Wednesday, May 12, 2010

bp3_part2

“Kau perempuan hina dina,” demikian istri tua itu mendamprat sambil tunjuk hidung sang istri muda, “Berkat potonganmu yang mirip siluman kau memikat suamiku sehingga mati, sekarang anakmu juga sudah mati, itu namanya kualat, kenapa kau malah memfitnah dan menyalahkan aku?”

Sudah tentu istri muda itu tidak mau kalah, kontan ia pun balas memaki, “Kau ini siluman tua yang suka minum cuka, lebih baik kau bercermin dulu dengan air kencingmu, tapi kau lebih suka cemburu dan bersaing dengan orang lain. Suamiku justru mati gemas lantaran tingkah polahmu.”

“Memangnya siapa suamimu? Huh, tidak tahu malu, suami orang diaku-akui,” damprat istri tua dengan gusar.

“Kau sendiri tidak tahu malu,” balas istri muda, “sudah ditiduri sekian tahun, jangankan anak, kentut saja tidak keluar. Jika tidak ada aku, huh, yang meneruskan keturunannya saja tidak ada.”

Nyata istri muda ini lebih tajam lidahnya, cara berolok-olok juga lebih kena, keruan istri tua menjadi gemetar saking murkanya, sekonyong-konyong ia menubruk maju, “plak”, kontan ia tampar muka istri muda.

Sudah tentu sang istri muda tidak terima, segera ia memaki, “Bagus, kau berani memukul orang, biar kuadu jiwa denganmu!” Berbareng ia pun balas menjambak rambut sang istri tua, keduanya lantas bergumul.

Beberapa perempuan yang berusia lebih muda di sebelah mereka cepat hendak melerai, tapi akhirnya mereka pun kena digampar sana-sini, yang memisah itu jadinya ikut berkelahi dengan lebih sengit.

Begitulah beberapa perempuan itu lantas saling jambak dan saling betot, beberapa orang bergumul menjadi satu dan akhirnya terguling-guling di lantai, makin berguling makin mendekat ke arah beberapa orang berbaju hitam itu, mereka seperti sudah kalap, jelas di dekat mereka berdiri orang-orang berbaju hitam, tapi seakan tidak melihatnya.

Beberapa orang berbaju hitam itu pun aneh, mereka menyaksikan perkelahian kawanan perempuan itu dengan acuh, dianggapnya seperti tontonan murahan saja.

Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar serentetan suara mendesing, berpuluh sinar hitam mendadak menyambar keluar dari onggokan kawanan perempuan yang sedang bergumul itu.

Senjata rahasia sebanyak itu menyambar dengan cepat lagi keji, seketika beberapa orang berbaju hitam itu terkurung di bawah ancaman dan tampaknya tiada satu pun bisa menghindarkan diri.

Sejak tadi Siau-hi-ji memang sudah merasakan gelagat tidak beres. Meski rambut kawanan perempuan itu semrawut tak teratur, kulit muka mereka pun kasar dan keriput, tapi tangan mereka kelihatan putih halus, jari jemari pun lentik terpelihara.

Setelah menemukan titik yang mencurigakan ini, seketika mata Siau-hi-ji terbeliak, pikirnya, “Para nona keluarga Buyung memang lihai, tampaknya Kang Piat-ho pasti akan terjebak sekali ini.” Dan baru saja berpikir, pada saat itulah senjata rahasia tadi lantas dihamburkan. Di luar dugaan, ternyata orang-orang berbaju hitam itu pun sudah memperhitungkan akan kemungkinan ini. Begitu senjata rahasia musuh menyambar tiba, serentak mereka pun mengapung ke atas, “creng”, pedang dan golok segera mereka lolos, dari atas segera mereka menerjang kawanan perempuan itu.

Kawanan perempuan ternyata tiada satu pun yang lemah, serentak mereka menjatuhkan diri ke lantai dan menggelinding ke samping sehingga serangan musuh terelakkan, waktu mereka melompat bangun, tangan masing-masing ternyata sudah bertambah sejenis senjata.

Si baju hitam yang menjadi kepala mendengus, “Hm, perempuan konyol, berani main gila di depanku, memangnya kalian sangka kami mudah dijebak? padahal kami sebelumnya sudah menyelidiki Sutheng ini sudah tidak ada ahli warisnya, keturunannya sudah putus dan mati ludes. Siapa kalian dan untuk apa kalian datang ke sini? Kalau tidak mengaku terus terang, hm, jangan harap kalian dapat pergi dengan hidup.”

Diam-diam Siau-hi-ji mengakui kelicinan Kang Piat-ho, terhadap sesuatu persoalan, sebelum bertindak tentu diselidikinya dengan teliti.

Maka terdengar Toa-nay-nay tadi menjengek, “Hm, untuk apa kami datang ke sini, masakah tidak tahu?”

Jawaban ini sebenarnya wajar dan sederhana, tapi bagi si baju hitam yang banyak tipu akalnya dan suka berpikir mendalam, ucapan yang sederhana itu baginya menjadi sangat ruwet dan luas artinya, apalagi persoalan ini menyangkut suatu partai harta benda yang bernilai besar serta nyawa Kang Giok-long.

Kedatangannya sendiri dengan menyerempet bahaya justru mengenai kedua persoalan penting itu. Kalau dia datang untuk itu, mana boleh dia menyatakan “tahu”, ini sama saja dia mengakui bahwa harta kiriman itu memang dirampas olehnya. Bilamana lawan sengaja memasang jeratan untuk memancing pengakuannya, maka ini berarti dia telah terjebak pula.

Melihat lawan ragu-ragu tak berani menjawab, mau tak mau para perempuan menjadi curiga, si Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay saling memberi tanda, lalu Ih-nay-nay membuka suara, “Siapa kau sesungguhnya? Memangnya kedatanganmu ini bukan karena surat itu?”

Si baju hitam tidak sangsi lagi kini, jengeknya, “Kalau bukan soal itu masakah aku bisa datang ke sini?”

“Jika begitu, jadi pasti kau menghendaki harta itu?” tanya Ih-nay-nay.

Si baju hitam tambah mantap, jawabnya dengan bengis, “Bukan saja harta itu, bahkan juga orangnya.”

Air muka Toa-nay-nay rada berubah, tukasnya dengan gusar, “Selain harta juga kau tetap menghendaki orangnya.”

“Ya, dua-duanya, satu pun tidak boleh kurang!”

“Berdasarkan apa kau berani bersikap semena-mena begini?” damprat Ih-nay-nay gusar.

“Berdasar pedangku ini?” jengek si baju hitam.

Kini kedua pihak sama-sama yakin pihak lain adalah sasaran yang hendak dihadapinya, mereka tidak tahu bahwa salah paham mereka semakin dalam, bagi si baju hitam “harta rampasan” dan Kang Giok-long memang sama pentingnya dan tidak boleh berkurang satu pun, sebaliknya kawanan perempuan itu mengira pihak lawan selain menghendaki uang tebusan juga tetap hendak menahan Buyung Kiu.

Begitulah percakapan kedua pihak itu semakin menyenangkan Siau-hi-ji, dia berharap agar mereka akan lekas saling labrak, makin sengit makin baik.

Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu saling mengedip pula, lalu Ih-nay-nay itu berteriak, “Bicara terus terang, harta dan orang jangan kau harapkan, pada hakikatnya kami tidak membawa harta apa pun, tentang orang ... jika kau menghendaki orangnya, maka kami menghendaki jiwamu!”

“Kan sudah kukatakan, harta dan orang tidak boleh kurang satu di antaranya, sekarang serahkan dulu hartanya!” jengek si baju hitam itu, diam-diam ia pun memberi tanda kepada kawan-kawan di belakangnya.

Serentak empat orang baju hitam melompat ke sana, kontan keledai penarik kereta itu dibacok terguling. Dua orang di antaranya lantas mengangkat peti mati di atas kereta terus dituang ke bawah, maka terdengar suara gemerencing nyaring, tak terhitung banyaknya potongan perak tertuang dari peti mati itu.

Meski di tengah malam gelap perak-perak itu pun kemilauan menyilaukan mata, beberapa orang berbaju hitam itu sampai melengak kesima, maklumlah selama hidup mereka mana pernah melihat harta sebanyak itu.

“Sudah kukatakan sejak tadi, jangan, kalian coba-coba main gila padaku, memangnya aku mudah ditipu?” seru si baju hitam yang menjadi pemimpin itu dengan bergelak tertawa. Setelah menyaksikan perak-perak ini, nafsu membunuhnya semakin berkobar. Pikir saja, di dunia ini mana ada orang sengaja menyembunyikan harta benda sebanyak itu di dalam peti mati tanpa sebab dan dibawa ke tempat ini. Jelas inilah sebagian daripada harta yang pernah dirampasnya itu.

Dalam pada itu ia telah memberi tanda pula, beberapa orang berbaju hitam segera hendak menerjang kawanan perempuan itu, pada saat itu juga terdengar serentetan suara mendesing, dari dalam peti mendadak menyambar keluar berpuluh jalur sinar ke arah orang berbaju hitam.

Kontan beberapa orang itu menjerit dan roboh terkapar. Hanya si baju hitam yang menjadi pemimpinnya itu berdiri agak jauh, reaksinya juga cepat, sinar pedang segera berputar sehingga senjata rahasia yang menyambar ke arahnya itu disampuk jatuh. Mau tak mau ia pun terkejut dan gusar pula melihat anak buahnya telah menjadi korban seluruhnya.

“Perempuan keji,” dampratnya gusar, “Kau berani ....”

“Hm, terhadap orang keji macam kau ini dengan sendirinya harus juga menggunakan cara keji begini!” jengek si Toa-nay-nay tadi. Bersama kawan-kawannya segera mengepung maju.

“Blang”, mendadak dasar peti mati bergetar mencelat, seorang telah melompat keluar pula dan berdiri di belakang si baju hitam, bentaknya dengan suara bengis, “Apa lagi yang hendak kau katakan?”

Meski terkepung di tengah, namun si baju hitam sedikit pun tidak gentar, sebaliknya ia malah menjengek, “Hm, rapi juga tindak tanduk kalian, agaknya aku teramat menilai rendah kemampuan kalian. Tapi masih agak terlalu pagi kalau sekarang kalian sudah merasa senang.”

Orang yang melompat keluar dari peti mati itu berpakaian ketat, bertubuh ramping, mukanya masih terselubung sehelai sutera tipis, tapi sekali pandang Siau-hi-ji lantas mengenalnya sebagai Siau-sian-li.

Mungkin watak Siau-sian-li terkenal berangasan, juga tidak pintar pura-pura menangis, maka kawan-kawannya menyuruh dia bersembunyi di dalam peti mati agar tindakan mereka tidak diketahui musuh.

Sudah sekian lamanya dia tersekap di dalam peti mati dengan rasa mendongkol yang tak terlampiaskan, kini sudah berhadapan dengan musuh, kontan pedang menusuk ke punggung si baju hitam sambil membentak, “Tidak perlu membacot, serahkan nyawamu.”

Si baju hitam tidak menoleh, pedangnya menangkis ke belakang dan ditarik ke atas, hampir saja pedang Siau-sian-li terlepas dari cekalan.

Setelah tangannya tergetar linu pegal barulah Siau-sian-li tahu si baju hitam ternyata bukan lawan lemah, ia terkejut dan gusar, bentaknya, “Keparat, sudah dekat ajalmu masih berani berlagak.”

Sekali putar pedangnya, si baju hitam mundur ke pojok dinding, lalu menjengek, “Hm, yang dekat ajal itu siapa? Bolehlah kalian lihat saja nanti!”

Tanpa terasa semua orang mengikuti arah sinar mata si baju hitam, tertampak di sekeliling Sutheng itu sudah bertambah sekawanan orang berbaju hitam, semuanya memegang busur dan anak panah siap dibidikkan, bahkan di antara lubang dinding dan celah-celah pintu juga kelihatan ujung anak panah yang gemerlapan.

Keruan kawanan perempuan terkejut, meski ilmu silat mereka tergolong kelas tinggi, tapi menghadapi barisan pemanah demikian, biarpun tokoh dunia persilatan paling terkemuka juga rada-rada gentar.

Segera si baju hitam menjengek, “Di sekitar Sutheng ini sudah siap ratusan pasang busur yang kuat, bilamana kuhitung sampai tiga dan kalian tidak meletakkan senjata serta menyerahkan diri, maka bagaimana akibatnya dapat kalian bayangkan sendiri.”

Barisan pemanah sebanyak itu, jika mereka terbagi dalam dua-tiga regu dan memanah secara sambung menyambung, maka betapa pun sukar untuk ditahan biarpun jago kelas wahid sekalipun. Dengan sendirinya kawanan perempuan itu pun tahu akan hal ini, andaikan ada satu-dua orang dapat meloloskan diri, tapi selebihnya pasti akan terkubur di rumah abu ini.

Maka mereka lantas berkumpul menjadi satu untuk berunding, dari sikap Siau-sian-li dan Ih-nay-nay, tampaknya mereka berpendirian akan melabrak musuh apa pun risikonya, tapi si Toa-nay-nay tampak mencegah mereka.

Si baju hitam mengikuti kasak-kusuk kawanan perempuan itu, tiba-tiba ia mulai menghitung, “Satu ….”

“Bagaimana kalau kami memberikan harta dan orangnya?” tiba-tiba seru si Toa-nay-nay.

Si baju hitam menjawab dengan ketus, “Lebih dulu orangnya di ....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar jeritan ramai, beberapa orang baju hitam yang berada di luar Sutheng itu mendadak roboh terjungkal, barisan pemanah yang mengepung dengan ketat seketika kacau balau.

Cepat si Ih-nay-nay berteriak, “Sam-moay, Cing-moay, ayolah turun tangan, tunggu apa lagi!”

Di tengah teriakan itu, sinar pedangnya berkelebat terus menusuk ke arah si baju hitam.

Rupanya Siau-hi-ji tidak tinggal diam, setelah sekian lamanya kedua belah pihak belum lagi saling labrak seperti ada yang diharapkannya, apalagi dilihatnya ada kecenderungan kedua pihak akan berunding, maka ia harus cepat bertindak, kalau tidak pasti muslihatnya akan terbongkar. Berpikir demikian, segera beberapa biji kerikil yang sudah dipersiapkan dihamburkannya.

Betapa kuat tenaga Siau-hi-ji sekarang, biarpun sepotong batu kecil juga sukar ditahan oleh orang-orang itu, serentak belasan orang telah tersambit batu kerikil hingga kepala pecah dan darah bercucuran serta bergelimpangan di tanah, tapi tiada seorang pun yang tahu dari mana datangnya senjata rahasia itu.

Sementara itu pedang Ih-nay-nay tadi dalam sekejap saja sudah melancarkan belasan kali serangan, meski orang perempuan, tapi ilmu pedangnya ternyata sangat ganas dan tidak kalah tangkasnya daripada jago pedang yang pernah malang melintang di dunia Kangouw.

Diam-diam si baju hitam tadi terkejut oleh serangan pedang lawan yang hebat dan tanpa kenal ampun ini, bahkan tampaknya tidak gentar untuk gugur bersama. Apalagi si Toa-nay-nay masih menunggu di samping dengan pedang terhunus, agaknya tiada maksud mengerubutnya.

Padahal perempuan melawan lelaki betapa pun juga kalah tenaga, jika pihak perempuan main keroyok juga takkan dicemoohkan orang Kangouw. Tapi Toa-nay-nay tetap menjaga harga diri dan tidak sudi main kerubut, perempuan yang berwibawa sedemikian sungguh jarang ada di dunia Kangouw.

Makin dilihat makin heran si baju hitam, makin dipikir juga makin terkejut. Yang lebih membuatnya terkesiap adalah kedua perempuan lain yang berdandan sebagai pelayan, cara mereka menyambitkan senjata rahasia ternyata sangat jitu, asalkan tangannya bergerak, seketika satu-dua orang di luar sana menjerit dan roboh.

Siau-hi-ji juga sudah menerjang keluar sejak tadi, ratusan laki-laki berseragam hitam itu kini sudah tersisa empat sampai lima puluh orang saja, untuk menjaga diri saja repot, jangankan hendak melepaskan panah.

Sungguh senang Siau-hi-ji menyaksikan pertarungan seru ini, sudah beberapa kali dikibuli Kang Piat-ho, baru sekarang rasa dendamnya itu sedikit terlampias.

Setelah belasan gebrak lagi, pedang si Ih-nay-nay bertambah cepat dan keji, setiap serangannya tidak pernah meninggalkan tempat mematikan di tubuh si baju hitam, malahan ujung pedangnya selalu mengincar tenggorokan lawan.

Melihat keadaan ini, orang lain tentu menganggap Ih-nay-nay itu sudah berada di atas angin. Tiada yang tahu bahwa si baju hitam justru sangat licin, sambil bertahan dia justru sedang memeras otak memikirkan sebab musabab kejadian ini.

Setelah paham duduk perkaranya, mendadak ia bergelak tertawa, dengan lurus pedangnya terus menabas.

Seketika Ih-nay-nay itu merasakan pedang lawan yang tampaknya mengambang itu membawa daya tekanan yang mahaberat, belum tiba pedangnya suatu arus kekuatan sudah membanjir tiba lebih dulu, untuk menghindar ternyata tidak keburu lagi, terpaksa ia angkat pedang menangkisnya.

Meski ilmu pedangnya cukup ganas, tapi tenaga dalamnya selisih jauh kalau dibandingkan si baju hitam, apalagi tebasan si baju hitam itu menggunakan sepenuh tenaga.

Agaknya tadi Ih-nay-nay rada meremehkan ilmu silat si baju hitam, kini setelah merasakan gelagat jelek, namun sudah terlambat, biarpun menyadari keadaan rada gawat, terpaksa ia harus mengadu tenaga sebisanya.

Toa-nay-nay itu pun dapat melihat gelagat jelek, dengan khawatir cepat ia berseru, “Awas, jangan mengadu tenaga dengan dia!”

Meski dia tidak sudi main keroyok, tapi kini keadaan sangat mendesak, tanpa pikir lagi ia terus menubruk maju, dibarengi bentakan pedangnya terus memapak ke depan.

“Creng”, terdengar suara nyaring disertai percikan lelatu api. Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay berdua melawan satu dan ternyata tenaga mereka tetap kalah kuat, setengah badan mereka sama merasa kaku kesemutan, pedang mereka pun hampir terlepas dari pegangan.

Diam-diam Siau-hi-ji menggerutu, “Kawanan budak ini sungguh konyol, tidak menggunakan kepandaian andalan sendiri, sebaliknya malah mengadu tenaga dengan lawan, kan mencari penyakit namanya?”

Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu segera melompat ke samping hingga mepet dinding, tapi mereka tidak menjadi gugup, diam-diam sebelah tangan mereka sudah menyiapkan senjata rahasia.

Ginkang dan Am-gi keluarga Buyung sangat terkenal di dunia persilatan, bilamana si baju hitam kemaruk akan kemenangan dan memburu maju, bisa jadi ia akan celaka sendiri oleh serangan Am-gi lawan. Di luar dugaan ia hanya berhenti di tempatnya, serunya dengan tertawa lantang, “Hari ini aku tidak minta apa-apa kepada kalian, baik harta maupun orang, sekarang juga kumohon diri!” Sembari bicara ia terus melangkah mundur.

Tindakan ini sungguh di luar dugaan Siau-hi-ji, Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay pun terheran-heran, jelas pihak lawan sudah unggul, mengapa tidak menggempur lebih lanjut, sebaliknya malah mengundurkan diri.

“Tadi kau mendesak orang mati-matian, sekarang malah mau pergi begini saja, sebab apa sebenarnya?” tanya Ih-nay-nay.

“Tadi aku tidak tahu kalian ini siapa, jika kupergi begitu saja tentu kelak tidak mudah mencari kalian, dengan sendirinya tadi aku tak mau pergi secara begini,” jawab si baju hitam dengan tertawa.

“Dan sekarang?” tanya pula si Ih-nay-nay.

“Sekarang keadaan sudah berubah,” jawab si baju hitam. “Para nona keluarga Buyung punya nama dan alamat jelas, biarpun sekarang kugagal mendapatkan barangku, memangnya kelak aku tak dapat berkunjung ke kediaman kalian?”

“Maksud kau telah mengetahui asal-usul kami?” tanya Ih-nay-nay dengan melengak.

“Jikohnio (nona kedua) keluarga Buyung memang terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat, kalau hal ini tak dapat kukenali sama saja aku ini orang buta,” ucap si baju hitam.

Mendadak Ih-nay-nay itu menarik rambutnya dan mengeletek kedoknya, tertampaklah wajah putih nan bersih dengan mata yang melotot gusar, jengeknya, “Biarpun kau kenal aku, tapi aku tidak kenal kau, memangnya kau kira dapat pergi begitu saja?”

“Dia takkan dapat pergi lagi!” sambung seorang tiba-tiba, Siau-sian-li sudah mengadang di belakang si baju hitam.

Si baju hitam terkekeh-kekeh dan berkata, “Kalau aku tak dapat pergi, buat apa aku bicara seperti tadi?”

“Hm, ingin kulihat bagaimana caramu pergi dari sini?!” bentak Buyung Siang, si nona kedua keluarga Buyung, yang menyamar Ih-nay-nay tadi.

Watak nona kedua keluarga Buyung ini memang berangasan, apalagi tadi dia telah kecundang, tapi ia tidak menjadi gentar, segera ia menubruk maju pula. Tapi Toa-nay-nay telah menahan serangannya.

Tentu saja Buyung Siang menjadi gusar, omelnya, “Sam-moay, memangnya kau hendak melepaskan dia dan tidak ingin mencari Kiu-moay lagi?”

“Kalau dia tak dapat pergi, biarlah kita bereskan dia secara perlahan-lahan saja,” ucap nona ketiga keluarga Buyung alias Buyung San.

Di antara kesembilan taci beradik keluarga Buyung, nona ketiga ini terkenal cerdik pandai, biarpun watak si nona kedua biasanya kaku dan keras, tapi terhadap ucapan sang adik ketiga ini biasanya dia suka menurut. Tapi sekarang ia rada mendongkol dan mengomel, “Kenapa mesti perlahan-lahan, memangnya apa yang kau tunggu?”

“Kukira di balik persoalan ini ada sesuatu kejanggalan,” ujar Buyung San.

“Kejanggalan bagaimana?” tanya Buyung Siang.

“Bahwa orang ini telah berjanji menemui kita di sini, seyogianya dia sudah tahu siapa kita ini, tapi baru sekarang dia mengetahui asal-usul kita, bukankah ini rada mengherankan?”

Melengak juga Buyung Siang, tapi ia tetap tak sependapat, katanya, “Kenapa mesti heran, bukan mustahil dia sengaja berlagak pilon.”

“Benar, bekuk saja dia dahulu dan urusan belakang,” sambung Siau-sian-li.

Sejak tadi si baju hitam mengikuti percakapan kakak beradik Buyung itu dengan penuh perhatian, kini mendadak ia berseru, “Nanti dulu, mungkin sekali dalam persoalan ini kita sama-sama terjebak oleh tipu adu domba pihak lain ....”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan, sebuah hiolo (tempat dupa) menggelinding jatuh dari atas belandar dengan menyeret sehelai kain putih. Di atas kain itu tertulis, “Kang Piat-ho, kejahatanmu sudah melebihi takaran, kini biarpun kau hendak menyangkal juga tidak bisa lagi”.

Tulisan di atas kain itu cukup besar sehingga di waktu malam juga kelihatan dengan jelas.

Tentu saja semua orang terkejut, “Jadi kau ... kau ini Kang Piat-ho?” seru Buyung Siang.

Sinar mata si baju hitam menampilkan rasa terkejut dan gelisah, dia menyadari sekali ini benar-benar telah masuk perangkap orang, tapi siapa sesungguhnya biang keladi yang mengatur tipu muslihat ini sama sekali tidak diketahuinya. Kalau ada seorang lawan yang diam-diam selalu mengincar setiap gerak-geriknya, maka sekalipun dia dapat meloloskan diri nanti, selanjutnya ia pun tak dapat makan dan tidur dengan tenteram.

Dasar dia memang dapat berpikir banyak dan mendalam, kalau orang lain hanya dapat memikirkan suatu hal, tapi sekaligus dia dapat berpikir sepuluh soal, terkadang hal ini malah membikin susah dia, sebab kalau dia sedang merenungkan sesuatu lalu lupa memberi jawaban.

Segera Buyung Siang menjengek pula, “Hm, Kang-lam-tayhiap yang termasyhur ternyata bisa melakukan perbuatan begini.”

Belum lagi si baju hitam menanggapi, kembali terdengar suara gemeruduk, sebuah tutup hiolo menggelinding jatuh pula dari atas dan menyeret juga sehelai kain putih dengan tulisan, “Kang Piat-ho, orang yang kau sembunyikan itu sudah diketemukan.”

Kain putih bertulisan itu dengan sendirinya telah disiapkan oleh Siau-hi-ji sebelumnya, ujung kain putih itu dipakunya di atas belandar, lalu ujung yang lain diikat pada hiolo dan digandeng pula dengan seutas benang panjang dan halus memutar ke tempat sembunyinya, asalkan benang ditarik, segera hiolo itu menggelinding jatuh ke bawah dan kain putih itu pun dengan sendirinya ikut terbentang ke bawah.

Dia telah mengikuti percakapan Buyung San dengan si baju hitam tadi, makin lama terasa makin kurang enak dan bisa jadi tipu muslihatnya akan terbongkar, maka cepat ia menarik benang untuk memperlihatkan tulisan yang telah disiapkan lebih dulu itu. Harapannya hanya untuk mengulur waktu saja sampai datangnya Cin Kiam dan lain-lain.

Menurut perhitungannya, saat ini Cin Kiam dan kawan-kawannya pasti sudah dapat menemukan Buyung Kiu, maka biarpun Kang Piat-ho mempunyai seratus buah mulut juga tidak sanggup membantah karena bukti sudah terpegang.

Rencana Siau-hi-ji sesungguhnya sangat rapi dan tidak mungkin meleset, sungguh mimpi pun tak tersangka olehnya bahwa karena rasa cemburunya Samkohnio, maka rencana yang telah diaturnya ini menjadi berantakan dan gagal total.

Setelah membaca tulisan pada kedua helai kain putih itu, maka Buyung San yang semula ragu-ragu kini pun tidak sangsi lagi, apalagi Siau-sian-li dan Buyung Siang, mereka bertambah geregetan dan ingin sekali membinasakan Kang Piat-ho.

Tapi orang berbaju hitam itu sebegitu jauh belum mengaku dirinya ialah Kang Piat-ho, sebaliknya juga tidak menyangkal, dia hanya bungkam saja dengan mata melotot memperhatikan senjata lawan.

Jika orang lain, menghadapi persoalan demikian tentu sudah lantas berteriak menyangkal dan berusaha menjelaskan duduknya persoalan. Tapi orang berbaju hitam itu benar-benar lain daripada yang lain, ia tahu dirinya kini telah masuk perangkap lawan, biarpun memberi penjelasan juga takkan dipercaya. Bila dia mengerjai orang juga selalu diatur dengan rapi sehingga orang lain tidak mampu membela diri, makanya menghadapi urusan begini ia sendiri pun lebih paham daripada orang lain.

Keadaan ini memang benar-benar sangat ruwet dan pelik, di seluruh dunia ini, kecuali Siau-hi-ji saja mungkin tiada seorang pun yang tahu jelas persoalannya dan dengan sendirinya juga tidak tahu cara bagaimana menghadapinya.

“Nah, Sam-moay, apa abamu sekarang?” tanya Buyung Siang kepada Buyung San dengan melotot.

Buyung San angkat bahu, jawabnya, “Baiklah, bekuk saja dia lebih dulu!”

Tanpa menunggu perintah lagi, kontan pedang Siau-sian-li lantas mendahului menusuk si baju hitam, Buyung Siang juga tidak tinggal diam, segera ia pun melancarkan serangan yang ganas.

Ilmu pedang Buyung San tidak secepat Siau-sian-li dan tidak seganas Buyung Siang, tapi pikirannya selalu jernih dan pandangannya tajam, setiap serangannya selalu mengarah tempat kelemahan musuh.

Menghadapi kerubutan tiga nona yang dapat bekerja sama dengan sangat rapat itu, betapa pun lihai kepandaian si baju hitam juga merasa kewalahan, setelah menangkis beberapa kali, mendadak gerak pedangnya bertambah cepat dan melancarkan serangan balasan dengan lihai, rupanya dia bermaksud mencari peluang untuk meloloskan diri.

Tak tahunya bahwa pengalaman tempur ketiga nona lawannya juga cukup luas, begitu dia melancarkan serangan balasan secara cepat, segera ketiga nona itu dapat menerka maksud tujuannya. Dan maksudnya hendak kabur itu semakin meyakinkan ketiga nona itu bahwa si baju hitam benar-benar Kang Piat-ho yang menawan Buyung Kiu, maka Siau-sian-li dan Buyung Siang semakin nekat melabraknya dengan mati-matian.

Beberapa dayang keluarga Buyung yang ikut datang itu pun sedang melayani beberapa orang berbaju hitam lainnya, biarpun orang perempuan, tampaknya mereka cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya.

Sementara itu dahi si baju hitam tadi sudah mulai berkeringat dan membasahi kedoknya, baru sekarang dia mengakui para nona keluarga Buyung yang terkenal di dunia persilatan ini ternyata benar-benar sangat lihai. Ia tidak tahu bahwa ilmu pedang bukanlah kepandaian andalan para nona keluarga Buyung, justru Ginkang dan Am-gi adalah kepandaian khas andalan mereka. Soalnya sekarang mereka khawatir si baju hitam akan mendapat peluang untuk lolos, makanya tidak sempat menggunakan senjata rahasia andalan mereka.

“Sret”, dengan gerak tipu “Hun-hoa-hut-liu” atau menyiah bunga menyisihkan tangkai, pedang Buyung San menusuk dari depan, sinar pedang gemerdep menyilaukan mata, serangan ini entah benar-benar atau cuma pancingan belaka.

Sebenarnya serangan ini tidak bertujuan mencelakai musuh melainkan untuk mengaburkan pandangan lawan saja sehingga kawannya sempat melancarkan serangan telak. Akan tetapi kalau si baju hitam tidak mengelak, maka serangan pancingan ini segera diteruskan menjadi serangan sungguhan.

Tanpa pikir si baju hitam mengegos ke samping sambil memutar pedangnya untuk menangkis, benar saja Siau-sian-li dan Buyung Siang serentak juga menyerang, sinar pedang mereka segera menusuk dari kanan kiri secara menyilang.

Gerak serangan ke tiga nona itu sebenarnya bukan tipu luar biasa, namun cara kerja sama mereka sesungguhnya sangat rapi sehingga daya tekanannya bertambah lipat daripada serangan biasa, seketika jalan mundur musuh tertutup seluruhnya, andaikan dia sempat menghindarkan pedang yang satu tentu juga tidak dapat mengelakkan tusukan pedang yang lain.

Di luar dugaan, begitu serangan Buyung San itu tertangkis, berbareng si baju hitam membuang pedangnya, secepat kilat tangannya membalik dan mencengkeram pergelangan tangan Buyung San.

Perubahan ini sebenarnya sangat berbahaya, tapi juga bagus dan sangat lihai, kalau bukan tokoh semacam dia tentu juga takkan mampu mengeluarkan tipu serangan aneh dan sebagus ini, sampai-sampai Siau-hi-ji juga hampir bersorak memuji menyaksikan tipu serangan hebat itu.

Sudah tentu Buyung San juga tidak pernah menduga pihak lawan akan membuang pedangnya terus memegang tangannya, bagaimanapun sudah terlambat baginya untuk mengelak, tahu-tahu pergelangan tangannya terasa kesemutan, tubuh lawan segera menubruk maju dan merangkulnya, seketika lehernya berada di bawah ancaman tangan lain si baju hitam.

“Kalian menghendaki jiwanya tidak?” bentak si baju hitam.

Meski seluruh tubuhnya kini terbuka di bawah ancaman pedang Siau-sian-li dan Buyung Siang dan setiap saat bisa bertambah beberapa lubang tusukan, namun jiwa Buyung San juga berada di bawah ancamannya dan setiap saat lehernya dapat diremas patah. Dalam keadaan demikian Siau-sian-li berdua menjadi ragu, ujung pedang mereka hanya menempel di punggung si baju hitam dan tidak berani menusuknya. Namun dengan ancaman kedua pedang di punggungnya itu, mau tak mau si baju hitam juga tidak berani sembarangan bertindak.

“Lepaskan, lekas! Kalau tidak, segera kubinasakan kau!” bentak Buyung Siang.

“Jika kalian tidak tarik kembali pedangmu, segera kumampuskan dia!” si baju hitam balas mengancam.

“Kau lepas dahulu dan segera kami tarik pedang,” kata Siau-sian-li.

“Hahaha, lelaki tidak pantas berebut dahulu dengan perempuan, kukira kalian saja lepas tangan dahulu,” kata si baju hitam dengan tertawa.

“Mana kami dapat mempercayai kau?!” damprat si Buyung Siang.

“Tapi aku pun tak dapat mempercayai kalian,” jengek si baju hitam.

Jadi kedua pihak sama-sama tidak berani turun tangan dan juga tidak berani lepas tangan. Kedua pihak saling ngotot sejenak, dasar watak mereka memang tidak sabaran, Siau-sian-li dan Buyung Siang telah mandi keringat karena cemasnya.

Buyung San sendiri malah sama sekali tidak gelisah, katanya dengan tenang, “Kalian jangan mau lepas tangan, Jici, dia pasti tidak berani mencelakai diriku.”

Tapi si baju hitam lantas menjengek, “Hm, biasanya aku dapat bersabar, kalau tetap mau bertahan cara begini juga boleh.”

Saking gemasnya ujung pedang Buyung Siang terus ditekan sedikit ke depan, tapi serentak Buyung San juga tercekik hingga hampir tak dapat bernapas.

“Memangnya kau ingin ngotot sampai kapan?” teriak Siau-sian-li dengan gusar.

“Sampai kalian melepas tangan,” jawab si baju hitam.

Keringat sudah membasahi dahi Siau-sian-li, tapi sama sekali tak berdaya.

Diam-diam Siau-hi-ji menggeleng, pikirnya, “Sungguh budak bodoh, kenapa mesti gelisah, sebentar kan juga datang bala bantuanmu ....”

Benar saja, pada saat itu dari kejauhan tertampak berkelebatnya tiga sosok bayangan orang, hanya sekejap saja sudah mendekat, ternyata memang Lamkiong Liu, Cin Kiam dan Koh Jin-giok yang datang.

Tentu saja Siau-hi-ji dan para nona keluarga Buyung itu kegirangan, tapi si baju hitam juga tidak gentar dan gugup karena dia sudah memegang sanderanya. Kalau Cin Kiam datang, tentu Buyung San lebih-lebih tidak mungkin dikorbankan. Asalkan, nona ketiga keluarga Buyung itu tetap dicengkeramnya pasti dia akan dapat lolos dengan selamat.

Cin Kiam memang terperanjat demi nampak istri tercinta tertawan musuh. Pengalaman Kangouw Koh Jin-giok paling cetek dan hijau, dia jadi melongo melihat keadaan demikian.

“Tolol, kenapa tidak lekas kau memberi bantuan?!” omel Siau-sian-li kepada pemuda yang lebih mirip gadis pingitan itu.

Tapi si baju hitam lantas membentak, “Siapa yang berani maju?!”

“Se ... sebenarnya bagaimana persoalannya, sukalah sahabat ini bicara secara baik-baik,” ucap Cin Kiam.

“Persoalan ini pada hakikatnya cuma salah paham belaka, tapi urusan sudah telanjur begini, sekalipun kuberi penjelasan juga kalian takkan percaya,” seru si baju hitam dengan suara keras. “Maka apa pun yang dibicarakan biarlah tunggu kalau aku sudah keluar dulu dari sini.”

“Jangan kita lepaskan dia, orang ini banyak tipu akalnya, jangan kita tertipu olehnya,” seru Buyung Siang.

Kini Lamkiong Liu sudah membaca tulisan yang terpampang di kain putih itu, serunya, “Jangan-jangan saudara ini memang benar Kang-tayhiap adanya?”

Si baju hitam hanya, mendengus saja dan tidak menjawab.

“Tayhiap kentut anjing, orang ini memang benar Kang Piat-ho!” bentak Siau-sian-li.

“Kalian jangan urus diriku, tanyai dia dulu bagaimana dengan Kiu-moay, sudah ditemukan belum?” seru Buyung San dengan suara serak.

Lamkiong Liu menghela napas, ucapnya, “Baru saja kami datang ke tempat Kang-tayhiap ....”

Mendengar sampai di sini hati Siau-hi-ji jadi dingin, kalau rombongan Cin Kiam dapat menemukan Buyung Kiu di tempat Kang Piat-ho, tentunya dia takkan bersikap seramah itu padanya dan menyebutnya “tayhiap”.

Dalam pada itu Buyung San telah bertanya pula dengan cemas, “Apakah Kiu-moay tidak berada di sana?”

Cin Kiam berkata khawatir, “Jangan kau urus Kiu-moay, kau ... kau sendiri ....”

“Kiu-moay tidak berada di tempat Kang-tayhiap sana, bisa jadi kita telah dipermainkan orang!” ucap Lamkiong Liu dengan tersenyum getir.

Sungguh kejut Siau-hi-ji tak terperikan, hampir saja ia melompat keluar dari tempat sembunyinya. Mustahil Buyung Kiu tidak berada di sana? Jangan-jangan mereka kesasar ke tempat lain?

“Kami tadi sudah berjumpa dengan Hoa Bu-koat, Hoa-kongcu dan nona Thi Sim-lan di sana, mereka pun menyatakan Kiu-moay yang hilang itu sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kang-tayhiap,” demikian tutur Cin Kiam.

Segera Lamkiong Liu menyambung, “Hoa-kongcu itu pun merasakan kejanggalan persoalan ini dan kita diharapkan bertindak hati-hati, kalau saja nona Thi itu tidak sakit tentu Hoa-kongcu akan ikut menjenguk ke sini.”

Buyung Siang jadi melengak dan tanpa terasa pedangnya melambai ke bawah.

Siau-sian-li juga bergumam, “Rasanya Thi Sim-lan takkan membela Kang Piat-ho.”

“Ya, sejak tadi aku pun merasakan urusan ini rada-rada kurang beres,” kata Buyung San. “Coba pikir, kalau Kang-tayhiap bermaksud menghendaki uang tebusan kita, untuk apa dia tampil ke muka sendiri? Sekalipun dia datang sendiri, mustahil ia tidak tahu siapa kita ini? Apalagi kalau dia mau menyembunyikan Kiu-moay kenapa mesti disembunyikan di tempat tinggalnya, tempat lain kan masih banyak?”

Memang urusan ini sangat sederhana bilamana dipecahkan, tapi apabila rombongan Lamkiong Liu itu berhasil menemukan Buyung Kiu di tempat Kang Piat-ho, tentu persoalan akan lain lagi jadinya.

“Jika kau sudah berpikir demikian, mengapa pula kalian bergebrak dengan Kang-tayhiap?” kata Cin Kiam dengan gegetun. Dia melihat sang istri masih dicengkeram musuh, terpaksa ia mengomeli istrinya lebih dulu.

Tapi Buyung Siang tetap tidak terima, katanya, “Hm, dia ... Kang-tayhiap sendiri tidak mau bicara apa-apa, dari mana kami bisa tahu?”

“Biarpun tadi kukatakan, apakah mungkin nona mau percaya?” ucap si baju hitam dengan tertawa.

“Tapi ... tapi apakah benar-benar saudara ini Kang-tayhiap?” tiba-tiba Buyung San bertanya.

Pertanyaan ini seketika menimbulkan curiga orang banyak pula.

Maka terlihatlah si baju hitam melepaskan Buyung San dengan perlahan, katanya dengan tersenyum, “Karena salah paham sudah dipecahkan, apakah Cayhe ini Kang Piat-ho atau bukan kan sama saja.” Ternyata dia tetap tidak mau memperlihatkan wajah aslinya.

“Kau tidak apa-apa bukan?” tanya Cin Kiam setelah memburu ke samping istrinya.

Buyung San tersenyum sambil menggenggam tangan Cin Kiam, matanya tetap menatap tajam ke arah si baju hitam, katanya, “Kami telah banyak melukai anak buah Kang-tayhiap, untuk ini diharapkan Kang-tayhiap suka memberi maaf.” Dia sengaja menyebut “Kang-tayhiap” dengan tandas, bahkan berulang dua kali.

Tapi si baju hitam tetap tidak mengaku dan juga tidak menyangkal, katanya dengan tertawa, “Bahwa dalam pertarungan sengit dengan sendirinya sukar terhindar daripada saling melukai, mana berani kusalahkan pihak nyonya, kalau ada orang yang salah, maka dia adalah biang keladi yang diam-diam mengatur tipu muslihat untuk menjebak kita itu.”

Bicara sampai di sini, sorot matanya yang tajam mendadak menatap ke tempat sembunyi Siau-hi-ji dan tanpa terasa pandangan semua orang juga ikut terarah ke jurusan sana.

“Betul,” seru Buyung Siang, “Orang itu memang tidak boleh dilepaskan.”

“Kalau dapat kutemukan orang itu, lebih dulu akan kupotong lidahnya, kucungkil matanya, lalu kutanyai mengapa dia mengatur tipu muslihat keji ini untuk membikin susah orang lain,” teriak Siau-sian-li.

“Tanpa nyonya turun tangan juga Cayhe akan bertindak padanya,” jengek si baju hitam.

Sembari bicara, beberapa orang itu sudah lantas mengelilingi tempat sembunyi Siau-hi-ji, bahwa seorang telah terkepung oleh tokoh-tokoh sebanyak ini betapa pun pasti sukar meloloskan diri.

Siau-hi-ji juga berkeringat dingin, ia menyadari bilamana dirinya sampai tertawan, maka sukar dibayangkan bagaimana akibatnya.

Sungguh runyam, ingin untung menjadi buntung. Gagal menjebak orang, ia sendiri yang akan terkena getahnya. Sekejap itu otaknya telah bekerja keras, tapi tetap sukar mendapatkan akal baik untuk meloloskan diri.

Pada saat itulah si baju hitam telah menjengek, “Sampai sekarang masakah saudara masih tetap belum mau unjuk diri?”

Tiba-tiba Buyung Siang menegur dengan gusar, “Jika sejak tadi kau tahu dia berada di sini, mengapa tidak kau katakan?”

“Waktu kulihat senjata rahasia tersambar dari sini dan melukai kawan-kawanku, semula kusangka kawan-kawan nyonya yang telah sengaja disiapkan di sini lebih dulu,” jawab si baju hitam.

“Mulut anjing ini ternyata tajam benar,” gerutu Siau-hi-ji. Ia tahu sekali ini dirinya pasti sukar terhindar dari bahaya, mimpi belaka jika ingin kabur dari kepungan jago sebanyak ini.

Didengarnya si baju hitam lagi menjengek pula, “Sahabat masih tidak mau unjuk diri, memangnya perlu Cayhe memerintahkan lepas panah?”

Sekonyong-konyong Buyung Siang merebut sebuah busur dan berteriak, “Biar kau rasakan kelihaian panah nona Buyung!”

Tempo hari waktu Siau-hi-ji diajak keliling rumahnya oleh Buyung Kiu, di kamar nona Buyung kedua ini sudah dilihatnya ada busur dan panah, maka ia tahu dalam hal panah-memanah tentu nona Buyung kedua ini memiliki kepandaian lain daripada yang lain, betapa pun ia tidak ingin dijadikan sasaran panahan orang.

Dalam keadaan demikian mau tak mau ia harus berusaha menerjang keluar.

Syukurlah pada saat itu terdengar seorang mengekek tawa dan berseru, “Wah, ramai benar di sini, apakah ada tontonan menarik?”

Tanpa terasa semua orang berpaling ke arah suara, tertampaklah seorang perempuan dengan rambut terurai melangkah masuk sambil tertawa linglung seperti orang kurang waras, siapa lagi dia kalau bukan Buyung Kiu.

Sungguh aneh, ke manakah Buyung Kiu tadi dan mengapa sekarang dia muncul di sini?

Saking herannya sampai Siau-hi-ji melongo kesima.

Sudah tentu yang paling kejut dan girang adalah kakak beradik Buyung itu, serentak mereka berseru, “He, Kiu-moay, payah benar kami mencarimu ke mana-mana.” Di tengah seruan itu Buyung San dan Buyung Siang lantas memburu maju untuk menarik tangan Buyung Kiu.

Buyung Kiu memandang mereka sekejap, sorot matanya menampilkan rasa bingung, katanya dengan tertawa, “Siapa kalian? Aku tidak kenal kalian?!”

“Kiu moay ....” sapa Buyung Siang dengan suara gemetar, “Masa kau tidak ... tidak kenal lagi pada Jici dan Samcimu?”

Dengan air mata berlinang Buyung San juga berseru. “Kiu-moay, mengapa begini?”

Tapi Buyung Kiu tetap memandangi mereka dengan melongo bingung tanpa bersuara.

Koh Jin-giok tidak tahan, ia mendekati nona linglung itu dan bertanya, “Kiu-moay, kau kenal aku tidak?”

Segera Siau-sian-li menyela, “Pada Jici dan Samcinya saja dia tidak kenal lagi, mana bisa dia mengenalmu?”

Koh Jin-giok menunduk, air mata pun menetes.

Cin Kiam dan Lamkiong Liu tampaknya juga sangat sedih. Dengan menghela napas Lamkiong Liu berkata, “Mungkin Kiu-moay telah mengalami pukulan batin yang luar biasa, makanya berubah menjadi begini. Kita harus membawanya pulang untuk merawatnya agar kesehatannya dapat pulih perlahan-lahan.”

“Siapakah yang membuatnya jadi begini? Siapa?” teriak Buyung Siang dengan gusar.

Mendadak Siau-sian-li menangis dan berkata, “Waktu dia melihat Siau-hi-ji yang disangkanya sudah mati itu mendadak hidup lagi, dia kaget hingga pikirannya berubah jadi begini. Padahal Siau-hi-ji memang tidak mati, dia justru sengaja hendak menakut-nakuti Kiu-moay saja.”

“Siapa itu Siau-hi-ji?” tanya Buyung Siang gusar.

“Siau-hi-ji se ... seorang she Kang, masih ... masih muda belia, tapi busuknya sudah tidak kepalang tanggung, dia sungguh jahat,” tutur Siau-sian-li.

“Di mana dia sekarang?” teriak Buyung Siang.

“Sekarang mungkin dia sudah mampus,” kata Siau-sian-li.

Buyung Siang melengak, katanya, “Baru saja kau bilang dia tidak mati, sekarang kau katakan pula dia sudah mampus, sesungguhnya dia sudah mati atau belum?”

“Tadinya memang dia tidak mati, tapi kemudian dia mati tergelincir ke dalam jurang,” tutur Siau-sian-li.

Setelah berhenti sejenak, lalu menyambung pula, “Tapi isi perut orang itu penuh akal busuk dan juga memang banyak kepandaiannya, tahu-tahu dia masih tetap hidup, kalau tidak menyaksikan sendiri mayatnya menggeletak di situ, rasanya tiada seorang pun yang berani menyatakan dia benar-benar sudah mati.”

Mendadak si baju hitam berkata, “Dia belum mati.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Siau-sian-li.

“Akhir-akhir ini kulihat dia lagi,” jawab si baju hitam.

“Kau melihat dia? Berada di mana dia sekarang?” teriak Buyung Siang.

“Menurut pandanganku, saat ini mungkin dia berada di ....” si baju hitam seakan-akan sudah dapat menerka yang sembunyi di situ ialah Siau-hi-ji.

Keruan hati Siau-hi-ji kembali terkesiap.

Di luar dugaan, mendadak Buyung Kiu berteriak, “Siau-hi-ji ... he, siapa menyebut Siau-hi-ji tadi? Ah ... Siau-hi-ji, ingatlah aku!”

Semua orang menjadi cemas-cemas girang, dengan suara parau Buyung Siang bertanya, “Kau ... kau ingat tentang apa?”

Buyung Kiu memandang kakaknya itu dengan lekat, katanya kemudian dengan perlahan, “He, engkau ini Jici!”

Buyung Siang menjerit kegirangan terus merangkul sang adik, saking senangnya ia pun mencucurkan air mata.

Buyung San juga kegirangan dan menangis, katanya, “O, Kiu-moay, kasihan, akhirnya kau sembuh!”

“Samci ... Samci, aku ternyata dapat bertemu pula dengan kalian? Apakah aku sedang bermimpi?” ucap Buyung Kiu dengan tertawa dan akhirnya ia pun menangis meraung-raung.

Begitulah di antara kakak beradik itu lantas saling merangkul, ya tertawa ya menangis. Menyaksikan itu, diam-diam Siau-hi-ji juga sangat terharu sehingga matanya ikut berkaca-kaca dan tak keruan rasa hatinya.

Sebenarnya Buyung Kiu adalah musuhnya, kini pikirannya telah jernih dan waras kembali, jadi rencananya semula gagal, bahkan selanjutnya ia harus berjaga-jaga menghadapi balas dendam dari kakak beradik Buyung itu, jadi dia seharusnya merasa sial. Akan tetapi, entah mengapa, hatinya sekarang justru merasa gembira. Maklumlah, walaupun terkadang ia pun merasakan dirinya sendiri terlalu busuk, padahal hati nuraninya sebenarnya bajik.

Terdengar si baju hitam lagi menghela napas dan berkata, “Orang bernama Kang Siau-hi itu telah membuat saudaramu merana begini, setiap orang Kangouw tentu takkan mengampuni dia.”

Rupanya sebabnya dia tidak pergi begitu saja karena dia masih ingin menghadapi Siau-hi-ji di sini, ia khawatir persoalan dilupakan oleh kakak beradik Buyung yang sedang kegirangan itu, maka lekas dia mengingatkan pula urusan ini.

Benar juga, segera Buyung Siang berhenti menangis, katanya dengan gemas, “Bilamana kutahu bangsat cilik itu berada di mana sekarang, mustahil kalau tidak kubinasakan dia.”

“Kukira saat ini dia berada di ....”

Belum habis ucapan si baju hitam, mendadak Buyung Ku memotong, “Sebenarnya urusan ini pun tak dapat menyalahkan Siau-hi-ji.”

Keterangan ini membuat semua orang terperanjat, dan yang paling kaget adalah Siau-hi-ji sendiri, berikutnya ialah Siau-sian-li.

Segera Siau-sian-li bertanya, “Tidak boleh menyalahkan dia, habis siapa yang salah? Bukankah kau membencinya sampai merasuk tulang?”

Buyung Kiu tersenyum pedih, jawabnya, “Kulihat dia sudah mati tapi hidup kembali, tatkala itu aku sangat kaget sehingga pikiranku menjadi linglung, tapi tidak lama berselang lambat laun aku lantas sadar kembali.”

“Jika kau sudah sadar kembali, mengapa tadi tidak mengenal kami?” tanya Buyung Siang.

“Hal ini lantaran seorang telah membikin susah lagi diriku,” jawab Buyung Kiu.

“Siapa?” seru Buyung Siang.

“Kang Piat-ho!” jawab Buyung Kiu.

Keterangan ini membuat Siau-hi-ji juga terheran-heran, masakah Kang Piat-ho membikin susah Buyung Kiu, hal ini baru didengarnya sekarang. Kalau Kang Piat-ho mencelakai dia, begitu melihat si nona sudah sadar tentu segera akan mengeluyur pergi, mengapa saat ini dia berada di sini seakan-akan menunggu datangnya Buyung Kiu malah.

Dalam pada itu terdengar Buyung Kiu sedang bertutur pula, “Setelah aku sadar kembali, Kang Piat-ho telah membius pula diriku dengan obat, selagi aku tak sadarkan diri dia bermaksud ... bermaksud ‘mengawini’ aku, tujuannya juga ingin menjadi menantu keluarga Buyung untuk membentangkan sayap pengaruhnya. Siang dan malam dia menjaga diriku, baru tadi ketika dia keluar, diam-diam aku lantas lari ke sini!”

Meski tadi semua orang sudah percaya bahwa Kang Piat-ho telah difitnah orang, tapi sekarang Buyung Kiu sendiri yang menuturkan semua kejadiannya, mustahil hal ini cuma omong kosong belaka?

Dengan gusar Buyung Siang lantas membentak, “Keparat Kang Piat-ho, hampir saja kita dikelabui dia!”

“Pantas kami mencari Kiu-moay ubek-ubekan tidak ketemu, rupanya ia sendiri sudah meloloskan diri ke sini,” Lamkiong Liu ikut bicara dengan marah, “Syukur Thian maha pengasih dan Kiu-moay justru lari ke sini, maka terbongkarlah kedok orang she Kang yang dosanya tak terampunkan ini.”

Di tengah bentakan-bentakan orang banyak si baju hitam tadi kembali terkepung pula.

Sungguh kejut dan girang pula Siau-hi-ji setelah mengikuti apa yang telah diuraikan Buyung Kiu itu, tapi ia pun merasa bingung penuh tanda tanya, bahwasanya persoalan ini berubah menjadi begini dan Buyung Kiu bisa bercerita seperti itu, biarpun Siau-hi-ji orang pintar nomor satu di dunia juga tidak habis paham duduk perkaranya.

Terdengar Buyung Siang sedang membentak pula, “Nah, Kang Piat-ho, apa yang hendak kau katakan lagi sekarang?”

Di luar dugaan si baju hitam mendadak tertawa terbahak-bahak, lalu menjawab, “Memangnya siapa bilang aku ini Kang Piat-ho?”

Berbareng itu ia terus menarik kain kedoknya sehingga kelihatan wajahnya yang penuh berewok.

Semua orang sudah pernah melihat Kang Piat-ho dan wajah ini memang bukan wajahnya. Keruan semua orang sama melongo.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Buyung Siang.

“Kalau kau bukan Kang Piat-ho, habis Kang Piat-ho berada di mana?” tanya Buyung San.

“Kang Piat-ho berada di sini!” bentak si baju hitam mendadak sambil menerjang ke tempat sembunyi Siau-hi-ji dan berteriak, “Kang Piat-ho, ayo keluarlah!” Sekaligus telapak tangannya terus menghantam secepat kilat.

Terkejut juga Siau-hi-ji melihat serangan kilat itu terpaksa ia menangkis sambil membentak, “Kau sendiri samaran Kang Piat-ho, memangnya kau dapat membohongi orang?”

“Kau sendiri samaran Kang Piat-ho, memangnya kau dapat membohongi orang?” si baju hitam juga balas membentak dengan ucapan yang sama.

“Siapa kau jika bukan Kang Piat-ho?” bentak Siau-hi-ji pula.

“Siapa kau jika bukan Kang Piat-ho?” si baju hitam menirukan.

Tentu saja Siau-hi-ji sangat mendongkol, tiba-tiba ia mendapat akal, ia terus mencaci maki, “Kang Piat-ho, kau bangsat keparat, kau setan belang, kau anak haram, maknya dirodok!”

Jelas-jelas Kang Piat-ho sudah terkenal sebagai “pendekar besar yang berbudi”, Siau-hi-ji yakin ia pasti tidak mau memaki dirinya sendiri.

Di luar dugaan, si baju hitam ternyata juga menirukan caci makinya, “Kang Piat-ho, kau bangsat keparat, kau ....”

“Hahaha!” Siau-hi-ji bergelak tertawa geli, “Seumpama aku tak dapat mendesakmu kembali pada wajahmu yang asli, tapi dapat mendengar kau mencaci maki dirimu sendiri, betapa pun terlampias juga rasa dongkolku. Hahaha, maki diri sendiri sebagai anak haram, sungguh aneh dan lucu!”

“Hahahaha, seumpama aku tak dapat mendesak ....” begitulah si baju hitam kembali menirukan ucapan Siau-hi-ji, persis satu kata pun tidak berbeda. Siau-hi-ji bergelak tertawa geli, ia pun terbahak-bahak tidak kalah gelinya.

Sambil mencaci maki mereka pun terus bertempur. Tentu saja adegan lucu ini membuat semua orang melongo heran.

Kedua orang ini tiada satu pun yang mirip Kang Piat-ho, tapi rasanya salah satu di antaranya pasti samaran Kang Piat-ho, tapi sesungguhnya yang mana? Inilah siapa pun sukar menerkanya.

“Ilmu silat Kang Piat-ho terkenal sebagai nomor satu di daerah Kang-lam, kiranya kabar ini pasti tidak bohong,” ucap Buyung San tiba-tiba.

“Betul, yang lebih tinggi ilmu silatnya pastilah Kang Piat-ho,” tukas Buyung San.

Mendengar ucapan kedua nona itu, meski Siau-hi-ji ada maksud merendahkan ilmu silatnya, tapi khawatir pula kalau kena dikerjai lawan. Dengan sendirinya si baju hitam juga berpikir sama. Karena itulah seketika ilmu silat mereka sukar dibedakan siapa yang lebih kuat.

Terdengar suara gebrakan ramai, barang apa pun kalau tersampuk angin pukulan mereka tentu terhantam hancur.

Diam-diam semua orang ikut kebat-kebit dan tidak berani sembarangan ikut campur. Tertampak kedua orang itu terus bertempur menuju keluar, dari jarak dekat lambat laun menjauh.

Maklumlah si baju hitam memang tidak suka asal usulnya diketahui orang lain, padahal Siau-hi-ji juga begitu, jadi kedua orang berpikiran sama dan dengan sendirinya cara bertempur mereka pun semakin menjauhi orang banyak sedapat mungkin. Tampaknya saja gerak serangan kedua orang bertambah dahsyat, tapi sesungguhnya keduanya sama-sama tidak ingin terlibat lebih lama.

Sekonyong-konyong kedua orang sama-sama melompat mundur, lalu yang seorang lagi lari ke timur dan yang lain kabur ke barat.

Si baju hitam membentak, “Kang Piat-ho, percuma aku mengadu jiwa dengan kau, biarlah hari ini kuampunimu!”

Siau-hi-ji juga membentak lebih keras, “Kang Piat-ho, yang benar akulah yang mengampuni kau!”

Gerakan kedua orang sama cepatnya, ketika rombongan Buyung Siang memburu tiba namun sudah terlambat, apalagi kedua orang itu kabur ke jurusan berlainan sehingga membuat bingung yang hendak mengejar.

Pada saat itulah tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat keluar dari hutan sana dan mengadang di depan Siau-hi-ji, sambil menuding anak muda itu terdengar ia berteriak sambil tertawa, “Aha, inilah Kang Piat-ho, inilah Kang Piat-ho tulen!”

Di bawah cahaya bintang cukup jelas kelihatan bahwa orang ini ternyata Pek Khay-sim adanya, si “pembuat rugi orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri”.

Keruan Siau-hi-ji terkejut dan gusar pula, bentaknya, “He, apa kau sudah gila.”

“Siapa gila? Kau Kang Piat-ho sendiri yang gila!” jawab Pek Khay-sim dengan terbahak-bahak.

“Memangnya kau tidak ingin obat penawar untuk menyelamatkan jiwamu?” jengek Siau-hi-ji gusar.

“Menyelamatkan jiwa siapa?” jawab Pek Khay-sim dengan terkekeh. “Kau membikin susah aku dan aku tidak boleh membikin susah kau?”

Habis itu ia berjumpalitan dan melompat ke belakang terus menghilang pula ke dalam hutan.

Dalam pada itu kakak beradik Buyung sudah memburu tiba, serentak Siau-hi-ji terkepung di tengah.

“Kang Piat-ho, sekali ini kalau kubiarkan kau lolos lagi, maka aku tak mau she Buyung pula,” teriak Buyung Siang dengan murka.

Keruan Siau-hi-ji berjingkrak, jawabnya, “Siapa Kang Piat-ho? Bangsat keparat dialah Kang Piat-ho?!”

“Kau bukan Kang Piat-ho? Lalu kenapa kau lari?” jengek Buyung San.

Melengak juga Siau-hi-ji, pertanyaan ini benar-benar sukar dijawabnya.

Segera Buyung Siang menyambung dengan bentakan pula, “Ya, jika kau bukan Kang Piat-ho mengapa kau tidak serahkan wajahmu untuk kami periksa.”

Karena sudah tertipu satu kali, sekarang mereka tak mau dikibuli lagi, sambil bicara pedang mereka pun bekerja serentak, serangan-serangan maut dilancarkan tanpa ampun.

“Muka seorang lelaki mana boleh disentuh oleh perempuan, konon muka lelaki berlapis emas, muka perempuan berlapis tahi, mana boleh mukaku ikut kena kotoran,” demikian Siau-hi-ji sengaja mengoceh tak keruan, tujuannya cuma untuk membuat marah pihak lawan, dengan demikian ada kemungkinan mendapatkan peluang untuk menerjang keluar.

Benar juga Buyung Siang menjadi gusar dan mendamprat, “Kentut busuk, mukamu sendiri yang berlapis tahil”

“Hm, sebentar kalau kau tertangkap oleh nonamu baru kau tahu rasa apabila kurendam kau di dalam jamban,” teriak Siau-sian-li.

“Sekali pun direndam di dalam jamban juga tidak sudi dipegang-pegang oleh tangan perempuan,” seru Siau-hi-ji.

Lambat-laun semua orang pun dapat menangkap maksud tujuan Siau-hi-ji yang ingin mengobarkan rasa gusar mereka agar perhatian mereka terpencar. Maka mereka tidak gubris lagi kepada ocehannya dan menyerang terlebih kencang.

Koh Jin-giok berwatak polos, tiba-tiba ia berkata, “Aku bukan perempuan, bagaimana kalau aku yang memeriksa wajahmu?”

“Kiranya kau bukan perempuan? Haha, tadinya kusangka kau ini adik perempuan mereka,” ejek Siau-hi-ji.

Setelah berucap demikian, ia jadi merasa geli sendiri dan hampir tertawa, pada saat itulah, “bret”, baju di bagian dadanya terobek oleh sabetan pedang lawan, untung ilmu silatnya sudah maju pesat, kalau tidak, mungkin perut pun sudah terobek.

Namun Siau-hi-ji tetap tidak gentar dan masih mengoceh panjang pendek, soalnya ia menyadari keadaannya yang berbahaya, untuk bisa lolos dengan selamat lebih dulu harus membuat pihak lawan marah.

Tapi begitu jauh ternyata belum ada peluang baginya, Cin Kiam dan Lamkiong Liu belum ikut lagi menyerangnya melainkan cuma berjaga di samping saja, segera ia berolok-olok pula, “Haha, para menantu keluarga Buyung biasanya dikagumi orang Kangouw karena dapat mempersunting para nona cantik keluarga Buyung, tapi menurut pandanganku sekarang adalah lebih baik mencari istri bermuka burik atau berkaki pincang daripada diperbudak oleh nona-nona cantik tapi galak ini.”

Meski tidak ingin menggubrisnya, tapi Buyung Siang merasa tidak tahan, segera ia mendamprat, “Dasar mulut anjing tak mungkin keluar gadingnya. Memangnya kau anggap kami kakak beradik keluarga Buyung ini perempuan murahan dan kurang baik dibanding orang lain?”

“Biarpun nona-nona keluarga Buyung memang cantik, tapi menjadi menantu keluarga Buyung tetap sial dan konyol,” teriak Siau-hi-ji. “Coba lihat, sang istri lagi berteriak-teriak di sini, tapi sang suami tetap diam saja, bahkan kentut pun tidak berani. Sang istri lagi berkelahi dengan orang, suami malah menonton doang. Haha, apa artinya hidup di dunia ini menjadi suami takut bini begini, jika aku, huh, sejak tadi mungkin aku sudah membunuh diri saja.”

Di mulut dia terus mengoceh dengan riang, tapi pundaknya kembali terluka, meski tidak parah, namun darah sudah lantas mengucur.

Terdengar Cin Kiam menjengek, “Sebenarnya orang she Cin tidak suka main kerubut, tapi mulutmu terlalu kotor, terpaksa aku harus bertindak.” Di tengah ucapan itu sekaligus ia menyerang tiga kali.

Rupanya ocehan Siau-hi-ji itu tidak membawa hasil yang diharapkannya, lawan tidak menjadi marah dan kacau, sebaliknya malah menambah seorang pengeroyok yang tangguh, keruan ia tambah kewalahan.

Walaupun di dalam hati diam-diam ia mengeluh, tapi mulutnya tetap tidak mau kalah, dengan tertawa ia berseru, “Lamkiong Liu, kenapa kau tidak maju saja sekalian, apa barangkali ilmu silatmu tidak ada harganya untuk dipamerkan, hidupmu hanya mengandalkan sang istri saja?”

Air muka Lamkiong Liu rada berubah, mendadak ia berucap dengan suara berat, “Hok-kiat ... Hu-ham....”

Begitulah berturut-turut ia menyebut beberapa tempat Hiat-to dan serentak tiga pedang terus menusuk ke tempat yang disebut itu. “Bret”, kembali lengan Siau-hi-ji tergores luka pula.

Supaya maklum bahwa Lamkiong Liu adalah keturunan keluarga bangsawan Lamkiong yang terkenal dengan ilmu silatnya yang khas, Lamkiong Liu sendiri berbadan lemah, ia jarang bertempur dengan orang, tapi sebagai keturunan satu-satunya dari keluarga Lamkiong yang bersejarah itu, dengan sendirinya pengetahuan ilmu silatnya jauh berbeda dengan orang lain.

Kini Lamkiong Liu hanya menonton tenang saja di samping, setiap kali mulutnya menyebut, setiap kali pula Siau-hi-ji kelabakan menghindarnya.

Terdengar Lamkiong Liu menyebut pula, “Leng-pun, Tiong-gu ... Seng-hu ....”

“Sret-sret-sret”, setelah dua-tiga kali gebrak, benar juga bagian Hiat-to yang disebutnya di tubuh Siau-hi-ji kembali tertusuk pedang.

Sebenarnya Siau-hi-ji sudah bersiap-siap untuk menghindar ketika Lamkiong Liu menyebutkan tempat Hiat-to yang diserang, tapi begitu serangan tiba ia sendiri justru sukar menghindarnya.

Seperti diketahui, penonton memang lebih tenang daripada pemain, apalagi Lamkiong Liu memang dapat menguasai seluruh permainannya, setiap gerak serangan Siau-hi-ji hampir boleh dikatakan diketahuinya dengan baik, maka petunjuknya tadi dengan sendirinya adalah titik kelemahan Siau-hi-ji.

Terdengar Lamkiong Liu sedang berkata lain, “Yu-bun, Tong-kok ... Yang-coan!”

“Yong-coan-hiat” yang disebut itu tepat berada di bawah telapak kaki, tentu saja Siau-hi-ji melengak mendengar Hiat-to yang disebut itu, ia pikir masakah pedang kalian akan dapat menusuk telapak kakiku?

Pada saat itu juga tiba-tiba pedang Buyung San lagi menusuk ke arah Yu-bun dan Tong-koh-hiat, sebenarnya Siau-hi-ji dapat mengelak, tapi pedang lawan lain telah menutup jalan mundurnya, dalam keadaan kepepet tanpa pikir terpaksa dia angkat sebelah kakinya untuk menendang pergelangan tangan Buyung San yang memegang pedang itu.

Walaupun Buyung San terpaksa melompat mundur, tapi pada saat itu juga pedang Buyung Siang lantas menusuk dan tepat mengenai Yong-coan-hiat di telapak kaki Siau-hi-ji. Meski tusukan itu tidak mengenainya karena Siau-hi-ji bersepatu kulit, tapi tidak urung ia pun kaget sehingga berkeringat dingin.

“Siau-hong ... Wi-tong ... Im-kok ....” terdengar Lamkiong Liu berkata pula dengan perlahan.

Sekali ini Siau-hi-ji menaruh perhatian penuh untuk menjaga Im-kok-hiat, di luar dugaan Hwe-yang-hiat di bagian punggung mendadak sudah tertusuk pedang dan pada saat yang sama pula Lamkiong Liu sedang menyebut “Hwe-yang-hiat”.

Jadi tanpa turun tangan sendiri Lamkiong Liu tidak kalah lihainya dari pada jago kelas wahid yang mana pun juga. Diam-diam Siau-hi-ji menghela napas dan putus asa, gumamnya, “Ya, sudahlah ….”

Tak terduga, pada saat itu juga dari jauh tiba-tiba berkumandang suara jeritan Buyung Kiu, “Tolong ... tolong ....? Kau bangsat keparat Kang Piat-ho .... Tolong Jici, Samci, tolong ....” terdengar suaranya makin lama makin menjauh.

Buyung San terkejut, keluhnya, “Wah, celaka! Kita telah lupa meninggalkan Kiu-moay di Sutheng sana.”

“Kenapa dia tidak ikut kemari,” ucap Buyung Siang dengan khawatir.

“Jadi Kang Piat-ho berada di sana,” tanya Siau-sian-li.

“Orang ini ternyata bukan Kang Piat-ho,” sambung Koh Jin-giok.

Beramai-ramai mereka lantas berteriak dan membentak terus memburu ke arah Buyung Kiu, hanya Lamkiong Liu yang berangkat terakhir, sebelum melangkah pergi ia memberi hormat dulu kepada Siau-hi-ji dan berkata, “Maaf.”

Dengan tersenyum kecut Siau-hi-ji menjawab, “Orang yang takut bini di seluruh dunia mungkin kau nomor satu, orang macam kau ini memang setimpal memperistrikan wanita macam apa pun juga.”

“Kepandaian saudara sesungguhnya lain daripada yang lain,” ucap Lamkiong Liu dengan tersenyum. “Tampaknya saudara menghimpun intisari berbagai ilmu silat di dunia ini dan menjadi suatu aliran tersendiri, cuma sayang permainanmu belum lagi lancar, tampaknya banyak peluang dan titik kelemahannya, mungkin disebabkan saudara terlalu banyak memikirkan hal tetek bengek dan tak dapat memusatkan perhatian untuk berlatih. Bilamana hal ini dapat saudara perbaiki kelak, sekalipun aku memberi petunjuk di samping seperti kulakukan tadi rasanya mereka pun bukan tandinganmu.”

Siau-hi-ji melengak, tanyanya, “Untuk apa kau bicara demikian padaku?”

“Sesungguhnya saudara memang bukan Kang Piat-ho, sebab permainan Kang Piat-ho pasti tidak kaku begini,” ujar Lamkiong Liu.

“Kau sudah tahu, mengapa tidak kau katakan sejak tadi?” tanya Siau-hi-ji gusar.

“Meski Cayhe sudah tahu hal ini sejak tadi, tapi waktu itu aku memang ingin tahu pula siapakah saudara ini sebenarnya, sebab itulah aku tidak bersuara, tapi sekarang Kiu-moay menghadapi bahaya, dengan sendirinya soalnya menjadi lain.”

Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Mungkin tadi aku mencemoohkan kau, maka kau sengaja membikin susah padaku.”

“Jika bukannya hatiku rada menyesal, mana Cayhe mau berkata seperti itu padamu,” ucap Lamkiong Liu dengan tersenyum sambil melangkah pergi.

Lamkiong Liu sudah menghilang di kejauhan, tapi Siau-hi-ji masih merenungkan ucapannya tadi, makin dipikir makin tidak tenteram.

“... mungkin saudara terlalu banyak memikirkan urusan tetek-bengek sehingga tak dapat memusatkan perhatian ....” demikian Siau-hi-ji mengulang ucapan Lamkiong Liu tadi, ia merasa kata-kata itu benar-benar kena di lubuk hatinya.

Setelah tertegun sejenak, segera ia melangkah ke depan, ia ingin mencari Pek Khay-sim yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri itu untuk membikin perhitungan dengan dia.

Sambil berjalan ia pun bergumam sendiri, “Aneh, mengapa mendadak Pek Khay-sim tidak takut mati sehingga obat penawar juga tidak diperlukan lagi? Dan bagaimana pula tentang Buyung Kiu, mengapa dia bisa muncul di sini dan saat ini apakah betul telah ditawan oleh Kang Piat-ho?”

Sungguh Siau-hi-ji tidak habis mengerti mengenai nona kesembilan keluarga Buyung itu, waktu orang mencarinya tidak diketemukan, tahu-tahu dia muncul di sini secara aneh, kemudian diculik lagi oleh Kang Piat-ho, semuanya ini sungguh membuatnya bingung.

Karena tetap tidak paham apa yang terjadi, Siau-hi-ji sungkan untuk memikirkannya lagi, terasa sakit luka-luka di sekujur badannya, ia lantas duduk di bawah pohon untuk istirahat.

Sebenarnya luka itu tiada artinya bagi tubuh Siau-hi-ji yang sudah tergembleng ibarat otot kawat tulang besi itu, walaupun luka itu cukup sakit, tapi sama sekali tak dihiraukannya.

Sementara itu bintang-bintang mulai jarang, ufuk timur sudah mulai remang-remang, fajar telah tiba, kicau burung mulai ramai di tengah hutan, jagat raya ini terasa tenang dan damai.

Siau-hi-ji memejamkan matanya dan bergumam, “Mungkin aku memang terlalu banyak mengurusi hal tetek bengek, tapi orang kan juga harus bekerja dan tidak boleh cuma makan melulu, apalagi kalau urusan sudah menimpa dirimu, ingin menghindar juga sukar.”

Padahal yang benar adalah dia sendiri tidak mampu hidup prihatin, asal menganggur dua hari, sekujur badan terasa pegal linu malah, kalau tidak mencari sesuatu perkara rasanya tidak enak.

Tapi saat ini, pada waktu fajar baru menyingsing di hutan yang damai ini ia benar-benar ingin memejamkan mata untuk menikmati ketenangan yang sukar dicari.

Siapa tahu, pada saat demikian tiba-tiba terdengar seseorang sedang memanggilnya, “Siau-hi-ji ... Kang Siau-hi ... di mana engkau?”

Siau-hi-ji melonjak bangun, gumamnya sambil menyengir, “Urusan benar-benar datang mencari padaku. Tapi entah siapa yang memanggilku ini? Dari mana pula dia mengetahui aku berada di sini?”

Didengarnya orang itu sedang berseru pula, “Siau-hi-ji, kutahu engkau berada di dalam hutan, lekas keluar, ada urusan penting ingin kukatakan padamu. Ayolah lekas keluar!”

Suara itu terasa mirip suara Buyung Kiu.

Mata Siau-hi-ji terbeliak, ucapnya dengan tertawa, “Jika Buyung Kiu, kedatangannya sungguh kebetulan, memangnya aku ingin mencari dia dan dia telah datang sendiri.”

Ia coba sembunyi di balik pohon dan mengintai ke sana. Terlihat seorang berjubah panjang dengan rambut semampir di pundak dan sedang melangkah datang menyongsong remangnya fajar sehingga tampaknya mirip malaikat pegunungan yang baru turun dari langit. Siapa lagi dia kalau bukan Buyung Kiu.

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji melompat ke depan si nona sambil menjerit, “He!”

Buyung Kiu seperti berjingkat kaget, dia meraba dadanya dan mengomel, “Ai, kau ingin membikin aku kaget dan linglung lagi?”

Siau-hi-ji memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, katanya kemudian dengan tertawa, “Wah, setengah hari tidak bertemu tampaknya kau bertambah cantik.”

“Setengah hari tidak berjumpa, tampaknya kau bertambah cakap,” nona itu pun balas menyanjung.

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, Buyung Kiu ternyata juga bisa berucap demikian dan juga bisa merayu, sungguh aneh bin ajaib!”

“Semua perempuan dapat merayu, soalnya bergantung pihak lawan berharga untuk dirayu atau tidak?” kata Buyung Kiu.

“Kau tidak benci lagi padaku?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Hati perempuan sering kali berubah dengan cepat, masakah kau tidak paham?” tanya si nona.

Siau-hi-ji menghela napas, jawabnya, “Benar, cinta perempuan kepada seorang saja tak dapat bertahan lama apalagi membenci seseorang.”

Buyung Kiu berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Hanya orang yang pernah tertipu oleh perempuan yang dapat memahami perempuan sedalam ini. Dari ucapanmu kukira kau pasti pernah mengalami sesuatu.”

“Ya, aku memang pernah tertipu oleh perempuan,” kata Siau-hi-ji.

“Siapa yang pernah menipumu?” tanya Buyung Kiu dengan tertawa. “O, jangan-jangan nona Thi itu?”

Hati Siau-hi-ji terasa sakit, teriaknya mendadak, “Bukan!”

“Habis siapa?” tanya si nona.

“Buyung Kiu!” seru Siau-hi-ji sambil melotot.

“Bilakah pernah kutipu kau?” tanya si nona dengan mengikik.

Mata Siau-hi-ji bersinar, katanya sekata demi sekata, “Kau bukan Buyung Kiu!”

“Aku bukan Buyung Kiu?” si nona menegas dengan tertawa. “Hah, apa kau sinting, kau tidak kenal aku lagi?”

Dengan terbelalak Siau-hi-ji memandangnya sejenak, mendadak ia meloncat tinggi-tinggi, lalu jumpalitan dua kali, waktu berdiri lagi, dia kucek-kucek matanya, akhirnya ia terbahak-bahak, katanya, “Meski kupikir tidak mungkin engkau, tapi rasanya toh pasti engkau adanya.”

“Memangnya kau kira aku ini siapa?”

“Hahahaha!” serentak Siau-hi-ji pegang tangan si nona dan berteriak, “Engkau bibi To, To Kiau-kiau!”

“Buyung Kiu” terbelalak memandangi Siau-hi-ji hingga sekian lamanya, akhirnya ia pun tertawa dan berkata, “Setan cilik, betapa pun kau memang pintar dan dapat kau kenali diriku. Di seluruh dunia ini kecuali kau mungkin tiada seorang pun dapat mengetahui samaranku ini.”

“Bukan kukenalimu, aku cuma berpikir kalau ‘Buyung Kiu’ ini bukan Buyung Kiu, habis di dunia ini siapakah yang dapat menyamar Buyung Kiu semirip ini?”

“Dengan sendirinya hanya bibi To saja, bukan?” tukas To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Betul, cuma ... cuma aku masih ragu-ragu apakah betul bibi To dapat datang ke sini? Sungguh mimpi pun aku tidak menyangka engkau dapat meninggalkan Ok-jin-kok.”

Tiba-tiba To Kiau-kiau menghela napas, katanya dengan perlahan, “Banyak urusan di dunia ini sukar diduga orang.”

Terbelalak mata Siau-hi-ji, tanyanya, “Sungguh tak terpikir olehku bahwa bibi To juga bisa menghela napas, juga tak terpikir olehku mengapa engkau dapat meninggalkan Ok-jin-kok, lebih-lebih tak menyangka bahwa engkau ternyata tahu jelas urusanku sehingga menyamar sebagai Buyung Kiu.”

Sesungguhnya memang banyak persoalan yang sukar dipahami Siau-hi-ji, maka sekaligus telah ditanyakan seluruhnya.

“Kau memberondong diriku dengan pertanyaan sebanyak ini, lalu cara bagaimana aku harus menjawab?” ucap To Kiau-kiau.

“Sudah beberapa lama bibi To meninggalkan Ok-jin-kok?”

“Kira-kira sudah ... sudah setengah tahun.”

“Selama dua tahun ini pada hakikatnya tidak ada orang tahu aku berada di mana, lalu dari mana bibi To mengetahui urusanku dan mengapa dapat menyaru sebagai Buyung Kiu?”

“Setelah meninggalkan Ok-jin-kok, meski sepanjang jalan telah kudengar sedikit perbuatanmu yang gemilang, tapi benar-benar aku tidak tahu kau berada di mana. Ingin kucari keterangan juga sukar kuperoleh.”

Siau-hi-ji merasa bangga, matanya berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Sudah tentu engkau tak dapat memperoleh keterangan apa-apa, bilamana aku mau sembunyi, setan juga tidak dapat menemukan diriku.”

“Tapi tanpa sengaja beberapa hari yang lalu telah kutemukan kau.”

“Hah, beberapa hari yang lalu engkau menemukan aku!? Mengapa aku tidak tahu?”

“Bukan saja aku menemukan kau, bahkan telah bicara denganmu,” tutur To Kiau-kiau dengan tertawa.

Siau-hi-ji garuk-garuk kepala yang tidak gatal, katanya dengan menyengir, “Sungguh aneh ... engkau telah bicara denganku? ....”

To Kiau-kiau terkekeh-kekeh, katanya, “Waktu itu kau bengis sekali, aku dibentak agar enyah dengan mata melotot, sungguh aku menjadi ketakutan dan lekas-lekas enyah menjauhimu.”

Siau-hi-ji berjingkrak sambil tertawa, “Haha, tahulah aku ... engkau adalah ....”

“Aku adalah pelayan bodoh di bawah loteng tempat tinggal Lo bersaudara,” tukas To Kiau-kiau.

“Wah, sungguh aku sangat kagum padamu, mirip benar penyamaranmu itu, mimpi pun tak pernah terpikir olehku bahwa pelayan itulah samaranmu.”

“Sudah tentu tak terpikir olehmu, jika aku mau sembunyi, biar setan juga tak dapat menemukan diriku,” ucap To Kiau-kiau dengan berkedip-kedip dan menirukan lagak-lagu anak muda itu.

Siau-hi-ji berkeplok tertawa, “Bagus, bagus! Untung engkau tidak menyaru sebagai diriku, kalau tidak, bisa jadi aku sendiri pun tidak dapat membedakan antara Kang Siau-hi tulen dan palsu.”

Setelah bergelak tertawa sejenak, tiba-tiba ia bertanya pula, “Tapi sebelum itu engkau tidak pernah melihat aku, bukan?”

“Ya, tidak,” jawab To Kiau-kiau.

“Dengan sendirinya kau pun tak pernah menyangka aku akan datang ke tempat Lo Kiu dan Lo Sam.”

“Aku bukan malaikat dewata, dengan sendirinya tak dapat meramalkan apa yang belum terjadi.”

“Jika begitu mengapa engkau dapat menyaru sebagai pelayan bodoh dan sembunyi di sana untuk menunggu kedatanganku?”

“Tujuanku bukan menunggu kedatanganmu.”

“Habis untuk apa engkau sembunyi di sana?”

Tiba-tiba mata To Kiau-kiau memancarkan sinar yang buas, ucapnya sekata demi sekata, “Tujuanku adalah kedua Lo bersaudara itu.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes