Wednesday, May 12, 2010

bgp7_part1

Jilid 7. Bahagia Binal

Belum lagi Li Toa-jui bersuara, tiba-tiba di atas ada orang berseru, “Sam-ci, Sam-ci, di mana kalian?”

Sambil mengernyitkan kening Buyung San mengomel, “Dia Thio Cing, mengapa setan cilik ini baru menyusul kemari sekarang?”

Maka ia lantas berseru menjawabnya, di tengah seruan itu tertampaklah Siau-sian-li Thio Cing berlari masuk, mukanya kelihatan merah penuh semangat, begitu berhadapan dengan Buyung San segera ia pegang tangannya, katanya dengan napas terengah-engah, “Aku melihat ... melihat seorang ... aku melihat seorang ....”

“Hanya melihat seorang saja kenapa mesti geger-geger begini?” omel Buyung San geli. “Setiap hari ada puluhan bahkan ratusan orang yang kulihat.”

“Tapi ... tapi orang ini ....” Mendadak Siau-sian-li tersenyum penuh rahasia, ia mengerling lalu bertanya malah, “Coba kau terka siapa orang ini, selamanya takkan dapat kau terka.”

“Memangnya siapa?” mau-tak-mau Buyung San jadi tertarik. Tiba-tiba tergerak hatinya, ia menjadi tegang dan menambahkan, “He, apakah kau lihat Siau-hi-ji.”

Pertanyaan ini mengakibatkan semua orang ikut tegang, semuanya terbelalak memandang Siau-sian-li dan menantikan jawabannya.

Dengan tertawa Siau-sian-li menjawab perlahan, “Ya, memang betul Siau-hi-ji. Kalian mencarinya ke sini, siapa tahu dia malah mendatangi kapal kita.”

“He, apa betul?!” seketika Han-wan Sam-kong melonjak girang dan kejut.

Siau-sian-li melototinya sekejap lalu berkata pula, “Meja perjamuan di sana belum lagi dibersihkan, sebab hendak menunggu kembalinya kalian untuk melanjutkan pestanya. Siapa menduga sampai lohor belum lagi nampak kalian kembali, tahu-tahu dari dalam sungai melompat keluar beberapa orang, begitu melompat ke atas kapal, tanpa tanya dan tanpa bicara mereka terus makan minum dengan lahapnya seperti setan kelaparan. Seorang di antaranya bahkan tidak pakai sumpit lagi, langsung kedua tangannya mengambil makanan yang tersedia. Dan dia itulah Siau-hi-ji.

“Buset, bisa jadi dia hampir gila saking kelaparan,” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

“Selain dia, masih ada siapa lagi?” segera Bu-koat ikut bertanya.

“Dengan sendirinya ada pula Ih-hoa-kiongcu,” jawab Siau-sian-li dengan tertawa. “Sungguh tak kusangka mereka masih kelihatan begitu muda. Bahkan baju mereka pun sangat aneh, meski baru melompat keluar dari air, ternyata tiada yang basah. Siau-hi-ji kelihatan tak keruan macamnya, tapi kedua Kiongcu itu tetap kelihatan anggun, tiada ubahnya seperti Sian-li (dewi kayangan).”

“Jika demikian, julukanmu seharusnya diberikan kepada mereka saja,” dengan tertawa Buyung San berseloroh.

Siau-sian-li berkedip-kedip, lalu bertutur pula, “Yang ikut datang bersama mereka masih ada lagi seorang anak perempuan, kepalanya tampak besar, sedikit pun tidak cantik, tapi mesra sekali dengan Siau-hi-ji.”

Keterangan ini membuat semua orang merasa heran pula, tanpa terasa semua orang memandang ke arah Thi Sim-lan. Nona itu kelihatan menggigit bibir dan sama sekali tidak berani mengangkat kepala.

Thi Cian menjadi gusar, teriaknya, “Bocah itu berani bermesraan dengan perempuan lain, memangnya anak perempuanku tak dapat menandingi perempuan buruk kepala besar itu?”

Dengan tertawa Siau-sian-li bercerita pula, “Diam-diam aku pun geli mengapa Siau-hi-ji yang suka mencemoohkan orang itu bisa penujui seorang nona macam begitu. Tapi kemudian makin dilihat makin kurasakan anak perempuan itu memang sangat menarik, setiap gerak-geriknya, setiap senyum tawanya, hampir boleh dikatakan tiada cacatnya sehingga membuat siapa pun pasti akan merasa kesengsem, sampai-sampai aku sendiri pun tergiur.”

Semakin gusar Thi Cian mendengar komentar Siau-sian-li itu, dia berteriak-teriak murka.

Buyung San juga heran, ia pandang Siau-sian-li lekat-lekat.

Hanya perempuan saja yang memahami isi hati perempuan. Sudah barang tentu bagaimana perasaan Siau-sian-li terhadap Siau-hi-ji cukup dipahami oleh Buyung San. Ia mengira bila Siau-sian-li melihat Siau-hi-ji bermesraan dengan perempuan lain, tentu hatinya akan tidak senang dan pasti akan memaki perempuan itu. Maka Buyung San sangat heran mengapa pikiran Siau-sian-li bisa berubah sejauh ini?

Ia tidak tahu bahwa hati Siau-sian-li kini sudah mempunyai sandaran, sudah terisi, baginya kini adalah saatnya yang paling manis, paling bahagia, maka terhadap sesamanya juga penuh rasa kasih sayang, ia tidak merasa benci lagi terhadap siapa pun.

Begitulah Buyung-toaci lantas berkata kepada sang suami, “Jika kapal kita kedatangan tamu, mari kita lekas pulang ke sana saja.” Dalam segala hal dia pasti minta dulu persetujuan sang suami, sebab ia pun tahu sang suami pasti akan setuju.

Segera Thi Cian pun berjingkrak dan berseru, “Betul, marilah kita berangkat sekarang juga, ingin kulihat betapa besar nyali bocah itu.”

“Ya, konon Ih-hoa-kiongcu sangat pintar berdandan dan merawat diri, aku pun ingin melihatnya,” kata si nenek Siau.

“Aku justru tidak percaya bahwa Kungfu mereka tiada tandingannya di dunia ini,” kata Ni Cap-pek.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong juga bergumam, “Sudah sekian lama tidak bertemu, entah bagaimana keadaan Siau-hi-ji sekarang, tentu sudah jauh lebih cakap.”

Ternyata ada yang ingin tahu bagaimana bentuk Ih-hoa-kiongcu yang termasyhur itu, ada juga yang ingin tahu bagaimana si cantik berkepala besar yang menjadi pacar Siau-hi-ji itu. Walaupun berbeda-beda alasan mereka, tapi sama-sama satu tujuan, yaitu ingin lekas-lekas kembali ke kapal sana.

Hanya Hoa Bu-koat saja, meski dia jauh lebih bernafsu daripada siapa pun agar bisa lekas-lekas bertemu dengan Ih-hoa-kiongcu dan Siau-hi-ji, tapi mengingat setelah bertemu dengan Siau-hi-ji mungkin mereka diharuskan duel lagi, maka ia pun berharap semoga tidak lagi bertemu dengan Siau-hi-ji untuk selamanya.

Mendadak terdengar Siau-sian-li berseru. “He, ceritaku belum lagi habis, kalian jangan buru-buru berangkat dulu!”

“Baiklah, lekas kau ceritakan, janganlah kau jual mahal,” omel Buyung San dengan tertawa.

Sinar mata Siau-sian-li tampak gemerdep, katanya kemudian, “Selain Ih-hoa-kiongcu, di atas kapal kita ada seorang tamu agung lagi.”

“Oo, Siapa dia?” tanya Buyung San.

Kembali Siau-sian-li memperlihatkan senyuman misterius, jawabnya, “Nama besar tamu agung ini pasti tidak di bawah Ih-hoa-kiongcu, apakah kalian tahu siapa dia?”

Belum habis ucapannya, semua orang sudah dapat menerka siapa gerangan yang dia maksudkan. Sebab di kolong langit ini hanya ada seorang saja yang namanya dapat disejajarkan dengan Ih-hoa-kiongcu.

Karena itulah tanpa terasa semua orang sama berseru, “Yan Lam-thian! Yan Lam-thian!”

Mendengar nama “Yan Lam-thian”, seketika To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan lain-lain sama pucat, kalau bisa mereka ingin mendadak tumbuh sayap dan terbang sejauh-jauhnya untuk menghindari pendekar besar ini.

Kakak beradik Buyung juga terkesiap. Sedangkan Ni Cap-pek saling pandang sekejap dengan Ji Cu-geh, katanya, “Sungguh tak tersangka Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian juga berada di sana.”

“Ini benar-benar dicari sampai kepala pecah tidak bertemu, di dapatkan tanpa buang tenaga apa pun,” tukas Ji Cu-geh.

“Tapi entah apa yang dilakukan mereka ketika Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian saling bertemu, kukira pemandangan waktu itu pasti sangat menarik,” ujar Kui-tong-cu.

Membayangkan bagaimana ketika kedua tokoh top dunia persilatan itu saling berhadapan, mau tak mau semua orang menjadi sangat tertarik dan menyesal tak dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

“Apakah Ih-hoa-kiongcu kakak beradik kenal Yan Lam-thian?” tiba-tiba si nenek Siau bertanya.

“Mereka seperti tidak kenal Yan-tayhiap, tapi begitu Yan-tayhiap muncul di atas kapal, agaknya semua orang sudah tahu siapa dia, sebab sikap dan gayanya itu tidak mungkin ditirukan oleh siapa pun,” tutur Siau-sian-li.

“Hm, orang lain pun belum tentu mau meniru dia,” jengek Kui-tong-cu.

Siau-sian-li tertawa, tuturnya pula, “Yang aneh ialah Siau-hi-ji, dia seperti tidak pernah melihat Yan Lam-thian, tapi begitu berada di atas kapal tanpa berkedip Yan-tayhiap lantas memandangi anak muda itu.”

“Dan bagaimana dengan Siau-hi-ji sendiri?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Siau-hi-ji juga menatapnya lekat-lekat dan tanpa terasa berbangkit. Selangkah demi selangkah Yan-tayhiap mendekatinya sambil bergumam, “Bagus, bagus ....”

“Satu kali bagus saja sudah cukup, kenapa kau berucap sebanyak itu?” ujar Buyung San dengan tertawa.

“Tapi sekaligus Yan Lam-thian telah berucap belasan kali,” kata Siau-sian-li. “Air matanya lantas berlinang-linang, hanya air matanya tidak sampai menetes. Siau-hi-ji tidak berucap apa-apa, dia terus berlutut dan menyembah. Yan Lam-thian lantas menariknya bangun dan berkata, ‘Apa yang telah kau lakukan hampir seluruhnya sudah kuketahui, kau tidak memalukan nama baik ayahmu’.”

Bercerita sampai di sini tanpa sadar air mata Siau-sian-li juga bercucuran. Nyata apa yang disaksikan waktu itu pasti sangat mengharukan hatinya.

Siau-sian-li telah menjadi pusat perhatian orang banyak, semua orang ikut dia keluar, karena asyiknya mereka mendengarkan ceritanya sehingga tanpa terasa mereka pun sudah sampai di luar gua.

Terdengar Siau-sian-li sedang menyambung pula. “Ih-hoa-kiongcu hanya memandangi mereka dengan sikap dingin. Sejenak kemudian barulah Kiongcu besar itu mendengus, ‘Bagus sekali, akhirnya kita bertemu juga’.”

“Dan Yan-tayhiap menggubrisnya tidak?” tanya Buyung San.

“Cukup lama barulah Yan-tayhiap berpaling ke arahnya dan berkata. ‘Dua puluh tahun yang lalu seharusnya kita sudah bertemu’. Kiongcu itu mendengus, ‘Apakah kau anggap sudah terlambat?’ Yan-tayhiap tidak menjawab, ia cuma menengadah dan menghela napas panjang.” Sampai di sini, tanpa terasa Siau-sian-li sendiri pun menghela napas.

“Lalu apa yang dikatakan Yan-tayhiap?” tanya Buyung San.

“Dia seakan-akan hendak melampiaskan duka derita selama dua puluh tahun dengan embusan napasnya itu, kemudian ia berkata, ‘Selama orang she Yan belum mati, maka tiada sesuatu yang terlambat’.”

“Lalu bagaimana?” Han-wan Sam-kong dan beberapa orang lagi tanya berbareng.

“Waktu itu mereka saling melotot dan setiap saat bisa saling labrak, cuma kedudukan mereka memang lain daripada yang lain, tidak dapat bergebrak begitu saja seperti orang biasa. Aku menjadi gelisah, entah bagaimana jadinya bilamana dua tokoh top persilatan saling gebrak, Jin-giok lantas menarikku ke pinggir dan menyuruhku lekas kemari untuk memberi kabar kepada kalian agar kalian lekas pulang ke sana.”

Menyinggung Koh Jin-giok, tanpa terasa sorot mata Siau-sian-li menampilkan rasa bahagia. Segera ia menyambung lagi, “Kata Jin-giok, kalian pasti akan menyesal selama hidup bilamana kesempatan menyaksikan pertarungan kelas tinggi ini tersia-sia oleh kalian.”

“Memang betul, malahan tidak cuma menyesal saja, bisa jadi seterusnya aku tidak dapat tidur nyenyak lagi,” seru Kui-tong-cu.

“Dan mereka sudah mulai bergebrak belum?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Entah, aku pun tidak tahu,” jawab Siau-sian-li.

“Semoga mereka tidak bergebrak dengan sungguh-sungguh,” ujar Han-wan Sam-kong.

“Sebab apa?” tanya Siau-sian-li.

“Kau tahu, dua ekor harimau berkelahi tentu salah satu akan mati atau terluka, bisa jadi malahan dua-duanya akan sama celaka. Maka akibat dari pertarungan mereka sungguh sukar kubayangkan. Akan lebih baik jika tidak menyaksikan pertarungan maut mereka.”

Dengan rasa terima kasih Bu-koat memandang Han-wan Sam-kong sekejap. Ia tahu bila pertarungan antara Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu jadi berlangsung, maka salah satu pihak pasti akan mati. Jika demikian jadinya, tak peduli pihak mana yang menang atau kalah, yang pasti permusuhannya dengan Siau-hi-ji juga akan semakin mendalam, mungkin akibatnya juga harus mati salah satu dan selamanya tidak dapat dilerai lagi.

Seketika mereka menjadi bungkam, suasana menjadi sunyi.

Selang sejenak, Ji Cu-geh menghela napas gegetun dan berkata, “Sungguh harus disayangkan apabila mereka sama-sama terluka atau gugur bersama.”

“Apakah kau berharap mereka akan menunggu kedatangan kita untuk bertanding denganmu, begitu bukan?” kata si nenek Siau dengan tertawa.

“Memangnya kau tidak ingin mencoba jurus baru ‘Hwe-hong-cap-pek-pian’ (delapan belas jurus pukulan permaisuri) hasil pemikiranmu itu?” tanya Ji Cu-geh.

“Sudah tentu aku ingin mencobanya,” ujar si nenek Siau dengan gegetun. “Tapi kalau menuruti pembicaraan mereka itu, agaknya permusuhan mereka sudah teramat mendalam. Kalau Yan Lam-thian sudah menunggu selama dua puluh tahun, setelah bertemu sekarang mana bisa diselesaikan dengan begitu saja?”

Ji Cu-geh juga menghela napas gegetun, katanya, “Jika kedua orang itu sudah mulai bergebrak, mungkin di dunia ini tiada seorang pun yang dapat memisahkan mereka.”

*****

Begitulah ketika mereka sudah berada kembali di tepi sungai sana, ternyata meja kursi di bangsal panjang itu sudah disingkirkan, hanya tersisa kertas hiasan serta “tui-lian” yang berkibar-kibar tertiup angin. Tapi di tanah lapang di depan bangsal panjang itu kini berjubel orang banyak entah apa yang sedang menjadi tontonan mereka, jangan-jangan di situlah Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu sedang bertanding.

Segera Han-wan Sam-kong mendahului menerjang ke sana, maksudnya hendak mendesak maju, tapi sebelum dia bertindak apa-apa, orang-orang itu segera menyingkir sendiri demi melihat datangnya rombongan mereka.

Ternyata Ih-hoa-kiongcu tidak berada di situ, malahan bayangan Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji juga tidak kelihatan.

Lantas ke manakah mereka? Apakah Siau-sian-li sengaja bercanda dan menggoda mereka?

Namun Siau-sian-li lantas mendahului berteriak, “He, di manakah mereka? Eh, Siau Man, ke mana mereka? Mana Koh-kongcu?”

Siau Man adalah pelayan pribadi Buyung San, setelah Siau-sian-li tinggal di tempat Buyung San, Siau Man lantas disuruh melayani dia. Genduk ini memang pintar dan cerdik, dalam hal omong juga dapat diandalkan.

Namun pertanyaan Siau-sian-li sesungguhnya terlalu cepat, juga terlalu banyak, maka Siau Man menjadi gelagapan. Setelah menenangkan diri barulah ia menjawab, “Seperginya nona, Yan ... Yan-tayhiap itu lantas duduk bersama tuan muda Siau-hi-ji, mereka minum arak bersama secawan demi secawan tanpa berhenti, bicara mereka pun tidak pernah berhenti. Kulihat mereka pasang omong hingga lama sekali, mendadak mereka bergelak tawa, habis itu lantas keduanya sama-sama menghela napas. Nona she So itu melayani mereka dengan menuangkan arak, tapi ketika nona So berpaling, kulihat air matanya lantas menetes.”

Siau-sian-li tahu yang dibicarakan Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji pastilah suka-duka masing-masing selama berpisah, namun ia pun bertanya, “Apa yang mereka bicarakan?”

“Suara bicara mereka tidak keras, ada yang sama sekali tak kudengar, ada sebagian kudengar, tapi hamba tidak paham artinya,” tutur Siau Man.

“Ai, dasar kau memang bodoh,” omel Siau-sian-li dengan tertawa.

Siau Man menunduk, katanya, “Meski hamba tidak dengar apa yang mereka bicarakan, tapi melihat sikap mereka, entah mengapa, hati hamba menjadi pilu dan ingin mencucurkan air mata.”

Teringat kepada nasib Siau-hi-ji dan Yan Lam-thian yang malang itu, seketika Han-wan Sam-kong juga merasa pedih dan terharu, teriaknya mendadak, “Benar, meski aku tidak dengar apa yang mereka bicarakan, tapi sekarang rasanya aku pun ingin meneteskan air mata.”

Siau-sian-li melototinya sekejap, lalu bertanya pula kepada Siau Man, “Waktu mereka bicara, bagaimana dengan Ih-hoa-kiongcu?”

“Ih-hoa-kiongcu duduk di sebelah sana, dia tidak memandang mereka, juga tidak gelisah, dia seperti sudah tahu bila Yan-tayhiap selesai bicara tentu akan mencari mereka.”

Semua orang saling pandang sekejap, dalam hati masing-masing sama gegetun, sebab mereka tahu Yan Lam-thian pasti akan perang tanding dengan Ih-hoa-kiongcu, sebab itulah dia perlu memberi pesan terakhir kepada Siau-hi-ji.

“Bicara mereka seperti tidak habis-habis, lebih-lebih tuan muda Siau-hi-ji itu seolah-olah tidak pernah berhenti bicara, selama hidupku tidak pernah melihat seorang lelaki yang suka bicara seperti dia, sungguh mirip seorang nenek yang bawel,” demikian Siau Man menyambung.

“Ai, akulah paham perasaannya,” ujar Han-wan Sam-kong dengan menyesal. “Justru lantaran Siau-hi-ji dapat memahami jalan pikiran Yan-tayhiap, maka dia sengaja banyak bicara untuk mengulur waktu ....”

“Jika begitu tentunya Yan-tayhiap juga dapat mengetahui maksudnya,” kata Siau Man.

“O, apa begitu?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Ya, sebab mendadak Yan-tayhiap lantas berdiri, ia tepuk-tepuk pundak Siau-hi-ji, katanya dengan tertawa, ‘Jangan khawatir, Yan-toasiokmu ini selamanya seratus kali bertempur seratus kali menang, lihat saja nanti’.”

“Hm, seratus kali tempur seratus kali menang, besar amat suaranya,” jengek Ji Cu-geh.

Han-wan Sam-kong juga mendengus, katanya, “Jika orang lain yang bilang begitu tentu Locu menganggapnya membual, tapi Yan Lam-thian yang omong, kukira siapa pun pasti percaya.”

Ji Cu-geh tidak menanggapi lagi, dia cuma menjengek saja.

“Tuan muda Siau-hi-ji memandang Yan-tayhiap, seperti mau omong apa-apa lagi. Tapi waktu itu juga Ih-hoa-kiongcu sudah berbangkit dan melangkah keluar,” demikian Siau Man menyambung ceritanya. “Segera Yan-tayhiap ikut keluar. Meski satu patah kata saja mereka tidak bicara, tapi entah mengapa, jantungku berdebar dan tegang luar biasa.”

Dasar Siau Man memang pintar bicara, kini dia sengaja bercerita lebih menarik sehingga pendengarnya ikut tegang seakan-akan menyaksikan sendiri kedua tokoh top dunia persilatan sedang berhadapan dan siap untuk duel.

Saat itu juga angin sungai meniup silir-semilir sehingga suasana bumi raya ini seolah-olah diliputi hawa pertempuran yang tidak kenal ampun.

Siau Man merinding, ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula, “Tapi sesudah keluar, mereka tetap tidak lantas bergebrak, mereka hanya berdiri berhadapan dalam jarak cukup jauh dan saling pandang melulu.”

“Yan Lam-thian tidak memakai senjata?” tanya Ji Cu-geh.

“Tidak, keduanya sama-sama tidak memakai senjata,” tutur Siau Man.

Ji Cu-geh berkerut kening, gumamnya, “Sudah lama kudengar ilmu pedang Yan Lam-thian tiada bandingannya, mengapa dia meninggalkan keunggulannya dan memilih cara yang bukan menjadi keahliannya. Memangnya selama ini dia telah berhasil meyakinkan sesuatu ilmu pukulan yang dia sendiri yakin dapat menandingi Ih-hoa-kiongcu?”

Hendaknya diketahui bahwa ilmu pukulan telapak tangan dan tenaga dalam Ih-hoa-kiongcu selama ini menjagoi dunia Kangouw dan hampir tiada ilmu pukulan lain yang mampu melawannya. Maka seharusnya Yan Lam-thian menghadapi Ih-hoa-kiongcu dengan ilmu pedang yang juga terkenal tiada tandingannya itu.

“Meski mereka bertangan kosong, tapi tampaknya mereka jauh lebih ganas daripada memakai senjata,” tutur Siau Man pula. “Tampaknya cukup dengan satu kali gebrak saja sudah dapat menentukan kalah-menang atau mati dan hidup. Karena tegangnya hamba telah memohon Koh-kongcu agar membujuk mereka supaya tidak jadi bertempur. Tapi Koh-kongcu tidak berani, katanya, ‘Meski kedua orang belum saling gebrak, tapi saat itu tenaga keduanya sudah terhimpun, jangankan orang lain hendak melerai mereka, asalkan mendekat saja mungkin bisa tergetar roboh oleh tenaga dalam mereka’.”

“Tampaknya Koh-kongcu itu cukup tajam juga penilaiannya,” kata si nenek Siau sambil melirik Siau-sian-li sekejap.

Siau Man lantas melanjutkan, “Waktu Koh-kongcu bisik-bisik bicara denganku, entah cara bagaimana mungkin tuan muda Siau-hi-ji itu pun dapat mendengarnya, tiba-tiba ia mendekati Koh-kongcu dan berkata padanya. ‘Apakah kau kira tiada seorang pun mampu melerai mereka?’”

“Setan cilik itu hendak main gila apalagi?” ujar Siau-sian-li.

“Koh-kongcu kelihatan ragu-ragu menghadapi tuan Siau-hi-ji itu, berulang-ulang Koh-kongcu cuma mengangguk saja, lalu tuan muda Siau-hi-ji berkata pula, ‘Apakah kau berani bertaruh denganku?’”

Siau-sian-li menjadi khawatir, katanya, “Setan cilik itu sangat licin. Sedangkan Koh-kongcu adalah orang jujur, mana boleh bertaruh dengan dia.”

“Mestinya Koh-kongcu juga tidak ingin bertaruh dengan dia,” tutur Siau Man pula. “Tapi tuan Siau-hi-ji itu lantas berkata ....”

“Berkata apa?” tukas Siau-sian-li.

Siau Man menunduk, jawabnya kemudian, “Kata ... katanya, ‘Memang sudah kuduga Koh-siaumoay pasti tidak berani bertaruh denganku. Ya, sudahlah’”

“Hahahaha!” mendadak Han-wan Sam-kong bergelak tertawa. “Sungguh tak nyana sedikit kepandaianku cara memancing orang bertaruh kini telah diwarisi seluruhnya oleh Siau-hi-ji. Dengan kata-kata pancingannya itu, mustahil Koh-siaumoay takkan bertaruh dengan dia.”

Siau-sian-li melototi Han-wan Sam-kong lagi, sementara itu Siau Man telah berkata, “Ya, memang betul, Koh-kongcu menjadi tidak tahan dan mau bertaruh dengan dia.”

Tentu saja Siau-sian-li tambah khawatir, cepat ia tanya, “Mengapa dia tidak sabar lagi seperti biasanya, lalu apa yang terjadi atas taruhan mereka?”

“Tuan Siau-hi-ji itu bilang, ‘Cukup aku berucap satu kalimat saja akan dapat membikin Ih-hoa-kiongcu batal bertempur, maka Yan-toasiok tentu juga tidak dapat bergebrak lagi sendirian.’ Sudah tentu Koh-kongcu tidak percaya.”

“Jangankan Koh-kongcu tidak percaya, malahan aku pun tidak percaya, andaikan aku yang ditantang bertaruh tentu juga akan kuterima,” sela si nenek Siau.

“Jika demikian, jelas engkau juga akan kalah,” ujar Siau Man gegetun, sampai di sini ia sengaja berhenti bercerita.

Sudah tentu orang banyak sangat ingin tahu sesungguhnya apa yang diucapkan Siau-hi-ji sehingga dapat membatalkan niat Ih-hoa-kiongcu berduel dengan Yan Lam-thian, sedangkan Siau-sian-li juga buru-buru ingin tahu apa yang telah mengalahkan Koh Jin-giok dalam taruhan itu.

Seketika pandangan semua orang tertuju pada Siau Man, semuanya menantikan lanjutan ceritanya.

Bahwa Siau Man bisa menjadi pelayan pribadi Siocia (anak putri) keluarga ternama, dengan sendirinya lantaran dia memang pintar dan cekatan, sejak kecil ia sudah belajar cara bagaimana menyelami isi hati dan kehendak sang majikan serta cara bagaimana menyanjungnya. Maka dia tidak bicara lain, tapi bercerita lebih dulu, “Tuan Siau-hi-ji menyatakan, bilamana dia kalah, maka terserahlah kepada Koh-kongcu hendak diapakan dia, sebaliknya jika Koh-kongcu yang kalah, maka tuan Siau-hi-ji boleh menyuruh Koh-kongcu berbuat sesuatu baginya.”

“Berbuat ... berbuat sesuatu urusan apa?” tanya Siau-sian-li.

“Tatkala itu dia tidak bilang, kemudian waktu dia katakan kepada Koh-kongcu juga tidak kudengar,” jawab Siau Man.

“Ai, dasar kau ini memang tidak becus, segala apa tidak tahu melulu,” omel Siau-sian-li.

“Padahal cukup banyak juga yang diketahuinya,” ujar si nenek Siau dengan tertawa.

“Betul,” sela Han-wan Sam-kong. “Lekas kau jelaskan sesungguhnya satu kalimat apa yang diucapkan Siau-hi-ji sehingga Ih-hoa-kiongcu benar-benar batal bergebrak dengan Yan Lam-thian.”

“Tuan muda Siau-hi-ji itu tidak langsung bicara kepada Ih-hoa-kiongcu yang siap bergebrak dengan Yan-tayhiap, tapi dia bergurau kepada Ih-hoa-kiongcu satunya yang lebih muda, katanya, ‘Sungguh sayang seribu sayang, apabila nanti aku bergebrak dengan Hoa Bu-koat, mungkin kalian kakak beradik tidak dapat menyaksikannya lagi.’.”

“Setelah mengucapkan kata-kata itu, apakah benar-benar Ih-hoa-kiongcu tidak jadi bergebrak dengan Yan Lam-thian?” tanya si nenek Siau.

“Ya, seketika mereka batal bertanding,” jawab Siau Man “Aku pun sangat heran, entah bagaimana bisa jadi begitu?”

Si nenek Siau menjadi heran juga, ucapnya, “Aneh, mengapa Ih-hoa-kiongcu berkeras ingin menyaksikan pertarungan Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat? Memangnya pertarungan ini akan jauh lebih menarik daripada pertarungannya melawan Yan Lam-thian?”

Ji Cu-geh kelihatan termenung, katanya kemudian, “Entah Kungfu lihai apa yang telah berhasil diyakinkan Yan Lam-thian sehingga dapat membatalkan niat Ih-hoa-kiongcu bertanding dengan dia?”

“Bukan Yan-tayhiap yang membuatnya batal bertanding, tapi kata-kata tuan Siau-hi-ji tadi,” tukas Siau Man.

“Budak bodoh, jangan banyak omong,” omel Buyung San, sudah tentu ia tahu apa artinya ucapan Ji Cu-geh.

Dengan tersenyum si nenek Siau lantas berkata pula, “Memang, kalau Ih-hoa-kiongcu ada harapan untuk menang, habis bertanding kan masih dapat menyaksikan pertarungan antara Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji, jika demikian halnya tentu dia tidak perlu batal bertanding dengan Yan Lam-thian, betul tidak?”

Siau Man berpikir sejenak, segera ia berkata dengan tersipu-sipu, “Ya, ya betul, sungguh bodoh aku ini.”

Maklumlah, bahwa mendadak Ih-hoa-kiongcu mau membatalkan niatnya bergebrak dengan Yan Lam-thian setelah mendengar ucapan Siau-hi-ji itu, jelas disebabkan ketika, berhadapan dengan Yan Lam-thian telah diketahui bahwa pendekar besar itu memiliki Kungfu yang sukar diukur, kemenangan baginya jelas sangat tipis.

Yang senantiasa dipikir Han-wan Sam-kong hanya Siau-hi-ji saja, urusan lain pada hakikatnya tak dipusingkannya. Segera ia tanya dengan suara keras, “Dan sekarang ke mana perginya tuan muda Siau-hi-ji?”

“Yan-tayhiap sudah berjanji dengan Ih-hoa-kiongcu untuk bertemu setiap pagi di atas puncak pada waktu sang surya belum terbit, pertemuan ini akan terus berlangsung hingga Ih-hoa-kiongcu menemukan Hoa-siauya itu, dan kemudian Yan-tayhiap akan pergi dengan membawa tuan muda Siau-hi-ji,” demikian tutur Siau Man.

“Lalu ke mana Ih-hoa-kiongcu?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Dengan sendirinya pergi mencari Hoa-siauya, bisa jadi mereka akan segera pulang ke sini,” jawab Siau Man, “Sebab Koh-siauya telah memberitahukan pada mereka bahwa Hoa-siauya pergi bersama dengan tuan-tuan dan nyonya-nyonya.”

Yang dipikirkan Siau-sian-li kini hanya Koh Jin-giok saja, segera ia pun bertanya, “Dan ke mana perginya Koh-siauya!”

“Koh-siauya kalah bertaruh dan kini sedang melakukan pekerjaan yang diberikan oleh tuan Siau-hi-ji,” tutur Siau Man.

“Sialan, masa si pengacau itu bisa menyuruhnya berbuat sesuatu yang baik? Mengapa dia mau menurut dan pergi begitu saja?” omel Siau-sian-li, ia menjadi cemas dan hampir-hampir saja menangis.

Sejak tadi Buyung San memandangi tingkah laku Siau-sian-li, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Adikku yang baik, selamat ya padamu.”

“Orang gelisah setengah mati, kau memberi selamat urusan apa?” gerutu Siau-sian-li.

“Koh-siaumoay kan bukan sanak keluargamu, mengapa kau cemas baginya?” ujar Buyung San dengan tertawa.

Kembali Siau-sian-li mengomel, “Dia kan punya nama, mengapa kalian suka memanggil dia Koh-siaumoay?”

Buyung San mengikik tertawa, jawabnya, “Sebutan Koh-siaumoay kan kau sendiri yang memberinya, sekarang malah kau larang orang lain memanggilnya demikian, sungguh aku menjadi heran apa sebabnya? Aha, baru satu hari tidak bertemu agaknya hubungan kalian sudah lain daripada biasanya.”

Siau-sian-li menunduk, mukanya merah jengah, katanya, “Kami ... kami ....”

Buyung San mencolek pipi Siau-sian-li sambil mengomel, “Masa kau hendak mengelabui kami, budak setan. Arak bahagiamu ini harus kau sediakan.”

Mendadak Buyung Siang menyela, “He, kan tiada perkelahian lagi, untuk apa kalian berkerumun di sini? Memangnya di sini mendadak tumbuh setangkai bunga?”

“Kalau tanah tumbuh bunga kan biasa, jika tumbuh bakpau, inilah yang aneh,” ujar Siau Man dengan tertawa.

“Bakpau apa katamu?” Buyung Siang melengak juga. Waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya di tanah datar sana ternyata ada segundukan tanah sehingga dipandang dari jauh seperti sepotong bakpau tanah.

“Budak bodoh, memangnya apanya yang menarik dan membuatmu heran?” ujar Buyung Siang dengan tertawa.

“Nyonya tidak tahu, apa yang terjadi di situ justru sangat aneh, benar aneh,” tutur Siau Man. Mendadak ia lari ke atas gundukan tanah itu, lalu berkata pula, “Di sinilah tadi Ih-hoa-kiongcu berdiri. Waktu dia berdiri di sini, tempat ini sebenarnya datar seperti tempat lain. Akan tetapi belum seberapa lama dia berdiri di sini, lambat-laun tanah tempat dia berinjak ini lantas mulai menyembul, seperti bekerjanya ragi pada tepung gandum yang mulai melar.”

Semua orang merasa geli dan juga terheran-heran oleh cerita Siau Man ini. Malahan Ji Cu-geh, Ni Cap-pek dan lain-lain segera memburu ke sana untuk memeriksa bakpau tanah yang menyembul itu, bahkan cara memeriksa mereka sedemikian teliti dan diulangi berkali-kali seakan-akan di atas gundukan tanah itu benar-benar tumbuh bunga yang indah.

Ji Cu-geh dan lain-lain tampak terkesiap, ucap mereka beramai-ramai. “He, memang betul ... Wah mana mungkin ini?.... Sungguh tak tersangka benar-benar ada orang berhasil meyakinkannya.”

Serentak orang banyak lantas berkerumun ke sana, kini baru diketahui di atas gundukan tanah itu ada bekas sepasang kaki, cuma bekas tapak kaki ini tidak mendekuk ke bawah, sebaliknya menjembul ke atas.

Jika ada pertarungan dua tokoh silat kelas tinggi yang mengerahkan segenap tenaga dalamnya, sering memang kakinya akan meninggalkan bekas tapak kaki yang dalam, ini tidak perlu diherankan. Tapi bekas tapak sekarang ini muncul ke atas, inilah kejadian aneh yang jarang terlihat.

Gemerdep sinar mata Buyung San, katanya kemudian, “Jangan-jangan Ih-hoa-kiongcu telah berhasil meyakinkan semacam ilmu mahasakti?”

“Betul,” ujar Ji Cu-geh dengan gegetun, “Meski ilmu sakti yang berhasil diyakinkannya ini belum dapat dikatakan tiada bandingnya sejak dulu hingga kini, tapi paling sedikit boleh dikatakan dapat menjagoi dunia persilatan jaman ini.”

“O,” Buyung San melongo heran.

“Apakah kalian melihat kedua tapak kaki ini?” tanya Ji Cu-geh. Ia tahu semua orang tentu sudah melihatnya, maka tanpa menunggu jawaban ia sendiri lantas menyambung pula, “timbulnya bekas tapak kaki ini disebabkan waktu dia mengerahkan tenaga dalamnya bukan dipancarkan keluar, sebaliknya malah ditarik ke dalam, benda apa pun bila tersentuh olehnya akan tersedot seperti terisap oleh besi sembrani.”

“Jika demikian, jadi tenaganya takkan pernah terkuras habis, sebaliknya akan terus bertambah, makin banyak digunakan makin besar pula kekuatannya,” tukas Buyung San.

“Memang betul begitu,” kata Ji Cu-geh. “Waktu bertanding dengan orang, tenaga yang digunakannya akan semakin besar, sebaliknya pihak lawan pasti akan semakin berkurang. Sebab itulah seumpama seorang yang sama kuatnya bertanding dengan dia, pada akhirnya juga pasti akan kalah.”

“Wah, Kungfu macam apakah namanya itu?” tanya Buyung San dengan terkesiap.

“Beng-giok-kang,” sela si nenek Siau. “Hanya Beng-giok-kang yang sudah mencapai tingkatan kesembilan barulah ada gejala aneh ini, sebab pada tingkatan ini seluruh hawa murni dalam tubuhnya telah terbentuk menjadi semacam pusaran, benda apa pun kalau menyentuhnya pasti akan digulung oleh tenaga pusaran itu, sama halnya seperti seorang yang berenang mendadak bertemu dengan air pusaran.”

“Seorang yang menyentuh dia, apakah hawa murni sendiri juga akan terisap oleh pusaran tenaga murninya itu?” tanya Buyung San.

“Jika tenaga perlawanan tidak cukup kuat, tentu saja sukar menghindari hal begitu,” tutur si nenek Siau.

“Kalau begitu asalkan sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti ini, tiada tandingannya lagi di kolong langit ini?” kata Buyung San.

Seketika si nenek Siau saling pandang dengan Ni Cap-pek dan lain-lain, semuanya tampak lesu.

“Memang betul, sesungguhnya tiada tandingannya lagi dia, kedatangan kami ini jadi sia-sia belaka,” ujar Ji Cu-geh dengan menyesal.

“Bila betul dia sudah tiada tandingannya, dengan sendirinya Yan Lam-thian juga bukan tandingannya,” kata Buyung San. “Lalu apalagi yang dia khawatirkan atas lawan itu? Memangnya Yan Lam-thian juga sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti yang sama?”

“Tidak mungkin,” kata si nenek Siau. “Sebab orang yang sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti ini, hawa murni dalam tubuhnya akan terbentuk hawa pusaran dan akan punya daya serap yang keras, dua orang yang memiliki ilmu sakti yang sama ini tidak mungkin berakhir begini saja dalam pertarungan mereka.”

“Habis mengapa mereka mendadak urung bertanding?” kata Buyung San pula.

“Ini hanya ada suatu penjelasan,” ujar si nenek Siau dengan prihatin, “Yakni, karena Yan Lam-thian juga telah berhasil meyakinkan semacam ilmu sakti yang dapat menandingi Beng-giok-kang.”

“Masa di dunia ini masih ada ilmu sakti yang dapat melawan Beng-giok-kang?” tanya Buyung San.

“Ada,” jawab si nenek Siau.

“Ilmu sakti apa itu?” tanya Buyung San.

“Keh-ih-sin-kang (ilmu sakti pindah baju)?” Buyung San menegas. “Sungguh aneh nama ini.”

“Ya, sebab kalau ilmu sakti ini sudah berhasil diyakinkan dengan baik, maka hawa murni dalam tubuh akan berkobar seperti bara, bukan saja dirinya sendiri tidak dapat menggunakannya, sebaliknya siang dan malam akan tersiksa, penderitaannya sungguh sukar untuk ditahan, jalan satu-satunya agar terhindar dari siksa derita bergolaknya hawa murni yang membara itu ialah menyalurkan tenaga dalam itu kepada orang lain,” si nenek Siau menghela napas gegetun, lalu menyambung pula, “Tapi untuk bisa berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang ini sedikitnya diperlukan ketekunan berlatih selama dua puluh tahun, lalu siapakah yang rela memberikan hasil jerih payah itu kepada orang lain dengan begitu saja?”

“Sebab itulah pernah ada cerita di dunia Kangouw jaman dulu, bahwa bila kau ingin membuat susah orang lain, ajarkanlah ilmu Keh-ih-sin-kang itu padanya agar dia menderita selama hidup,” demikian Jin Cu-geh menyambung.

“Jika demikian, memang benar Yan-tayhiap telah berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang, bukankah sebelum dia berhadapan dengan Ih-hoa-kiongcu, lebih dulu dia sudah mati tersiksa oleh ilmu sakti yang diyakinkannya itu?” ujar Buyung San.

“Tapi bila Keh-ih-sin-kang itu disalurkan kepada orang kedua, orang pertama akan tamat seperti kehabisan minyak, sebaliknya orang kedua akan menerima manfaat sepenuhnya dari ilmu sakti itu,” ujar Ji Cu-geh.

“O, maksud Cianpwe, ada orang berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang, lalu menyalurkan kepada Yan-tayhiap, begitu?” tanya Buyung San.

“Tidak, sebab setelah mengalami penyaluran begitu, daya sakti Keh-ih-sin-kang juga akan banyak berkurang dan tak dapat disejajarkan lagi dengan Beng-giok-kang,” kata Ji Cu-geh.

Buyung San menjadi bingung. Ia pandang sekejap semua orang, tapi orang lain justru menunggu pertanyaannya lagi, sebab dia memang pintar bicara, cepat dan tepat pula pokok pertanyaannya, maka orang lain pun membiarkan dia bicara.

Syukurlah Ji Cu-geh lantas menyambung lagi, “Maklumlah, hanya orang yang memiliki kecerdasan yang luar biasa barulah dapat menciptakan Kungfu yang bergaya khas tersendiri. Orang yang menciptakan Keh-ih-sin-kang ini lebih-lebih harus dipuji, jika ilmu sakti ini benar-benar cuma untuk dipindahkan kepada orang lain, lalu untuk apa diciptakannya dengan susah payah?”

Semua orang merasa di balik ucapannya ini pasti ada arti lain, maka mereka hanya mendengarkan saja agar si kakek menyambung pula.

Sejenak kemudian baru Ji Bu-geh melanjutkan, “Pada umumnya orang hanya tahu Keh-ih-sin-kang tidak boleh dipelajarinya, mereka tidak tahu bahwa ilmu sakti ini tentu saja boleh dipelajari oleh siapa pun juga, hanya saja ada kuncinya bila ingin meyakinkan ilmu sakti ini dengan baik.”

Buyung San merasa ada kesempatan untuk buka suara, cepat ia bertanya, “Apa kuncinya?”

Ji Cu-geh lantas menguraikan cara meyakinkan Keh-ih-sin-kang itu, katanya “Karena ilmu ini terlalu keras sifatnya, maka bila latihan sudah mencapai enam-tujuh bagian, seluruh kekuatan latihan itu perlu dimusnahkan, habis itu mulai lagi melatihnya dari awal.”

“Cara ini seperti halnya seorang yang makan buah persik, karena ketidaktahuan, persik dimakan bulat-bulat bersama kulitnya yang keras, akibatnya mati keselek, maka orang lantas bilang buah persik tidak boleh dimakan. Orang tidak tahu bahwa persik justru sangat enak dimakan, soalnya cuma cara makannya yang salah, harus dikuliti dahulu dan baru dimakan bijinya,” kata si nenek Siau dengan tertawa.

“Sesudah mengalami gemblengan begitu,” sambung Ji Cu-geh, “bila dilatih lagi, maka ketajaman hawa murni ilmu itu akan banyak berkurang, namun tidak mengurangi daya saktinya, apalagi sudah dua kali melatihnya, dengan sendirinya orang akan lebih kenal sifat ilmu sakti yang keras ini dan dapat menggunakan dengan sepenuhnya serta sesuka hatinya.”

“Akan tetapi, untuk bisa mencapai enam-tujuh bagian ilmu sakti Keh-ih-sin-kang itu juga diperlukan ketekunan latihan lebih lama, lalu siapa yang rela membuang hasil jerih payah yang telah dikumpulkannya itu?” kata Cu-geh pula.

“Makanya kalau tidak mempunyai tekad yang bulat dan kesabaran yang penuh, tiada mungkin orang dapat meyakinkan Kungfu mahatinggi ini,” tukas si nenek Siau.

Sampai di sini barulah Kui-tong-cu menimbrung dengan menghela napas gegetun. “Semua ini membuktikan bahwa Yan Lam-thian memang benar-benar seorang yang berbakat luar biasa dan tiada bandingnya, untung kita belum sempat mencari dia untuk bertanding, kalau tidak tentu kita bisa mati konyol.”

Secara teori memang benar seperti apa yang diuraikan Ji Cu-geh tadi, mereka tidak tahu bahwa praktiknya ternyata tidak terjadi sebagaimana dugaan mereka. Sebab waktu Yan Lam-thian meyakinkan Keh-ih-sin-kang, sama sekali tiada maksud hendak memusnahkannya untuk kemudian mengulangi latihan lagi. Watak Yan Lam-thian memang keras, kepala batu. Ia menganggap apa yang tak dapat diperbuat orang lain pasti dapat dilakukannya.

Sebab itulah dia bertekad akan menguasai Keh-ih-sin-kang dengan segenap kekuatannya, siapa tahu, belum lagi Kungfunya terlatih sempurna, lebih dulu dia sudah mengalami nasib malang di Ok-jin-kok, seluruh tenaga dalamnya telah musnah.

Tapi masih mujur juga baginya, waktu itu sebenarnya To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan lain-lain bermaksud membunuhnya, tak terduga peristiwa itu malah membantunya. Sebab setelah mereka mengeroyok dan menghajarnya, ketajaman tenaga murni Keh-ih-sin-kang yang sudah mencapai enam-tujuh bagian sempurna itu telah menjadi punah, padahal ilmu sakti itu memang harus dilatih secara berulang, dimusnahkan untuk kemudian dilatih lagi, dengan demikian barulah dapat mencapai tingkatan paling sempurna tanpa menyiksa diri orang yang melatihnya.

Jadi seperti sebatang pohon, mereka telah memotongnya sampai bongkotnya, tapi tidak tahu bahwa di bawah tanah masih tersisa akarnya.

Kalau bukan begitu, sekalipun Yan Lam-thian tidak binasa, tentu juga tiada ubahnya seperti orang cacat, mana bisa lagi pulih tenaga dalamnya. Bahkan lebih lihai daripada sebelumnya.

Begitulah Buyung San melenggong gegetun hingga sekian lamanya, kemudian ia tanya pula, “Tapi dari manakah kalian mengetahui Yan-tayhiap sudah berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang?”

“Jika kau bertempur dengan orang, asalkan seluruh tenagamu terhimpun, mungkin di tempat kau berpijak juga akan meninggalkan bekas kakimu,” kata Ji Cu-geh.

“Betul, bila berdiri di tanah seperti ini pasti akan meninggalkan bekas tapak kaki, cuma saja takkan terlalu mendekuk,” jawab Buyung San setelah berpikir.

“Tapi tempat berdiri Yan Lam-thian ternyata tidak meninggalkan bekas setitik pun, apakah ini berarti kekuatannya tidak dapat dibandingkan kau?” tanya Ji Cu-geh.

Buyung San tertawa, jawabnya, “Jika kekuatan Yan-tayhiap lebih rendah daripadaku tentu sudah dulu-dulu Ih-hoa-kiongcu membinasakan dia.”

“Memang begitulah, justru lantaran Yan Lam-thian sudah dapat menguasai tenaga dalamnya dengan sesuka hatinya, bila tidak terpakai, setitik pun takkan tersalur keluar, maka tempat berdirinya tiada meninggalkan bekas apa pun jua,” kata Ji Cu-geh.

“Dan lantaran tenaga dan badannya sudah terlebur menjadi satu, segala tenaga dari luar tidak dapat menggoyahkannya sedikit pun, maka biarpun Ih-hoa-kiongcu sudah berhasil meyakinkan Beng-giok-kang hingga puncaknya juga tak berdaya terhadap Yan Lam-thian,” sambung si nenek Siau.

Buyung San menghela napas, ucapnya, “Setelah mengikuti uraian para Cianpwe ini, baru sekarang pikiran kami benar-benar terbuka.”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Siau Man berseru di sana, “Koh-siauya, lekas engkau masuk kemari, ada orang sedang mengkhawatirkan engkau.”

Waktu mereka berpaling, benar saja Koh Jin-giok telah melangkah masuk.

Siau-sian-li melototi Siau Man, tapi ia lantas tertawa geli sendiri. Jika orang lain bisa jadi malu, tapi dia tidak pedulikan soal-soal begitu, segera ia menyongsong ke sana sambil mengomel, “He, ke manakah kau, mengapa tidak meninggalkan sesuatu pesan.”

Muka Koh Jin-giok tampak merah lagi, jawabnya dengan tergagap, “Aku ... aku harus melakukan sesuatu bagi Siau-hi-ji.”

“Masa ada urusan baik yang dia berikan padamu, mungkin kau tertipu lagi olehnya,” ujar Siau-sian-li.

“Tidak,” kata Koh Jin-giok dengan gegetun. “Baru sekarang kutahu dulu kita telah salah paham padanya, sesungguhnya dia bukan orang jahat.”

Siau-sian-li berkedip-kedip heran, katanya, “Wah, hebat juga kepandaian setan cilik itu, entah dengan cara bagaimana dia berhasil mengubah pandanganmu padanya.”

“Kau tahu apa yang telah terjadi?” tanya Koh Jin-giok. “Kang Piat-ho dan anaknya telah bersekongkol hendak menjebak Yan-tayhiap. Mereka pura-pura tidak saling kenal, dengan demikian Kang Giok-long akan mencari kesempatan untuk menolong ayahnya, bila ada kesempatan mereka pun dapat turun tangan keji terhadap Yan-tayhiap.”

“Memang sudah sejak dulu kutahu kedua ayah beranak itu bukan manusia baik-baik,” kata Siau-sian-li dengan gemas.

“Tapi sejak pengalamannya di Ok-jin-kok, Yan-tayhiap sekarang sudah berbeda jauh daripada dulu,” tutur Koh Jin-giok pula. “Dengan cepat Yan-tayhiap telah memusnahkan ilmu silat kedua jahanam itu, lalu mengurung mereka di suatu gua agar nanti Siau-hi-ji dapat menuntut balas dengan tangan sendiri bagi ayah bundanya.”

Siau-sian-li bertepuk gembira, katanya, “Haha, tak tersangka kedua jahanam itu akan berakhir dengan nasib begini, sungguh sangat menyenangkan.”

“Tapi kalau tiada Siau-hi-ji, siapa pula yang tahu bahwa Kang Piat-ho dan Kang Giok-long adalah manusia yang begitu licik, keji dan jahat,” ujar Koh Jin-giok.

“Betul, selama hidupnya baru sekali ini dia telah berbuat sesuatu yang baik,” kata Siau-sian-li. “Tapi apa yang kau kerjakan baginya?”

“Dia suruh aku melepaskan Kang Piat-ho berdua,” jawab Koh Jin-giok.

“Apa? Lepaskan mereka?” seru Siau-sian-li terkejut.

“Ya, bukan cuma disuruh aku melepaskan mereka, bahkan aku diharuskan mengatur suatu tempat bagi kehidupan mereka selanjutnya, sebab mereka sudah cacat selama hidup, tiada tenaga buat cari makan lagi,” setelah menghela napas, lalu Koh Jin-giok menyambung pula, “Apalagi orang yang biasa berkecimpung di dunia Kangouw tentu banyak musuhnya, jika orang tahu ilmu silat mereka sudah punah, tentu musuh-musuhnya akan mencari dan menuntut balas pada mereka. Karena itulah jelas mereka tidak dapat pulang ke rumah, untuk inilah Siau-hi-ji minta aku mengatur suatu jalan hidup bagi mereka dengan menerima mereka sebagai tukang kebun di rumahku. Dengan demikian hidup mereka tidak sampai merana dan takkan mati kedinginan atau kelaparan, juga tidak perlu khawatir musuh-musuhnya akan mencari dan menuntut balas pada mereka.”

Siau-sian-li jadi melengak, tanyanya kemudian, “Kang Piat-ho telah mengkhianati ayah bundanya, dia sendiri tidak membalas dendam, sebaliknya malah khawatir orang lain menuntut balas pada Kang Piat-ho. Sesungguhnya bagaimana jalan pikiran setan cilik yang tidak genah itu?”

“Meski Kang Piat-ho berbuat salah terhadap ayah-bundanya, tapi Siau-hi-ji menganggap hukuman ini sudah cukup baginya. Ia anggap pendapat ‘dendam harus dibalas, utang darah harus dibayar darah’ bukan lagi jalan pikiran yang sehat. Banyak orang Kangouw telah dikuasai oleh jalan pikiran demikian sehingga banyak perbuatan bodoh telah terjadi, maka Siau-hi-ji bertekad takkan berbuat seperti itu lagi.”

“Sakit hati orang tua setinggi langit, tapi dia tidak menuntut balas, apakah tindakannya ini dapat dipuji?” ujar Siau-sian-li.

“Dia anggap menuntut balas tidak perlu dibalas dengan membunuh musuhnya,” tutur Koh Jin-giok. “Apalagi ia pun tidak ingin membunuh orang yang cacat, bisa jadi orang akan menganggap jalan pikirannya ini keliru, tapi ia merasa pendiriannya itulah yang benar, asalkan hati sendiri benar, apa komentar orang lain terhadapnya pada hakikatnya tidak menjadi soal baginya.”

“Dan kau juga anggap ....”

Belum lanjut ucapan Siau-sian-li, dengan sungguh-sungguh Koh Jin-giok berkata, “Aku pun anggap benar pendiriannya. Entah sudah berapa banyak korban akibat ‘dendam’, setiap hari entah berapa orang yang mati konyol saling membunuh karena dendam permusuhan. Jika jalan pikiran semua orang bisa sama seperti jalan pikiran Siau-hi-ji, kupercaya umat manusia di dunia ini pasti akan hidup damai dan bahagia.”

Dia pandang lekat-lekat pada Siau-sian-li, lalu berkata pula dengan suara lembut, “Tuhan menciptakan manusia kan bukan menghendaki mereka saling bermusuhan dan saling membunuh, betul tidak?”

“Jika begitu mengapa bukan dia sendiri yang melepaskan mereka?” tanya Siau-sian-li.

“Dia khawatir Yan-tayhiap tidak menyetujui jalan pikirannya, maka sementara tidak ingin diketahui oleh Yan-tayhiap,” tutur Koh Jin-giok.

“Nah, rupanya dia tetap main licik dan tetap membohongi orang,” kata Siau-sian-li.

“Betul, dia memang sering berbuat licik dan menipu orang, tapi pada dasarnya dia bermaksud baik, kuyakin setiap orang yang bisa berpikir secara bijaksana tentu takkan merasakan tindakannya itu salah.”

Untuk sejenak Siau-sian-li termangu-mangu, katanya kemudian sambil menyengir, “Dia memang orang yang sangat aneh, sungguh sukar dibedakan sebenarnya dia orang baik atau orang jahat.”

Mendadak Ji Cu-geh berkata dengan tertawa, “Meski aku tidak kenal dia, juga tidak tahu sebenarnya dia orang baik atau jahat, tapi kutahu bila orang Kangouw semuanya serupa dia, maka kami pasti tidak perlu menyingkir jauh ke pulau terpencil di luar lautan sana.”

Han-wan Sam-kong bertepuk, katanya, “Buset, memang betul. Jika orang jahat seperti Siau-hi-ji bertambah banyak, aku rela seterusnya tidak pegang kartu lagi.”

“Wah, mana boleh jadi, lalu selanjutnya dengan siapa kami harus bertaruh?” kata Buyung San dengan tertawa.

“Aku kan bilang tidak pegang kartu dan tidak bilang tidak main dadu,” ujar Han-wan Sam-kong.

Maka bergelak tertawalah semua orang.

Setelah mengalami ketegangan selama dua hari dua malam, baru sekarang semua orang merasa lega. Hanya Hoa Bu-koat saja, tampaknya bertambah berat perasaannya.

Betapa pun Bu-koat tidak tega mencelakai Siau-hi-ji, bahkan ia lebih suka dirinya sendiri yang terbunuh oleh Siau-hi-ji. Sudah tentu ia tidak tahu, meski dia tidak sayang mengorbankan jiwanya sendiri, namun hidup Siau-hi-ji pasti akan bertambah merana.

Tiada seorang pun yang dapat hidup tenteram setelah membunuh saudara kandung sendiri. Mereka sudah ditakdirkan akan berakhir dengan suatu tragedi dan tampaknya tragedi ini tak dapat diubah oleh siapa pun juga.

Di tengah suasana ramai-ramai tadi, siapa pun tidak memperhatikan Li Toa-jui, To Kiau-kiau, Pek Khay-sim dan lain-lain diam-diam bolos di tengah jalan.

Setelah mengetahui kemunculan kembali Yan Lam-thian, sekalipun kuduk mereka diancam dengan golok juga mereka tidak berani lagi ikut kembali ke sana.

Pek-hujin yang bukan anggota Cap-toa-ok-jin kini juga selalu berada di sisi Pek Khay-sim.

Setelah digampar oleh Toh Sat tadi, kini sebelah muka Pek Khay-sim menjadi merah bengkak sampai-sampai mulutnya juga setengah merot, darah masih merembes keluar dari ujung mulutnya.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes