Wednesday, May 12, 2010

bp6_part2

“Siapa bilang?” tukas Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh. “Paling sedikit aku tak dapat bertelur?”

Ok-tu-kui tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Siau-hi-ji lantas sibuk dengan tangan dan mulutnya, semua barang santapan yang tersedia di situ terus disikatnya. Buyung Kiu memandangnya dengan termangu, seperti kenal dan juga seperti tidak kenal.

Melihat di belakang Siau-hi-ji mengikut seorang nona cantik, malahan cara makannya juga serupa Siau-hi-ji, main sikat laksana orang yang sudah tiga tahun tidak makan. Giok-long tidak tahu bahwa Siau-hi-ji dan Thi Peng-koh memang sedang kelaparan dan sudah beberapa hari tidak pernah makan apa-apa.

Ok-tu-kui juga merasa geli menyaksikan cara makan Siau-hi-ji yang rakus itu, sejenak kemudian ia bertanya, “Adik cilik, kau tahu hobiku selama hidup ini adalah bertaruh, mengapa tadi kau berteriak mencegah pertaruhanku?”

“Sebab ... sebab bilamana pertaruhan itu berlangsung, maka tertipulah engkau,” jawab Siau-hi-ji dengan kurang begitu jelas karena mulutnya penuh makanan.

“Lucu kan setan judi tua, anak kura-kura ini paling-paling juga cuma setan judi kecil saja, masa dia dapat menipuku,” kata Ok-tu-kui. “Apalagi cara pertaruhan ini juga sangat adil, tidak mungkin berbuat curang, kecuali dia memang siluman tikus.”

Bicara punya bicara, akhirnya ia terbahak-bahak lagi seakan-akan di dunia ini tiada orang lain yang sanggup bercerita lelucon yang lebih lucu daripadanya, makin tertawa makin gembira dia.

Menunggu setelah Ok-tu-kui selesai tertawa, dengan perlahan barulah Siau-hi-ji bersuara, “Kau bilang pertaruhan ini sangat adil, dan engkau sudah menang beberapa kali, betul tidak?”

“Betul,” jawab Ok-tu-kui.

“Apakah kau tahu mengapa engkau menang?”

“Sudah tentu lantaran aku mujur.”

“Bukan begitu,” kata Siau-hi-ji cepat.

Ok-tu-kui mengernyitkan kening dan berkata, “Memangnya masih ada sebab lain?”

“Ya, sebab ….” Siau-hi-ji sengaja memandang Kang Giok-long sekejap, lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata pula, “Ah, tidak, tidak boleh kukatakan.”

“Mengapa tidak boleh kau katakan?” seru Ok-tu-kui sambil berjingkrak.

“Sudah dua-tiga hari kesehatanku kurang baik, kukhawatir anak kura-kura ini akan melabrak diriku.”

Ok-tu-kui menjadi gusar, teriaknya, “Bila anak kura-kura ini berani menyentuh seujung jarimu, mustahil kalau tulang belulangnya tidak kulepasi satu per satu.”

“Jadi engkau akan membantuku bilamana aku berkelahi dengan dia?” tanya Siau-hi-ji.

“Sudah tentu,” jawab Ok-tu-kui tegas.

“Bagus, jika demikian barulah aku merasa lega,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Lalu sambungnya, “Kau tahu bahwa tikus paling takut pada cahaya terang, perbuatannya selalu dilakukan secara gelap-gelapan, pada waktu malam tikus baru berani beroperasi, tapi bila ada cahaya lampu, mereka lantas mundur teratur pula.”

“Sungguh tidak disangka kau pun sangat memahami watak kaum tikus,” kata Ok-tu-kui dengan tertawa.

“Hi (ikan) dan tikus kan senasib, bila ketemu kucing lantas kepala pusing, kalau ikan tidak memahami tikus, lalu siapa yang memahami mereka?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Kembali Ok-tu-kui tertawa terpingkal-pingkal hingga tak dapat bernapas, ucapnya dengan terengah-engah, “Tapi ... tapi apa sangkut-pautnya dengan persoalan ini?”

“Tikus yang berkeliaran di sini mungkin sekali baru saja pindah dari luar sana, bisa jadi di luar sana kedatangan seekor kucing buas sehingga kawanan tikus ini terhalau masuk ke gua sini,” kata Siau-hi-ji pula. “Tak terduga bahwa di dalam gua ini tiada rumah makan kaum tikus, karena kelaparan, terpaksa mereka menyambar keratan daging di depan kalian ini ....”

“Tapi itu pun perlu Locu berdiam tanpa bergerak,” tukas Ok-tu-kui dengan tertawa. “Barang siapa tidak tahan dan bergerak sedikit saja, maka kawanan tikus ini pasti tidak berani menggondol lari daging di depannya.”

“Namun engkau tetap melupakan satu hal,” kata Siau-hi-ji. “Lampu ini tadi berada di belakangmu, tubuhmu menghalang-halangi cahaya lampu sehingga keratan daging itu berada di tempat yang gelap. Kawanan tikus takut pada cahaya, yang diincar hanya daging yang terletak di tempat yang gelap, makanya berturut-turut engkau dapat menang beberapa kali.”

“Aha, memang benar, kau memang setan cerdik, sampai-sampai hal yang rumit begini juga kau pikirkan,” seru Ok-tu-kui sambil bertepuk.

“Yang berpikir akan hal ini tidak cuma aku saja,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Masa anak kura-kura ini pun dapat berpikir hal ini? Mengapa dia tidak omong?”

“Dia tidak omong, karena dia dapat memainkan Swipoanya dengan cemerlang,” kata Siau-hi-ji.

“Ah, pahamlah aku,” kata Han-wan Sam-kong. “Setelah anak kura-kura ini tukar tempat lampu ini, kini cahaya lampu tepat menyorot bagian depanku, karena yakin sekali ini dia pasti akan menang, makanya dia mengajak bertaruh besar-besaran sekaligus.”

“Ya, beginilah,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Kalau hal ini dilakukannya tadi kan tiada gunanya, tapi kini dia akan dapat meraih kembali kekalahannya, bahkan dapat menang lebih banyak darimu.”

“Hah, jika tiada kau, sekali ini Locu pasti akan ‘kapal terbalik di selokan’,” ujar Ok-tu-kui dengan geli dan dongkol.

Siau-hi-ji lantas berpaling kepada Kang Giok-long, tanyanya dengan tertawa, “Nah, bagaimana? Betul tidak ucapanku?”

Air muka Kang Giok-long sudah tambah pucat sejak tadi, tapi dia sengaja menjengek, “Hm, kalau kau suka mengukur orang lain dengan perutmu sendiri, apa yang dapat kukatakan lagi?”

“Haha, Kang Giok-long, isi perutmu yang penuh dengan air busuk itu mungkin sukar diraba orang, tapi bagiku masa tidak tahu? Di hadapanku kau tidak perlu berlagak dungu,” Siau-hi-ji bergelak tertawa.

“Mungkin nasibku sedang malang, makanya ketemu setan,” dengus Kang Giok-long.

“Betul, ketemu aku bagimu boleh dikatakan malang dan sial delapan turunan,” ujar Siau-hi-ji tertawa. “Kini barang dan orangnya telah kutangkap basah, ayolah kau ikut padaku menemui Toan Hap-pui, coba bicaralah nanti.”

Kang Giok-long memandang Siau-hi-ji, lalu memandang Ok-tu-kui pula, katanya sambil menunduk, “Urusan sudah telanjur begini, aku pun tak dapat berkata apa-apa, cuma ....” Mendadak ia menelikung tangan Buyung Kiu, ia sendiri lantas menyelinap ke belakang nona itu, lalu berkata pula sambil menyeringai, “Cuma jiwa nona ini apakah tidak kalian pikirkan?”

Diam-diam Siau-hi-ji terkejut, tapi dia sengaja bergelak tertawa, katanya, “Jika kau hendak menggunakan Buyung Kiu sebagai sandera, maka kelirulah kau. Barangkali kau tidak tahu bahwa dia selalu ingin membunuhku, apakah mungkin aku akan menolongnya malah?”

Ok-tu-kui juga tertawa, katanya, “Locu juga tidak tertarik pada kaum wanita, mati-hidupnya tiada sangkut-paut apa pun denganku.”

“Jika begitu, mengapa kalian tidak turun tangan padaku?” ujar Kang Giok-long dengan tenang dan tersenyum.

“Soalnya Locu tidak ingin membunuhmu,” kata Ok-tu-kui.

“Huh, tanganku bisa kotor bila kugunakan untuk membunuh orang yang suka makan tahi,” Siau-hi-ji juga tertawa.

“Kalau begitu, baiklah Cayhe mohon diri saja, dengan sendirinya nona Buyung ini pun akan kubawa serta,” kata Giok-long.

“Pergilah, silakan!” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Dengan membawa pergi Buyung Kiu, memangnya tiada orang yang akan mencari dan membuat perhitungan denganmu.”

“Kukira soal ini saudara tidak perlu ikut khawatir,” jengek Giok-long. “Bilamana aku ditanya orang, dapatlah kujawab bahwa kubawa lari nona Buyung justru untuk menyelamatkan dia dari kekejianmu. Bila tiada Kang Siau-hi-ji, saat ini Buyung Kiu tentu tidak jadi begini?”

Siau-hi-ji menghela napas gegetun, katanya “Ai, ayah musang tak mungkin melahirkan anak ayam, kalian ayah dan anak mungkin tiada kepandaian lain, tapi dalam hal memfitnah dan pura-pura menjadi orang baik sungguh sukar ditandingi orang lain.”

“Hahahaha!” Kang Giok-long tertawa latah. “Entah apa itu orang baik? Apa itu orang jahat? Memangnya kau kira manusia di dunia ini dapat dibedakan antara yang baik dan jahat?”

“Tapi kau telah merampas harta milik Toan Hap-pui, bukti dan saksi sudah nyata, apakah kau dapat mungkir?”

“Harta apa?” jawab Giok-long. “Kedua tanganku kosong, mana ada harta bendaku? Harta benda yang ada sekarang ini milik siapa, maka dia itulah yang merampasnya. Logika ini kan sangat sederhana?”

“Kurang ajar!” teriak Ok-tu-kui gusar. “Kau anak kura-kura ini juga hendak memfitnahku?”

“Kau menuduh aku memfitnahmu, tapi aku justru bilang kau yang memfitnahku,” jengek Kang Giok-long. “Bolehlah kita beberkan persoalan ini kepada khalayak ramai, coba mereka lebih percaya kepada seorang ‘Ok-tu-kui’ atau lebih percaya pada cerita orang she Kang.”

Han-wan Sam-kong jadi melenggong karena gregetan, katanya kemudian sambil menyeringai, “Kau anak kura-kura ini kalau dilahirkan lebih dini beberapa tahun, jelas gelar Cap-toa-ok-jin harus mengikutsertakan kau.”

“Terima kasih atas pujianmu,” kata Giok-long dengan tertawa. “Cuma Cayhe ….”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri di luar sana. Jeritan ngeri ini kedengaran sangat menyeramkan, bahkan berkumandang hingga lama sekali, orang yang menjerit itu mungkin melihat sesuatu kejadian yang sangat kejam dan menakutkan, bahkan seperti sedang mengalami sesuatu siksaan yang sukar ditahan. Jeritan ngeri yang aneh ini cukup membekukan darah bagi siapa pun yang mendengarkannya.

Air muka Kang Giok-long tampak berubah paling cepat dan juga paling ketakutan.

“Apakah orang di luar itu adalah pengikutmu?” tanya Siau-hi-ji.

Kang Giok-long tidak menjawab lagi, ia tarik Buyung Kiu terus hendak lari keluar.

Cepat Siau-hi-ji membentak, “Pendatang itu dapat membuat anak buahmu menjerit ngeri begitu, tentu dia sangat lihai dan menakutkan, tidak soal bila kau ingin cari mampus dengan lari keluar, tapi Buyung Kiu harus ….” Sekonyong-konyong ucapannya berhenti, dalam kegelapan sana sudah muncul lima sosok bayangan orang.

Meski wajah mereka itu belum kelihatan, tapi hawa seram yang terbawa masuk oleh orang itu sudah cukup membuat setiap orang berkeringat dingin.

Dalam kegelapan terdengar suara “ciat-ciit” yang terus-menerus dan merindingkan bulu roma. Lima sosok bayangan itu melangkah masuk dengan perlahan.

Yang pertama dilihat Siau-hi-ji adalah berpasang mata mereka yang hijau aneh dengan sorot mata yang gemerlapan, menyusul lantas tertampak wajah mereka yang lain daripada yang lain, pucat kehijau-hijauan, seakan-akan darah yang mengalir di tubuh mereka memang berwarna hijau.

Kelima orang sama mengenakan jubah hitam panjang menyentuh tanah, tangan kanan masing-masing membawa cambuk, tangan kiri menenteng sangkar besi. Suara ciat-ciit yang seram dan memuakkan itu justru timbul dari kurungan besi itu.

“Hai, siapakah para sahabat? Untuk keperluan apa kalian datang kemari?” bentak Han-wan Sam-kong.

Suara bentaknya menggelegar laksana bunyi guntur sehingga menggema lembah pegunungan sekelilingnya, dengan Lwekang yang tinggi ini maksudnya hendak menggertak pihak lawan agar mundur teratur.

Tak tahunya kelima orang berbaju hitam itu sama sekali tidak ambil pusing, bahkan mata pun tidak berkedip. Sorot mata yang hijau seram itu mengerling kian kemari antara Siau-hi-ji, Kang Giok-long dengan kedua nona.

Sudah Sejak tadi Kang Giok-long mundur kembali, segera ia pun membentak, “Nona Kiu dari Kiu-siu-san-ceng serta Ok-tu-kui berada di sini, kalau terlambat jangan harap kalian dapat lolos lagi!”

Dia memang cerdik, melihat gelagat jelek, segera ia menonjolkan nama Han-wan Sam-kong dan Buyung Kiu untuk menggertak lawan. Ia pikir andaikan nama kedua orang itu tidak berhasil menggertak lawan juga tidak menjadi soal, umpamanya kelak pihak lawan hendak mencari balas tentu bukan dia yang menjadi sasarannya.

Namun kelima orang itu tetap tenang-tenang saja, bahkan tetap melangkah masuk tanpa berhenti.

Mendadak Thi Peng-koh menjerit kaget sambil menarik tangan Siau-hi-ji, ucapnya dengan terputus-putus, “Ti ... tikus ... alangkah banyaknya tikus di dalam sangkar itu!”

Memang betul, di dalam kurungan besi itu ada berpuluh-puluh ekor tikus yang sedang mengeluarkan suara ciat-ciit menyeramkan. Meski Siau-hi-ji tidak takut pada tikus, tapi berpuluh pasang mata yang jelilatan serta gumpalan badan tikus yang berbulu itu membuatnya jijik dan merinding juga.

Salah seorang baju hitam lantas berkata, “Hehe, betul tikus .... Kami berlima memang datang ke sini untuk cari tikus dan tiada sangkut-paut dengan manusia. Asalkan kalian berdiri di tempat, pasti takkan kami ganggu sedikit pun.”

Meski dia bicara dengan ramah tamah, tapi nadanya terlebih memuakkan daripada bunyi tikus.

Han-wan Sam-kong melengak, tanyanya, “Masa kedatangan kalian hanya untuk menangkap tikus?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Menangkap tikus untuk apa?” tanya Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong karena heran.

“Soalnya daging tikus adalah kegemaran majikan kami, maka kami diperintahkan menangkap tikus ke mana-mana,” tutur si baju hitam dengan terkekeh-kekeh. “Namun ratusan li seputar sini, kawanan tikus telah sama lari ke pegunungan sini, sebab itulah kami pun mencarinya kemari.”

“O, pantas di gua ini tikus begini banyak, kiranya kalian yang menggiringnya kemari, tadinya kusangka di luar sana kedatangan seekor kucing galak yang membuat kawanan tikus ketakutan,” ucap Siau-hi-ji.

Air muka Han-wan Sam-kong tampak agak berubah seperti ingat kepada seorang, dengan suara bengis ia lantas tanya, “Siapakah majikan kalian?”

Si bajuhitam tidak menjawabnya lagi, tapi lantas memberi tanda kepada kawan-kawannya. Berbareng kelima orang lantas mengeluarkan suara suitan seperti suara sempritan yang membuat orang merasa ngilu dan seram pula.

Thi Peng-koh menutup telinganya, Siau-hi-ji juga merasa tidak enak, tapi rasa ingin tahunya memang besar, maka peristiwa aneh ini betapa pun ingin diikutinya hingga jelas.

Kedua mata Han-wan Sam-kong tampak melotot, kelihatan ada tanda-tanda rasa jeri dan khawatir.

Dengan suara tertahan Siau-hi-ji tanya padanya, “Siapakah sahabat yang gemar makan tikus ini? Apakah kau tahu?”

Han-wan Sam-kong hanya bersuara “ehm” saja. Waktu Siau-hi-ji mengulangi pertanyaannya, tetap Ok-tu-kui hanya mengeluarkan dengusan begitu.

Tokoh Cap-toa-ok-jin yang tidak kenal apa artinya takut ini seakan-akan terkesima membayangkan sesuatu yang sangat menakutkan, pertanyaan Siau-hi-ji seolah-olah tak didengar olehnya.

Pada saat itulah sekonyong-konyong dari bawah lubang-lubang tanah dan celah-celah batu timbul suara riuh aneh laksana ada beribu-ribu ekor tikus sedang bercuat-cuit saling berebut jalan buat lari keluar.

Cepat para baju hitam itu menaruh sangkar besi mereka pada lima penjuru. Pada saat lain kawanan tikus tampak berbondong-bondong lari keluar dari celah-celah batu sana dan dari tempat kegelapan, seperti air bah saja membanjir keluar, jumlahnya sukar dihitung.

Tikus yang pernah dilihat Siau-hi-ji selama hidup ini kalau ditotal menjadi satu mungkin tiada sepersepuluh daripada jumlah tikus yang dilihatnya sekarang. Sungguh mimpi pun tak terbayang olehnya bahwa di dunia ini terdapat tikus sebanyak ini.

Bilamana kini yang muncul adalah segerombolan serigala lapar atau serombongan harimau atau singa mungkin takkan membuat takut Siau-hi-ji, tapi gerombolan tikus sebanyak ini malah membuat mukanya menjadi pucat dan badan merasa dingin, arak daging yang dimakannya tadi terasa bergolak di dalam perut seakan-akan hendak tertumpah keluar.

Peng-koh tidak tahan, kontan ia muntah-muntah.

Sementara itu kawanan tikus lari serabutan di sekitar kaki mereka, tokoh-tokoh ilmu silat kelas tinggi ini sama-sama kelabakan dan melompat ke atas batu serta berjubel di situ.

Peng-koh menutupi mukanya dan merasa ngeri. Mata Siau-hi-ji juga terbelalak lebar. Beribu tikus berlari kian kemari di bawah kakinya, pemandangan ini sukar dicari, betapa pun ia tidak mau sia-siakan adegan menarik ini. Terlihat orang-orang berbaju hitam itu masih terus menyemprit tiada berhenti, cambuk mereka pun menggeletar, kawanan tikus itu dihalau masuk ke sangkar besi mereka.

Meski sangkar besi itu tidak kecil tapi juga tidak terlalu besar, begitu kawanan tikus itu lari masuk sangkar, seketika berjubel seperti tukang sayur mengisi bakulnya dengan ubi, sampai akhirnya kurungan besi itu sudah padat, tapi masih ada tikus lain yang berdesakan ingin menyusup ke situ.

Setelah lima sangkar besi benar-benar sudah penuh dan sukar diisi lagi barulah kelima orang berbaju hitam menurunkan cambuknya dan berhenti menyemprit.

Sisa kawanan tikus yang lain seketika seperti mendapat “pengampunan umum”, serentak lari serabutan terpencar ke mana-mana, hanya sekejap saja seekor pun tidak nampak lagi. Suasana di dalam gua lantas tenang kembali.

Peng-koh mengintip dari balik sela-sela jarinya baru kemudian berani menurunkan tangannya, wajahnya kelihatan penuh keringat dingin seakan-akan seorang yang habis mengalami mimpi buruk.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, ucapnya dengan menyengir, “Baru sekarang kutahu tikus ternyata begini menakutkan.”

“Dirodok!” Ok-tu-kui mencaci-maki. “Beribu-ribu tikus begini memang belum pernah kulihat.”

“Cayhe sih tidak takut, hanya agak mual,” ujar Kang Giok-long dengan tertawa.

“Ucapan sahabat ini tidak salah, tikus tidak menakutkan, bahkan sangat lezat rasanya,” ujar si baju hitam yang menjadi kepalanya.

“Lezat?” Siau-hi-ji berkerut kening.

“Jika tidak percaya, sekali kau coba mungkin seterusnya kau akan ketagihan,” ujar si baju hitam dengan tertawa aneh. Berbareng ia terus mengambil keluar seekor tikus gemuk dari sangkarnya dan disodorkan kepada Siau-hi-ji.

Cepat Siau-hi-ji goyang-goyang kedua tangannya dan berkata, “Ah, seorang lelaki sejati tidak mungkin merampas kesukaan orang lain. Jika tikus memang lezat rasanya, silakan saudara pakai sendiri saja.”

“Sayang, sungguh sayang,” kata si baju hitam. “Tak tersangka, saudara yang kelihatan bernyali besar, tapi seekor tikus saja tidak berani makan, padahal bilamana sekali saudara sudah merasakan daging tikus, maka daging lainnya akan terasa hambar.”

Sembari bicara ia benar-benar menyodorkan tikus hidup yang dipegangnya itu ke dalam mulut terus dimakannya mentah-mentah, malahan darah segar lantas menetes dari ujung mulutnya.

Seketika Siau-hi-ji merinding, teriaknya, “Setelah sahabat berhasil menangkap tikus sebanyak ini, tentunya sekarang kalian boleh pergi.”

Tiba-tiba Kang Giok-long berolok-olok. “Biasanya kau paling suka mengurusi tetek bengek, mengapa kali ini kau tidak mau ikut campur?”

“Jika ada orang gemar makan tikus, itu kan urusannya sendiri, untuk apa aku ikut campur?” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Misalnya kau suka makan kotoran manusia, kan aku pun tidak pernah mencegah?”

Berubah kecut muka Kang Giok-long, segera ia berpaling ke arah si baju hitam dan bertanya, “Apakah sahabat benar-benar hendak pergi sekarang?”

Orang itu menjawab, “Kan sudah kukatakan tadi, kedatangan kami ini hanya untuk menangkap tikus dan tiada sangkut-pautnya dengan orang lain.”

“Apakah sahabat tidak tahu bahwa di sini masih ada benda lain yang jauh lebih bagus daripada tikus?” ucap Giok-long dengan menyesal.

Si baju hitam mengerling ke arah Buyung Kiu dan Thi Peng-koh, katanya dengan tertawa aneh, “Anak murid perguruan kami sama berpendapat perempuan tidak lebih menarik daripada tikus ….”

Kang Giok-long menarik Buyung Kiu menjauhi Siau-hi-ji dan Han-wan Sam-kong, habis itu baru bicara dengan tertawa, “Tapi harta mestika apakah juga tidak lebih menarik daripada tikus?”

“Harta mestika? Di mana?” tanya si baju hitam, matanya mencorong menandakan kerakusannya.

Giok-long memberi tanda ke arah gua di belakang sana dengan lirikan mata, sedangkan mulutnya berkata dengan tertawa, “Ada kedua saudara ini, aku tidak berani menjelaskan.”

“Sungguh aku merasa heran pada diriku sendiri, mengapa tidak sejak dulu-dulu kusembelih kau,” ucap Siau-hi-ji sambil mengangkat pundak.

“Haha, kukira tidaklah mudah jika orang seperti engkau juga ingin membunuh diriku,” ejek Kang Giok-long.

Dalam pada itu kelima orang berbaju hitam telah saling memberi tanda kedipan mata, setelah menjinjing sangkar besi, segera mereka melangkah ke gua di belakang sana.

Cepat Siau-hi-ji menyelinap maju mengadang di depan mereka, katanya dengan tertawa, “Di belakang sana tiada tikus, lebih baik silakan kalian pulang saja.”

“Kau berani merintangi kami?” jengek si baju hitam tadi.

“Bukan aku merintangi kalian, tapi kalian yang salah jalan, untuk keluar kalian harus menuju ke depan sana,” kata Siau-hi-ji.

“Sebaiknya sahabat harus tahu bahwa meski kau tidak berani makan tikus, tapi tikus berani makan kau,” kata si baju hitam dengan terkekeh-kekeh.

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Tapi sudah beberapa hari aku tidak mandi, dagingku sangat kotor, mungkin tikus juga tidak mau.”

“Hehe, bagus, kau ini memang lucu, nyalimu juga tidak kecil ....” Sampai di sini, sekonyong-konyong cambuknya yang hitam gelap entah terbuat dari apa dan cukup berbobot itu terus menyabat.

Tapi sekali meraih dapatlah Siau-hi-ji menangkap ujung cambuk, ucapnya dengan tertawa, “Mungkin sahabat belum tahu, meski aku agak pusing menghadapi kawanan tikus, tapi terhadap manusia, biasanya aku tidak takut.”

Air muka si baju hitam berubah karena cambuknya terbetot oleh Siau-hi-ji, sekuatnya ia menarik, tapi cambuk itu seperti sudah lengket di tangan Siau-hi-ji, biarpun dia kerahkan sepenuh tenaga juga tidak mampu merebutnya kembali.

“Jika tikus tidak kenal aku, maka aku pun tidak kenal tikus,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa, “Seumpama kalian menangkap habis semua tikus di dunia ini juga tak kupeduli, tapi kalian hendak mengincar urusan lain, terpaksa aku harus bertindak.”

“Bila kau tidak mengganggu kami, tentu kami pun takkan mengganggumu, tapi kalau kau hendak merintangi kami, terpaksa kami pun tidak sungkan-sungkan lagi padamu,” jengek si baju hitam. Habis berkata, kembali mulutnya mengeluarkan suara menyemprit seperti tadi.

Dua orang temannya segera membuka pintu sangkar yang dipegangnya, tikus yang tadinya berjubel di dalam sangkar segera melompat keluar terus menerjang ke arah Siau-hi-ji.

Tentu saja anak muda itu terkejut, sementara itu berpuluh dan beratus ekor tikus telah melompat ke atas tubuhnya, ya gigit ya jerit, Siau-hi-ji menjadi kelabakan dan merasa muak pula. Sebisanya dia mengebas sini dan memukul sana, tapi kawanan tikus itu tetap sukar diusir. Terpaksa tangan yang memegang ujung cambuk itu dilepaskan.

Tapi serentak kelima cambuk lawan lantas menyabatnya tanpa kenal ampun. Padahal seluruh tubuh Siau-hi-ji sudah penuh tikus, gerak-geriknya menjadi tidak leluasa, terpaksa sembari berkelit ia pun melompat mundur sambil berteriak, “Han-wan Sam-kong, kenapa engkau tidak membantuku? Ayo, lekas!”

Dia tidak berteriak minta tolong kepada Thi Peng-koh, sebab sudah dilihatnya nona itu telah meringkuk di pojok sana dengan ketakutan.

Namun wajah Han-wan Sam-kong sendiri juga berubah pucat, perlahan-lahan ia melangkah maju dengan ragu.

Si baju hitam tadi membentak bengis, “Han-wan Sam-kong, setelah kau tahu kami ini anak murid siapa, masih juga kau berani ikut campur?”

Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong melengak, akhirnya ia pun mundur teratur.

“Han-wan Sam-kong, memangnya kau pun seperti perempuan, takut pada tikus?” teriak Siau-hi-ji.

Namun Han-wan Sam-kong malahan terus berpaling ke sana dan tidak memandangnya lagi.

Tikus yang merambat ke tubuh Siau-hi-ji bukannya berkurang, bahkan bertambah banyak, ia merasa sakit, gatal dan pegal, entah sudah berapa tempat tubuhnya digigit tikus. Sedangkan kelima lawan masih terus menghujani sabatan padanya.

Baru sekarang Siau-hi-ji benar-benar agak gugup.

Biasanya menghadapi persoalan apa pun dia dapat berlaku tenang, tapi kawanan tikus yang berbulu menyeramkan ini benar-benar membuatnya kelabakan.

“Hahaha! Orang yang mengaku dirinya paling pintar di dunia ternyata kewalahan menghadapi tikus,” demikian Kang Giok-long berolok-olok dengan bergelak tertawa. “He, Kang Siau-hi-ji, bilakah pernah kau bayangkan akan mati dikerubut tikus?”

Dalam pada itu tubuh Siau-hi-ji sudah kena dicambuk beberapa kali, dalam keadaan tak berdaya ia berkata dengan menyesal, “Sungguh tak tersangka aku akan ....”

Pada saat itulah sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu salah seorang berbaju hitam telah kena dicengkeram dari belakang terus dilemparkan ke sana, cambuknya juga kena dirampas orang.

Tentu saja keempat orang berbaju hitam yang lain menjadi kaget dan murka, sambil menggeram cambuk mereka terus menyabat ke arah si penyatron itu. Tapi aneh, entah mengapa cambuk mereka tidak mau turut perintah lagi, tahu-tahu malah saling sabet sendiri.

Terdengar Siau-hi-ji berseru dengan tertawa, “Ah, Hoa Bu-koat, tak tersangka kau pun datang kemari!”

Pendatang ini memang betul Hoa Bu-koat adanya. Kecuali ilmu silat “Ih-hoa-ciap-giok” yang sakti ini siapa pula yang dapat membuat keempat orang itu saling serang di antara kawan sendiri.

Sudah tentu Siau-hi-ji merasa lega melihat kedatangan Hoa Bu-koat. Kang Giok-long juga gembira melihat kedatangannya, disangkanya tujuan Hoa Bu-koat menolong Siau-hi-ji hanya supaya anak muda itu tidak mati di tangan orang lain, sebab ia tahu Hoa Bu-koat bertekad akan membunuh Siau-hi-ji dengan tangannya sendiri.

Begitulah maka hanya sekejap saja setelah Hoa Bu-koat mengayun cambuknya, kawanan tikus yang menempel di tubuh Siau-hi-ji telah diusirnya semua.

Kelima orang berbaju hitam tadi sama melenggong ketakutan, mereka pandang Hoa Bu-koat dengan melongo, cambuk tidak berani lagi sembarangan menyerang.

Si baju hitam yang menjadi kepala itu bertanya dengan tergagap, “Sia ... siapakah sahabat ini? Mengapa ikut campur urusan orang lain?”

“Seumpama kau tidak kenal diriku, seharusnya kau kenal Kungfu yang kumainkan?” jawab Hoa Bu-koat dengan acuh tak acuh.

Si baju hitam berpikir sejenak, serunya kemudian dengan muka pucat, “Ih ... Ih-hoa-ciap-giok!”

“Betul,” kata Bu-koat.

Nyali si baju hitam menjadi ciut, katanya, “Baiklah, apabila orang Ih-hoa-kiong berada di sini, terpaksa kami mundur saja.”

“Setelah sekujur badanku dikencingi kawanan tikus kalian, lantas kalian mau pergi begini saja?” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Ucapan ini mungkin belum sesuai untuk dikemukakan olehmu,” jengek si baju hitam. “Kalau cuma saudara .... Hm!”

“Kalian menghina dia?” tanya Hoa Bu-koat.

“Hm!” kembali si baju hitam mendengus.

Bu-koat tersenyum, katanya, “Jika begitu, jangan pakai bantuan tikus, boleh kalian coba bertempur lagi dengan dia, boleh kalian berlima maju sekaligus dan aku pasti takkan ikut campur.”

Dengan menyeringai si baju hitam berkata, “Asalkan saudara tidak ikut campur, bocah ini ….”

Belum habis ucapannya, tahu-tahu bogem mentah Siau-hi-ji sudah menyambar tiba. Jelas dia melihat pukulan Siau-hi-ji itu, tapi dia justru tidak mampu mengelak, belum lagi cambuknya bekerja, tahu-tahu orangnya sudah kena ditonjok mencelat.

Serentak keempat orang lainnya juga menubruk maju, tapi Siau-hi-ji tonjok sana dan pukul sini, hanya sekejap saja kelima orang itu sudah dihajarnya hingga babak belur dan terkapar di sana sini.

“Nah, sekarang kalian sudah tahu kelihaiannya tidak?” tanya Bu-koat dengan tersenyum.

Kelima orang itu tiada satu pun yang sanggup bicara lagi, semuanya menggeletak di tanah, merangkak bangun saja tidak mau.

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Haha, manusia ternyata lebih brengsek daripada tikus, tidak tahan sekali dua kali pukul.”

Kawanan baju hitam itu tidak berani menjawab dan juga tidak berani bergerak.

Sedangkan Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong berulang-ulang memberi tanda kedipan mata dan gerakan tangan kepada Siau-hi-ji, maksudnya supaya Siau-hi-ji melepaskan pergi orang-orang itu.

Dengan berkerut kening Siau-hi-ji berkata pula, “Kini tanganku tidak gatal lagi, kenapa kalian tidak lekas berdiri?”

Tapi kawanan baju hitam itu tetap tidak mau berdiri, bahkan tubuh mereka terus meringkuk seperti ebi.

“Hahaha! Sudah tua begini, pakai lagak manja seperti anak kecil, memangnya kalian minta dibangunkan mak guru kalian?” demikian Siau-hi-ji berolok-olok pula.

Kelima orang yang tadinya masih gemetaran, kini sama sekali tidak bergerak lagi.

Sekonyong-konyong Han-wan Sam-kong melompat maju, sekali cengkeram ia tarik salah seorang itu dan diperiksanya, seketika air mukanya berubah kaget, perlahan ia lepaskan kembali si baju hitam, lalu berkata dengan menyesal, “Mungkin mereka takkan berdiri untuk selamanya.”

Rupanya kelima orang itu sudah mati.

Sinar lampu bergoyang-goyang, agaknya lampu itu sudah kehabisan minyak.

Di bawah cahaya lampu yang guram, wajah si baju hitam, yang tadinya pucat menghijau itu kini bertambah hijau kelam seperti lumut di batu tepi kolam.

Setelah mayat si baju hitam dilepaskan Han-wan Sam-kong, dari mulut, hidung dan telinganya lantas merembes keluar darah, bahkan darahnya juga bersemu kehijau-hijauan.

Siau-hi-ji melengak, katanya, “Hanya kena tonjok satu dua kali saja, masakan mereka lantas membunuh diri?”

“Mungkin mereka mengira kau takkan mengampuni mereka,” kata Bu-koat.

“Biarpun sekujur badanku penuh kencing tikus juga tidak nanti kubunuh mereka,” ujar Siau-hi-ji. “Mungkin orang-orang ini sudah terlalu banyak mengganyang tikus sehingga pikiran mereka pun dangkal seperti tikus.”

“Ingin mati lantas bunuh diri, kematian para anak kura-kura ini cukup cepat juga,” kata Ok-tu-kui.

“Ya, apakah di dalam mulut mereka sudah mengulum sesuatu racun sehingga setiap saat mereka siap untuk mati,” ujar Siau-hi-ji.

Han-wan Sam-kong coba mementang mulut salah seorang berbaju hitam itu, segera mengalirlah air kental berwarna hijau dengan bau busuk yang memuakkan. Mulutnya ternyata sudah berubah menjadi sebuah lubang belaka, gigi satu biji saja tidak kelihatan.

“Lihai amat racun ini, hanya sebentar saja gigi manusia juga dihancurkan,” seru Siau-hi-ji.

“Kalau betul, racun para anak kura-kura ini ternyata disembunyikan di sela-sela gigi,” kata Ok-tu-kui.

“Tapi mengapa mereka harus membunuh diri?” ucap Siau-hi-ji sambil berkerut kening. “Aku kan tiada maksud membunuh mereka, juga tidak ingin memaksa pengakuan mereka. Barangkali mereka memang sudah bosan hidup.”

Han-wan Sam-kong coba menggeledah badan si baju hitam, tapi hanya sedikit uang perak yang ditemukan, selain itu tiada terdapat sesuatu benda lain.

Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba Ok-tu-kui membuka baju mayat itu dan berseru, “Ini dia, di sinilah jawaban teka-teki yang ingin kau ketahui.”

Kiranya di dada orang itu jelas tertulis sepuluh huruf besar. Kesepuluh huruf itu pun bersemu hijau, tampaknya ditulis dengan dibakar sehingga mendekuk cukup dalam di dalam daging, jelas tak dapat dihilangkan selamanya.

Kesepuluh huruf itu berbunyi, “Anak murid Bu-geh, boleh dibunuh tidak boleh dihina”.

Siau-hi-ji bergumam mengulang-ulang tulisan itu, “Apa artinya kalimat tulisan ini?”

“Artinya mereka diharuskan membunuh diri apabila tidak mampu melawan orang agar majikan mereka tidak kehilangan pamor,” ujar Han-wan Sam-kong. “Kalau sekarang mereka tidak bunuh diri, setelah pulang nanti mungkin mereka akan mati dengan cara yang lebih seram.”

“Maksudmu mereka takut mendapatkan hukuman berat dari majikan bilamana mereka pulang, maka mereka lebih suka bunuh diri saja di sini,” begitu Siau-hi-ji menegas.

“Ya,” jawab Han-wan Sam-kong.

“Tapi majikan mereka kan tidak tahu-menahu bila anak buahnya dihajar orang di sini, asalkan mereka sendiri tidak omong, memangnya aku dapat menyiarkan kejadian ini?”

“Bisa jadi anak kura-kura ini suka mengukur orang lain dengan perut mereka sendiri dan mengira kau ….”

“Bukan, bukan ini alasannya,” tiba-tiba Bu-koat menyela.

“Habis apa alasannya?” tanya Siau-hi-ji.

Dengan tenang Bu-koat menjawab, “Waktu kulihat mereka, jumlah mereka ada tujuh orang.”

“Betul jika begitu,” kata Ok-tu-kui. “Mereka berlima yang masuk, dua orang lagi sembunyi di tempat gelap, melihat gelagat tidak menguntungkan mungkin sejak tadi mereka sudah kabur. Kelima orang ini yakin kejadian ini pasti akan dilaporkan oleh kedua temannya itu, daripada nanti mengalami hukuman keji, mereka lebih suka mati sekarang dengan bebas.”

“Waktu kau masuk kemari apakah tidak melihat kedua orang itu?” tanya Siau-hi-ji pada Bu-koat.

“Begitu mendengar teriakanmu segera kuterjang kemari sehingga tidak memperlihatkan urusan lain,” jawab Bu-koat.

Mendadak Siau-hi-ji tepuk kepalanya sendiri dan berteriak, “Celaka, kita asyik bicara mengenai kawanan tikus ini sehingga sama sekali tidak tahu beberapa orang telah mengeluyur pergi sejak tadi.”

Han-wan Sam-kong celingukan sekelilingnya dan ikut berseru, “Betul, anak jadah she Kang itu pun ikut kabur!”

Dengan gemas Siau-hi-ji berkata kepada Bu-koat, “Waktu kau masuk tadi, kulihat wajahnya menampilkan rasa senang, sebab disangkanya kedatanganmu hendak membunuhku lagi, kemudian mungkin melihat gelagatnya tidak menguntungkan dia, maka cepat-cepat ia mengeluyur pergi, Ai, bocah ini memang setan alas yang cerdik, seharusnya sejak tadi kuawasi dia.”

Bu-koat terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum tawar. “Dia mau pergi sendiri juga ada baiknya.” ucapnya.

“Jadi sejak tadi kau pun sudah melihat dia?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, rasanya kulirik dia sekejap,” kata Bu-koat.

“Tapi tetap kau biarkan dia pergi?”

Bu-koat menghela napas, katanya, “Ya, jelek-jelek aku telah berkawan dengan dia sekian lama ….”

“Tapi mengapa kau biarkan dia membawa serta Buyung Kiu?” teriak Siau-hi-ji.

Melengak juga Bu-koat mendengar Buyung Kiu dibawa lari Kang Giok-long, cepat ia menegas, “Nona Buyung maksudmu? Nona Buyung berada bersama dia?”

“Memangnya kau tidak melihatnya?” tanya Siau-hi-ji.

“Aku cuma melihat di sampingnya ada seorang perempuan, tak terduga kalau dia itu nona Buyung,” tutur Bu-koat dengan gegetun, “Waktu itu yang kuperhatikan hanya dirimu, ditambah lagi sinar lampu yang suram sehingga wajahnya tidak terlihat jelas.”

“Tampaknya kau pun seperti aku, biji mata kita ini perlu dikorek keluar untuk dicuci,” ucap Siau-hi-ji sambil menyengir.

Mendadak Han-wan Sam-kong menepuk bahu Siau-hi-ji dan berseru, “He, kenapa nona yang datang bersamamu itu pun ikut kabur?”

“He, ya!” seru Siau-hi-ji sambil berkerut kening. “Kenapa ia pun kabur? Apakah dia takut bertemu dengan Hoa Bu-koat?”

“Siapa nona itu?” tanya Bu-koat.

“Namanya Thi Peng-koh, kenal tidak?”

“Namanya baru sekarang kudengar.”

Dengan jarinya Siau-hi-ji ketuk-ketuk dahi sendiri, ucapnya, “Jika kau tidak kenal dia, mengapa dia kabur? Sungguh sukar dimengerti ....” Tiba-tiba ia menyambung pula dengan tersenyum getir, “Ya, mengapa aku melupakan dia adalah seorang perempuan. Seorang perempuan bilamana dia merasa harus pergi, maka seketika juga dia akan pergi dan tidak perlu pakai alasan apa segala.”

“Tapi bila kau kira dia pergi tanpa alasan, dia justru dapat mengemukakan berpuluh-puluh alasan, sedangkan alasannya itu bagi kaum lelaki jangan harap akan dapat memahaminya selama hidup,” sambung Han-wan Sam-kong sambil bergelak.

Tentang perginya Thi Peng-koh memang ada alasannya, bahkan alasannya cukup kuat.

Soalnya Hoa Bu-koat memang kenal dia, bahwa Hoa Bu-koat tidak tahu nama “Thi Peng-koh” adalah karena waktu di sana si nona tidak memakai nama Thi Peng-koh. Dan dengan sendirinya Thi Peng-koh sendiri juga sangat kenal Hoa Bu-koat.

Maka begitu nampak munculnya Hoa Bu-koat, seketika air muka Thi Peng-koh berubah pucat, cepat ia berpaling ke arah lain. Ia tunggu setelah merasa dirinya tidak diperhatikan Hoa Bu-koat, dengan kecepatan luar biasa ia lantas mengeluyur keluar.

Dalam khawatir dan gugupnya ia pun tidak tahu bahwa masih ada orang lain yang ikut kabur di belakangnya.

Meski di mulut gua mayat bergelimpangan dan tampak menyeramkan, tapi pemandangan alam di luar ternyata indah permai.

Sementara itu sudah dekat dengan senja, angin meniup silir membawa harum bunga yang lembut. Thi Peng-koh menarik napas panjang-panjang, entah bagaimana perasaannya sekarang.

Selama belasan tahun, untuk pertama kali ini dia mendapatkan kebebasan, untuk pertama kalinya dia berdikari, apa yang dilakukannya dapat diperbuat sekehendaknya, ingin ke mana pun tidak ada yang melarang.

Tapi sekarang dia justru tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya tahu dirinya sekali-kali tidak boleh tinggal di sini, sekali-kali tidak boleh dilihat Hoa Bu-koat. Maka dia harus lari dan lari terus ke tempat yang jauh.

Menyusul Kang Giok-long juga ikut mengeluyur keluar. Semula dia kegirangan melihat kedatangan Hoa Bu-koat, tapi segera dilihatnya pula sikap Hoa Bu-koat terhadap Siau-hi-ji sudah berubah, segera pula ia merasakan gelagat tidak menguntungkannya.

Kalau bicara melihat gelagat dan cepatnya berbalik haluan mengikuti arah angin, mungkin Siau-hi-ji bukan tandingan Kang Giok-long, anak Kang Piat-ho ini benar-benar licin, lebih licin daripada belut.

Bahwa diam-diam Thi Peng-koh mengeluyur keluar, hal ini pun membuat heran Kang Giok-long.

Dia tidak jelas hubungan antara si nona dengan Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, tapi dia yakin hubungan antara si nona dengan mereka pasti luar biasa. Dan begitu Thi Peng-koh mengeluarkan Ginkangnya, Kang Giok-long bertambah terkejut pula.

Betapa hebat Ginkang si nona sungguh menakjubkan, yang aneh ialah gayanya yang anggun dan khas itu tampaknya berbeda dengan Ginkang umumnya, gayanya malahan lebih mirip dengan Ginkang Hoa Bu-koat yang tiada taranya.

Seketika terbelalak mata Kang Giok-long, ia terkejut dan heran, tiba-tiba timbul suatu pikirannya, cepat ia tarik Buyung Kiu dan memburu ke arah Thi Peng-koh.

Setiap kesempatan apa pun memang tidak pernah disia-siakan oleh Kang Giok-long. Hanya saja ia pun tidak menyadari bahwa “walang hendak menangkap tonggerek, di belakangnya mengincar pula burung gereja”. Ternyata dua orang lagi secara diam-diam juga mengikut di belakangnya ....

Waktu Siau-hi-ji, Hoa Bu-koat dan Han-wan Sam-kong keluar, kecuali mayat yang bergelimpangan di luar gua, tiada bayangan seorang pun yang terlihat.

Siau-hi-ji berkata dengan menyesal sambil memandangi mayat-mayat itu, “Meski orang-orang ini datang bersama Kang Giok-long, tapi mayat mereka tak diurus sama sekali oleh bocah itu, rasanya kita harus ....”

“Urusan ini tak perlu kau risaukan, menanam orang mati adalah kepandaianku yang khas,” ucap Han-wan Sam-kong.

“Habis, apa yang harus kukerjakan?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Bilamana aku menjadi kau, secepatnya akan kugali sebuah lubang besar, tapi bukan liang untuk mengubur orang-orang mati ini melainkan untuk bersembunyi bagimu sendiri, dan paling baik lagi jika selamanya tidak muncul lagi ke muka bumi ini,” kata Ok-tu-kui dengan sungguh-sungguh.

“Jika aku tidak mau?” Siau-hi-ji tertawa.

“Jika kau tidak mau sembunyi, maka kau harus bersiap-siap menghadapi seorang lawan yang paling keji, paling ganas, paling memuakkan dan paling membuat kepala pusing.”

“Jangan-jangan yang kau maksudkan ialah si Bu-geh (tanpa gigi).”

“Betul, Gui Bu-geh.”

“Tapi kelima orang itu kan bukan aku yang membunuhnya,” kata Siau-hi-ji.

“Memangnya kau kira dia tahu aturan?” kata Han-wan Sam-kong. “Pokoknya asalkan kau menyentuh anak muridnya, maka takkan pernah habis urusanmu dengan dia.”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya, “Tapi dari mana pula dia mengetahui akan diriku?”

“Keparat itu selalu mengetahui dengan caranya sendiri,” kata Ok-tu-kui.

“Dapatkah dia menemukan aku?”

“Orang lain mungkin tidak, tapi dia mempunyai caranya sendiri untuk menemukan kau.”

Siau-hi-ji menarik napas dalam-dalam, tanyanya, “Sedemikian lihai caramu melukiskan manusia tanpa gigi itu, sesungguhnya siapakah dia?”

“Cap-ji-she-shio, pernah kau dengar sebutan ini? Nah, dia adalah si tikus dari keduabelas lambang kelahiran itu.”

“Haha, kukira siapa, tahunya Cap-ji-she-shio yang kau maksudkan,” Siau-hi-ji bergelak tertawa. “Tokoh-tokoh Cap-ji-she-shio itu sudah pernah kukenal, tampaknya juga tak dapat berbuat apa-apa atas diriku.”

“Siapa di antara mereka yang pernah kau kenal?” tanya Ok-tu-kui.

“Ada sapi, ada kambing, dan ada ular, bukankah semua ini lebih lihai daripada tikus?”

“Jika kau anggap Gui Bu-geh sama seperti si ular, maka celakalah kau,” ucap Ok-tu-kui dengan tersenyum kecut. “Di antara Cap-ji-she-shio, justru si Tikus Gui Bu-geh inilah yang paling lihai, biarpun kesebelas lainnya ditotal menjadi satu juga tak dapat melebihi dia lihainya.”

“O, ya?!” Siau-hi-ji terkesiap.

“Terkenalnya Cap-ji-she-shio justru dimulai oleh Gui Bu-geh,” tutur Han-wan Sam-kong. “Waktu mereka sedang jaya-jayanya, bilamana orang Kangouw mendengar sebutan Cap-ji-she-shio, mungkin malamnya tak bisa tidur nyenyak. Tatkala mana mungkin kau belum lagi lahir.”

“Menurut ceritamu ini, rasanya aku harus bersyukur tidak dilahirkan pada masa itu,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Tidak perlu orang lain, umpamanya Cap-toa-ok-jin kami saja kan juga tergolong manusia-manusia yang tidak gentar pada langit atau takut pada bumi, tapi bila mendengar nama Gui Bu-geh, sedikitnya kepala kami bisa pusing selama beberapa hari.”

Baru sekarang Siau-hi-ji merasakan gawatnya Gui Bu-geh itu, katanya, “Wah, tokoh yang dapat membuat kepala pusing Cap-toa-ok-jin, pasti tidak boleh dibuat main-main.”

“Aku pun pernah mendengar namanya,” tiba-tiba Hoa Bu-koat menimbrung.

“Hah, mungkinkah Ih-hoa-kiong juga kepala pusing terhadap si tikus?” Siau-hi-ji berseloroh.

“Waktu mau berangkat, guruku menyuruh aku khusus harus memperhatikan dua orang, satu di antaranya ialah Gui Bu-geh,” tutur Bu-koat.

“Dan seorang lagi?” tanya Siau-hi-ji.

“Seorang lagi ialah Yan Lam-thian, Yan-tayhiap,” jawab Bu-koat.

“Nah, tidak salah bukan ucapanku,” kata Ok-tu-kui. “Sampai-sampai tokoh macam Ih-hoa-kiongcu juga segan padanya dan menjajarkannya dengan Yan Lam-thian, maka dapat kau bayangkan betapa lihainya.”

“Di mana dia sekarang?” tanya Siau-hi-ji pula setelah terdiam sejenak.

“Sebabnya Cap-ji-she-shio agak terdesak selama beberapa tahun terakhir ini justru lantaran Gui Bu-geh mendadak menghilang pada belasan tahun yang lalu,” tutur Ok-tu-kui. “Ada orang bilang menghilangnya itu lantaran dia dilukai oleh Ih-hoa-kiongcu, maka sengaja menyembunyikan diri. Ada pula kabar bahwa dia hendak meyakinkan sejenis ilmu sakti, maka tidak ingin ditemui orang ....” Setelah menghela napas panjang, lalu ia menyambung, “Konon bilamana ilmu saktinya itu sudah berhasil diyakinkan, maka ilmu silat yang dimiliki Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian akan berubah seperti permainan anak kecil.”

“Hm, ilmu silat Ih-hoa-kiongcu selamanya takkan seperti permainan anak kecil,” jengek Hoa Bu-koat.

“Sudah tentu mungkin sekali dia cuma membual saja,” ujar Ok-tu-kui. “Tapi apa pun juga kuharap ilmu sakti yang dia yakinkan itu mudah-mudahan akan gagal.”

“Coba menurut pendapatmu dia bersembunyi di mana?” tanya Siau-hi-ji.

“Kalau dia sudah sembunyi, biarpun setan juga tak dapat menemukan dia,” kata Ok-tu-kui.

Siau-hi-ji berkerut kening, gumamnya, “Jangan-jangan dia sembunyi di Ku-san ... orang yang disebut kedua Auyang bersaudara sebelum ajal mereka itu jangan-jangan si Tikus ini?”

Mendadak ia tepuk pundak Han-wan Sam-kong dan berseru dengan tertawa, “Setelah menanam orang mati apa pula yang ingin kau lakukan?”

“Sebenarnya aku ingin mencari lawan berjudi lagi,” jawab Ok-tu-kui. “Tapi demi mengingat Gui Bu-geh sudah muncul, selera berjudiku lantas lenyap.”

“Jika begitu kuharap engkau suka mengantar harta benda di dalam gua ini untuk dikembalikan kepada Toan Hap-pui, berbareng itu supaya di beritahukan padanya siapa yang telah menyembunyikan harta bendanya ini,” kata Siau-hi-ji. Lalu dengan tertawa ia menyambung, “Asalkan sudah kau serahkan kembali padanya, bahwa kemudian harta benda ini akan kau sikat lagi dengan taruhan adalah soal lain. Sebab Toan Hap-pui juga gemar mengadu jangkrik, juga sangat suka makan Ang-sio-bak, bilamana kau taruhan dengan dia dalam hal makan daging pasti dia takkan menolak.”

Seumpama Han-wan Sam-kong hendak menolak permintaan Siau-hi-ji juga tidak keburu lagi, sebab sebelum habis ucapannya, secepat terbang Siau-hi-ji telah menarik Hoa Bu-koat dan berlari pergi.

Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong geleng-geleng kepala dan menyengir, gumamnya, “Keparat! Kalau Kang Siau-hi-ji sudah minta sesuatu padamu, jangan harap kau dapat menolaknya.”

Di tengah jalan Siau-hi-ji lantas menceritakan pengalamannya kepada Hoa Bu-koat. Sudah tentu Bu-koat tercengang heran, ia pun tidak habis pikir sesungguhnya permainan apakah yang sedang dilakonkan oleh “Tong-siansing” yang misterius itu, mau tak mau ia pun mulai menaruh curiga terhadap asal-usul tokoh aneh itu.

Kemudian ia pun menceritakan pengalamannya. Dengan sendirinya Siau-hi-ji merasa heran, katanya, “Yan-tayhiap baru akan melepaskanmu bilamana aku sudah ditemukan, mengapa engkau bisa muncul sendirian? Ke manakah beliau sekarang?”

“Entah mengapa selama dua hari ini aku selalu merasa bimbang dan tidak tenteram, seakan-akan tertimpa sesuatu mara bahaya, rasanya selama hidupku ini belum pernah mengalami keadaan seperti ini.”

“Yang mengalami bahaya selama dua hari ini ialah diriku, mengapa engkau yang merasa tidak tenteram malah, ini benar-benar sangat aneh,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sudah tentu tidak pernah terpikir olehnya bahwa sesungguhnya mereka adalah saudara kembar dan dengan sendirinya ada semacam ikatan batin, semacam telepati antara perasaan mereka, mimpi pun Siau-hi-ji tidak pernah menduga bahwa Hoa Bu-koat sesungguhnya adalah saudaranya.

Dengan senyum getir Bu-koat juga berkata, “Ya, aku pun merasa heran, hati rasanya tidak tenteram dan senantiasa ingin keluar, seakan-akan ingin menemukan sesuatu kejadian yang aneh, tapi urusan apa, aku sendiri pun tidak tahu.”

“Kemudian bagaimana?” tanya Siau-hi-ji.

“Mungkin Yan-tayhiap melihat sikapku agak aneh, beliau bertanya padaku ada masalah apa, kuberitahukan perasaanku yang tidak tenteram dan ingin berjalan-jalan keluar .... Semula kukira Yan-tayhiap pasti tidak mengizinkan, siapa tahu dia lantas meluluskan kehendakku.”

“Kau ingin keluar dan dia membiarkan kau pergi begitu saja?”

“Betul,” jawab Bu-koat.

Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Betapa pun Yan Lam-thian memang berbeda daripada Tong-siansing. Bicara terus terang, kau dapat bertemu dengan tokoh seperti dia sungguh nasibmu sedang mujur.”

Bu-koat terdiam. Bilamana hatinya mengagumi seseorang, maka mulutnya tidak akan mengutarakannya, apalagi orang yang dikaguminya adalah musuh bebuyutan Ih-hoa-kiong.

Dengan tertawa tiba-tiba Siau-hi-ji berkata pula, “Tapi engkau juga tidak malu sebagai seorang Kuncu (ksatria sejati), makanya dia mau melepaskan kau pergi begitu saja. Bilamana diriku, mungkin dia takkan melepaskan aku.”

“Mengapa kau suka mengaku dirimu bukan seorang Kuncu?” kata Bu-koat dengan tertawa.

Siau-hi-ji merenung sejenak, ucapnya kemudian, “Mungkin disebabkan sejak kecil tak pernah kulihat seorang pun yang berjiwa luhur, pada hakikatnya aku tidak tahu Kuncu itu macam apa bentuknya. Bilamana pernah kulihat satu-dua orang ‘Kuncu’, mereka ternyata sering membuat kecewa padaku ....” Mendadak ia bergelak tertawa dan menambahkan, “Bisa jadi lantaran di dunia ini terlalu banyak Kuncu palsu, betul tidak?”

“Jika kau dapatkan sebuah anggur kecut di antara satu onggok anggur yang menarik, apakah lantas kau anggap semua anggur itu kecut?” tanya Bu-koat dengan tertawa.

“Jika kau sudah makan yang kecut, apakah kau masih punya selera buat makan yang lain?”

“Biarpun aku sudah makan lima buah yang kecut juga tetap kumakan yang keenam, sebab kutahu apabila kumakan terus, akhirnya pasti akan mendapatkan anggur yang manis. Bilamana kau tidak mencoba makan lagi, bukankah kesempatan itu akan hilang selamanya?”

“Apakah kau tahu, apabila seorang terlalu pintar, bisa jadi selama hidupnya takkan pernah merasakan pangan yang enak? ....”

Bu-koat tidak menjawab, ia tertawa. Katanya tiba-tiba, “Ah, Yan-tayhiap sedang menungguku, apakah kau ....”

“Bila bertemu dengan beliau, katakan tidak lagi berjumpa denganku, boleh?” sela Siau-hi-ji.

“Sebab apa? Memangnya kau tidak mau ikut menemuinya?” tanya Bu-koat heran.

“Aku ... aku hendak pergi ke Ku-san, bilamana diketahuinya tentu beliau akan melarang kepergianku.”

“Kau hendak pergi ke Ku-san?” tanya Bu-koat terlebih heran, “Untuk apa?”

“Menolong orang.”

“Menolong siapa?”

“Orang jahat?”

“Orang jahat? Apakah tokoh Cap-toa-ok-jin?”

“Betul, mereka ditipu orang ke Ku-san sana, apabila Gui Bu-geh betul-betul berada di sana dan benar-benar sedemikian lihainya, maka kepergian mereka itu mungkin takkan pulang kembali.”

“Tapi mereka kan ....”

“Meski mereka bukan orang baik-baik, tapi aku dibesarkan oleh mereka. Bilamana aku tidak mengetahui urusan ini tentu tak menjadi soal, tapi kini aku mengetahuinya, terpaksa aku harus ikut campur. Apalagi ... apalagi aku pun hendak mencari Thi Peng-koh sekalian. Meski ilmu silatnya tidak rendah, tapi dia belum berpengalaman, pada hakikatnya tidak kenal bahayanya pergaulan orang hidup ini dan setiap saat mungkin akan terperangkap. Lantaran dia sudah pernah menyelamatkan aku satu kali, betapa pun aku juga mesti menolongnya satu kali ....” dia mencibir, lalu menyambung pula dengan tertawa, “Kau tahu, tidaklah enak rasanya bilamana utangmu kepada seorang perempuan belum lagi dilunasi.”

Bu-koat menatapnya lekat-lekat sekian lama, katanya kemudian dengan gegetun, “Baru sekarang kutahu, hendak memahami orang semacam kau ini sungguh bukan pekerjaan yang mudah.”

*****

Ini cuma sebuah kota kecil, seperti kota kecil umumnya, biarpun tiada penjahit yang modern, tiada penyewaan kereta, tiada tontonan yang menarik, tapi ada seorang koki yang serba mahir. Penduduk kota ini rupanya juga serupa manusia umumnya, lebih mengutamakan perut, habis itu baru urusan lain.

Kini koki yang pandai itu sedang memperlihatkan kemahirannya, bau sedap yang teruar dari restoran kecil yang papan mereknya sudah dekil itu menimbulkan gairah makan khalayak ramai.

Entah karena tertarik oleh bau sedap ini atau bukan, yang jelas Thi Peng-koh telah masuk ke kota kecil ini, bahkan ia pun merasakan perutnya sangat kelaparan.

Meski di gua ia sudah makan sedikit, namun seorang yang sudah kelaparan selama dua-tiga hari rasanya tidaklah mudah memuaskan rasa laparnya hanya dengan makan sekadarnya.

Tiba-tiba ia menemukan satu kenyataan, rasa lapar sesungguhnya bukan sesuatu yang mudah ditahan.

Dalam keadaan demikian, biarpun dia adalah seorang putra raja, kalau perut sudah lapar, maka rasanya tiada beda dengan seorang kusir dokar di tepi jalan.

Meja di rumah makan kecil itu tampak mengkilap di bawah cahaya lampu yang tidak begitu terang, belasan ekor lalat hijau tampak terbang mengerumuni piring yang penuh berisi santapan sebangsa Lo-se-bak.

Dalam keadaan biasa tempat begini tidak mungkin dikunjungi Thi Peng-koh biarpun dia dijemput dengan joli. Tapi sekarang, seumpama merangkak juga dia akan merangkak masuk ke situ.

Pelayan yang duduk di depan rumah makan dan sedang mengorek kuping tampak riyap-riyap oleh rasa geli-geli nikmat, melihat kedatangan Thi Peng-koh dengan ragu-ragu ia berbangkit, ia mengawasi si nona dari atas ke bawah dan kembali dari bawah ke atas, meski menyambut dengan mengulum senyum, namun senyuman yang nyengir dipaksakan atau lebih tepat dikatakan menyengir.

Maklum, keadaan Thi Peng-koh sekarang tidaklah mirip seorang tamu yang terhormat.

Biarpun umpamanya dia tergolong nona yang paling cantik serta berbaju paling mewah di dunia ini, tapi setelah mengalami kejadian selama dua hari itu, keadaannya benar-benar sudah mirip perempuan gelandangan di tepi jalan.

Muka Peng-koh kini tampak lesu, ya kotor, ya berkeringat, rambutnya morat-marit seperti sarang burung, pakaiannya robek dan dekil, tampaknya lebih mirip pelarian yang baru kabur dari penjara, atau juga mirip gundik orang yang baru minggat.

Cuma sayang, seperti juga kebanyakan orang di dunia ini, hanya melihat kekotoran di tubuh orang lain, tapi tidak melihat kekotoran di badan sendiri.

Di rumah makan ini hanya ada tiga orang tamu, semuanya terbelalak melihat tamu baru yang aneh ini. Thi Peng-koh sendiri tidak tahu sebab apakah orang-orang ini memandangnya dengan heran.

Dengan lagak seperti seorang permaisuri dia masuk ke rumah makan ini, ia mengira orang lain akan menghormatinya seperti biasanya. Tak tahunya bahwa seorang yang berpakaian compang-camping seperti pengemis bilamana dia berlagak seperti permaisuri pula, maka lagaknya pasti menimbulkan rasa curiga orang lain. Sebab setiap orang tahu hanya orang miskin saja yang sok berlagak kaya, semakin kosong semakin suka berlagak berisi.

Apalagi sekarang, begitu masuk rumah makan itu, seketika pandangan Thi Peng-koh tercurah kepada Lo-se-bak yang ada di piring itu, sikapnya itu mirip orang yang selama hidup ini tak pernah makan enak, jelas sangat berbeda dengan lagaknya yang sok permaisuri itu.

Akhirnya si pelayan mendekati Peng-koh dan bertanya sambil tersenyum, “Apakah nona ingin dahar?”

“Ehm,” Peng-koh hanya mendengus saja, soalnya dia baru saja menelan air liur, maka sukar mengucapkan sesuatu kata.

Dengan acuh si pelayan berkata pula, “Apakah nona ingin semangkuk bakmi? Mi bakso di sini cukup memuaskan, satu porsi sedikitnya ada setengah kati.”

Peng-koh menarik napas panjang-panjang, katanya, “Aku tidak suka bakmi, bawakan saja seekor ayam panggang, satu porsi Ang-sio-hi, satu porsi ham masak saus manis dan satu porsi sup jamur masak rebung .... Dan, Lo-se-bak seperti di piring itu bawakan dulu satu porsi.”

Santapan yang dipesan ini baginya sebenarnya sangat jamak, boleh dikatakan sangat merendahkan derajatnya, dengan gairah makanya yang berkobar sekarang, seekor babi panggang saja mungkin bisa dihabiskannya.

Tiba-tiba ketiga tamu yang mengikuti gerak-gerik Peng-koh sejak datangnya tadi sama tertawa geli mendengar serentetan nama santapan yang dimintanya itu. Si pelayan juga terbelalak heran sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

Kalau Peng-koh hanya minta satu porsi bakmi, paling-paling ditambah lagi satu porsi Lo-se-bak, maka bolehlah, seumpama dia tidak sanggup bayar, si pelayan mampu menggantinya. Tapi yang diminta sekarang adalah sebangsa daharan yang mahal, ada ayam panggang dan ham segala, jelas ini bukan main-main.

“Bagaimana, apakah rumah makan kalian tidak sanggup menyediakan santapan pesananku?” omel Peng-koh dengan melotot demi melihat sikap ragu si pelayan.

Dengan serba susah si pelayan menjawab, “Santapan yang nona minta tentu saja ada, cuma rumah makan kami ini ada suatu peraturan.”

“O, peraturan apa?” tanya Peng-koh.

“Karena modal kami kecil, tidak sanggup menerima bon, maka para tamu yang berkunjung kemari biasanya harus bayar kontan lebih dahulu.”

Peng-koh jadi terkesiap. Mana dia membawa uang segala, dia cuma tahu uang perak adalah benda kotor dan berat, pada hakikatnya dia tidak tahu sedemikian besar daya gunanya uang.

Dengan menyengir si pelayan berkata pula, “Makan harus bayar, masa nona tidak paham peraturan ini?”

Muka Peng-koh menjadi merah dan tidak sanggup bersuara.

Ketiga tamu di sebelah itu lantas terbahak-bahak geli. Memang begitulah sifat kebanyakan manusia di dunia ini, kalau melihat muka anak perempuan berubah merah, rata-rata mereka akan merasa senang.

Seorang di antaranya lantas berkata dengan tertawa, “Lebih baik nona makan bersama kami di sini saja. Meski di sini tiada ayam panggang dan ham segala, tapi congor babi masih ada sisa sebagian, rasanya masih cukup untuk teman minum arak.”

Peng-koh menjadi serba salah, dalam keadaan demikian ia berharap lebih baik tidak pernah terjadi adegan ini, sebaiknya kalau dia tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah masuk ke rumah makan setan ini.

Bilamana Siau-sian-li yang menghadapi keadaan ini, tentu semua orang akan dihajar dan dihalaunya dengan cambuknya. Jika Siau Mi-mi, mungkin tiada seorang pun di antara mereka yang dapat pergi dengan hidup. Tapi Thi Peng-koh bukan Siau-sian-li atau Siau Mi-mi, meski sikapnya angkuh, tapi pada dasarnya dia bukan anak perempuan yang galak dan ganas.

Hakikatnya dia memang tidak tahu bagaimana caranya berbuat ganas dan bersikap galak, ia hanya merasakan duduk di rumah makan ini terasa tidak enak, kalau keluar juga memalukan, jadinya serba susah.

Dan pada saat demikianlah Kang Giok-long masuk ke rumah makan ini, waktunya sungguh sangat tepat. Dia mendekati Peng-koh dan memberi salam dengan sangat hormat, lalu menyodorkan beberapa potong uang emas, katanya sambil tertawa, “Paman mengetahui keberangkatan Piauci terlalu tergesa-gesa dan mungkin tidak sempat membawa sangu, maka Siaute disuruh mengantarkan sedikit uang receh ini sekadar biaya perjalanan.”

Si pelayan melenggong seketika, ketiga tamu tadi juga melengak.

Yang paling heran sudah tentu Thi Peng-koh sendiri. Dia mengenali Kang Giok-long adalah si busuk yang dicaci-maki oleh Siau-hi-ji itu, tapi tidak habis mengerti apa maksudnya.

Cuma apa pun juga kedatangan orang ini memang tepat pada waktunya, munculnya uang perak ini pun sangat pas pada saatnya, umpama ingin menolaknya juga tidak sanggup menolak lagi.

Terpaksa ia menyaksikan Kang Giok-long duduk di sebelahnya. Buyung Kiu tampak tertawa linglung dan ikut duduk seperti boneka. Anak perempuan yang cantik dan menyenangkan ini kini telah berubah sedemikian mengharukan.

Sebaliknya si pelayan tadi telah berubah lebih gesit, dengan munduk-munduk ia meladeni tetamunya, sebentar antar teh, lain saat membawakan santapan, hanya sekejap saja pesanan Peng-koh tadi sudah memenuhi meja.

Kang Giok-long menggunakan air teh untuk mencuci sumpit Thi Peng-koh, katanya dengan mengiring tertawa, “Lo-se-bak ini tampaknya cukup segar, silakan Piauci (kakak misan) dahar sekadarnya.”

Mendadak muncul seorang ‘Piaute’ (adik misan), Peng-koh sendiri merasa bingung. Apabila kedatangan Kang Giok-long hanya membayar rekening makan minumnya mungkin akan ditolaknya. Tapi Kang Giok-long memang benar-benar pemuda yang sangat paham jiwa dan jalan pikiran anak perempuan. Anak perempuan lebih suka menahan lapar daripada merasa malu. Dan Kang Giok-long justru muncul pada saat Thi Peng-koh menghadapi jalan buntu dan serba susah, dia telah menyelamatkan muka si nona, tentu saja Thi Peng-koh sangat berterima kasih.

Selesai dahar, dengan kontan Peng-koh membayar rekeningnya, hatinya menjadi senang, tapi sisa uang kembalinya ia merasa tidak enak untuk mengambilnya pula.

Sejak tadi dia tidak bicara sepatah pun dengan Kang Giok-long, sekarang ia pun tidak dipedulikan anak muda itu, ia terus melangkah keluar. Ia pikir kalau Siau-hi-ji benci pada orang ini, maka orang ini pasti bukan manusia baik-baik. Bilamana seorang anak perempuan sudah menarik kesimpulan lebih dulu atas nilai seseorang maka kesan ini tidak mudah berubah.

Namun Kang Giok-long juga seorang yang suka pegang teguh atas pendirian sendiri, sekali dia sudah ambil keputusan, sukar juga menyuruhnya berganti haluan.

Thi Peng-koh berjalan keluar, Giok-long lantas mengintil di belakangnya.

Dengan mendongkol akhirnya Peng-koh bertanya, “Kau ingin berbuat apa lagi?”

“Aku cuma ingin tanya nona hendak pergi ke mana?” jawab Giok-long dengan tertawa.

“Kau tidak perlu urus,” kata Peng-koh ketus.

“Kukhawatir nona kurang leluasa menempuh perjalanan sendirian, maka ingin kubantu nona,” ujar Giok-long.

“Urusanku, kau tidak perlu pikir,” walaupun demikian ucapannya, namun hati Peng-koh sudah mulai goyah.

Terlihat orang berlalu-lalang cukup ramai di jalanan, tiada seorang pun yang di kenalnya, lampu berkelip-kelip di kejauhan, makin lama makin banyak, cuaca sudah mulai gelap.

Peng-koh jadi bingung, ia tidak tahu harus menuju ke mana? Tiba-tiba ia merasakan apabila seorang ingin hidup bebas merdeka di dunia ini, sesungguhnya tidak semudah apa yang pernah dibayangkannya.

Memang, seekor burung kenari yang biasa hidup di dalam kurungan, apabila suatu saat dilepaskan dan terbang bebas ke alam pegunungan, maka tidak terlalu lama burung kenari ini pasti akan mati kelaparan, soalnya dia sudah kehilangan kesanggupan hidup dengan berdikari atau mandiri.

Sudah cukup lama tidak terdengar Kang Giok-long di belakangnya, jangan-jangan anak muda ini sudah pergi.

Sungguh aneh, tiba-tiba Thi Peng-koh merasa dirinya jadi khawatir ditinggal pergi anak muda itu.

Cepat ia menoleh, tapi Kang Giok-long masih tetap ikut di belakangnya dengan cengar-cengir.

Meski dalam hati merasa lega, tapi di mulut dia sengaja menghardik, “Untuk apa kau terus menguntit diriku?”

“Cuaca sudah gelap, masa nona tidak ingin istirahat?” kata Giok Long.

Peng-koh menggigit bibir, sesungguhnya ia sudah lelah, tapi harus istirahat di mana? Sungguh ia tidak tahu. Malahan ia tidak tahu bahwa di dunia ini terdapat tempat menginap yang disebut “hotel”.

Dengan ramah Giok-long berkata pula dengan mengiring tawa, “Seumpama nona tidak ingin dibuntuti Cayhe, paling tidak kan boleh kubantu mencarikan hotel bagi nona.”

Sekali ini Peng-koh tidak mengucapkan lagi kata-kata menolak.

Tapi setelah mendapat hotel dan berada di kamarnya, dengan hati-hati Peng-koh lantas menutup pintu sambil berteriak, “Sekarang kau boleh pergi, makin jauh makin baik.”

Rupanya sekali ini Kang Giok-long benar-benar sangat penurut, Peng-koh tidak lagi mendengar suaranya. Setelah menunggu sejenak dan tiada terdengar sesuatu. Peng-koh menghela napas panjang dan merebahkan diri di tempat tidur.

Pengalamannya selama beberapa hari ini sungguh terlalu banyak, teringat olehnya akan Kang Siau-hi, teringat juga pada Hoa Bu-koat, dengan sendirinya ia pun memikirkan Kang Giok-long .... Sebab apakah Kang Siau-hi-ji memusuhinya?

Padahal pribadinya kan tidak terlalu busuk.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes