Wednesday, May 12, 2010

bgp6_part2

Rombongan orang aneh ini lantas berduyun ke sana, para tamu cepat menyingkir memberi jalan.

Si gendut lantas buka suara, “Haha, orang udik memang tidak tahu aturan, untuk itu hendaklah Sobat kecil ini suka memberi maaf.”

Tampaknya dia minta maaf, tapi menyebut orang sebagai “sobat kecil”, tentu saja orang itu kurang senang dan menarik muka. Tapi sebelum mengumbar marahnya, tiba-tiba seperti teringat sesuatu, air mukanya mengunjuk rasa kejut dan heran, sorot matanya menyapu sekejap orang-orang aneh ini, lalu ia lihat pula Hoa Bu-koat yang didandani secara tak keruan itu, ia tambah terkejut dan bertanya, “Apakah kalian ....”

Si gendut lantas menukas, “Sobat kecil, nama kami sebaiknya jangan kau sebut agar tidak membikin kotor mulutmu.”

Orang itu berpikir sejenak, kemudian ia memberi hormat dan berkata, “Cayhe Cin Kiam ....”

Baru saja ia menyebut namanya sendiri, dari kabin kapal telah muncul pula beberapa orang, ada lelaki ada juga perempuan, yang perempuan cantik dan molek, yang lelaki cakap dan ganteng. Jelas mereka pun tahu siapa-siapa rombongan orang aneh itu, namun wajah mereka sama menampilkan senyuman gembira.

Jika mereka tidak tahu asal-usul rombongan orang aneh ini dan menyambut kedatangan mereka dengan hormat, hal ini tidak perlu diherankan. Tapi setelah tahu seluk-beluk orang-orang ini dan mereka tetap menyambutnya dengan tersenyum, inilah yang aneh dan luar biasa.

Padahal orang kangouw umumnya bila bertemu dengan Cap-toa-ok-jin kebanyakan pasti akan marah dan benci, kalau tidak kontan melabrak mereka tentu juga lari terbirit-birit. Namun orang-orang di kapal ini ternyata lain daripada yang lain.

Segera Ha-ha-ji membuka suara pula, “Hahaha, coba kalian lihat, betapa hormat dan terpelajarnya para tuan menantu keluarga Buyung, terhadap beberapa potong kotoran macam kita ini toh tetap menyambut dengan segala hormat.”

Dengan terkekeh-kekeh To Kiau-kiau menyambung, “Ini namanya di bawah orang ternama tidak ada anak buah yang jelek, kalau tidak mana para Nona Buyung yang ayu ini mau diperistri oleh mereka?”

Li Toa-jui lantas tampil ke muka dan menjura, ucapnya, “Kami mendengar para Kongcu sedang melangsungkan pesta nikah, maka kami sengaja datang buat mengucapkan selamat, entah para Kongcu apakah sudi menerima orang gunung yang kasar semacam kami ini?”

Han-wan Sam-kong mengernyitkan dahi, katanya, “Keparat, biasanya Li Toa-jui makan manusia tanpa buang tulang, cara bicaranya sekarang juga bisa sopan santun begini ....”

“Memang,” tukas Pek Khay-sim dengan tertawa, “meski mulut orang-orang itu suka omong manis, yang benar ibarat musang memberi selamat kepada ayam, tidak nanti bermaksud baik. Jika kalian tahu gelagat, paling tepat lekas kalian mengusir mereka.”

Yang berdiri di haluan kapal itu selain samkohya (anak menantu ketiga) Cin Kiam terdapat pula toakohya (menantu pertama) Tan Hong-ciau, jikohya (menantu kedua) Lamkiong Liu, sikohya (menantu keempat) Bwe Tiong-liong, gokohya (menantu kelima) Loh Beng-to, semuanya bersama istri. Boleh dikatakan kesatria muda persilatan daerah Kanglam telah terwakili dan hadir seluruhnya di sini.

Mereka merasa heran melihat Hoa Bu-koat hanya diam saja dalam keadaan aneh dandanannya, namun begitu mereka menyambut dengan berseri tertawa dan penuh hormat.

Setelah Ha-ha-ji dan kawan-kawannya habis mengoceh barulah Tan Hong-ciau membuka suara sambil memberi hormat, “Bahwa kalian sudi berkunjung kemari, sungguh suatu kehormatan besar bagi kami dan kalian adalah tamu agung di sini.”

“Apalagi Han-wan-siansing adalah sahabat karib kohya (menantu) baru kami?” tukas Buyung Siang dengan tertawa. “Ayolah silakan kalian naik ke atas kapal.”

Li Toa-jui membalas hormat orang dan menjawab, “Jika demikian, mau tak mau kami harus menerima undangan dengan hormat.”

Di antara anak menantu keluarga Buyung itu hanya Cin Kiam dan Bwe Tiong-liong saja tampak waswas menghadapi kawanan tamu yang tak diundang ini.

Ketika lewat di depan mereka, dengan tertawa To Kiau-kiau berkata, “Jangan khawatir, kedatangan kami ini khusus untuk pesta pora dan makan enak, bukan bermaksud mencari setori, juga takkan mencuri segala, tidak perlu kalian mengawasi kami seperti pencoleng.”

Dengan suara keras Han-wan Sam-kong juga berteriak, “Betul, hari ini adalah hari bahagia Oh-laute kita, jika ada anak kura-kura yang berani mengoceh tidak keruan, aku Ok-tu-kui yang pertama-tama takkan tinggal diam.”

“Hm, hanya sedikit kemampuanmu kukira masih selisih jauh,” jengek Pek Khay-sim. “Apabila penyakit makan orang Li Toa-jui sudah kumat, memangnya kau mampu menyumbat mulutnya dengan sebuah kepala manusia?”

Sembari bicara dan bergurau mereka lantas naik ke atas kapal, para tamu yang duduk di dalam bangsal sama melongo karena tidak tahu orang macam apakah rombongan orang aneh itu dan mengapa tuan-tuan muda itu pun sedemikian hormat pada mereka.

Di dalam kabin kapal ternyata sudah siap beberapa meja perjamuan, di situ masih ada lakkohya (menantu keenam), jitkohya (menantu ketujuh), dan patkohya (menantu kedelapan), juga hadir di situ Koh Jin-giok serta Siau-sian-li Thio Cing.

Melihat kedatangan rombongan Li Toa-jui, seketika Siau-sian-li melototi mereka. Tapi sorot mata kebanyakan orang justru sama tertuju ke arah Hoa Bu-koat. Mereka benar-benar tak habis mengerti mengapa ahli waris Ih-hoa-kiong bisa berubah menjadi runyam begitu.

Namun putra-putri keluarga terpelajar biasanya tidak suka bertanya urusan pribadi orang lain bilamana orang tidak bercerita, sekalipun dalam hati mereka ingin tahu setengah mati juga terpaksa pura-pura tidak tahu dan tidak berani bertanya.

Begitulah para tamu lantas dipersilakan duduk, rombongan Li Toa-jui tepat mengerumuni sebuah meja, Toh Sat duduk di tempat utama, yang duduk mengiring sebagai tuan rumah adalah Tan Hong-ciau dan Lamkiong Liu.

Kedua orang ini lemah lembut, sopan santun, duduk di tengah-tengah rombongan orang-orang yang berbentuk aneh, tentu saja lebih mencolok. Jika dalam keadaan biasa, tentu mereka dan Hoa Bu-koat akan saling menghormat dan bersahabat, tapi sekarang mereka sama sekali tidak memandangnya.

Bu-koat sendiri juga diam saja seperti patung, ia duduk termenung tanpa menghiraukan orang lain, tak dipusingkannya orang lain merasa kasihan kepadanya atau lagi menertawakan dia, sama sekali tak dipedulikan olehnya.

Setelah arak disuguhkan berulang tiga kali ternyata kedua mempelai belum lagi muncul.

“Ada pesta, kenapa tidak ada musiknya?” kata Li Toa-jui tiba-tiba.

“Ah, dalam keadaan terburu-buru, semuanya serbasederhana, mohon kalian sudi memberi maaf,” kata Tan Hong-ciau.

“Jika demikian, adat istiadat juga harus dilaksanakan,” kata Li Toa-jui pula. “Apalagi ....”

“Apalagi di sini masih ada dua pasang mempelai lagi yang ingin membonceng pesta kalian serta melangsungkan pesta pernikahan bersama Nona Kiu serta kiukohya kalian,” sambung To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Oo, ada dua pasang mempelai pula?” Tan Hong-ciau melenggong.

“Entah mempelai siapa?” tanya Lamkiong Liu.

Meski dia sangat sopan dan prihatin, tidak urung sekarang ia memandang ke arah Hoa Bu-koat, terlihat wajah Bu-koat yang pucat pasi itu tiada rasa gembira dan tiada rasa berduka.

Di sebelah Bu-koat duduk seorang nona cantik, air mukanya jelas kelihatan menanggung sedih, bahkan sukar untuk diterka bagaimana jalan pikirannya.

“Hahaha, jika sekarang tiga pasang mempelai melangsungkan pernikahan sekaligus, kelak ketiga pasang suami istri ini akan mendapat berkah ‘tiga banyak’, yakni banyak rezeki, banyak umur, dan banyak anak cucu,” kata Ha-ha-ji dengan tertawa.

Tan Hong-ciau tersenyum, katanya, “Doa restumu sungguh kami terima dengan hormat, cuma sayang ....”

“Sayang apa?” tanya Li Toa-jui.

“Sayang upacara nikah Adik Kiu kami telah berlangsung dan sekarang sudah berangkat pergi dengan kapal lain,” jawab Tan Hong-ciau.

“Tentunya kalian tahu bahwa suami-istri Adik Kiu telah kenyang suka-duka,” sambung Lamkiong Liu. “Sebab itulah mereka ingin menikmati hari bahagia mereka dengan tenang, untuk itu tentunya kami pun setuju sepenuhnya.”

To Kiau-kiau dan Li Toa-jui saling pandang sekejap tanpa komentar.

Ha-ha-ji lantas berkata, “Haha, jika orang lain yang bicara demikian, tentu kami akan menganggap dia terlalu menghina kami, tapi kata-kata ini diucapkan oleh kalian, tentu saja bobotnya berbeda.”

“Terima kasih,” kata Tan Hong-ciau.

“Bila dalam keadaan biasa, bukan mustahil kalian akan bertindak demi keadilan apabila bertemu dengan kami, sebab kalian adalah orang baik semua, sedangkan kami adalah orang jahat, tentunya kedua pihak tidak akan saling memberi kelonggaran.”

Tan Hong-ciau hanya tersenyum saja tanpa menanggapi ucapan To Kiau-kiau itu.

Maka Kiau-kiau lantas menyambung pula, “Makanya, jika dalam keadaan biasa, tentu kami pun tidak berani berkunjung kemari, sebab pengaruh keluarga Buyung teramat menakutkan, kami pun tidak berani mencari perkara padanya.”

“Ah, mana berani,” ucap Tan Hong-ciau sambil membungkukkan tubuh.

“Tapi suasana hari ini jelas tidak sama, justru kami sudah memperhitungkan kalian pasti tidak akan bertindak apa-apa kepada kami, makanya kami berani datang ke sini ....”

“Hahaha, karena kami sudah datang betapa pun kami harus mengendon di sini. Syukur kalian adalah kesatria yang sopan, pula sedang ada kerja, seumpama kami bersikap kurang sopan, tentunya kalian pun takkan mengusir kami,” demikian Ha-ha-ji menambahkan.

“Ya, hanya manusia rendah saja yang suka mengusir kami, betul tidak?” tukas To Kiau-kiau dengan tertawa.

Mendadak Cin Kiam berdiri, tanyanya dengan kereng, “Sebenarnya Tuan-tuan ada keperluan apa, silakan ....”

“Keperluan sih tidak ada,” tukas Li Toa-jui dengan tertawa. “Kami cuma ingin meminjam tempat ini sebagai ruangan pesta untuk melangsungkan pernikahan kedua pasang mempelai ini.”

Cin Kiam hendak bicara lagi, tapi telah dicegah Tan Hong-ciau, katanya sambil tersenyum, “Bahwa Tuan-tuan sudi berkunjung kemari, sungguh suatu kehormatan besar bagi kami. Cuma ... cuma di sini tiada musik tabuh pengiring upacara.”

“Kalau cuma musik tabuh saja apa sukarnya?” seru Li Toa-jui sambil tertawa, mendadak ia jemput dua batang sumpit terus mulai memukul tepian mangkuk sehingga menimbulkan suara “trang-tring” yang nyaring, Ha-ha-ji juga lantas mendekap mulutnya dengan tangan dan meniupkan suara “tralala”.

To Kiau-kiau tertawa terpingkal-pingkal, katanya, “Dengan musik paling merdu ini, masa upacara tak dapat berlangsung?”

Segera ia tarik Pek-hujin dan Thi Sim-lan. Pek Khay-sim mendelik, tapi lantas tertawa, segera ia pun menarik Hoa Bu-koat ke depan.

Sambil menabuh mangkuk Li Toa-jui terus berkaok-kaok sebagai protokol atau pembawa acara, “Silakan kedua pasang mempelai maju ke depan! Silakan saling menghormat dengan menyembah kepada langit dan bumi! Pengantin baru menyuguh arak ....”

Meski para kakak beradik Buyung itu tergolong perempuan terpelajar, kedelapan suami mereka juga kesatria ternama, tapi selama hidup ini belum pernah melihat kejadian aneh dan sukar dimengerti ini, seketika mereka hanya melenggong saja dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara Im Kiu-yu yang seram itu sedang membentak, “Siapa orang itu?”

Lalu terdengar lagi terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh dan menjawab, “Aku bukan orang!”

Tanya-jawab itu membuat semua orang terkejut. Agaknya Im Kiu-yu yang berjaga di sana juga melengak, terdengar ia bertanya lagi, “Kau bukan orang? Memangnya setan!”

“Betul, sedikit pun tidak salah, aku memang setan!” jawab orang itu.

Tiba-tiba Im Kiu-yu tertawa seram, katanya pula, “Kau setan? Tahukah kau aku ini siapa?”

“Kau cuma setengah setan setengah manusia, sebaliknya aku ini setan penuh,” kata orang itu.

Pek Khay-sim menjadi geli, ia berkeplok tertawa, katanya, “Haha, bagus, bagus! Tak tersangka Im Kiu-yu hari ini benar-benar ketemu setan di siang hari bolong.”

Semua orang pun terheran-heran dan juga merasa geli.

Terdengar orang tadi bergelak tawa dan berkata, “Memang betul, kalian telah melihat setan di siang bolong, aku inilah setan siang hari.” Di tengah gelak tertawanya, sesosok bayangan tampak melayang tiba di luar kabin sana.

Padahal yang berada di dalam kabin kapal hampir seluruhnya jago kelas satu, ginkang To Kiau-kiau, Pek Khay-sim, Loh Beng-to, dan lain-lain lagi juga sangat terkenal, tapi mereka pun terkejut demi melihat ginkang orang ini.

Li Toa-jui dan kawan-kawan juga sama tahu kemampuan Im Kiu-yu, bilamana dia sudah membayangi seseorang, maka jangan harap orang itu akan dapat meloloskan diri. Tapi sekarang dengan ringan saja orang itu dapat melayang masuk kabin tanpa rintangan apa pun, maka dapatlah diduga ginkangnya pasti jauh lebih tinggi daripada Im Kiu-yu.

Sungguh mereka tidak berani membayangkan siapakah gerangan pendatang ini? Sebab selain Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian di dunia ini tidaklah banyak orang yang memiliki ginkang setinggi ini.

Namun orang ini jelas bukan Yan Lam-thian, lebih-lebih bukan Ih-hoa-kiongcu.

Di bawah cahaya lampu tertampak perawakannya yang pendek, tidak sampai tiga kaki atau kurang dari satu meter. Nyata seorang kerdil.

Kebanyakan orang kerdil tentu akan buruk rupa dan cacat badan, namun si cebol ini ternyata lain daripada yang lain, baik kepalanya, tangannya, kakinya, dan tubuhnya, semuanya tumbuh normal dan berimbang, malahan wajahnya juga kelihatan putih halus, boleh dikatakan cakap, juga berjenggot cabang lima dengan indah, tampaknya seorang yang berilmu dan saleh.

Cuma dandanannya yang agak ganjil, tidak preman dan tidak beragama, dia memakai jubah pendek berwarna kelabu, di punggung menyandang pedang pula. Cuma pedang ini sangat pendek, lebih pendek daripada belati umumnya, jadi seperti barang mainan kanak-kanak.

Jika anak kecil ketemu si kerdil ini pasti akan diseretnya untuk diajak bermain, pemain akrobat yang suka berkeliling ketemu dia pasti akan dianggapnya menemukan pemain yang akan menarik penonton, kalau dia ketemu pembesar, bisa jadi dia akan dimasukkan ke istana raja dan dijadikan badut penghibur raja.

Tapi melihat orang kerdil atau manusia mini ini, To Kiau-kiau tak dapat tertawa lagi. Melihat air muka kawannya berubah, Toh Sat, Li Toa-jui, dan lain-lain lantas melenggong juga, tiba-tiba mereka teringat pada seseorang.

Sementara itu Im Kiu-yu juga sudah ikut melayang masuk kabin dan seperti hendak melabrak si manusia mini, namun To Kiau-kiau cepat mencegahnya, Li Toa-jui lantas membisikinya beberapa kata. Seketika Im Kiu-yu berubah pucat dan mengeluyur keluar lagi.

Dalam pada itu si kerdil telah menjura kepada segenap hadirin, ucapnya dengan tertawa, “Maaf, bilamana tamu yang tak diundang ini telah mengganggu kalian, maaf.”

Sudah tentu Tan Hong-ciau, Lamkiong Liu, dan lain-lain juga terkejut, tapi mereka tetap membalas hormat orang itu dengan sopan. Hanya Samkohnio Buyung San saja tiba-tiba ingat sesuatu, katanya, “Sewaktu kecil Wanpwe pernah mendengar bahwa di dunia kangouw ada seorang pendekar aneh yang jejaknya sukar diraba, sungguh sudah lama aku ingin berkenalan dengan beliau.”

Seketika terbeliak juga Buyung Siang, cepat ia menanggapi, “He, apakah maksud Sam-moay ialah pendekar aneh yang ... yang bernama ....”

“Hahaha, Nona tidak perlu pantang omong,” seru si kerdil dengan tertawa. “Katakan saja ‘Kui-tong-cu’ (Anak Setan), nama ini sudah biasa bagiku, tidak nanti kumarah dengan nama ini.”

Mendengar nama “Kui-tong-cu” seketika Tan Hong-ciau, Lamkiong Liu, dan lain-lain sama terkesiap. Sejak kecil mereka sudah pernah mendengar cerita tentang “anak setan”, konon ginkangnya tinggi luar biasa, adalah ahli waris “yim-sut”, semacam ilmu gelut di kepulauan lautan timur (kepulauan Okinawa Jepang).

Konon Kui-tong-cu ini seakan-akan mahir ilmu menghilang, jika dia hendak mencari rahasiamu, sekalipun dia sembunyi di bawah kursimu juga takkan kau ketahui.

Cuma tokoh aneh ini sudah terkenal pada lima puluh tahun yang lalu, selama tiga puluh tahun terakhir ini hampir tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya, konon dia telah pergi lagi jauh ke lautan timur sana untuk menikmati kehidupan bebas di pulau yang mengasyikkan itu.

Ada pula cerita, katanya di kepulauan timur sana kebanyakan penghuninya adalah orang pendek (bangsa Ainu, penduduk asli kepulauan Jepang memang rata-rata bertubuh pendek), sebab itulah ia merasa cocok berdiam di sana. Sekarang tokoh ini mendadak muncul lagi di daerah Tionggoan, hal ini sungguh aneh dan entah apa maksud tujuannya.

Dengan hormat Tan Hong-ciau lantas buka suara, “Sudah lama Wanpwe sekalian mendengar nama kebesaran Cianpwe, kini dapat berjumpa, sungguh sangat menggembirakan.”

“Haha, mulutmu omong manis begini, dalam hati mungkin kalian waswas dan ingin tanya untuk apa makhluk tua aneh ini datang kemari, betul tidak?” kata Kui-tong-cu dengan tertawa.

“Ah, mana berani,” jawab Tan Hong-ciau.

“Padahal tanpa kau tanya juga akan kukatakan,” ujar Kui-tong-cu.

Tan Hong-ciau hanya mengiakan tanpa memberi komentar lagi.

Maka si kerdil lantas berkata pula, “Kedatanganku ini adalah untuk urusan: pertama, kudengar Nona Thi ini hendak menikah, maka sengaja kupanggilkan satu rombongan pemain musik, kujamin rombongan musik ini adalah pemain kelas satu. Tapi saat ini rombongan pemusik itu belum tiba dan upacara pernikahan Nona Thi telah berlangsung, ini kan membikin malu padaku, sebab itulah sedapatnya kuharap Nona Thi menunda sebentar upacara nikah ini.”

Diam-diam Tan Hong-ciau dan lain-lain menghela napas lega setelah mengetahui kedatangan orang aneh ini bukan hendak mencari perkara kepada mereka.

Sedangkan Li Toa-jui dan kawan-kawannya diam-diam terkejut, mereka heran ada hubungan apakah antara si kerdil aneh dengan Thi Sim-lan? Mengapa dia ikut sibuk bagi urusan nona ini?

Kui-tong-cu tertawa dan berkata pula, “Sebenarnya aku ini tidak pernah kenal Nona Thi ini, cuma pembawaanku saja yang suka ikut campur urusan tetek bengek.”

Meski di dalam hati Li Toa-jui dan kawan-kawannya sama sangsi dan penuh tanda tanya, tapi tiada seorang pun berani bertanya.

Bahwa mereka sudah berdiam selama dua puluh tahun di Ok-jin-kok dengan batin tersiksa, kini mereka muncul lagi di dunia kangouw, meski tindak tanduk mereka agak mendekati main gila dan mengacau, tapi apa pun juga mereka adalah “Cap-toa-ok-jin”, nama Cap-toa-ok-jin itu tidak diperoleh dengan begitu saja. Maka bila benar-benar menghadapi urusan gawat, pada umumnya mereka dapat menahan perasaan dan berpikir panjang.

Terdengar Kui-tong-cu berkata pula, “Dan urusan kedua, jika kuceritakan tentu akan sangat menarik.”

“Wanpwe siap mendengarkan,” ujar Tan Hong-ciau dengan tersenyum.

“Soalnya tanpa sengaja aku telah menyelamatkan satu orang, kabarnya orang ini manusia berengsek. Tapi dasar watakku memang juga aneh dan paling suka berkawan dengan orang berengsek. Sebab pada umumnya orang tidak suka berkawan dengan orang berengsek, jika aku pun serupa orang lain, kan kasihan orang berengsek itu. Dan kalau seorang perlu dikasihani kan tidak dapat dikatakan berengsek lagi?”

Diam-diam para Buyung bersaudara itu sama geli mendengar ocehan si kerdil yang lucu itu.

Tiba-tiba Pek Khay-sim menyela, “Wah, jika begitu, mungkin kawan berengsek Cianpwe ada satu barisan bila dikumpulkan.”

Dasar mulut usil dan suka pada kata-kata yang menyakitkan hati, bilamana Pek Khay-sim bungkam saja mungkin tenggorokannya akan terasa gatal, maka pada setiap kesempatan dia pasti ikut menimbrung, hal ini serupa seekor anjing yang melihat najis, sulit untuk melarangnya agar jangan makan kotoran.

Kui-tong-cu memandangnya dengan tertawa, “Tampaknya kau inilah yang bernama Pek Khay-sim yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri itu. Hehe, kau memang tidak bernama kosong. Kedatanganku ini antara lain juga ingin mencarimu.”

Keruan Pek Khay-sim terkesiap, cepat ia berkata, “Men ... mencari aku? Untuk ... untuk apa? Aku kan tidak makan manusia juga tidak ... berjudi, betapa pun aku kan lebih bersih daripada mereka?”

“Sebenarnya bukan aku yang ingin mencarimu, hanya kawanku yang berengsek itulah merasa ada urusan yang belum dibereskan bersamamu, maka dia ingin berunding lebih lanjut dengan kau,” sampai di sini mendadak si kerdil berseru, “Ayolah, lekas kemari, kau harimau ompong, apakah kau tak berani menemui orang lagi?”

Mendengar kata-kata terakhir ini segera Pek Khay-sim hendak mengeluyur pergi, sebab ia sudah tahu orang yang dimaksud itu. Pek-hujin yang sejak tadi tampak berlagak kemalu-maluan itu, demi mendengar ucapan si kerdil ini, seketika mukanya juga berubah pucat.

Namun sudah terlambat bagi Pek Khay-sim untuk mengeluyur pergi, baru saja ia lompat ke sana, tahu-tahu Kui-tong-cu sudah mengadang di depannya dengan tertawa.

Pada saat itu pula terdengar berdetaknya geladak kapal, seorang muncul dengan langkah lebar. Siapa lagi dia kalau bukan orang yang istrinya hendak direbut Pek Khay-sim, yaitu Pek San-kun.

Pek Khay-sim menghela napas gegetun, gumamnya, “Ai, persoalan yang rumit ini cara bagaimana harus diselesaikan?”

“Kalau sukar diselesaikan, boleh dihitung saja secara perlahan-lahan,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa. “Kalian kan sudah menjadi sekutu dalam perusahaan, apa pula yang sulit dirundingkan?”

Dengan geregetan Pek Khay-sim melototi Li Toa-jui, kalau bisa ia hendak melabraknya dengan mati-matian. Cuma saat itu Pek San-kun sudah berada di depannya, cepat ia menyapa dengan tertawa, “Kita sama-sama she Pek dan berasal dari satu kandang, janganlah kita percaya kepada mulut usil orang lain yang hendak mengadu domba sehingga keluarga Pek kita bertengkar sendiri.”

“Hm, berasal dari satu kandang, tentu juga berkongsi dalam kamar,” ujar Li Toa-jui.

Kembali Pek Khay-sim menjadi murka, segera ia hendak menubruk maju, tapi Pek San-kun malah mencegahnya dan berkata dengan tertawa, “Sebenarnya ucapan Saudara ini juga betul, aku ....”

“Ucapannya betul? Hm, hakikatnya dia lagi kentut,” teriak Pek Khay-sim. “Aku dan binimu tiada ... tiada sesuatu hubungan apa pun, aku pun tidak ... tidak ingin menikahi dia, kedatanganmu ini sungguh sangat kebetulan bagiku.”

“Ah, mana boleh jadi begitu?” ujar Pek San-kun. “Jika biniku itu sudah menikah denganmu, selanjutnya dia adalah istrimu, jelek-jelek aku pun tahu istri kawan sendiri jangan diganggu, mana boleh kuganggu istrimu sekarang.”

Bahwa Pek San-kun dapat bicara demikian, ini benar-benar membuat semua orang tercengang dan tidak terkecuali Pek Khay-sim, dengan tergagap-gagap ia berkata, “Ap ... apa artinya ucapanmu ini? Masa ... masa kau tidak mengambil kembali binimu?”

“Sama sekali tiada maksudku untuk bertindak begini,” jawab Pek San-kun dengan tertawa. “Kedatanganku justru akan mengadakan penyelesaian prosedur denganmu, yakni mengadakan timbang terima resmi, habis itu siapa pun tidak boleh mengganggu gugat lagi.”

“Aku merebut binimu, masa ... masa kau tidak mengadu jiwa denganku?” teriak Pek Khay-sim dengan tergagap.

“Tidak, sama sekali tiada maksudku hendak bertengkar denganmu, bahkan aku harus berterima kasih padamu,” kata Pek San-kun.

Keruan Pek Khay-sim melongo tidak habis mengerti, ucapnya kemudian, “Masa ... masa kau ... kau berterima kasih? ....”

“Hahaha!” Pek San-kun bergelak tertawa dan berkata pula, “Cayhe sudah menikmati dia selama dua puluh tahun, sekarang sudah waktunya kau pun boleh mencicipi dia. Meski perangainya memang kurang baik, cemburunya juga gede, tidak dapat menanak nasi, juga tidak mahir mengurus rumah tangga, tapi terkadang ia pun bisa goreng telur, cuma sayang lebih sering kebanyakan garam sehingga asinnya minta ampun ....”

Sungguh sukar dibayangkan Pek San-kun bisa bicara seperti ini, keruan Pek Khay-sim melenggong dan menyengir.

Sedangkan Pek-hujin lantas berjingkrak girang, teriaknya parau, “Kau ... kau tua bangka mau mampus, kau berani ... berani membusuk-busukkan nyonya besar ....”

“Eh, jangan Toaso (kakak ipar) salah sasaran,” kata Pek San-kun sambil tertawa. “Sekarang Cayhe bukan lagi suami Toaso, untuk ini hendaklah Toaso selalu mengingatnya dengan baik.”

Seketika Pek-hujin juga melenggong dan tidak dapat bersuara lagi.

Pek San-kun memberi hormat dan berkata pula, “Terimalah ucapan selamat dariku, semoga kalian hidup rukun bahagia hingga hari tua, atas kebaikan kalian berdua yang telah sudi membebaskan tanggung jawabku, sungguh Cayhe takkan lupa dan kelak pasti akan membalas budi kebaikan kalian ini.”

Dia menghela napas lega dan terbahak-bahak, lalu membalik dan melangkah pergi.

Semua orang saling pandang dengan bingung, siapa pun tidak menyangka di dunia ini ada manusia macam begini dan kejadian demikian.

Selang sejenak barulah Pek-hujin bergumam, “O, dia tidak menghendaki diriku lagi, dia telah meninggalkan diriku, apakah benar ini ....”

“Akan lebih baik jika tidak benar,” ujar Pek Khay-sim. “Cuma sayang, tampaknya dia memang tidak pura-pura.”

“Tidak, ini pasti tidak benar,” teriak Pek-hujin. “Kutahu ... kutahu saat ini dia pasti sangat sedih, tak dapat kubiarkan dia pergi begitu saja.”

Sambil berteriak ia terus lari keluar. Padahal dia sudah kelaparan selama tiga-empat hari, selama itu Pek Khay-sim hanya memberi makan sepotong bakpao dan secangkir air, sekarang setitik tenaga itu telah dikeluarkan semua untuk berlari sekuatnya seperti khawatir kalau kedua kakinya akan ditarik orang dari belakang. Padahal tiada seorang pun yang akan punya pikiran untuk menariknya, lebih-lebih Pek Khay-sim.

Sebenarnya Pek Khay-sim juga merasakan perempuan ini agak menarik, yang paling menarik adalah karena dia istri orang lain. Kaum lelaki pada umumnya memang cenderung mempunyai suatu pendapat yang sama, yaitu bahwa istri orang selalu jauh lebih menarik. Apalagi Pek Khay-sim yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri. Sebab itulah ketika orang menghendaki dia menikah dengan Pek-hujin tentu saja dia tidak menolak.

Mestinya dia berharap bilamana Pek San-kun mengetahui kejadian ini tentu akan keki setengah mati dan akan melabraknya habis-habisan, siapa tahu Pek San-kun sama sekali tidak bertindak demikian, sebaliknya malah menyerahterimakan istrinya itu kepadanya dengan hormat seakan-akan istrinya itu cuma seonggok sampah belaka dan malahan seperti berkhawatir kalau Pek Khay-sim tidak mau menerimanya.

Sekali ini Pek Khay-sim benar-benar kecewa karena semua itu di luar dugaannya. Tiba-tiba ia pun merasakan Pek-hujin ini sesungguhnya memang tidak lebih menarik daripada seonggok sampah.

Rupanya ini pun merupakan penyakit kebanyakan lelaki di dunia ini, kalau ada dua lelaki bersaing memperebutkan seorang perempuan, sekalipun perempuan itu mirip seekor babi betina, namun bagi pandangan kedua lelaki itu tentu cantik luar biasa, setiap bagian tubuhnya mungkin akan dipandang indah seperti bidadari. Akan tetapi bila salah seorang lelaki itu mendadak melepaskan haknya, maka lelaki yang lain tentu akan segera sadar, “Ah, kiranya dia cuma seekor babi betina dan tidak lebih daripada itu.”

Begitu pula keadaan Pek Khay-sim sekarang. Sekarang ia merasa Pek-hujin lebih memuakkan daripada seekor babi betina, ia berharap perempuan itu bisa lekas-lekas lari pergi dan menghilang, kalau bisa terjerumus ke sungai tentu akan lebih baik lagi.

Tak tahunya, baru saja Pek-hujin berlari sampai di depan Kui-tong-cu, mendadak sebelah tangan kakek mini itu meraih, kontan kuduk Pek-hujin kena dicengkeramnya.

Padahal tubuh Kui-tong-cu jauh lebih pendek daripada Pek-hujin, tapi entah bagaimana, tahu-tahu perempuan itu dapat diangkatnya begitu saja, bahkan tampaknya tidak makan tenaga.

Kui-tong-cu menyeretnya ke depan Pek Khay-sim, lalu dilepaskan. Pek-hujin tampak melenggong, agaknya ia ketakutan melihat kesaktian si kakek kerdil, ia sendiri bingung mengapa dirinya bisa diangkat dan diseret begitu saja tanpa berdaya oleh seorang kecil begini.

“Tapi ... aku ingin mencari suamiku, masa tidak boleh?” kata Pek-hujin dengan tergagap-gagap.

“Suamimu berada di sini, kau hendak mencarinya ke mana?” kata Kui-tong-cu dengan menarik muka.

“Tapi ... tapi aku tidak ingin menjadi istrinya, orang ... orang lain yang memaksakan perkawinan ini,” kata Pek-hujin.

“Jika kau benar tidak ingin menjadi istrinya, mengapa tadi kau berlagak seperti malu-malu kucing dan jinak-jinak merpati serupa pengantin baru?” tanya Kui-tong-cu.

Pek-hujin mengucek matanya agar keluar air mata, tapi sayang air matanya tidak banyak, pula tidak mau menurut, sengaja dikucek malah tidak mau keluar.

“Hendaklah kau bicara secara jujur saja,” kata Kui-tong-cu pula. “Jika kau banyak tingkah lagi dan kalau Kakek menjadi marah, bisa jadi akan kujodohkan kau pada anjing jantan.”

Benar juga, Pek-hujin tak berani bersuara pula, ia tahu si kakek kerdil ini tidak boleh dibuat main-main, apa yang sudah diucapkan bisa terus dilaksanakan. Betapa pun ia tidak ingin menjadi istri anjing jantan, paling tidak Pek Khay-sim kan lebih baik daripada anjing jantan.

Kui-tong-cu tertawa, mendadak ia tepuk-tepuk pundak Hoa Bu-koat, untuk itu ia harus berdiri dengan ujung kaki barulah tangannya dapat mencapai pundak anak muda itu.

“Anak muda,” kata Kui-tong-cu dengan tertawa, “kau benar-benar mujur dapat memperistri keponakan she Thi kami ini.”

Saat itu Hoa Bu-koat berdiri diam di situ, selain berdiri saja ia memang tiada tenaga untuk berbuat urusan lain, mungkin ia pun masih dapat bicara, tapi dalam keadaan demikian apa yang dapat dikatakannya?

Kui-tong-cu memandangnya pula, ia mengerut kening demi melihat sikap Bu-koat yang acuh-tak acuh itu, katanya, “Apa pun juga, kau akan mendapatkan istri baik seperti ini, apa pula yang membuat kau kurang gembira?”

Mendadak Thi Sim-lan berkata, “Cianpwe, aku ... aku ....”

To Kiau-kiau dan kawan-kawannya memang tidak menutuk hiat-to bisu anak dara itu, sebab mereka tidak khawatir dia bicara, andai kata dia bicara hal-hal yang tidak pantas dikemukakannya juga mereka dapat mencegahnya setiap saat.

Tapi sekarang, di hadapan Kui-tong-cu, terpaksa mereka tak berani mencegahnya bicara, sebab tiada seorang pun ingin dicengkeram batang lehernya dan diseret serupa seekor anjing seperti tindakan Kui-tong-cu terhadap Pek-hujin tadi.

Seumpama Kui-tong-cu tidak mempunyai kepandaian lain, cukup melulu caranya membekuk orang itu sudah membuat ciut nyali mereka. Sebab mereka tahu bilamana ingin menghindarkan cengkeraman Kui-tong-cu itu mereka memang belum mampu.

Tapi untunglah Thi Sim-lan hanya bicara dua-tiga patah saja dan tidak melanjutkan lagi.

Dengan tertawa Kui-tong-cu lantas berkata, “Kutahu ada banyak urusan akan kau tanyakan padaku, tapi jangan terburu-buru sekarang, sebentar lagi tentu segala urusan akan menjadi jelas baginya.”

Dalam pada itu para kakak beradik Buyung sudah saling memberi isyarat dan sedang memikirkan cara bagaimana harus melayani tamu aneh ini. Maklum, selamanya anggota keluarga Buyung tidak ingin kurang adat terhadap tamunya.

Tapi sebelum mereka buka suara, Kui-tong-cu sudah berkata lebih dulu dengan tertawa, “Kalian tidak perlu menyuguh arak padaku, selamanya aku tidak suka minum arak, sebab perawakanku kecil, bila minum arak tentu tak dapat melebihi orang lain, maka lebih baik aku tidak mau minum.”

Dengan tertawa Tan Hong-ciau bertanya, “Jika demikian, entah Cianpwe ....”

“Apakah kau hendak tanya apa kesukaanku, begitu bukan?” tukas Kui-tong-cu. “Baiklah, akan kukatakan padamu, kegemaranku adalah melihat perempuan menari dengan bugil. Nah, jika kalian ingin memuaskan aku sebagai tamu kalian, lekas kalian membuka baju dan menari.”

Keruan permintaan tidak senonoh ini membuat kakak beradik Buyung kurang senang, serentak Tan Hong-ciau, Lamkiong Liu, dan lain-lain berbangkit.

Sorot mata To Kiau-kiau bercahaya, diam-diam ia bergembira dan berharap kedua pihak itu lekas saling labrak.

Tak terduga, pada saat itu juga, dari hilir sungai sana tiba-tiba berkumandang tiba suara musik yang merdu terbawa sayup-sayup oleh angin. Betapa pun tegangnya suasana bila mendengar suara musik yang merdu ini pasti tak jadi berkelahi lagi.

Seketika suasana menjadi hening, setiap orang pasang telinga mengikuti irama musik yang mengasyikkan itu. Sampai-sampai orang macam Toh Sat juga tergetar perasaannya, sorot matanya mulai berubah menjadi tenang dan hangat. Suara musik ini ternyata dapat menghanyutkan orang kepada kenangan masa lalu, mengenangkan kejadian yang paling menggembirakan.

Tanpa terasa beberapa pasang suami-istri keluarga Buyung itu saling berdekapan, sorot mata masing-masing penuh rasa bahagia.

Sorot mata Hoa Bu-koat tanpa terasa juga memandang ke arah Thi Sim-lan.

Ternyata Thi Sim-lan juga sedang menatapnya. Dalam hati masing-masing sama terkenang kepada pengalaman masa lampau. Pada waktu itu meski mereka pun banyak mengalami suka-duka dan siksa derita, tapi yang terkenang sekarang hanya saat-saat yang menyenangkan, hanya kejadian-kejadian yang menggembirakan saja.

Kui-tong-cu tersenyum memandangi semua orang, gumamnya kemudian, “Nah, sekarang tentunya kalian mau percaya bahwa rombongan pemusik yang kudatangkan ini bukan saja nomor satu di dunia, bahkan belum pernah ada sejak dahulu dan juga masa mendatang. Sekalipun kaisar di zaman dulu juga tidak mampu mendengar musik semerdu ini.”

Suara musik ini semakin mendekat, tertampaklah sebuah perahu meluncur tiba, di atas perahu terang benderang dengan belasan lampu hias, cahaya lampu yang terbayang di air sungai menambah indah perahu itu sehingga tampaknya seperti sebuah rumah mewah berjalan.

Di atas perahu ada tujuh atau delapan orang yang meniup seruling, ada yang membunyikan harpa dan sebagainya, malahan satu di antaranya sedang memukul tambur. Meski suara tambur itu kedengarannya berat, monoton, berulang-ulang tetap begitu saja bunyinya, namun setiap pukulannya seakan-akan mengetuk lubuk hati pendengarnya dan membuat orang mabuk dan lupa daratan.

Di bawah cahaya lampu terlihat jelas orang-orang itu ada lelaki dan ada juga perempuan, tapi semuanya orang tua yang sudah beruban, bahkan ada yang bertubuh bungkuk reyot, malahan sebagian besar pasti sudah ompong.

Ketika mereka sudah berada di atas kapal barulah semua orang melihat jelas mereka ternyata beberapa kali lebih tua daripada dipandang dari jauh. Bagi orang yang belum melihat mereka tentu sukar membayangkan. Pikir saja, beberapa kakek dan nenek membunyikan musik semerdu ini, benar-benar sukar untuk dibayangkan.

Malahan yang benar-benar tak terbayangkan oleh siapa pun juga adalah suara musik yang penuh gairah hidup, penuh rasa gembira dan bahagia justru dibawakan oleh serombongan orang tua yang boleh dikatakan pasti sudah pikun. Hal ini kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentu takkan percaya.

Akan tetapi sekarang semua orang telah menyaksikan sendiri, cuma siapa pun tidak tahu cara bagaimana rombongan orang tua ini naik di atas kapal, soalnya kedatangan perahu kecil ini terlalu cepat. Baru saja kakak beradik Buyung Siang hendak menyambut, tahu-tahu rombongan orang tua ini sudah berada di haluan kapal, bahkan bunyi musik mereka tidak pernah berhenti sejenak pun.

Kini terlihat lebih jelas kakek penabuh tambur itu rambutnya sudah putih seperti salju, tapi kulit badannya hitam seperti arang, tubuhnya kurus tinggal kulit membungkus tulang, tapi bajunya justru tidak terkancing sehingga kelihatan deretan tulang iganya yang mirip pagar bambu.

Tamburnya cukup besar dan tampaknya jauh lebih tua daripada si penabuhnya serta jauh lebih berat bobotnya. Akan tetapi kakek itu tidak memanggul tamburnya melainkan menjepitnya dengan kedua kakinya dibawa serta melayang ke atas kapal dengan enteng.

Cepat Tan Hong-ciau mendahului memapak maju dan memberi hormat, ucapnya, “Para Cianpwe sudi berkunjung, sungguh kami sangat ....”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba salah seorang kakek itu berseru, “He, apakah ada di antara kalian ini orang she Ciong?”

Kakek ini tinggi kurus, dia inilah pemetik kecapinya.

Pek Khay-sim mengira si kakek ada sengketa apa-apa dengan orang she Ciong yang ditanyakannya. Maka ia cepat menunjuk Li Toa-jui dan berkata, “Ini dia orang she Ciong!”

Dia menyangka sekali ini Li Toa-jui pasti akan runyam dan dilabrak habis-habisan oleh si kakek. Ia tahu para nona keluarga Buyung pasti juga takkan membela Li Toa-jui dan apa yang akan terjadi nanti pasti sangat menarik.

Tak tahunya si kakek pemetik kecapi itu lantas menjura malah kepada Li Toa-jui dan berkata, “Aku Ji Cu-geh, dahulu kakek-moyangmu Ciong Cu-ki Siansing adalah satu-satunya pengagum leluhurku yang terkenal ahli pemetik kecapi. Sekarang anak cucunya saling bertemu pula di sini, apabila Saudara tidak menolak, bagaimana kalau kupetik satu lagu bagimu?”

Pada waktu mudanya Li Toa-jui memang juga terpelajar, kalau tidak masakan Thi Bu-siang mau memungutnya sebagai menantu? Sudah tentu ia paham ceritanya tentang persahabatan Cu-geh Siansing dengan Ciong Cu-ki di zaman Ciancok, makanya waktu Pek Khay-sim bilang dia she Ciong, dia hanya diam saja dan tidak membantah.

Segera ia menanggapi ucapan si kakek tadi, “Apabila Cianpwe berminat tentu saja Cayhe siap mendengarkan.”

Tanpa bicara lagi Ji Cu-geh lantas duduk memangku kecapi. “Creng”, mulailah dia memetik kecapinya, begitu kecapi mulai berbunyi, terasa segarlah setiap orang seperti berada di tempat kediaman dewata.

Li Toa-jui juga berlagak seperti seorang peminat musik sejati, ia pejamkan mata dan mengikuti irama kecapi sambil manggut-manggut dan berulang-ulang menyatakan perasaan kagum dan pujiannya.

Selesai membawakan satu lagu, Ji Cu-geh lantas berbangkit, katanya dengan gegetun, “Sungguh tidak nyana setelah beratus tahun kemudian keluarga Ciong masih ada peminat kecapi sebagaimana leluhurnya, lagu yang kubawakan barusan ini biasanya memang tidak sembarangan kuperdengarkan kepada orang lain.”

Diam-diam To Kiau-kiau menggeleng. Sudah diketahuinya para kakek dan nenek ini pasti memiliki kepandaian yang mahatinggi, tapi tak disangkanya bahwa mereka dapat dibohongi semudah ini, agaknya orang makin tua akan semakin pikun ternyata juga ada benarnya, buktinya orang-orang tua ini kan cukup nyata.

Ji Cu-geh memegang tangan Li Toa-jui dan memperkenalkan kawan-kawannya itu. Ternyata kawanan kakek dan nenek itu mempunyai nama dan she yang aneh, kebanyakan menirukan she seniman di zaman kuno, yang meniup siau atau seruling juga she Siau, yang memetik harpa mengaku she Han, katanya masih keturunan Han Siang-cu, itu anggota Pat-sian atau delapan dewa dalam dongeng.

Geli para nona keluarga Buyung mendengar nama kakek-kakek yang lucu ini, mereka merasa orang-orang tua ini tidak saja pikun, bahkan juga sinting.

Padahal siapa pun dapat menduga bahwa she mereka itu cuma samaran belaka, terutama kakek yang mengaku she Han itu jelas bukan keturunan Han Siang-cu, sebab umum mengetahui Han Siang-cu tidak pernah beristri, lalu dari mana datangnya anak, kalau tidak punya anak, tentu saja tidak mungkin mempunyai keturunan lebih lanjut.

Tapi para kakek dan nenek itu tetap mengaku bernama dan she begitu mau tak mau semua orang percaya saja. Meski semua orang juga tahu orang-orang tua ini pasti kaum pendekar ternama pada beberapa puluh tahun yang lalu, namun tiada yang tahu asal-usul dan nama asli mereka.

Lebih-lebih Thi Sim-lan, ia merasa bingung untuk apakah beberapa orang tua ini sengaja datang membawa musik baginya. Padahal usia setiap orang cukup untuk menjadi nenek moyangnya, mana mungkin ada sangkut paut kekeluargaan dengannya?

Nona besar Buyung adalah istri bijaksana dan berwibawa, pembawaannya juga pendiam, sejak tadi ia hanya duduk diam saja dengan mengulum senyum, kini mendadak ia menarik ujung baju sang suami dan membisikinya, “Waktu sudah larut, semua orang tentu juga lelah, lebih baik kita ....”

Tan Hong-ciau menepuk perlahan tangan sang istri, katanya dengan tersenyum, “Kutahu maksudmu, sabarlah sebentar.”

Padahal ia takut keadaan akan bertambah ruwet, ia pun tidak ingin terlibat dalam urusan dengan orang-orang aneh yang tak jelas asal-usulnya ini, segera ia menjura dan berseru, “Kini pemain musik sudah siap, bolehlah silakan kedua pasang mempelai menjalankan upacara agar selanjutnya kita dapat minum beberapa cawan arak bahagia.”

“Tepat, setuju!” To Kiau-kiau mendahului bertepuk tangan.

“Haha, kata peribahasa, waktu adalah uang, kita hanya bersendau gurau saja sejak tadi sehingga melupakan para pengantin baru yang ingin lekas-lekas masuk kamar,” sambung Ha-ha-ji dengan tertawa.

Sudah tentu mereka pun tahu orang-orang tua ini tak boleh dibuat main-main, maka sedapatnya mereka ingin lekas-lekas pergi.

Siapa tahu Kui-tong-cu lantas berseru, “Tidak, tidak boleh sekarang, harus tunggu lagi sebentar.”

“Tunggu apa?” tanya To Kiau-kiau.

“Tunggu satu orang,” jawab Kui-tong-cu.

“Memangnya Cianpwe juga telah mengundang tamu untuk menghadiri pesta ini?” tanya Kiau-kiau.

“Bukan tamu, tapi tuan rumah,” kata Kui-tong-cu.

Tentu saja To Kiau-kiau dan lain-lain sama melengak, “Tuan rumah? Bukankah tuan rumahnya sudah berada di sini?”

Tapi Kui-tong-cu tidak menjawabnya, sebaliknya dia berpaling pada seorang tamu yang bernama Ni Cap-pek dan bertanya, “Di mana bocah itu, tidakkah dia datang bersama kalian?”

Ni Cap-pek melotot, jawabnya, “Memangnya dia datang bersama siapa jika tidak bersama kami?”

“Lalu di mana dia?” tanya Kui-tong-cu.

“Di mana dia, kenapa tidak kau tanya langsung padanya?” jawab Ni Cap-pek.

“Jika kutahu di mana dia, untuk apa kutanya, monyong!” omel Kui-tong-cu.

“Kau tidak tahu, dari mana pula kutahu? Aku kan bukan bapaknya?” jawab Ni Cap-pek dengan melotot.

Diam-diam Li Toa-jui merasa geli, beberapa tua bangka ini ternyata juga seperti anak kecil, kalau sudah bertengkar tampaknya tidak kurang lucunya daripada dirinya.

Untunglah sebelum urusan menjadi lebih bertele-tele, seorang kakek bernama Lamkwe Siansing menukas, “Bocah itu sebenarnya datang bersama satu perahu dengan kami, tapi dia mengomel katanya laju perahu terlampau lambat, maka dia lantas melompat ke daratan dan ingin memburu ke sini lebih dahulu.”

“Ini namanya ingin cepat jadi lambat,” tambah Ji Cu-geh.

“Ai, wataknya yang tidak sabaran itu mungkin sampai mati pun sukar berubah,” kata Kui-tong-cu dengan tertawa.

Si nenek peniup seruling she Siau menimbrung, “Tapi kalau menurut kecepatan larinya, sekalipun harus mengitar tentu saat ini pun sudah berada di sini. Bisa jadi penyakitnya telah kumat lagi dan berkelahi dengan orang di tengah jalan.”

“Ya, bilamana dia sudah berkelahi, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan selesai,” sambung si kakek she Han.

Tergerak hati Kiau-kiau, tanyanya cepat, “Apakah sahabat para Cianpwe itu suka berkelahi dan bila sudah berkelahi sukar lagi dilerai?”

“Ai, memang begitulah sifatnya, bila lawannya belum jera dan minta ampun, maka pasti akan dilabraknya terus,” jawab Kui-tong-cu.

To Kiau-kiau juga ingat pada seseorang, tanyanya segera, “Apakah sahabat para Cianpwe itu ialah ....”

Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar seorang meraung di daratan sana, “Hai, Li Toa-jui, Ok-tu-kui, kalian para cucu keparat ini lekas menggelinding keluar semua.”

“Memang tidak salah, betul si tua gila ini,” kata To Kiau-kiau.

Han-wan Sam-kong bertepuk gembira, serunya, “Haha, dengan datangnya anak kura-kura ini, tentu akan bertambah ramailah.”

Ketika mendengar suara orang yang mirip raungan singa itu, seketika tubuh Thi Sim-lan bergetar, entah terlalu kejut atau karena girangnya.

Sedangkan para nona Buyung diam-diam merasa heran, sungguh sukar dimengerti sahabat para kakek dan nenek aneh ini ternyata juga sahabat Cap-toa-ok-jin ini.

Dalam pada itu Li Toa-jui dan Han-wan Sam-kong sudah memburu ke haluan kapal dan berseru, “Hai, kau si tua gila kiranya belum lagi mampus?”

“Sebelum kalian cucu keparat ini mampus mana aku sampai hati mati lebih dulu?” demikian seru seorang di daratan sana. Di tengah tertawanya segera ia pun melompat ke haluan kapal.

Sedemikian besar kapal layar ini juga sedikit oleng ketika orang itu hinggap di geladak kapal, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat tenaga orang ini.

Tanpa melihat juga setiap orang dapat menduga pendatang ini pasti juga seorang aneh. Dan setelah melihat jelas, tanpa terasa semua orang menarik napas dingin.

Perawakan orang ini tidak terlalu tinggi, boleh dikatakan lumrah, paling-paling hanya enam atau tujuh kaki, tapi diukur ke samping lebarnya ternyata ada empat-lima kaki, jadi bentuknya seperti sepotong batu persegi.

Yang lebih hebat adalah kepalanya, besarnya luar biasa, bila dipenggal dan ditimbang, sedikitnya ada lima puluh kati atau tiga puluh kilogram. Lebih-lebih karena rambutnya yang semrawut tak terpelihara itu mirip sarang ayam, cambangnya yang lebat itu bergandengan dengan rambutnya sehingga sukar dibedakan yang mana rambut dan yang mana cambangnya. Tentu saja hidung dan mulutnya menjadi tertutup sehingga sukar ditemukan.

Kalau dipandang dari jauh, orang ini mirip sepotong batu besar yang di atasnya mendekam seekor landak atau kalau dipandang dari samping mirip juga seekor singa yang telah berubah bentuk.

Begitu melompat ke atas kapal, segera orang ini berangkulan dengan Li Toa-jui dan Han-wan Sam-kong sambil tertawa terbahak-bahak. Umur ketiga orang kalau ditotal jenderal mungkin lebih dua ratus tahun, tapi kelakuan mereka masih seperti anak kecil saja.

Seketika Tan Hong-ciau menjadi ragu-ragu apakah harus menyambut kedatangan orang aneh ini atau tidak.

Mendadak orang aneh ini mendorong minggir Li Toa-jui, lalu meraung pula, “He, aku menjadi lupa memeriksa calon menantuku yang ditemukan kalian para cucu keparat ini. Apabila tidak cocok dengan seleraku, lihat nanti kalau tidak kuhajar kalian.”

To Kiau-kiau lantas memapak ke sana, katanya dengan tertawa, “Calon menantumu yang kami carikan ini kutanggung kau si orang gila ini pasti akan cocok dan puas, jika kau sendiri yang cari, biarpun keliling dunia sambil menabuh bende juga takkan menemukan menantu sebagus ini.”

Ketika melihat orang aneh itu, air mata Thi Sim-lan sudah lantas berlinang-linang, sekuatnya ia memburu maju dan mendekap orang itu sambil berseru, “Ayah ....” karena sedih dan terharu tenggorokannya serasa tersumbat, hanya satu kali saja dia berucap, lalu tidak sanggup bersuara pula.

Baru sekarang Bu-koat tahu pendatang baru ini ialah “Ong Say”, si Singa Gila yang disegani itu. Bila melihat anak perempuannya secantik Thi Sim-lan, sungguh siapa pun tak berani membayangkan ayahnya berbentuk seaneh ini.

Dengan perlahan Thi Cian membelai kepala Thi Sim-lan, ucapnya dengan tertawa, “O, putriku yang baik, janganlah menangis, ayah belum lagi mampus, seharusnya kau bergembira, apa yang kau tangiskan?”

Belum habis ucapannya, mendadak ia lompat ke depan Hoa Bu-koat, anak muda itu dipandangnya dari kepala ke kaki dan dari kaki kembali ke kepala. Sedikitnya tujuh kali dia mengamati Hoa Bu-koat.

Hoa Bu-koat sendiri tampak lesu, maklum, dia kelaparan selama beberapa hari, dengan sendirinya fisiknya sangat lemah.

Thi Cian manggut-manggut, agaknya dia merasa puas terhadap bakal menantunya ini, ucapnya kemudian, “Ehm, bocah ini masih memper manusia juga, hanya ... mengapa mukanya begini pucat dan berdiri saja tidak kuat, jangan-jangan calon menantu yang kalian temukan ini sakit TBC.”

“Dia tidak sakit TBC, tapi semacam penyakit aneh, asalkan diberi sepotong bakpao saja segera akan kuat berdiri,” kata Kui-tong-cu dengan tertawa.

Thi Cian melengak, tanyanya kemudian, “Apakah dia menderita sakit lapar?”

“Betul,” jawab Kui-tong-cu dengan tertawa.

Seketika Thi Cian berjingkrak murka, kembali ia meraung, “Keparat, siapa yang membuat calon menantuku ini kelaparan begini?

“Siapa lagi kalau bukan kawan-kawanmu yang lama itu?” kata Kui-tong-cu.

Sekonyong-konyong Thi Cian membalik tubuh, sekali pentang kedua tangannya, kontan leher baju Ha-ha-ji dan To Kiau-kiau kena dicengkeramnya terus diangkat mentah-mentah.

Padahal ilmu silat Thi Cian tidak tergolong kelas top di antara Cap-toa-ok-jin, hanya cara berkelahinya saja yang nekat dan tidak kenal takut, jika bicara kungfu sejati To Kiau-kiau saja lebih tinggi daripada dia.

Tapi sekarang dia cuma mencengkeram sekenanya dan To Kiau-kiau serta Ha-ha-ji lantas kena dibekuknya tanpa bisa berkutik, bahkan ingin berkelit saja tidak mampu.

Keruan Li Toa-jui dan lain-lain berjingkrak kaget, sama sekali mereka tidak menyangka si Singa Gila ini kini menjadi begini lihai, nyata kungfunya telah maju pesat. Sekilas pandang Li Toa-jui melihat Ni Cap-pek, Ji Cu-geh, dan lain-lain sama mengunjuk rasa senang dan puas, maka tidak perlu ditanya lagi, jelas ilmu silat Thi Cian ini adalah ajaran para kakek aneh ini.

Karena leher bajunya dicengkeram sedemikian kencang, leher Ha-ha-ji serasa hendak patah, ingin ber-haha saja tidak dapat, malahan napas pun serasa mau putus, cepat ia berteriak dengan serak, “Antara ... antara sahabat sendiri, ada urusan apa boleh ... boleh dibicarakan secara baik-baik, kenapa main tangan segala?”

“Bicara baik-baik apa?” teriak Thi Cian dengan gusar. “Kau sendiri makan kenyang hingga gemuk melebihi babi, tapi calon menantuku kau buat lapar hingga kurus menyerupai orang sakit paru-paru.”

“Ai, hendaklah Thi-heng maklum,” cepat To Kiau-kiau ikut bicara dengan tertawa. “Apabila kami tidak membuatnya kelaparan, mungkin sudah sejak dulu dia kabur.”

“Kabur? Mengapa harus kabur?” teriak Thi Cian.

“Kenapa Thi-heng tidak tanya sendiri padanya?” ujar Kiau-kiau.

Benar juga rasa gusar Thi Cian lantas mereda, ia lepaskan cengkeramannya, lalu menjambret leher baju Hoa Bu-koat dan meraung pula, “Ya, ingin kutanya padamu, mengapa kau bermaksud kabur? Memangnya kau kira anak perempuanku tidak setimpal mendapatkan kau si TBC ini?”

Cepat Thi Sim-lan memegang tangan sang ayah dan berseru, “Lepaskan dia, Ayah, urusan ini tiada sangkut pautnya dengan dia.”

Dengan gusar Thi Cian berkata, “Dia bakal lakimu, kalau tiada sangkut pautnya dengan dia, lalu menyangkut siapa?”

“Ayah ...” air mata Thi Sim-lan bercucuran, “urusan ini sangat panjang untuk diceritakan, harap Ayah ....” pertentangan batin dan duka deritanya mana dapat diuraikannya di hadapan orang sebanyak ini.

“Sesungguhnya apa yang terjadi?” teriak Thi Cian pula. “Tapi aku tak peduli urusan lain, aku cuma ingin tanya padamu, kau suka tidak kawin dengan bocah ini?”

Thi Sim-lan menunduk dan menjawab, “Aku ... aku ....”

“Mengapa sekarang kau pun berubah kikuk-kikuk begini,” teriak Thi Cian. “Kalau suka bilang suka, jika tidak mau katakan tidak mau, kenapa tak dapat kau katakan terus terang? Asalkan kau mengangguk, sekarang juga bocah ini akan menjadi hakmu. Bila kau menggeleng, segera pula kulempar pergi bocah ini.”

Akan tetapi kepala Thi Sim-lan sama sekali tidak bergerak, ia tidak dapat mengangguk dan juga tidak dapat menggeleng. Bila teringat betapa mendalam cinta Bu-koat, mana dia dapat menggeleng kepala? Ia tahu, asalkan ia menggeleng kepala satu kali saja, maka selanjutnya mungkin takkan bertemu lagi dengan Bu-koat. Akan tetapi bila teringat kepada Siau-hi-ji yang menggemaskan dan juga menyenangkan itu .... Ai, cara bagaimana pula dia dapat mengangguk?

Pertentangan batinnya sekarang biarpun malaikat dewata juga mungkin tak dapat memahaminya, apalagi lelaki yang selamanya tidak paham seluk-beluk cinta kasih antarremaja seperti si Singa Gila Thi Cian itu.

Keruan orang tua ini menjadi kelabakan sendiri, ia membanting kaki dan meraung pula, “Kau tidak perlu membuka mulut, masa kepalamu juga tidak dapat bergerak sama sekali?”

Namun kepala Thi Sim-lan tetap tidak bergerak sedikit pun.

Semua orang pun saling pandang dengan bingung, semuanya terkesima. Biarpun para nona Buyung itu rata-rata adalah nona yang pintar dan cerdas, kini mereka pun tidak dapat meraba jalan pikiran Thi Sim-lan dan sesungguhnya apa kehendaknya.

Di dalam hal ini, satu-satunya orang yang memahami perasaan Thi Sim-lan sekarang mungkin cuma Hoa Bu-koat saja.

Namun ia sendiri pun penuh rasa sedih, ia tahu sebabnya Thi Sim-lan tidak menggeleng adalah karena nona itu tidak tega melukai hatinya. Tapi seumpama Thi Sim-lan mengangguk, apakah Bu-koat sendiri takkan berduka?

Dengan sedih ia lantas berkata, “Aku ....”

Di luar dugaan, baru satu kata ia berucap, seketika Thi Cian berjingkrak murka dan meraung pula, “Tutup mulutmu! Siapa suruh kau bicara? Pokoknya asalkan putriku mau, maka kau harus menikahi dia, jika putriku tidak suka, maka segera kau enyah dari sini.”

Tindakan Thi Cian ini benar-benar membuat para nona Buyung serbasusah, bakal mertua yang tidak kenal aturan begini sungguh jarang ada di dunia ini.

Sudah tentu mereka tidak tahu apabila Thi Cian kenal aturan, tentu namanya takkan ikut tercantum di dalam deretan “Cap-toa-ok-jin”.

“Kau bodoh,” tiba-tiba si nenek peniup seruling she Siau ikut bicara. “Setiap anak perempuan bila ditanya soal kawin tentu saja tak berani menjawab. Kalau anak perempuan tidak mengangguk dan juga tidak menggeleng, itu tandanya dia sudah mau.”

Meski rambut nenek she Siau itu sudah putih semua, mukanya juga keriputan dan giginya sudah ompong seluruhnya, namun di antara senyum dan lirikan matanya masih jelas kelihatan dahulu dia pasti juga seorang wanita cantik yang berpengalaman.

Thi Cian menepuk paha keras-keras dan berseru, “Aha, betul, betapa pun Siau-toaci memang lebih paham perasaan anak perempuan ....”

Di luar dugaan, mendadak Thi Sim-lan berkata, “Tidak, bu ... bukan maksudku ....”

“Jadi maksudmu kau tidak mau menjadi istrinya?” tanya Thi Cian.

Dengan air mata bercucuran Sim-lan menjawab, “Juga bu ... bukan begitu ....”

Thi Cian menjadi bingung dan kelabakan, ia jambak rambut sendiri dan berteriak, “Habis apa maksudmu? .... Hai, kalian tahu tidak apa maksudnya? Ayolah katakan!”

Thi Sim-lan menunduk, kembali ia membisu.

Dalam keadaan demikian, jangankan Thi Cian kelabakan setengah mati, sekalipun orang lain juga ikut gelisah.

“Ayolah katakan, masa di antara kalian ini tiada seorang pun yang tahu maksudnya?” teriak Thi Cian sambil berjingkrak.

“Kutahu di sini ada seorang yang tahu maksudnya,” tiba-tiba Han-wan Sam-kong berkata dengan tertawa.

“Siapa dia?” tanya Thi Cian.

“To Kiau-kiau,” jawab si Ok-tu-kui.

Baru saja kata “kiau” terakhir itu terucapkan tahu-tahu Thi Cian sudah mencengkeram leher baju To Kiau-kiau sambil meraung, “Kau keparat, jika kau tahu, mengapa tidak sejak tadi-tadi kau katakan dan membuat Locu kelabakan seharian?!”

Cepat Kiau-kiau menjawab dengan mengiring tawa, “Jika kau sebagai bapak tidak paham isi hati anaknya, dari mana pula aku bisa tahu? Semuanya ini lantaran Ok-tu-kui dendam padaku karena kejadian tadi, makanya dia sengaja membalas sakit hatinya atas diriku.”

“Kentut busuk!” teriak Thi Cian. “Selamanya Ok-tu-kui tidak suka berdusta. Pendeknya, akan kuhitung sampai tiga, jika tetap tidak kau katakan segera juga kubinasakan kau.”

Tapi kata-kata “satu” saja belum dihitung Thi Cian, kontan To Kiau-kiau mendahului bicara, “Baiklah, akan kukatakan, cuma setelah kukatakan tentu kau akan semakin tak berdaya.”

Rupanya To Kiau-kiau cukup kenal sifat si Singa Gila yang berani bicara berani berbuat, dalam keadaan jiwa sendiri menjadi taruhan, terpaksa segala apa pun dibeberkannya.

“Aku tidak peduli,” demikian kata Thi Cian. “Pokoknya asal kau jelaskan, aku tentu punya akal.”

“Andaikan ia tak berdaya juga kami dapat membantunya mencari akal,” tukas Kui-tong-cu.

“Begini duduk perkaranya,” tutur Kiau-kiau kemudian. “Anak perempuan ini sebenarnya ingin menjadi istri Hoa-kongcu ini, akan tetapi dia ... dia juga mempunyai seorang kekasih lagi, jadinya, dia ingin menjadi istri Hoa-kongcu, tapi juga ingin diperistri oleh orang itu.”

“Siapa lebih unggul di antara kedua orang ini?” tanya si nenek she Siau tiba-tiba.

To Kiau-kiau tertawa, jawabnya, “Keduanya boleh dikatakan sekati enam belas tahil, setali tiga uang. Masing-masing mempunyai segi baiknya sendiri-sendiri. Jika aku menjadi dia, sesungguhnya aku pun tidak tahu harus pilih yang mana.”

Mendengarkan sampai di sini, hati Thi Sim-lan menjadi malu dan juga sedih, kalau bisa sungguh ia ingin segera mati saja. Tapi bila teringat mereka telah menyinggung Siau-hi-ji, bukankah anak muda itu ada harapan masih hidup, dia menggereget dan bertahan sedapatnya.

“Memang, betapa pun kau tanya seorang perempuan, bilamana menghadapi soal rumit begini juga takkan berdaya,” kata si nenek she Siau. “Maka pantaslah kalau Nona Thi sedemikian sedih, jika aku menjadi dia, aku pun tidak ....”

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba Pek Khay-sim menyela, “Kalian tidak berdaya, kami ada akal.”

“Akal apa?” tanya Nenek Siau.

“Kalau sekaligus dia menyukai dua lelaki, maka suruhlah dia menjadi istri dua orang berbareng, sana-sini dapat, kan untung besar?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

Dasar “mulut anjing tak mungkin keluar gading”, tidak nanti Pek Khay-sim mengucapkan kata-kata yang menguntungkan orang lain. Maka semua orang mengira sekali ini Thi Cian pasti akan melabrak Pek Khay-sim, andaikan kepalanya tidak dipecahkan tentu juga akan dihajarnya hingga babak belur.

Di luar dugaan, Thi Cian terus melonjak, tapi bukan melonjak murka sebaliknya malah bertepuk gembira dan berseru, “Aha, saran bagus, usul tepat ....”

“Kau anggap bagus usulnya?” tanya si Nenek Siau dengan tercengang.

“Mengapa tidak?” jawab Thi Cian. “Seorang lelaki boleh ambil dua istri sekaligus, mengapa seorang perempuan tidak boleh mempunyai dua suami.”

Bagi si Singa Gila yang berpikir sederhana dan polos sudah tentu tak terpikir olehnya bahwa makhluk hidup di dunia ini segala sesuatunya sudah kodrat alam. Menurut jalan pikirannya, demi keadilan, bila lelaki boleh poligami, mengapa perempuan tidak boleh poliandri.

Maka si Nenek Siau lantas berkata, “Tapi ... tapi soal ini tidaklah sama.”

“Tidak sama bagaimana?” Thi Cian melotot. “Memangnya perempuan bukan manusia dan harus dibeda-bedakan haknya? Jangan lupa, kau sendiri pun orang perempuan.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes