Wednesday, May 12, 2010

bp3_part1

Jilid 3. Bhakti Pendekar Binal
Sementara itu Siau-hi-ji sudah berdandan kembali sebagai pegawai toko obat itu dan tidur di kamarnya di bagian belakang toko.

Kemudian Samkohnio pun tiba, sekali ini nona gede ini tidak berkaok-kaok lagi dari balik jendela melainkan terus menerobos masuk ke kamar dan setengah mendongkol ia mengomeli anak muda itu, “He, selama dua hari ini kau ke mana, tahukah betapa gelisah orang mencarimu?”

Siau-hi-ji kucek-kucek matanya yang masih mengantuk, jawabnya dengan tertawa, “Jika kau benar gelisah lantaran aku, maka kau harus membantu sesuatu padaku.”

“Bilakah pernah kutolak permintaanmu?” omel Samkohnio dengan suara perlahan.

“Tapi urusan ini sama sekali tidak boleh kau katakan kepada orang ketiga.”

“Memangnya kau tidak percaya padaku?” ucap Samkohnio sambil menunduk.

“Baiklah, ingin kutanya lebih dulu, selama dua hari ini apakah kau lihat Kang Giok-long?”

“Tidak,” jawab si nona gede.

Siau-hi-ji memandangnya dengan terbelalak, katanya pula, “Coba ingat-ingat lagi, adakah salah seorang yang berada di sekitar Kang Piat-ho itu mungkin adalah samaran Kang Giok-long?”

Samkohnio lantas mengingat-ingat kembali, lalu menjawab tegas, “Tidak ada, pasti tidak ada, selama dua hari ini Kang Giok-long jelas tidak berada di sini.”

Siau-hi-ji merasa lega, katanya, “Itu dia, perasaan perempuan walau rada membingungkan, tapi terkadang juga jitu. Jika kau sudah yakin demikian halnya, rasanya Kang Giok-long memang betul tidak sedang di sini.”

“Kau memanggilku ke sini hanya ingin menanyakan dia?” tanya Samkohnio dengan rasa hampa.

“Soalnya dia ada sangkut-paut yang sangat erat dengan dirimu,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jangan ngaco, memangnya ada sangkut-paut apa antara aku dengan dia?” omel si nona.

“Tahukah bahwa uang kiriman ayahmu itu justru dirampok olehnya?”

“Apa katamu? Masa begitu?” seru Samkohnio.

“Selama dua hari ini mendadak dia menghilang, pertama karena dia ingin menghindarkan diriku, kedua, kepergiannya ini justru hendak menyembunyikan harta rampokan itu pada suatu tempat yang baik, soalnya dia mengetahui, rahasia yang kuketahui jauh lebih banyak daripada sangkaannya.”

Samkohnio berkedip-kedip, tanyanya kemudian, “Sesungguhnya kau ini siapa? Mengapa dia begitu takut padamu?”

“Bicara sungguh-sungguh, sampai saat ini dia memang belum mengetahui siapa diriku ini.”

Samkohnio terdiam sejenak, lalu berkata pula dengan perlahan, “Tapi aku tak peduli kau ini siapa, aku ....”

Mendadak Siau-hi-ji menyela, “Asalkan dugaanku tidak meleset, asalkan dia tidak berada di sini, maka rencanaku pasti akan berhasil. Untuk ini kau harus bantu mengawasi dia bagiku, begitu dia pulang hendaklah cepat kau beritahukan padaku.”

“Sesungguhnya apa rencanamu? Mengapa rencanamu baru akan berhasil bilamana Kang Giok-long tidak berada di sini?”

Siau-hi-ji menarik tangan si nona, katanya dengan suara lembut, “Urusan ini pasti akan kau ketahui nanti, sekarang kumohon engkau jangan bertanya.”

Di dunia ini kalau ada sesuatu yang dapat membuat perempuan tutup mulut, maka itu adalah ucapan mesra sang kekasih.

Benar saja, Samkohnio lantas tutup mulut dan tidak tanya lebih lanjut. Dia menunduk, lalu berucap dengan perlahan, “Tia ... tiada ucapan lain lagi yang ingin kau katakan padaku?”

“Malam nanti, lewat tengah malam, harap engkau menunggu di luar pintu belakang taman rumahmu .... “

Seketika mata Samkohnio memancarkan cahaya kegirangan, tukasnya dengan suara rada gemetar, “Malam ... malam nanti ... di ... di taman ....”

“Betul, jangan lupa, hendaklah menunggu tepat pada waktunya.”

“Tidak mungkin kulupakan, biarpun langit akan ambruk juga akan kutunggu di sana tepat pada waktunya.”

Dengan tertawa genit ia lantas melangkah pergi dengan bayangan pertemuan mesra tengah malam yang indah nanti.

Maklumlah, janji pertemuan rahasia bagi gadis yang sedang kasmaran memang gaib dan penuh rasa bahagia, tiada urusan lain di dunia ini yang dapat menggetarkan hati mereka kecuali janji pertemuan dengan sang kekasih.

Siangnya Siau-hi-ji terus putar kayun kian kemari ke segenap pelosok kota, banyak restoran dan rumah minum yang dilaluinya, tapi ia tidak masuk ke situ, sebaliknya dia mendatangi sebuah warung bakmi yang kecil dan kotor di ujung timur kota. Jelek-jelek warung bakmi ini pun punya nama yang indah, yakni “Su-hiang-koan” atau “rindu kampung halaman”.

Siau-hi-ji menghabiskan semangkuk besar pangsit mi serta beberapa biji siomoy, lalu menyuruh si pemilik restoran orang Santung yang tampaknya sudah lebih dari tiga tahun tidak pernah mandi itu memberikan alat tulis dan beberapa puluh helai kertas.

Ia memulai menulis dengan huruf sebesar kepalan, semua kertas itu ditulisnya dengan huruf yang sama, rupanya ia menulis selebaran yang berbunyi, “Sahabat yang sok senang (Khay-sim), malam nanti antara pukul sembilan seorang she Li menanti kedatanganmu di Su-hiang-koan yang terletak di sudut timur kota, mau tak mau kau harus datang”.

Habis menulis, dia menyewa dua-tiga orang gelandangan agar menyebarkan pelakat-pelakat itu ke segenap penjuru kota dan ditempelkan di tempat-tempat yang mencolok mata.

Sudah tentu orang Santung itu terheran-heran memandangi kelakuan Siau-hi-ji yang aneh itu. Namun Siau-hi-ji tidak ambil pusing, dia mendatangi toko rombengan untuk membeli seperangkat pakaian bekas warna hitam, lalu dibelinya di toko kelontong beberapa macam alat rias. Akhirnya ia mendapatkan sebuah hotel yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, ia minta kamar yang ada cerminnya, di situlah ia telanjang bulat dan tidur sepuasnya.

Waktu mendusin hari pun hampir magrib. Menghadapi cermin, seperti anak gadis saja Siau-hi-ji bersolek sekian lamanya, pakaian hitam itu dipakainya, lalu dia beraksi di depan cermin .... Hah, mana bisa orang mengenalnya lagi sebagai Kang Siau-hi melainkan mirip Li Toa-jui yang gemar daging manusia itu.

Siau-hi-ji sendiri pun sangat puas akan hasil samarannya ini, dia tertawa dan bergumam, “Haha, walaupun tidak persis seratus persen, tapi mengingat Pek Khay-sim itu sudah puluhan tahun tidak pernah berjumpa dengan Li Toa-jui, apalagi di tengah malam gelap, rasanya sudah bolehlah.”

Perawakan Siau-hi-ji memang juga tidak pendek, setelah mengalami gemblengan selama dua tahun ini tubuhnya telah menjadi kekar, kalau membusungkan dada, bukan saja hampir serupa dengan Li Toa-jui bahkan potongan tubuh dan tegapnya juga hampir sama, kalau tidak di teliti dengan cermat, bahkan orang yang setiap hari bertemu dengan Li Toa-jui juga sukar membedakannya.

Pakaian yang bekas dipakainya itu digulung menjadi satu, lalu dimasukkan ke kolong selimut sehingga kalau dipandang dari luar kelihatan ada orang sedang tidur nyenyak.

Habis itu ia menulis pula dengan peralatan yang ada di situ sepucuk surat untuk Kang Piat-ho, ia menulis dengan tangan kiri sehingga kelihatan reyat-reyot, begini bunyinya: “Kang Piat-ho, putramu dan harta pengawalan yang kalian rampok itu telah jatuh di tangan Tuanmu sekarang, jika kau ingin berunding dengan syarat tertentu, silakan datang tengah malam nanti di sutheng yang berada di luar kota”.

Dia tutup sampul surat itu dan di atasnya ditulis pula, “Kepada Kang Piat-ho pribadi, orang lain dilarang membaca”.

Setelah simpan surat itu di dalam baju, Siau-hi-ji bergumam dengan tertawa, “Kang Giok-long tidak berada di kota, besar kemungkinan sedang mengatur penyimpanan harta rampokannya, asalkan malam ini dia tidak pulang, tentu Kang Piat-ho akan masuk perangkapku, biarpun dia selicin belut, seumpama dia tidak percaya penuh juga pasti akan sangsi dan tengah malam nanti saking tak tahan dia pasti akan datang ke tempat yang kusebut itu.”

Dia tertawa puas, lalu memberosot keluar melalui jendela.

Setiba di rumah makan Su-hiang-koan itu, sementara itu cuaca sudah mulai gelap. Inilah saatnya orang makan malam, tapi Su-hiang-koan itu ternyata tiada pengunjungnya, bahkan orang Santung itu pun tidak kelihatan, hanya seorang tamu tampak sedang minum arak sendirian.

Orang ini memakai baju sutera baru, di atas kopiah yang dipakainya tersunting sebiji mutiara yang bercahaya, dandanannya mirip saudagar kaya, tapi sikapnya ala buaya darat, dia tidak duduk secara beraturan, tapi nongkrong di atas bangku sambil minum arak, sepasang matanya jelilatan seperti maling khawatir konangan.

Ketika Siau-hi-ji masuk rumah makan itu dengan langkah lebar, dengan terbahak langsung ia menegur, “Aha, anak baik, kau ternyata datang benar? Sudah sekian tahun tidak berjumpa, kau keparat ini ternyata belum melupakan kawanmu orang she Li ini dan telah menunggu tepat pada waktunya.”

Sejak kecil Siau-hi-ji berkumpul dengan Li Toa-jui, dengan sendirinya lagak-lagunya mirip benar cara menirukan tokoh Cap-toa-ok-jin yang disegani itu.

Tak terduga orang itu cuma mendelik saja, jawabnya sambil menarik muka, “Memangnya kau ini siapa? Aku tidak kenal.”

“Hah, masa ingin mengelabui aku, meski kau berdandan menyerupai manusia, tapi bentukmu yang lebih mirip monyet ini tetap sukar diubah,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Akhirnya orang itu bergelak tertawa, katanya, “Kau keparat yang suka makan manusia tanpa buang tulang ini, setelah sekian tahun tidak berjumpa, caramu bicara dengan bapakmu masih tetap kasar begini?”

Siau-hi-ji duduk di depannya, di atas meja sudah ada dua pasang sumpit dan dua cawan, tapi masakan Ang-sio-bak hanya satu mangkuk. Siau-hi-ji mengernyitkan dahi, katanya, “Tampaknya kau maling rudin ini semakin lama semakin bangkrut, lekas panggil si Santung itu, biar kusuguh kau makan sepuasnya.”

“Dia takkan muncul lagi?” jawab orang itu yang bukan lain daripada Pek Khay-sim adanya.

“Mengapa? Di mana dia?” tanya Siau-hi-ji.

Dengan tertawa Pek Khay-sim menunjuk Ang-sio-bak itu dan berkata, “Dia berada di dalam mangkuk ini.”

Siau-hi-ji tidak terpengaruh oleh keterangan itu, katanya dengan terbahak, “Hahaha, tampaknya kau pintar menjilat pantat, kau masih ingat bapakmu gemar makan apa, maka lebih dulu sudah kau sediakan. Cuma Santung tua itu sudah bertahun-tahun tidak mandi, mungkin dagingnya berbau apek.”

“Jangan khawatir, sebelumnya sudah kucuci bersih dari kepala hingga kakinya, habis itu baru masuk kuali,” ucap Pek Khay-sim dengan nyekikik, segera dia angkat cawan menyuguh Siau-hi-ji satu cawan penuh, lalu menuanginya pula satu cawan.

“Hm, kau benar-benar putra berbakti,” Siau-hi-ji berolok-olok dengan tertawa. Terpaksa dia menyumpit sepotong Ang-sio-bak, tapi baru saja dikunyah dua kali, mendadak ditumpahkannya, lalu berkata dengan melotot, “Huh, ini daging apa? Berani kau palsukannya sebagai daging manusia?”

Mendadak Pek Khay-sim berkeplok gembira, katanya, “Hehe, orang she Li, kau memang hebat, mulutmu yang kotor ini sekali coba lantas tahu daging apa, memangnya tak kau pikirkan apakah aku sudi menyembelih orang hanya untuk memenuhi seleramu?”

Rupanya Pek Khay-sim sengaja menggunakan cara ini untuk menguji apakah yang hadir ini benar-benar Li Toa-jui tulen atau bukan. Sudah tentu Siau-hi-ji merasa geli, ia pun tidak membongkar persoalan ini, dengan mendelik ia berkata, “Habis kalau anak tidak berbakti kepada bapak sendiri mau berbakti kepada siapa? Santung tua itu memang kotor, tapi dagingnya cukup gempal, memang sudah lama aku ingin menyembelihnya untuk diolah menjadi Ang-sio-bak, sekarang kau telah kemanakan dia?”

“Dia telah pulang kampung halamannya, rumah makan ini sudah kubeli. Haha, dia menerima lantakan emas yang kutuang tengahnya dengan timah, malahan dia sangat senang mengira mendapatkan pembeli yang picak dan menyangka aku yang tertipu.”

“Tapi untuk apakah kau membeli rumah makan brengsek ini? Kau memang telah berhasil menipu dia, tapi bapakmu menjadi gagal makan Ang-sio-bak. Ai, sifat malingmu yang suka ‘merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri’ itu tampaknya selama hidup takkan berubah.”

“Sifatku tak dapat berubah, tapi sifat malingmu apakah dapat berubah? Anjing tetap makan tahi, sifat ini tidak mungkin berubah .... Eh, sudah sekian tahun kau mengkeret di sarang anjingmu, untuk apa mendadak muncul di sini?”

Dengan mata melotot Siau-hi-ji berseru, “Ingin kutanya kau lebih dulu, kau memalsukan namaku serta mengirimkan panji berdukacita atas kematian Thi Bu-siang, lalu memalsukan namaku pula setelah menyembelih pelayan orang, sesungguhnya apa kehendakmu?”

Pek Khay-sim melengak, katanya kemudian, “Jadi kau tahu semuanya?”

“Memangnya urusan apa yang dapat mengelabui mataku?” jawab Siau-hi-ji dengan tergelak.

“Ya, orang-orang itu terlalu iseng, maka aku sengaja mencarikan pekerjaan buat mereka, kumasak daging manusia dan mengundang tamu untuk memakannya, tapi diam-diam aku sendiri menyampaikan laporan rahasia kepada keluarga yang bersangkutan, dengan demikian mereka berdua pihak akan saling labrak habis-habisan dan dengan demikian pula aku menjadi senang .... Coba katakan secara jujur, apa yang kulaksanakan itu bagus atau tidak?”

“Herannya kedua bocah she Cin dan Lamkiong itu mau percaya begitu saja kepada laporan orang yang tak dikenal, jika aku yang dapat laporan, tentu akan kubekuk kau lebih dulu untuk ditanyai dari mana kau tahu ada orang sedang makan daging manusia?”

“Untuk menyampaikan laporan itu masa aku tak dapat mengirim surat kaleng saja, buat apa aku pergi ke sana sendiri?”

“Hanya sepucuk surat kaleng saja lantas dipercaya oleh mereka?”

“Biarpun tidak percaya, mau tak mau mereka akan melihatnya ke tempat yang kusebut itu.”

Mendadak Siau-hi-ji menggebrak meja dan berseru, “Tepat, memang kalimat inilah yang ingin kudengar dari mulutmu.”

Pek Khay-sim tampak heran, katanya, “Kau sedang merancang akal setan apalagi untuk menjebak aku?”

“Kau telah memalsu nama, untuk sementara dapat kukesampingkan persoalan ini dan takkan kuhukum, asalkan saja kau menulis lagi sepucuk surat kepada bocah she Cin dan Lamkiong itu. Mereka sudah membuktikan bahwa isi suratmu yang pertama itu memang tidak dusta, maka suratmu yang kedua pasti semakin dipercaya oleh mereka.”

“Lalu surat apa maksudmu?” tanya Pek Khay-sim.

“Dengan sendirinya surat untuk membikin susah orang, kalau bukan surat beginian masakah kau mau menulisnya?”

“Hehehe, jika surat untuk membikin celaka orang memang dapat kulakukan bagimu. Entah siapa yang menjadi sasaran perangkapmu ini?”

“Tentang siapa sasarannya kelak pasti akan kau ketahui. Yang penting harus kau beritahukan kepada mereka agar tengah malam nanti mereka datang ke halaman belakang rumah Toan Hap-pui, di sana mereka pasti akan melihat sesuatu yang sangat menyenangkan mereka. Harus kau tegaskan supaya datang tengah malam tepat, tidak boleh lebih dini dan tidak boleh lebih lambat”.

“Tapi kalau tuanmu tidak mau menulis, lalu bagaimana?” ucap Pek Khay-sim.

“Kutahu kau pasti mau menulis,” bujuk Siau-hi-ji. “Mustahil kau dapat tidur nyenyak jika ada kesempatan mencelakai orang tapi tidak kau lakukan. Apalagi, jika kau tidak mau menulis surat ini tetap aku ada cara lain yang dapat memaksa kau.”

Sampai di sini mendadak ia keluarkan surat yang telah disiapkan untuk Kang Piat-ho itu, berbareng ia padamkan lampu di atas meja.

Seketika air muka Pek Khay-sim berubah dan berseru, “He, apa yang kau lakukan?”

Siau-hi-ji mendesis, “Ssst, jangan bersuara, ada orang datang hendak menangkap kita, lekas bersiap-siap untuk lari.”

Belum lenyap suaranya, benar saja di luar jendela sudah ada sinar golok berkelebat. Lalu seorang telah membentak, “Orang she Li dan orang she Pek, kejahatan kalian sudah kelewat takaran, hari ini kalian jangan harap akan bisa kabur lagi. Ayolah keluar untuk terima kematian!”

Dalam kegelapan tertampak bayangan orang berseliweran di luar, agaknya rumah makan ini sudah terkepung rapat.

Segera terdengar suara orang membentak, “Li Toa-jui, kabarnya kau bermaksud memperbaiki kelakuanmu dan kembali ke jalan yang baik. Jika benar-benar ada niat demikian, lekaslah kau menyerahkan diri saja, akan kujamin jiwamu dengan kehormatan pribadiku.”

Untuk sejenak Pek Khay-sim melenggong, gumamnya kemudian, “Aneh, dari mana orang-orang ini mendapat tahu bahwa kita berada di sini?”

“Orang ini bermulut manis, tentu Kang Piat-ho adanya,” kata Siau-hi-ji.

“Ya, memang dia,” kata Pek Khay-sim.

“Marilah kita menerjang keluar melalui arah ini,” ajak Siau-hi-ji.

“Apa katamu? Menerjang keluar dengan arah yang dijaga orang yang berkepandaian paling kuat? Memangnya kau sudah gila?”

“Jangan khawatir, aku ada akal,” ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Sementara itu orang di luar itu sedang membentak pula, “Jika kalian tidak memberi jawaban, segera kami menerjang masuk.”

Padahal orang-orang sama jeri terhadap Cap-toa-ok-jin yang termasyhur itu, seketika tiada seorang pun yang berani menerjang ke dalam rumah yang gelap gulita ini.

Mendadak Siau-hi-ji berbangkit sambil membentak, “Ini dia Li Toa-jui, tunggulah kalian.” Berbareng ia angkat sebuah bangku terus dilemparkan keluar jendela sebelah barat.

Nama “Li Toa-jui” agaknya cukup menakutkan, begitu bangku melayang keluar, serentak di sebelah sana terjadi kegaduhan, beberapa senjata sekaligus menyerang dan semuanya mengenai bangku itu.

Waktu Siau-hi-ji melompat keluar jendela kontan ia pun disambut oleh bacokan dua batang golok. Tapi sekali meraung, kaki kiri Siau-hi-ji melayang, salah satu golok itu segera tertendang mencelat.

Menyusul mana Siau-hi-ji lantas melompat lewat di atas kepala orang kedua, sebelah kakinya menginjak ke bawah dan tepat mengenai orang itu, seketika orang itu patah lehernya.

Gerakan kaki menendang dan mendepak Siau-hi-ji ini sebenarnya bukan ilmu silat yang tinggi, tapi setelah diubah sedikit olehnya, seketika-dua jagoan kena dikalahkan.

Maklumlah, kitab pusaka ilmu silat yang ditemukannya di bawah tanah bersama Kang Giok-long tempo hari itu berisi intisari berbagai aliran silat di dunia ini, setelah dia pelajari dan menyelami dengan baik selama dua tahun ini, setiap jurus gerakan yang sederhana bila dimainkannya sudah dapat diubah menjadi tipu serangan yang ajaib tanpa dikenal orang lain akan asal-usul ilmu silatnya ini.

Begitulah maka terdengar seorang menjerit kaget, “Awas, orang she Li ini benar-benar lihai …” belum habis ucapannya, “plak”, menyusul lantas terdengar seorang bergelak tertawa, mungkin yang bicara itu telah kena digampar sekali oleh Pek Khay-sim.

Setelah merobohkan dua orang, menyusul dengan sekali jotos Siau-hi-ji membuat seorang mencelat lagi. Pada saat itulah sekonyong-konyong sinar pedang gemerlap, seorang telah mengadang di depannya.

“Li Toa-jui, meski lihai kepandaianmu, tapi jangan harap bisa lolos hari ini!” demikian jengek orang itu, berbareng pedangnya telah menusuk beberapa kali, semuanya serangan mematikan.

Tanpa memandang juga Siau-hi-ji tahu pengadang ini adalah Kang Piat-ho, berturut-turut ia pun mengegos beberapa kali tanpa balas menyerang, tapi dengan suara tertahan ia berkata, “Apakah kau ingin tahu di mana beradanya putramu beserta harta rampokannya itu?”

Pedang Kang Piat-ho menjadi agak kendur dan bertanya, “Apa katamu?”

Siau-hi-ji mencobloskan surat yang sudah disiapkan itu ke ujung pedang Kang Piat-ho sambil berkata, “Boleh kau membacanya dulu.”

Kang Piat-ho menjadi serba repot dan ragu apakah mesti menarik kembali pedangnya untuk membaca surat itu atau tetap ditusukkan. Pada detik itulah Siau-hi-ji telah menyelinap lewat di sampingnya.

Sekali berteriak aneh, cepat sekali Pek Khay-sim juga melayang ke sana. Ketika beberapa orang mengejar tiba, namun bayangan Siau-hi-ji dan Pek Khay-sim sudah menghilang.

Setelah kabur ke dalam hutan yang gelap barulah mereka berhenti. Sambil memandang Siau-hi-ji, Pek Khay-sim mendengus, “Hm, cara bagaimana mereka mendapat tahu kita berada di sana?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya tertawa, “Ya, dengan sendirinya ada orang menyampaikan laporan gelap.”

“Yang memberikan laporan gelap bukan mustahil kau sendiri,” jengek Pek Khay-sim.

“Jika aku, mengapa aku membantumu melarikan diri pula?”

“Tapi kalau bukan kau, siapa lagi yang tahu.”

“Mereka bukan orang buta, memangnya mereka tidak membaca selebaran yang berhuruf besar itu?”

“Masa orang itu paham akan isi tulisan itu?”

“Dengan sendirinya ada yang paham,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Air muka Pek Khay-sim berubah, tanyanya cepat, “Siapa? Mungkinkah ada di antara sahabat-sahabat lama kita juga datang ke sini?”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu menjawab, “Biarlah kukatakan terus terang kepadamu, ada dua orang, seorang bernama Lo Kiu dan seorang lagi bernama Lo Sam, mereka berusaha mencari setori pada kita, tampaknya mereka sangat jelas terhadap seluk-beluk urusan kita.”

“Bagaimana bentuk kedua orang itu?” tanya Pek Khay-sim sambil mengernyitkan dahi.

“Gemuk dan tinggi, keduanya serupa seperti pinang dibelah dua, mereka adalah saudara kembar.”

“Yang kukenal adalah kembar dua kurus jangkung, tapi tidak kenal kembar dua yang gemuk.”

“Kau tidak kenal mereka, tapi mereka cukup kenal kau.”

Pek Khay-sim menjadi gusar, dampratnya “Jika sudah kuketahui mereka paham isi surat selebaran itu dan sudah tahu pula mereka akan menyampaikan laporan gelap, mengapa kau justru sengaja bertindak begini?”

Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, “Justru aku mengharapkan mereka menyampaikan laporan gelap, justru pula kuminta mereka mengirim orang untuk membekuk kita, dengan demikianlah baru aku dapat menyampaikan surat penting itu langsung kepada Kang Piat-ho. Bilamana kusampaikan surat itu dengan cara lain mungkin takkan mendapat perhatiannya, tapi kini Li Toa-jui sendiri yang menyerahkan surat kepadanya, tentu bobotnya akan lain”.

“Dan dari mana kau tahu Kang Piat-ho pasti akan ikut datang?”

“Dia menganggap dirinya sebagai Tayhiap, kalau tersiar berita bahwa Cap-toa-ok-jin berada di kota ini, memangnya dia dapat tinggal diam? Nah, pasti juga dia takkan membiarkan kita pergi.”

Sejenak Pek Khay-sim termangu, akhirnya ia menghela napas, katanya, “Setiap persoalan telah kau hitung dengan jitu, mungkin Li Toa-jui tulen juga tidak melebihi dirimu.”

Sekali ini Siau-hi-ji yang melengak, ia terkekeh kekeh, katanya, “Li Toa-jui tulen apa, memangnya bapakmu ini palsu?”

Mendadak Pek Khay-sim terbahak-bahak, katanya, “Kau dapat menirukan lagak-lagu Li Toa-jui dengan demikian miripnya, pada hakikatnya aku pun rada kagum padamu. Sungguh aku merasa sayang bila menyaksikan kau mati di depanku. Tapi, ya apa boleh buat, mau tak mau kau harus mati.”

“Harus mati?” Siau-hi-ji menegas heran.

“Ya, arak yang telah kau minum itu telah kuberi ‘Toan jong-san’ (puyer perantas usus),” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa aneh. “Sebenarnya kau dapat hidup lebih lama sedikit, tapi lantaran geger-geger tadi, mungkin sebentar lagi jiwamu akan melayang.”

Dengan gusar Siau-hi-ji berteriak, “Bangsat keparat, biar kumampuskan kau lebih dulu!”

Segera dia bangun dan bermaksud menerjang lawan, tapi baru saja tubuhnya terapung, “bluk”, mendadak dia terkulai dengan wajah pucat, ia pegang perutnya sendiri sambil merintih, “Wah, celaka ... perutku ... aku ... aku tidak sanggup lagi …”

Pek Khay-sim terkekeh-kekeh gembira, katanya, “Sekarang baru kau tahu Cap-toa-ok-jin tidak mudah dilayani bukan?”

“Tapi ... tapi dari mana kau tahu aku ini Li Toa-jui palsu? Aku tidak percaya kau dapat membedakannya,” seru Siau-hi-ji dengan suara serak.

“Baik, biar kuberitahukan padamu agar kau tidak mati penasaran.”

“Ya, kumohon sudilah kau jelaskan, lekas, kalau tidak takkan kudengar lagi,” rintih Siau-hi-ji.

“Hehe, caramu menirukan gerak-gerik dan lagak-lagu Li Toa-jui memang persis sekali, tentunya kau kenal dia bukan?”

“Ya ... ya, ya,” gemetar sekujur badan Siau-hi-ji.

“Pernahkah kau dengar dia membicarakan diriku?” tanya Pek Khay-sim.

“Ti ... tidak pernah,” Siau-hi-ji melengak heran.

“Soalnya dia sangat benci padaku, sedemikian bencinya padaku hingga namaku saja dia tidak sudi menyebutnya, maka tidak mungkin dia menganggap aku sebagai sahabat dan mengajak pula makan minum bersamaku,” Pek Khay-sim terbahak-bahak, lalu menyambung pula, “Kau sangka kalau Cap-toa-ok-jin sama-sama Ok-jin (orang jahat), mereka pasti juga kawan baik satu sama lainnya. Kau tidak tahu bahwa di antara Cap-toa-ok-jin juga ada yang bermusuhan dan saling membenci. Perhitunganmu memang jitu, tapi tetap ada satu yang meleset, dan kesalahan ini pun cukup fatal untuk membikin jiwamu melayang.”

Dengan merintih Siau-hi-ji berkata, “Jadi ... jadi kau sudah tahu aku bukan Li Toa-jui tulen, tapi mengapa ....”

“Bapakmu ini sengaja berlagak bodoh, maksudku hanya ingin tahu apa tujuanmu yang sesungguhnya” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa, selain itu aku pun ingin mempermalukan kau, kini bapakmu merasa cukup menggodamu dan bolehlah kau tunggu ajalmu saja.”

“Meski sekarang kumati di tanganmu, tapi kau pun ada ses ... sesuatu ....” mendadak Siau-hi-ji kejang dan jatuh telentang, sekuatnya ia ingin bicara lagi, namun cuma bibirnya saja yang bergerak dan tak terdengar suaranya.

“Ada sesuatu apa mengenai bapakmu, coba katakan?” Pek Khay-sim menegas.

Siau-hi-ji tampak berkeringat dan berteriak-teriak, “Kau ... kau ....” tapi suaranya ternyata sangat lemah meski dia berusaha menggembor sekerasnya.

Karena ingin tahu apa yang diucapkan Siau-hi-ji, Pek Khay-sim mendekatinya, tanyanya sambil setengah berjongkok, “Bicaralah yang keras, bapak tidak mendengar.”

Mendadak Siau-hi-ji meraung keras-keras, “Kubilang kau ini orang goblok!”

Berbareng dengan suara raungannya itu secepat kilat ia pun menutuk beberapa Hiat-to di tubuh Pek Khay-sim.

Baru saja Pek Khay-sim berjingkat kaget karena raungan mendadak itu, tahu-tahu ia pun roboh terkapar.

“Biarpun Cap-toa-ok-jin terkenal licin dan licik, tapi kebentur padaku juga pasti akan terperangkap,” seru Siau-hi-ji sambil melompat bangun. “Sekarang kau baru tahu bahwa bapakmu ini bukanlah orang yang mudah dilayani.”

Sambil menggeletak di tanah Pek Khay-sim hanya mampu memandangi anak muda itu dengan terbelalak, sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini masih ada orang terlebih licin daripada Cap-toa-ok-jin.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula, “Meski bapakmu ini tidak tahu persis apakah arakmu itu beracun atau tidak, tapi menghadapi Cap-toa-ok-jin kalian betapa pun aku harus tetap waspada. Kau kira aku telah minum arakmu, haha, padahal bapakmu cuma mengumur arak itu di dalam mulut, lalu kutumpahkan bersama daging manusia palsu itu.”

“Meng ... mengapa tak kulihat tindakanmu itu?”

“Haha, kepandaian menipu orang begitu sejak bapakmu ini berumur lima sudah berhasil mempelajarinya. Jangankan cuma secawan arak terkumur di dalam mulut, sekalipun satu biji telur ayam kusembunyikan di dalam mulut juga takkan kau lihat.”

Baru sekarang Pek Khay-sim benar-benar merasa ngeri dan ketakutan menghadapi Siau-hi-ji, tanyanya dengan suara gemetar, “Kau ... kau sesungguhnya siapa?”

“Hehe, baru sekarang kau kenal takut ya?” jengek Siau-hi-ji. “Orang macam bapakmu harus ditakuti oleh siapa pun. Jika kau ingin tahu siapa bapakmu ini, maka lebih dulu kau harus bekerja baik-baik bagi bapakmu ini, habis itu mungkin bapak akan memberitahukan padamu.”

Bahwa orang yang lebih lihai dan menakutkan daripada setan ini ternyata tiada bermaksud membunuhnya melainkan cuma menyuruhnya bekerja sesuatu baginya, keruan hal ini membuat Pek Khay-sim kegirangan, cepat ia berseru, “Baik, baik, segera anak akan menuliskan surat itu.”

“Hahaha, sekarang dari bapak kau mau berubah menjadi anak .... Hahaha, kau ini memang anak baik. Tapi kalau bapak membebaskan anak seperti kau ini begini saja tetap terasa khawatir,” sembari bicara diam-diam sebelah tangan Siau-hi-ji menggosok-gosok kuduk sendiri sehingga dakinya dapat menjadi satu gelincir kecil, mendadak ia pencet dagu Pek Khay-sim dan gelintiran daki itu terus dijejalkan ke mulutnya.

Seketika Pek Khay-sim merasa satu biji barang yang asin-asin serta berbau sesuatu yang sukar dilukiskan itu meluncur ke dalam kerongkongannya, keruan ia terkejut, serunya khawatir, “Apa ... apa ini?”

“Kau kan punya Toan-joan-san (puyer perantas usus), maka aku pun punya Jui-beng-wan (pil pemburu nyawa) yang khas,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Apa? Jui-beng-wan? Meng ... mengapa tidak pernah kudengar.”

“Sudah tentu kau tidak pernah dengar nama obat demikian ini, sebab racun ini memang hasil buatanku sendiri belum lama berselang dan tiada obat penawarnya di dunia ini, hanya dalam waktu tujuh jam seluruh tubuhmu akan hitam membengkak, lewat satu jam lagi tubuhmu akan membusuk dan jiwamu segera melayang, yang tertinggal hanya air hitam yang berbau busuk.”

Siau-hi-ji membual semaunya, namun kedengarannya seperti sungguh-sungguh dan betul-betul akan terjadi. Keruan Pek Khay-sim tambah kelabakan, serunya dengan khawatir, “Bu ... bukankah engkau hendak menyuruh aku bekerja sesuatu?”

“Ya, sudah tentu aku sendiri mempunyai obat penawarnya,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Selamanya kita tiada permusuhan apa pun, kumohon engkau ....”

Siau-hi-ji sengaja mendelik dan membentak, “Jika dalam waktu tujuh jam ini kau dapat menyelesaikan pekerjaan yang kutugaskan padamu secara memuaskan, lalu boleh kau datang dan tunggu aku di sini, tentu akan kutolong jiwamu.”

Habis berkata ia terus membuka Hiat-to yang ditutuknya.

Namun Pek Khay-sim masih terkulai lemas di tanah seakan-akan tenaga untuk berdiri saja sudah lenyap, katanya, “Kuharap jang ... janganlah engkau melupakan diriku akan menunggu di sini.”

“Waktu sudah mendesak, ayolah lekas berangkat agar tidak terlambat,” dengus Siau-hi-ji.

Tanpa disuruh lagi segera Pek Khay-sim melompat bangun, seperti kuda liar yang pantatnya mendadak dibacok orang, bagai kesetanan dia terus berlari pergi.

Setelah orang pergi jauh, Siau-hi-ji tertawa geli sendiri, gumamnya, “Hihi, Cap-toa-ok-jin yang sangat ditakuti orang itu ternyata juga mudah dikibuli.”

Menjelang tengah malam, Siau-hi-ji sudah berada di loteng kecil itu. Lo Sam dan Lo Kiu tidak berada di situ, hanya Buyung Kiu saja yang duduk di lantai dan sedang main boneka sambil menyanyikan lagu nina bobok. Dengan tertawa kecil Siau-hi-ji juga ikut bernyanyi kecil.

Tapi Buyung Kiu lantas berhenti menyanyi, ia pandang Siau-hi-ji dengan bingung, sejenak kemudian barulah ia bertanya, “Kau siapa? Aku tidak kenal padamu.”

“Masa sudah lupa?” ucap Siau-hi-ji dengan suara halus. “Bukankah aku kemarin mengajarkanmu cara mengusir momok yang mengeram di dalam hatimu itu.”

“Oya, kiranya kau. Bentukmu tampaknya agak berubah?” kata nona itu.

Siau-hi-ji sengaja mendesis, “Ssst, jangan keras-keras, aku khawatir momok jahat itu akan mencari diriku, makanya aku menyamar jadi begini agar tidak dikenalinya, hendaklah kau jangan katakan kepada siapa-siapa?”

Berulang-ulang Buyung Kiu mengangguk, katanya, “Ya, aku tahu, aku paham, momok itu sangat menakutkan, sedapatnya jangan sampai dia menemukan kau.”

“Kutahu kau pasti paham, kau memang anak perempuan pintar.”

“Apa benar aku anak perempuan pintar?” wajah yang sayu itu menampilkan senyuman sekilas laksana mendung yang mendadak ditembus cahaya matahari dan bunga yang indah mendadak mekar dalam sekejap ini.

Siau-hi-ji memandangnya dengan terkesima, timbul perasaan aneh dalam hatinya, tapi segera ia menyadari tidak boleh memandangnya lebih lama, cepat ia menarik tangannya dan berkata, “Sekarang akan kubawa kau ke suatu tempat, segera kau akan berjumpa dengan orang yang jauh lebih sakti daripada diriku dan dapat membantumu mengusir momok dalam tubuhmu.”

Entah mengapa, Buyung Kiu itu ternyata penurut kepada Siau-hi-ji, segera ia berdiri, tapi baru saja dua-tiga tindak, tiba-tiba ia bertanya sambil berkedip-kedip. “Dan bag ... bagaimana dengan engkau?”

“Mungkin selanjutnya kau takkan melihat aku lagi,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jika selanjutnya takkan melihatmu lagi, maka aku pun tak mau pergi,” demikian Buyung Kiu lantas urung melangkah lebih lanjut.

Siau-hi-ji tercengang, sukar dikatakan bagaimana perasaannya, cepat ia berseru, “Bilamana momok yang mengeram dalam tubuhmu sudah terusir, kau sendiri pun tidak mau lagi menemui aku, tatkala mana tentu pula banyak orang lain akan mendampingimu setiap hari.”

“Jika begitu biarkan saja momok ini tetap mengeram di dalam hatiku saja,” kata Buyung Kiu setelah berpikir sejenak.

Hati Siau-hi-ji menjadi rada pilu, katanya kemudian dengan tertawa, “Anak bodoh, memangnya kau ingin terus begini selamanya?”

Buyung Kiu menatapnya dengan tak berkedip sambil menggigit bibir, lalu berkata, “Sebenarnya keadaan begini juga tiada jeleknya, apalagi asalkan setiap hari kau datang menemani aku, lama-lama juga dapat mengusir momok itu, betul tidak?”

Siau-hi-ji kucek-kucek hidungnya, tiba-tiba ia menarik muka dan berkata, “Kau tidak mau menurut perkataanku, mana aku mau menemanimu lagi.”

Buyung Kiu menunduk, ucapnya dengan rawan. “Kau mengharuskan aku pergi, segera juga aku akan pergi, namun engkau ....”

Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Asalkan kau selalu ingat pembicaraan kita hari ini, selanjutnya aku akan tetap menyambangi dikau ....” segera ia mengenakan mantel bagi si nona itu, waktu mereka sampai di pintu belakang taman keluarga Toan, ternyata Samkohnio sudah menunggu di situ.

Malam ini cukup dingin, tapi Samkohnio hanya mengenakan baju sutera tipis warna jambon seakan-akan tidak merasakan hawa yang dingin itu. Demi lelaki yang dicintainya, demi kecantikan, anak gadis terkadang memang berani berkorban, misalnya mengikat kencang tali pinggang dan berpuasa tiga hari tiga malam, apalagi cuma kedinginan, semua ini bukan apa-apa.

Mata Samkohnio bercahaya, hatinya berdebar keras, meski tubuhnya rada menggigil, tapi mukanya terasa panas. Maklumlah, untuk pertama kali inilah dalam hidupnya dia mengadakan pertemuan rahasia dengan lelaki. Bagaimana perasaan anak gadis yang mengadakan pertemuan gelap pertama kali dengan sang kekasih, perasaan ini hanya diketahui oleh mereka sendiri.

Dari jauh dia melihat kedatangan Siau-hi-ji, dengan kegirangan segera ia menyongsong ke sana, tapi setelah berhadapan baru diketahui di belakang Siau-hi-ji mengikut pula seorang. Seketika hati Samkohnio terpukul, dengan menggigit bibir dia menegur, “Kau ... kau tidak datang sendirian saja?!”

Entah memang tidak paham ucapan si nona atau sengaja berlagak pilon, dengan perlahan Siau-hi-ji menjawab, “Memangnya aku kan tidak menyatakan hendak datang sendirian?”

Baru sekarang Samkohnio melihat jelas wajah Siau-hi-ji, serunya terkejut, “He, sia ... siapakah kau?”

“Aneh, baru saja kau dapat mengenali diriku, mengapa sekarang pangling lagi?”

Memang Samkohnio dapat mengenali suara Siau-hi-ji, tapi masih tetap sangsi, ucapnya ragu-ragu, “Tadi aku cuma merasakan ... merasakan kedatanganmu, tapi mukamu ....”

Dengan suara tertahan Siau-hi-ji menukas, “Ada sesuatu urusan rahasia harus kukerjakan dan terpaksa aku harus menyamar begini, hendaklah jangan kau katakan kepada siapa pun juga, urusan ini hanya kau sendiri yang tahu.”

Meski dia sendiri tidak menguraikan apa urusan ini, tapi dia kenal watak anak gadis ini, apalagi cuma dia sendiri yang mengetahui rahasia lelaki yang dicintainya, maka persoalan lain tentu takkan diusut lebih lanjut.

Benar juga, Samkohnio menjadi gembira pula, betapa pun dia merasa Siau-hi-ji masih tetap baik padanya, kalau tidak masakah cuma dia sendiri yang diberitahukan rahasianya. Maka dengan suara tertahan ia pun balas mendesis, “Ya, jangan khawatir, pasti takkan kukatakan pada orang lain.”

Siau-hi-ji berkerut kening, katanya pula, “Tapi untuk urusan ini aku masih perlu bantuan orang.”

“Dapatkah aku membantumu?” tanya Samkohnio cepat.

“Sebenarnya aku ingin mencari orang lain saja, tapi ... tapi kalau engkau suka membantu sudah tentu akan kuterima dengan senang hati,” kata Siau-hi-ji.

Samkohnio bertambah gembira, ucapnya, “Memang sudah kukatakan sejak dulu-dulu, tak peduli apa permintaanmu tentu kusanggupi.”

Bahwa pemuda yang dicintainya tidak mencari bantuan pada orang lain tapi justru mencari bantuan padanya, ini menandakan anak muda itu memang menaruh perhatian kepadanya, keruan Samkohnio kegirangan setengah mati.

Dari air muka si nona, Siau-hi-ji yakin urusan pasti tak menjadi soal lagi, segera ia berkata, “Sesungguhnya urusan ini pun tiada sesuatu kesukaran, asalkan kau bawa orang ini ke rumahmu, tengah malam nanti baru kau taruh dia di suatu tempat.”

“Ah, terlalu mudah, pasti dapat kulaksanakan dengan baik,” ucap si nona gede.

“Tapi kau harus ingat dua hal. Pertama, jangan sekali-kali dia terlihat oleh siapa pun juga. Kedua, harus kau sembunyikan dia tepat pada tengah malam nanti, tidak boleh lebih dari dini hari dan juga tidak boleh terlambat.”

“Baik, jangan khawatir, pasti akan kukerjakan dengan betul,” jawab Samkohnio dengan tertawa. Dan baru sekarang dia sempat memperhatikan Buyung Kiu.

Seluruh badan Buyung Kiu terbungkus oleh mantel hitam sampai kepalanya juga tertutup rapat, dengan sendirinya Samkohnio tidak tahu bagaimana bentuknya, setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia tanya, “Siapakah orang ini?”

“Dia sangat erat hubungannya dengan urusan yang hendak aku kerjakan ini, selanjutnya kau tentu akan tahu,” jawab Siau-hi-ji secara samar-samar.

Ia mendorong Buyung Kiu ke depan Samkohnio, lalu berkata pula, “Nah, lekas kalian pergi sekarang!”

Buyung Kiu menoleh dan seperti ingin bicara sesuatu, tapi Siau-hi-ji telah mendahului pergi.

Samkohnio merasa sangsi melihat sikap mereka itu, tapi akhirnya ia cuma menghela napas dan berkata, “He, ikutlah padaku.”

*****

Sebelum tiba waktunya Siau-hi-ji sudah berada di sutheng yang dijanjikan itu, ia memeriksa sekelilingnya, orang-orang yang diundangnya ternyata belum ada yang hadir. Ia mengatur sekadar di sekitarnya, lalu mencari suatu tempat baik untuk bersembunyi, dari sini ia dapat melihat setiap orang yang berada di dalam sutheng, tapi orang lain pasti tidak melihatnya.

Habis itu ia merenung kembali persoalan ini dari awal hingga akhir. Setelah menerima surat yang ditulis Buyung Kiu itu pasti Cin Kiam dan Lamkiong Liu akan datang. Sesudah membaca suratnya itu, Kang Piat-ho juga pasti akan hadir.

Rombongan Cin Kiam itu tentunya akan membawa 80 laksa tahil perak kontan dan rombongan Kang Piat-ho justru datang hendak mencari harta karun. Bila kedua kelompok ini kepergok di sini mustahil takkan terjadi ramai-ramai.

Meski mereka tidak memakai kedok, tapi di tengah malam gelap pasti tidak jelas terlihat oleh pihak lawan, dalam keadaan sama-sama cemas dan gelisah, sekali tidak cocok bicara mustahil kedua pihak tidak saling labrak, bila Samkohnio telah membawa si Buyung Kiu ke tempat tinggal Kang Piat-ho dan setelah orang-orang keluarga Buyung Kiu menerima laporan gelap Pek Khay-sim, lalu Buyung Kiu dapat ditemukan di sana, mustahil keluarga Buyung takkan mencari perkara kepada Kang Piat-ho? Sungguhpun Kang Piat-ho cukup lihai, tapi keluarga Buyung juga bukan pihak yang boleh diremehkan.

Jadi rencana Siau-hi-ji tidak cuma sekali tepuk dua lalat saja, tapi beberapa lalat akan kena ditepuknya sekaligus.

Pertama, dengan cara Kang Piat-ho sendiri dia dapat membalasnya agar orang she Kang itu pun merasakan bagaimana pahitnya difitnah orang.

Kedua, Lamkiong Liu, Siau-sian-li dan kawan-kawannya semalam telah menuduhnya secara semena-mena, maka ia pun ingin membikin mereka tahu rasa. Sudah diperhitungkan setelah mereka menerima laporan gelap Pek Khay-sim, tentu mereka akan membagi diri dengan dua kelompok, yang satu memeriksa ke taman keluarga Toan, kelompok lain datang ke sutheng ini. Yang datang ini bisa jadi cuma Cin Kiam, Siau-sian-li dan Koh Jin-giok bertiga, sekalipun ketiga orang ini mampu mengatasi Kang Piat-ho, tapi sedikitnya mereka pun akan merasakan kelihaian orang she Kang itu.

Ketiga, akhirnya ia telah mengirim kembali Buyung Kiu kepada keluarga sendiri, kelak andaikan pikirannya tetap tidak waras, tapi berada di tengah keluarga sendiri tentunya tidak perlu khawatir lagi akan dianiaya orang. Untuk ini Siau-hi-ji merasa telah berbuat sesuatu pahala yang melegakan hati.

Keempat, setelah Kang Piat-ho terjebak sekali ini, seumpama tidak mampus, sedikitnya akan dapat menghajar adat padanya dan mengurangi kemunafikannya, Pek Khay-sim dan lain-lainnya mungkin juga tidak berani mencari gara-gara lagi. Dengan demikian dunia Kangouw untuk sementara bisa jadi aman tenteram.

Kelima, harta karun keluarga Toan yang dirampok itu bisa juga ditemukan dan kembali kepada pemiliknya, betapa pun Toan Hap-pui dan Samkohnio selama ini cukup baik padanya dan dengan demikian berarti dia telah membalas budi kebaikan mereka.

Keenam, kematian Thi Bu-siang yang penasaran itu juga dapat terbalas dan nama baiknya dapat dipulihkan kembali.

Begitulah rencana Siau-hi-ji ini ternyata sekali pukul tujuh sasaran, walaupun praktiknya harus menghadapi banyak kesukaran dan keruwetan, tapi rasanya cukup berharga dengan jerih payahnya. Meski rencananya ini akan banyak membikin orang celaka, tapi juga banyak membikin orang menerima manfaatnya.

Apa yang diperbuat Siau-hi-ji memang ada yang baik dan ada yang busuk, tapi kalau ditimbang tetap lebih banyak yang baik daripada yang busuk, apalagi biarpun busuk juga busuknya tidak rendah dan kotor, busuknya busuk menarik. Apa pula orang yang dibikin susah olehnya justru adalah manusia busuk yang berpuluh kali lebih busuk daripada dia.

Begitulah Siau-hi-ji merenungkan kembali rencana yang diaturnya itu, semakin dipikir terasa sempurna rencananya ini, ia yakin biarpun Kang Piat-ho yang pintar dan licin itu juga takkan mampu merancang tipu muslihat sebagus ini.

Kang Piat-ho, Cin Kiam, Lamkiong Liu, Pek Khay-sim, Lo Kiu, Lo Sam .... Setiap orang yang bersangkutan dengan rencana ini biarpun semua tergolong tokoh mahalihai, tapi semuanya telah kena diperalat dan diadu domba tanpa sadar, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mampu membongkar tipu muslihatnya yang bagus ini.

Semakin dipikir semakin senang hati Siau-hi-ji, tanpa terasa ia tertawa dan bergumam, “Nah, siapa berani bilang aku ini bukan orang pintar nomor satu di dunia ini? Siapa bilang aku bukan jenius?”

*****

“He, ikutlah padaku!” demikian Samkohnio sedang mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras. Tapi Buyung Kiu masih termangu-mangu memandangi bayangan Siau-hi-ji yang telah menghilang itu.

Samkohnio berkerut kening, ia memutar ke depan Buyung Kiu, sedikitnya ia satu kepala lebih tinggi, dengan sendirinya ia dapat mengaling-alingi pandangan nona Buyung itu.

“Ke ... kenapa kau menutupi pandanganku?” tanya Buyung Kiu.

“Dia sudah pergi, apa yang hendak kau lihat?” jengek Samkohnio.

Buyung Kiu memiringkan kepalanya dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan rada rawan, “Ya, betul ia sudah pergi .... Tapi tahukah bahwa selanjutnya dia akan datang pula menjenguk aku.”

“Dia bohong padamu,” teriak Samkohnio dengan dongkol. “Setelah dia ke sini, selanjutnya dia takkan gubris dirimu lagi.”

“Tidak, dia takkan bohong padaku, kutahu,” ucap Buyung Kiu dengan tertawa, dengan penuh keyakinan dia angkat kepalanya sehingga cahaya bulan menyinari wajahnya yang bening penuh rasa bahagia di kemudian hari.

Meski Samkohnio juga perempuan, tanpa terasa ia pun kesima menyaksikan sikap Buyung Kiu itu, katanya dengan suara rada gemetar, “Dari ... dari mana kau tahu dia pasti tidak bohong padamu?”

“Sebabnya dia mengirim diriku ke sini hanya bermaksud mengusir momok yang mengeram di dalam hatiku, habis itu dia tentu akan datang mencariku.”

“Ada momok di dalam hatimu?”

“Ya, lantaran momok yang menggoda hatiku ini, makanya aku tidak ingat kejadian masa lampau.”

Sambil memandangi wajah yang linglung tapi cantik itu Samkohnio berkata perlahan, “Kau tidak ingat segalanya?”

“Ehm,” Buyung Kiu mengangguk.

“Tapi kalau bukan lantaran pikiranmu kurang waras, tentunya dia takkan membawamu ke sini begitu?”

“Kutahu dia juga tidak tega berpisah denganku.”

“Jadi setelah ... setelah kau sembuh nanti, dia akan ... akan datang lagi menjemputmu?” tanya Samkohnio.

Suara bernada cemburu itu rada gemetar, cemburu yang keras cukup mendorong seorang perempuan berbuat apa pun juga.

Akan tetapi Buyung Kiu tidak tahu sama sekali, dengan tersenyum dia menjawab, “Ya, dia pasti akan mencariku lagi nanti.”

“Apa ... apalagi yang dia katakan padamu?”

Mata Buyung Kiu yang sayu itu tiba-tiba bercahaya, jawabnya dengan tertawa, “Dia mengatakan juga bahwa aku ini perempuan pintar, asalkan aku menurut perkataannya, maka setiap hari dia akan mendampingiku. Dengan sendirinya aku akan menurut padanya, aku memang harus menurut perkataannya, betul tidak?”

“Tid ... tidak, tidak!” mendadak Samkohnio menjerit dengan parau.

Buyung Kiu jadi melengak, ucapnya dengan setengah bergumam, “Kenapa tidak?”

Teriak Samkohnio seperti harimau meraung, “Sebab sama sekali kau tidak pintar, sedikit pun tidak cantik, kau cuma seorang gila yang bermuka buruk, tidak mungkin dia menyukaimu.”

Setelah melengong sejenak, akhirnya air mata Buyung Kiu berlinang-linang, katanya kemudian dengan terputus-putus, “Tidak, kau ... kau bohong, kau dusta!”

Sorot mata Samkohnio yang sesungguhnya bijak itu tiba-tiba memancarkan sinar jahat, teriaknya, “Coba pikir, orang baik seperti dia mana bisa menyukai orang gila macam kau?”

Akhirnya Buyung Kiu tidak tahan dan menangis keras-keras, teriaknya sambil mendekap mukanya, “Bukan, aku bukan orang gila ... aku bukan orang gila ....”

“Kalau bukan orang gila, coba jawab, tahukah siapa dirimu?”

“Aku ... aku ....” sedapatnya Buyung Kiu mengingat-ingat, tapi tetap tidak ingat siapa dirinya, dia merasa kepalanya mendadak sakit seakan-akan pecah, ia pukul kepalanya sendiri dengan keras sambil menjerit, “O, kumohon jangan ... janganlah katanya siapa diriku, aku tidak ... tidak tahu ....”

“Seorang kalau tidak tahu siapa diri sendiri, lalu apa kau bukan orang gila?” jengek Samkohnio.

Sekonyong-konyong Buyung Kiu berteriak dengan histeris, “Aku orang gila ... dia tidak suka padaku ... dia tidak suka padaku ....” di tengah teriaknya itu dia terus berlari pergi sambil menangis.

Samkohnio tidak mencegah, dia pandang bayangan nona linglung itu menghilang di kejauhan, habis itu dia menghela napas lega, gumamnya, “Pergilah, pergilah sejauh-jauhnya agar selamanya dia takkan menemukan dirimu....” Tanpa terasa tersembul senyuman kemenangannya yang kejam.

Nona besar yang biasanya berhati baik itu sekarang ternyata tega berbuat sekejam itu, soalnya dia anggap demi untuk mendapatkan lelaki yang dicintainya, apa pun yang diperbuatnya adalah wajar, adil, tidak mungkin orang menyalahkan tindakannya itu.

Nyata, betapa pun sempurna dan rapi rencana yang telah diatur dan telah mulai dilaksanakan Siau-hi-ji itu, akhirnya dia toh melupakan sesuatu. Dia lupa bahwa di dunia ini mutlak tiada perempuan yang tidak cemburu.

Dia lupa bahwa hati perempuan kebanyakan mudah berubah, dia lupa bahwa janji perempuan baru dapat bertahan apabila janji itu masih menguntungkan perempuan itu.

Kalau perempuan dapat mempertahankan janji sendiri tanpa syarat, rasanya inilah baru keajaiban benar-benar.

Seorang lelaki kalau kebetulan melupakan pasal ini, maka biarpun apa yang diperbuatnya tentu takkan berhasil, kecuali dia memang lagi mujur.

*****

Sementara Siau-hi-ji sedang menunggu dengan tenang di tempat yang gelap, tapi selama itu belum terlihat seorang pun, di luar kota yang sepi dengan sendirinya tidak terdengar tanda-tanda waktu, maka ia pun tidak tahu saat itu sudah tiba waktunya atau belum.

Namun Siau-hi-ji masih bisa bersabar, sebab dia yakin orang-orang itu mau tidak mau pasti datang, cuma caranya menunggu tanpa mengetahui waktu memang membuatnya kesal.

Akhirnya terdengarlah ada suara di kejauhan. Siau-hi-ji terbangkit, pikirnya, “Yang datang lebih dulu ini entah siapa? Meski kedua kelompok ini sama-sama gelisahnya, tapi Kang Piat-ho mungkin lebih mampu menahan perasaannya, jadi sepantasnya yang datang lebih dulu adalah Cin Kiam.”

Terdengar di antara suara itu bercampur pula dengan suara kereta serta ringkik keledai.

“Yang datang ini ternyata betul rombongan Cin Kiam, malahan mempergunakan kereta untuk mengangkut 80 laksa tahil perak itu,” demikian Siau-hi-ji membatin.

Tapi setelah direnungkan lagi, tiba-tiba ia merasakan gelagat tidak beres.

Cin Kiam dan Lamkiong Liu itu adalah putra keluarga bangsawan dan hartawan, kalau menggunakan kereta pengangkut tentunya pakai kereta kuda, tidak mungkin kereta keledai yang tidak dapat lari cepat itu.

Supaya maklum, biarpun Siau-hi-ji ini anak dugal, mbeling, tapi menghadapi suatu persoalan dia dapat berlaku hati-hati, cermat, sedikit keganjilan saja tidak dapat mengelabui dia.

Dengan sendirinya semua ini adalah berkat pengaruh lingkungan. Sejak dia dibesarkan di Ok-jin-kok, setiap hari dia bergaul dengan kawanan penjahat yang tidak ada taranya dan paling terkenal di dunia ini, tentu saja menghadapi sesuatu dia harus lebih hati-hati, sebabnya beberapa kali dia lolos dari kematian sesungguhnya juga bukan lantaran nasib mujur melulu.

Maklumlah, orang yang selalu berhati-hati pasti juga akan hidup lebih awet daripada orang lain.

Dalam pada itu kereta sudah dalam jarak pandangnya. Yang datang ternyata bukan kelompok Cin Kiam dan Lamkiong Liu, tapi juga bukan kelompok Kang Piat-ho, akan tetapi yang muncul itu adalah beberapa orang perempuan udik yang berambut semrawut dan berbaju seperti umumnya kalau orang berkabung. Yang termuat di atas kereta itu pun bukan harta benda melainkan peti mati.

Siau-hi-ji melengak, sungguh sukar dimengerti bahwa mendadak bisa muncul pihak yang tak bersangkutan ini, untuk apakah tengah malam buta kawanan perempuan desa ini datang ke sini dengan membawa peti mati?

Terlihat beberapa perempuan itu langsung masuk ke Sutheng, semua lantas berlutut di lantai dan menangis sedih. Salah seorang yang berada paling kiri sana sembari menyembah sambil sesambatan, “O, Kongkong (bapak mertua) yang berada di alam baka, bilamana arwahmu maklum, sudilah engkau memberi keadilan padaku. Aku telah menjanda puluhan tahun bagi keluargamu, dengan susah payah akhirnya putra yatim kubesarkan dengan harapan dia akan berbakti padaku agar hidupku selanjutnya tidak sengsara lagi, siapa tahu putra yatim satu-satunya ini telah dicelakai orang, coba, hidupku selanjutnya lantas bagaimana?”

Perempuan ini tampaknya berusia setengah abad, meski memakai baju berkabung, tapi kelihatan prihatin dan terhormat, hal ini terbukti di sebelahnya seorang perempuan lain sedang mengurut-urut punggungnya sambil membujuk, “Ih-naynay (nyonya muda, sebutan untuk istri muda) janganlah engkau menyusahkan diri sendiri, kalau engkau terlalu berduka dan juga meninggal, maka harta warisanmu seluruhnya akan jatuh ke tangan orang lain, buat apa engkau menyusahkan diri sendiri dan malah membikin senang orang lain.”

Dengan menangisnya perempuan di sebelah sini, agaknya perempuan di sebelah sana juga tidak mau kalah, segera ia pun menangis sedih dan berseru, “O, Kongkong dan Popo yang telah meninggal, apabila arwah kalian mengetahui maka kalian harus membantu menantumu ini untuk merobek mulut perempuan hina itu. Meski anak itu bukan aku yang melahirkan, tapi apa pun juga darah daging keluarga kita dan kalau mau dianggap anak keluarga kita kan juga terhitung anakku pula. Sedang perempuan hina itu datangnya tidak terang, bicaranya tidak jelas, terhitung keluarga apa? Dia memfitnah aku, tujuannya tidak lain hanya ingin mengangkangi harta warisan saja.”

Perempuan sebelah kanan ini lebih tua, mukanya juga lebih jelek, badan kurus, kulit keriput, tapi suaranya ternyata lebih nyaring daripada yang lain.

Segera seorang perempuan yang berusia lebih muda di sampingnya ikut menangis dan membujuk, “Toa-nay-nay (nyonya besar, sebutan istri pertama), janganlah engkau menyiksa badan sendiri, kita semua bermata, betapa pun takkan tinggal diam membiarkan perempuan jahat itu mengangkangi harta warisan.”

Setelah mengikuti tangisan mereka, diam-diam Siau-hi-ji dapat memahami duduknya perkara. Tampaknya kedua perempuan yang sahut menyahut itu masing-masing adalah istri kawin dan istri muda, suami mereka sudah lama mati, hanya mempunyai seorang putra yang dilahirkan istri muda.

Dalam masyarakat kuno yang mementingkan keturunan anak laki-laki, karena istri tua tidak mempunyai anak, istri muda jadi ikut bahagia lantaran dapat melahirkan anak laki-laki bagi keluarganya, bisa jadi kekuasaannya jadi lebih besar daripada istri tua.

Tapi ketika anak itu mendadak mati, rasa mendongkol istri tua segera meledak dan bermaksud mengusir istri muda. Karena itulah lantas istri muda menuduh anaknya dibunuh oleh istri tua dan berbalik hendak memaksa istri tua pergi dari rumah mereka. Masing-masing pihak menganggap benar sendiri, maka tengah malam buta mereka telah datang ke Sutheng atau rumah abu leluhur mereka ini.

Bahwa mereka akan saling labrak di Sutheng ini adalah urusan mereka, celakanya mereka justru datang pada tengah malam buta ini. Sungguh tak pernah terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa kejadian ini bisa sedemikian kebetulan. Diam-diam dia merasa mendongkol tapi juga geli sendiri, sungguh ia ingin menghalau pergi kawanan perempuan itu.

Namun jelek-jelek Sutheng itu adalah rumah abu keluarga mereka sendiri, apalagi Siau-hi-ji juga khawatir bila saja dia unjuk diri sekarang, kalau mendadak Kang Piat-ho dan lain-lain juga muncul, kan bisa runyam?

Selagi Siau-hi-ji mengumpat di dalam hati, sekonyong-konyong dilihatnya beberapa sosok bayangan hitam melayang tiba, semua berpakaian hitam ketat, bahkan juga berkedok hitam.

“Itu dia Kang Piat-ho!” berdebar jantung Siau-hi-ji.

Beberapa perempuan itu masih menangis terus, dan bertengkar sendiri, sama sekali mereka tidak tahu bahwa di dalam Sutheng itu bertambah beberapa orang. Beberapa orang berbaju hitam itu pun berdiri saja di situ tanpa bersuara.

Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu masih saling mencaci, sekarang mereka tidak lagi bertengkar, tapi saling menuding dan memaki secara langsung.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes