Wednesday, May 12, 2010

bgp2_part1

Dengan tertawa Giok-long menjawab, “Untuk ini kiranya Hi-heng tidak perlu ikut risau, beberapa hari terakhir ini saku Siaute sedang seret, bilamana ada arwah gentayangan berani merecoki diriku, kebetulan akan dapat kujual dia untuk membeli arak .... Apalagi, sebenarnya tadi Siaute juga tidak sendirian.”

Kalimatnya yang terakhir ini barulah mulai memasuki pokok persoalannya. Tapi Siau-hi-ji sengaja berlagak tidak paham dan bertanya, “O, memangnya siapakah yang menemanimu di sini?

Dengan terkekeh Giok-long menjawab, “Seorang di antaranya seperti she Hoa, rasanya Hi-heng kenal dia.”

“O, Hoa Bu-koat maksudmu?”

“Ya, betul dia,” seru Giok-long tertawa.

“Kebetulan memang hendak kucari dia untuk suatu urusan, entah berada di mana dia sekarang?”

“Kutahu, dia dan kakak Hi ada sedikit persoalan, khawatir dia akan mencari perkara lagi padamu, maka ada niatku hendak membantu Hi-heng untuk membinasakan dia.”

“Haha, bilamana Kang-heng benar-benar membunuh dia, Siaute jadi hemat tenaga juga ....” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Betapa pun membunuhnya kan lebih mudah daripada menanyai keterangannya, betul tidak?”

Giok-long juga tertawa, katanya, “Tapi kemudian Siaute berpikir pula, jangan jangan Hi-heng ingin membunuhnya dengan tangan sendiri, lalu bantuanku bukankah salah alamat? Sebab itulah hanya kuberinya minum sedikit obat bius saja.”

“Apakah ... apakah Pek San-kun juga terkena obat biusmu?” saking ingin tahu Oh Yok-su menimbrung.

Giok-long tidak langsung menjawab, hanya bergumam dengan tertawa, “Yang diminumnya juga tidak terlalu banyak, kira-kira tiga atau lima hari lagi tentu akan siuman.”

Seorang kalau benar-benar terbius selama tiga sampai lima hari, andai kata siuman nanti mungkin juga akan berubah menjadi linglung.

Mata Siau-hi-ji mengerling, tiba-tiba ia bergelak tertawa, segera Kang Giok-long ikut tertawa, keduanya sama-sama tertawa keras, terpingkal-pingkal sehingga air mata pun meleleh.

Thi Peng-koh dan Oh Yok-su saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang ditertawakan kedua orang itu.

“Lucu, sungguh lucu, hampir pecah perutku saking gelinya!” kata Siau-hi-ji sambil memegangi perutnya yang mulas dan masih terbahak-bahak.

Dengan bergelak tertawa Kang Giok-long juga berkata, “Hahaha, Pek San-kun yang gagah perkasa dan Hoa-kongcu yang lihai itu dapat kubius dengan sedikit bubuk warna putih, kejadian ini sungguh amat menggelikan.”

“Yang kutertawakan bukan hal ini,” ujar Siau-hi-ji sambil menggeleng.

“Habis apa yang menggelikan Hi-heng?” tanya Giok-long.

Mendadak Siau-hi-ji tidak tertawa lagi, ia melototi Kang Giok-long dan berkata, “Keadaan Kang-heng tampaknya sangat payah, andaikan belum mati sekarang, rasanya juga tak tahan lama lagi, tapi kau mampu memanggul seorang lelaki kekar dan menyembunyikannya, bukankah ini lelucon yang paling mustahil di dunia ini?”

Tergerak hati Oh Yok-su, pikirnya, “Ya, betul juga, tentu di balik ini pasti ada muslihat tertentu. Agaknya bukan urusan mudah apabila orang ingin menipu ‘ikan kecil’ ini.”

Namun sikap Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan perlahan, “Apabila mereka tidak terbius olehku, lalu ke mana perginya mereka? Memangnya Pek San-kun akan mengajak Hoa-kongcu pergi pesiar? Apakah ini bukan lelucon yang lebih besar?”

“Betul, seumpama mereka hendak pesiar juga pasti akan membawa serta kau,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. “Orang yang menyenangkan seperti dirimu ini mana tega ditinggal pergi begini saja.”

“Ya, memang begitulah,” kata Giok-long dengan tertawa tanpa kikuk sedikit pun.

Kembali Siau-hi-ji melototi Kang Giok-long dan berkata, “Tapi kalau mendadak Hoa-kongcu tinggal pergi, bukankah orang she Pek itu akan mengejarnya?”

“Sudah tentu akan mengejarnya,” jawab Giok-long.

“Nah, umpama dia merasa berat meninggalkan kau, tapi demi mengejar Hoa Bu-koat terpaksa juga ia kesampingkan dirimu,” kata Siau-hi-ji.

“Hahahaha!” tiba-tiba Kang Giok-long tertawa. “Daya khayal Hi-heng sungguh sangat hebat, cuma sayang Hoa-kongcu itu ....”

“Hoa-kongcu kenapa?” sela Siau-hi-ji, ia benar benar rada cemas.

“Kenapa Hi-heng tidak tanya saja pada Oh-siansing ini,” ujar Giok-long dengan acuh. “Coba tanyakan apakah Hoa-kongcu masih dapat berjalan atau tidak?”

Segera sorot mata Siau-hi-ji menatap ke arah Oh Yok-su, katanya, “Baik, coba katakan.”

Oh Yok-su menghela napas, tuturnya, “Ya, bukan saja Hiat-to Hoa-kongcu tertutuk, bahkan dia seperti mengalami guncangan jiwa sehingga kehilangan ingatan, mungkin ... mungkin dia tidak sanggup jalan sendiri.”

Siau-hi-ji termenung, dengan jari ia ketuk-ketuk dahi sendiri, setelah berpuluh kali mengetuk dahi, kemudian tersembul pula senyumannya dan berkata, “Wah, jika demikian, jadi mereka benar-benar terbius olehmu?”

“Mungkin memang betul,” kata Giok-long dengan terkekeh-kekeh.

“Dan setelah mereka roboh, lalu kau memanggul mereka keluar?” tanya Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.

“Penyakitku ini terkadang sembuh dan terkadang kumat lagi, bilamana kumat, jangankan memanggul orang, dipanggul orang pun rasanya tidak tahan. Tapi kalau tidak kumat, untuk memanggul seorang saja bukan soal bagiku.”

Siau-hi-ji lantas melirik ke arah Oh Yok-su, dilihatnya Oh Yok-su mengangguk-angguk.

“Nah, apa yang kukatakan tidak dusta bukan?” ucap Kang Giok-long.

“Ya, tidak dusta, memang tidak dusta,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Tapi setelah kau memanggul pergi kedua orang itu, mengapa kau kembali lagi ke sini? Apakah badanmu terasa gatal sehingga perlu menunggu di sini agar dipukuli orang?”

Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja dan juga tidak marah, katanya dengan tertawa, “Peng-ji kan masih berada di tangan mereka, mana boleh kutinggal pergi? Seumpama kutahu Hi-heng akan datang dan bakal mencincang tubuhku juga tetap akan kutunggu di sini untuk bertemu sekali lagi dengan Peng-ji.”

Siau-hi-ji mencibir, ucapnya dengan tertawa, “Wah, sejak kapan Kang Giok-long telah berubah menjadi orang yang penuh kasih sayang, lucu sungguh lucu ....”

Thi Peng-koh menjadi terharu dan tidak tahan lagi, ia menubruk ke bawah kaki Kang Giok-long dan menangis tersedu-sedan.

Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, “Budak bodoh, apabila bocah ini bilang kentutnya harum, apakah kau pun percaya padanya?”

Betapa pun Siau-hi-ji adalah lelaki yang tidak memahami perasaan seorang perempuan, apalagi gadis remaja seperti Thi Peng-koh. Apabila seorang gadis sudah terpikat oleh lelaki, sekalipun dia tahu lelaki itu telah menipunya juga tetap akan percaya padanya.

Terdengar Thi Peng-koh berkata dan menangis, “Apakah parah penyakitmu? Sakit tidak?”

Perlahan Giok-long membelai rambut Peng-koh, ucapnya dengan suara lembut, “Sekalipun sakit, apabila melihatmu lantas tidak terasa sakit lagi.”

“Akan tetapi aku ... aku ….”

“Kutahu kau pasti tidak sengaja menyaksikan aku dipukuli orang, kau tentu mempunyai kesulitannya sendiri, sama sekali aku tidak menyalahkanmu, maka kau tidak perlu sedih.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji berteriak, “Sudah, sudahlah, aku jadi merinding mendengarkan rayuanmu yang berbau gombal ini, sudah tamat belum sandiwara permainanmu ini?”

“Memangnya Hi-heng ada pesan apa?” ucap Giok-long.

Siau-hi-ji menghela napas, katanya sambil menyengir, “Sekarang kau yang pegang barangnya, kau juragannya, maka silakan kau yang buka harga.”

Dengan kalem Giok-long berkata, “Apakah Hi-heng tahu penyakitku ini berasal dari mana?”

Berputar mata bola Siau-hi-ji, katanya, “Jangan-jangan So Ing ....”

“Betul,” tukas Giok-long. “Penyakitku ini memang berkat hadiah nona So .... Bukankah Hi-heng mempunyai hubungan baik dengan nona So Ing itu?”

“Jika aku tidak kenal dia, mana bisa timbul kesulitan sebanyak ini,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Ini pun bukan kesulitan,” kata Giok-long. “Asalkan Hi-heng mencari nona So agar menyembuhkan penyakitku ini, maka Siaute akan segera juga mengundang Hoa-kongcu kemari untuk mengobati penyakitnya.”

“Tapi kalau So Ing tidak mau, lalu bagaimana?”

“Perempuan mana di dunia ini yang sanggup menolak permintaan Hi-heng?”

Siau-hi-ji menghela napas panjang, gumamnya, “Perempuan, o, perempuan .... Apabila tiada seorang perempuan yang kukenal, maka hidupku pasti bahagia seperti di surga.”

“Jadi Hi-heng sudah terima?” tanya Giok-long dengan tersenyum.

“Baik, ayolah berangkat,” jawab Siau-hi-ji.

“Siaute juga mesti ikut pergi?” tanya Giok-long.

“Ya, soalnya aku pun merasa berat meninggalkanmu sendirian di sini.”

“Kukira kepergian ini tidak diperlukan lagi,” tiba-tiba Oh Yok-su menyela.

“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Sebab nona So itu segera akan datang kemari,” tutur Oh Yok-su perlahan.

Giok-long juga melengak, tanyanya, “Dari mana kau tahu dia akan datang ke sini?”

“Seperti halnya nona Thi ini denganmu, nona So juga ... juga sangat mendalam cintanya kepada Hi ... Hi-kongcu,” tutur Oh Yok-su dengan tertawa. “Ketika Siau-hi-kongcu meninggalkan tempatnya, segera pula dia ikut keluar.”

“Haha, daya tarik Hi-heng sungguh luar biasa,” seru Giok-long sambil berkeplok tertawa. Lalu dia berkerut kening pula dan berkata, “Tapi sekalipun nona So ikut keluar mencari Hi-heng, belum tentu dia akan mencari ke sini.”

“Untuk ini kau tidak perlu khawatir, dia pasti akan mencari kemari,” kata Oh Yok-su dengan tersenyum.

Giok-long berpikir sejenak, katanya kemudian, “Betul juga, karena kalian berniat menggunakan Hi-heng untuk memerasnya, maka sepanjang jalan kalian sengaja meninggalkan jejak agar dia dapat menyusul ke sini.”

“Jika begitu, bolehlah kita menunggunya di sini,” ucap Siau-hi-ji dengan menghela napas.

Giok-long memandang cuaca di luar, katanya kemudian, “Semoga di tengah jalan dia tidak kepergok siapa-siapa ....”

*****

Dalam pada itu Pek-hujin yang ditinggalkan berendam di sungai itu sedang berusaha melepaskan Hiat-to yang tertutuk, sedikit demi sedikit ia bergeser ke bawah air terjun, setelah berusaha sekian lamanya, berkat daya gerujuk air terjun yang tepat mengenai Hiat-to di telapak kaki, akhirnya terbukalah Yong-coan-hiat yang tertutuk itu.

Namun sekarang dia sudah hampir kehabisan tenaga, untuk melompat dari batu sini ke batu yang lain pun terasa susah.

Apabila memberosot lagi ke dalam air dan berenang ke sana, jangan-jangan akan terhanyut oleh arus air yang cukup deras dan akibatnya pasti akan mati kelelap.

Sekuatnya ia menegakkan badannya dengan bingung, selagi celingukan kian kemari mencari akal, tiba-tiba diketahuinya di balik semak-semak sana sepasang mata sedang mengintip bagian dadanya.

Muka orang itu penuh lumpur, entah sudah berapa lama tidak pernah cuci muka, namun sepasang matanya tampak besar lagi terang, seperti sangat tertarik oleh tubuh Pek-hujin yang bugil ini.

Mendadak Pek-hujin sengaja bergaya malah dan membusungkan dadanya sehingga semakin menonjol. Ucapnya dengan tertawa genit, “Anak muda, memangnya kau tak pernah melihat perempuan mandi?”

Orang ini seperti terkesima, dengan bingung ia menggeleng.

Dengan tertawa Pek-hujin lantas mengomel, “Asalkan kau tidak takut matamu bakal timbilan silakan keluar saja dan menonton dengan blak-blakan. Ai, kasihan, sudah sebesar ini, masa perempuan mandi saja tidak pernah lihat, kan sia-sia saja hidupmu ini.”

Sekonyong-konyong orang itu tertawa, “Tidak perlu takut engkau, aku ... aku pun perempuan.” Sembari bicara orangnya lantas berdiri dari balik semak-semak.

Terlihat pakaiannya sangat kotor lagi koyak-koyak, akan tetapi tidak mengurangi garis tubuhnya yang memesona.

Pek-hujin jadi melengak malah, bahkan dia seperti rada-rada kecewa.

“Aku benar-benar seorang perempuan, masa kau tak dapat membedakannya?” kata pula orang itu.

Pek-hujin menghela napas, ia tatap pinggang orang yang ramping dengan dadanya yang montok serta kedua kakinya yang jenjang. Ucapnya dengan gegetun, “Ya, dengan sendirinya kau adalah perempuan ... sekalipun orang buta juga pasti tahu.”

Muka gadis itu menjadi merah malah, merah yang menggiurkan. Nyata gadis ini sekali-kali tidak jelek, bahkan tampaknya sangat cantik.

Pek-hujin masih terus menatapnya lekat-lekat, dengan tersenyum ia coba memancingnya, “Melihat keadaan nona, jangan-jangan baru saja menempuh perjalanan jauh?”

“Ehm,” gadis itu bersuara singkat sambil menunduk.

“Pegunungan ini tiada sesuatu pun yang menarik, untuk apakah jauh-jauh nona datang ke sini?”

Tiba-tiba wajah si gadis menampilkan perasaan sedih, setelah termangu-mangu, lalu menjawab dengan muram, “Aku ... aku mencari orang.”

Tergerak hati Pek-hujin, tanyanya, “Penduduk di lereng sini hampir seluruhnya kukenal, entah siapakah yang dicari nona?”

Gadis itu menunduk, katanya dengan menghela napas, “Kau pasti tidak kenal dia, ia pun tidak pasti berada di sini.”

Apa pun juga, seorang gadis berani mencari orang ke pegunungan yang terpencil dan sunyi begini jelas bukan kejadian yang biasa, di balik urusan ini tentu ada sesuatu yang menarik.

Bila dalam keadaan biasa pasti Pek-hujin akan bertanya sejelasnya, tapi sekarang ia harus memikirkan keadaannya sendiri, mana dia sempat menanyai rahasia orang lain. Sedangkan gadis itu tampaknya sudah mau pergi. Cepat Pek-hujin berkata pula dengan tertawa, “Eh, siapakah nama nona? Bolehkah diberitahukan padaku?”

Gadis itu ragu-ragu dan tidak bersuara.

Pek-hujin lantas menyambung, “Kaum lelaki yang biasa berkelana di rantau memang mudah mengikat persahabatan dengan orang yang dikenalnya, mengapa kaum wanita seperti kita tidak boleh bersahabat juga. Ya, mungkin kaum wanita seperti kita memang harus lebih hati-hati menghadapi sesuatu.”

Dengan muka merah gadis itu berucap dengan tersenyum, “Namaku Thi Sim-lan.”

Akhirnya Thi Sim-lan duduk di tepi sungai. Ia merasa perempuan ini agak terlalu berani karena berani mandi telanjang bulat di sungai, namun perempuan ini sedemikian cantik, sedemikian simpati.

Selama beberapa hari dia selalu berada dalam keadaan berduka dan tersiksa lahir batin, datangnya ke sini dengan sendirinya ingin mencari Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat. Tapi bilamana benar-benar mereka sudah diketemukan, lalu mau apa dia sungguh ia sendiri pun sukar menjawabnya.

Kini cahaya sang surya yang baru menyingsing menyinari bumi raya ini, segala sesuatu di jagat raya ini terasa sedemikian menyenangkan, senyuman wanita ini pun terasa sangat simpati. Untuk pertama kalinya perasaan Thi Sim-lan terasa longgar, tanpa terasa dilepaskannya sepatunya yang sudah butut, kakinya yang putih halus direndamkan di air sungai.

Kaki yang sudah pegal dan rada kencang itu mendadak berendam dalam air sungai yang segar, rasanya yang nikmat membuat pikirannya melayang-layang dan tanpa terasa mengeluh perlahan lalu memejamkan mata.

Sejak awal Pek-hujin terus-menerus mengawasi gerak-gerik Thi Sim-lan, dengan suara halus ia berkata, “Kenapa kau tidak meniru aku, mandilah sepuas-puasnya di sini.”

“Mandi di sini?” Sim-lan menegas dengan muka merah.

Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, katanya kemudian, “Masa kau tidak berani?”

Tertarik juga hati Thi Sim-lan memandangi air sungai yang jernih dan nyaman itu, ucapnya dengan terkikik-kikik, “Tapi ... tapi di sini ....”

“Jangan khawatir,” ujar Pek-hujin. “Setiap hari aku selalu mandi satu kali di sini, selain dirimu, belum pernah kepergok orang lain.”

“Apa ... apakah benar jarang orang datang ke sini?”

“Jika sering didatangi orang, masa aku berani mandi di sini?”

Tambah tertarik hati Thi Sim-lan, ia melirik Pek-hujin sekejap, dengan muka merah ia berkata pula, “Tapi ... tapi biarlah aku cuci kaki saja.”

“Masa kau khawatir aku mengintipmu?” ucap Pek-hujin dengan tertawa genit. “Bukankah aku pun seorang perempuan?”

“Ya, masa aku tak tahu,” jawab Sim-lan tertawa.

“Nah, apa pula yang kau khawatirkan?” bujuk Pek-hujin pula. “Jika kau khawatir terlihat olehku, biarlah aku memejamkan mata, setelah kau buka pakaian cepat menyusup ke dalam air dan aku pun takkan melihatmu lagi.”

Namun Thi Sim-lan masih tetap ragu.

Pek-hujin lantas memejamkan matanya dan berkata dengan tertawa, “Nah, lekas, takut apalagi? Setelah mandi tentu akan kau rasakan enaknya.”

Thi Sim-lan memandangnya sekejap, dipandangnya pula air yang bening kehijau-hijauan itu, sesungguhnya tubuhnya memang sangat kotor dan terasa gatal, betapa pun ia tak tahan akan pancingan mandi bebas itu.

“Nah, sudah belum?” dengan tertawa Pek-hujin bertanya.

Lekas Sim-lan menjawab, “Be ... belum, jangan ... jangan membuka mata sekarang, se ... sebentar lagi.”

Cepat ia menyelinap ke balik semak-semak dan membuka baju secara kilat, meski tiada orang yang mengintip, namun cahaya sang surya sudah menyinari dadanya yang montok itu.

Sekujur badan serasa merinding semua, jantung juga berdebar seakan-akan melompat dari rongga dadanya, secepat terbang ia terjun ke dalam air, air yang segar dan rada hangat itu segera melingkupi seluruh tubuhnya. Baru sekarang dia menghela napas lega dan berseru, “Baiklah, sudah!”

Pek-hujin membuka mata dan memandangnya, katanya dengan tertawa, “Segar bukan?”

“Ehm,” Thi Sim-lan mengangguk.

“Baiklah, sekarang aku pun akan turun, harap bantu memegangi aku,” kata Pek-hujin, baru sekarang ia benar-benar merasa lega, perlahan ia merosot ke dalam air.

Arus sungai memang cukup deras, kedua kaki Pek-hujin terasa lemas, untung Thi Sim-lan bantu memayangnya, kalau tidak pasti sukar untuk berenang ke tepi sungai, andaikan tidak mati tenggelam juga pasti akan hanyut terbawa arus.

Melihat Pek-hujin hampir tidak kuat berdiri di dalam air, cepat Thi Sim-lan memegangnya dan bertanya, “Ken ... kenapa kau hendak pergi?”

“Aku cuma naik ke tepi sana untuk pasang mata bagimu kalau-kalau ada orang datang, supaya kau dapat mandi dengan tenteram,” ujar Pek-hujin dengan tertawa.

Sim-lan merasa lega, jawabnya, “Tapi jangan sekali-kali kau pergi terlalu jauh.”

Pek-hujin terkikik-kikik, katanya, “Ada si cantik sedang mandi di kali, masa aku tega pergi terlalu jauh.”

Muka Thi Sim-lan menjadi merah, sampai tangan pun tak berani dijulurkan keluar air. Tiba-tiba ia merasakan mata kaum wanita terkadang juga sama ngerinya seperti mata lelaki.

Sementara itu Pek-hujin telah dapat menepi berkat bantuan Thi Sim-lan tadi, katanya, “Baiklah, aku akan berpakaian, kau juga tidak boleh mengintip lho!”

Padahal Thi Sim-lan sudah mendahului memejamkan mata, sekejap saja dia tidak berani memandangnya. Bila melihat tubuh yang putih mulus itu, hati Thi Sim-lan lantas berdebar-debar keras. Kembali dia menemukan suatu hal, yakni perempuan yang telanjang bulat tidak saja penuh daya tarik bagi lelaki, terkadang juga sama besar daya tariknya bagi sesama perempuan.

Dalam pada itu Pek-hujin sudah selesai memakai baju yang ditinggalkan Thi Sim-lan. Meski pakaian itu sangat kotor lagi rombeng, tapi jauh lebih baik daripada sama sekali tidak berbaju. Biarpun kulit muka Pek-hujin setebal kulit badak juga tak berani keluyuran kian-kemari dalam keadaan bugil.

Thi Sim-lan masih memejamkan mata, setelah menunggu sejenak, didengarnya Pek-hujin lagi berkata, “Bahan pakaian ini ternyata lumayan juga, cuma sayang agak kotor.”

Tanpa tertahan Thi Sim-lan membuka matanya, mukanya menjadi pucat karena terkejut, cepat ia berseru, “He, mengapa kau pakai bajuku?”

“Tidak pakai bajumu, habis pakai baju siapa lagi?” jawab Pek-hujin dengan terkikik-kikik.

Jawaban Pek-hujin ini sungguh lucu dan tepat pula, seolah-olah dia memakai baju orang lain adalah sesuatu yang adil dan pantas.

Thi Sim-lan jadi melengak malah, tanyanya dengan tergagap, “Dan baju ... bajumu sendiri?”

“Justru lantaran aku tidak punya baju, maka dengan segenap daya upayaku memancingmu mandi, kalau tidak, sekalipun tubuhmu berbau seperti kakus juga aku tidak pusing.”

“Jika bajuku kau pakai, lalu aku bagaimana?” seru Sim-lan dengan suara rada gemetar.

“Silakan mandi lebih lama sedikit di sini,” kata Pek-hujin dengan tertawa. “Orang yang berlalu lalang di sini kan tidak sedikit, meski hampir semuanya lelaki, tetapi lelaki juga ada yang baik hati, bisa jadi salah seorang di antaranya mau menolongmu dengan membuka celananya untukmu ....”

Uraian Pek-hujin ini membikin Thi Sim-lan bertambah cemas, hampir-hampir saja ia menangis. Sebaliknya Pek-hujin tertawa terpingkal-pingkal, lalu berkata pula, “Kukira kau belum pernah memakai celana kaum lelaki bukan? Ya, meski agak lebih besaran, tapi rasanya longgar dan tembus angin, jauh lebih enak daripada celana belah selangkang yang pernah kau pakai waktu kecil.”

Muka Thi Sim-lan menjadi merah, bentaknya dengan suara parau, “Kau orang gila, kau perempuan jahat, lekas kembalikan pakaianku!”

Saking geregetan, Thi Sim-lan hampir-hampir menerjang keluar dari sungai.

Tapi Pek-hujin lantas bertepuk tangan dan berteriak-teriak, “Haha, ada tontonan menarik! Ayo kemarilah, lihat di sini ada perempuan telanjang bulat!”

Baru saja setengah badan Thi Sim-lan menongol di permukaan air, saking takutnya cepat dia membenamkan diri pula sebatas leher, teriaknya dengan suara gemetar, “Paling ... paling tidak kau tinggalkan sepotong bagiku ....”

Namun Pek-hujin tidak menggubrisnya lagi, dengan tertawa ngikik ia terus tinggal pergi.

Saking gusarnya Thi Sim-lan lantas mencaci maki, “Kau ... kau bukan manusia, kau binatang, kau anjing betina ....”

Tanpa menoleh Pek-hujin menyahut dari kejauhan, “Makilah sesukamu! Cukup sebentar lagi tentu setiap lelaki yang tinggal di sekitar sini akan terpancing kemari!”

Thi Sim-lan menjadi takut dan tidak berani bersuara pula.

Sambil meringkuk di dalam air, tanpa terasa air mata lantas bercucuran. Sebenarnya ia tidak percaya bahwa seorang dewasa dapat menangis kehabisan akal seperti anak kecil, baru sekarang ia tahu bahwa segala apa pun mungkin terjadi di dunia ini. Berpikir demikian, segera timbul harapannya bukan tidak mungkin ada seorang lelaki yang kebetulan lewat dan mau meminjamkan celana baginya.

Di sebelah kiri sungai sana adalah sebuah hutan, setelah menyusuri hutan itu, Pek-hujin melanjutkan perjalanan dengan cepat. Diam-diam ia pun kebat-kebit entah Siau-hi-ji yang sialan itu telah mengapakan suami dan gendaknya?

Tiba-tiba ia lihat ada beberapa potong pakaian semampir di ranting pohon di depan sana, bajunya berwarna dasar merah bersulam bunga mawar yang indah memesona.

Sekalipun emas intan, ratna mutu manikam, dengan keadaan Pek-hujin sekarang mungkin takkan dipandangnya barang sekejap, tapi seperangkat pakaian perempuan yang indah, daya tariknya benar-benar teramat besar bagi Pek-hujin, betapa pun ia tidak ingin memakai baju yang rombeng dan kotor begini untuk menemui sang suami.

Dia terus mengincar pakaian itu, langkahnya mulai diperlambat, cuma hati masih ragu-ragu, dan tidak berani meraih pakaian itu.

Pakaian seindah ini tidak mungkin tumbuh dari pohon itu. Jika demikian, dari mana datangnya pakaian ini? Mengapa bisa semampir di pohon?

Diam-diam ia waswas, ia coba memperingatkan dirinya sendiri, “Awas, bisa jadi ini cuma suatu perangkap, jangan mencari gara-gara lagi.” Berpikir demikian, hakikatnya ia tidak mau memandang lagi ke sana.

Akan tetapi pakaian itu sesungguhnya teramat indah. Lebih-lebih bunga sulamannya, bahannya juga dari sutera yang halus, warnanya yang serasi, semua ini sangat memikat.

Kalau menyuruh perempuan jangan memandang pakaian yang indah, rasanya terlebih sulit daripada menyuruh lelaki jangan memandang perempuan cantik.

Akhirnya Pek-hujin mengambil keputusan, “Paling-paling hanya sepotong pakaian saja, memangnya pakaian bisa bergigi dan menggigit orang?”

Memang betul, hanya sepotong pakaian saja yang menggapai-gapai, tiada cacat dan tiada tanda-tanda mencurigakan, setiap orang dapat mengambilnya tanpa mendatangkan kesulitan apa-apa.

Tampaknya Pek-hujin terlalu banyak curiga, semula ia mengira di bawah pohon ada lubang jebakan sehingga siapa yang hendak meraih pakaian itu akan kejeblos. Atau mungkin juga di atas pohon terpasang sesuatu perangkap. Sebab itulah waktu dia menjulurkan tangan untuk mengambil baju itu, ia benar-benar siap tempur seperti menghadapi musuh tangguh.

Akan tetapi nyatanya dengan sangat mudah baju itu sudah dapat diambilnya, pakaian ini seperti mendadak jatuh dari langit atau tumbuh dari pohon itu dan sedang menanti di sini untuk dipakai olehnya.

Tanpa sungkan-sungkan lagi Pek-hujin lantas membuang pakaiannya yang kotor dan rombeng itu, dengan gerakan yang paling cepat ia ganti pakaian baru, sutera yang halus itu menyentuh tubuh mulus yang habis tercuci bersih laksana belaian tangan sang kekasih.

Tapi tangan sang kekasih ini rasanya tidak beres, mula-mula seperti membelai punggung, tapi dengan cepat menjalar ke bagian dada, terus ke pantat, ke paha dan sekujur badan rasanya menjadi gatal-gatal geli. Semula seperti seekor ulat kecil yang merambat dari kuduknya menurun ke bawah sampai akhirnya ulat ini seakan-akan berubah menjadi beratus dan beribu banyaknya dan merambat kian kemari di setiap pelosok tubuhnya.

Sungguh luar biasa gatalnya, hampir-hampir gila rasa gatalnya, sampai-sampai berjalan saja tidak sanggup lagi, kedua tangan Pek-hujin terus menggaruk-garuk dan mencakar-cakar kian kemari, tapi semakin menggaruk semakin gatal rasanya, bukan cuma tubuh merasa gatal, hati pun ikut gatal.

Rasanya sungguh sukar dilukiskan, ya enak, ya geli, ya sakit, ingin menangis, ya ingin tertawa ... sampai akhirnya ia terus mengesot di tanah sambil terkikik-kikik seperti orang gila.

Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang berkata dengan suara nyaring merdu, “Enak bukan baju yang kau pakai itu?”

Rupanya pada baju itulah timbulnya penyakit. Keruan Pek-hujin terkejut dan membentak, “Siapa itu?”

“Masa suaraku saja tidak kau kenal lagi?” ucap orang itu dengan tertawa. Lalu muncul seorang dari kejauhan dengan langkahnya yang gemulai, pakaiannya berwarna kuning gading, orangnya cantik, gayanya memesona. Orang ini ternyata So Ing adanya.

Terkesiap Pek-hujin, serunya, “Kau? Baju ini kepunyaanmu?”

“Baju itu baru kubikin, belum pernah kupakai, indah bukan?” ucap So Ing dengan tersenyum.

Saking gatalnya Pek-hujin hampir tidak dapat bicara lagi, tubuhnya digosok-gosokkan pada sebatang pohon, dengan suara gemetar ia tanya, “Bajumu ini ditaruhi apa?”

“Ah, tidak ada apa-apanya, hanya kuberi sedikit obat gatal,” tutur So Ing. “Selang beberapa hari obat itu akan hilang dengan sendirinya.”

Pek-hujin masih kelabakan menggosok tubuhnya di batang pohon, hampir gila dia karena tidak tahan rasa gatalnya, kalau bisa ingin dia dicambuki orang sekuatnya, sedetik saja tidak dapat menunggu, apalagi selang beberapa hari lagi, sungguh ia rela mati saja.

Dengan tertawa So Ing berkata pula, “Baju baru ini akan kupakai untuk bertemu dengan kekasihku, jika kau rusak harus kau ganti nanti.”

Seperti orang kalap Pek-hujin lantas tarik baju itu hingga robek, teriaknya parau, “Aku tidak memusuhimu, mengapa kau mencelakai aku?”

“Coba renungkan dulu, pernahkah kau berbuat sesuatu terhadapku?” jengek So Ing.

Meski sekarang Pek-hujin menanggalkan pakaian itu, tapi rasa gatalnya tetap tidak kepalang, ia merangkak di tanah dan tergeliat-geliat, dengan air mata meleleh ia memohon, “O, nona yang baik, adik terhormat, aku mengaku salah, ampunilah diriku.”

“Apakah begitu hebat rasa gatalnya?” tanya So Ing dengan tenang.

“Ya, baru sekarang kutahu di dunia ini tiada sesuatu yang lebih menderita daripada rasa gatal,” kata Pek-hujin.

“Jika begitu, coba jawab, kau yang menculik Hoa Bu-koat bukan?” tanya So Ing.

Dalam keadaan demikian mana Pek-hujin berani menyangkal, cepat ia mengangguk dan berkata, “Ya, ya, aku yang menculiknya, sungguh pantas mampus aku.”

“Di mana kau sembunyikan dia?” tanya So Ing dengan gusar.

“Di belakang bukit sana, di lembah sana ada sebuah rumah kecil ....”

“Apakah rumah batu itu?

“Ya, ya, engkau pun sudah tahu.”

“Apakah benar-benar kau sembunyikan dia di sana?” So Ing menegas setelah berpikir sejenak.

“Betul, masa aku berani mendustai nona?” jawab Pek-hujin sambil meringis.

Air muka So Ing seperti berubah sedikit, ucapnya sambil menggeleng, “Di pegunungan sunyi begini bisa terdapat rumah batu sekukuh itu, apakah kalian tidak merasa heran?”

Setelah berpikir, tiba-tiba Pek-hujin juga merasa heran, tanyanya kemudian, “Ya, apakah rumah batu itu ada sesuatu yang aneh?”

So Ing menggeleng dan tidak menjawab.

Sudah tentu Pek-hujin tidak sempat bertanya lebih lanjut urusan ini, betapa pun dia sedang kelabakan oleh rasa gatalnya yang tak tertahan, dengan cepat ia memohon, “Sudah kukatakan semuanya, kumohon engkau mengampuni diriku sekarang.”

So Ing tertawa, tanyanya, “Barusan kau datang dari mana?”

Setelah melenggong sejenak, akhirnya Pek-hujin menjawab, “Dari sungai sana.”

“Jika begitu boleh kau kembali lagi ke sana!” ucap So Ing.

*****

Dalam pada itu Thi Sim-lan sedang kedinginan karena berendam sekian lamanya dalam sungai, kaki dan tangan serasa hampir beku. Namun dia harus memandang kian kemari, ia khawatir kalau-kalau mendadak ada lelaki nakal muncul di situ. Untung juga keadaan tetap sunyi senyap tiada bayangan seorang pun.

Sebenarnya ia pun pernah berpikir hendak meninggalkan sungai ini, tapi seorang nona yang telanjang bulat bisa berbuat apa dan mau ke mana? Apabila mendadak kepergok lelaki kan bisa .... Begitulah, pada hakikatnya ia tidak berani membayangkan bagaimana akibatnya.

Tengah bingung, sekonyong-konyong dilihatnya dari depan sana kembali ada seorang perempuan bugil sedang berlari-lari mendatangi, “plung”, langsung perempuan telanjang itu terjun ke dalam air dengan napas terengah-engah.

Thi Sim-lan terkejut di samping merasa heran dan geli pula, mestinya dia tidak ingin memandangnya, tapi sekilas melirik, diketahuinya perempuan ini bukan lain daripada perempuan sialan yang kabur dengan menipu pakaiannya tadi. Sungguh aneh, mengapa dia lari kembali ke sini lagi dalam keadaan telanjang bogel?

Dengan terbelalak heran, Thi Sim-lan jadi tidak sanggup bersuara.

Setelah terjun ke dalam air, rasa gatal Pek-hujin lantas berhenti seketika. Melihat Thi Sim-lan sedang memandangnya, ia balas menyengir dan berkata, “Hihi, aku kembali lagi, kau heran bukan?”

“Ehm,” Sim-lan mendengus.

“Hihihi, soalnya aku tiada hobi lain kecuali mandi,” ujar Pek-hujin dengan tertawa.

Mendadak Thi Sim-lan menubruk ke sana dan menjambak rambut Pek-hujin sambil membentak, “Mana bajuku? Kembalikan!

“Inilah bajumu!” tiba-tiba seorang menukas dengan tersenyum.

Waktu Thi Sim-lan menoleh segera dilihatnya So Ing berdiri di tepi sungai laksana sekuntum bunga teratai yang baru mekar. Ia merasa selama hidup ini belum pernah melihat nona secantik ini, meski dia sendiri juga perempuan, tidak urung ia memandangnya dengan terkesima.

So Ing tertawa dan bertanya pula, “Betulkah ini bajumu?”

Sim-lan menunduk dengan muka merah, jawabnya lirih, “Ya, bajuku.”

“Jika kau tidak ingin mandi lagi, silakan naik dan pakai bajumu,” kata So Ing.

Meski malu, mau tak mau Thi Sim-lan keluar dari sungai, secepat terbang ia terima baju itu terus lari ke balik semak-semak sana.

“Aku pun ingin keluar,” kata Pek-hujin dengan menyengir.

“Mau keluar boleh keluar, kan tiada yang merintangimu” ujar So Ing acuh.

Segera Pek-hujin memanjat ke atas batu, tak terduga, seketika rasa gatal itu kambuh lagi, gatalnya sungguh tidak kepalang. Cepat ia memberosot ke dalam air pula.

“Kenapa kau tidak jadi naik?” tanya So Ing dengan tertawa.

Pek-hujin hanya meringis saja. Katanya kemudian, “Tapi ... tapi aku kan tak dapat berendam terus-menerus begini?”

“Asalkan tidak merasa gatal lagi, setiap saat kau boleh naik,” kata So Ing.

“Harus ... harus menunggu sampai kapan?”

“Bisa jadi setengah hari, dua hari atau empat hari .... Katanya hobimu adalah mandi, nah, silakan mandi sepuas-puasmu!”

Pek-hujin melenggong dan tak dapat bersuara pula, hampir ia jatuh pingsan saking gemasnya.

Sementara Thi Sim-lan sudah selesai berpakaian, ia mendekati So Ing dan memberi hormat, katanya, “Terima kasih atas pertolongan nona.”

Baju yang dipakainya itu kotor lagi rombeng, namun betapa pun tidak dapat menutupi gadis cantik yang habis mandi dengan wajahnya yang kemerah-merahan seperti buah apel.

Tanpa terasa So Ing menarik tangan Thi Sim-lan, katanya dengan tertawa, “Nona secantik ini, sungguh aku pun kesengsem, kaum lelaki seharusnya antri dan berlutut memohon di depanmu, mengapa malah kau yang bersusah payah mencari mereka?”

Muka Thi Sim-lan menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, “Aku ... aku ....”

“Memangnya yang hendak kau cari bukan lelaki?”

Sim-lan menunduk dan terpaksa mengiakan.

“Lelaki manakah yang punya rezeki sebesar itu?” kata So Ing dengan tertawa.

“Dia ... dia ....”

“Tidak perlu kau katakan, toh aku tidak kenal dia,” ujar So Ing sambil berjalan.

Thi Sim-lan ikut berjalan sejenak, ucapnya kemudian sambil menghela napas perlahan, “Memang paling baik apabila engkau tidak pernah kenal dia.”

“Kenapa?” tanya So Ing dengan tertawa geli, “Masa orang yang kenal dia akan tertimpa sial?”

Di luar dugaan Thi Sim-lan lantas manggut-manggut dan menjawab, “Ehm.”

So Ing berpaling dan memandangnya dengan terbelalak, “Siapa namanya?” tanyanya.

Thi Sim-lan tidak memperhatikan perubahan sikap So Ing itu, dengan gegetun ia menjawab, “Dia she Kang, orang memanggilnya Siau-hi-ji.”

Siau-hi-ji, nama ini membuat hati So Ing berdetak keras, akhirnya diketahui juga bahwa gadis yang berada di sebelahnya ini ternyata adalah saingannya, saingan cinta.

Dipandangnya wajah Thi Sim-lan secantik bunga, kecut rasa hatinya, pikirnya, “Wahai Siau-hi-ji, tampaknya tidak keliru pilihanmu ini.”

Dilihatnya mendadak Thi Sim-lan tertawa dan berucap, “Siau-hi-ji, masa namanya disebut Siau-hi-ji, engkau merasa lucu tidak?”

So Ing tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa, “Ya, sangat lucu.”

“Tapi tingkah lakunya justru sangat menjengkelkan, terkadang kau bisa dibikin mati gemas olehnya,” ucap Sim-lan dengan rawan.

So Ing berkedip-kedip, tanyanya kemudian, “Apakah kau benci padanya?”

Sim-lan menunduk, jawabnya, “Terkadang aku memang gemas dan benci padanya, tapi terkadang ….”

“Terkadang kau suka juga padanya,” tukas So Ing dengan tertawa. “Memangnya kau sangat suka padanya, begitu bukan?”

Thi Sim-lan hanya menggigit bibir sambil mengikik.

Melenggong sejenak So Ing, mendadak ia berseru, “Tapi dia kan juga belum pasti suka padamu, betul tidak?”

Thi Sim-lan termangu-mangu sejenak, sorot matanya berubah menjadi halus, tersembul juga senyuman manis pada ujung mulutnya, dengan menunduk ia menjawab perlahan, “Meski kadang-kadang ia tidak baik padaku, tapi lebih sering dia ... dia sangat baik padaku.”

Melihat kerlingan mata dan senyuman manis Thi Sim-lan yang penuh arti itu, So Ing tahu orang lagi mengenangkan Siau-hi-ji, seketika hati So Ing seperti ditusuk-tusuk jarum, sungguh kalau bisa ia pun ingin merogoh keluar hati Thi Sim-lan dan ditusuk-tusuknya berpuluh kali agar selanjutnya nona itu tidak berani memikirkan Siau-hi-ji lagi.

Sama sekali Thi Sim-lan tidak melihat perubahan sikap So Ing itu, dengan termangu-mangu ia memandang gumpalan awan di atas langit, gumpalan awan itu seakan-akan telah berubah menjadi wajah Siau-hi-ji yang selalu berseri-seri itu.

Dengan suara lembut kemudian ia menyambung pula, “Sudah beberapa tahun kukenal dia, selama ini meski banyak membawa penderitaan hagiku, tapi juga lebih banyak memberikan kebahagiaan padaku. Sesungguhnya aku ... aku harus merasa puas.”

So Ing berpaling ke sana dan sengaja berteriak, “Seumpama dia terkadang sangat baik padamu, ini pun bukan bukti bahwa dia benar-benar suka padamu. Bisa jadi, memang begitulah sikapnya terhadap setiap anak perempuan, atau mungkin juga dia jauh lebih baik kepada orang lain daripadamu.”

“Asalkan dia baik padaku, bagaimana dia perlakukan pada orang lain tak kupusingkan,” ujar Sim-lan dengan lirih.

“Kau tidak cemburu?” tanya So Ing.

“Ada sementara lelaki yang pada dasarnya tidak dapat dimiliki hanya oleh seorang perempuan,” ujar Sim-lan dengan tertawa, “Justru orang demikianlah Siau-hi-ji, jika aku cukup memahami pribadinya, maka aku pun tidak perlu cemburu padanya.”

So Ing tercengang sejenak, jengeknya kemudian, “Hm, tak tersangka kau dapat berlapang dada.”

Sebenarnya ia ingin menusuk perasaan Thi Sim-lan, tak tersangka sang seteru justru tidak marah sedikit pun, malahan ia sendiri berbalik kheki setengah mati.

Selang sejenak ia berkata pula, “Bisa jadi lelaki yang kau kenal cuma dia seorang saja, makanya kau setia mati-matian padanya. Apabila lelaki yang kau kenal tambah banyak, tentu akan kau temukan masih banyak lelaki lain yang jauh lebih baik daripadanya.”

Tiba-tiba berubah juga air muka Thi Sim-lan, makin menunduk kepalanya.

“Kau setuju tidak dengan perkataanku?” tanya So Ing.

“Aku ... aku ....” Sim-lan tergagap, suaranya terasa gemetar.

Baru sekarang So Ing mengetahui perubahan sikap Thi Sim-lan itu, seketika terbeliak matanya katanya pula, “O, kukira lelaki yang kau kenal memang tidak cuma dia saja, betul tidak?”

“Ehm,” Thi Sim-lan bersuara singkat dan menunduk pula.

So Ing menatapnya lekat-lekat, katanya pula “Selain dia, dalam hatimu masa ada lagi seorang?”

Muka Sim-lan menjadi merah dan tidak menjawab.

So Ing tertawa, katanya, “Dugaanku pasti tidak keliru, pantaslah kau tidak cemburu padanya.” Dia berkedip-kedip, lalu menarik tangan Sim-lan pula, katanya dengan tertawa, “Siapakah yang seorang lagi itu? Apakah jauh lebih baik daripadanya?”

Wajah Sim-lan bertambah merah dan sama sekali tidak mau menjawab.

So Ing tertawa nyaring dan tidak tanya pula, hanya dikatakannya, “Seorang perempuan bilamana hatinya sudah terisi dua lelaki, walaupun sangat memusingkan, tapi juga sangat menarik ....”

Thi Sim-lan memainkan ujung bajunya, selang sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Sekarang kau pasti menganggap aku ini perempuan busuk, bukan?”

“Mana bisa kuberpikir begitu,” jawab So Ing tertawa. “Apabila kau perempuan busuk begitu, tentu akan kau anggap main cinta sama seperti makan kacang goreng, tapi sekarang kau mencintai dua lelaki sekaligus, makanya kau serba susah.”

“Sebenarnya hidupku ini sudah kuputuskan akan kuserahkan kepada Siau-hi-ji, tak peduli dia baik atau busuk padaku tetap takkan mengubah pendirianku, siapa tahu ....”

Mata So Ing mengerling, ucapnya dengan tertawa, “Siapa tahu ada lagi seorang yang benar-benar teramat baik padamu dan membikin kau sukar menolaknya, begitu bukan?”

Tiba-tiba Sim-lan mencucurkan air mata, jawabnya dengan terguguk, “Ya, tapi kebaikannya padaku bukan lantaran ingin memiliki diriku ....”

“Semakin dia bersikap begitu, semakin tak enak hatimu padanya, begitu bukan?” tukas So Ing.

“Ehm,” Sim-lan mengangguk.

“Hah, tingkah lelaki demikian ini sudah lama kuketahui dengan jelas,” kata So Ing dengan tertawa.

“Kau ... kau anggap dia sengaja bersikap demikian padaku?”

“Ya, aku mengakui caranya ini memang sangat pintar, terhadap perempuan harus memakai jinak-jinak merpati, seperti didekati, tapi lantas menjauhi, seperti hendak menangkapnya, tapi sengaja dilepaskan, bilamana terlalu kencang kamu mengubernya, dia berbalik akan kabur malah.” Lalu dengan tertawa So Ing menambahkan, “Aku juga perempuan, jiwa kaum perempuan masa aku tidak paham?”

“Ini lantaran … lantaran kamu tidak tahu sebenarnya lelaki macam apakah dia itu?” ujar Thi Sim-lan.

“Kutahu, dia pasti serupa Siau-hi-ji, ya pintar, ya ganteng, ya menyenangkan, tapi terkadang pun rada menjengkelkan, hanya rada-rada menjengkelkan saja.”

“Salah kau,” ucap Sim-lan.

“O?” So Ing melongo heran.

“Dia justru adalah lelaki yang berbeda sama sekali daripada Siau-hi-ji, pada hakikatnya tiada setitik pun yang sama, terhadap anak perempuan dia selalu sopan santun dan simpati, bergurau sepatah kata saja tidak pernah.”

“Wah, lelaki model anjing penjaga rumah begitu sama sekali takkan kusukai,” kata So Ing.

“Tapi … tapi ….”

“Tapi ada juga yang sangat menyukainya, begitu bukan?” tukas So Ing tertawa.

Muka Thi Sim-lan kembali merah, ucapnya, “Aku bukannya men … menyukai dia, soalnya dia pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan sangat … sangat ….” suaranya lirih seperti bunyi nyamuk, pula tergagap-gagap dan terputus-putus seperti orang keselak.

Dengan tertawa So Ing menukasnya, “… bahkan dia juga sangat baik padamu, dia sangat memperhatikan dirimu dalam segala hal, andaikan kau tidak suka padanya, mau tak mau juga mesti berterima kasih padanya, begitu bukan?”

“Ehm,” Sim-lan mengangguk.

“Tapi kau harus tahu, antara terima kasih dan suka terkadang sukar dipisah-pisahkan,” kata So Ing.

Sim-lan menggigit bibir dan termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, “Seumpama aku menyukai dia juga dia takkan menyukai aku.”

“Jika dia tidak suka padamu, untuk apa dia berbuat sebaik itu padamu? Dia kan tidak sinting?”

“Dia memperhatikan diriku, bisa jadi demi Siau-hi-ji,” ucap Thi Sim-lan dengan menunduk.

Sekali ini So Ing benar-benar seperti terkejut, serunya, “Dia baik padamu demi Siau-hi-ji? Ini sungguh aku tidak paham.”

“Dia bilang semoga aku dan Siau-hi-ji bisa … bisa berada bersama,” tutur Sim-lan dengan rawan.

“Memangnya dia juga sahabat Siau-hi-ji,” tanya So Ing.

Thi Sim-lan berpikir sejenak, jawabnya kemudian, “Terkadang mereka memang dapat dianggap sebagai sahabat karib, bilamana salah seorang menghadapi bahaya, yang lain pasti akan membantunya tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Tapi sering pula mereka bertengkar dan saling labrak mati-matian.”

Tiba-tiba So Ing tahu siapakah gerangan orang yang dimaksudkan Thi Sim-lan ini, dia melenggong sejenak, gumamnya kemudian, “Peristiwa ini sungguh sangat aneh dan sangat bagus, sungguh sangat menarik.”

“Setelah kuceritakan isi hatiku sebanyak ini, apakah engkau akan menertawakan diriku?” tanya Sim-lan dengan kikuk.

Dengan suara lembut So Ing menjawab, “Masa kutertawaimu? Apabila seorang mempunyai isi hati, adalah biasa bila perasaan yang tertekan itu dikemukakan kepada seorang teman, kalau tidak kan bisa mati kesal.”

“Tapi ... tapi kita baru saja kenal ....”

“Meski kita baru saja kenal, tapi selanjutnya lambat laun kita bisa menjadi sahabat karib.”

Sim-lan tersenyum pedih, ucapnya, “Selanjutnya? .... Siapa pula yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?”

Berkilau sorot mata So Ing, tiba-tiba ia menarik tangan Thi Sim-lan pula dan berkata dengan lembut, “Begitu melihat dirimu, seketika aku merasa cocok. Jika kau tidak jemu padaku, maukah kau mengakui aku sebagai adikmu?”

Permohonan yang diajukan dengan kata-kata halus dan terucap dari mulut anak perempuan secantik ini, siapa pula yang sanggup menolaknya?

Dengan begitu Thi Sim-lan lantas menjadi kakak angkat So Ing.

Gemilang cahaya sang surya menyinari pegunungan yang hijau permai, kicau burung mengiringi arus sungai yang mengalir selalu, di tengah semilir angin lalu sayup-sayup membawa harum bunga yang memabukkan.

Selamanya Thi Sim-lan tidak pernah membayangkan akan hidup segembira sekarang. Selama ini hidupnya selalu merana, perasaannya tertekan, hampir saja ia putus asa. Sungguh tak terduga akan dijumpainya So Ing.

“Sekarang kau sudah menjadi Ciciku, maka takkan kubiarkan kau pergi lagi mencari Siau-hi-ji,” ucap So Ing dengan tertawa sambil menarik tangan Thi Sim-lan.

“Sebab apa?” tanya Sim-lan.

“Kebanyakan lelaki memang sok jual mahal walaupun sebenarnya bernilai rendah,” kata So Ing. Semakin kau ingin mencarinya, semakin dia merasa bangga. Tapi kalau kau tidak menggubris dia, luka dia yang akan mencari kau walaupun dengan mengesot.”

Thi Sim-lan tertawa, katanya, “Habis apa ... apa yang harus kulakukan?”

“Kau tidak perlu berbuat apa-apa, tunggu saja tenang-tenang, dengan sendirinya ada akalku akan membuat dia datang mencari kau,” tutur So Ing.

Sim-lan menunduk, ucapnya, “Tapi engkau kenal saja tidak ....”

So Ing menggeleng, katanya pula dengan tertawa, “Meski aku tidak kenal dia, tapi pernah kulihat dia.”

“Oo?” Sim-lan rada heran.

“Ya, sekarang aku jadi ingat. Bukankah dia seorang anak muda yang bermata besar, mukanya banyak codet, tapi tampaknya tidak menjemukan, sepanjang hari hanya tertawa melulu, bila berjalan lenggangnya seakan dunia ini dia punya.”

“Mungkin kau tidak tahu, dia malah mengaku sebagai orang paling pintar nomor satu di dunia ini,” tukas Thi Sim-lan geli.

Teringat kepada Siau-hi-ji, hati So Ing terasa manis juga, ucapnya dengan tertawa, “Jika dia mengaku sebagai orang yang paling tebal kulit mukanya kukira lebih dapat dipercaya.”

“Bilakah kau lihat dia?” tanya Sim-lan.

“Belum lama, baru satu dua hari yang lalu.”

Thi Sim-lan menghela napas gegetun, ucapnya, “Orang ini sedetik saja tidak dapat berdiam, baru satu dua hari kau lihat dia, tapi sekarang dia entah sudah berada di mana lagi?”

“Jangan khawatir, asalkan dia berada di pegunungan ini, pasti ada akalku untuk menemui dia.”

“Kau punya akal apa?” tanya Sim-lan.

“Kau tahu, di pegunungan inilah aku dibesarkan, hampir setiap orang penduduk di sini pasti kukenal, kalau aku ingin mencari seseorang yang istimewa begitu, bukankah sangat mudah?”

“Jika ... jika begitu, apakah aku mesti menunggu di sini?”

“Wah, kukira kurang aman bila kau menunggu di sini, apabila pakaianmu ditipu orang lagi, lalu bagaimana?” ucap So Ing dengan tertawa. Sebelum Thi Sim-lan menjawab, segera ia menyambung pula, “Demi keselamatanmu, sekarang juga akan kubawa kau ke suatu tempat.”

“Tempat apa?” tanya Sim-lan.

“Pemilik tempat ini adalah ayah angkatku, meski tampangnya kelihatan bengis, tapi hatinya sangat baik, lebih-lebih terhadap diriku, sungguh tidak kepalang baiknya.”

“Aku percaya,” ucap Thi Sim-lan dengan tertawa, “Kakak angkat seperti aku saja bisa-bisa akan kukorek hatiku untukmu, apalagi sang ayah angkat.”

So Ing mencibir, katanya, “Hatimu hendak kau korek untukku? Bukankah hatimu sudah kau berikan kepada Siau-hi-ji?” Melihat muka Thi Sim-lan berubah merah, cepat ia menyambung pula dengan tertawa, “Ayah angkatku itu she Gui, jika dia mengetahui engkau adalah kakak angkatku, beliau pasti akan membelamu dengan baik. Cuma kau jangan lupa, bentuknya memang kelihatan menakutkan.”

“Jika kelihatannya menakutkan tentu takkan sering kupandang dia,” kata Sim-lan.

“Bagus, cara ini memang sangat bagus,” seru So Ing sambil berkeplok.

Segera dia menarik Thi Sim-lan menyusuri hutan, pegunungan sunyi senyap, dunia ini seakan-akan penuh rasa aman dan damai sehingga membuat orang merasa hidup ini bahagia. Tiba-tiba Thi Sim-lan juga penuh harapan terhadap masa yang akan datang.

Setelah berjalan sejenak, mendadak So Ing berhenti dan berkata, “Ai, hampir saja kulupa, aku masih harus memenuhi suatu janji pertemuan.”

“Janji pertemuan?” Sim-lan menegas.

“Ya, aku sudah berjanji akan bertemu dengan seorang di belakang gunung sana, sekarang waktunya sudah hampir tiba. Wah, bagaimana baiknya?”

“Melihat kegelisahanmu ini, jangan-jangan hendak bertemu dengan jantung hatimu?”

Muka So Ing ternyata tidak merah, jawabnya sambil menggeleng, “Bukan.”

“Jika kau tidak mau terus terang, biarlah aku ikut mengacau ke sana.”

“Memangnya kenapa kalau jantung hatiku? Masa kau saja yang boleh punya kekasih dan aku tidak boleh?”

“Jangan cemas, aku takkan ikut ke sana.”

So Ing mengerling, katanya, “Dari sini langsung menuju ke atas bukit sana, tidak lama kemudian akan kau lihat sebidang pepohonan, di sanalah tempat tinggal ayah angkatku.”

“Masa ... masa aku disuruh ke sana sendirian?”

“Sendirian juga tidak apa-apa, asalkan setiba di sana tentu ada orang akan memapak kau?”

“Tapi mereka kan tidak kenal diriku?”

So Ing berpikir sejenak, diambilnya tusuk kundainya dan diberikan kepada Thi Sim-lan, katanya, “Perlihatkan saja tusuk kundai ini, katakan aku yang menyuruhmu ke sana, tentu mereka akan menyambut kedatanganmu dengan hormat dan mengatur segala keperluan.”

Walaupun merasa enggan, tapi mau tak mau Thi Sim-lan harus pergi ke sana. Sekarang ia mirip segumpal awan yang mengambang di udara tanpa arah tujuan, ia pun tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

So Ing memandangi kepergian Thi Sim-lan itu, baru saja ia menghela napas lega, sekonyong-konyong terdengar seorang berkata dengan gegetun, “Kasihan budak itu, sudah dijual oleh orang masih belum tahu.”

“Haha, nona So ini tidak menjualnya padamu, makanya kau berlagak kasihan padanya?” demikian terdengar seorang lagi menanggapi dengan tertawa.

“Semula kuanggap budak she Thi itu tidaklah jelek, tapi kalau dibandingkan nona So ini, hakikatnya budak Thi mirip sepotong kayu belaka,” demikian orang ketiga berkata dengan terkekeh-kekeh.

“Ya, makanya Siau-hi-ji kita tidak boleh punya bini seperti bonggol kayu,” ujar orang keempat dengan tertawa.

Di tengah suara gelak tertawa itu, dari balik batu sana mendadak muncul empat orang. Bentuk keempat orang ini yang satu lebih aneh daripada yang lain. Heran, entah cara bagaimana keempat orang aneh ini bisa berkumpul menjadi satu.

Terlihat orang pertama berwajah kotor dengan rambut semrawut, pakaiannya sudah dekil lagi compang-camping sehingga mirip pengemis. Tapi tangannya justru memegang sebuah pipa tembakau bertatah jamrud yang tak ternilai harganya.

Orang kedua bermuka bundar, perutnya buncit, usianya jelas tidak muda lagi, tapi lagaknya seperti anak kecil, tiada hentinya bergelak tertawa sehingga mirip Mi-lik-hud, itu Budha tertawa yang terkenal.

Orang ketiga berkundai licin dengan hiasan batu permata, pupur di mukanya setebal hampir setengah senti sehingga mirip orang bertopeng, maka sukar diketahui sebenarnya wajahnya bagus atau jelek, sudah tua atau masih muda? Yang jelas cara bersoleknya adalah perempuan, tapi yang dipakainya adalah baju lelaki, sedangkan kakinya memakai sepatu perempuan yang bersulam sutera merah dan bermutiara.

Orang keempat adalah lelaki kekar tegap, sorot matanya tajam, cuma mulutnya sangat lebar, seperti mulut singa, kepalan tangan mungkin bisa masuk.

Meski So Ing tidak tahu keempat orang ini adalah tokoh-tokoh Cap-toa-ok-jin yang termasyhur, yaitu Pek Khay-sim, Ha-ha-ji, To Kiau-kiau dan Li Toa-jui, tapi dia sudah pernah melihat mereka, telah disaksikannya cara bagaimana keempat orang itu mengerjai Gui Moa-ih. Sekarang keempat orang ini muncul pula dan mengepungnya di tengah. Biasanya dia tidak mudah memperlihatkan perasaannya, kini tidak urung air mukanya rada pucat juga.

“Jangan takut, nona So,” kata Li Toa-jui dengan tertawa. “Sudah dua hari ini aku kurang nafsu makan, umpama akan kumakan kau, sedikitnya perlu menunggu lagi beberapa hari.”

“Hihihi, anak perempuan secantik manis ini, sekalipun kau tega memakannya juga takkan kululuskan,” ucapTo Kiau-kiau dengan terkikik-kikik.

“Tapi, menurut pendapatku, lebih baik biarkan dia dimakan oleh Li Toa-jui,” ujar Pek Khay-sim.

“Hahaha, kau benar-benar cocok dengan julukanmu yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri,” seru Ha-ha-ji dengan terbahak. “Umpama Li Toa-jui memakannya, apa pula faedahnya bagimu?”

“Sedikitnya aku tidak perlu khawatir kalau-kalau dijual olehnya,” kata Pek Khay-sim.

“Haha, memangnya berapa harganya satu kati tulangmu yang bau busuk ini, untuk apa dia menjual dirimu?” kata Ha-ha-ji.

“Hm, kakaknya saja sudah dijualnya, apalagi diriku?” jengek Pek Khay-sim.

So Ing mengerling, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Apakah kedatangan kalian ini hendak membela keadilan bagi Thi Sim-lan?”

To Kiau-kiau menghela napas, katanya, “Kalau dibicarakan, budak Thi Sim-lan ini sesungguhnya memang harus dikasihani.”

“Jika kalian merasa aku telah menipu dia, mengapa tadi kalian tidak mencegah kepergiannya?” ujar So Ing dengan tertawa.

“Dia bukan anakku juga bukan biniku, dia tertipu atau tidak, apa sangkut-pautnya denganku? Untuk apa aku meski ikut campur?” demikian ucap Pek Khay-sim dengan menarik muka.

“Apalagi,” sambung Ha-ha-ji, “Kan tiada salahnya biarkan dia pergi ke tempat Gui Bu-geh, nah, barulah nanti akan banyak tontonan yang menarik.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes