Wednesday, May 12, 2010

bp2_part1

Jilid 2. Bakti Binal
Hanya Siau-hi-ji yang diam-diam menggeleng kepala, pikirnya, “Ya, tertawalah kalian, tertawalah sepuasnya, tapi waktunya kalian menangis juga selekasnya akan tiba ....”

Begitulah Toan Hap-pui dan Samkohnio lantas digusur masuk ke ruangan belakang, ayah beranak itu tertawan secara begini saja dan dengan sendirinya tidak terhindar dari siksaan.

Tio Hiang-leng lantas mengadakan pesta besar untuk menghormati kedua Lo bersaudara, ia angkat cawan dan mengucapkan terima kasih kepada bantuan mereka.

“Ah, hanya urusan kecil ini, kenapa mesti dibicarakan lagi,” ujar Lo Sam dengan tertawa. “Cuma … entah bagaimana keputusan Cengcu sekarang?”

“Urusan sudah telanjur begini, yang kuharapkan adalah urusan besar dapat dikecilkan dan urusan kecil dapat dihapuskan,” kata Tio Hiang-leng dengan gegetun. “Nanti kalau Kang Piat-ho datang bolehlah kita menjelaskan duduknya perkara, asalkan ia mau terima keterangan kita dan tidak mengusut lebih lanjut persoalan ini, maka Cayhe bersedia membebaskan Toan Hap-pui.”

“Hm, urusan sudah telanjur begini dan Cengcu masih mengharapkan urusan besar berubah menjadi urusan kecil segala?” tiba-tiba Lo Kiu mendengus.

Tertampak air muka Tio Hoang-leng rada berubah, “Memangnya ... memangnya tidak ....”

“Urusan sudah kadung begini, kedua pihak sudah jelas bermusuhan, biarpun Cengcu menegaskan tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini juga takkan dipercaya oleh Kang Piat-ho,” jengek Lo Kiu.

“Jika ... jika begini kan berarti kalian telah membikin susah diriku?” kata Tio Hiang-leng dengan ketakutan.

“Kami bersaudara telah berusaha dengan mati-matian dan akhirnya cuma mendapatkan hadiah ucapan Tio Cengcu ini?” jengek Lo Sam.

Cepat Tio Hiang-leng minta maaf, “O, apabila ucapanku menyinggung perasaan kalian hendaklah sudi dimaafkan. Soalnya Cayhe benar-benar merasa bingung dan tak tahu bagaimana baiknya, untuk ini diharapkan kalian suka memberi petunjuk lagi.”

Lo Kiu tertawa, katanya, “Kalau tidak dapat berdamai, jalan lain hanya bertempur!”

“Bertempur?!” Tio Hiang-leng menegas.

“Ya, bertempur!” jawab Lo Kiu.

“Tapi ... tapi Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat itu teramat lihai, Cayhe tidak ... tidak ....”

“Meski ilmu silat Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat memang lihai, tapi Cengcu juga tidak perlu takut,” kata Lo Kiu dengan tersenyum.

“Tidakkah Cengcu tahu, kalau tidak dapat melawan dengan kekuatan, kalahkan saja dengan akal,” sambung Lo Sam.

“Dengan akal apa?” tanya Tio Hiang-leng.

“Toan Hap-pui dan anak buahnya sudah berada di genggaman kita, untuk ini Kang Piat-ho harus berpikir dua kali sebelum bertindak, andaikan dia datang kemari juga tidak berani sembarangan turun tangan. Maka sekarang juga silakan Cengcu menyembunyikan Toan Hap-pui berdua.”

“Lalu bagaimana?” tanya Tio Hiang-leng.

Lo Kiu memandang para centing, lalu berkata dengan suara tertahan, “Para saudara di Te-leng-ceng sini juga bukan kaum lemah, Cengcu boleh mengadakan perangkap di sekeliling ruangan ini, siapkan busur panah yang kuat dan ....”

“Dan bila Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat itu masuk ke sini, biarpun mereka berkepala tiga dan bertangan enam juga sukar keluar dengan hidup,” sambung Lo Sam dengan tersenyum. Agaknya dia tidak pantang apa-apa, suara ucapannya sengaja diperkeras.

Dari jauh Siau-hi-ji dapat mendengar semua itu dengan jelas, diam-diam ia memaki, “Usul kentut macam apa ini? Masa Kang Piat-ho mau terjebak dengan begitu saja? Kalau Tio Hiang-leng menuruti saran ini sama saja dia telah menambahi dosa sendiri, dengan demikian sekalipun Kang Piat-ho membunuhmu juga tiada orang Kangouw yang berani buka suara membelamu lagi.”

Tapi Tio Hiang-leng agaknya tertarik oleh usul itu, ia tanya, “Apakah akal kalian ini dapat dilaksanakan dengan baik?”

“Sudah tentu dapat,” kata Lo Kiu.

Segera pula Lo Sam menyambung, “Setelah akal ini berhasil, maka nama Thian-hiang-tong Te-leng-ceng pasti akan mengguncangkan dunia, tatkala mana jangan-jangan kami akan diusir malah oleh Tio-cengcu.”

“Ah, mana Cayhe berani melupakan kalian berdua ....” tanpa terasa Tio Hiang-leng tertawa senang, Tapi mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung pula dengan ragu-ragu, “Cuma ... cuma cara demikian, bilamana gagal, bukankah akan ....”

“Urusan sudah begini, masa Tio-cengcu masih ada pandangan lain?” kata Lo Kiu dengan ketus.

Tio Hiang-leng merenung sejenak, katanya kemudian dengan menyengir, “Ya, urusan sudah begini, rasanya tiada pilihan lagi, terpaksa kita harus menghadapi mereka sebisanya.”

“Itulah dia, ucapan Tio-cengcu ini barulah sikap ksatria sejati,” ucap Lo Kiu dengan tertawa.

“Baiklah, sekarang kita harus lekas-lekas bersiap, sebab kalau Kang Piat-ho mengetahui Toan Hap-pui dan putrinya diculik, tentu mereka akan segera menyusul kemari,” sambung Lo Sam.

Segera Tio Hiang-leng memerintahkan centingnya menyiapkan barisan panah dan bersembunyi di sekeliling ruangan, apabila cawan arak dibanting, itu tandanya harus turun tangan.

Setelah mengatur perangkap, kemudian Lo Kiu dan Lo Sam minta tuan rumah mengundang keluar pula Thi Bu-siang. Nyata tipu muslihat yang diatur Kang Piat-ho berlangsung dengan sangat lancar, bukan saja Tio Hiang-leng setindak demi setindak melangkah masuk perangkapnya, bahkan Thi Bu-siang juga terseret dan ikut kejeblos. Dengan demikian Kang Piat-ho akan dapat menumpas pengaruh Thi Bu-siang dengan mudah sehingga kekuatan orang-orang Kangouw yang anti Kang Piat-ho juga semakin berkurang.

Begitulah, secara tak jelas Thi Bu-siang telah dijadikan kambing hitam sebagai orang yang merampok harta kiriman Toan Hap-pui itu, kini setiap orang Kangouw malahan tidak ragu-ragu lagi terhadap persoalan ini.

Jaring sudah mulai ditarik dan semakin kencang, ikan tak dapat lolos lagi ....

Siau-hi-ji sedang merenungkan semua kejadian ini, ia bergumam sendiri, “Apakah tipu muslihat keji Kang Piat-ho kini benar-benar tiada lubang kelemahannya yang dapat digempur?”

Petangnya, Thi Bu-siang sudah duduk di ruangan tamu yang luas itu, meski tubuhnya duduk tegak, tapi kelihatan lesu, sorot matanya pun kehilangan cahaya seperti biasanya.

Sebaliknya Lo Kiu dan Lo Sam tampak penuh semangat, Tio Hiang-leng juga kelihatan giat mengatur ini dan itu, di sekeliling ruangan sudah bersembunyi puluhan pemanah kuat, di halaman sana juga siap berpuluh kelompok centing yang lain dengan senjata lengkap, Siau-hi-ji juga berbaur di antara mereka.

Suasana semakin mencekam, setiap orang merasa tegang. Tiba-tiba di luar perkampungan ada suara derapan kaki kuda yang ramai, serentak semua orang siap siaga.

Mendadak suara kaki kuda itu berhenti, lalu masuklah tujuh pemuda dengan dandanan ringkas berpedang. Langsung ketujuh pemuda itu masuk ke ruangan tamu dan menyembah di depan Thi Bu-siang.

Kiranya ketujuh pemuda ini adalah jago pilihan di antara kedelapan belas murid kesayangan Thi Bu-siang. Tentu saja jago tua itu merasa terhibur oleh datangnya anak murid ini, malahan Tio Hiang-leng juga kegirangan.

Terbeliak juga mata Siau-hi-ji demi melihat ketujuh anak muda ini, sebab satu di antaranya yang menjadi kepala itu bukan lain daripada si pemuda baju ungu bermuka pucat yang diam-diam bersekongkol dengan Kang Giok-long itu.

Terdengar pemuda itu berkata dengan sangat hormat, “Tecu datang terlambat, mohon Suhu memberi maaf ....”

Diam-diam Siau-hi-ji membatin, “Tidak, kau tidak terlambat, kedatanganmu tepat pada waktunya, memang sudah kutunggu kedatanganmu.”

Rasa girang tampak pada wajah Thi Bu-siang, tapi segera timbul pula rasa sedihnya, ia menghela napas panjang dan menjawab, “Meski kalian sudah datang, kurasa juga tiada berguna bagi persoalan ruwet ini .... Urusan ini tidak dapat lagi diselesaikan dengan kekerasan, maka sebentar kalian jangan sembarangan turun tangan agar tidak ....”

Belum lenyap suaranya tiba-tiba terdengar seorang menjerit kaget.

“Bluk”, tahu-tahu sesosok tubuh melayang masuk dari luar jendela di belakang ruangan tamu dan terbanting di lantai, tubuh itu kaku dan tak bergerak lagi, berpakaian hitam ringkas, busur masih terpegang di tangannya, malahan satu kantong anak panah juga masih tersandang di punggungnya. Jelas dia salah seorang pemanah yang disembunyikan Tio Hiang-leng di sekitar ruangan ini.

Seketika muka Tio Hiang-leng berubah pucat, Thi Bu-siang juga bersuara kaget.

Menyusul terdengar jeritan pula, kembali seorang terlempar masuk .... Hanya sekejap saja terdengarlah jerit ngeri berbangkit berulang-ulang, di tengah ruangan sekarang telah bertumpuk belasan tubuh orang, semuanya sudah kaku menjadi mayat.

“He, ba ... bagaimana terjadinya?” seru Tio Hiang-leng bingung.

“Ini ... ini ....” Thi Bu-siang juga kehilangan akal.

“Ini namanya mau untung menjadi buntung akibat perbuatanmu sendiri,” jengek seorang di luar.

Dua bayangan orang lantas melayang masuk, siapa lagi kalau bukan Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat.

“Bluk”, Tio Hiang-leng jatuh terduduk lemas di kursinya dan tidak sanggup berdiri lagi.

Kang Piat-ho berdiri dengan pongahnya di tengah ruangan, jengeknya, “Barangkali Thi-loenghiong mengira dengan menyembunyikan barisan pemanah ini akan dapat menjebak orang she Kang? Hehehe, teramat rendah sekali kalian menilai diriku.”

Dengan suara keras Thi Bu-siang menjawab, “Sesungguhnya apa yang terjadi ini sama sekali Lohu tidak tahu-menahu.”

“Tapi kalau tidak disetujui Thi-loenghiong rasanya Tio-cengcu juga tidak berani bertindak demikian,” jengek Kang Piat-ho.

Segera Thi Bu-siang berpaling kepada tuan rumah dan membentak dengan gusar, “Tio Hiang-leng, coba katakan, siapa yang suruh menggunakan cara rendah dan kotor ini?”

“Ini ... ini ....” Tio Hiang-leng gelagapan dan menunduk.

Sekonyong-konyong Lo Kiu berdiri dan berseru, “Kami bersaudara mengira Thi-locianpwe dan Tio-cengcu adalah ksatria sejati, makanya jauh-jauh kami datang ke sini, tak tahunya sekarang kalian menggunakan cara kotor begini ....”

Dengan suara keras Lo Sam lantas menyambung, “Jelek-jelek kami bersaudara juga tidak sudi bergaul dengan manusia rendah begini. Mulai saat ini apa pun yang terjadi atas Te-leng-ceng sama sekali tiada sangkut-paut dengan kami bersaudara.”

“He, mengapa kalian berkata demikian, bukankah semua ini atas prakarsa kalian?” teriak Tio Hiang-leng.

“Hm, orang she Tio, setelah kepepet, kau berani menumplekkan semua persoalan kepada kami bersaudara?” jengek Lo Kiu.

“Biarpun kau menyangkal dengan cara apa pun juga tiada orang mau percaya,” sambung Lo Sam.

“Bagus, kau ... bagus ....” Tio Hiang-leng meraung dengan murka.

“Aku tidak ingin membela pihak mana pun, tapi urusan sudah jelas begini, apa pula yang dapat kalian katakan?” demikian Hoa Bu-koat membuka suara dengan tenang.

“Lohu .... Ai, sungguh bikin gusar Lohu!” seru Thi Bu-siang dengan menggereget, mendadak darah tersembur dari mulutnya. Saking gemasnya orang tua ini jadi pingsan.

Anak muridnya menjadi kaget dan gusar pula, ada yang memburu maju untuk menolong sang guru, ada yang melolos pedang siap tempur. Pemuda baju ungu itu lantas berseru, “Sabar dulu, sebelum persoalan menjadi jelas, kita jangan sembarangan bertindak!”

Dengan sikap kereng Kang Piat-ho berkata, “Betul, kalau sang guru tidak berbudi, anak murid tidak perlu lagi taat padanya. Kalian harus dapat membedakan antara yang benar dan salah, dengan demikian kalian pasti akan dihormati setiap orang persilatan.”

“Tapi urusan ini sesungguhnya bagaimana, kami ....” pemuda baju ungu tampak ragu-ragu.

“Urusan ini sudah jelas, bukti dan saksi sudah nyata, memangnya kalian masih tidak percaya?” kata Kang Piat-ho dengan tegas.

Mendadak pemuda baju ungu menghela napas sedih, katanya, “O, Suhu, janganlah engkau menyesali tindakan murid yang tak setia ini, soalnya engkau sendiri melakukan perbuatan yang tidak baik, demi kebenaran terpaksa Tecu ....” dia merandek, setelah menggentak kaki, tiba-tiba ia menanggalkan pedangnya dan dilemparkan ke lantai.

Perbuatan pemuda baju ungu ini sungguh amat lihai, kalau setiap orang Kangouw sudah mengetahui anak murid Thi Bu-siang sendiri juga mengakui kesalahan gurunya, lalu orang lain mau bilang apa lagi?

Keenam murid Thi Bu-siang yang lain hanya taat kepada sang pimpinan, melihat tindakan pemuda baju ungu itu, tiga orang lainnya segera ikut membuang pedang, sebagian pedang yang tadinya terhunus siap tempur itu pun diturunkan ke bawah.

Dengan suara lantang Kang Piat-ho lantas berseru, “Kecuali Thi Bu-siang dan Tio Hiang-leng, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain, asalkan kalian tidak ikut-ikutan, maka pihak kami juga takkan membikin susah orang yang tak berdosa.”

Tio Hiang-leng ketakutan hingga giginya gemertuk, katanya dengan suara parau, “Sesungguhnya ada permusuhan apa antara kau dan aku, mengapa kau bikin susah diriku cara begini?”

“Meski Cayhe tiada permusuhan apa-apa dengan kau, tapi demi kebenaran dan keadilan tak dapat kuampunimu.”

Mendadak Tio Hiang-leng menjadi nekat, teriaknya dengan menyeringai, “Baik, kutahu kau bela Toan Hap-pui dan bertekad hendak melenyapkan diriku, tapi kau pun jangan menyalahkan aku, sebab saat ini Toan Hap-pui sudah berada dalam genggamanku, kalau aku mati dia juga takkan hidup.”

“Apa betul?” jengek Kang Piat-ho. Dia memberi tanda, segera dua joli digotong keluar dari ruangan belakang, pemikul joli bagian depan jelas adalah si tukang pikul yang pintar omong dan pandai berdebat itu.

“Siapa yang berada di dalam joli, apakah kau ingin tahu?” tanya Kang Piat-ho kepada Tio Hiang-leng.

Waktu “tukang pikul joli” itu menyingkap tirai joli, tertampak seorang gemuk duduk di dalam dengan tertawa, siapa lagi kalau bukan Toan Hap-pui.

Sampai di sini Tio Hiang-leng benar-benar sudah kalah habis-habisan, dengan pedih ia memandang sekelilingnya, mendadak ia meraung sekali, seperti orang gila terus berlari keluar.

Kang Piat-ho juga tidak mencegahnya, jengeknya, “Hm, memangnya kau masih ingin kabur?!”

Baru saja Tio Hiang-leng lari keluar ruangan tamu itu, dari samping yang gelap tiba-tiba sebuah tangan menariknya, lalu membisiki beberapa patah kata di telinganya.

Setelah mendengar bisikan itu, Tio Hiang-leng seperti habis minum obat mujarab, seketika semangatnya terbangkit.

*****

Sementara itu Thi Bu-siang sudah siuman.

Dengan tenang Hoa Bu-koat berkata, “Mengingat namanya diperoleh dengan susah payah, biarlah dia membereskan dirinya sendiri saka.”

Walaupun menghadapi sesuatu keputusan besar, tapi sikap Hoa Bu-koat tetap tenang-tenang dan sabar, seakan-akan segala urusan tidak begitu penting baginya.

Segera Kang Piat-ho menjemput pedang yang dibuang si pemuda baju ungu tadi, perlahan-lahan ia sodorkan kepada Thi Bu-siang dengan pandangan tajam tanpa berucap. Dia memang tidak perlu lagi membuka suara.

Thi Bu-siang lantas menghela napas panjang sambil menengadah, serunya dengan suara parau, “O, Tuhan, betapa pun matiku tidak rela.” Sorot matanya yang penuh rasa pedih dan bengis itu menyapu pandang setiap anak muridnya, sampai-sampai pemuda baju ungu juga tidak berani menatapnya dan lekas menunduk.

Mendadak Thi Bu-siang berteriak dengan suara kereng, “Ini Thi Bu-siang berdiri di sini, jika di antara kalian ada yang anggap aku berdosa dan ingin mencabut nyawaku, ayolah maju sekarang juga! Kuyakin Tuhan takkan mengampuni orang yang berdosa!”

Di bawah cahaya lilin yang gemerlap tertampak sorot matanya tajam berapi, rambut jenggotnya seakan-akan berjengat, sikapnya yang murka penuh rasa duka itu membuat keder orang yang memandangnya.

Tanpa terasa Kang Piat-ho mundur satu tindak. Tapi si “tukang pikul joli” itu malah terus melompat maju sambil membentak, “Manusia yang tidak berbudi setiap orang boleh membunuhnya, kalau orang lain tidak tega turun tangan, biar aku saja yang membereskan kau.”

Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar seorang membentak, “Kang Giok-long, kau benar-benar berani turun tangan?!”

“Tukang pikul” itu tergetar, cepat ia membalik tubuh, terlihat Tio Hiang-leng masuk kembali dengan langkah lebar, meski wajahnya tetap pucat pasi, tapi dadanya sudah terbusung, bicaranya juga lantang, tidak lagi takut seperti tadi.

Setelah Tio Hiang-leng sampai di tengah ruangan barulah semua orang melihat di belakangnya masih ikut satu orang lagi. Orang ini berjubah hijau dan berkaos kaki putih, kepalanya memakai sebuah kalo bambu untuk menutupi mukanya, jalannya bergoyang-goyang sehingga mirip “arwah halus” yang menempel di tubuh Tio Hiang-leng seperti lakon yang biasa dimainkan di atas panggung, seram tampaknya sehingga membuat orang bergidik.

Tapi hanya sekejap saja “tukang pikul” itu terkejut, segera dia dapat tenangkan diri, dengan tertawa ia lantas menjawab, “Haha, apakah kau maksudkan diriku ini Kang Giok-long, Kang Siauhiap? Masakah pendekar muda kita yang termasyhur itu sudi menjadi tukang pikul joli seperti diriku, apa matamu tidak buta?”

“Kang Giok-long,” teriak Tio Hiang-leng, “Orang lain mungkin dapat dikelabui olehmu, tapi jangan harap dapat mengelabui aku. Kau telah merampas harta kiriman keluarga Toan, lalu cepat-cepat pulang ke sini untuk menyamar sebagai tukang pikul joli, tujuanmu sudah tentu hendak membunuh Thi-locianpwe, dengan caramu ini tentu setiap orang Kangouw akan menganggap Thi-locianpwe tewas di tangan seorang kuli tukang pikul, andaikan kelak ada orang yang ingin menuntut balas juga tidak perlu mencari ayah beranak ‘Kang-lam-tayhiap’ yang munafik dan palsu itu .... Wahai, Kang Giok-long, tindak tanduk kalian ayah beranak memang harus diakui teramat rapi sehingga setitik lubang saja tidak kentara sama sekali.”

“Tukang pikul” itu tergelak-gelak, katanya, “Nah, hadirin sudah dengar semua, keparat ini ternyata berani menuduh Kang-siauhiap sebagai perampok harta kiriman keluarga Toan .... Hehe, coba Toan-loyacu, tidakkah keparat ini orang gila sembarangan mengoceh?”

Mata Toan Hap-pui yang menyipit itu sekilas gemerdep memancarkan cahaya yang licik, dengan tersenyum ia pandang Tio Hiang-leng, katanya dengan perlahan, “Mengapa kau berkata demikian? Padahal Kang-siauhiap sendiri yang merampaskan kembali harta kirimanku yang dirampok orang itu, jika dia yang merampok, kenapa pula dia merampasnya kembali?”

“Waktu pertama kali harta kirimanmu itu dirampok adalah kerja sama antara Siang-say-piaukiok dengan Kang Giok-long, jika Kang Giok-long tidak pura-pura merampas kembali harta kirimanmu itu tentu Siang-say-piaukiok yang wajib memberi ganti rugi padamu,” tutur Tio Hiang-leng.

“Untuk apa mereka membuat begitu?” tanya Toan Hap-pui.

“Dengan berbuat begitu, tentu nama Kang Giok-long akan tambah tersohor dan terhormat di dunia Kangouw, apalagi ....” Sampai di sini Tio Hiang-leng sengaja merandek.

Toan Hap-pui menjadi tidak sabar dan mendesak, “Apalagi bagaimana?”

“Apalagi kalau terjadi harta kiriman dirampok untuk yang kedua kalinya, tentu orang lain takkan curiga atas diri Kang Giok-long,” dengan perlahan Tio Hiang-leng menjelaskan.

“Kalau begitu, lalu orang-orang Siang-say-piaukiok mengapa terbunuh pula?”

“Untuk rapinya muslihat keji ini, dengan sendirinya orang-orang Siang-say-piaukiok harus dikorbankan,” sambung Tio Hiang-leng. “Dengan sendirinya Kang Giok-long harus membunuh mereka untuk melenyapkan saksi. Apalagi kalau orang-orang Siang-say-piaukiok sudah mati semua, dengan sendirinya mereka tidak perlu ganti rugi lagi dan harta kiriman yang berjumlah besar itu akan jatuh ke tangan Kang-lam-tayhiap kita dengan aman sentosa.”

Kang Piat-ho mengernyitkan dahi dan melirik sekejap ke arah si “tukang pikul joli” tadi.

Dengan gusar “tukang pikul joli” itu lantas membentak, “Dasar maling berteriak maling, sudah kepepet malah kau menggigit orang, betapa pun takkan kuampuni kau!” Di tengah bentakannya ia terus menubruk ke arah Tio Hiang-leng dengan cepat luar biasa.

Tentu saja Tio Hiang-leng kaget dan tampak tidak sempat mengelak, pada saat itulah sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu Hoa Bu-koat sudah mengadang di depan si “tukang pikul”.

Pukulan “tukang pikul” itu sudah telanjur dilontarkan dari sukar dikendalikan, tampaknya tubuh Hoa Bu-koat akan terpukul, tapi mendadak ia menggeser tubuh, tangan lain menepuk tangan yang lagi menghantam itu, dengan demikian tubuhnya lantas berputar dan pukulan juga menceng ke samping.

Gerakan yang gesit dan cekatan ini sungguh luar biasa, kalau tidak memiliki ilmu silat tingkat tinggi tidak mungkin bertindak demikian, dan ini dapat dilakukan oleh seorang “tukang pikul joli”.

Tentu saja hati semua orang tergerak, sedang dahi Kang Piat-ho berkerut semakin rapat. Hoa Bu-koat juga berkata dengan tersenyum, “Ilmu silat bagus! Gerak tubuh yang hebat ....”

“Tukang pikul joli” itu memandangnya dengan terkesiap, tanyanya dengan tergagap, “Mengapa Hoa-kongcu ber ....”

“Siapa pun yang ingin bicara harus kita terima dan dengarkan pendapatnya,” kata Hoa Bu-koat dengan tersenyum, “Sekalipun kita tidak percaya ucapannya juga harus memberi kebebasan bicara padanya. Betul tidak?”

Terpaksa “tukang pikul” itu mengiakan sambil menunduk.

Hoa Bu-koat lantas berpaling kepada Tio Hiang-leng, tanyanya, “Kau berani bicara begitu, memangnya kau mempunyai buktinya?”

Tio Hiang-leng termenung-menung sejenak, tapi segera ia berseru pula, “Bahwa orang-orang Siang-say-piaukiok terbunuh begitu saja tanpa melawan sama sekali, padahal kepandaian kedua ekor singa itu tidaklah lemah. Nah, sekarang Cayhe ingin tanya, seumpama orang berkepandaian tinggi seperti Hoa-kongcu, kalau sekaligus hendak membinasakan orang-orang itu, dapatkah engkau laksanakan tanpa mendapat perlawanan sama sekali dari mereka?”

Hanya setelah termenung sejenak lalu ia dapat bicara dengan lancar dan tajam seakan-akan mendadak diberi petunjuk oleh seseorang. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan curiga Kang Piat-ho, sorot matanya yang tajam segera menyapu ke arah “badan halus” yang berada di belakang Tio Hiang-leng itu.

Dengan perlahan Hoa Bu-koat lantas menjawab, “Betul, seumpama orang berkepandaian lebih kuat daripadaku juga pasti akan mendapat perlawanan sekalipun dia dapat membinasakan mereka dengan mudah akhirnya.”

“Dan di dunia ini apakah masih ada orang yang berkepandaian lebih tinggi daripada Hoa-kongcu?”

“Andai kata ada juga tidak banyak jumlahnya,” jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum.

“Bagus, makanya persoalan ini hanya ada satu jawabannya,” kata Tio Hiang-leng.

“Bagaimana jawabannya?” tanya Bu-koat.

“Yang membunuh mereka itu pastilah orang yang sangat karib dengan kedua ekor singa she Li itu, karena mereka tidak menyangka orang itu bakal turun tangan keji padanya, maka mereka tidak berjaga-jaga dan karena itu pula tidak sempat melawan ....” Tio Hiang-leng menyeringai, lalu menyambung pula, “Dan tidak perlu ditanyakan pula bahwa orang itu dengan sendirinya ialah Kang Giok-long.”

“Tapi menurut saksi hidup si tukang kuda itu, katanya yang turun tangan keji itu adalah seorang kakek,” kata Bu-koat.

“Ilmu mengubah rupa di dunia Kangouw sekarang sudah bukan rahasia lagi, kalau dia dapat menyamar sebagai tukang pikul joli, mengapa dia tidak dapat menyamar sebagai seorang kakek ....” dia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “dia sengaja membiarkan si tukang kuda tetap hidup agar dari mulut tukang kuda itu bisa tersiar apa yang dilihatnya, kalau tidak dengan kepandaiannya masakah tukang kuda itu dapat mengelabui mata telinganya sungguhpun dia bersembunyi. Kecuali itu, setelah tukang kuda itu dapat menyelamatkan diri segera dia menyiarkan kejadian itu secara jelas dengan dibumbu-bumbui pula, coba pikir seorang yang terkejut mengalami kejadian ngeri itu masih dapat bicara sejelas itu, maka ... maka tukang kuda itu pasti juga sekomplotan dengan dia dan sebelumnya telah diberi petunjuk cara bagaimana dia harus menyiarkan peristiwa itu ....”

Pada bagian-bagian ucapannya selalu dia berhenti sejenak seakan-akan sedang memperhatikan apa yang dibisikkan oleh si “badan halus” yang berada di belakangnya itu.

Dengan tatapan tajam Kang Piat-ho lantas mengejek, “Dan apa yang kau uraikan ini atas petunjuk siapa pula?”

“Ini ... ini ... adalah hasil pemikiranku sendiri, aku ....” sampai di sini kembali Tio Hiang-leng merandek pula, lalu menyambung dengan suara keras, “Oya, tadi aku keliru, bisa jadi si tukang kuda itu adalah samaran si ‘tukang pikul joli’ sekarang ini, ialah Kang Giok-long, sedangkan yang turun tangan keji itu ialah Kang Piat-ho.”

Mendadak Kang Piat-ho terbahak-bahak sambil menengadah, katanya, “Sebelumnya aku tidak peduli akan jalan pikiranmu, tapi lantaran kau mengoceh sembarangan, terpaksa tak bisa kuampuni kau.”

Ucapannya ini ternyata tidak ditujukan kepada Tio Hiang-leng, matanya juga tidak memandang tuan rumah itu, tapi sorot matanya yang tajam justru menatap ke arah si “badan halus” yang berada di belakang Tio Hiang-leng.

Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan perlahan, entah sejak kapan si “tukang pikul joli” itu sudah berada di belakang “badan halus”, menyusul ia terus menubruk maju, secepat kilat telapak tangannya terus menghantam.

Perhatian semua orang sama tertarik oleh ucapan Kang Piat-ho tadi sehingga tiada yang memperhatikan tindakan “tukang pikul joli” itu, tahu-tahu dia menyerang secara tiba-tiba dan tampaknya pasti akan mengenai sasarannya.

Tak terduga “badan halus” itu seperti sudah memperhitungkan cara bagaimana dan dari arah mana akan diserang, tanpa menoleh sebelah tangannya lantas menampar ke belakang.

Gerakan yang kelihatannya sepele itu ternyata menuju ke titik lemah serangan si “tukang pikul joli” itu sehingga memaksa dia harus menyelamatkan diri lebih dulu sebelum sempat melukai lawan. Sebisanya ia menutul kedua kakinya dan melompat mundur, dengan terbelalak ia pandang “badan halus” ini dengan sangat ketakutan seperti melihat setan.

Padahal semua orang sudah menyaksikan betapa lihai ilmu silatnya ketika menyerang Thi Bu-siang tadi, kini dia dapat digempur mundur oleh gerakan sepele seorang yang tak menarik, tentu saja semua orang sama terkejut. Sudah tentu si “tukang pikul” sendiri lebih-lebih tidak menduga bahwa serangannya yang pasti akan berhasil itu bisa berubah menjadi seperti permainan anak kecil saja bagi lawan.

Dilihatnya “badan halus” itu membalik tubuh perlahan, dengan terkekeh-kekeh menegurnya, “Apakah kau kenal aku?”

“Sia ... siapa kau?” tanya si ‘tukang pikul’ dengan suara parau.

“Kau tidak kenal aku, tapi kukenal kau ... mati pun takkan kulupakan dirimu,” suaranya melengking tajam dan kedengaran rada-rada seram.

Tanpa terasa “tukang pikul” itu bergidik, katanya pula, “Sesungguhnya kau ini sia ... siapa?”

“Sudah kukatakan sejak tadi, aku ini bukan manusia, tapi setan!” sambil bicara selangkah demi selangkah ia terus mendekati orang dan tanpa terasa “tukang pikul” itu pun mundur selangkah demi selangkah.

Entah mengapa, suasana di tengah ruangan yang terang benderang itu mendadak berubah menjadi seram.

Walaupun air muka “tukang pikul” itu tidak kelihatan berubah, namun sinar matanya jelas menampilkan rasa takut luar biasa, wajah yang kaku tanpa perasaan itu disertai sorot mata yang ketakutan itu semakin menambah seram orang yang melihatnya.

Hoa Bu-koat ternyata diam saja dan tiada tanda-tanda hendak turun tangan. Kang Piat-ho tampak mengedip, seperti memberi isyarat, habis itu lantas terdengar si pemuda baju ungu berteriak, “Wah, celaka! O, Suhu ... Suhu ... O, Suhu bunuh diri!”

Karena teriakan ini, seketika pandangan semua orang beralih dari si “badan halus” ke arah Thi Bu-siang, setelah melihat apa yang terjadi, semua orang ikut menjerit kaget.

Thi Bu-siang kelihatan masih duduk tegak di kursinya, tapi pedang tadi kini telah menancap di lehernya, bajunya berlumuran darah. Karena lehernya tertembus pedang sehingga tak dapat berteriak, kedua tangannya tampak memegangi batang pedang, seperti hendak menusukkannya lebih dalam, tapi juga seperti ingin mencabutnya, namun tidak kuat.

Kedua mata jago tua itu tampak melotot gusar, sorot mata sebelum ajalnya menampilkan rasa kaget, gusar dan penuh dendam, setelah mengembuskan napas terakhir, pandangannya yang masih penuh rasa benci dan dendam itu seakan-akan tetap menatap si pemuda baju ungu.

“Thi Bu-siang tidak malu sebagai seorang ksatria,” demikian Kang Piat-ho berkata dengan menghela napas menyesal. “Dia berani mengaku salah dan berani bertanggung jawab, dengan kematiannya ini, segala dosa dan nama busuk di waktu hidupnya boleh dikatakan sudah tercuci bersih.”

Mendadak “badan halus” itu berteriak, “Kentut busuk! Thi Bu-siang sekali-kali bukan membunuh diri!”

“Kalau Thi-locianpwe tidak bunuh diri, memangnya aku orang she Kang yang membunuhnya?” damprat Kang Piat-ho dengan gusar. Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Seumpama aku mau membunuh dia tentu sudah kulakukan sejak tadi, untuk apa menunggu sampai sekarang?”

Tapi “badan halus” itu pun mengejek, “Hm, kalau Thi Bu-siang mau membunuh diri tentu sudah lama dia lakukan, tidak nanti dia menunggu sampai sekarang. Kalau tadi dia tidak sudi mati penasaran, sekarang duduknya perkara sudah terang, lebih-lebih tidak mungkin dia membunuh diri.”

“Jika Thi-locianpwe bukan membunuh diri, lalu siapa lagi yang mampu membunuhnya tanpa mendapat perlawanan? Kematian Thi-locianpwe ini justru mati dengan putih bersih, memangnya kau ingin dia mendapat nama busuk setelah mati?” bentak Kang Piat-ho dengan bengis.

Dengan suara tidak kalah bengisnya “badan halus” itu menjawab, “Kalau bertempur berhadapan, sudah tentu tiada seorang pun yang dapat membunuh Thi-locianpwe tanpa mendapat perlawanannya, tapi kalau membunuhnya secara gelap ....”

“Memangnya aku Kang Piat-ho dapat membunuhnya secara menggelap?” teriak Kang Piat-ho murka.

“Sekali ini dengan sendirinya bukan perbuatanmu, kau sendiri tahu Thi Bu-siang sudah berjaga-jaga terhadap kecuranganmu, sekalipun kau hendak menyergapnya juga sukar berhasil,” jengek pula ‘badan halus’ itu.

“Kalau bukan aku, habis apakah Hoa-kongcu?” dengus Kang Piat-ho.

“Kan sudah kukatakan, yang turun tangan pastilah orang yang paling karib dengan Thi Bu-siang, karena tidak tersangka orang ini akan menyerangnya secara gelap, maka dengan mudah dapat berhasil.”

“Siapa yang membunuh guruku, biar aku adu jiwa dengan dia!” mendadak pemuda baju ungu berteriak.

“Yang membunuh gurumu ialah kau sendiri!” jengek ‘badan halus’ itu.

Tergetar badan pemuda itu, teriaknya dengan gusar, “Kentut busuk, betapa berbudi guruku terhadapku, mana bisa aku membunuh guruku sendiri, apa kau ... sudah ... sudah gila!”

“Kau sendiri yang sudah gila!” jengek orang itu. “Jika kau merasa utang budi kepada guru, seharusnya kau membalas kebaikannya itu, tapi kau justru membalas air susu dengan air tuba, diam-diam kau bersekongkol dengan orang she Kang. Tatkala perbuatanmu yang khianat ini akan terbongkar diam-diam kau menikam leher gurumu. Kau kira setelah gurumu mati tentu tiada saksi hidup lagi untuk membongkar perbuatanmu yang terkutuk ini, tapi kau lupa bahwa di sini masih ada aku!”

“Kau ini siapa? Berani sembarang memfitnah orang?” teriak pemuda baju ungu dengan parau.

“Memangnya kau mau bukti?”

“Mana buktinya? Coba perlihatkan!”

“Orang lain tidak punya bukti, tapi bukti lengkap berada padaku. Aku sendiri yang menyaksikan kau yang menaruh racun di dalam arak waktu kalian hendak meracun Tio Coan-hay tempo hari.”

Tubuh pemuda baju ungu kembali bergetar, tapi ia membentak pula, “Kentut busuk! Guruku yang mengundang Tio-congpiauthau untuk didamaikan dengan Sam-siang-piaukiok, untuk apa aku meracuni Tio-congpiauthau malah?”

“Soalnya kau telah bersekongkol dan diperintah berbuat begitu oleh Kang Giok-long agar perdamaian itu gagal dan sekaligus merusak nama baik gurumu, itu artinya sekali bertindak tiga korban, sungguh muslihat keji.”

“Kentut busuk! Siapa ... siapa yang mau percaya ocehanmu ini?”

“Kau berani menyangkal lagi? Justru aku menyaksikan sendiri kau berunding dengan Kang Giok-long tentang muslihat keji itu di dapur restoran Su-hay-jun tempo hari.”

“Mana bisa kau menyaksikan sendiri? Kau ... kau sembarangan memfitnah orang, biar ku ... ku mampuskan kau!” teriak pemuda baju ungu sambil menubruk maju.

Tapi baru saja ia bergerak, mendadak “badan halus” itu membuka kalo bambu yang menutupi mukanya itu dan menyeringai, “Coba pandanglah dengan jelas siapakah diriku ini?”

Di bawah cahaya lampu tertampak wajahnya yang kotor, rambut semrawut sehingga seperti setan gentayangan.

Seketika pemuda baju ungu tergetar mundur, serunya dengan suara gemetar “Kau ... kau ....”

“Supaya tahu, aku adalah arwah halus orang yang kau bunuh bersama Kang Giok-long itu, kalian hendak menghilangkan saksi hidup dan membunuhku, aku mati penasaran, jadi setan juga akan kubongkar muslihat keji kalian, akan kutagih nyawa padamu.”

Belum habis ucapannya, seperti kesurupan pemuda baju ungu itu lantas menjerit, “Setan ... setan ... ada setan!” Berbareng ia terus mundur-mundur dan akhirnya lari terbirit-birit seperti orang gila.

Tapi belum beberapa jauh ia lari, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, belum pemuda itu mencapai pintu sudah lantas jatuh tersungkur, sebilah pedang telah menembus tengkuknya hingga dia terpantek di tanah.

Pemuda baju ungu itu tidak sempat menjerit dan tahu-tahu sudah mati terkapar. Tapi sekali ini semua orang menyaksikan dengan jelas, pedang itu tersambit dari tangan Kang Piat-ho.

Tenang-tenang saja Kang Piat-ho, katanya dengan perlahan, “Orang ini menjadi tidak waras, kalau membiarkan dia pergi mungkin akan mengganggu ketenteraman umum, terpaksa aku membunuhnya.”

Tiba-tiba “badan halus” tadi membentak, “Kang Piat-ho, kau membunuhnya untuk menghilangkan saksi hidup, tapi malah bicara muluk-muluk, terkutuklah kau!”

“Huh, kau main sembunyi-sembunyi dan tidak berani memperlihatkan wajah aslimu, siapa yang mau percaya ocehanmu?!” jawab Kang Piat-ho tersenyum.

Ucapan ini dengan jitu mengenai titik kelemahan si “badan halus”.

Tidak perlu dijelaskan lagi, “badan halus” ini dengan sendirinya ialah Siau-hi-ji, di depan Hoa Bu-koat, dengan sendirinya ia tidak berani memperlihatkan muka aslinya.

Perlahan Kang Piat-ho berkata pula, “Seorang lelaki sejati harus berani bicara dan berani bertanggung jawab, jika apa yang kau katakan tadi menyangkut persoalan sepenting ini, seharusnya kau berani memperlihatkan muka aslimu di depan orang banyak.”

Tertegun juga Siau-hi-ji, akhirnya ia berteriak, “Asalkan apa yang kukatakan adalah betul, apa sangkut-pautnya dengan wajah asliku segala?”

“Nah, coba pikir, hadirin sekalian,” segera Kang Piat-ho menambahkan, “jika perkataan orang ini memang betul, mengapa dia tidak berani menghadapi orang dengan muka aslinya.”

Waktu Siau-hi-ji memandang sekelilingnya, tertampak sorot mata setiap orang sama menatap wajahnya dengan rasa sangsi.

Dengan tenang Kang Piat-ho lantas berkata pula, “Orang ini sengaja main sembunyi-sembunyi, sembunyi kepala memperlihatkan ekor, mengoceh semaunya untuk menakut-nakuti orang lain, maksud tujuannya jelas tidak baik ....”

Sembari bicara ia pun senantiasa memperhatikan sikap hadirin, sampai di sini tiba-tiba ia berkata kepada Hoa Bu-koat dengan sekata demi sekata, “Hoa-kongcu adalah orang bijaksana, apakah engkau tidak ingin tahu asal usul mereka?”

“Mereka?” Hoa Bu-koat menegas.

“Ya, selain bocah ini tentu masih ada pula si ‘tukang pikul’ itu, Cayhe juga ingin tahu apakah dia memang anakku yang tak becus Giok-long sebagaimana dituduhkan orang ini.”

Ucapan Kang Piat-ho ini kedengaran adil dan tidak memihak. Maklumlah dalam waktu sesingkat ini suasana di ruangan ini sesungguhnya telah berubah terlalu banyak dan terlalu cepat.

Di tengah kegaduhan tadi banyak orang sudah melupakan urusan si “tukang pikul joli” itu. Kini setelah disebut oleh Kang Piat-ho, dengan sendirinya pandangan semua orang lantas mencari ke arah orang yang disebut, tapi bayangan “tukang pikul” itu ternyata tidak nampak lagi, bahkan para tukang joli yang ikut serta Toan Hap-pui dan Samkohnio dengan kedua jolinya juga sudah menghilang entah sejak kapan.

Tanpa terasa Siau-hi-ji menggentak kaki, meski dia pintar dan cerdik, tapi pengalaman masih cetek sehingga kurang rapi pengawasannya dan akibatnya terjadilah kelengahan yang fatal ini.

Kang Piat-ho tampaknya menjadi gusar dan berteriak, “He, mengapa ‘tukang pikul’ itu menghilang? Bilakah perginya?”

Lo Kiu yang sejak tadi hanya menjadi penonton itu tiba-tiba menanggapi, “Badan Toan-loyacu kurang sehat, dia terlalu tegang dan tidak tahan melihat semua kejadian ini, maka sejak tadi dia suruh mereka menggotongnya pulang.”

“Orang kalau terlalu gemuk memang tidak boleh merasa tegang, jika sering tegang bisa kena angin duduk, kami bersaudara juga mempunyai penyakit begitu,” demikian sambung Lo Sam dengan tertawa.

Kang Piat-ho berlagak menyesali Lo Kiu, katanya, “Jika kalian melihat kepergian mereka, seharusnya ‘tukang pikul’ itu ditahan di sini, kalau persoalan ini tidak dibikin terang, betapa pun Cayhe merasa tidak enak.”

“Huh, kau musang berbulu ayam ini, kalau bicara hal pura-pura dan berlagak, kau memang terhitung nomor satu di dunia,” damprat Siau-hi-ji saking gemasnya.

Kang Piat-ho balas mendengus, “Hm, bukan mustahil ‘tukang pikul’ itu sekomplotan denganmu dan sengaja hendak memfitnah diriku, kalau tidak mengapa kau membiarkan dia kabur begitu saja?”

Ternyata menghilangnya “tukang pikul” itu berbalik digunakannya untuk menghantam Siau-hi-ji dan cara bicaranya juga cukup beralasan, kini meski tidak semua orang percaya kepada ucapannya, sedikitnya sudah mulai meragukan tuduhan Siau-hi-ji tadi.

Tentu saja Siau-hi-ji geregetan dan kelabakan, baru sekarang ia tahu Kang Piat-ho memang benar-benar bukan tokoh yang mudah dilayani, hanya beberapa patah kata saja suasana yang tidak menguntungkannya telah dapat diputar balik olehnya. Tanpa menggerakkan satu jari pun kini Siau-hi-ji telah didesaknya ke jalan buntu.

Ruangan tamu ini sangat luas, banyak pintu dan jendelanya, kalau mau, dengan mudah sekali Siau-hi-ji dapat menerobos keluar. Tapi sekarang Siau-hi-ji tidak dapat pergi, sebab mata Hoa Bu-koat sekarang sedang menatap tajam padanya.

Dengan tenang didengarnya Kang Piat-ho berkata pula, “Meski tukang pikul itu sudah kabur, tapi saudara mungkin tidak dapat lolos lagi, saudara ternyata tetap tidak sudi memperlihatkan wajah aslimu, jangan-jangan disebabkan kau telah berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang?”

Benak Siau-hi-ji terus bekerja, tapi tidak mendapatkan sesuatu akal yang baik.

Tiba-tiba Hoa Bu-koat membuka suara, “Jika sahabat tidak sudi turun tangan sendiri, rasanya Cayhe perlu melakukannya bagimu.”

“Hoa Bu-koat,” damprat Siau-hi-ji, “sebenarnya kuanggap kau ini orang pintar, siapa tahu kau ternyata sudi diperalat orang lain seperti boneka, sungguh aku merasa malu bagimu.”

Sama sekali Hoa Bu-koat tidak marah, ia malah tersenyum dan berkata, “Jika engkau bermaksud memancing kemarahanku, maka usahamu ini cuma sia-sia belaka.”

“Orang yang tidak bisa marah adalah orang yang tak berguna, memangnya ada harganya untuk dibuat bangga dan pamer?”

“Bukannya aku tidak pernah marah, soalnya orang seperti kau ini belum ada harganya untuk kumarahi.”

Dengan tertawa Kang Piat-ho menukas, “Biarpun masih muda, tapi kesabaran Hoa-kongcu sungguh sangat terpuji, untuk bisa memancing kemarahannya kau harus ....”

“Untuk memancing kemarahannya kau harus merebut Thi Sim-lan dari pelukannya, begitu bukan?” teriak Siau-hi-ji.

Air muka Hoa Bu-koat benar-benar rada berubah demi mendengar perkataan ini, dengan suara berat ia menjawab, “Urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan dia, sebaiknya saudara jangan menyinggung namanya.”

“Thi Sim-lan kan bukan milikmu, dengan hak apa kau larang orang lain menyebut namanya?” teriak Siau-hi-ji dengan tertawa.

Entah mengapa, bicara tentang Thi Sim-lan, seketika darah seakan-akan bergolak di sekujur badan anak muda itu, segala apa tidak membuatnya gentar lagi, yang dituju hanya memancing kemarahan Hoa Bu-koat saja, supaya Hoa Bu-koat malu pula, biarpun menyadari dirinya sekali-kali bukan tandingan Hoa Bu-koat, tapi dia justru ingin mengadu jiwa dengan Hoa Bu-koat agar perasaannya yang bergolak itu terlampiaskan.

Seorang yang biasanya dapat menguasai perasaan dan dapat berpikir dengan tenang kini mendadak terangsang oleh emosi yang tak terkendalikan, perubahan ini nampaknya sangat luar biasa dan tidak masuk akal, tapi kalau dipikir lebih jauh, hal ini tidak perlu diherankan.

Maklumlah, selama beberapa tahun terakhir ini Siau-hi-ji selalu berusaha mengekang diri, lebih-lebih terhadap Hoa Bu-koat. Semua ini disebabkan karena Siau-hi-ji memang benar-benar seorang yang mahapintar, bukan saja dia sangat memahami orang lain tapi juga memahami dirinya sendiri, ia tahu dirinya sesungguhnya tidak dapat membandingi Hoa Bu-koat, makanya dia harus bersabar dan menahan diri. Kalau saja tiada tekanan lain, kalau tiada sumbu penyebab, bisa jadi dia akan terus bersabar dan menahan perasaannya ini sehingga tiba saatnya dia dapat mengalahkan Hoa Bu-koat.

Tapi sekarang dia benar-benar kepepet, dia terdesak hingga tak dapat bernapas, sedangkan nama Thi Sim-lan justru adalah sumbu penyebabnya, pergolakan darah yang telah dikekang sebisanya akhirnya meledak.

Dengan tertawa ngakak Siau-hi-ji berteriak pula, “Hoa Bu-koat, bicara terus terang, sejak lama Thi Sim-lan sudah mempunyai kekasih, hatinya sudah lama menjadi milik orang itu, betapa pun kau tidak dapat merebutnya, andaikan kau dapat memperistrikan dia, tapi kau tidak dapat memiliki hatinya.”

Di tengah tertawa keras itu mendadak tubuh Siau-hi-ji melambung tinggi ke atas. Pada saat itu juga tangan Hoa Bu-koat sudah terayun ke depan, kalau saja Siau-hi-ji terlambat setengah jengkal mungkin dadanya sudah hancur terhantam.

Belandar ruangan besar itu sedikitnya lima meter tingginya, tapi sekali loncat Siau-hi-ji meraih belandar itu, tubuhnya bergelantungan laksana anak main ayunan dan seakan-akan setiap saat bisa jatuh. Tapi Kang Piat-ho dapat melihatnya bahwa gerak tubuh Siau-hi-ji adalah Ginkang yang paling tinggi, tampaknya tubuh bergoyang-goyang hendak jatuh, padahal setiap gerakan itu tersembunyi serangan maut.

Apalagi dengan bergelantungan di atas berarti menduduki tempat yang lebih menguntungkan, dalam keadaan demikian, siapa pun kalau meloncat ke atas dan menyerangnya mungkin akan mengalami nasib malang lebih dulu.

Namun Hoa Bu-koat tiada bermaksud menyerang ke atas, bahkan memandang sekejap saja tidak, dia tetap berdiri tenang di tempatnya, ia malah menatap ke ujung kakinya sendiri laksana seorang paderi tua yang sedang bersemadi, apa yang terjadi di sekelilingnya seperti tak digubrisnya lagi.

Sudah tentu semua orang menjadi heran melihat sikap Hoa Bu-koat yang aneh itu, yang lebih mengherankan adalah Siau-hi-ji, kesempatan baik itu ternyata tidak digunakan untuk kabur.

Namun Siau-hi-ji tahu bahwa saat ini Hoa Bu-koat justru sedang memusatkan pancaindera, tampaknya dia tidak melihat dan tidak mendengar segala apa pun, padahal setiap gerak-gerik siapa pun juga tak terhindar dari mata telinganya.

Karena Siau-hi-ji menduduki tempat yang lebih menguntungkan, mungkin Hoa Bu-koat tidak mau sembarangan turun tangan, tapi kalau Siau-hi-ji bertindak sedikit, seketika dia akan kehilangan inisiatif dan mungkin akan mengalami serangan fatal dari Hoa Bu-koat.

Sebab itulah Siau-hi-ji tidak berani kabur, dia memang tidak dapat pergi.

Begitulah yang satu bergelantungan di atas dan yang lain berdiri diam di bawah, keduanya lantas saling bertahan dalam posisi demikian.

Orang lain tidak tahu ketergantungan apa yang terkandung di antara kedua seteru itu, tapi aneh, suasana yang tadinya rada kacau itu kini berubah menjadi sunyi senyap. Semakin lama suasana tegang semakin terasa mencekam.

Siau-hi-ji masih terus bergelantungan, tapi semua orang tidak merasakan lagi dia akan jatuh ke bawah, bahkan terasakan ayunan yang tak menentu itu membuat kepala mereka pusing dan mata berkunang-kunang. Akhirnya mereka tidak berani memandang ke atas lagi, tapi cahaya lilin di ruangan seakan-akan ikut bergoyang-goyang oleh gerak ayunan Siau-hi-ji itu, sampai akhirnya seluruh ruangan seperti juga ikut bergoyang. Semua orang merasa seperti terombang-ambing di sebuah sampan dan terasa mabuk laut.

Hanya Kang Piat-ho saja, dia menatap Hoa Bu-koat dengan tajam dan sikapnya tetap tenang.

Hoa Bu-koat masih berdiri tegak seakan-akan sebuah tombak di tengah damparan ombak samudera, berdirinya tegak kuat sehingga membawa rasa aman juga bagi orang lain. Tapi selain Kang Piat-ho tiada orang lain lagi yang berani memandangnya, rasanya dari tubuhnya yang tegak itu terpancar semacam hawa membunuh yang menyesakkan napas

Yang satu bergerak dan yang lain berdiam, sungguh perbandingan yang sangat kontras. Jarak kedua pemuda itu ada beberapa meter jauhnya, namun di tengah-tengah mereka sudah tidak boleh terselip sesuatu benda apa pun.

Satu bergerak dan satu lagi berdiam, keadaan ini terus bertahan, namun lama-lama yang bergerak dengan sendirinya tidak sekuat yang berdiam. Sudah tentu Kang Piat-ho memahami hal ini, tanpa terasa tersembul senyum senang di ujung mulutnya.

Malam sudah larut, sudah mulai terasa dingin, meski tidak keras hawa dingin di malam musim panas, namun semua orang yang berada di situ sudah mulai menggigil.

Sekonyong-konyong seekor burung seriti menerobos masuk dari jendela, itulah burung walet yang kesasar dan kebetulan menerobos ke tempat yang ada cahayanya, tujuannya mungkin untuk mencari selamat. Burung itu langsung terbang ke tengah-tengah antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat yang sedang saling bertahan itu.

Tiada seorang pun yang melihat sesuatu gerakan dari Siau-hi-ji maupun Hoa Bu-koat, tapi entah mengapa, tahu-tahu burung seriti tidak mampu menerobos hawa pembunuhan yang tak berwujud itu, langsung burung itu jatuh ke bawah dan menyerempet muka Hoa Bu-koat.

Pada saat itu juga tubuh Siau-hi-ji mendadak anjlok ke bawah dengan berputar seperti gangsingan, dipandang dari jauh tangan dan kaki anak muda itu seperti sedang menari-nari menyilaukan mata, seakan-akan malaikat bertangan seribu yang mendadak turun dari langit.

Namun Hoa Bu-koat tetap tenang-tenang saja dan tidak menengadah sama sekali.

Tiba-tiba Siau-hi-ji membentak selagi masih terapung di udara, bersamaan ia melancarkan delapan kali tendangan dan enam belas kali pukulan.

Betapa cepat serangannya sungguh sukar diukur, tampaknya tubuhnya seakan-akan tumbuh delapan tangan dan enam belas kaki sekaligus serta menyerang secara serentak, seluruhnya mengarah Hoa Bu-koat.

Pandangan semua orang terasa berkunang-kunang, jika mereka yang menghadapi serangan yang demikian, jangankan hendak menangkis, mengelak mungkin juga tidak tahu caranya.

Mendadak Hoa Bu-koat mendongak, di bawah cahaya lampu yang bergoyang-goyang itu sorot matanya gemerlap laksana bintang berkelip, wajahnya senyum tak senyum, telapak tangan terayun, dengan perlahan ia menarik dan ditolak pula ke samping, tampaknya bukan gerak serangan tapi juga bukan pertahanan. Tapi aneh, hanya gerakan yang sepele ini tahu-tahu serangan Siau-hi-ji yang lihai itu telah dapat dipatahkan.

Segera terdengar suara “plak-plak” beberapa kali, tangan kiri Siau-hi-ji memukul pada tangan kanan sendiri, kaki kanan juga menendang kaki kiri sendiri, serangan Siau-hi-ji yang lihai itu ternyata mengenai tubuhnya sendiri sehingga terlempar mundur dan jatuh tersungkur.

Senang sekali hati Kang Piat-ho melihat kejadian itu, katanya sambil tertawa, “Hebat, sungguh jurus ‘Ih-hoa-ciap-giok’ yang bagus!”

Tertampak kedua telapak tangan Siau-hi-ji merah bengkak, napas terengah-engah dan tidak sanggup merangkak bangun lagi.

Sambil memandangi Siau-hi-ji, dengan tersenyum Hoa Bu-koat berkata, “Ilmu silatmu terhitung juga tokoh kelas satu, kekuatan tenaga dalammu juga di luar dugaanku, cuma sayang, semakin kuat tenagamu, semakin berat pula lukamu.” Sembari bicara ia pun mendekati Siau-hi-ji dengan perlahan.

Pada saat itu juga sekonyong-konyong suara mendesing memenuhi seluruh ruangan tamu, cahaya lampu mendadak padam, bahkan berpuluh senjata rahasia dengan suara mendesing keras menyambar ke arah Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat.

Bahwa sekaligus senjata-senjata rahasia itu dapat memadamkan lampu dan berbareng menyerang lawan pula, betapa hebat cara menyambitnya dan betapa kuat tenaganya boleh dikatakan jarang ada bandingannya di dunia Kangouw.

Namun hujan senjata rahasia itu tetap tidak dapat melukai Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat, hanya sedikit melompat saja dapatlah mereka mengelaknya.

Selagi suasana kacau-balau, terdengar Lo Kiu membentak, “Harap semua orang berdiri tenang di tempat masing-masing dan jangan sembarang bergerak!”

“Ya, jangan sampai keparat itu kabur di tengah kekalutan ini!” Lo Sam juga berteriak.

Ucapan itu memang cocok dengan pikiran Kang Piat-ho, diam-diam ia memuji, “Kedua Lo bersaudara itu ternyata jagoan juga.”

Dalam pada itu terdengar suara Lo Kiu berseru pula, “Biar kujaga di luar agar dia tidak dapat kabur dan lekas menyalakan lampu!”

“Baiklah, kau boleh keluar!” jawab Lo Sam. Menyusul cahaya api lantas menyala. Waktu semua orang memandang si “badan halus” yang jatuh tadi, ternyata betul sudah menghilang.

Berubah air muka Kang Piat-ho, cepat ia melompat ke tepi jendela, namun di luar tetap gelap gulita dan tiada bayangan seorang pun.

“Cepat benar kaburnya keparat tadi, lekas kita mengejarnya!” kata Lo Sam sambil menghentak lantai.

“Banyak sekali jalan lolos di sini, mungkin percuma saja mengejarnya,” ujar Hoa Bu-koat.

“Apakah membiarkan dia kabur begitu saja?” kata Kang Piat-ho penasaran.

“Dengan tenaga pukulannya tadi setelah kugeser balik sehingga dia melukai kaki tangan sendiri, kuyakin dia tidak sanggup kabur begitu saja,” kata Hoa Bu-koat.

“Kalau begitu jelas orang yang menghamburkan senjata rahasia dan memadamkan lampu itulah yang membawa lari dia,” ucap Kang Piat-ho dengan gemas.

“Tapi saudaraku mungkin telah mengejarnya, entah dapat menyusulnya atau tidak?” kata Lo Sam.

“Kukira kakakmu tidak dapat menyusulnya,” ujar Hoa Bu-koat. “Kalau orang itu mampu membawa lari pecundangku di depan mataku dengan sendirinya dia memiliki kepandaian lain daripada yang lain, apalagi kita sudah terhalang sejenak oleh senjata rahasia yang dihamburkan tadi, hendak mengejarnya juga sia-sia belaka.”

“Betul, kalau orang itu mampu menolong keparat itu di depan Hoa-kongcu, dengan sendirinya saudaraku juga tidak mampu menyusulnya,” kata Lo Sam dengan gegetun.

“Kukira kakakmu akan lebih baik tidak berhasil menyusulnya, kalau tidak dalam keadaan sendirian tentu dia akan menghadapi bahaya, inilah yang membuat hatiku tidak tenteram,” ujar Kang Piat-ho dengan tertawa.

“Keparat itu berani sembarangan mengoceh dan merusak nama baik Kang-tayhiap, dengan sendirinya dia harus dibekuk untuk bisa mencuci bersih nama Kang-tayhiap yang tercemar. Sekarang dia telah kabur, betapa penting soal ini. Namun Kang-tayhiap ternyata tidak ambil pusing dan malah memikirkan keselamatan saudaraku, sungguh budi luhur Kang-tayhiap sukar dibandingi orang lain,” demikian Lo Sam mengumpak.

“Ah, benar atau salah tentu orang Kangouw dapat membedakannya, orang macam apa diriku Kang Piat-ho ini tentu juga sudah cukup diketahui oleh kawan-kawan Kangouw, bagiku cukup asalkan merasa tidak berbuat sesuatu yang memalukan, pada hakikatnya aku tidak pedulikan fitnah dan nista orang lain,” seru Kang Piat-ho dengan lantang.

“Benar,” kata Lo Sam pula dengan tertawa, “orang yang terkenal tentu tidak luput dari desas-desus jahat, nama Kang-tayhiap segemilang sang surya di tengah cakrawala, hanya sedikit fitnah yang tidak masuk akal itu mana dapat menggoyahkan nama baik Kang-tayhiap di mata orang Kangouw?”

“Sebab itu juga kuyakin orang itu pasti takkan pergi begitu saja,” ucap Kang Piat-ho dengan tersenyum. “Kalau dia bertekad hendak menjatuhkan namaku, tentu dia akan datang kembali ....”

“Jika dia datang lagi, tentu engkau takkan membiarkan dia lolos lagi, begitu bukan?” sela Hoa Bu-koat dengan mengulum senyum.

“Bilamana dia datang lagi, Cayhe hanya ingin tahu sesungguhnya dia itu orang macam apa?” ucap Kang Piat-ho sekata demi sekata.

*****

Tadi, begitu lampu padam dan terdengar suara mendesing ramai, segera Siau-hi-ji tahu telah kedatangan bintang penolong. Selagi dia hendak merangkak bangun, tahu-tahu seorang telah merangkulnya terus dibawa lari menerobos keluar jendela.

Ginkang orang itu tergolong tokoh kelas satu, hanya beberapa kali gerakan saja sudah berada beberapa puluh tombak jauhnya. Pada saat itulah Siau-hi-ji masih sempat mendengar suara Lo Kiu lagi berseru di dalam ruangan agar semua orang jangan sembarang bergerak dan tetap berdiri di tempat masing-masing.

Habis itu ia tidak dengar lagi apa yang terjadi di sana, sejenak kemudian ia sudah dibawa kabur meninggalkan perkampungan yang kacau itu.

Terasa angin malam meniup sejuk, tangan dan kaki Siau-hi-ji masih terasa sakit akibat saling genjot sendiri tadi, diam-diam ia terkejut juga teringat kepada ilmu silat Hoa Bu-koat yang ajaib dan lihai itu.

Sekejap tadi sesungguhnya sangat berbahaya bagi keselamatan Siau-hi-ji kalau saja tiada orang menolongnya tentu dia tak dapat lolos.

Dan siapakah penolongnya ini?

Selama hidup Siau-hi-ji boleh dikatakan cuma ada musuh dan tiada kawan, lalu siapakah yang sudi turun tangan menyelamatkannya dan untuk apakah menolongnya?

Karena ingin tahu, Siau-hi-ji lantas tanya, “Sungguh sangat berterima kasih atas pertolongan saudara ini.”

“Ehm!” terdengar orang itu bersuara singkat sambil tetap lari. Karena terkempit olehnya, maka Siau-hi-ji tidak dapat melihat wajah orang.

Selang sejenak, kembali Siau-hi-ji bertanya, “Apakah kau tahu bahwa diriku ini bukanlah orang yang baik, mengapa engkau menolong aku?”

“Tapi kau pun tidak busuk,” ucap orang itu dengan tertawa.

“Jika demikian, jadi kau kenal aku?”

“Ehm,” kembali orang itu cuma mendengus.

“Namun aku tidak kenal engkau, siapakah engkau?”

“Coba tebak!”

“Dengan sendirinya engkau seorang lelaki.”

“Betul!”

“Dari suaramu kukira usiamu belum tua.”

“Tapi juga tidak muda lagi.”

“Dengan sendirinya pula engkau bukan Sin-sik Totiang,” kata Siau-hi-ji pula.

“O,” kembali orang itu bersuara singkat.

“Jika engkau Sin-sik Totiang tentu aku takkan disuruh menerka, orang beragama pasti tidak suka main sembunyi seperti maling takut ketahuan.”

Dasar anak dugal, orang menolongnya, dia malah memaki orang. Soalnya dia sengaja hendak memancingnya supaya orang bicara lebih banyak, dengan demikian ia berharap dapat mengenali dari suaranya.

Tak disangka orang itu pun tidak marah, sebaliknya menjawab dengan tertawa, “Betul juga ucapanmu.”

Karena tidak dapat menerka siapa penolongnya ini, tiba-tiba Siau-hi-ji berkata, “He, jangan-jangan engkau ini Han-wan Sam-kong?”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes