thi Sim-lan!

Sudah tentu ia tahu misteriusnya Ih-hoa-kiong dan bahayanya, tapi ia tidak pedulikan semua itu. Apa pun juga ia harus datang ke sini, tujuannya hanya satu, yaitu ingin tanya kepada Ih-hoa-kiongcu, “Mengapa Hoa Bu-koat diharuskan membunuh Kang Siau-hi-ji?”

Kini suasana semarak dengan bunga mekar semerbak itu sudah dilihatnya, tanpa terasa ia menghela napas lega, segala penderitaan sudah dilaluinya.

Ia tidak menyadari bahwa penderitaan yang sesungguhnya belum lagi memulai.

Dilihatnya dari semak-semak bunga sana melayang keluar empat gadis cilik, wajah mereka cantik molek, gaya mereka begitu indah, tertawa mereka begitu riang dan menggiurkan.

Thi Sim-lan meronta-ronta berusaha merangkak bangun, sedapatnya ia tertawa dan berkata, “Namaku Thi Sim-lan, mohon para Cici suka .... Belum habis ucapnya, belum lagi tegak ia merangkak bangun, tahu-tahu salah seorang gadis cilik itu telah melompat maju, sekali tendang Thi Sim-lan didepak hingga jatuh terguling.

Kejut dan gusar tidak Thi Sim-lan, serunya dengan suara parau, “Masa nona tidak … tidak mengizinkan orang bicara?”

Gadis cilik itu memandangnya dengan tertawa tanpa menjawabnya, tapi malah berkata, “Kami tidak peduli apa yang hendak kau katakan, yang jelas kami harus berterima kasih padamu.”

“Berterima kasih padaku?” Thi Sim-lan mengulang ucapan ini dengan melenggong.

“Ya, tahukah kau bahwa selama di sini kami tak pernah bergembira, waktu bergembira satu-satunya ialah bilamana ada orang menerobos masuk ke sini,” kata gadis cilik tadi.

“Tapi ... tapi kedatanganku hanya ingin menemui Kiongcu untuk bicara satu kalimat saja,” seru Sim-lan.

“Apakah kau tahu cara bagaimana Kiongcu telah memberi pesan pada kami?” tanya gadis tadi dengan tertawa.

Sim-lan menggeleng kepala.

“Pesan Kiongcu pada kami, barang siapa berani menerobos ke Ih-hoa-kiong sini, tak peduli siapa dia kami diperbolehkan membunuhnya, bahkan terserah kepada kami cara bagaimana akan membunuhnya.”

Sekujur badan Thi Sim-lan serasa merinding. Sudah tentu ia paham apa artinya ucapan “diperbolehkan membunuhnya dengan cara bagaimana pun”.

Ia juga perempuan, dengan sendirinya juga lebih paham bila seorang perempuan hendak memperlakukan sesuatu pada sesama perempuan, caranya bisa jauh lebih keji dan mengerikan daripada cara lelaki memperlakukan perempuan.

Sementara itu keempat gadis cilik tadi telah merubung maju dan makin maju sehingga Thi Sim-lan terkepung di tengah. Dengan sorot mata yang liar mereka mengincar tubuh Thi Sim-lan, napas mereka mulai memburu, ujung hidung mereka pun mulai merembeskan butiran keringat.

Sim-lan gemetar, teriaknya parau, “Seumpama kalian harus membunuhku, berilah kesempatan padaku untuk menemui Kiongcu.”

Si gadis tadi tertawa nyekikik, katanya, “Selama hidupmu ini jangan harap akan dapat menemui beliau.”

Wajah si gadis makin mendekat, Thi Sim-lan sudah dapat melihat biji mata orang yang berkembang besar laksana mata kucing di waktu malam, hidungnya tampak berkembang-kempis, sambil menjilat-jilat bibir terkadang juga menyeringai, sehingga kelihatan barisan giginya yang putih.

Mendadak gadis itu mengulurkan tangannya untuk menarik baju Thi Sim-lan.

Dengan mati-matian Thi Sim-lan meronta dan membela diri, seumpama menghadapi seorang pemuda bangor di tengah malam rasanya juga tidak setakut seperti sekarang ini.

Beberapa gadis ini seakan-akan sudah berubah menjadi serigala betina yang sedang berahi, mereka seolah-olah lupa bahwa Thi Sim-lan juga anak perempuan seperti mereka sendiri.

Yang mereka inginkan hanya pelampiasan ... tanpa peduli siapa sasarannya. Empat pasang tangan mereka yang halus itu seakan-akan sudah berubah menjadi delapan buah cakar yang tajam. Sekujur badan Thi Sim-lan terasa digerayangi, terutama bagian dada, pinggul, bahkan bawah perut.

Dengan segenap tenaganya Thi Sim-lan berusaha mempertahankan diri, tapi sukar untuk melawan, terasa cakar yang tajam telah menggores kulit badannya, hanya terasa darah sedang mengalir keluar dari tubuhnya. Ia pun dapat merasakan suara tertawa mereka yang semakin menggila.

Ini benar-benar pemandangan yang gila, busuk dan memalukan, pemandangan yang sukar dibayangkan. Bilamana nafsu seseorang terkekang terlalu lama, sungguh bisa meledak menjadi sesuatu yang lebih menakutkan daripada apa pun.

Lambat-laun Thi Sim-lan kehabisan tenaga dan tidak sanggup melawan lagi. Perlahan ia tidak merasakan apa-apa pula.

Dalam keadaan putus asa dan antara sadar tak sadar, samar-samar seperti didengarnya seorang membentak, “Lepaskan dia ... lepaskan dia! ....”

Habis itu ia benar-benar tidak ingat sesuatu lagi, ia mengira dirinya takkan siuman untuk selamanya.

Tapi akhirnya dia toh siuman.

Setelah sadar, ia merasa dirinya berbaring di suatu ranjang yang lunak dan berbau harum, cahaya mentari sudah tidak kelihatan, tapi sinar lampu seakan-akan lebih cemerlang dari pada sinar matahari.

Benderang sinar lampu membuatnya silau dan sukar membentangkan matanya, ia pejamkan mata pula, waktu dia membuka lagi matanya, segera dilihatnya Hoa Bu-koat.

Anak muda itu pun sedang memandangnya dengan lembut, di bawah cahaya yang benderang ini tampaknya dia lebih menyerupai seorang pangeran dalam dongeng, begitu gagah, begitu cakap dan begitu agung.

Thi Sim-lan berkeluh perlahan, ucapnya, “Hoa Bu-koat, benarkah engkau Hoa Bu-koat.”

Dengan lembut Bu-koat tertawa, jawabnya dengan suara halus, “Betul, memang akulah, jangan takut, aku berada di sampingmu.”

Thi Sim-lan memejamkan pula matanya, ucapnya dengan lirih dan gegetun, “Hoa Bu-koat, bilamana aku menghadapi bahaya, mengapa engkau selalu muncul menolong diriku!”

Dalam hati Bu-koat juga merasa gegetun, tapi di mulut dia berkata dengan tertawa, “Jangan lupa, inilah Ih-hoa-kiong, di sinilah rumahku. Kau mengalami cedera di sini, sungguh aku sangat menyesal!”

Mendadak Thi Sim-lan meronta ingin bangun serunya dengan parau, “Kumohon dengan sangat bawalah diriku menemui Kiongcu? Tanpa menghiraukan bahaya apa pun juga kudatang ke sini hanya ingin menemui beliau.”

“Kepulanganku ini juga ingin menemui beliau,” ujar Bu-koat dengan tersenyum pahit. “Cuma sayang, beliau sudah lama keluar.”

Thi Sim-lan menjatuhkan diri pula di ranjang serunya, “Mereka keluar semuanya?”

“Ya, kedua Kiongcu sama keluar istana, hal ini memang jarang terjadi,” kata Bu-koat.

“O, mengapa nasibku selalu begitu buruk,” keluh Sim-lan dengan sedih. “Aku ... aku ....” ia tidak sanggup melanjutkan pula karena tenggorokannya serasa tersumbat, ia menutupi kepalanya dengan selimut dan tersedu-sedan.

Bu-koat melenggong sejenak, katanya kemudian, “Kukira ... kutahu maksud kedatanganmu justru untuk urusan yang sama kupulang untuk menanyai beliau, tak tersangka kedua beliau sudah cukup lama meninggalkan istana.”

Thi Sim-lan menangis terguguk-guguk di dalam selimut, tiba-tiba ia bertanya pula, “Selama ini, apakah engkau pernah melihat dia?”

Tanpa menyebut namanya, orang lain juga tahu siapa si “dia” yang dimaksudnya.

Dengan suara lembut Bu-koat menjawab dengan tertawa, “Dia sangat baik sekarang, kau tidak perlu khawatir baginya.” Walaupun sedapatnya dia berlagak acuh, tapi di antara tertawanya terkandung juga rasa getir.

Akhirnya Thi Sim-lan menongolkan kepalanya dari dalam selimut, tanyanya pula dengan bimbang, “Apakah kau tahu, sekarang dia berada di mana?”

Sebisanya Bu-koat tertawa riang, jawabnya lembut, “Kutahu, asalkan kau sehat kembali segera dapat kubawamu pergi mencarinya.”

Si nona menatapnya dengan tajam, tanpa terasa air matanya bercucuran, ucapnya dengan gemetar, “Mengapa ... mengapa engkau senantiasa begini baik padaku, engkau ... engkau ....”

Cepat Bu-koat mengalihkan pokok pembicaraan, katanya, “Sungguh aku sangat menyesal kejadian tadi, cuma mereka ... mereka sesungguhnya juga anak-anak perempuan yang harus dikasihani, lantaran kesepian, makanya mereka berubah menjadi begini. Kuharap engkau dapat memaafkan mereka.”

Thi Sim-lan menutupi mukanya dengan tangan, jawabnya sambil mengangguk, “Ya, kutahu, bilamana seorang anak perempuan berubah seperti mereka, di balik ini pasti ada sebab musababnya yang pahit getir, hidup mereka mungkin sekali jauh lebih malang daripadaku.”

Pada saat itulah tiba-tiba di luar berkumandang semacam suara yang aneh, suara itu tidak tajam dan juga tidak seram, tapi membuat orang merinding tanpa terasa.

Suara itu kalau didengarkan dengan cermat rasanya mirip suara gergaji, jika didengarkan lebih lanjut rasanya juga mirip suara pergesekan logam yang membuat orang ngilu dan risi.

Menyusul lantas terdengar jerit kaget para anak perempuan.

Kejut dan heran Thi Sim-lan, tanyanya, “Suara apakah itu? Mengapa begitu aneh?”

Air muka Hoa Bu-koat juga berubah, jawabnya cepat, “Biar kuperiksa keluar.”

Dia tahu, meskipun anak murid Ih-hoa-kiong hampir seluruhnya adalah anak gadis, tapi sama sekali tiada seorang pun yang mudah ketakutan. Jika ada sesuatu yang dapat membuat mereka menjerit kaget, maka persoalannya pasti tidak sederhana.

Thi Sim-lan melihat pakaian sendiri sudah berganti dengan cukup rapi, cepat ia pun melompat turun dari tempat tidur dan berseru, “Aku pun ikut keluar.”

“Tapi lukamu belum ....”

“Berada di sampingmu, apa yang perlu kutakuti?” belum habis ucapannya muka si nona lantas merah.

Diam-diam Bu-koat gegetun pula di dalam hati, tapi sementara itu suara yang berisik aneh tadi makin ramai sehingga membuatnya tidak sempat memikirkan urusan lain.

Cepat kedua orang memburu keluar, tertampak para gadis sama sembunyi di serambi depan, semuanya pucat ketakutan, bahkan ada yang gemetar.

Waktu mereka memandang ke sana, terlihat di tengah lautan bunga sana banyak sekali makhluk hidup yang sedang berloncatan.

“He, tikus!” seru Sim-lan. “Dari mana datangnya tikus sebanyak ini?”

Betul, gerombolan makhluk hidup itu memang betul tikus. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu ekor tikus wirok sebesar kucing sedang berlari kian kemari di tengah kebun bunga, sebagian besar sedang menggerogoti tangkai pohon dan ada pula yang sedang makan daun bunga yang bernilai tinggi itu.

Meski anak murid Ih-hoa-kiong rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun sayang, mereka hampir semuanya adalah wanita. Harimau mungkin tak membuat mereka takut, tapi tikus, apalagi tikus sebanyak ini, tentu saja mengerikan mereka, sampai-sampai kaki pun terasa lemas.

Cepat Bu-koat melompat ke sana sambil membentak, “Apakah yang datang adalah anak murid Gui Bu-geh?!”

Suasana sunyi senyap dan tiada bayangan seorang pun. Yang ada cuma beribu-beribu ekor tikus yang sedang berpesta-pora di kebun bunga itu, kebun bunga yang indah itu dalam sekejap saja telah rusak porak-poranda.

Kejut dan gusar pula Hoa Bu-koat, tapi menghadapi kawanan tikus sebanyak ini, betapa ia pun tidak berdaya.

Di Ih-hoa-kiong, sudah tentu ia tak dapat membakar kawanan tikus itu dengan api dan juga tak dapat membenamnya dengan air, bila diusir, hakikatnya kawanan tikus itu tidak takut manusia. Jika dibunuh satu per satu, tikus sebanyak ini akan habis terbunuh sampai kapan? Apalagi makhluk yang berbulu dengan mata yang melotot itu berlarian kian kemari, siapa yang tidak ngeri?

Sungguh tak terpikir olehnya bahwa Ih-hoa-kiong yang disegani oleh siapa pun juga ternyata tak berdaya menghadapi kawanan tikus yang kotor dan menjijikkan itu.

Sementara itu kebun bunga telah morat-marit, keadaannya tak lagi berwujud kebun bunga yang indah.

Pada saat itulah dari tempat gelap barulah berkumandang suara tertawa keras. Seorang dengan suara tajam melengking berseru, “Manusia di seluruh dunia ini kebanyakan memandang rendah tikus, sekarang mereka seharusnya tahu bahwa makhluk yang paling menakutkan di dunia ini adalah tikus.”

Seorang lagi menyambung dengan tertawa, “Cuma sayang Ih-hoa-kiongcu tidak berada di rumah, kalau tidak, menyaksikan bunga kesayangan mereka telah menjadi isi perut tikus kita, bisa jadi mereka akan ganas dan tumpah darah.”

Perasaan Bu-koat sekarang malah tenang saja, ia tidak gugup dan cemas lagi dan juga tidak marah seakan-akan seekor tikus pun tidak dilihatnya. Dengan tersenyum simpul ia berseru, “Jika anak murid Bu-geh sudah datang, mengapa tidak tampil untuk bertemu?”

Terdengar orang pertama tadi bergelak tertawa dan berkata kepada kawannya, “Sabar juga bocah ini, apakah kau tahu siapa dia?”

Kawannya menjawab, “Konon penghuni Ih-hoa-kiong adalah kaum betina seluruhnya, mengapa bisa muncul seekor jantan?”

Bu-koat tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan hambar, “Cayhe Hoa Bu-koat, anak murid Ih-hoa-kiong tulen!”

“Hoa Bu-koat!” ulang orang itu. “Nama ini seperti pernah kudengar.”

“Jika begitu marilah kita keluar menemuinya,” ajak kawannya.

Belum habis ucapannya, dari tempat gelap di sudut sana mendadak kelihatan bintik-bintik hijau kemilau menyusul dua sosok bayangan orang lantas muncul.

Kedua orang ini sama-sama tinggi dan kurus kering laksana sebatang bambu. Yang satu memakai baju hijau dan yang lain berjubah kuning. Wajah mereka sama-sama gilap kehijau-hijauan seperti memakai topeng.

Usia kedua orang ini belum tua, bentuk mereka juga tidak terlalu jelek, tapi entah mengapa, setiap orang yang melihatnya tentu akan merinding dan mual.

Kawanan tikus tadi agaknya juga sudah melihat bintik-bintik hijau kemilau itu, semuanya lantas berkerumun ke sana, berlapis-lapis dan berjubel-jubel mengelilingi kaki kedua orang itu.

Dengan sorot matanya yang kehijau-hijauan si baju hijau memandang Hoa Bu-koat beberapa kejap, lalu berkata dengan terkekeh-kekeh, “Kau tahu kami ini anak murid perguruan Bu-geh, agaknya luas juga pengalamanmu. Kami jadi merasa sayang bilamana usia semuda kau ini sekarang harus mati.”

Si jubah kuning lantas menyambung dengan tertawa, “Dia bernama Gui Jing-ih (Gui si baju hijau) dan aku Gui Wi-ih (Gui si baju kuning). Sebenarnya kami tidak bermaksud membunuhmu, tapi lantaran kemunculan guru kami sekali ini tujuannya yang pertama ialah menghancurkan Ih-hoa-kiong, maka kami pun terpaksa bertindak menurut perintah.”

Meski lagaknya dia tertawa, tapi sorot matanya sama sekali tiada tanda-tanda tertawa, sebabnya mereka sengaja berlagak tertawa begini hanya ingin orang lain merasa risi sehingga kehilangan semangat tempur.

Maksud tujuan mereka memang benar tercapai. Demi mendengar suara tertawa mereka yang buruk dan seram itu serta menyaksikan mereka dikerumuni kawanan tikus sebanyak itu, ternyata tiada seorang pun di antara gadis-gadis cantik murid Ih-hoa-kiong berani bertindak terhadap mereka.

Hanya Hoa Bu-koat, biarpun menghadapi bahaya dia tetap tenang saja, walaupun mulutnya tidak bersuara, tapi matanya tidak pernah meninggalkan gerak-gerik kedua orang itu. Begitu dilihatnya bahu Gui Jing-ih sedikit bergerak, serentak Bu-koat mendahului menjulang ke atas laksana terbang, hampir berbareng dengan itu dari tangan Gui Jing-ih lantas menyambar keluar selarik sinar hijau.

Akan tetapi pada saat itu juga Bu-koat sudah menubruk ke depan, sinar hijau menyambar lewat di bawah kaki Bu-koat dan seorang gadis cantik lantas menjerit serta terkapar.

Bu-koat tidak menoleh lagi, kedua telapak tangan terus menghantam kepala Gui Jing-ih.

Gui Jing-ih tak menduga bahwa serangan lawan bisa datang begitu cepat, segera ia menggeser ke samping, sebelah tangan menangkis. Berbareng itu Gui Wi-ih juga menghantam dari samping.

Tak tahunya serangan mengapung Hoa Bu-koat ini hanya pancingan belaka, baru setengah jalan mendadak ia tarik tangannya sehingga tidak sampai beradu tangan dengan Gui Jing-ih, sebaliknya terus memutar suatu lingkaran. Seketika tangan Gui Jing-ih terasa seperti dibetot.

Selagi Gui Jing-ih terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi, tenaga betotan itu telah menarik tangannya ke samping dan entah cara bagaimana tahu-tahu serangan Gui Wi-ih dari samping itu tertangkis olehnya.

“Prak”, begitulah kedua tangan beradu, menyusul lantas “krek” satu kali, tangan Gui Jing-ih yang terlepas dari kendali itu tergetar patah oleh pukulan Gui Wi-ih yang dahsyat.

Hoa Bu-koat telah menggunakan ilmu sakti “Ih-hoa-ciap-giok” yang tiada taranya itu, dengan cepat luar biasa ia berbalik mengadu pukulan antara kedua lawan dan sekaligus berada di atas angin.

Tentu saja Gui Jing-ih dan Gui Wi-ih terperanjat. Meski Wi-ih tidak terluka, tapi ia menjadi kelabakan ketika diketahui pukulannya melukai kawannya sendiri. Saking gugupnya langkahnya menjadi kacau dan beberapa ekor tikus terinjak mampus, keruan kawanan tikus menjadi ketakutan dan lari serabutan.

Gui Jing-ih sendiri menjadi kesakitan hingga berkeringat dingin, tapi tubuhnya tidak sampai ambruk, bahkan juga pantang mundur, dengan menahan sakit ia menyisipkan lengan baju tangan yang patah tulang itu pada ikat pinggangnya, lalu hendak menerjang maju lagi.

Setelah serangannya berhasil memuaskan, Bu-koat tidak menyusuli serangan lain lagi, ia hanya berdiri saja di sana dengan mengulum senyum. Maklumlah, hanya satu kali gebrak saja ia sudah dapat menjajal kekuatan kedua lawan yang sesungguhnya tidak boleh dibuat main-main, ia tahu serangannya beruntung berhasil, namun ia tidak terburu-buru untuk menyerang lagi, ia ingin menunggu kedua seterunya masuk jaring sendiri.

Di sinilah letak perbedaan Kungfu sakti Ih-hoa-kiong dengan ilmu silat aliran lain.

Pada umumnya orang tentu mengutamakan menyerang lebih dulu dan menduduki posisi yang menguntungkan. Tapi Ih-hoa-kiong justru mengutamakan “tembak belakang kena duluan”, dengan ketenangan mengatasi kecepatan, kelihaian Kungfu Ih-hoa-kiong ialah menggunakan kepandaian lawan untuk menghantam lawan sendiri.

Sementara itu kawanan tikus sudah tersebar dan lari serabutan tanpa terkendali lagi.

Mendadak Thi Sim-lan tabahkan hati, dia patahkan sepotong kayu ruji jendela, meski badan masih terasa sakit, tapi pentung darurat itu segera berputar, kontan seekor tikus dihantamnya hingga hancur.

Sebenarnya untuk memukul tikus memang tidak memerlukan Kungfu yang tinggi, yang diperlukan cuma keberanian.

Namun kawanan tikus ini seakan-akan sudah terlatih, tidak takut manusia dan juga tidak takut mati. Kawanan tikus yang tadinya lari serabutan itu kini berbalik merubung ke arah Thi Sim-lan. Keruan si nona menjadi ngeri, tangan terasa lemas, tapi sekuatnya dia tetap ayun pentungannya pantang mundur.

Para gadis yang sembunyi di serambi sana akhirnya menjadi berani juga, salah satu di antaranya mendadak melompat maju dan ikut membunuh tikus.

Asalkan ada satu orang yang mulai dulu, segera yang lain-lain akan ikut maju. Dan asalkan seekor tikus terpukul mati, maka nyali mereka pun tambah besar.

Kawanan tikus itu pun sangat ganas, yang di depan mati, yang di belakang segera menerjang maju lagi tanpa mengenal takut. Pentung di tangan para gadis itu pun bekerja terus-menerus dan dengan sendirinya banyak pula bangkai tikus yang berserakan. Ada sementara gadis itu mulai muntah-muntah, tapi sambil muntah pentungnya tetap menghantam dan menyabet terlebih keras. Ada yang tangannya linu pegal, segera kaki digunakan untuk mendepak dan menginjak.

Sungguh suatu adegan pertempuran yang lucu dan aneh, suatu pertarungan yang memualkan pula. Belasan gadis cantik molek dengan mandi berkeringat dan napas terengah-engah sedang bertempur sengit melawan segerombolan tikus.

Rasanya jarang ada orang di dunia ini yang sempat menyaksikan pemandangan aneh ini.

Kini para gadis itu sudah lupa takut dan juga lupa akan ilmu silatnya, mereka bunuh kawanan tikus itu menurut kemampuan mereka yang asli. Singkatnya, pertempuran aneh dan memualkan itu kemudian berakhir, kawanan tikus kalah habis-habisan, sebagian besar mati terbunuh, sebagian kecil kabur.

Sambil memandangi bangkai tikus yang berserakan, para gadis memandangi pula tangan sendiri, mereka hampir-hampir tidak percaya kawanan tikus itu mati dibunuh mereka. Benar-benar seperti impian buruk.

Kemudian, pentung mereka buang, banyak yang mulai muntah-muntah pulas, ada lagi yang berteriak dan tertawa, ada juga yang saling rangkul dan menangis.

Suasana ini biasanya tidak mungkin terjadi di Ih-hoa-kiong, tapi kini semua itu telah terjadi, sebabnya setelah terjadi pertarungan sengit tadi, para gadis itu merasa lega dan impas.

Hanya Thi Sim-lan saja, begitu pertempuran berhenti, segera dia pergi mencari Hoa Bu-koat.

Hoa Bu-koat ternyata tidak kelihatan lagi. Gui Jing-ih dan Gui Wi-ih juga menghilang.

Dengan langkah tergopoh-gopoh Thi Sim-lan mencari kian kemari, hatinya cemas, khawatir dan takut pula. Tadi karena perhatiannya dicurahkan untuk menghadapi kawanan tikus sehingga dia lupa mengikuti pertarungan di sebelah sini.

Meski ilmu silat Hoa Bu-koat sangat tinggi, tapi kedua penyatron yang berani menerobos ke Ih-hoa-kiong masakah kaum lemah? Dengan satu lawan dua rasanya Hoa Bu-koat sukar menghadapi mereka. Apalagi sekujur badan kedua orang itu seakan-akan membawa perbawa yang seram, bukan mustahil mereka memiliki ilmu gaib dan dapatkah Bu-koat melawan mereka?

Hampir gila Thi Sim-lan saking cemasnya karena sebegitu jauh belum lagi Bu-koat ditemukan.

Sekonyong-konyong dilihatnya sesosok mayat membujur di semak-semak bunga sana.

Syukurlah orang ini bukan Hoa Bu-koat melainkan Gui Jing-ih adanya. Lengan kanannya tampak kutung sebatas siku, dada berlubang dan berlumur darah, wajahnya yang hijau seram itu pun sudah bengkak sehingga tampak sangat menakutkan.

Lekas Thi Sim-lan mengalihkan pandangannya, dilihatnya lagi tangan kiri Gui Jing-ih, tangan yang mirip cakar setan ini juga berlepotan darah, antara jari tengah dan jari telunjuknya itu masih lengket dua biji bola mata berdarah. Jelas biji mata orang yang kena dicolok mentah-mentah olehnya.

Thi Sim-lan menjerit dan roboh terkulai.

Jelas Bu-koat telah mengalami malapetaka, sepasang mata anak muda itu kini sudah .... Ia tidak berani berpikir lagi, dengan gemetar ia cukit kedua bola mata itu dari jari Gui Jing-ih, dipandangnya bola mata yang berlumur darah itu. Tanpa terasa air matanya bercucuran.

Tiba-tiba didengarnya suara orang bernapas berat dan memburu, seperti pernapasan binatang buas yang terluka parah, suara ini datang dari bawah tebing sana.

Sekuatnya ia memburu ke sana dengan setengah merangkak. Terlihatlah seorang dengan muka berlumuran darah dan kedua tangan terpentang sedang berjongkok di bawah pohon sana dengan napas terengah-engah, kedua lekuk matanya tampak bolong berujud lubang berdarah.

Tapi orang ini bukan Hoa Bu-koat melainkan Gui Wi-ih adanya.

Jelas di bawah kesaktian Kungfu Ih-hoa-kiong yang khas, yaitu “Ih-hoa-ciap-giok”, yang dimainkan oleh Hoa Bu-koat, maka biji matanya tercolok oleh kawannya sendiri.

Namun begitu murid perguruan “Tanpa Gigi” itu belum lagi roboh.

Thi Sim-lan merasa lega setelah melihat yang mukanya berlumuran darah itu bukan Hoa Bu-koat, tapi demi melihat muka berlumuran darah itu, tanpa terasa ia menggigil ketakutan. Syukur segera dilihatnya pula Hoa Bu-koat.

Saat itu Bu-koat berdiri di bawah pohon di depan Gui Wi-ih. Rambutnya yang biasanya teratur rapi itu tampak kusut, pakaiannya yang rajin telah terkoyak-koyak, wajahnya yang senantiasa tenang pun penuh berkeringat.

Jelas kelihatan ketegangan pemuda itu, dengan mata tanpa berkedip dia menatap sepasang tangan Gui Wi-ih.

Meski kedua orang sama-sama berdiri tidak bergerak, tapi suasana terasa sangat tegang, sampai-sampai Thi Sim-lan yang berdiri jauh di atas tebing juga menahan napas.

Sekonyong-konyong Gui Wi-ih menggerung keras-keras terus menubruk ke arah Bu-koat, walaupun matanya sudah buta, tapi ia masih dapat mendengarkan dengan jelas. Tubrukan ini sangat dahsyat, bahkan sangat jitu arahnya.

Sekarang Gui Wi-ih bukan lagi manusia, tapi lebih mirip seekor binatang buas yang gila, tubrukannya ini menyerupai singa lapar, pada hakikatnya sukar ditahan oleh tenaga manusia.

Saking tak tahan Thi Sim-lan menjerit.

Tapi pada detik itu juga, kedua tangan Hoa Bu-koat bergerak, dua biji batu kecil terselentik ke depan, ia sendiri terus menerobos lewat di bawah ketiak Gui Wi-ih dengan gerakan secepat kilat.

Gerakan yang berbahaya ini sungguh sukar untuk dilukiskan. Maka terdengarlah suara “krak-krek”, pohon sebesar paha di belakang Hoa Bu-koat, itu telah di tumbuk patah oleh tubuh Gui Wi-ih.

Gu Win-ih sendiri bahkan tidak roboh, sekali loncat, segera ia membalik tubuh, kepalanya menoleh kian kemari, teriaknya dengan menyeringai, “Hoa Bu-koat, kutahu kau berada di mana, kau takkan dapat kabur. Pendek kata hari ini kau dan aku tiada satu pun yang dapat lolos, aku harus mati bersamamu di sini.”

Padahal dia tidak tahu Hoa Bu-koat berada di mana, Bu-koat sudah berada pula di depannya, sedangkan kepala Gui Wi-ih masih terus berpaling ke sana dan ke sini. Maklumlah, indera pendengarannya telah dikacaukan oleh dengingan kedua biji batu yang diselentikkan oleh Hoa Bu-koat tadi.

Melihat keadaan Gui Wi-ih yang mengerikan itu, Thi Sim-lan merasa takut dan juga kasihan, bilamana Hoa Bu-koat tidak dalam keadaan bahaya. Sungguh ia tidak tega melihatnya lagi.

Jelas Bu-koat juga tidak sampai hati, tanpa terasa ia menghela napas menyesal, ucapnya dengan terharu, “Kuhormati kau sebagai lelaki perkasa, di sinilah aku berada, jika kau ingin mengadu jiwa, silakan maju saja!”

Sekujur badan Gui Wi-ih tampak mengejang, mukanya yang berlumuran darah itu berkedut-kedut, teriaknya dengan parau dan tertawa latah, “Orang she Hoa, kau tahu aku tidak dapat membinasakanmu, makanya kau berlagak kasihan padaku bukan?”

Dengan menyesal Bu-koat menjawab, “Sesungguhnya aku tidak tega bergebrak lagi denganmu, kukira lebih baik kau ....”

Sekonyong-konyong Gui Wi-ih berjingkrak murka, teriaknya, “Aku tidak memerlukan belas kasihanmu ... seumpama aku tidak dapat menemukanmu juga tidak perlu kau ....”

Suaranya kedengaran serak dan juga semakin lemah, tapi masih terus merintih, meski bukan menangis, namun jauh lebih memilukan dari pada menangis.

Saking tak tahan Thi Sim-lan ikut mencucurkan air mata, biarpun Gui Wi-ih adalah manusia yang paling kejam di dunia ini juga tidak tega menyaksikan penderitaannya itu. Ia tahu penderitaan lahiriah Gui Wi-ih benar-benar sukar bertahan pula, tapi penderitaan batinnya jelas terlebih hebat daripada siksaan lahiriahnya.

Tanpa terasa ia berseru, “Lekas kau pergi saja, kutahu Hoa-kongcu pasti takkan ... takkan merintangimu.”

“Pergi?” teriak Gui Wi-ih dengan parau. “Hahaha, masa kau tidak tahu bahwa anak murid Bu-geh boleh dibunuh tapi tidak boleh dihina ....”

Di tengah gelak tertawa latahnya itu, sekonyong-konyong ia gunakan sepenuh tenaganya yang masih tersisa untuk meloncat tinggi ke atas tebing, menubruk ke arah Thi Sim-lan sambil menyeringai, “Tidak seharusnya kau ikut bicara, walaupun aku tidak dapat membunuh Hoa Bu-koat tapi dapat membunuh kau!”

Thi Sim-lan jadi terkesima kaget melihat bentuk Gui Wi-ih yang kalap itu sehingga lupa menghindar. Tahu-tahu Gui-Wi-ih sudah menubruk tiba, kedua lengannya sekuat belenggu lantas mengempit Thi Sim-lan dengan keras, berbareng ia berteriak sambil tertawa, “Haha, andaikan harus mati juga ingin kucari seorang teman seperjalanan. Hahahaha!”

Seketika Thi Sim-lan merasa sekujur badannya mengencang dan seakan-akan retak, wajah orang yang berlumuran darah dengan dua lubang berdarah itu tepat berada di depan hidungnya, keruan takutnya tidak kepalang sehingga tidak dapat bersuara pula.

Syukur segera terdengar “bluk” satu kali, suara tertawa latah Gui Wi-ih itu mendadak putus, kedua lengannya yang memeluk erat-erat itu pun mendadak kendur, lalu menyurut mundur dua-tiga tindak terus terjungkal ke bawah tebing.

Dalam pada itu Hoa Bu-koat sudah berdiri di depan Thi Sim-lan. Tanpa terasa si nona menubruk ke dalam rangkulan Hoa Bu-koat dan menangis keras-keras.

Perlahan Bu-koat membelai rambut si nona, ucapnya dengan terharu, “Sebenarnya aku tidak tega membunuh dia, tapi ....”

“Aku yang salah,” ucap Sim-lan sambil menangis, “tidak seharusnya aku ikut bicara, kalau tidak, tentu engkau takkan terpaksa membunuh seorang yang sudah buta. O, aku ... mengapa aku selalu membikin kacau urusan.”

“Kau kira kau yang salah? Kau cuma berhati lemah, tapi tidak salah. Maksudmu ingin membikin baik setiap persoalan dan telah berusaha sekuat tenagamu.”

“O, engkau selalu begini baik padaku, sebaliknya aku ... aku ....” dengan terguguk-guguk mendadak Thi Sim-lan mendorong pergi Hoa Bu-koat dan menunduk, “... aku selalu bersalah padamu.”

Bu-koat tidak berani memandang si nona lagi, ia berpaling ke sana dan menatap mayat Gui Wi-ih yang menggeletak kaku itu, gumamnya sambil menghela napas panjang, “Anak murid perguruan Bu-geh, betapa lihainya murid Gui Bu-geh. Wahai Kang Siau-hi, dapatkah kau menghadapi mereka?”

Hanya sepatah kata saja persoalannya lantas dialihkannya pada diri Kang Siau-hi.

Benar juga, tubuh Thi Sim-lan tergetar, rasa terima kasih dan cintanya kepada Hoa Bu-koat ternyata segera berubah menjadi perhatiannya terhadap Siau-hi-ji.

Dengan gegetun Bu-koat berucap pula, “Anak murid Gui Bu-geh saja sudah begitu lihai, apalagi Gui Bu-geh sendiri? Wahai Kang Siau-hi, betapa pun aku ikut berkhawatir bagimu.”

Thi Sim-lan tidak tahan lagi, segera ia bertanya, “Kang Siau-hi, apakah dia telah ....”

Baru sekarang Bu-koat menoleh dan menjawab dengan suara berat, “Saat ini mungkin dia sudah sampai di Ku-san dan mungkin sudah hampir berhadapan dengan Gui Bu-geh.”

*****

Esoknya Bu-koat dan Thi Sim-lan lantas berangkat langsung ke Ku-san.

Seperti sengaja dan juga seperti tidak sengaja Bu-koat selalu mempertahankan jarak tertentu dengan Thi Sim-lan, pada waktu berjalan ia selalu mengintil di belakang si nona, waktu makan ia sengaja berkutak-kutek pekerjaan lain, setelah Sim-lan hampir selesai makan barulah dia mulai makan. Bila bermalam juga dia tidak minta kamar sebelah-menyebelah melainkan mencari kamar yang agak berjauhan.

Perasaan mereka seakan-akan sangat berat, sepanjang hari jarang beromong apalagi tertawa.

Orang-orang di sepanjang jalan diam-diam sama kagum melihat muda-mudi yang cakap dan cantik itu. Tapi tiada yang tahu bahwa hati mereka sebenarnya kacau seperti benang kusut dan pedih tak terkatakan.

Yang mereka perhatikan adalah keselamatan Siau-hi-ji. Kini “Yan Lam-thian” sudah mati, di dunia ini hampir tiada seorang pun yang benar-benar mau menolong Siau-hi-ji dengan setulus hati.

Sebaliknya musuh Siau-hi-ji bukan saja teramat banyak, bahkan setiap musuhnya adalah tokoh paling lihai jaman kini. Sekarang dia pergi ke Ku-san sendirian, memangnya dia dapat kembali dengan hidup?

Kini, hampir setiap tokoh yang berbahaya di Kangouw seakan-akan sudah berkumpul di Ku-san, makanya di tempat lain tampaknya aman tenteram.

Sudah dua hari mereka dalam perjalanan, waktu bermalam lagi hari ini, dini sekali Hoa Bu-koat masuk kamarnya, tapi mana dia dapat tidur. Dia hanya duduk termenung.

Angin meniup dari celah-celah jendela, api lilin di atas meja terkadang tertiup memanjang, habis itu lantas menyurut pendek lagi, lilin terus lumer dan menetes ke bawah dan makin pendeklah batang lilin itu sehingga tatakan lilin pun hampir penuh oleh cairannya.

Bu-koat memandangi api lilin itu dengan termangu-mangu, hatinya berpikir mengenai Siau-hi-ji, mengenai Thi Sim-lan dan juga teringat kepada Ih-hoa-kiong. Lalu teringat pula kepada “Tong-siansing” yang misterius itu.

Setiap orang itu seakan-akan telah membuat sesuatu persoalan yang sukar diselesaikan olehnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Tiba-tiba terdengar orang mengetuk pintu perlahan.

Bu-koat menyangka pelayan yang datang buat menambah air teh, maka tanpa pikir ia berseru, “Pintu tak terkunci, masuklah!”

Tak tersangka olehnya bahwa yang melangkah masuk kemudian ternyata Thi Sim-lan adanya.

Di bawah sinar lampu terlihat si nona memakai baju putih bersih, rambutnya yang hitam gompiok semampir di atas pundak, kelopak matanya kelihatan rada bengkak dan karena itu kerlingan matanya menjadi lebih samar.

Begitu masuk kamar, Sim-lan lantas menunduk.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes