Wednesday, May 12, 2010

bp7_part2

Hati Bu-koat seperti dibetot mendadak. Dia berdiri dan menyambutnya dengan tersenyum, “Sudah larut malam, kau belum tidur?”

“Aku ... tak dapat tidur,” jawab Sim-lan sambil menunduk. “Ada beberapa patah kata ingin kubicarakan denganmu.”

Bu-koat melenggong sejenak, ucapnya kemudian, “Silakan duduk.”

Sesungguhnya ia tidak tahu apa yang harus diucapkan, terpaksa “silakan duduk” digunakan untuk menutupi kecanggungannya, tapi kata-katanya itu terasa hambar dan kaku.

Sim-lan mendekati meja, tapi tidak lantas duduk, ia ragu-ragu agak lama, seperti mengerahkan segenap keberaniannya baru kemudian berkata dengan lirih, “Kutahu, selama beberapa hari ini kau sengaja bersikap dingin padaku dan menjauhi diriku.”

Kembali Hoa Bu-koat melenggong, jawabnya dengan tersenyum ewa, “Ah, kau ... kau terlalu banyak berpikir.”

“Biasanya engkau tidak pernah berdusta, mengapa sekarang bohong padaku?” kata Sim-lan pula.

Bu-koat termangu-mangu sejenak, dengan rasa berat ia duduk, lalu berkata sambil menghela napas, “Jadi kau ingin kubicara dengan sejujurnya?

Sim-lan mengangguk perlahan, ucapnya, “Ya, lambat atau cepat toh harus kau katakan, mengapa tidak kau bicarakan sekarang saja.”

Bu-koat mengelupas secuil cairan lilin dan dipencet-pencet dengan keras seakan-akan hati sendiri yang sedang teremas-remas.

Dengan rasa berat akhirnya ia bicara dengan perlahan, “Kau tahu, antara manusia dan manusia, bilamana sudah lama saling berdekatan, sukarlah dihindarkan timbulnya perasaan suka sama suka, lebih-lebih dalam keadaan susah dan menderita.” Sekata demi sekata ia berucap, nadanya begitu sedih.

Terkesima Thi Sim-lan mengikuti cairan lilin yang diremas-remas Bu-koat itu.

Dengan pedih lalu Bu-koat menyambung, “Dan Kang Siau-hi ... bukan saja dia pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan dia telah menjadi sahabat satu-satunya selama hidupku ini, biarpun aku terpaksa harus membunuhnya, tapi apa pun juga aku tak dapat bertindak sesuatu yang tidak baik padanya.”

Sorot mata Thi Sim-lan tiba-tiba menatap lurus ke muka Bu-koat, ucapnya dengan suara rada gemetar, “Memangnya kau kira aku orang macam apa? Kau kira aku akan berbuat sesuatu yang mengkhianati dia?”

Bu-koat menunduk, ucapnya dengan menghela napas, “Aku tidak khawatir engkau akan berbuat salah padanya, tapi aku sendiri, kukhawatir atas diriku sendiri ....” ia menggereget, lalu menyambung pula, “Aku tidak tega menyeret perasaanmu ke dalam lingkaran pertentangan ini, bilamana kita terlalu berdekatan, bukan saja aku akan menderita, kau pun akan susah.”

Kepala Thi Sim-lan kembali tertunduk.

“Sebab itulah,” sambung Bu-koat, “Antara kita akan lebih baik bila berjauhan agar kita tidak terjeblos ke tengah-tengah penderitaan, kutahu dengan demikian kau akan sedih, tapi apa boleh buat, aku tidak punya jalan lain yang lebih baik.”

Tubuh Thi Sim-lan rada gemetar, air matanya tampak meleleh. Tiba-tiba ia angkat kepalanya dan menatap Bu-koat, serunya, “Tapi aku ... aku ini anak perempuan yang sebatang kara, aku kan ingin menganggap kau sebagai kakak, kuharap engkau percaya padaku ....”

Bu-koat tidak bicara, maka si nona menyambung pula, “Kedatanganku sekarang cuma ingin memberitahukan agar kau tidak perlu menjauhi dan juga tidak perlu waswas padaku, asalkan hati kita suci bersih, tentu kita tidak perlu khawatir berbuat salah kepada siapa pun juga dan juga tidak takut apa yang disangka orang.”

Akhirnya Bu-koat tersenyum, ucapnya, “Baru sekarang kutahu engkau adalah anak perempuan yang tabah dan berani, keberanian ini biasanya sukar terlihat, tapi bilamana perlu, engkau ternyata jauh lebih berani daripada siapa pun duga.”

Thi Sim-lan menarik napas panjang, ia pun tersenyum dan berkata, “Setelah kukeluarkan seluruh isi hatiku rasanya menjadi lega dan riang, sungguh ingin kuminum secawan arak untuk merayakannya.”

“Baik, hatiku juga sangat riang, aku pun ingin minum arak untuk merayakannya,” tukas Bu-koat sambil berdiri.

Setelah keduanya menumpahkan segenap isi hatinya, seketika mereka merasa seperti terbebas dari belenggu yang berat. Cuma sayang, di hotel ini tiada tersedia daharan dan arak, maka mereka lantas keluar.

Di jalan sudah mulai sepi, kebanyakan toko sudah tutup pintu, pada tikungan jalan sana ada seorang penjual mi babat. Bau sedap dapat tercium dari jauh.

“Apakah kau sudi makan nongkrong di tepi jalan?” tanya Bu-koat dengan tersenyum.

Sim-lan tertawa, segera mereka mendekati penjual mi babat itu, belum lagi duduk ia sudah berseru, “Dua mangkuk mi babat, tambahi pula setengah kati daging rebus dan satu kati arak!”

Penjual mi babat di tepi jalan itu hanya terdiri dari dua meja kecil reyot, semuanya kosong, tiada pembeli, hanya seorang kurus berbaju hitam sedang nongkrong di atas bangku di depan tangkringan dan sedang minum arak.

Asap panas tampak mengepul dari kuali, lampu minyak yang bersinar guram itu membuat suasana bertambah suram.

Di bawah asap panas yang mengepul dan cahaya lampu remang-remang wajah si orang kurus berpakaian hitam itu tampaknya seperti sayur asin di kolong dapur. Tapi sepasang matanya, yang mencorong lebih terang daripada kelip bintang di langit.

Dia menongkrong di atas bangku sembari menggerogoti sepotong daging sambil minum arak, pikirannya mungkin sedang melayang-layang jauh ke sana. Bilamana ditanya bagaimana rasanya daging rebus dan bagaimana rasanya arak? Pasti ia tidak tahu.

Misalnya ketika kedatangan kedua orang semacam Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat, orang itu ternyata tidak memandangnya barang sekejap.

Seorang yang bernasib jelek dan duduk minum arak di tempat yang sederhana begini untuk mengenangkan kegembiraan dan kebahagiaan di masa lampau adalah keadaan yang jamak. Sebab itulah Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat tidak memperhatikan dia.

Apabila mereka mau memandangnya sekejap dan melihat sorot matanya yang bening tajam itu maka cara bicara mereka mungkin akan lebih hati-hati.

Tapi kini, setelah arak masuk perut, daging rebus terasa lezat, kelip bintang di langit dan semilir angin malam, semua ini telah menambah selera makan sehingga tiada sesuatu yang pantang diutarakan mereka.

Mereka terus mengobrol ke timur dan ke barat, tapi kemudian mereka mengetahui, apa pun yang mereka bicarakan seakan-akan selalu bersangkut-paut dengan Siau-hi-ji.

“Haha,” Bu-koat tertawa. “Sebenarnya terasa gembira cara makan minum begini, tapi aneh, selalu kurasakan masih kekurangan sesuatu. Sekarang baru kutahu apa kekurangan ini.”

Thi Sim-lan menunduk, katanya lirih, “Maksudmu ... maksudmu kekurangan satu orang.”

“Betul, tanpa kehadirannya, memangnya kita berdua bisa bersuka ria sepuasnya?”

“Kau pikir, dapatkah tiba waktunya kita bertiga makan minum bersama?”

“Mengapa tidak?” kata Bu-koat.

Thi Sim-lan memandangnya lekat-lekat, ucapnya dengan rawan, “Kau kira, betapa banyak kesempatan kita bertiga berkumpul dan minum arak?”

Mendadak wajah Hoa Bu-koat berubah murung, ia pun termenung-menung agak lama, katanya kemudian, “Orang hidup paling-paling seabad, bilamana dapat berkumpul dengan sahabat dan minum bersama dengan gembira, satu kali pun sudah cukup, kenapa mesti berkali-kali ....” dia angkat cawan arak dan berkata pula dengan tertawa, “Marilah, biar kita minum satu cawan demi Kang Siau-hi!”

“Kang Siau-hi”, begitu nama ini disebut serentak si baju hitam tadi membuang sisa daging yang belum lagi habis dimakannya serta menaruh cawan arak, sorot matanya menyapu tajam ke arah Bu-koat berdua.

Dalam pada itu Thi Sim-lan telah menghabiskan isi cawannya bersama Hoa Bu-koat, matanya menjadi berkaca-kaca, ucapnya dengan sayu, “Ya, apabila aku pun lelaki, alangkah baik akan jadinya ….”

Waktu dia berpaling, tiba-tiba dilihatnya si baju hitam yang kurus itu telah berada di depannya sambil memegang guci dan cawan arak, sorot matanya yang tajam terus mengerling di antara muka mereka berdua.

Seketika Bu-koat dan Sim-lan melengak.

Sekian lamanya si baju hitam mengamat-amati mereka, tiba-tiba ia bertanya kepada Bu-koat, “Apakah kau ini Hoa Bu-koat?!”

Tentu saja Bu-koat terkesiap, jawabnya, “Betul, saudara ini ....”

Hakikatnya si baju hitam tidak mendengarkan ucapan Bu-koat, dia berpaling dan bertanya kepada Thi Sim-lan, “Dan kau ini Thi Sim-lan?!”

Thi Sim-lan mengangguk, saking heran ia tak dapat bersuara.

Siapakah gerangan si baju hitam ini? Dari mana mengetahui nama mereka?

Mata si baju hitam tampak terbelalak lebar, ucapnya pula, “Apakah barusan kalian minum bagi Kang Siau-hi?”

Diam-diam Thi Sim-lan jadi mendongkol juga, ia menarik napas panjang-panjang, mendadak berseru, “Kalau betul kau mau apa?”

Ia tahu musuh Siau-hi-ji tidak sedikit, ia sangka si baju hitam juga akan mencari perkara kepada mereka.

Tak tersangka si baju hitam lantas menyeret bangku ke dekat mereka, setelah duduk, lalu ia berkata pula, “Baik! Kalian telah minum satu cawan bagi Kang Siau-hi, sedikitnya aku harus menghormati kalian tiga cawan!”

Habis itu ia angkat gucinya. untuk menuangi cawan Bu-koat dan Sim-lan. Tentu saja kedua muda-mudi itu memandang cawan masing-masing dengan bingung karena tidak tahu mereka harus minum atau tidak.

Si baju hitam mendahului menenggak isi cawannya sendiri hingga kering, habis itu ia melotot ketika dilihatnya Bu-koat berdua masih diam saja. Serunya, “Ayo minumlah! Memangnya kalian takut arak ini beracun?”

Selagi Hoa Bu-koat masih sangsi, dengan suara keras Thi Sim-lan menjawab, “Maaf, kami tidak bisa minum arak bersama orang yang tidak kami kenal. Jika kau ingin menghormat arak kepada kami, paling tidak harus kau beritahukan lebih dulu siapa dirimu?!”

Si baju hitam mendelik, mendadak ia bergelak tertawa, katanya, “Tadinya kukira kau ini ramah tamah, siapa tahu mulutmu ternyata tidak banyak berbeda daripada Siau-hi-ji.”

“Ramah tamahku bergantung kepada siapa yang kuhadapi,” jengek Thi Sim-lan, “Bilamana ada orang yang tidak keruan ingin cari gara-gara padaku .... Hmk!” Sekali angkat tangannya, kontan sepasang sumpit yang dipegangnya melayang dan menancap di emper rumah sana.

Tapi sedikit pun si baju hitam tidak mengunjuk rasa kaget atau kagum, dia tetap memandang si nona dengan tertawa, ucapnya, “Kalau perempuan judas ramah tamah terhadap orang lain barulah benar-benar ramah tamah, sebaliknya ... Haha wahai Kang Siau-hi, tampaknya rezekimu memang boleh juga.”

Thi Sim-lan menjadi gusar, bentaknya, “Sebenarnya siapa kau? Apa kehendakmu?”

“Kau pun jangan urus siapa diriku, yang penting kau ketahui bahwa aku ini sahabat baik Kang Siau-hi,” ucap si baju hitam.

Terbelalak juga mata Thi Sim-lan memandanginya sekian lama, katanya kemudian, “Baik, jika engkau sahabat Kang Siau-hi, aku mau minum arakmu ini.”

Si baju hitam berpaling kepada Hoa Bu-koat, katanya, “Dan kau?”

“Aku harus tiga cawan paling sedikit,” jawab Bu-koat sambil tersenyum.

“Bagus, bagus sekali! Hahaha, kau benar-benar seorang sahabat sejati,” si baju hitam bergelak tertawa.

Setelah saling bentur cawan tiga kali bersama Bu-koat, si baju hitam berkata pula, “Kau minum arak bersama nona cantik di bawah sinar bintang seindah ini, namun kau tetap tidak melupakan Kang-Siau-hi. Bagus, bagus sekali, biar kuhormatimu lagi tiga cawan!”

Padahal gucinya sudah hampir kosong, namun sinar mata si baju hitam mencorong, hanya di antara gerak-geriknya nampak sudah agak mabuk, ia tidak urus orang lain minum lagi atau tidak, dan juga tidak lagi mengajak bicara orang lain, ia terus minum sendiri secawan demi secawan, terkadang ia pun menengadah memandang cuaca seakan-akan sedang menantikan datangnya seseorang.

Siapakah gerangan yang dinantikannya?

Dengan heran Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, tanyanya kemudian, “Apakah engkau benar-benar sahabat baik Kang Siau-hi?”

“Kang Siau-hi kan bukan tokoh mahabesar, untuk apa aku mesti memalsukan diri sebagai sahabatnya?” jawab si baju hitam dengan mendelik.

Thi Sim-lan berkedip-kedip, katanya pula dengan tertawa, “Apakah akhir-akhir ini engkau bertemu dengan dia?”

Si baju hitam tidak lantas menjawab, ia termangu-mangu sejenak, lalu menaruh cawannya dengan keras, katanya kemudian, “Terus terang, aku sendiri tidak tahu akhir-akhir ini dia kabur ke mana?”

Setelah merandek, tiba-tiba ia menambahkan pula, “Bilamana kalian bertemu dengan dia, bolehlah sampaikan salamku kepadanya.”

“Memangnya kau sendiri takkan bertemu lagi dengan dia?” tanya Sim-lan.

Si baju hitam termangu-mangu sejenak, jawabnya kemudian, “Mungkin takkan bertemu lagi.”

“Sebab apa?” tanya Thi Sim-lan

Si baju hitam tidak menjawab, hanya menenggak arak terus-menerus.

Thi Sim-lan coba memancing pula, “Bilamana kami bertemu dengan Siau-hi-ji, harus kami katakan siapakah engkau?”

“Katakan saja Toakonya,” jawab si baju hitam dengan berpikir sejenak.

Mendadak Thi Sim-lan berbangkit dan membentak dengan aseran, “Sesungguhnya kau ini siapa?”

“Bukankah baru saja kukatakan padamu ....”

“Kentut!” bentak Thi Sim-lan. “Tidak mungkin Siau-hi-ji mengaku orang lain sebagai Toakonya, jangan mendustai aku.”

“Hahaha! Bagus, bagus!” tiba-tiba si baju hitam bergelak tawa. “Kalian memang tidak malu sebagai sahabat karib Siau-hi-ji. Memang betul, dengan setulus hati kusuruh dia memanggil Toako (kakak) padaku, tapi dia justru selalu menyebut aku adik.”

Thi Sim-lan tertawa, ia duduk kembali, ucapnya, “Jika demikian, akan kuberitahukan bahwa adiknya yang menyampaikan salam padanya.”

Air muka si baju hitam rada berubah, tampaknya ia rada gondok, ia melototi Thi Sim-lan tapi tidak jadi marah, akhirnya ia menenggak arak lagi, katanya gegetun, “Kang Siau-hi mempunyai sahabat seperti kalian ini, andaikan mati juga tidak menyesal lagi. Sedangkan aku? ....” di bawah sinar lampu yang redup, air mukanya tampak sangat berduka.

“Eh, tampaknya engkau sedang menanggung sesuatu pikiran apa, betul tidak?” tanya Thi Sim-lan.

“Pikiran? Memangnya aku memikirkan apa?” kembali si baju hitam mendelik.

“Jika engkau benar-benar menganggap kami ini sahabat Kang Siau-hi, mengapa tidak kau beberkan isi hatimu, bisa jadi ... bisa jadi kami dapat memberi sesuatu bantuan padamu.”

Mendadak si baju hitam menengadah dan terbahak-bahak, ucapnya, “Bantuan? Hahahaa, masakah aku perlu bantuan orang?”

Di tengah suara tertawa yang keras itu seakan-akan juga penuh rasa duka dan murka. Thi Sim-lan ingin bertanya pula, tapi dicegah oleh Hoa Bu-koat dengan kedipan mata.

Dari jauh terdengar suara kentongan, malam ternyata sudah larut sekali.

Sekonyong-konyong si baju hitam berhenti tertawa, dipandangnya Bu-koat dan Thi Sam-lan lekat-lekat, lalu berkata, “Kalian benar-benar hendak membantu aku?”

“Sudah tentu benar,” jawab Thi Sim-lan.

“Bagus, silakan kalian masing-masing menyuguh tiga cawan arak padaku, ini pun sudah terhitung membantu padaku,” ucap si baju hitam.

Setelah menghabiskan enam cawan arak, si baju hitam menengadah dan bergelak tawa pula, katanya, “Tadi aku mengira malam ini akan kulewati sendirian, siapa tahu dapat berjumpa dengan kalian dan telah minum bersama dengan puas, sungguh suatu kejadian yang menggembirakan selama hidupku ini ....”

“Malam ini, apakah sangat istimewa bagimu? tanya Thi Sim-lan.

Mendadak si baju hitam berbangkit dan memandang si nona lekat-lekat, seperti mau bicara apa-apa, namun urung, tiba-tiba ia berpaling terus melangkah ke sana.

Sim-lan berseru, “He, jika engkau ingin minum arak pula, bagaimana kalau esok kita berkumpul lagi di sini?”

Sama sekali si baju hitam tidak menoleh, ia bergumam sendiri, “Esok? ....”

Dia mendekati si penjual mi babat, dikeluarkannya seluruh isi sakunya, ternyata ada beberapa potong uang emas, belasan biji mutiara, semuanya dia lemparkan ke meja penjual mi babat dan berkata, “Inilah uang makan-minumku, buat kau semuanya.”

Tentu saja penjual mi itu melongo kaget, belum lagi dia sempat mengucapkan terima kasih, tahu-tahu si baju hitam sudah berada di kejauhan, cahaya lampu yang remang-remang menyinari bayangan tubuhnya yang semakin memanjang, tampaknya dia begitu kesepian, sedemikian hampa.

Rawan juga perasaan Thi Sim-lan, ucapnya dengan terharu, “Betapa kesepian hidupnya, hanya dua orang mengiringi dia minum arak sudah terhitung kejadian menggembirakan baginya. Entah betapa sunyi dan hampa hidupnya ini?”

“Pada malam sebelum kematiannya dia mengira akan dilewatkannya dengan sendirian, dia ternyata tidak dapat menemukan seorang kawan untuk menemani malamnya yang terakhir,” ucap Hoa Bu-koat dengan perlahan.

“Apa katamu? Malam sebelum kematiannya? Malamnya yang terakhir?” seru Thi Sim-lan.

“Masa kau tidak dapat melihatnya? ....” mendadak Bu-koat berhenti berucap, Thi Sim-lan ditariknya terus melayang cepat ke sana.

Langkah si baju hitam tadi rada sempoyongan, jalannya seperti sangat lamban, tapi sekali berkelebat tahu-tahu sudah menghilang ditelan kegelapan malam.

Setelah melintas beberapa deretan rumah Hoa Bu-koat lantas menurunkan Thi Sim-lan, ucapnya, “Biar kususul dia, kau tunggu saja di sini.”

Ginkang Thi Sim-lan sebenarnya tidak lemah, tapi kalau dibandingkan Hoa Bu-koat dan si baju hitam tadi jelas selisih sangat jauh.

Cahaya bintang menyinari wuwungan rumah yang remang-remang kelabu, di kejauhan terkadang ada berkelipnya sinar lampu, hampir semua insan sudah tenggelam di alam impian mereka, bumi raya juga sudah tidur.

Thi Sim-lan berdiri sendirian di situ, angin semilir mengusap tubuh si nona laksana sentuhan kelopak mata kekasih, seperti usapan tangan ibunda. Akan tetapi perasaan si nona tidak dapat ditenteramkan.

Siapakah gerangan si baju hitam tadi? Mengapa dia harus mati? Dia dan Siau-hi-ji ....

Sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Bu-koat sudah berada di depannya.

“Dapatkah menyusulnya?” tanya Sim-lan segera.

Bu-koat menggangguk, jawabnya dengan gegetun, “Alangkah hebat Ginkang orang ini!”

“Ke manakah dia?” tanya Sim-lan pula.

Bu-koat tidak menjawabnya, tapi berkata, “Marilah ikut padaku!”

Kedua orang lantas melayang cepat pula ke sana melintasi beberapa deretan rumah.

Saking ingin tahu, Thi Sim-lan bertanya pula, “Cara bagaimana kau tahu dia akan mati?”

“Senantiasa dia memperhatikan waktu, jelas kelihatan malam ini dia hendak melakukan sesuatu urusan penting,” tutur Bu-koat dengan gegetun.

“Ya, hal ini pun sudah kuketahui tadi.”

“Tampaknya perasaannya sangat tertekan, ia pun mengatakan selanjutnya mungkin tak dapat melihat Siau-hi-ji lagi, sebelum berangkat dia memberikan seluruh isi sakunya kepada si penjual mi babat, ini semua menandakan apa yang akan dilakukannya pasti sesuatu urusan yang sangat berbahaya, rupanya dia sudah bertekad melakukannya sekalipun harus mati.”

“Benar ....” seru Sim-lan. “Watak orang ini mengapa sedemikian aneh dan angkuh, sudah jelas dia berniat mati, tapi tidak mau memberitahukan pada orang lain dan juga tidak menginginkan bantuan.”

“Tapi dia adalah sahabat Siau-hi-ji, mana boleh kita tinggal diam menyaksikan kematiannya?” ujar Bu-koat.

Sim-lan menggigit bibir, katanya, “Ginkangnya tergolong kelas wahid, andaikan tak dapat menandingi musuhnya pasti juga dapat melarikan diri, tapi dia sama sekali tidak berharap akan dapat lari, maka dapat dibayangkan lawannya pasti sangat lihai dan menakutkan.”

“Sebab itu pula kau harus hati-hati, sebelum ada sesuatu tanda dariku kau jangan sembarangan turun tangan,” pesan Bu-koat.

Sampai di sini, perumahan sudah mulai jarang-jarang.

Tiba-tiba Thi Sim-lan melihat tidak jauh di depan sana ada sebuah biara yang cukup besar, tampaknya seperti gedung kaum hartawan. Dalam keadaan larut malam demikian, di bagian belakang biara ini masih ada sinar lampu.

“Tempat apakah ini?” tanya Sim-lan.

“Sebuah Tokoan (kelenteng agama To).”

“Apakah dia masuk ke Tokoan ini?”

“Ehm,” jawab Bu-koat singkat.

“Kau lihat dia masuk di situ, maka engkau lantas ….”

“Waktu dia masuk ke sana, gerak-geriknya sangat hati-hati,” tutur Bu-koat. “Dengan Ginkangnya yang tinggi itu untuk sementara waktu pasti sukar diketahui orang, maka aku lantas memutar balik ke sana untuk mengajakmu ke sini.”

Thi Sim-lan coba mengawasi suasana sekitar kelenteng itu, meski ada cahaya lampu, tapi sedikit pun tiada suara apa pun, lebih-lebih tiada sesuatu tanda akan terjadi mara bahaya.

“Sudah sekian lamanya dia masuk ke situ, mengapa Tokoan ini masih tetap sunyi senyap?” tanya Sim-lan pula. “Memangnya penghuni kelenteng ini tiada mengetahui kedatangannya?” Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Tapi kalau dia sudah bertekad akan mati, biarpun kedatangannya tidak diketahui orang lain, seharusnya dia bertindak sesuatu, mengapa dia masih diam saja dan main sembunyi-sembunyi?”

“Kau tunggu di sini, biar kumasuk ke sana,” kata Bu-koat.

Tapi Sim-lan memegang tangannya dan berucap dengan suara tertahan, “Kukira di balik urusan ini ada sesuatu yang ganjil, bisa jadi dia sengaja bersekongkol dengan orang lain dan memancing kedatangan kita ke sini.”

“Bilamana dia bersekongkol dengan orang hendak menjebak kita, maka aku justru ingin tahu apa yang bakal terjadi,” ujar Bu-koat tersenyum.

Perlahan dia lepaskan tangan si nona, sekali berkelebat dia telah menghilang dalam kegelapan.

Sambil memandang bayangan Bu-koat yang lenyap itu, Sim-lan bergumam sambil tersenyum getir, “Sungguh tak terduga perangai orang ini terkadang serupa benar dengan Siau-hi-ji.”

Kelenteng ini cukup luas, bagian belakang masih ada penerangan, tapi halaman depan dan ruang pendopo gelap gulita, maka tidak kelihatan malaikat apa yang dipuja.

Bu-koat menyusul serambi yang gelap itu dan memutar ke halaman belakang, kemudian diketahui bahwa halaman yang ada penerangannya itu bukan lagi rumah kelenteng tapi berbentuk rumah penduduk biasa, begitu pula alat perabot di dalam rumah.

Bagian depan adalah kelenteng, bagian belakang adalah perumahan biasa, keadaan ini sangat aneh, yang lebih mengherankan adalah seluruh halaman belakang itu tiada terdengar sesuatu suara atau bayangan seorang, tapi di ruangan yang terpajang mewah dengan permadani mentereng itu berbaring seekor harimau loreng yang besar.

Ruangan duduk itu tampaknya tidak cuma sebesar ini saja, sebab di bagian tengah ada selapis tirai kain kuning yang panjang menyentuh lantai, jelas di balik sana masih cukup luas. Dan di depan tirai kuning itulah harimau loreng itu mendekam.

Rumah yang aneh dengan gayanya yang khas, ruangan duduk yang tiada tamunya, tapi ada seekor harimau. Semua ini membuat Hoa Bu-koat heran dan bingung. Yang lebih sukar dimengerti adalah suasana ruangan tamu itu, sebab apa dibatasi menjadi dua bagian dengan tirai?

Rahasia apa pula yang tersembunyi di balik tirai kuning itu?

Dengan hati-hati Bu-koat merunduk maju, ia yakin akan Ginkangnya sendiri, dengan sendirinya gerak geriknya tiada menerbitkan suara sedikit pun.

Siapa tahu pada saat itu juga, harimau yang tampaknya sedang tidur itu mendadak melompat bangun sambil meraung keras sehingga bumi seakan-akan bergetar dan daun kering sama rontok di halaman.

Nyata, walaupun Ginkang Bu-koat tiada taranya, namun harimau itu tidak perlu memandang dengan mata dan tidak perlu mendengar dengan telinga melainkan cukup mengendus dengan hidung saja.

Memang di sinilah letak kehebatan binatang itu, tak peduli siapa pun yang masuk ke ruangan belakang ini, asalkan baunya terendus, maka jangan harap dapat mengelabuinya.

Jika si baju hitam tadi sudah masuk ke ruangan belakang sini, mungkin sekarang sudah lebih banyak celaka daripada selamatnya.

Sementara itu cahaya lampu bergoyang-goyang, harimau tadi sudah hampir menubruk maju. Keganasan harimau sangat menakutkan, sampai-sampai Bu-koat juga kebat-kebit.

Pada saat itulah dari balik tirai tiba-tiba berkumandang suara halus berkata, “Siau Hoa (si loreng), duduklah, jangan galak seperti anjing penjaga saja, bisa bikin takut tamu!”

Suara itu begitu menggiurkan dan menggetar sukma.

Harimau itu pun seakan-akan dapat merasakan betapa menggiurkan suara merdu itu, benar-benar saja dia lantas membalik ke sana dan duduk kembali seperti mendadak berubah menjadi seekor kucing kecil yang jinak.

Bu-koat melenggong menyaksikan semua ini. Dilihatnya dari balik tirai kuning terjulur sebuah tangan putih mulus, halus lemas seolah-olah tak bertulang, dengan perlahan tangan putih itu membelai harimau, dengan suara merdu ia berkata pula dengan tertawa, “Jika Tuan sudah datang, kenapa tidak masuk saja dan duduklah.”

Diam-diam Bu-koat membatin apakah pengalaman si baju hitam tadi sama seperti sekarang ini? Apakah betul dia masuk ke sini? Setelah masuk kemari lalu apa pula yang dialaminya?

Menurut keyakinan Bu-koat, jika si baju hitam datang ke sini dengan tekad harus mati, maka dia pasti pantang mundur. Biarpun ruangan tamu ini adalah sarang harimau juga pasti akan diterjangnya.

Teringat pada tekad si baju hitam, tanpa ragu lagi Bu-koat lantas melangkah masuk.

Dengan tersenyum simpul ia melangkah masuk setindak demi setindak sebagaimana seorang tamu yang sopan santun hendak berkunjung kepada sahabat lama.

Dari balik tirai lantas terdengar suara tertawa nyaring merdu dan berkata, “Sungguh seorang Kongcu yang cakap, bolehkah kumohon tanya nama Kongcu yang terhormat?”

“Cayhe Hoa Bu-koat,” jawab Bu-koat sambil memberi soja.

“O, kiranya Hoa-kongcu,” kata suara itu.

“Terima kasih, bolehkah kutahu nama harum nona?”

Suara di balik tirai itu tertawa ngikik, jawabnya, “Hihi, aku sudah menikah, mana berani mengaku sebagai nona lagi .... aku she Pek.”

“O, kiranya Pek-hujin (nyonya Pek),” kata Bu-koat.

“Terima kasih, silakan duduk Hoa-kongcu,” ucap Pek-hujin atau nyonya Pek.

Sambil mengucapkan terima kasih, benar-benar Bu-koat duduk tanpa sungkan.

Sebegitu jauh tanya jawab antara nyonya rumah dan tamunya dilakukan dengan sopan santun, cuma sayang nyonya rumah belum memperlihatkan wajahnya, di samping tamu mendekam pula seekor harimau yang besar dan setiap saat siap menerkam mangsanya. Kalau tidak, siapa pun pasti akan mengira antara Hoa Bu-koat dan Pek-hujin adalah sahabat karib yang telah ada hubungan turun-temurun.

Sesungguhnya itu pun sifat Hoa Bu-koat yang sukar berubah, asalkan orang lain bersikap sopan padanya, biarpun diketahuinya orang ingin membunuhnya juga dia akan membalasnya dengan sopan dan hormat.

Terdengar Pek-hujin berkata pula dengan tertawa, “Kongcu datang dari jauh, tapi aku tak dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai nyonya rumah, harap Kongcu sudi memberi maaf.”

“Dapat bicara dengan Hujin dari balik tirai, betapa pun Cayhe merasa beruntung,” jawab Bu-koat.

Tiba-tiba Pek-hujin bergelak tertawa, katanya, “Sikapku sudah terhitung sangat ramah tamah, tak tersangka engkau ternyata lebih ramah pula. Bilamana kita terus ramah tamah begini aku menjadi tidak enak untuk bicara urusan kita, engkau juga tidak leluasa untuk bertanya. Maka lebih baik kita tidak perlu main sungkan-sungkan lagi.”

“Bersopan santun dahulu baru kemudian perang tanding, ini adalah cara paling terhormat dalam perselisihan kaum ksatria sejati. Maka menurut pendapatku, adalah lebih baik bila bersikap sungkan saja.”

“Engkau ini sungguh orang yang menarik,” ujar Pek-hujin dengan tertawa.

“Terima kasih,” jawab Bu-koat.

“Kita tiada permusuhan dan dendam apa pun, bahkan wajahku saja belum pernah kau lihat, dari mana kau tahu aku menghendaki sopan dahulu padamu baru kemudian perang tanding? Aku kan tiada maksud ‘perang’ denganmu?!”

“Bilamana tidak perlu main senjata melainkan beramah tamah saja, tentu saja itulah yang kuharapkan,” ucap Bu-koat.

“Berdasarkan apa kau kira aku hendak main senjata denganmu?” tanya Pek-hujin dengan tertawa.

“Orang asing berkunjung kemari di tengah malam buta, andaikan Hujin menghadapinya dengan senjata juga pantas,” jawab Bu-koat.

Pek-hujin tertawa genit, katanya, “Meski aku tidak tahu maksud kedatanganmu, tapi melihat sikapmu yang sopan dan perawakanmu yang gagah serta terpelajar pula, betapa pun engkau tidak mirip seorang jahat. Apalagi kau datang dengan sikapmu tadi, walaupun aku takkan membikin susah, tapi ada orang lain yang tak dapat melepaskanmu.”

Bu-koat menghela napas, katanya, “Terima kasih atas perhatian Hujin, cuma sayang kedatanganku justru disebabkan oleh orang tadi.”

“Ai, memangnya kau ini sahabat si setan hitam yang suka main sembunyi-sembunyi itu?” tanya Pek-hujin.

“Betul,” jawab Bu-koat.

“Jadi kedatanganmu ini hendak mencari dia?”

“Bila Hujin sudi memberitahukan jejaknya padaku, sungguh Cayhe akan sangat berterima kasih.”

“Umpama kukatakan di mana jejaknya, apakah kau mampu menolongnya keluar?”

“Apakah Hujin melihat Cayhe ini mirip orang yang gegabah tanpa memikirkan mati dan hidup?”

“Dari nadamu ini, agaknya kepandaianmu tidaklah rendah bukan?”

“Di hadapan Hujin sesungguhnya Cayhe tidak berani merendahkan diri sendiri.”

“Bagus, kau memang anak muda yang suka berterus terang,” ujar Pek-hujin dengan tertawa. “Jika begitu, boleh kau coba dulu memperlihatkan sejurus dua padaku, ingin kutahu apakah kau memang mempunyai kemampuan untuk menolong dia?”

Bu-koat tersenyum, ucapnya, “Kalau demikian kehendak Hujin, terpaksa Cayhe pamer sedikit.”

Dia duduk tanpa bergerak, tapi mendadak orangnya berikut kursinya meloncat ke atas, kursi buatan dari kayu cendana yang kuat dan berat itu seolah-olah lengket di pantat Hoa Bu-koat.

“Hebat, sungguh luar biasa?” sorak Pek-hujin. “Padahal usiamu masih muda belia, memangnya sejak lahir kau sudah mulai belajar silat.”

Dengan perlahan Bu-koat melayang turun, jawabnya dengan tertawa, “Sungguh memalukan jika kukatakan, setelah dilahirkan Cayhe hidup sia-sia selama tiga-empat bulan, setelah seratus hari barulah mulai belajar silat?”

“Bagus, dengan kepandaianmu ini pantas kau berani menyatakan tidak mau merendahkan diri sendiri. Cuma ....”

“Cuma apa?” tanya Bu-koat.

“Kan sudah kukatakan tadi, setan hitam itu pun tiada permusuhan atau dendam apa-apa denganku, malahan selamanya belum pernah kenal, meski bentuknya rada menjemukan dan tindak tanduknya suka sembunyi-sembunyi, tapi aku pun tidak membikin susah dia.”

Dengan menahan perasaan Bu-koat tidak menanggapi, ia tahu cerita orang pasti bersambung.

Benar juga, segera Pek-hujin melanjutkan, “Tapi di tempat kami ini ada dua orang tamu, mereka justru merasa risi, entah mengapa, bicara punya bicara, akhirnya mereka baku hantam dengan serunya. Ai, meski temanmu itu bentuknya kelihatan galak, tapi ia justru bukan tandingan kedua kawanku itu.”

“Jangan-jangan dia telah terbunuh?” seru Bu-koat.

Pek-hujin tertawa ngikik, ucapnya, “Agaknya kau terlalu meremehkan aku. Di tempatku ini memangnya siapa yang berani sembarangan membunuh orang?”

“Habis kawanku ....”

“Kawanmu seperti telah di bawa pergi oleh kawanku, dibawa ke mana, aku sendiri pun tidak tahu.”

Bu-koat melenggong, seketika ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia pun tidak dapat meraba asal-usul Pek-hujin ini, lebih-lebih tak tahu apakah uraian itu betul atau palsu, apalagi, sekalipun cerita orang itu cuma bualan saja, tentunya ia pun tidak dapat berbuat apa-apa.

Bilamana Bu-koat diharuskan menerjang ke balik tirai dan membekuk Pek-hujin untuk dipaksa memberi keterangan sejujurnya, tindakan ini betapa pun takkan dilakukannya sekalipun diancam akan membunuhnya.

Karena itulah ia menjadi serba salah, tinggal pergi rasanya keliru, tinggal di situ juga tidak betul.

Selagi dia tercengang, tiba-tiba Pek-hujin tertawa dan berkata pula, “Tapi kau pun tidak perlu sedih, jika benar-benar kau ingin mencari dia, aku akan membawamu ke sana.”

Bu-koat bergirang dan mengucap terima kasih.

Tapi Pek-hujin lantas menghela napas dan berkata pula, “Cuma aku sendiri disekap di sini, bergerak saja tidak bisa, cara bagaimana pula dapat kubawa kau pergi mencarinya?”

Baru sekarang Bu-koat terkejut, cepat ia bertanya, “Masa Hujin disekap orang di sini?”

“Siapa bilang bukan?” kata Pek-hujin menyesal. “Bilamana kau ingin kubawa mencari temanmu, maka lebih dulu harus kau tolong diriku.”

“Masa Hujin bukan nyonya rumah di sini?”

“Siapa bilang aku bukan nyonya rumah di sini?” jawab Pek-hujin.

Bu-koat memandang harimau yang besar dan jinak seperti kucing dibelai oleh tangan yang putih halus itu, katanya dengan ragu-ragu, “Jika nyonya adalah majikan di sini, harimau ini pun piaraan nyonya, lantas siapakah yang mengurung nyonya di sini, sungguh Cayhe tidak habis pikir?”

Pek-hujin menghela napas, ucapnya, “Kisah ini terlalu panjang untuk diceritakan, boleh kau singkap dulu tirai ini, nanti akan kuceritakan.”

“Jangan-jangan ini sebuah perangkap?” ujar Bu-koat dengan ragu-ragu.

“Kau mengaku berkepandaian tinggi, tapi menyingkap tirai ini saja tidak berani?”

Seketika keberanian Bu-koat berbangkit, sekali raih tirai tersingkap. Serentak ia melongo kaget setelah melihat apa yang terdapat di balik tirai.

Ternyata antara belahan ruangan bagian depan dan bagian belakang yang tertutup tirai ini bedanya seperti langit dan bumi.

Bagian depan yang dijaga harimau ini terpajang mewah, sedangkan bagian belakang yang dialingi tirai itu ternyata tiada sesuatu alat perabot apa pun, malahan jerami memenuhi lantai, dipojok sana ada sebuah tong air yang biasa dibuat tempat makan minum hewan. Pada hakikatnya tempat ini bukan tempat tinggal manusia, tapi lebih mirip kandang babi atau istal kuda.

Sungguh mimpi pun Bu-koat tidak menduga bahwa di balik ruangan yang mentereng ini adalah sebuah tempat sekotor ini, malahan di sinilah duduk seorang perempuan setengah tua dengan dandanan istimewa, rambutnya penuh hiasan mutiara goyang dan ratna mutu manikam, wajah tidak ketinggalan pupur dan gincu. Meski sudah setengah baya, namun masih jelas kelihatan bekas-bekas kecantikannya di masa muda.

Ini pun belum mengejutkan, yang paling luar biasa adalah leher wanita cantik berdandan mewah ini justru terbelenggu oleh seutas rantai, ujung rantai terpaku kuat di dinding sana.

Seketika Bu-koat juga seperti terpaku di tempatnya dan tidak dapat bergerak lagi.

Pek-hujin memandang sekejap, katanya dengan tersenyum pedih, “Nah, sekarang tentunya kau tahu apa sebabnya aku tak dapat membawamu pergi mencari temanmu.”

Diam-diam Bu-koat menghela napas, ucapnya, “Per ... perbuatan siapakah ini? Siapa ... siapa yang ....”

“Suamiku!” jawab Pek-hujin sambil menunduk.

“Suamimu?” Bu-koat menegas, hampir saja ia melonjak kaget.

“Betul,” kata Pek-hujin dengan sedih. “Suamiku adalah lelaki yang paling cemburu dan paling tidak aturan di dunia ini. Dia sangka bila aku ditinggalkan pergi, pasti aku akan main gila dengan lelaki lain.”

“Sebab itu dia ... dia memb ....”

“Ya, begitu dia pergi, segera aku dirantai olehnya, pada hakikatnya dia tidak ... tidak menganggap diriku sebagai manusia, malahan memandang diriku ini lebih rendah daripada hewan.”

Termangu-mangu Bu-koat memandangi nyonya yang malang ini sehingga tidak sanggup bicara lagi.

“Tapi bila kau lihat dandananku yang baik ini, tentunya kau pun merasa heran bukan?” tanya Pek-hujin.

“Ini ... ini ....”

“Ini pun kehendaknya,” tutur Pek-hujin dengan gegetun. “Meski dia memperlakukan diriku dengan macam-macam siksaan, tapi dia juga menyuruh aku berdandan dan bersolek secantiknya, tujuannya melulu untuk dipertontonkan kepadanya saja.”

Setelah menghela napas panjang, lalu ia menyambung pula, “Ya, hanya untuk ditonton dia sendiri, bila orang lain memandangku sekejap saja maka orang itu pasti akan dibunuh olehnya. Sekarang kau telah memandang diriku pula, seumpama kamu tak mau menolongku keluar juga dia akan mencari dan membikin perhitungan denganmu.”

“Selama hidupku paling benci pada manusia yang suka menghina dan menganiaya wanita,” ucap Bu-koat dengan tersenyum pahit. “Jangankan Cayhe memang mengharapkan bantuan, sekalipun tiada urusan ini juga Cayhe akan berusaha menolong nyonya keluar dari sini.”

“Engkau benar-benar orang yang baik hati” ucap Pek-hujin dengan suara lembut dan memandangnya dengan rawan. “Ya, sejak mula aku pun sudah tahu engkau pasti orang baik. Tapi bilamana engkau hendak menolongku, maka lekaslah kerjakan, kalau tidak, bila suamiku pulang, walaupun tinggi ilmu silatmu juga sukar menandingi dia.”

*****

Di luar sana Thi Sim-lan sudah menunggu sekian lama dalam kegelapan.

Sekonyong-konyong ia dengar auman harimau yang menggetar bumi, kemudian suasana kembali sunyi senyap dan tiada sesuatu gerak gerik lagi, tapi justru suasana tiada sesuatu gerak-gerik ini semakin membuat cemasnya.

Dia menunggu lagi sejenak, makin lama makin gelisah, sampai akhirnya ia benar-benar tidak tahan lagi, tanpa pikir ia melompat keluar dari tempat sembunyinya. Apa pun juga ia ingin melihat apa yang terjadi sesungguhnya.

Kelenteng yang terbenam dalam kegelapan itu tampaknya tiada sesuatu tanda yang membahayakan. Segera Thi Sim-lan melompat ke atas pagar tembok.

Baru saja ia bertengger di atas tembok, mendadak sinar lampu berkelebat, itulah cahaya sebuah Khong-beng-teng (lampu ciptaan Khong Beng di jaman Sam-kok) yang khas, sinarnya berkelebat di mukanya seperti sinar kilat. Menyusul di ruangan pendopo seorang lantas berucap dengan tertawa, “O, kukira siapa, rupanya nona Thi Sim-lan adanya.”

Keruan Sim-lan terkejut, hampir saja ia terjatuh di atas tembok, serunya dengan suara serak, “Sia ... siapa kau?”

“Silakan nona masuk saja, sebentar tentu kau akan mengenali aku,” kata orang itu.

Kejut dan sangsi pula Thi Sim-lan, mana dia berani menyerempet bahaya memasuki ruangan pendopo yang gelap gulita itu.

Orang itu tertawa seram, katanya pula, “Jika nona sudah datang ke sini, silakan masuk saja kemari untuk melihat sendiri, kalau tidak, kedua teman nona itu saja tidak dapat lolos, apalagi nona Thi sendiri, dengan kepandaianmu apakah engkau mampu kabur?”

Sekujur badan Thi Sim-lan serasa gemetar, masa Hoa Bu-koat juga telah jatuh ke dalam perangkap orang dan mengalami sesuatu?

Akhirnya ia menjadi nekat, tanpa pikir lagi ia terus melompat ke bawah.

Dalam kegelapan orang itu berkata pula dengan tertawa, “Di samping pilar dekat undak-undakan sana ada sebuah lampu dan ada pula geretan, paling baik nona menyalakan lampu dulu barulah masuk kemari. Kebanyakan orang bilang aku ini lelaki yang sangat cakap bila dipandang di bawah cahaya lampu yang terang.”

“Tapi adakah tipu apalagi?” kembali Thi Sim-lan curiga.

Apa pun juga, sinar lampu biasanya memang bisa menambah keberanian orang, dalam kegelapan risikonya juga lebih besar. Maka ia lantas mendekati tempat yang ditunjuk tadi, ia menemukan lampu dan menyalakannya.

Di tempat yang luas dan gelap itu, cahaya lampu ini jauh lebih terang daripada biasanya dan juga menghangatkan, Thi Sim-lan pegang erat-erat lampu itu dan melangkah ke ruangan pendopo itu. Ia lihat keadaan kosong melompong, mana ada bayangan orang? Yang ada cuma Hiolo (tempat abu) yang besar, tirai kuning meja pemujaan yang rada luntur warnanya serta wajah beringas patung yang dipuja.

Tiba-tiba cahaya lampu seolah-olah rada guram.

Tanpa terasa Thi-Sim-lan merinding, serunya, “Sesungguhnya siapa kau? Mengapa main sembunyi?”

Tapi tiada jawaban orang dan juga tidak nampak bayangan seorang pun.

Ia menjadi ragu, jangan-jangan patung kayu itu yang sedang menggoda seorang gadis biasa.

Thi Sim-lan tidak berani menengadah, tapi tanpa terasa mendongak, maka tertampaklah malaikat gunung raksasa bertengger di punggung harimau seakan-akan sedang menyeringai padanya.

Angin tiba-tiba meniup, sumbu lampu bergoyang-goyang, pakaian patung malaikat gunung juga bergerak-gerak laksana hidup dan seakan-akan hendak melangkah turun dari meja sembahyang.

Hampir saja Thi Sim-lan tidak tahan dan akan membuang lampu itu terus melarikan diri. Lampu yang hangat itu rasanya berubah menjadi dingin, tangannya mulai gemetar pula.

Tiba-tiba dari balik tirai meja pemujaan sana berkumandang suara orang bergelak tertawa.

“Hahahaha, Thi Sim-lan, nyalimu ternyata tidak kecil!” seru orang itu. Suaranya seperti timbul dari patung malaikat ukiran kayu itu.

Namun Thi Sim-lan malahan dapat tenangkan hatimya, segera ia pun menjengek, “Jika kau berani mengundang aku masuk ke sini, mengapa kau sembunyi di belakang patung dan tidak berani muncul menemui aku?”

Orang itu tertawa, katanya, “Nyali perempuan terkadang memang lebih besar daripada lelaki, mestinya hendak kubikin kaget padamu, siapa tahu tempat sembunyiku dapat kau bongkar.”

Menyusul suara tertawa itu, seorang perlahan-lahan muncul dari balik patung sana, cahaya lampu yang bergoyang-goyang menyinari wajahnya yang pucat dan sorot matanya yang tajam.

Memang betul, dia memang lelaki yang sangat cakap.

Tapi demi nampak lelaki ini, kejut Thi Sim-lan melebihi lihat setan iblis. Tanpa terasa ia berseru, “Hah, Kang Giok-long!”

“Betul, memang aku,” jawab Kang Giok-long dengan tertawa. “Tadi aku bergurau denganmu, apa kau terkejut?”

Dengan senyuman yang ramah selangkah demi selangkah ia mendekati Thi Sim-lan. Tapi si nona mundur selangkah demi selangkah.

“Kau ... kau mau apa? tanya Sim-lan.

“Kita kan sahabat lama, mengapa kau takut padaku?” ucap Giok-long dengan tersenyum.

Sampai jari kaki Sim-lan pun terasa dingin, tapi dia sengaja menampilkan senyum mengejek, katanya, “Siapa bilang aku takut? Aku justru sangat gembira.”

Sambil bicara, kakinya masih terus melangkah mundur. Sudah tentu dia tahu lelaki yang sangat cakap dan manis bicaranya ini jauh lebih menakutkan daripada ular yang paling berbisa.

Mendadak ia melemparkan lampu yang dipegangnya ke muka Kang Giok-long, habis itu ia terus lari keluar secepat terbang.

Dalam keadaan demikian, rasanya segala apa sudah terlupakan olehnya, yang dipikirkan hanya meninggalkan Kang Giok-long.

Tapi mendadak ia menubruk ke dalam pelukan seseorang.

Tanpa memandang juga Thi Sim-lan tahu siapa orang ini. Pakaian orang ini terasa halus dan licin, begitu licin sehingga melebihi licinnya ular berbisa.

Tangan orang ini pun lemas dan licin, dengan perlahan dia rangkul Thi Sim-lan dan berucap dengan suara lembut, “Kenapa lari? Masa kau takut padaku.”

Sekujur badan Thi Sim-lan terasa lemas lunglai dan menggigil. Sama sekali ia tiada tenaga lagi untuk mendorong.

Dengan perlahan Giok-long meraba pundak Thi Sim-lan, katanya dengan perlahan, “Katakan, sesungguhnya apa yang kau takutkan?”

Sebisanya Thi Sim-lan menenangkan hatinya yang berdebar. Diam-diam ia memperingatkan dirinya sendiri agar bersabar, jika Kang Giok-long pura-pura bersikap ramah tamah, maka jangan sekali-kali boroknya dibongkar, kalau tidak, dari malu ia bisa menjadi marah dan itu berarti berbahaya baginya.

Maka ia pura-pura membanting-banting kaki dan mengomel, “Aku tak peduli, tadi kau telah menakuti aku setengah mati, untuk apa kupedulikan kau.”

Ia menyadari bukan tandingan Kang Giok-long, ia tahu dalam keadaan demikian senjata satu-satunya yang baik ialah omelan manja anak gadis.

Benar juga, Kang Giok-long lantas tertawa, katanya, “Kau memang gadis yang menyenangkan, pantas Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tergila-gila padamu.”

“Dan kau?” tanya Thi Sim-lan sambil menggigit bibir.

“Aku pun lelaki, melihat gadis menarik seperti kau masakah tidak terpikat? Cuma sayang, mereka berdua sudah ....”

“Kukira kau sendiri tak dapat membandingi mereka?”

“Menurut kau, bagaimana aku dibandingkan mereka?” tanya Giok-long sambil memicingkan mata.

“Mereka masih anak-anak, sedangkan kau ... kau sudah dewasa.”

“Hah, pandanganmu ternyata tajam, sayang tidak kau katakan sejak dulu-dulu.”

Berbareng ia rangkul si nona terlebih erat sehingga Thi Sim-lan merasa mual. Namun ia berlagak tertawa genit dan menjawab, “Memangnya kau ini orang tolol sehingga perlu menunggu keterangan dariku?”

“Haha, betul, ucapanmu memang tepat,” seru Giok-long sambil bergelak. “Bila lelaki ingin menunggu pengungkapan isi hati si perempuan, maka dia benar-benar teramat bodoh.”

Di tengah embusan angin malam yang semilir, di tengah kegelapan yang sunyi, dalam pelukannya terdapat nona selembut dan secantik ini ... betapa pun lihainya Kang Giok-long tentu juga lunak hatinya.

Maka suara Thi Sim-lan jadi semakin halus, katanya perlahan, “Sekarang, biarlah kukatakan padamu, sesungguhnya sudah lama aku ....”

Sudah sekian lama ia bersiap-siap, kedua tangannya sudah penuh tenaga, sekuatnya ia terus memukul ke pinggang Kang Giok-long.

Akan tetapi baru tangannya bergerak, tahu-tahu Kong-cing-hiat di atas pundak kanan kiri telah kena dicengkeram oleh Kang Giok-long sehingga tenaga tak dapat dikerahkan sama sekali. Tangan Thi Sim-lan menjadi lemas, hati pun dingin.

Kang Giok-long, setan iblis ini, ternyata sudah sejak tadi mengetahui jalan pikiran si nona.

Dia merasa tangan Kang Giok-long terus merosot ke bawah melalui punggungnya dan sekaligus menutuk pula beberapa Hiat-to penting di bagian situ. Seketika satu jari pun Thi Sim-lan tak dapat bergerak lagi.

Sementara itu tangan Kang Giok-long masih terus bekerja, tiada hentinya tangannya “main” kian kemari di bagian tubuh Thi Sim-lan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Ucapnya, “Kutahu sudah lama kau suka padaku, maka malam ini betapa pun takkan kukecewakan keinginanmu.”

“Kau ... kau setan iblis, kau berani ....” teriak Thi Sim-lan dengan suara parau.

Giok-long tertawa ngikik, katanya, “Apakah kau menyesal sekarang? Cuma sayang, andaikan menyesal juga sudah terlambat.”

Thi Sim-lan menggigit bibir kencang dan tidak bersuara, ia tahu dalam keadaan demikian, berteriak atau meronta juga tiada gunanya, bahkan akan lebih merangsang nafsu binatang Kang Giok-long.

Sejak kecil Thi Sim-lan hidup merana, sudah terlalu banyak mengalami penderitaan lahir dan batin, ia paham bilamana seorang dalam keadaan tak berdaya dan tak dapat melawan, maka terpaksa harus terima nasib. Dan sekarang ia pun siap menerima yang akan menimpanya.

Ia memejamkan mata, air mata bercucuran dengan derasnya. Bibirnya sudah berdarah, hatinya sedang menjerit, “O, Siau-hi-ji ... Hoa Bu-koat, maafkanlah aku!”

Tak terduga, pada saat berbahaya itulah, tiba-tiba tangan Kang Giok-long tidak bergerak lagi.

Belum lagi Thi Sim-lan mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu Kang Giok-long mendorongnya pergi. Karena tak terduga-duga, Sim-lan jatuh terpelosot ke lantai.

Tapi segera ia lihat seorang perempuan.

Perempuan ini berbaju putih mulus, bermuka pucat, dengan mata tanpa berkedip sedang melototi Kang Giok-long. Sorot matanya yang dingin itu tiada tanda-tanda marah dan juga tiada tanda-tanda duka. Tapi siapa pun juga bilamana dipandang sekejap oleh sorot matanya ini, mungkin selama hidup takkan lupa.

Kang Giok-long bertepuk tangan, katanya dengan menyengir, “Budak ini menganggap aku orang tolol dan hendak menipu aku, tentu saja harus kuhajar adat padanya.”

Perempuan itu masih melototi dia dan tidak bersuara.

“Kau cemburu?” dengan cengar-cengir Giok-long berkata pula sambil mendekati perempuan itu dan mencolek pipinya, katanya pula, “Kau tidak perlu marah dan juga tidak perlu cemburu, kau tahu yang benar-benar kusukai dan kudambakan hanya dikau seorang.”

Perempuan itu tidak bergerak sama sekali dan membiarkan pipinya diraba Kang Giok-long, ia berdiri seperti patung.

“Kau masih marah dan tidak percaya ucapanku?” tanya Giok-long pula.

Akhirnya perempuan itu membuka suara, katanya sambil melotot, “Aku tidak peduli kau dusta padaku atau tidak, pokoknya, sejak kini bilamana kulihat kau menyentuh satu jari saja anak perempuan lain, maka seketika kau kubunuh, habis itu aku pun akan mati di sampingmu.”

Adalah jamak kata-kata demikian diucapkan kaum perempuan yang sedang marah, tapi sekarang perempuan yang mengucapkan kata-kata pedas ini ternyata tetap hambar dan dingin-dingin saja sikapnya.

Tidak perlu diterangkan lagi, perempuan ini tentu saja Thi Peng-koh adanya.

Kang Giok-long melelet lidah, katanya dengan tertawa. “Wah kau ini terlalu banyak berpikir. Punya istri secantik kau masa aku mau mengincar perempuan lain lagi?” Sembari bicara ia terus merangkul Peng-koh serta mencium pipinya beberapa kali.

Sorot mata Thi Peng-koh yang dingin itu akhirnya cair juga. Dia menghela napas, katanya, “Asalkan kau senantiasa baik padaku, tak peduli perbuatan jahat apa yang kau lakukan aku pun tak peduli, yang penting dalam urusan kita ini kau tidak dusta padaku, maka urusan lain biarpun kau bohong padaku juga tidak menjadi soal bagiku.” Dia menunduk, matanya sudah rada basah, dengan perlahan dia menyambung pula, “Kau tahu, bukan saja engkau ini lelaki pertama selama hidupku ini, bahkan kaulah orang pertama yang begini mesra padaku. Aku tidak peduli apakah tingkahmu ini setulus hati atau pura-pura belaka. Yang penting asalkan kau selalu begini padaku, maka puaslah hatiku, biarpun kau berbuat kejahatan lain juga aku ... aku ....” dia menggigit bibir dan tidak dapat bersuara pula.

Thi Sim-lan memandangi dia dan mengikuti apa yang diucapkan Thi Peng-koh, diam-diam ia merasa gegetun, pikirnya, “Sungguh perempuan yang harus dikasihani, ia pasti perempuan yang sangat kesepian, sampai-sampai dia sudah tahu bahwa Kang Giok-long cuma pura-pura mencintai dia, tapi ia rela menerimanya. Apakah selama hidupnya ini sudah dilewatkan dengan hampa dan sunyi sehingga dia sangat takut ditinggal pergi, tidak berani lagi hidup terpencil ....”

Hati Thi Sim-lan ikut pedih dan juga solider. Ia merasa anak perempuan ini juga lebih malang daripada dirinya.

Bilamana seorang perempuan melihat perempuan lain yang lebih susah daripada dirinya, maka sering-sering dia akan melupakan keadaan dan penderitaannya sendiri. Hal ini tak mungkin terjadi pada kaum lelaki.

Yang bisa terjadi pada kaum lelaki adalah bilamana waktu berjudi dilihatnya orang lain mengalami kekalahan lebih mengenaskan daripadanya, maka hatinya akan merasa senang.

*****

Di bawah patung pemujaan di rumah pendopo itu ada sebuah jalan rahasia. Jalan rahasia ini dapat menembus ke beberapa kamar di bawah tanah. Namun kamar di bawah tanah ini tidak lembap dan gelap seperti tempat lain, hakikatnya kamar ini malahan jauh lebih indah dan mewah daripada tempat tinggal kebanyakan orang.

Dan Thi Sim-lan lantas diantar Thi Peng-koh ke suatu kamar di bawah tanah yang bagus itu.

Segera ia mendapatkan bahwa “si baju hitam” yang dicarinya itu sudah berada lebih dulu di rumah itu. Tubuhnya meringkuk di suatu kursi, agaknya Hiat-tonya telah ditutuk orang. Tapi ini belum membuat Sim-lan terkejut, malahan hal ini boleh dikatakan sudah dalam dugaannya, yang membuatnya terkesiap adalah gadis jelita yang duduk di depan si baju hitam.

Gadis ini mempunyai mata besar dan jeli, cuma sayang sorot mata yang seharusnya sangat bening ini kini penuh diliputi sinar buram seperti orang linglung.

Dengan termangu-mangu ia memandangi si baju hitam, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. Sebaliknya si baju hitam juga sedang memandangnya dengan terkesima.

Buyung Kiu. Ya, gadis linglung ini memang Buyung Kiu adanya. Mengapa ia pun berada di sini?

Tanpa terasa Thi Sim-lan berseru kaget.

Kang Giok-long tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, “Di sini juga ada seorang sahabatmu bukan?”

Sim-lan menggigit bibir sekencangnya, syukur makian tidak sampai tercetus pula dari mulutnya.

Dengan tertawa Giok-long berkata pula, “Cuma sayang dia tidak kenal kau lagi. Seumpama kau hendak menegurnya juga dia takkan menggubris padamu. Tentunya kau pun tahu akibat perbuatan siapa sehingga dia berubah jadi begini.” la mendekati si baju hitam alias Oh-ti-tu, serunya sambil tertawa, “He, saudara Ti-tu, kembali seorang kawan datang menjengukmu, kenapa kau tidak menggubris orang?”

Baru sekarang Oh-ti-tu seperti terjaga dari impiannya, ia terkejut melihat Thi Sim-lan, “He, kau? Meng ... mengapa kau pun datang ke sini?”

Sim-lan tersenyum pahit, jawabnya, “Sebenarnya kami ... kami ingin memberi bantuan padamu.”

“Haha, bagus, bagus!” Kang Giok-long bergelak tertawa. “Kiranya kedatanganmu ini ingin menolong Oh-ti-tu, sedangkan Oh-ti-tu datang buat menolong Buyung Kiu, sekarang orang yang hendak menolong orang justru perlu menunggu pertolongan orang.” Dia menengadah dan tertawa latah, lalu menyambung pula, “Cuma sayang di seluruh dunia ini mungkin tiada seorang pun yang mampu menolongmu.”

Dengan geregetan Thi Sim-lan mendamprat, “Tapi jangan lupa, kan masih ada Hoa-kongcu ….”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes