Wednesday, May 12, 2010

bp2_part3

“Memangnya kudatang untuk ... untuk dia?!” jawab Oh-ti-tu, meski wajahnya tidak kelihatan, namun suaranya terdengar rada-rada kikuk.

Namun Siau-hi-ji tidak berolok-olok lagi, ia tanya, “Bukan untuk dia, habis untuk siapa?”

“Dengan sendirinya kedua Lo bersaudara itulah sasaranku.”

“O, begitukah?” Siau-hi-ji tertawa.

“Asal-usul kedua orang itu penuh tanda tanya, tindak tanduknya mencurigakan, sudah dua-tiga bulan kuintai mereka dengan tujuan membongkar rahasia mereka itulah.”

“Dan apa pula hubungannya dengan dirimu?”

“Siapa gerangan di dunia ini yang tidak tahu diriku Oh-ti-tu ini paling suka ikut campur urusan orang lain?”

“Tapi urusan kedua Lo bersaudara ini apakah berharga untuk kau ikut mengurusnya?”

“Betapa pun besar ambisi kedua orang ini, kalau kukatakan mungkin kau pun akan kaget.”

“O, ya?!” Siau-hi-ji heran.

“Kutahu rencana keji mereka, biar orang baik maupun jahat, baik golongan hitam atau kalangan putih, semuanya adalah sasaran mereka. Tampaknya mereka sengaja hendak memecah belah dan mengadu domba agar setiap orang persilatan saling gontok-gontokan, saling bunuh membunuh, dengan demikian mereka yang akan menarik keuntungannya. Sampai sekarang entah berapa banyak korban telah jatuh akibat muslihat mereka itu. Tahukah kau gontokan antara Put-hay-pang dan Ui-hay-pang yang terjadi dua bulan yang lalu serta pertarungan sengit antara Lo-san-pang dan Gway-to-bun sebulan yang lampau? Banjir darah yang terjadi itu justru akibat hasutan kedua Lo bersaudara ini.”

“Jika kau tahu sejelas itu, mengapa kau tidak tampil ke muka?” tanya Siau-hi-ji.

“Pertama aku belum memegang buktinya, kedua orang-orang yang menjadi sasaran mereka itu pun bukan manusia baik-baik. Ketiga, aku ingin membongkar seluk-beluk perbuatan keji mereka baru akhirnya kulabrak mereka.”

“Menurut dugaanmu, siapakah mereka?”

“Semula kusangka mereka adalah anggota Cap-toa-ok-jin, tapi kemudian ....”

“Kemudian bagaimana?” tanya Siau-hi-ji.

“Setelah kuselidiki baru diketahui bahwa di antara Cap-toa-ok-jin itu tiada terdapat dua orang seperti mereka ini.”

“Bisa jadi tidak ada, tapi ....” Siau-hi-ji tertawa, lalu menyambung, “Jadi tujuanmu bukan untuk nona itu?”

Oh-ti-tu terdiam sejenak, jawabnya kemudian, “Memang juga ada.”

“Tahukah kau siapa dia?”

“Aku cuma tahu dia adalah anak perempuan yang harus dikasihani dan malang terjatuh ke dalam cengkeraman orang jahat ini.”

“Makanya kau ingin melindungi dia?”

“Ya, setiap orang yang harus dikasihani di dunia tentu akan kulindungi.”

“Jika begitu, mengapa kau tidak menyelamatkan dia dan membawanya pergi?”

Sinar mata Oh-ti-tu yang gemerlap itu mendadak berubah buram, namun di mulut justru tertawa dan berkata, “Jika sudah kutolong dia, lalu apakah dia harus mengikuti aku?”

“Apa jeleknya ikut kau?”

“Tapi apakah kau tahu bagaimana kehidupanku?” kata Oh-ti-tu dengan suara bengis. “Sepanjang tahun hdupku terlunta-lunta tiada menentu, makan pagi belum tentu makan siang, malamnya masih hidup belum pasti besoknya apakah masih hidup. Hidupku tidak punya rumah, kalau mati juga tidak tahu mati di mana?!”

“Dengan kepandaianmu, sebenarnya kau kan dapat hidup enak?”

“Tapi aku sudah memilih kehidupan begini, terpaksa harus tetap berlangsung terus, ingin mengubahnya juga sukar lagi. Seumpama aku sendiri tidak ingin hidup cara begini, mungkin orang lain pun takkan mengizinkan ....” Oh-ti-tu mengepal, lalu berseru dengan suara serak, “Kehidupan begini jelas tak mungkin diikuti oleh dia.”

“Asal kau suka padanya dan dia juga suka padarnu, kehidupan yang pahit bagaimana pun juga akan membuatnya bahagia,” ujar Siau-hi-ji.

Mendadak sinar mata Oh-ti-tu memancarkan sinar kepedihan, ucapnya dengan tersenyum getir, “Siapa bilang aku menyukai dia?! Orang seperti diriku ini tidak pantas menyukai siapa pun juga dan juga tidak boleh ....”

“Jadi seumpama kau suka padanya, terpaksa perasaan demikian kau simpan di dalam hati saja, begitu?”

“Ah, omong-kosong!” mendadak Oh-ti-tu melengos.

“Tadinya kusangka kau ini berdarah dingin, tapi sekarang ... sekarang dapat kuketahui bahwa kau sesunggguhnya juga seorang yang berperasaan halus,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

Mendadak Oh-ti-tu berbangkit dan mengomel, “Ah, anak muda serupa kau ini tahu apa? Sudahlah, jangan bicara urusan ini lagi.”

“Haha, kalau isi hatinya kena diketahui orang kan tidak perlu bersikap segalak ini, dong!”

Oh-ti-tu memandangnya sejenak. Mendadak ia bergelak tertawa, ia pegang tangan Siau-hi-ji, katanya, “Akhir-akhir ini aku mendapatkan seorang sahabat pula, hari ini dia telah membeli dua poci arak dan memasak satu kuali daging, marilah aku pun mengundangmu ikut hadir dan ikut makan.”

“Baiklah,” jawab Siau-hi-ji tertawa. “Orang yang dapat diterima menjadi sahabatmu tentulah orang yang cukup menarik.”

Begitulah mereka terus berlari ke sana, Siau-hi-ji selalu mengintil rapat di belakang Oh-ti-tu. “Tampaknya Ginkangmu telah maju pesat,” ucap Oh-ti-tu sambil menoleh.

“Terima kasih,” jawab Siau-hi-ji tertawa.

“Sahabatku yang baru itu pun serba pintar silat maupun surat, setelah kau kenal dia tentu kau pun akan suka padanya.”

“O, siapakah namanya?” tanya Siau-hi-ji.

“Orang berbakat tidak perlu harus punya nama. Dia sendiri mengaku she Koh bernama Goat-gian, meski namanya tidak terkenal, tapi jauh lebih unggul daripada tokoh-tokoh yang termasyhur.”

Tengah bicara mereka sudah berada di luar kota, terlihat hutan membentang di depan, samar-samar seperti ada berkelipnya sinar api, setelah dekat, tertampak sebuah “sutheng”, yakni rumah abu leluhur keluarga, yang sudah bobrok.

Rumah bobrok demikian inilah kediaman kaum gelandangan dan cahaya api itu pun keluar dari tempat ini. Sampai di sini sudah tercium bau sedapnya daging rebus.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berseloroh, “Tampaknya sahabatmu ini bukan cuma serba pandai silat dan surat saja, bahkan juga koki kelas satu.”

“Memangnya hidup kaum gelandangan hanya suka makan besar sekali tempo, masakah ada kenikmatan lainnya lagi?” ucap Oh-ti-tu.

Segera mereka melayang masuk ke rumah pemujaan yang bobrok itu, terlihat di tengah halaman ada api unggun dan di atasnya bergantungan sebuah kuali besar, dari situlah bau sedap daging rebus tercium. Di samping kuali sudah tersedia mangkuk dan sumpit, di dalam mangkuk malah sudah penuh tertuang arak, cuma tiada tertampak seorang pun di situ.

Oh-ti-tu celingukan ke sana sini sambil berseru, “Koh-laute ... Koh-laute, kuberikan seorang teman lagi, lekas keluar berkenalan.”

Diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli akan watak Oh-ti-tu yang tidak berubah itu, yakni suka menjadi Toako dan orang lain dianggapnya sebagai adik.

Meski Oh-ti-tu sudah berkaok-kaok beberapa kali, tetap tiada jawaban, dia keluar untuk mencari dan tetap tidak diketemukan, akhirnya ia terus duduk dan berkata, “Koh-laute ini memang aneh, mungkin pantatnya lancip, tidak betah duduk dengan tenang, kini entah lari ke mana, biarlah, kita tak perlu menunggunya, makan dulu, urusan belakang.”

“Cocok dengan pikiranku,” sambut Siau-hi-ji dengan gembira, sumpit segera dipegangnya.

Akan tetapi baru saja sepotong daging ia masukkan ke mulut, lalu sumpit ditaruh kembali, mulut pun tidak mengunyah, agaknya daging dalam mulut itu sukar tertelan. Padahal mulut Oh-ti-tu sudah bekerja seperti mesin pabrik, tujuh-delapan potong daging sudah masuk perutnya.

Oh-ti-tu hanya menyingkap sedikit kedoknya, yakni bagian mulut ditarik ke atas hidung sehingga kelihatan mulutnya yang lebar dengan bibir tipis itu, cara makannya yang rakus itu sungguh mirip orang kelaparan.

Setelah belasan potong daging dilansir ke perut, lalu Oh-ti-tu mendorongnya dengan semangkuk arak, habis itu barulah dia pandang Siau-hi-ji sambil menyengir, “Empuk dan lezat daging rebus ini, kenapa kau tidak percepat sumpitmu”

Tapi Siau-hi-ji malah menumpahkan daging di mulutnya itu ke tanah, katanya, “Daging ini tidak boleh dimakan.”

Oh-ti-tu jadi melengak, tanyanya, “Mengapa tidak boleh dimakan? Daging ini kan bukan barang curian?”

“Apakah kau tahu daging apa ini?” tanya Siau-hi-ji mendadak sambil tertawa.

“Daging apa, memangnya daging manusia!”

“Betul, memang daging manusia!”

Oh-ti-tu menjerit kaget, sepotong daging yang sudah masuk ke mulut seketika tersembur keluar, teriaknya “Apa katamu?”

“Kubilang ini daging manusia, tidak mungkin keliru.”

“Dari... dari mana kau tahu?” tanya Oh-ti-tu.

“Sejak umur tiga tahun aku sudah pernah merasakan daging manusia, rasanya belum pernah kulupakan hingga sekarang.”

“Sejak umur tiga tahun kau sudah pernah makan daging manusia?” Oh-ti-tu menegas dengan melotot.

“Bicara terus terang, sejak kecil aku ini dibesarkan di Ok-jin-kok, kalau daging ini bukan diiris dari tubuh manusia yang mati, biarlah kumakan hidungku sendiri nanti.”

Habis berkata begitu Siau-hi-ji ingin menyaksikan Oh-ti-tu menumpahkan daging yang telah masuk perutnya itu, di luar dugaan Oh-ti-tu malah bergelak tertawa, katanya, “Jika demikian, yang memasak daging ini jangan-jangan Li Toa-jui adanya?”

“Bisa jadi memang dia,” kata Siau-hi-ji.

“Ehm, betul juga, Koh Goat-gian, gabungan tiga huruf ini sama artinya dengan ‘omong kosong’,” kata Oh-ti-tu. “Ha, jadi sejak mula dia bilang padaku dia sengaja omong kosong, tapi aku percaya saja padanya.”

“Dan kau tidak ingin tumpah?” tanya Siau-hi-ji.

“Kalau sudah masuk perut, tumpah juga tidak ada gunanya,” sahut Oh-ti-tu dengan tertawa.

“Dan kau masih dapat tertawa?”

“Kenapa aku tidak boleh tertawa? Jika dapat bersahabat dengan orang macam Li Toa-jui kan juga kejadian yang menarik, tak peduli dia orang baik atau busuk, jelek-jelek dia tokoh terkenal dan peran penting, orang seperti dia itu tidaklah banyak di dunia Kangouw.”

Diam-diam Siau-hi-ji memuji kebesaran jiwa Oh-ti-tu ini, suka bicara blak-blakan, tidak pura-pura, tidak munafik. Namun di mulut ia hanya berkata, “Tapi tuan ‘omong kosong’ itu pun belum pasti Li Toa-jui adanya.”

“Habis siapa kalau bukan Li Toa-jui?” ujar Oh-ti-tu.

“Kutahu ada seorang lagi yang sengaja menyamar sebagai Li Toa-jui dan mungkin sengaja menyuruh kau makan daging manusia, habis itu supaya kau akan tumpah habis-habisan, dan karena kau terjebak olehnya, maka dia lantas gembira ....” sampai di sini mendadak dia tahan suaranya dan berbisik, “Mungkin tujuannya tidak cuma membuatmu tumpah-tumpah saja, tapi besar kemungkinan ada intrik lain.”

Mendadak Oh-ti-tu merapikan kedoknya, lalu menjengek, “Sahabat di luar itu, kalau sudah datang mengapa tidak masuk saja sekalian?”

Waktu menahan suaranya tadi Siau-hi-ji memang sudah mendengar sesuatu, ternyata telinga Oh-ti-tu juga tidak kalah tajamnya.

Belum lenyap suara Oh-ti-tu, serentak sesosok bayangan orang melayang masuk ke “sutheng” itu.

Di tengah gemerlapnya cahaya api terlihat potongan tubuh pendatang yang ramping ini dengan baju yang merah membara, sorot matanya yang bercahaya itu penuh rasa gusar.

Ternyata pendatang ini adalah Siau-sian-li. Bahwasanya tengah malam buta Siau-sian-li bisa muncul di sutheng ini, biarpun hal ini membuat Siau-hi-ji rada terkejut, tapi dia tetap tenang-tenang saja duduk di tempatnya.

Agaknya Oh-ti-tu juga tidak menyangka orang yang menerobos masuk itu adalah seorang perempuan cantik, tampaknya ia pun melenggong. Bagi Siau-sian-li tentu saja tidak dipandang sebelah mata kedua orang yang tak menarik itu. Begitu ayun pedangnya, seketika kuali besi tercungkit oleh ujung pedangnya terus dilemparkan sehingga daging rebus sekuali penuh berserakan di lantai. Tertampak gemerdepnya sinar emas, di dalam kuali ternyata ada sebuah tusuk konde emas.

Seketika Siau-sian-li menjerit kaget, segera seorang melompat masuk pula dari luar, ternyata Koh Jin-giok adanya. Siau-sian-li terus menubruk ke bahu anak muda itu sambil berseru parau, “Tusuk kundai ... tusuk kundai Wan-ji ternyata betul berada di dalam kuali.”

Dengan mata melotot Koh Jin-giok membentak Siau-hi-ji, “Apakah kau ini ... kau ini termasuk manusia?”

Siau-hi-ji tahu mereka tidak mengenali dirinya, dengan tertawa ia menjawab, “Aku kan serupa denganmu, mengapa bukan manusia?”

“Coba ... coba katakan, apa isi kuali ini?” bentak pula Koh Jin-giok.

Belum pernah Siau-hi-ji melihat pemuda yang mirip gadis pingitan itu bersikap segarang ini, ia tahu orang telah benar-benar marah, ia pun tahu orang yang dagingnya digodok di dalam kuali itu pasti ada hubungannya dengan mereka. Yang tidak bisa dimengerti olehnya adalah cara bagaimana mereka dapat mencari ke sutheng bobrok ini dan dari mana pula mereka mendapat tahu di dalam kuali ada tusuk kundainya?

Walaupun heran dan curiga, tapi dia sengaja tertawa dan berkata, “Coba katakan, apa isi kuali itu menurut pendapatmu?”

Muka Koh Jin-giok menjadi merah padam dan tidak sanggup bicara pula.

Pada saat itulah terdengar seorang berkata dengan perlahan-lahan, “Di dunia ini tidak kekurangan daging, kalian berdua mengapa lebih suka makan daging manusia? Makan daging sejenis sendiri, masa kalian lebih rendah daripada binatang?”

Walaupun lagi mendamprat orang, tapi satu kata pun orang ini tidak menggunakan istilah kotor, bahkan nada ucapannya tetap ramah-tamah sehingga lebih mirip orang lagi mengobrol iseng.

Bersama dengan suaranya itu, dua orang telah melangkah masuk, meski sorot mata mereka pun nampak gusar, tapi tetap bersikap tenang. Mereka adalah Lamkiong Liu dan Cin Kiam.

Siau-hi-ji tetap tertawa saja, jawabnya, “Kau bilang kami sedang makan daging manusia, tapi cara bagaimana kalian mendapat tahu? Jangan-jangan ada orang menyampaikan laporan rahasia kepadamu?”

Belum lagi Cin Kiam menjawab, mendadak Siau-sian-li melangkah maju dan mendamprat, “Sudah tentu ada orang yang memberi laporan, perbuatan kalian yang terkutuk ini siapa pun tidak bisa membenarkannya.”

“Ya, Wan-ji yang pintar dan menyenangkan itu seharusnya disayang dan dikasih, tapi kalian malah menyembelihnya dan memakan dagingnya, tindakan kalian ini sungguh tidak lumrah dan sangat tercela,” kata Lamkiong Liu dengan perlahan. Sampai sekarang cara bicaranya masih tetap tenang-tenang dan sopan santun.

Siau-sian-li menjadi gusar, omelnya, “Untuk apa banyak bicara dengan orang-orang begini ....”

“Setelah urusan menjadi begini, apalagi yang hendak kalian katakan?” dengan perlahan-lahan Lamkiong Liu berucap pula.

Siau-hi-ji menjawab dengan tertawa, “Urusan sudah begini, berkata apa pun tidak menjadi soal lagi.”

Tiba-tiba Oh-ti-tu berbangkit dan berseru, “Cayhe ingin bicara juga.”

“Jangan-jangan saudara inilah Oh-ti-tu yang terkenal di dunia Kangouw itu?” tanya Cin Kiam.

“Betul,” jawab Oh-ti-tu.

“Tampaknya desas-desus di dunia Kangouw tidak boleh dipercaya penuh, tak terduga Oh-ti-tu adalah orang semacam kau ini,” ucap Cin Kiam sambil mengernyitkan dahi.

“Desas-desus Kangouw tidak boleh dipercaya, laporan palsu lebih-lebih tidak boleh dipercaya,” teriak Oh-ti-tu. “Coba jawab, kalau bukan orang yang memotong dan memasak daging ini, cara bagaimana pula dia mendapat tahu bahwa di dalam kuali ini ada tusuk kundainya?”

Cin Kiam dan Lamkiong Liu saling pandang sekejap, dengan perlahan Lamkiong Liu berucap, “Jadi maksud saudara hendak mengatakan bahwa urusan ini diperbuat oleh orang lain yang sengaja hendak menimpakan dosa ini kepadamu?”

“Memang begitu,” jawab Oh-ti-tu.

“Ehm, masuk di akal juga,” Lamkiong Liu manggut-manggut perlahan.

“Jiko, betapa pun aku tak dapat melepaskan mereka biarpun hendak kau lepaskan mereka,” seru Siau-sian-li. “Bukan mustahil pelapor itu secara diam-diam menyaksikan perbuatan mereka yang terkutuk ini lalu kita diberitahu.”

“Ya, mungkin juga begitu,” kata Lamkiong Liu.

“Kalau Wan-ji jelas telah mereka sembelih dan dimakan, dengan sendirinya Kiu-moay juga ... juga ....” mendadak nada Siau-sian-li tersendat-sendat dan tidak sanggup meneruskan lagi.

Cin Kiam menatap Siau-hi-ji dan Oh-ti-tu dengan sorot mata tajam, katanya dengan suara berat, “Meski persoalan ini masih meragukan, tapi kalau kalian tidak mampu memperlihatkan bukti bahwa kalian sesungguhnya tidak bersalah, terpaksa sekarang juga kalian harus kami bawa pulang.”

“Hm, ramah juga ucapan saudara,” jengek Oh-ti-tu, “Bukan soal bila kami harus ikut kalian, cuma saudara harus juga memperlihatkan bukti nyata berdasarkan apa kalian hendak membawa pulang kami ini?”

“Apakah tusuk kundai ini bukan bukti nyata? Kau masih berani menyangkal?” bentak Siau-sian-li.

Oh-ti-tu mendelik, tapi sebelum dia bicara Siau-hi-ji telah mendahului dengan mengikik tawa, “Bilakah kami menyangkal?”

Pedang Siau-sian-li sudah siap untuk menyerang, ia menjadi tercengang mendengar jawaban Siau-hi-ji, tanyanya, “Jadi kau sudah mengaku?”

“Makan daging manusia kan juga bukan sesuatu yang luar biasa,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Keruan Oh-ti-tu kaget seperti kena dicambuk satu kali, serunya, “He, apa katamu?”

Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia berbalik bicara pula kepada Siau-sian-li dengan tertawa, “Kiu-moay yang kau maksudkan itu apakah seorang nona yang bermata besar dan bermuka pucat, berusia antara 18-19 tahun dan suka memakai baju hijau muda?”

“Ahh, kau ... kau telah apakan dia?” tanya Siau-sian-li dengan suara gemetar.

“Telah kuapakan dia, memangnya perlu kukatakan pula?” jawah Siau-hi-ji dengan tergelak.

Oh-ti-tu menjadi kelabakan, serunya, “He, apakah kau sudah gila, ngaco-belo tak keruan?”

“Memangnya ada apa dengan soal itu, kenapa kau takut?” ucap Siau-hi-ji tertawa.

Betapa pun sabarnya Cin Kiam dan Lamkiong Liu, tidak urung air muka pun berubah kini.

Siau-sian-li juga lantas berjingkrak gusar, teriaknya, “Coba dengarkan, dia ... dia sendiri sudah mengaku.” Berbareng itu pedang terus menusuk secepat kilat.

Koh Jin-giok juga tidak tinggal diam, matanya tampak merah, sambil menggerung sekaligus dia melancarkan tiga kali pukulan dahsyat.

Dengan sendirinya tusukan pedang dan pukulan-pukulan itu terarah ke tempat mematikan di tubuh Siau-hi-ji, pedang berkelebat secepat kilat, pukulan sedahsyat geledek, serangan dari kanan kiri ini sungguh lihai luar biasa.

Jika ini terjadi dua tahun yang lalu, maka jelas Siau-hi-ji akan mati di bawah pukulan kalau tidak binasa oleh tusukan pedang. Tapi Siau-hi-ji sekarang bukan lagi Siau-hi-ji yang ingusan. Begitu tangan kirinya bergerak tahu-tahu batang pedang Siau-sian-li terasa diusap perlahan, pandangannya menjadi kabur, pedang terasa di tarik oleh arus tenaga yang mahakuat, ujung pedang yang mengarah Siau-hi-ji tahu-tahu menusuk Koh Jin-giok, keruan anak muda itu terkejut dan bergeser, “bret”, lengan bajunya toh sempat tertusuk robek.

Gerakan “meraih dan mendorong” Siau-hi-ji yang sepele ini telah dapat dilakukannya dengan sangat ajaib sehingga mempunyai daya guna yang sama lihainya dengan gerakan “Ih-hoa-ciap-giok” yang terkenal dari Ih-hoa-kiong itu, tentu saja kedua lawannya melongo kaget.

“He, apakah engkau ini anak murid Ih-hoa-kiong?” seru Cin Kiam.

Siau-hi-ji tidak menjawab, sebaliknya ia tertawa dan sembunyi di belakang Oh-ti-tu, katanya, “Meski aku pun makan daging rebus tadi, tapi biang keladinya bukan diriku, mengapa kalian terus mengincar aku saja?”

Koh Jin-giok dan Siau-sian-li merasa heran, sudah terang Siau-hi-ji mendapat kesempatan untuk menyerang pula, tapi hal ini tidak dilakukannya, sebaliknya malah terus sembunyi, saking gusarnya kedua orang itu pun tidak peduli, segera mereka menerjang maju lagi. Sekali ini gerak serangan mereka tambah keji, tapi cara menyerangnya lebih hati-hati, namun yang kena diterjang lebih dulu bukan lagi Siau-hi-ji melainkan Oh-ti-tu.

Kejut dan dongkol pula Oh-ti-tu, namun dalam keadaan demikian ia pun tidak sempat memberi penjelasan lebih lanjut, sebab kalau dia mau bicara, sebelum berucap mungkin tubuhnya sudah kena dilubangi oleh pedang lawan. Dan kalau tidak bicara, terpaksa ia harus bertempur.

Begitulah di tengah gemerdepnya sinar pedang serta menderunya angin pukulan, sekaligus Koh Jin-giok dan Siau-sian-li telah melancarkan belasan jurus serangan, selama itu pun Oh-ti-tu telah balas menyerang tiga kali.

Sudah tentu di bawah serangan gencar pukulan Koh Jin-giok dan tusukan pedang Siau-sian-li itu sama sekali Oh-ti-tu tidak sempat membuka mulut, sebaliknya Siau-hi-ji yang sembunyi di belakang malah berseloroh, “Bagus, memang seharusnya begini, labrak saja mereka, takut apa?”

Oh-ti-tu berkaok-kaok gusar, sedapatnya dia hendak melepaskan diri dari godaan Siau-hi-ji, tapi anak muda itu laksana bayangan saja yang melekat pada tubuhnya, sukar ditinggal dan tidak mungkin berpisah. Malahan anak muda itu berkeplok tertawa dan berseru, “Bagus, tusukan pedang yang hebat .... Aha, pukulan sakti keluarga Koh memang luar biasa! .... Ai, Oh-ti-tu, tampaknya kau tak sanggup melawan mereka!”

Dalam gusarnya tadi Siau-sian-li dan Ko Jin-giok melancarkan serangan, makanya mereka kena didahului oleh Siau-hi-ji, tapi kini setelah pikiran mereka tenang kembali, gerak serangan mereka menjadi mantap, apalagi pengalaman tempur Siau-sian-li sangat luas, pedangnya menyerang dengan cepat lagi keji, sedangkan Koh Jin-giok melancarkan pukulan dahsyat dengan teratur, keduanya dapat bekerja sama dengan rapi sekali.

Oh-ti-tu juga tokoh ternama, tapi bukan termasyhur karena ilmu silatnya melainkan Ginkangnya, dengan sendirinya dia rada kewalahan menghadapi kerubutan dua jago yang lihai itu, apa lagi di belakangnya ada lagi Siau-hi-ji, tampaknya saja anak muda itu membelanya, tapi sesungguhnya mengacau baginya.

Setelah beberapa kali Oh-ti-tu menghadapi serangan maut, Siau-hi-ji sengaja menghela napas dan berkata, “Wah celaka! Oh-ti-tu kita yang termasyhur ini tampaknya sekarang harus keok di tangan dua anak ingusan.”

Padahal Siau-sian-li dan Koh Jin-giok juga tokoh terkenal di dunia Kangouw dan sama sekali bukan anak ingusan, dengan ucapan ini Siau-hi-ji sengaja hendak memancing kemarahan Oh-ti-tu.

Meski watak Oh-ti-tu memang keras, tapi juga cerdik, walaupun tahu maksud tujuan Siau-hi-ji, tidak urung ia pun terpancing murka, ia meraung gusar, “Sebenarnya apa kehendakmu, orang gila!”

“Jangan bingung dan jangan khawatir!” ucap Siau-hi-ji dengan suara tertahan. “Kalau tidak sanggup melawan, memangnya kau tak dapat lari?”

“Kentut!” Oh-ti-tu tambah murka. “Memangnya aku si hitam ini suka mencawat ekor?”

“Oh-ti-tu termasyhur di seluruh dunia karena gerak tubuhnya yang cepat dan ajaib, sekarang kau justru menyampingkan kemahiran sendiri dan bertempur keras lawan keras, caramu ini bukankah terlalu bodoh?” kata Siau-hi-ji.

Oh-ti-tu masih terus mengomel, tapi dalam hati ia pun mengakui kebenaran ucapan Siau-hi-ji. Sedikit meleng lantaran bicara dengan Siau-hi-ji, hampir saja iganya tertusuk pedang musuh.

“Kalau sekarang kau dapat mengundurkan diri dengan selamat dan dapat sekaligus membawa serta diriku, bila kejadian ini tersiar di Kangouw, kuyakin pasti tiada seorang pun yang berani berolok-olok, bahkan semua akan kagum padamu,” kata Siau-hi-ji pula dengan tenang.

Dengan mendongkol akhirnya Oh-ti-tu berkata, “Baik!”

Baru saja “baik” terucapkan sekonyong-konyong Siau-hi-ji menyelinap maju ke depan, dengan gerakan “Toan-giok-hun-kim”, potong kemala patah emas, kedua tangannya memukul ke kanan kiri sekaligus.

Karena tidak terduga-duga, kontan Koh Jin-giok dan Siau-sian-li dipaksa melompat mundur.

Pada saat itulah dari lengan baju Oh-ti-tu telah menyambar keluar seutas benang perak terus melayang keluar pintu dan tepat mengait di atas pohon cemara di luar sutheng bobrok itu, menyusul Oh-ti-tu lantas “terbang” ke luar.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji juga sudah pegang ujung baju Oh-ti-tu dan ikut terbang keluar, tubuhnya enteng seperti burung, biarpun menggandul pada gerakan Oh-ti-tu, tapi sama sekali Oh-ti-tu tidak merasakan beban apa-apa.

Seperti layang-layang saja tubuh Oh-ti-tu ditarik oleh benang itu dan melayang ke atas pohon cemara di luar, begitu kakinya menutul batang pohon, segera orangnya terbang pula ke depan sana dan hinggap di pohon kedua, menyusul benang perak lantas menyambar ke sana dan mengait pada pohon ketiga, dari sini Oh-ti-tu melompat lagi ke atas pohon keempat dan begitu seterusnya.

Waktu Cin Kiam dan lain-lain mengejar keluar, bayangan Oh-ti-tu berdua sudah berada berpuluh tombak jauhnya, sekali kelebat lantas menghilang dalam kegelapan, terdengar pesannya berkumandang dari jauh, “Jika kalian tidak terima, besok tengah malam boleh kalian datang lagi ke sini!”

Oh-ti-tu terus melayang dan terbang tanpa berhenti, setiba di pinggir kota barulah dia berhenti di tempat gelap.

“Oh-ti-tu yang hebat, benar-benar pergi datang seperti kilat, ilmu benang perak labah-labah terbang ini benar-benar tiada bandingannya di dunia Kangouw,” puji Siau-hi-ji sambil berkeplok tertawa.

“Hm, apa gunanya biarpun kau menjilat pantatku,” jengek Oh-ti-tu.

“Kutahu kau pasti sangat mendongkol, maksudku hanya sekadar menghilangkan rasa dongkolmu saja,” jawab Siau-hi-ji.

“Coba jawab, sudah jelas bukan perbuatanmu, mengapa kau sengaja melibatkan diri dalam urusan ini, bahkan aku ikut dijebloskan dan kau sengaja bersembunyi di balakangku sehingga aku yang menanggung susah?” demikian Oh-ti-tu menjadi gusar dan berteriak. “Ini masih mendingan, yang menggemaskan, sudah jelas kau dapat melabrak mereka secara terang-terangan, tapi kau sengaja lari malah sehingga aku pun menanggung malu, coba jawab, apa sebabnya semua ini?”

“Sudah tentu aku mempunyai alasannya,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sambil menjambret dada anak muda itu Oh-ti-tu membentak, “Kalau tidak kau jelaskan, segera kucekik mampus kau.”

“Masa masih perlu penjelasan pula? Dengan sendirinya karena ingin kubikin susah padamu.”

“Membikin susah padaku?” Oh-ti-tu menegas.

“Setelah kita kabur begini, aku sendiri dapat pergi tanpa embel-embel apa pun, sebaliknya kau Oh-ti-tu punya nama terkenal, kalau tersiar kelak, katanya Oh-ti-tu dan Li Toa-jui sama-sama suka makan manusia, lalu dapatkah kau berkecimpung pula di dunia Kangouw?”

“Mengapa kau berbuat demikian dan membikin susah diriku?” damprat Oh-ti-tu dengan gusar.

“Sebabnya aku ingin menjerumuskan engkau ke dalam lumpur, dengan demikian barulah kau mau bekerja bagiku,” dengan tertawa Siau-hi-ji menjelaskan pula, “Tapi kau pun jangan marah, justru kupandang engkau ini cukup berharga, makanya aku mau membikin susah padamu. Ada sementara orang memohon dengan sangat dan bahkan hendak membayar padaku agar aku membikin susah dia, malahan kutolak.”

“Setelah kau membikin susah padaku, mestinya kucekik mati kau, mana kumau bekerja lagi bagimu,” bentak Oh-ti-tu dengan bengis.

“Jika orang lain, setelah kubikin susah dia, tentu dia akan bikin perhitungan dengan aku, tapi engkau Oh-ti-tu lain dari pada yang lain, watakmu ini cukup kukenal dengan baik.”

Oh-ti-tu melototi anak muda itu sekian lamanya, mendadak ia lepaskan pegangannya dan tertawa, katanya, “Bagus, kau bocah ini ternyata kenal betul watakku si hitam. Menghadapi persoalan yang aneh ini, biarpun sudah tahu tertipu juga takkan kulepaskan begitu saja.”

“Kalau tidak begini namamu bukan Oh-ti-tu lagi,” ucap Siau-hi-ji.

“Caramu menyeret aku masuk lumpur ini masa tiada maksud tujuan lain?”

“Sudah tentu ada,” jawab Siau-hi-ji. “Soalnya kulihat Lamkiong Liu dan Cin Kiam itu sok meremehkan orang lain, dalam keadaan biasa jika aku mengundang mereka keluar, memangnya mereka mau? Tapi sekarang, biarpun tengah malam buta kusuruh mereka datang ke sini juga mereka pasti akan hadir, satu detik pun tak berani terlambat.”

“Baik, kini aku sudah telanjur terjerumus, ekor mereka pun sudah kupegang, lalu cara bagaimana melangsungkan permainan sandiwara ini, coba jelaskan.”

“Kau tahu ‘tuan omong kosong’ itu sengaja menyembelih orang dan diam-diam kau disuruh makan dagingnya, tapi diam-diam pula dia menyampaikan laporan rahasia kepada keluarga Buyung untuk menangkapmu, cara licik demikian ini disebut apa?”

“Cara keji ini dapat dikatakan ‘lempar batu sembunyi tangan’,” jawab Oh-ti-tu dengan gemas.

“Perbuatan keji begini, cara bagaimana harus kita layani menurut pendapatmu?”

“Bila berjumpa lagi dengan dia, mustahil kalau tidak kucekik mampus dia,” ucap Oh-ti-tu dengan geregetan.

“Tahukah kau bahwa manusia jahat begitu kecuali si tuan ‘omong kosong’ masih banyak di dunia ini, bahkan tindak tanduk mereka sesungguhnya lebih menggemaskan daripada si tuan omong kosong itu. Lalu cara bagaimana harus kita hadapi mereka!”

“Akan kubekuk satu per satu dan kucekik mampus mereka,” ucap Oh-ti-tu.

“Masih untung bagi mereka jika cuma kau cekik mati saja, apalagi juga tidak gampang biarpun hendak cekik mati mereka.”

“Memangnya siapa yang kau maksudkan?”

“Kang Piat-ho!” jawab Siau-hi-ji sekata demi sekata.

Hampir saja Oh-ti-tu melonjak kaget, serunya, “Apa katamu? Masa Kang-lam-tayhiap dapat berbuat demikian?”

“Kau tidak percaya padaku?” Siau-hi-ji menatap tajam si labah-labah hitam.

Oh-ti-tu juga menatap Siau-hi-ji, katanya pula, “Kau ini selalu main sembunyi kepala perlihatkan ekor, tindak tandukmu juga aneh-aneh dan macam-macam, di dunia ini siapa yang mau percaya padamu?” Dia menghela napas, lalu menyambung pula dengan perlahan, “Tapi aku Oh-ti-tu justru dapat mempercayaimu.”

“Plak”, dengan keras Siau-hi-ji tepuk pundak Oh-ti-tu, serunya dengan tergelak, “Haha, kau memang seorang kawan, sudah lama kutahu kau ini seorang kawan baik.”

“Kupercaya padamu, soalnya kau ini meski anak busuk, tapi bukan lelaki munafik!” kata Oh-ti-tu dengan tertawa.

“Betul, manusia yang paling menggemaskan adalah kaum munafik,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun. “Dan kaum munafik di dunia ini justru sangat banyak. Satu di antaranya yang paling jahat adalah Kang Piat-ho.”

“Dan cara bagaimana hendak kau hadapi dia?”

“Dengan caranya untuk digunakan terhadap dia sendiri,” kata Siau-hi-ji. “Mereka suka ‘lempar batu sembunyi tangan’, aku juga akan membayarnya dengan cara yang sama, ini namanya ‘senjata makan tuan’.”

“Cara bagaimana akan kau bayar dia? Coba jelaskan!”

“Apakah kau tahu siapakah gerangan nona yang berada di loteng kecil itu?”

Mendadak Oh-ti-tu melengos, katanya, “Kan sudah kukatakan aku tidak tahu.”

“Biarlah sekarang kuberitahukan padamu, dia adalah nona Kiu dari keluarga Buyung.”

“Dia itu Buyung Kiu katamu?” Oh-ti-tu menegas dengan terbelalak.

“Betul, dia itulah yang kini sedang dicari ubek-ubekan oleh Cin Kiam, Lamkiong Liu, Siau-sian-li dan Koh Jin-giok. Apabila mereka tahu nona linglung itu disembunyikan orang, pasti mereka akan mencari dan melabrak orang itu.”

Bercahaya mata Oh-ti-tu, katanya, “Makanya, kau ingin menimpakan kejadian ini atas diri Kang Piat-ho?”

“Ya, ingin kubikin dia juga merasakan betapa enaknya dikerjai orang,” Siau-hi-ji berkeplok tertawa.

“Tapi Kang Piat-ho sangat licin lagi cerdik, masa dia akan masuk perangkapmu?”

“Biarpun Kang Piat-ho selicin belut, asalkan kau membantu, tentu dapat kujebak dia.”

“Sekarang aku sudah ikut terjerumus, seandainya tidak mau membantu juga sukar bagiku”.

“Bagus, jika kau ingin mencuci bersih namamu yang sudah tercemar, maka kau harus bertindak menurut rencanaku. Tapi kau pun jangan khawatir, setelah mengerjakan urusan ini, tentu kau akan merasa tenteram dan pasti takkan menyesal,” habis berkata segera Siau-hi-ji melompat bangun sambil menarik Oh-ti-tu, katanya, “Ayolah, sudah tiba waktunya kita harus bekerja.”

Dengan cepat mereka lantas melayang masuk ke kota.

Sepanjang jalan Oh-ti-tu masih terus menggerundel, “Sampai saat ini aku tetap tidak paham, si tuan ‘omong kosong’ itu sengaja menyembelih orang keluarga Buyung dan bikin susah pula padaku, tapi apa manfaatnya bagi dia?”

Sekarang ia pun dapat menduga bahwa Wan-ji yang disembelih itu pasti ada hubungan erat dengan keluarga Buyung, besar kemungkinan adalah pelayan pribadi nona Buyung.

“Tuan ‘omong kosong’ yang kau maksudkan itu bukanlah Li Toa-jui melainkan Pek Khay-sim,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa, “dia mempunyai julukan ‘merugikan orang lain tanpa menguntungkan dirinya sendiri’, tujuannya asalkan membikin orang lain tertipu dan meringis, maka dia sendiri pun merasa puas dan gembira.”

“Masa di dunia ini ada orang macam begitu?” ucap Oh-ti-tu.

“Kau bilang tidak ada, buktinya memang ada,” kata Siau-hi-ji. “Dia tahu para anak menantu keluarga Buyung pasti akan mencari Buyung Kiu, maka dia sengaja menyembelih pelayan yang bernama Wan-ji itu agar para anak menantu keluarga Buyung menyangka Buyung Kiu juga telah disembelih serta menjadi isi perut orang. Umpama mereka tak dapat menemukan nona yang dicarinya itu dan merasa berduka serta kelabakan, maka Pek Khay-sim akan merasa ‘Khay-sim’ (senang).”

“Tapi aku kan ....”

“Sebenarnya dia sendiri hendak menyamar sebagai Li Toa-jui yang gemar makan daging manusia itu, tapi lantaran ada orang sialan macam kau dapat ditonjolkan olehnya, dengan sendirinya sangat kebetulan baginya,” demikian Siau-hi-ji memotong sebelum Oh-ti-tu bicara. “Dengan demikian dia berhasil mencelakai orang keluarga Buyung dan kau pun terkecoh, rencana kerjanya yang rapi dan bagus ini sungguh tidak malu sebagai salah seorang Cap-toa-ok-jin yang termasyhur itu.”

“Aneh juga bahwa kau malah memuji dia,” omel Oh-ti-tu.

“Jika bukan akalnya yang rapi ini, mana bisa kubonceng tipu muslihatnya, dan bila di dunia ini tidak ada manusia seperti Pek Khay-sim, maka sandiwara ini jelas tak dapat dipentaskan.”

“Di dunia ini ada manusia macam Pek Khay-sim dan ditambah lagi orang seperti kau, kalian saling menjebak dan saling mengecoh, yang konyol adalah aku si hitam ini.”

“Jika tidak ada diriku malam ini kau pasti lebih konyol lagi. Kau tertangkap tangan dengan bukti nyata sedang makan daging manusia, biarpun kau bermulut seribu juga tidak dapat menyangkalnya.”

“Betapa pun juga seharusnya kau jangan mengaku ....”

“Bilakah aku mengaku? Bilakah kubilang Buyung Kiu telah kau makan? Aku kan cuma berkata, ‘Telah kuapakan dia, memangnya perlu kukatakan pula?’ Memangnya kenapa dengan persoalan ini? Kenapa kau takut? ....”

Oh-ti-tu berpikir sejenak, ia menjadi tertawa geli sendiri, katanya, “Ya, betul, memang begitulah ucapanmu ketika itu, cuma saja seperti tidak terucap apa-apa ....”

“Di situlah letak kehebatannya,” kata Siau-hi-ji dengan memicingkan mata. Sembari bicara ternyata dia telah membawa Oh-ti-tu ke loteng kecil itu.

Sekitar sudah sunyi senyap, hanya sinar lampu masih kelihatan bercahaya di loteng itu. Buyung Kiu mendekap di atas meja, mungkin terlalu lelah melamun sehingga akhirnya tertidur di situ.

“Nona ini paling menurut pada ucapanmu,” kata Siau-hi-ji, “Kau suruh dia membawa belati, maka belati itu pun selalu dibawanya, kau suruh dia membunuh, segera dia akan membunuh, sekarang aku cuma minta kau suruh dia menulis secarik surat saja.”

“Dalam keadaan demikian untuk apa mendadak menulis surat segala?” tanya Oh-ti-tu.

“Ayolah suruh dia menulis: Jika ingin menebus nyawaku, harap bawa 80 laksa tahil perak ke tempat yang telah ditentukan mereka. Mohon diusahakan sedapatnya, kalau tidak adik pasti akan menjadi isi perut mereka.”

“80 laksa tahil perak, katamu?!” Oh-ti-tu menegas dengan melongo.

“Ya, meski angka 80 laksa tidaklah sedikit, tapi Lamkiong Liu dan Cin Kiam pasti tidak kaget mendengar jumlah sekian mengingat kekayaan mereka yang sukar diukur, orang lain tidak sanggup mengumpulkan jumlah sekian dalam waktu sehari, mereka pasti dapat.”

“Memangnya mereka kau kira mau?”

“Kenapa tidak? Di waktu biasa mungkin mereka tidak mau, tapi setelah kejadian semalam, mereka tentu mengira Wan-ji yang telah disembelih orang itu sengaja kita jadikan sebagai bukti untuk menakuti mereka, jadi tanpa sengaja kita telah mencapai sasarannya dengan tepat, tentu mereka takkan curiga lagi,” setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Apalagi surat ini jelas ditulis sendiri oleh Buyung Kiu, maka persoalannya sekarang adalah kau, harus kau katakan kepada mereka bahwa 80 laksa tahil perak itu semuanya harus kontan dalam bentuk perak murni, emas atau batu manikam takkan kita terima.”

“Harus kukatakan begitu kepada mereka?” Oh-ti-tu menegas.

“Ya, dengan sendirinya harus kau bicara dengan mereka dan surat ini pun harus kau sendiri yang mengantarkannya, Oh-ti-tu biasanya pergi datang tanpa meninggalkan bekas, di dunia ini rasanya tiada kurir pengirim surat yang lebih mahir daripada kau ini.”

Oh-ti-tu termenung sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Baiklah ... aku hanya tidak paham, mengapa harus bentuk kontan uang perak.”

“Keajaiban urusan ini akan kau ketahui bila sudah tiba saatnya nanti,” kata Siau-hi-ji.

“Dan setelah surat ini kukirim, lalu bagaimana?” tanya Oh-ti-tu.

“Setelah mengirim surat, boleh kau tunggu dan menyaksikan tontonan menarik saja.”

“Sampai waktunya nanti apakah betul-betul kau sendiri akan menerima 80 laksa tahil perak itu?”

“Pada waktunya nanti yang akan menerima perak itu adalah calon setan yang akan kukirim ke sana.”

“Jika begitu ... bila Cin Kiam dan Lamkiong Liu melihat yang datang itu bukan kau melainkan orang lain, bukankah mereka akan curiga juga?”

“Memangnya Cin Kiam dan Lamkiong Liu mengetahui siapa diriku ini? Yang mereka lihat semalam adalah wajahku yang kuning pucat serta gerakan Ih-hoa-ciap-giok yang kumainkan, mereka pasti mengira diriku ini samaran anak murid Ih-hoa-kiong, padahal saat ini anak murid Ih-hoa-kiong tulen justru lagi berada bersama Kang Piat-ho”.

Oh-ti-tu termenung sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, “Ai, kiranya setiap gerak-gerikmu selalu mempunyai tujuan tertentu. Di dunia ini kalau bertambah lagi beberapa orang macam dirimu ini tentu suasana akan kacau balau.”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Jangan khawatir, manusia seperti diriku ini tiada duanya lagi di dunia ini.”

Pagi-pagi sekali, itu kasir Ging-ih-tong yang masih tidur nyenyak di kolong ranjangnya telah diseret bangun oleh Siau-hi-ji dan disuruh menyampaikan sepucuk surat kepada Samkohnio.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes