Wednesday, May 12, 2010

bgp4_part1

“Konon sejak dahulu kala hingga kini, setiap senjata yang ditempa diperlukan sesajen darah orang hidup, dengan demikian barulah senjata itu akan berhasil digembleng. Malahan ada sementara orang yang rela mengorbankan jiwanya demi berhasilnya pedang yang ditempa. Sebab itulah sejarah setiap pedang pusaka yang berhasil diciptakan pasti membawa kisah yang memilukan.”

“Saat ini bukan waktunya bercerita segala,” kata Kiau-goat Kiongcu.

Tapi Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia menyambung pula, “Hanya Pik-hiat-kiam ini konon tetap tak berhasil ditempa meski sudah diberi sesajen darah orang hidup. Menyusul istri dan putra-putri empu penggembleng pedang itu pun dikorbankan, tapi tetap tak berhasil. Saking gemas dan berdukanya, tukang gembleng pedang itu juga ikut terjun ke dalam tungku. Di luar dugaan setelah ia terjun ke dalam tungku, seketika api tungku berubah menjadi hijau murni, setelah tergembleng lagi dua hari, kebetulan seorang Tojin lewat di situ dan melanjutkan gemblengan pedang itu sehingga berhasil. Konon ketika pedang itu dikeluarkan dari tungku, cuaca berubah menjadi gelap seketika, terdengar guntur berbunyi, Tojin itu terkejut dan roboh terjungkal, kebetulan jatuhnya tepat di atas pedang ini sehingga dia menjadi korban pertama bagi pedang pusaka yang baru lahir ini.”

Sampai di sini Siau-hi-ji berhenti sejenak sambil tertawa, lalu melanjutkan lagi, “Dengan sendirinya cerita ini hanya dongeng belaka dan tidak dapat dipercaya. Pikir saja, jika orang-orang itu benar-benar telah mati semua, lalu siapakah yang dapat menceritakan kisah ini?”

“Betul hal ini memang tidak dapat dipercaya, tapi ada sesuatu yang tidak boleh tidak harus membuat kau percaya,” kata Kiau-goat.

“Urusan apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Waktu tukang gembleng pedang itu terjun ke dalam tungkunya, saking gemas dan murkanya dia telah bersumpah, dia mengutuk pedang ini bila berhasil tergembleng, maka selanjutnya barang siapa yang melihat pedang ini pasti juga akan mati di bawah pedang ini,” Kiau-goat menatap Siau-hi-ji dengan tajam dingin, lalu menegaskan sekata demi sekata, “Hanya hal inilah, tidak boleh tidak harus kau percayai.”

So Ing merinding mendengarkan cerita aneh itu, tanpa terasa ia berpaling ke sana dan tidak berani lagi memandang senjata beralamat buruk itu.

Siau-hi-ji lantas bergelak tertawa, katanya, “Manusia hidup, akhirnya setiap orang juga mesti mati. Kalau bisa mati di bawah senjata ajaib begini, rasanya beruntung juga hidupku ini, apalagi, orang yang melihat pedang ini kan tidak cuma diriku seorang saja?”

“Creng”, Bu-koat mendadak menarik kembali pedang hijau itu dan dipersembahkan kembali ke hadapan Kiau-goat Kiongcu.

Gemerdep sinar mata Kiau-goat, ucapnya dengan hambar, “Boleh kau simpan saja pedang ini.”

Berubahlah air muka Bu-koat, ia menunduk dan berkata, “Tecu ....”

Belum lanjut ucapan Bu-koat, dengan tertawa Siau-hi-ji berseru, “Hahaha, kau berikan pedang ini padanya, apakah engkau menghendaki dia membunuh aku dengan pedang ini? Tapi jangan kau lupakan, apabila kutukan tukang gembleng pedang itu manjur, tentunya sudah sejak dulu-dulu kau sendiri mati di bawah pedang ini.”

Tiba-tiba air muka Kiau-goat Kiongcu juga berubah pucat, sorot matanya setajam sembilu beralih ke muka Hoa Bu-koat.

Tapi Lian-sing Kiongcu keburu menyeletuk, “Bu-koat, pergilah kau mencari kembali Thi Sim-lan.”

Bu-koat seperti terkejut, serunya, “Dia ....” mendadak ia bungkam pula setelah memandang Siau-hi-ji sejenak.

“Dia sudah pergi,” kata Kiau-goat. “Kukira belum jauh dia pergi, kau pasti dapat menyusulnya.”

Dengan menunduk Bu-koat berkata, “Tapi Tecu ... Tecu ....”

“Memangnya kenapa? Kau tidak tunduk lagi pada ucapanku?” bentak Lian-sing Kiongcu dengan bengis.

Kembali Bu-koat memandang sekejap pada Siau-hi-ji dengan air muka yang penuh rasa serba susah, namun dia tidak berani bicara lagi, akhirnya dia terus lari keluar.

Siau-hi-ji seperti tidak memperhatikan kepergian Hoa Bu-koat, katanya kemudian, “Waktu kalian masuk ke sini, apakah di liang tikus ini sudah tiada seorang pun?”

Sampai saat ini perasaan Kiau-goat Kiongcu masih tertekan setiap mendengar kata Siau-hi-ji. Maka Lian-sing Kiongcu lantas menjawab, “Ya, tiada seorang pun.”

“Orang mati pun tidak ada?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, tidak ada,” tutur Lian-sing.

Siau-hi-ji mengernyitkan dahi, katanya, “Lalu Gui Bu-geh bagaimana? Masakan dia sudah kabur?”

Meski tidak bicara, tapi tanpa terasa terunjuk rasa kejut dan girang pada air muka So Ing.

Siau-hi-ji mengerling sekitarnya, ucapnya kemudian kepada So Ing, “Dapatkah kau memayang aku memeriksa keadaan sekeliling sini?”

Sudah tentu So Ing lakukan apa yang dikehendaki anak muda itu.

Sekalipun Gui Bu-geh adalah manusia yang paling rendah, paling kotor dan paling pengecut di dunia ini, tapi cara bekerjanya ternyata tidak tanggung-tanggung, hampir seluruh perut bukit ini diterobos dan digalinya hingga geronggang.

Kecuali gua induk yang menyerupai istana ini, sekelilingnya dibangun pula kamar-kamar gua yang lebih kecil dan tak terhitung jumlahnya, kamar demi kamar berderet-deret memenuhi perut bukit ini hingga mirip sarang tawon. Setiap kamar gua itu ada pintu tembus, tapi pintunya tak dapat digembok, jelas tujuannya agar anak muridnya yang tinggal di kamar-kamar gua ini bisa saling mengawasi satu sama lain.

So Ing memayang Siau-hi-ji memeriksa kamar-kamar itu satu per satu, terlihat setiap kamar itu ternyata sangat resik dan rajin, boleh dikatakan sangat mentereng, bahkan setiap kamar ada sebuah ranjang yang sangat lunak, ranjang berkasur karet busa barangkali kalau menurut jaman kini.

Siau-hi-ji menghela napas gegetun, ucapnya, “Barangkali sudah dua-tiga tahun aku tidak tidur di ranjang senikmat ini, sungguh tak tersangka kawanan tikus kecil ini dapat menikmati kehidupan seenak ini.”

“Meski Gui ... Gui Bu-geh sangat kejam terhadap anak muridnya, tapi kalau anak muridnya patuh dan tidak melanggar peraturan, kehidupan sehari-harinya memang sangat baik,” tutur So Ing.

“Hm tentu saja,” jengek Siau-hi-ji. “Jika mereka tidak diberi makan kenyang dan tidur nyenyak, cara bagaimana datangnya tenaga mereka untuk bekerja keras baginya.”

So Ing menunduk dan tidak bersuara lagi.

Selang sejenak, Siau-hi-ji berkata pula, “Sungguh aneh, penghuni di sini benar-benar telah kabur semua tanpa tersisa satu pun, memangnya sebelumnya mereka sudah tahu akan kedatangan si penyatron itu, lalu kabur lebih dulu?”

So Ing tak tahan, ia berkata pula, “Apakah kau kira yang datang ini benar-benar Yan Lam-thian?”

“Kukira begitu,” ujar Siau-hi-ji.

Tiba-tiba So-Ing tertawa, katanya, “Tidak, kukira bukan.”

“O, apa dasarnya?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau sendiri yang bilang begitu,” jawab So Ing.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian dengan tertawa, “Bilakah pernah kukatakan?”

“Meski di mulut kau tidak omong, tapi gerak-gerikmu seolah-olah sudah memberitahukan hal ini kepada orang lain,” ujar So Ing dengan tersenyum, “Kau tahu Yan-tayhiap tidak mungkin datang ke sini. Sayang Ih-hoa-kiongcu yang berilmu silat maha tinggi itu ternyata tidak paham seluk-beluk kehidupan insani, sebab itulah meski gerak-gerikmu sudah jelas kelihatan, namun mereka tidak dapat melihatnya sedikit pun.”

Siau-hi-ji terbelalak memandangi si nona dan tak dapat bersuara pula.

“Bukan saja kau tahu Yan-tayhiap tidak nanti datang ke sini, bahkan Hoa-kongcu juga pasti tahu, tapi dia telah merahasiakan hal ini bagimu. Nah, betul tidak uraianku?”

Siau-hi-ji menghela napas panjang-panjang, katanya “Orang lain sama bilang aku ini setan cilik mahacerdik, kukira poyokan ini harus kupersembahkan kepadamu.”

So Ing tersenyum, katanya, “Tapi aku pun ingin tahu, jika penyatron ini bukan Yan-tayhiap, lalu siapa gerangannya? Setahuku, kecuali Yan-tayhiap, di dunia Kangouw ini tiada orang lain yang memiliki tenaga sehebat ini.”

“Aku pun ingin tahu, tapi betapa pun hal ini bukan persoalan yang paling pelik dan paling sukar kupecahkan.”

“Urusan apa yang paling pelik dan tak dapat kau pecahkan?”

“Coba jawab, tak peduli siapa penyatron ini, jika sudah jelas kedatangannya ini hendak mencari perkara pada Gui Bu-geh, tentu sebelumnya takkan diberitahukannya kepada Gui Bu-geh, betul tidak?”

“Betul, kedatangan orang ini tentunya dilakukan secara mendadak, makanya orang-orang di hutan sana bisa mati di tangannya.”

“Akan tetapi kalau melihat keadaan di sini tampaknya sebelumnya Gui Bu-geh sudah bersiap-siap untuk mengundurkan diri, malahan cara mundur mereka sedemikian lancar dan tidak terburu-buru, buktinya satu barang berharga saja tidak ada yang tertinggal di sini.”

“Kawanan tikus berboyongan, sudah tentu apa pun dibawanya,” ujar So Ing.

“Tapi mengapa tikus harus boyongan? Memangnya mereka sudah tahu pasti akan kedatangan kucing? Seumpama kepandaian Gui Bu-geh memang sakti, kan dia juga tidak mampu meramal apa yang belum terjadi?”

So Ing terdiam sejenak, katanya kemudian, “Betul juga. Jika orang ini datang mendadak, tentu Gui Bu-geh tak tahu sebelumnya, bila dia kabur dalam keadaan tergesa-gesa, pasti juga mereka takkan lari sebersih ini.”

“Apalagi dia sudah tekun berlatih selama dua puluh tahun di sini serta telah dibangunnya pesawat rahasia sebanyak ini, maksud tujuannya jelas ditujukan untuk menghadapi Yan-tayhiap dan Ih-hoa-kiongcu.”

So Ing mengangguk, katanya, “Betul, dia memang berniat demikian.”

“Sebab itulah sekalipun dia tahu Yan-tayhiap dan Ih-hoa-kiongcu bakal datang kemari, tentu juga dia takkan lari, kesempatan ini kan sudah ditunggunya selama dua puluh tahun?”

“Ya, betul, dia memang bertekad akan menempur mereka untuk menentukan unggul dan asor. Dia juga sering berkata padaku bahwa dia khawatir kalau Ih-hoa-kiongcu dan Yan-tayhiap tidak mau datang kemari. Bilamana mereka datang, maka mereka pasti akan dikuburnya di sini.”

“Dan sekarang Gui Bu-geh sendiri justru kabur lebih dulu, apakah sebabnya? Dapatkah kau pecahkan soal ini?”

“Aku tak dapat memecahkannya,” jawab So Ing dengan tersenyum getir.

“Selain ini, masih ada sesuatu yang tak dapat kupecahkan,” kata Siau-hi-ji.

“Oo, apa?” tanya So Ing.

“Tempo hari, waktu aku terluka parah, tiba-tiba Gui Bu-geh keluar dengan tergesa-gesa untuk menyambut kedatangan seorang tamu agung, sekarang baru kutahu bahwa tamu agung itu ialah Kang Piat-ho.”

“Ya, memang betul Kang Piat-ho adanya.”

“Meski Kang Piat-ho berjuluk Kang-lam-tayhiap, tapi gelar ‘Kang-lam-tayhiap’ ini mungkin tidak berharga sepeser pun bagi Gui Bu-geh.”

“Kulihat Kang-lam-tayhiap ini memang cuma bernama kosong belaka,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Tapi Gui Bu-geh bergegas-gegas menyambut kedatangannya begitu menerima laporan, lalu apa sebabnya? Masakah dia dan Kang Piat-ho memang sudah lama kenal baik?”

“Tampaknya memang sudah lama kenal, kalau tidak mustahil Kang Piat-ho menemukan tempat kediamannya.”

“Makanya aku bertambah bingung. Kang Piat-ho baru beberapa tahun terakhir menonjol di kalangan Kangouw, tapi Gui Bu-geh sudah dua puluhan tahun tirakat di sini, lalu cara bagaimana mereka bisa saling kenal?” Setelah menghela napas gegetun, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Kalau kedua orang ini telah berkomplot, maka Gui Bu-geh akan mirip harimau bersayap, seharusnya dia lebih-lebih tidak perlu pergi dari sini, tapi sekarang dia justru angkat kaki. Maka menurut perkiraanku, di balik kejadian ini pasti ada tipu muslihat tertentu, intrik apa memang masih tanda tanya, tapi bisa jadi keadaan ini adalah perangkap yang sengaja mereka atur. Begitu masuk di sini segera kurasakan gelagat tidak beres.”

“Apa yang tidak beres?” mendadak seorang menukas.

Suara ini timbul dari belakang mereka, tapi So Ing dan Siau-hi-ji tidak terkejut, bahkan menoleh saja tidak. Sebab mereka tahu Ih-hoa-kiongcu pasti mengintil di belakang mereka, mereka pun tahu dengan Ginkang Ih-hoa-kiongcu yang mahatinggi itu tak mungkin mereka dapat mengawasinya.

Maka Siau-hi-ji menjawab, “Meski tiada bayangan seorang pun di tempat ini, namun aku merasakan adanya maut di mana-mana, rasanya kita sudah masuk ke dalam kuburan dan sukar keluar lagi.”

“Hm, ini kan cuma pikiranmu sendiri yang sok curiga,” jengek Lian-sing Kiongcu.

“Ya, mungkin aku sendiri yang besar curiga, tapi apa pun juga aku tidak ingin tinggal lebih lama lagi di sini,” kata Siau-hi-ji. “Jika kalian tidak mau pergi terpaksa aku harus mendahului pergi ....”

Belum habis ucapannya, mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Hehehe, baru sekarang kau mau pergi mungkin sudah rada kasip.”

Meski hidup Siau-hi-ji ini belum lebih dua puluh tahun, tapi berbagai macam suara tertawa sudah banyak didengarnya, di antaranya ada suara tertawa nyaring seperti bunyi genta dan menggetar sukma, ada suara tertawa yang mengerus bagai kayu diparut serta ada suara tertawa yang mengilukan seperti logam digosok.

Tapi betapa pun tak enaknya suara tertawa yang pernah didengarnya jika dibandingkan suara tertawa sekarang ini pada hakikatnya suara tertawa yang pernah didengarnya itu adalah seperti suara musik yang merdu. Hakikatnya tak pernah terpikir olehnya bahwa dari tenggorokan seseorang bisa keluar suara seburuk ini. Dan ia pun tahu di seluruh kolong langit ini hanya ada seorang yang bersuara seburuk ini.

Ih-hoa-kiongcu dan So Ing juga sama terkesiap mendengar suara tertawa aneh itu.

Tanpa tertahan Siau-hi-ji lantas berteriak, “He, Gui Bu-geh masih berada di sini!”

Aneh juga, tampaknya semua penghuni gua ini sudah pergi seluruhnya, mengapa Gui Bu-geh masih tinggal di sini?

Terdengar orang itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Betul, aku memang masih berada di sini, sudah cukup lama kutunggu kedatangan kalian.”

Secepat kilat Ih-hoa-kiongcu melayang ke arah datangnya suara tertawa itu. Suara itu jelas berkumandang keluar dari kamar batu di sebelah.

Kamar ini pun ada sebuah ranjang yang bagus dengan alat perabot keperluan sehari-hari, jelas tiada ubahnya seperti kamar yang lain, hanya sebuah kamar tempat tinggal salah seorang murid Gui Bu-geh. Namun di tengah suara tertawa yang menusuk telinga itu, tahu-tahu dinding di kamar ini dapat terbuka secara ajaib, menyusul sebuah kereta kecil mungil beroda dua meluncur keluar dari balik dinding sana.

Kereta atau kursi beroda dua ini terbuat dari sejenis logam yang mengkilat, tampaknya sangat ringan dan gesit, di atas kereta duduk seorang kerdil yang menyerupai anak kecil.

Kalau dipandang sepintas lalu takkan merasakan sesuatu yang menakutkan atas diri si kerdil ini, ia serupa dengan orang kerdil umumnya, suka pamer, pakaiannya sangat mewah, warnanya sangat mencolok mirip baju pengantin anak perempuan yang akan menghadiri upacara nikah.

Tapi jika dipandang lebih lama sejenak, seketika orang akan merasa merinding dan menggigil serta berharap semoga selanjutnya jangan lagi-lagi melihat orang macam begini.

Dia duduk bersila di atas keretanya sehingga kedua kakinya sama sekali tidak kelihatan.

Matanya tampak jelilatan, suatu tanda orang ini pasti sangat licik dan licin dan juga kejam, warna matanya rada buram seperti orang yang putus asa, tapi terkadang justru memancarkan sinar mata yang nakal dan kekanak-kanakan seperti bocah yang bengal.

Mukanya rada peyot, bengis dan beringas, tampaknya mirip seekor serigala kelaparan yang sedang menunggu mangsanya yang hendak disergapnya. Namun ujung mulutnya terkadang juga bersembul secercah senyum yang manis.

Apa yang dikatakan Siau-hi-ji memang tidak salah, orang ini sesungguhnya adalah adukan dari racun dengan madu, sudah jelas diketahui dia akan membunuhmu, tapi mau tak mau akan timbul juga rasa kasihanmu kepadanya.

Begitu melihat dia, serentak Ih-hoa-kongcu menahan gerak melayangnya tadi, mereka tidak berani mendekat lagi, mirip seorang yang mendadak melihat seekor ular berbisa mengadang di tengah jalan.

Gui Bu-geh tersenyum kepada mereka, ucapnya, “Sudah belasan tahun tidak berjumpa, tak tersangka kalian masih tetap cantik molek seperti dulu. Seorang perempuan kalau paham ilmu bersolek sungguh jauh lebih beruntung daripada memiliki harta benda yang berlimpah-limpah.”

“Hm, tak terduga kau masih berani menemui aku,” jengek Kiau-goat Kiongcu.

“Mengapa aku tidak berani? “ jawab Gui Bu-geh dengan tertawa. “Rasanya kalian toh takkan membunuhku?”

Siau-hi-ji baru saja masuk, segera ia menanggapi dengan suara kasar, “Berdasarkan apa kau anggap mereka takkan membunuh kau?”

“Sebab kutahu peraturan Ih-hoa-kiong,” jawab Gui Bu-geh dengan tenang. “Aku sudah pernah lolos satu kali dari tangan mereka, asalkan aku tidak bersalah lagi pada mereka, maka mereka pasti takkan turun tangan lagi padaku.”

“Masa Ih-hoa-kiong ada peraturan berengsek begini?” tanya Siau-hi-ji sambil berpaling kepada Kiau-goat Kiongcu.

“Ya, memang ada,” jawab Kiau-goat.

Siau-hi-ji menghela napas, mendadak ia berseru pula, “Tapi kau kan senantiasa ingin mencari mereka untuk menuntut balas? Seumpama mereka tidak turun tangan padamu kan seharusnya kau yang turun tangan pada mereka, betul tidak?”

“Tidak,” jawab Gui Bu-geh.

Siau-hi-ji melengak, katanya, “Masa kau tidak ingin menuntut balas lagi?”

“Sakit hati, dengan sendirinya akan kutuntut balas,” ucap Gui Bu-geh dengan tertawa. “Tapi biarpun aku ingin menuntut balas kan juga tidak perlu mencari perkara pada mereka.”

“Hahaha, omongan apa ini? Hakikatnya seperti kentut belaka!” seru Siau-hi-ji dengan tergelak.

Gui Bu-geh tidak marah, dengan tenang ia berucap pula, “Apa yang kau katakan tadi memang tidak salah, di sini memang betul sebuah kuburan, maka kalian jangan harap lagi akan dapat keluar dari sini.”

“Apa katamu?” Kiau-goat Kiongcu menegas dengan air muka berubah pucat.

“Di sinilah pusat daripada pengemudi seluruh pesawat rahasia yang tersebar di istana bawah tanah ini, sekarang semua jalan keluarnya sudah kututup, jangankan manusia, lalat juga tidak mampu terbang keluar lagi.”

Tentu saja Siau-hi-ji terkejut, segera ia hendak memburu keluar untuk memeriksanya, tapi mendadak ia berhenti pula, sebab ia tahu apabila Gui Bu-geh sudah berkata demikian, maka pasti tidak berdusta.

Berputar biji matanya, dengan tertawa ia menukas, “Jadi semua jalan keluarnya telah kau bikin buntu?”

“Ya,” jawab Gui Bu-geh.

“Lalu, masakan kau sendiri juga tidak ingin keluar lagi?”

“Memang, aku memang tidak ingin keluar lagi.”

“Hahaha, siapa yang mau percaya pada ucapanmu ini” ujar Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. “Seumpama kau berniat mengubur hidup-hidup mereka di sini, kan dapat kau suruh anak buahmu menggerakkan perangkapnya, mengapa kau sendiri mesti ikut terkubur di sini?”

“Soalnya aku ingin menyaksikan sendiri kematian mereka,” kata Gui Bu-geh dengan hambar. “Aku ingin menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri penderitaan mereka pada detik-detik terakhir menjelang ajal. Ingin kutahu keadaan mereka pada saat mereka sudah kelaparan dan ketakutan, ingin kulihat apakah mereka masih tahan pada sikap mereka yang sok gadis suci ini.”

“Gila, betul-betul orang gila, orang gila tulen,” desis Siau-hi-ji setelah melenggong sejenak.

Gui Bu-geh terkekeh-kekeh, katanya dengan tcrtawa, “Cuma sayang, kalian orang waras ini bakal mati di tangan orang gila macamku ini.”

Siau-hi-ji memandang Ih-hoa-kiongcu sekejap, dilihatnya kedua kakak beradik itu seperti mendadak berubah menjadi patung, sama sekali tidak bergerak. Mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Haha, kukira kau takkan sempat menyaksikan kematian kami, sebab kau pasti akan mati lebih dulu daripada kami.”

“Aku pasti tidak akan mati lebih dulu, sebab tubuhku jauh lebih kecil daripada kalian, segala kebutuhanku untuk hidup jelas jauh lebih sedikit dibandingkan kebutuhan kalian, pada saat kalian mati kelaparan dan kehausan tentu aku masih dalam keadaan hidup segar bugar.”

“Caramu bertindak begini, tentu disebabkan kau menyadari dirimu bukan tandingan mereka, kalau tidak kan dapat kau bunuh mereka dengan senjata tajam, dengan kepandaian sejati, kau sendiri kan tidak perlu ikut terkubur di sini, betul tidak?”

“Ya, betul juga,” jawab Gui Bu-geh dengan menghela napas menyesal. “Selama dua puluh tahun kukira ilmu silatku sudah maju pesat dan cukup kuat untuk membinasakan mereka. Tapi setelah aku bertemu dengan Kang Piat-ho baru kutahu perhitunganku telah meleset.”

Siau-hi-ji melenggong, tanyanya kemudian, “Mengapa baru kau sadari akan kekeliruan perhitunganmu setelah kau bertemu dengan Kang Piat-ho?”

“Dua puluh tahun yang lalu, ilmu silat Kang Piat-ho pada hakikatnya tidak termasuk hitungan,” demikian tutur Gui Bu-geh. “Tapi sekarang Kang Piat-ho sudah tergolong tokoh kelas satu di dunia Kangouw. Selama dua puluh tahun ini ilmu silat Kang Piat-ho saja sudah maju sebanyak ini, apalagi Ih-hoa-kiongcu. Jika ilmu silatku dan Ih-hoa-kiongcu mengalami kemajuan yang sama, maka sekalipun kubelajar lagi dua puluh tahun Juga tetap tak dapat mengalahkan mereka, apa pula mereka kakak beradik, sedangkan aku cuma sebatang kara.”

Ia tertawa, lalu menyambung pula, “Sebab itulah, setelah kupikir pergi datang, terpaksa kulaksanakan caraku sekarang ini.”

“Jika demikian, kalau sekarang mereka mau membunuhmu kan juga tetap sangat sederhana dan kau ....”

“Kan sudah kukatakan tadi,” sela Gui Bu-geh, “Mereka pasti tidak akan membunuhku, sebab aku tidak berbuat salah kepada mereka.”

“Kau berniat mengubur mereka di sini, masa bukan kesalahan?” ujar Siau-hi-ji tertawa.

“Tempat ini rumahku bukan?”

“Ehm, betul,” jawab Siau-hi-ji.

“Nah, aku kan tidak mengundang mereka ke sini dan juga tidak memaksa mereka kemari. Sekarang aku hanya menutup rapat seluruh pintu rumahku sendiri, masa hal ini kau anggap aku berbuat salah pada mereka?”

“Tapi kalau mereka menghendaki kau buka pintu dan kau menolak berarti kau menyalahi mereka.”

“Hm, pintu-pintu yang terdapat di sini terdiri dari batu-batu raksasa, kini semuanya sudah kusumbat, bahkan aku sendiri pun tidak sanggup membukanya lagi.”

Seketika Siau-hi-ji juga melenggong seperti patung dan tidak sanggup bicara lagi.

Gui Bu-geh lantas berkata pula, “Apalagi, biarpun kalian mengetahui semua pintu di sini sudah buntu, kalian toh menaruh secercah harapan dan diriku inilah satu-satunya sasaran curahan harapan kalian. Sebab itulah kuyakin kalian pasti tidak berani membunuh diriku.” Tiba-tiba ia tertawa dan menyambung, “Anak Ing, mengapa kau sembunyi di luar dan tidak berani masuk kemari?”

Dengan menunduk So Ing terpaksa melangkah masuk, mukanya pucat pasi.

Gui Bu-geh menatapnya lekat-lekat, lalu ia pandang pula Ih-hoa-kiongcu, katanya kemudian terhadap So Ing, “Anak Ing, selama ini aku sangat baik padamu, tahukah apa sebabnya?”

“Ti ... tidak tahu,” jawab So Ing menunduk.

“Coba kau pandang kedua Kiongcu ini, lalu kau bercermin akan wajahmu sendiri dan segera kau akan tahu apa sebabnya,” kata Gui Bu-geh dengan tertawa.

Tergerak hati Siau-hi-ji, baru sekarang diperhatikannya bahwa wajah So Ing memang rada mirip dengan Ih-hoa-kiongcu. Mereka sama-sama perempuan cantik yang tiada taranya, maka mereka pun sama pucatnya, sikapnya juga sama dinginnya, tampaknya seperti ibu dan anak atau saudara sekandung.

Entah kejut entah girang hati So Ing, tiba-tiba ia bertanya, “Jadi engkau berbaik padaku lantaran wajahku sangat menyerupai mereka?”

“Betul,” jawab Bu-geh. “Kalau tidak, di dunia ini tidak sedikit anak perempuan yatim piatu yang lain, mengapa aku cuma penujui dirimu dan membawamu pulang ke sini? Selama ini aku sangat sayang dan memanjakan dirimu justru lantaran kuingin memupuk keangkuhanmu, supaya kau bersikap dingin terhadap siapa pun, kubiarkan kau tinggal sendirian di sana justru lantaran kuingin kau terbiasa dengan watak yang menyendiri ....”

“Jadi engkau telah berdaya upaya dengan segenap tenaga hanya ingin aku berubah menjadi angkuh dan dingin seperti mereka?” tanya So Ing.

“Betul,” jawab Bu-geh.

So Ing melenggong sejenak, ia pandang Gui Bu-geh, lalu pandang pula Ih-hoa-kiongcu, katanya tiba-tiba, “Apakah engkau orang tua juga ....”

“Tutup mulutmu!” bentak Lian-sing Kiongcu mendadak.

Meski So Ing tidak berani melanjutkan lagi ucapannya, tapi dalam hati sudah paham duduknya perkara.

Dengan berkeplok tertawa-Siau-hi-ji lantas berseru, “Hahaha, baru sekarang kutahu, kiranya permata hatimu ialah Ih-hoa-kiongcu, tapi lantaran kau tidak berhasil mempersunting mereka, dari cinta berubah menjadi benci, makanya kau dendam kesumat terhadap mereka.”

Bahwasanya Gui Bu-geh adalah orang kontet yang paling cerdik di dunia ini dan jatuh cinta terhadap perempuan yang paling cantik paling anggun di dunia ini. Peristiwa ini sungguh sukar dibayangkan siapa pun juga dan terasa sangat lucu.

Makin dipikir makin geli Siau-hi-ji, ia tertawa terpingkal-pingkal hingga perut terasa mules.

Tapi dengan serius Gui Bu-geh lantas berkata pula dengan tenang, “Dua puluh tahun yang lalu aku menempuh perjalanan khusus ke Ih-hoa-kiong untuk meminang mereka ....”

“Kau ... kau melamar mereka?” Siau-hi-ji menegas dengan tertawa terengah-engah.

Dengan sungguh-sungguh Gui Bu-geh menjawab, “Ya, inilah perpaduan antara kecerdasan dan kecantikan, perjodohan yang paling cocok dan paling hikmat, memangnya apa yang kau tertawakan?”

“Ya, ya, memang perjodohan yang sangat sesuai, dan paling serasi,” kata Siau-hi-ji. “Tapi mereka tidak menerima lamaranmu, sebaliknya malah hendak membunuhmu, mulai dari sinilah terjadinya permusuhan kalian, begitu bukan?”

Gui Bu-geh menghela napas, meski tidak bicara, tapi diam berarti membenarkannya.

Waktu Siau-hi-ji memandang Ih-hoa-kiongcu, kedua kakak beradik itu tampak rada gemetar saking gusarnya. Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula, “Kalian dilamar oleh seorang pahlawan besar, seorang ksatria sejati, seharusnya kalian merasa bangga dan bahagia, mengapa kalian tidak menerimanya? Sungguh aku ikut merasa sayang.”

Dengan tergelak Gui Bu-geh berkata, “Tidak perlu kau memancing kemarahan mereka agar turun tangan padaku, sekalipun mereka membunuhku juga tiada faedahnya baginya. Kalau kau ini orang pintar, mestinya kau bujuk mereka supaya jangan membunuhku, nanti kalau aku sudah kelaparan dan tidak tahan, bisa jadi akan kupikirkan suatu akal baik untuk membuka pintu keluar yang sekarang sudah buntu ini.”

Siau-hi-ji menatapnya sejenak, katanya kemudian, “Betul juga, kau memang tidak boleh mati sekarang, masih banyak persoalan yang hendak kutanya padamu.”

“Pertanyaan yang pertama tentu mengenai siapakah gerangan yang datang kemari, siapa dia yang mampu membelah kursi kemala hijau itu dengan sekali bacokan, betul tidak?”

“Tidak,” jawab Siau-hi-ji. “Soal ini tidak perlu lagi kutanya padamu, sebab sekarang aku sudah paham duduk perkaranya.”

“O, kau sudah paham?” Gui Bu-geh merasa heran. “Memangnya siapa gerangannya yang datang ini?”

“Tidak ada siapa-siapa yang datang ke sini,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Siapa pun tiada yang datang? Hahahaha! Memangnya aku sendiri, yang meninggalkan bekas kaki di lorong sana?”

“Bekas kaki di lantai lorong itu adalah ukiranmu sendiri, makanya bisa begitu rajin dan rata.”

Sinar mata Gui Bu-geh gemerdep, katanya, “Lantas siapa pula yang membunuh orang-orang di hutan sana?”

“Dengan sendirinya juga kau sendiri,” jawab Siau-hi-ji. “Kau menampar mereka, tentu saja mereka tidak berani menangkis dan berkelit, kau suruh mereka gantung diri, mana mereka berani terjun ke sungai.”

“Tapi jangan lupa, mereka itu adalah muridku,” kata Gui Bu-geh.

“Memangnya kenapa kalau mereka itu muridmu? Hakikatnya kau tidak pernah menganggap anak muridmu sebagai manusia.”

“Jika demikian, jadi kursi batu kemala hijau itu pun aku sendiri yang membelahnya?”

“Ya, dengan sendirinya kau pula yang membelahnya.”

“Masa aku mempunyai kepandaian setinggi itu?”

“Karena batu kemala hijau itu sangat keras melebihi baja, untuk bisa mengukirnya menjadi sebuah kursi tentu diperlukan pedang pusaka yang dapat memotong besi seperti mengiris tahu.”

“Betul,” kata Gui Bu-geh.

“Dan kalau batu hijau itu dapat kau jadikan kursi, tentu padamu terdapat sebilah pedang pusaka yang mahatajam.”

“Ehm,” Gui Bu-geh bersuara singkat.

“Dan kalau pedangmu dapat membuat batu kemala hijau itu menjadi kursi tentu pula kau dapat membelahnya menjadi dua ... kan cukup sederhana teori ini?”

Gui Bu-geh menghela napas gegetun, ucapnya, “Ya, benar, memang cukup jelas teori ini.”

“Setelah kau bunuh anak muridmu di hutan sana, lalu kau mengukir bekas telapak kaki di lantai lorong untuk memancing kami masuk ke sini.”

“Ya, ini pun beralasan,” kata Gui Bu-geh.

“Tapi kau pun khawatir bilamana kami sudah masuk kemari dan tiada melihat seorang pun di sini, bisa jadi kami akan terus keluar lagi. Maka kau lantas membelah kursi batu itu menjadi dua agar kami menjadi sangsi, pula ....” dia berhenti sejenak, lalu menyambung, “Karena pintu-pintu di sini semuanya terbuat dari batu-batu raksasa, untuk menutupnya hingga buntu seluruhnya tentu juga memakan waktu dan tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat ….”

“Maka aku harus memancing perhatian kalian kepada kursi kemala itu, dengan demikian barulah ada waktu bagiku untuk menyumbat semua jalan keluarnya, betul tidak?” demikian sambung Gui Bu-geh.

“Ya, memang begitulah,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Mendadak Gui Bu-geh tertawa terpingkal-pingkal hingga hampir saja terguling dari keretanya.

Siau-hi-ji jadi mendelik, katanya, “Apa yang kau tertawakan? Memangnya tidak betul tebakanku?”

“Betul, betul sekali, sesungguhnya kau ini orang pintar nomor satu di dunia,” seru Gui Bu-geh sambil tertawa.

“Untuk predikat ini memang tak pernah aku menolaknya,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Cuma aku pun ingin tanya beberapa hal padamu,” kata Gui Bu-geh pula.

“O, apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau sudah pernah datang ke tempatku ini, tentunya kau tahu di sini banyak terdapat benda-benda berharga, tapi mengapa sekarang satu biji saja tidak ada lagi?”

Melengak juga Siau-hi-ji, jawabnya kemudian, “Sudah tentu barang-barang itu telah ... telah kau singkirkan bersama anak muridmu.”

“Mengapa harus kusuruh mereka menyingkirkan harta benda itu? Kalau aku sudah bertekad akan mati di sini, mengapa harta pusaka itu tidak ikut terkubur saja bersamaku, tapi malah kuberikan pada orang lain. Jika selamanya aku tidak pandang anak muridku sebagai manusia, untuk apa aku memberikan rezeki nomplok kepada mereka .... Nah, dapatkah kau memahami sebab musabab persoalan ini?”

Sekonyong-konyong berbinar mata Siau-hi-ji, ucapnya, “Tentu disebabkan kau ingin keluar lagi setelah menyaksikan kematian kami.”

“Jika begitu tujuanku, tentu lebih-lebih tidak mungkin kusingkirkan harta bendaku, sebab kalau kalian toh pasti akan mati seluruhnya di sini, kenapa aku mesti khawatir harta pusakaku itu akan direbut oleh kalian.”

Siau-hi-ji jadi melenggong benar-benar.

“Katanya kau ini orang pintar nomor satu di dunia, kenapa teori ini tidak dapat kau pecahkan?”

“Sebab kau ini orang gila, jalan pikiran orang gila selamanya menyimpang daripada pikiran orang sehat.”

“Jika benar aku ini orang gila, tentu seluruh anak muridku telah kubunuh agar terkubur berkamaku di sini, masa hal ini tak pernah kau pikirkan?”

Kembali Siau-hi-ji melenggong, ucapnya kemudian, “Jika demikian, jadi tempatmu ini benar-benar telah kedatangan seorang tokoh Bu-lim mahatinggi?”

“Lantaran kau tidak percaya, aku menjadi malas untuk menjelaskan,” ucap Gui Bu-geh dengan tertawa.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya, “Dan kalau aku percaya?”

“Maka dapat kuberitahukan padamu bahwa tempat ini memang telah kedatangan seorang tokoh besar, hal ini terjadi sebelum magrib kemarin.”

“Siapakah gerangannya?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau kenal orang ini.”

“Dari mana kau tahu kukenal dia?”

“Sebab dia pernah menanyakan dirimu.”

Berubah air muka Siau-hi-ji, tapi mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, apakah kau ingin memberitahukan padaku bahwa pendatang ini ialah Yan Lam-thian?”

Dengan pandangan tajam Gui Bu-geh menjawab sekata demi sekata, “Memang betul, pendatang ini ialah Yan Lam-thian!”

Siau-hi-ji tercengang hingga lama, tiba-tiba ia tertawa pula dan berkata, “Hahaha, jika kau bilang orang lain mungkin aku akan percaya, tapi Yan Lam-thian ....”

“Masa kau tidak percaya jika kubilang dia memang benar Yan Lam-thian adanya?”

“Ya, sebab kalau benar Yan Lam-thian telah datang kemari, mustahil kau masih bisa hidup sampai sekarang untuk mencelakai orang lain.”

“Hm, memangnya kau kira ilmu silatnya lebih tinggi daripadaku?” jengek Gui Bu-geh.

“Jika ilmu silatnya tidak melebihimu, bukankah sudah dulu-dulu dia telah kau bunuh?”

“Hm, dari mana kau tahu aku tidak pernah membunuhnya?” jengek Gui Bu-geh.

Kembali air muka Siau-hi-ji berubah, tapi segera ia tenang lagi dan berkata, “Bila benar dia pernah datang kemari, tentu bekas kaki di lorong sana adalah tinggalannya, kursi batu kemala ini pun terbelah oleh pedang saktinya. Melulu daya bacokannya yang mahasakti ini sudah cukup mengguncang bumi dan menggetar langit, kalau cuma kepandaianmu saja kukira sukar mengganggu seujung rambutnya .... Betapa pun aku cukup kenal kepandaianmu.”

Gui Bu-geh termenung sejenak, ia menghela napas panjang, lalu berkata, “Memang betul juga, melulu daya bacokan pedangnya itu sudah cukup membinasakan setiap tokoh persilatan di dunia ini, sesungguhnya aku memang bukan tandingannya.”

“Asal kau tahu saja,” ujar Siau-hi-ji. “Jika dia benar-benar pernah datang kemari, mustahil kau tidak dibunuhnya?”

“Dengan sendirinya karena ada pertukaran syarat antara kami,” tutur Gui Bu-geh perlahan.

“Syarat apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kujanji akan menyerahkan seorang padanya dan dia berjanji takkan mengganggu jiwaku.”

“Kau berjanji akan menyerahkan siapa padanya?” desak Siau-hi-ji.

“Kang Piat-ho,” jawab Bu-geh.

Siau-hi-ji terkejut, serunya, “Apa katamu? Kang Piat-ho? Masa Yan-tayhiap mau mengampuni jiwa kau demi Kang Piat-ho.”

“Memang betul begitu,” kata Bu-geh.

“Untuk apa dia menolong Kang Piat-ho?”

“Dia bukan menolong Kang Piat-ho melainkan ingin membunuhnya.”

Siau-hi-ji terkesiap pula, ucapnya, “Ada permusuhan apa antara dia dengan Kang Piat-ho?”

Gui Bu-geh terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan tenang, “Tahukah kau siapa sebenarnya Kang Piat-ho?”

“Memangnya siapa?”

“Dia tak lain dan tak bukan ialah kacung ayahmu yang bernama Kang Khim, sejak kecil ia dibesarkan di rumah ayahmu, resminya dia adalah kacung dan majikan dengan ayahmu, tapi sebenarnya tiada ubahnya seperti saudara.”

Siau-hi-ji melongo terkejut dan tidak sanggup bersuara.

Maka Gui Bu-geh bertutur pula, “Waktu itu ayahmu Kang Hong terkenal sebagai lelaki paling cakap di dunia dan bersaudara sehidup-semati dengan Yan Lam-thian yang berjuluk pendekar pedang nomor satu di dunia.”

“Jika Kang Khim tidak ubahnya seperti saudara dengan ayahku, mengapa Yan-tayhiap ingin membunuhnya?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebab orang ini telah membalas kebaikan dengan kejahatan, akhirnya ayahmu malah dijualnya.”

“Cara ... cara bagaimana dia menjual ayah?” seru Siau-hi-ji.

“Kang Hong tidak saja lelaki cakap yang jarang ada di dunia ini, bahkan juga hartawan yang sukar ada bandingnya,” tutur Gui Bu-geh. “Sudah lama kawanan bandit mengincarnya, soalnya cuma mereka segan terhadap Yan Lam-thian, maka sebegitu jauh belum ada yang berani turun tangan. Siapa tahu, suatu ketika Kang Hong telah keblinger, dia tergila-gila kepada seorang murid Ih-hoa-kiong atau lebih tepat dikatakan babu Ih-hoa-kiongcu, diam-diam mereka minggat bersama. Nah, babu itulah ibu kandungmu.”

Siau-hi-ji menjadi gusar, dampratnya, “Kata-kata yang kau gunakan hendaknya tahu sopan sedikit.”

Gui Bu-geh menyeringai, dengan tenang ia menyambung pula, “Meski kedua orang itu saling mencintai hingga lupa daratan, tapi mereka pun tahu Ih-hoa-kiongcu pasti tidak akan melepaskan mereka, maka begitu mereka kabur, segera Kang Hong membereskan harta bendanya, ada yang disumbangkan dan ada yang dijual. Ia sendiri hanya membawa ringkasan seperlunya saja dan siap untuk kabur dan mengasingkan diri.”

“Tak tersangka ayahku rela berkorban segalanya bagi ibuku, sungguh aku sangat kagum padanya,” seru Siau-hi-ji.

“Jika dia cuma mau berkorban segalanya tentu takkan ada persoalan lagi,” jengek Gui Bu-geh. “Cuma sayang, dia sudah biasa hidup enak dan mewah, dia masih takut hidup miskin di kemudian hari, maka barang-barang yang dibawanya lari tetap bernilai cukup lumayan.”

“Makanya kawanan bangsat seperti kalian ini lantas merah matanya,” damprat Siau-hi-ji dengan gusar.

“Sebenarnya kejadian ini sangat dirahasiakan dan tak diketahui siapa pun juga, sayang seribu sayang, dia justru memberitahukan rahasianya kepada si Kang Khim ini.”

“Masa bangsat itu mengkhianati ayahku hanya karena mengincar harta benda ayahku?” tanya Siau-hi-ji dengan parau.

“Betul,” jawab Bu-geh. “Menurut rencana Kang Hong, lebih dulu Kang Khim disuruh memapak Yan Lam-thian, dia sendiri lalu membawa ibumu menyusuri suatu jalan lama yang tak pernah diinjak manusia lagi untuk bergabung dengan Yan Lam-thian. Rencana ini sebenarnya juga sangat rahasia, cuma sayang, sebelum Kang Khim mencari Yan Lam-thian, lebih dulu ia mendatangi Cap-ji-she-shio kami.”

“Pantas kau kenal Kang Piat-ho, kiranya sudah lama kalian main kongkalikong dan sekomplotan,” damprat Siau-hi-ji dengan gemas.

“Meski aku mengetahui peristiwa ini, tapi aku sendiri tidak ikut turun tangan, sebab biarpun begitu toh mereka pasti akan memberi bagian padaku, apalagi waktu itu aku sendiri mempunyai urusan lain.”

“Habis siapa yang turun tangan?” tanya Siau-hi-ji.

“Kukira kau pun tidak perlu tanya sejelas ini, pokoknya yang ikut turun tangan itu sudah lama mati semua.”

“Apakah Yan-tayhiap yang membunuh mereka?”

“Kukira begitu,” jawab Bu-geh sambil menghela napas.

“Hm, mereka sudah kenal kelihaian Yan-tayhiap, mengapa berani juga turun tangan?” jengek Siau-hi-ji.

“Mestinya mereka hendak mengalihkan perbuatan mereka itu bagi Ih-hoa-kiongcu agar Yan Lam-thian menyangka Ih-hoa-kiongcu yang membunuh saudara angkatnya, ditambah lagi daftar inventaris ayahmu yang dibawa Kang Khim itu cukup menarik, betapa pun Cap-ji-she-shio tidak mau sia-siakan bisnis besar ini.”

“Tapi Kang Khim kan juga tahu bagaimana kualitas orang-orang macam Cap-ji-she-shio kalian, kalau barang sudah jatuh di tangan kalian, mana dia bisa menarik keuntungan lagi?”

“Dia ternyata tidak terlalu tamak, dia cuma menghendaki dua bagian saja. Ia pun tahu Cap-ji-she-shio paling adil dalam hal membagi rezeki, bilamana kami sudah berjanji akan memberikan bagiannya, maka pasti akan kami tepati.”

Dengan gusar Siau-hi-ji berteriak, “Hanya dua bagian dari harta sekian ini dia melakukan perbuatan terkutuk ini? Jika rahasia pribadi ayahku tanpa ragu diberitahukan padanya, tentu ayah telah memandang dia seperti saudara sekandung, masa beliau takkan membagi dua bagian kekayaannya kepadanya?”

“Meski ayahmu memandangnya seperti saudara sendiri, tapi di mata orang lain dia tetap seorang kacung, seorang budak keluarga Kang. Jika ayahmu tidak mati, selama hidupnya jangan harap bisa menonjol ke atas,” Bu-geh tersenyum, lalu melanjutkan, “Meski orang ini tidak terlalu tamak, tapi ambisinya cukup besar, cita-citanya setinggi langit dan ingin menjadi tokoh terkemuka di dunia Kangouw, untuk ini mau tak mau dia harus membunuh dulu ayahmu.”

Terasa dingin kaki dan tangan Siau-hi-ji, ia termenung sejenak, katanya kemudian, “Tapi ayahku kemudian kan meninggal di tangan orang Cap-ji-she-shio?”

“Apa yang terjadi kemudian aku pun tidak jelas, aku hanya tahu waktu Yan Lam-thian menyusul ke sana, sementara itu ayah-ibumu sudah mati, hanya kau saja yang masih hidup.”

“Jadi aku ....”

“Waktu itu kau mungkin baru lahir, maka orang lain tidak tega membunuhmu, walaupun demikian toh lukamu juga cukup parah, bekas luka di mukamu mungkin bermula pada waktu itu.”

Sedapatnya Siau-hi-ji menahan rasa sedihnya, katanya, “Tak peduli ayah-ibuku dibunuh oleh siapa, yang pasti hal ini adalah akibat perbuatan Kang Khim, jika dia tidak mengkhianati ayahku, tentu orang-orang jahat itu takkan menyatroni ayah, betul tidak?”

“Ya, memang begitu,” jawab Bu-geh.

“Jika demikian, mengapa Yan-tayhiap tidak membunuhnya?”

“Mungkin waktu itu Yan Lam-thian tidak tahu bahwa biang keladinya adalah Kang Khim. Tatkala dia mengetahui hal ini, sementara itu Kang Khim sudah mengeluyur pergi. Sejak itu di dunia Kangouw lantas tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya Kang Khim dan juga tiada terdengar cerita tentang Yan Lam-thian, kemudian baru kudengar bahwa Yan Lam-thian sudah mati di Ok-jin-kok,” setelah menghela napas, lalu Bu-geh melanjutnya dengan gegetun, “Tak tahunya semua kabar itu ternyata cuma kentut belaka, bukan saja Yan Lam-thian tidak mampus sebaliknya ilmu silatnya malah jauh tambah maju. Sedangkan si Kang Khim juga lantas malih menjadi Kang-lam-tayhiap.”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Bisa jadi lantaran ingin mencari Kang Khim, maka Yan-tayhiap pergi ke Ok-jin-kok.”

“Sangat mungkin begitu,” kata Bu-geh. “Setelah dia mencari Kang Khim kian kemari dan tidak ditemukan, dengan sendirinya ia menduga Kang Khim telah kabur ke Ok-jin-kok.” Dia merandek sejenak sambil berkerut kening, lalu berkata pula, “Tapi setiba Yan Lam-thian di Ok-jin-kok, sesungguhnya apa yang telah terjadi? Mengapa selama dua puluh tahun tiada kabar beritanya di dunia Kangouw?”

Siau-hi-ji mengerling, tiba-tiba ia berseru, “Seluma dua puluh tahun ini, lantaran Yan-tayhiap ingin meyakinkan semacam ilmu yang tiada tandingnya di kolong langit ini, maka beliau telah mengasingkan diri dan bersumpah takkan keluar dari Ok-jin-kok sebelum ilmu saktinya berhasil dicapainya.”

“Jika demikian, sekarang dia telah muncul, tentu ilmu saktinya telah berhasil dilatihnya?”

“Sudah tentu,” ujar Siau-hi-ji. “Setahuku, bila ilmu saktinya sudah jadi, hm, jangankan cuma Gui Bu-geh macammu, biarpun sepuluh Gui Bu-geh duga tiada artinya lagi. Apabila ilmu Ih-hoa-ciap-giok dibandingkan dengan ilmu sakti beliau ini pada hakikatnya mirip permainan anak kecil saja.”

Dia membual setinggi langit, padahal tiada satu pun yang benar.

Sungguh ia tidak habis mengerti mengapa mendadak Yan Lam-thian bisa muncul? Apakah penyakitnya sudah sembuh? Mungkin telah terjadi keajaiban yang mempercepat kesembuhannya atau ada seorang lagi mirip Loh Tiong-tat yang telah meminjam nama kebesaran Yan Lam-thian? Siapakah dia sebenarnya?

Meski dalam hati Siau-hi-ji merasa bimbang, tapi Gui Bu-geh jadi melenggong oleh bualan Siau-hi-ji tadi, nyata dia percaya penuh terhadap apa yang diuraikan anak muda itu.

Tapi sejenak kemudian, tiba-tiba Gui Bu-geh mengekek tawa.

“Apa yang kau tertawakan?” omel Siau-hi-ji dengan mendelik.

Gui Bu-geh terkekeh-kekeh, katanya, “Yang kutertawai ialah Yan Lam-thian. Sungguh konyol dia, dengan susah payah dia berlatih selama dua puluh tahun hingga jadilah ilmu saktinya ini, tapi akhirnya tiada gunanya sama sekali.”

“Mengapa tiada gunanya sama sekali?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebab sekarang dia tiada mempunyai lawan lagi. Ih-hoa-kiongcu dan diriku sudah jelas akan mati di sini, lalu apa gunanya ilmu sakti yang dilatih Yan Lam-thian itu?”

“Lantas bagaimana dirimu sendiri?” jengek Siau-hi-ji. “Kau pun bersusah payah selama dua puluh tahun dan ingin meyakinkan sejurus ilmu sakti, lalu bagaimana hasilnya? .... Huh, kau bergebrak dengan lawan saja tidak berani, bukankah ini lebih memalukan?”

“Hehe, memang betul, memang memalukan,” jawab Gui Bu-geh dengan tertawa. “Tapi aku toh akan mati, sedangkan Yan Lam-thian masih akan hidup terus, ilmu sakti yang telah dilatihnya dengan susah payah itu akhirnya tidak menemukan lawan seorang pun, inilah yang akan membuatnya konyol.”

Tiba-tiba So Ing bertanya, “Apakah Yan-tayhiap telah membunuh Kang Piat-ho?”

“Belum,” jawab Bu-geh.

“Mengapa Yan-tayhiap belum lagi membunuhnya?” tanya So Ing pula.

“Sebab dia hendak menahan Kang Piat-ho untuk Siau-hi-ji, ia ingin Siau-hi-ji yang membalas sakit hatinya dengan tangan sendiri.”

“Tapi kalau dia tidak dapat menemukan Siau-hi-ji, lalu bagaimana?” tanya So Ing.

“Sehari Siau-hi-ji tidak ditemukan olehnya, sehari pula nyawa Kang Piat-ho akan tertunda, bila sepuluh tahun dia tidak menemukan Siau-hi-ji, maka sepuluh tahun pula Kang Piat-ho akan hidup lebih lama.”

“Jika demikian, bukankah Kang Piat-ho akan … akan ....” Meski tidak dilanjutkan ucapan So Ing Ini, tapi maksudnya sudah cukup jelas.

“Memang betul, selamanya Kang Piat-ho akan hidup terus, sebab selamanya Yan Lam-thian takkan menemukan lagi Siau-hi-ji,” tukas Gui Bu-geh dengan tertawa. “Meski ilmu silat Yan Lam-thian sepuluh kali lebih tinggi daripada Kang Piat-ho, tapi dalam hal tipu muslihat dia tak dapat melawan Kang Piat-ho, ia selalu membawa Kang Piat-ho ke mana pun pergi, itu sama halnya seorang menuntun seekor harimau berkeliaran kian kemari, lambat atau cepat pada suatu hari jiwanya pasti akan melayang di tangan Kang Piat-ho.”

Siau-hi-ji menjadi gusar, dampratnya, “Dia telah mengampuni jiwamu, mengapa kau berbuat demikian padanya, apakah kau bisa dianggap sebagai manusia lagi?”

Bu-geh menengadah dan tergelak-gelak, ucapnya kemudian dengan gemas, “Meski dia tidak membunuhku, tapi dia telah mengusir seluruh anak muridku, bahkan mereka membawa serta semua harta bendaku, tindakannya ini tiada bedanya seperti membunuh aku.”

Baru sekarang Siau-hi-ji paham duduknya perkara, ia tertawa geli, katanya, “O, mungkin dia tidak cuma mengusir anak muridmu, mungkin juga kawanan tikus kesayanganmu itu pun dihalau lari semua, betul tidak?”

“Hm!” dengus Gui Bu-geh dengan menggereget.

“Kiranya kau merasa hidup ini tiada artinya makanya kau mengatur langkah terakhir ini. Coba kalau sehari-hari kau bersikap lebih baik terhadap anak muridmu itu, niscaya mereka takkan meninggalkanmu tatkala menghadapi kesulitan.”

Mendadak Gui Bu-geh menyeringai, ucapnya, “Tapi sekarang kalian akan mengiringi kematianku aku sangat gembira dan puas.”

“Kang Siau-hi-ji, kemari kau!” tiba-tiba Ih-hoa-kiongcu memanggilnya di sebelah sana. Sebenarnya Siau-hi-ji seperti ogah ke sana, tapi setelah berpikir, akhirnya ia melangkah ke sana, baru dua-tiga tindak, ia menoleh memandang So Ing.

Tampaknya So Ing ingin tahu bagaimana reaksi Gui Bu-geh, tapi tiba-tiba ia pun berubah pendirian, ia tersenyum manis terhadap Siau-hi-ji dan ikut melangkah ke sana.

Sinar mata Gui Bu-geh memancarkan perasaan benci dan dendam mengikuti bayangan muda-mudi itu, mendadak ia mendorong roda keretanya, sekarang keretanya meluncur masuk ke balik dinding sana. Segera dinding itu merapat kembali, halus dan rata tanpa meninggalkan suatu bekas apa pun.

Kedua Ih-hoa-kiongcu berdiri tegak di tengah-tengah ruangan itu, meski sikap mereka tetap dingin dan angkuh, tapi tampaknya telah berubah sedemikian kecilnya, menyendiri dan sangat memelas. Orang-orang yang pernah gemetar bila mendengar nama mereka, bila sekarang melihat keadaan mereka tentu takkan ketakutan lagi terhadap mereka.

Namun kedua Ih-hoa-kiongcu itu masih tetap berdiri tegak dan tidak mau duduk. Mereka selamanya seolah-olah tidak pernah duduk.

Ketika Siau-hi-ji mendekati mereka, tiba-tiba ia pandang mereka dengan tertawa, katanya, “Kalian masih berdiri saja di sini, sungguh terkadang timbul pikiranku ingin tahu bagaimana bentuk kaki kalian.”

Terkesiap dan gusar pula Ih-hoa-kiongcu, wajah mereka yang pucat menjadi rada merah.

Tapi Siau-hi-ji anggap tidak melihat, dengan tertawa ia menyambung lagi, “Sering kupikir kaki kalian tentunya tidak dapat membengkok, aku jadi ingin tahu jangan-tangan kaki kalian ini tanpa dengkul?”

Mendadak Kiau-goat Kiongcu berpaling ke sana, mungkin saking dongkolnya menjadi khawatir kalau-kalau hatinya tidak tahan dan sekali hantam bisa membinasakan anak muda itu.

Lian-sing juga memejamkan matanya, sejenak kemudian baru ia membuka mata dan berkata dengan tenang, “Tadi kami sudah memeriksa sekeliling ruangan gua ini.”

“O, apa yang kalian temukan?” tanya Siau-hi-ji.

“Segenap pintu keluar di sini memang betul sudah buntu,” tutur Lian-sing Kiongcu.

“Tanpa memeriksa juga kutahu apa yang dikatakan Gui Bu-geh pasti bukan gertakan belaka,” ujar Siau-hi-ji.

“Maka dari itu bila dalam sehari dua hari tak dapat keluar, andaikan tidak mati kelaparan juga pasti akan mati sesak napas di sini,” ucap Lian-sing pula.

“Adakah kalian mendapatkan akal baik untuk keluar?” tanya Siau-hi-ji.

“Pintu keluarnya semua terbuat dari batu raksasa dan tidak mungkin dibuka dengan tenaga manusia,” kata Lian-sing setelah berpikir sejenak. “Tapi kuyakin Gui Bu-geh pasti tidak sudi membunuh diri di sini.”

“Maka kau anggap dia pasti mempunyai jalan lari yang terakhir, begitu?” tukas Siau-hi-ji.

“Betul,” kata Lian-sing.

“Memangnya engkau menghendaki aku mencari jalan lolos ini?”

Lian-sing tidak menjawab, ia terdiam sejenak, lalu berkata, “Kupikir, mungkin kau mempunyai akal dan dapat memancing sesuatu pengakuan dari mulut Gui Bu-geh.”

“Kau kira aku mempunyai kemampuan sebesar itu?”

“Kukira kau mampu, jika dia tidak mau mengaku, boleh kau bunuh dia.”

“Mengapa kalian tidak turun tangan sendiri saja?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebabnya kan sudah dijelaskan oleh Gui Bu-geh.”

“Dalam keadaan begini masa kalian masih bicara tentang peraturan busuk begitu?”

“Sekali peraturan, tetap peraturan, mati pun tidak boleh berubah,” kata Lian-sing Kiongcu dengan tegas.

“Ai, jarang juga ada orang berkukuh pendirian seperti kalian ini, padahal seumpama kau ingin membunuh dia juga tidak dapat lagi, sekarang dia pasti sudah bersembunyi di tempat aman.”

“Tapi kalau aku menyatakan tidak ikut campur, bila kau menantang dia pasti dia akan keluar menghadapi kau,” Lian-sing pandang So Ing sekejap, lalu menyambung pula, “Kutahu dia sangat benci padamu, setiap kesempatan dapat membunuhmu pasti takkan disia-siakan olehnya.”

“Betul penglihatanmu,” ucap Siau-hi-ji. “Cuma sayang bilamana aku bergebrak dengan dia, yang bakal mati bukanlah dia melainkan diriku.”

“Aku pun tahu ilmu silatmu saat ini memang bukan tandingannya, tapi asalkan kuajari selama tiga jam maka dia pasti bukan lagi tandinganmu.”

“Oo, apa benar? Kau yakin? Rasanya aku tidak percaya!”

“Memangnya betapa hebat ilmu silat Ih-hoa-kiong dapat kau bayangkan?” ujar Lian-sing dengan mendongkol.

Siau-hi-ji termenung sejenak, mendadak ia bergelak tertawa.

Lian-sing menjadi gusar, dampratnya, “Memangnya aku bergurau denganmu?”

“Sudah tentu kutahu engkau tidak bergurau, tapi bicara kian kemari, nyatanya engkau melupakan sesuatu.”

“Sesuatu apa?” tanya Lian-sing.

“Untuk apa aku mesti membuang tenaga dan bersusah payah untuk menggempur Gui Bu-geh?”

Melengak juga Lian-sing Kiongcu, ucapnya kemudian, “Masa kau tidak ingin membunuh dia?”

“Tidak,” jawab Siau-hi-ji.

Kembali Lian-sing melengak, katanya, “Tapi kalau kau dapat merobohkan dia, lalu mengancam akan membunuhnya, mungkin dia akan mengatakan jalan keluar yang dirahasiakannya.”

“Tapi untuk apa pula harus kupaksa dia mengatakan jalan keluar?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Memangnya kau tidak ... tidak ingin keluar?”

“Untuk apa keluar? Bukankah di sini sangat menyenangkan?”

Tidak kepalang dongkol Lian-sing Kiongcu, ia menahan rasa gusarnya hingga muka pucat dan tidak sanggup bersuara pula.

“Aku kan sudah keracunan, cepat atau lambat pasti akan mati,” demikian ucap Siau-hi-ji dengan tenang. “Sekalipun kalian dapat menawarkan racunku akhirnya aku harus mati juga di tangan Hoa Bu-koat. Jika ke sana mati dan di sini juga mati, kan lebih baik kumati saja di sini, kulihat bakal kuburanku disini cukup mentereng.” Dengan terkikih-kikih lalu ia menyambung pula, “Apabila aku tidak mati di sini, kelak umpama kalian menaruh belas kasihan kepadaku dan mau membuatkan makam bagiku, kukira kuburan yang kalian bangun juga takkan semewah ini.”

Sejak tadi Lian-sing melotot pada Siau-hi-ji, setelah anak muda itu bicara, ia masih mendelik sekian lamanya, tiba-tiba ia berkata, “Jika kujamin kau pasti tidak akan mati di tangan Hoa Bu-koat, lalu bagaimana?”

Sorot mata Siau-hi-ji memancarkan cahaya gembira, jawabnya perlahan, “Bergantung pada apa yang akan kau katakan, bila kau jamin selanjutnya takkan memaksa aku mengadu jiwa dengan Hoa Bu-koat, maka aku ....”

Sekonyong-konyong Lian-sing menukas dengan suara bengis, “Pertarunganmu dengan Bu-koat sudahlah pasti dan tidak mungkin berubah ….”

“O, jika begitu, apa boleh buat biarlah kita menunggu kematian saja di sini.”

“Tapi jangan kau lupa, bila dapat kubuat ilmu silatmu melebihi Gui Bu-geh, tentu pula dapat mengalahkan Bu-koat. Kalau kau dapat membunuh Gui Bu-geh, tentu pula dapat membunuh Bu-koat.”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, “Betul juga ucapanmu. Cuma sayang aku tidak percaya.”

“Mengapa kau tidak percaya?” tanya Lian-sing.

“Hoa Bu-koat dibesarkan oleh kalian, dari kecil hingga besar tinggal di Ih-hoa-kiong, dia bukan saja murid kalian, pada hakikatnya seperti anak kalian. Sebaliknya aku adalah putra musuhmu, kalau saja aku tidak menyadari ilmu silatku jauh di bawah kalian, bukan mustahil setiap saat aku akan membunuh kalian. Sekarang kalian malah hendak mengajarkan ilmu silat padaku dan menyuruh aku membunuh murid kalian. Siapakah di dunia ini yang mau percaya pada ucapanmu ini?”

Lian-sing melirik sekejap pada sang kakak. Maka Kiau-goat lantas berkata, “Sudah barang tentu di balik persoalan ini ada ....”

Berkilau sinar mata Siau-hi-ji menantikan uraian Ih-hoa-kiongcu itu. Siapa tahu, baru sekian saja ucapannya, lalu berhenti dan tidak menyambung lagi.

Segera Siau-hi-ji bertanya, “Maksudmu di balik persoalan ini ada soal lain lagi, begitu?”

“Hmk!” Kiau-goat hanya mendengus saja.

“Jika kalian ingin kupercaya padamu, urusannya cukup sederhana, asalkan kalian mau menjelaskan seluk-beluk persoalan ini, maka apa pun yang kalian kehendaki pasti akan kulakukan.”

Air muka Kiau-goat Kiongcu yang selalu kaku dingin itu tiba-tiba timbul perubahan yang mengejutkan laksana gunung es yang mendadak longsor, bumi raya ini seakan-akan kiamat.

Siau-hi-ji menatapnya dengan tajam, katanya dengan tenang, “Apakah kalian lebih suka Gui Bu-geh menyaksikan kekonyolan kalian menjelang ajal daripada menceritakan rahasia ini kepadaku? Supaya kalian maklum bahwa seseorang kalau mendekati ajalnya, wah, macamnya itu sungguh konyol dan juga lucu, pasti akan menjadi tontonan yang menarik bagi Gui Bu-geh.”

Kiau-goat menggereget. Mendadak ia berpaling ke sana. Perlahan Lian-sing juga ikut membalik tubuh ke sebelah sana, mereka tidak ingin memandang Siau-hi-ji lagi dan juga tidak ingin mendengar sepatah katanya.

Dengan suara keras Siau-hi-ji berucap pula, “Kini jelas hanya ada jalan kematian bagi kita, mengapa kalian tetap tidak mau membeberkan rahasia ini, sesungguhnya kalian ingin menunggu sampai kapan?”

Seketika terdengar gema suara Siau-hi-ji yang berkumandang dari dinding istana di bawah tanah ini, “... kalian ingin menunggu sampai kapan ....” dan kakak beradik Ih-hoa-kiongcu entah sudah pergi ke mana lagi.

Siau-hi-ji termangu-mangu seperti patung hingga lama, tiba-tiba ia menoleh dan berkata kepada So Ing, “Sudah cukup banyak juga kau mengikuti persoalan ini, bukan?”

“Ya,” sahut So Ing dengan gegetun. “Sekarang kutahu Kang-pekbo (bibi Kang, maksudnya ibu Siau-hi-ji) semula adalah murid Ih-hoa-kiong, kemudian ... kemudian ....”

“Tidak perlu diragukan lagi ayah-bundaku pasti meninggal terbunuh oleh mereka,” ucap Siau-hi-ji dengan menggereget. “Waktu itu mereka tidak membabat rumput hingga akar-akarnya, baru sekarang mereka hendak membunuhku agar tidak menimbulkan bibit bencana di kemudian hari.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes