Wednesday, May 12, 2010

bp5_part3

“Orang lain takut padamu lantaran mereka takut dibunuh olehmu,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. “Tapi aku bukanlah mereka, kutahu dengan pasti engkau takkan membunuhku dengan tanganmu sendiri, lalu mengapa aku harus takut padamu?”

Sekonyong-konyong Tong-siansing membalik tubuh terus melangkah ke sana.

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Sebenarnya kau pun tidak perlu marah, engkau cukup maklum, semakin marah engkau hanya membikin susah dirinya sendiri.”

Pada saat itulah tiba-tiba terlihat di depan ada sebuah restoran besar dan cahaya lampu yang masih menyala, beberapa huruf merek yang besar terbaca dengan terang, bunyinya, “Restoran Yangcukang, masakan Sujwan asli”.

Sementara itu restoran Yangcukang sudah kosong, tetamu yang makan minum tadi sudah pergi semua, beberapa pegawai sedang berbenah dan mengungkuti alat perabot sambil mengomel, “Persetan! Ketiga anak kura-kura tadi sungguh bukan manusia, tapi lebih tepat disebut gentong arak. Minum sampai lewat tengah malam baru pergi, memangnya mereka mengira kita ini tidak perlu tidur?”

Ketika pegawai-pegawai itu mendongak, seketika mereka melongo kaget. Tahu-tahu seorang yang memakai topeng setan perunggu entah sejak kapan sudah berada di atas loteng dan sedang menatap mereka dengan dingin.

Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas berkata. “Mengapa kalian melenggong? Meski tuan besar ini memaki topeng perunggu, tapi sakunya penuh emas. Rezeki datang, mengapa kalian tidak lekas-lekas menyambutnya?”

“O, ma ... maaf,” salah seorang pelayan menjawab dengan tergagap, “Restoran kami sudah tutup.”

Mendadak Tong-siansing menjambak rambut pelayan itu terus dilemparkan, kontan pelayan itu terbang ke atas, waktu dia dapat menenangkan dirinya tahu-tahu sudah duduk di atas belandar. Meski tubuh tidak terluka, tapi nyali pecah saking ketakutan, kepala menjadi pusing dan segera terjungkal ke bawah. Untung Siau-hi-ji sempat menangkapnya, kalau tidak pasti kepalanya pecah menumbuk lantai.

Dengan galak Tong-siansing membentak, “Aku tidak peduli kalian sudah tutup atau belum, pokoknya dia ingin makan apa harus kalian sediakan, kurang satu macam saja kalian berempat jangan harap bisa hidup sampai besok.”

Tentu saja para pelayan itu ketakutan setengah mati, mana ada yang berani membangkang lagi.

“Haha, sungguh-sungguh menyenangkan, makan di restoran bersama seorang seperti engkau sungguh sangat menggembirakan,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Segera ia duduk dengan lagak tuan besar, lalu berteriak, “Ayo, bawakan dulu empat porsi Lingpan (makanan pengantar), lalu ayam kari, kaki goreng cabai, daging masak ala Sujwan, menyusul kemudian itik rebus, ang-sio buntut, ikan gurami dan ....”

Setiap kali dia menyebut satu macam makanan, setiap kali pula pelayan mengangguk, sampai pegal keempat pelayan itu mengangguk, akhirnya Siau-hi-ji baru merasa puas, katanya dengan tertawa, “Sudahlah, tengah malam begini tidak perlu masak terlalu banyak, sekadarnya sekian saja, cuma arak harus yang nomor satu, paling tidak harus Tik-yap-jing dan sebagainya. Nah, araknya bawakan dulu dua puluh atau tiga puluh kati.”

Pelayan-pelayan itu sama melongo tak bisa bersuara, belasan masakan itu cukup untuk dimakan dua puluh orang, tapi bocah ini bilang, “sekadarnya”, sungguh terlalu. Namun begitu terpaksa mereka munduk-munduk dan menjawab, “O, ma ... maaf, persediaan arak kami sudah tipis, hampir dihabiskan oleh ketiga tamu tadi.”

“Bila habis, memangnya kalian tidak dapat membelikan di tempat lain,” jengek Tong-siansing. “Pendek kata, tiga puluh kati, kurang satu kati, awas kepala kalian!”

Terpaksa pelayan-pelayan itu menganggap diri mereka sial, baru saja pergi tiga tamu pemberang, kini datang pula dua tamu seperti bandit. Menghadapi tetamu begini mereka benar-benar tak berdaya.

Tidak sampai setengah jam baik santapan maupun arak yang dipesan telah dihidangkan, ternyata tidak kurang satu macam pun.

Siau-hi-ji lantas mulai makan minum dengan lahapnya, sedangkan Tong-siansing tidak turut makan, bahkan dia tetap berdiri saja.

“He, mengapa engkau tidak duduk,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Jika engkau berdiri begitu, cara makanku mana bisa enak.”

Namun Tong-siansing tidak menggubrisnya.

Siau-hi-ji menenggak habis satu cawan arak, hampir semua makanan telah dicicipinya, sambil mengunyah dan pegang cawan arak, katanya dengan tertawa, “Boleh juga makanan ini, mengapa engkau tidak mau makan sedikit. Kalau kurang makan dan kurang tidur, kan bisa mengganggu kesehatan, jika terjadi apa-apa atas dirimu, rasaku kan tidak enak.”

“Brak”, mendadak Tong-siansing menggebrak meja sehingga ujung meja sempal, rupanya saking gemasnya tanpa terlampiaskan, maka meja telah dijadikan sasaran.

“Ai, meja kan tidak salah padamu, mengapa pula engkau memusuhinya ....” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Menurut pendapatku, ada lebih baik engkau melepaskan diriku saja daripada engkau merasa tersiksa.”

“Lepaskan kau? Hm, jangan harap!” bentak Tong-siansing gusar.

Siau-hi-ji menenggak pula araknya, lalu bergelak tertawa dan berkata, “Bicara terus terang, biarpun sekarang kau lepaskan aku juga aku tak mau pergi. Coba pikir, tidur dijaga, makan dibayarkan, hari bahagia begini siapa yang tidak suka dan ke mana lagi dapat dicari?”

Sampai sekian lama Tong-siansing melotot pada anak muda itu, katanya kemudian, “Justru sengaja kubikin hidupmu senang, dengan begitu matimu nanti akan lebih menderita.”

Siau-hi-ji menaruh sumpitnya dan memandangi si topeng perunggu dengan terbelalak, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, “Coba jelaskan, selamanya kita tidak saling mengenal, mengapa engkau sedemikian benci padaku? Jika engkau begini benci padaku, mengapa pula tidak turun tangan membunuhku?”

Tong-siansing menengadah dan menjengek, “Hm, rahasia ini selamanya takkan kau ketahui.”

“Selamanya takkan kuketahui?” Siau-hi-ji menegas.

“Ya, selamanya, selama-lamanya!” Tong-siansing mengulang dengan bengis.

“Seseorang kalau selamanya tidak mengetahui rahasia yang berhubungan paling erat dengan dirinya sendiri, sungguh kejadian yang paling tragis dan paling kejam di dunia ini.”

“Hahaha, memang benar, inilah kejadian yang paling tragis dan paling kejam di dunia. Aku berani menjamin bahwa di dunia ini tiada kejadian lain yang lebih tragis dan lebih kejam daripada persoalanmu ini. Aku pun berani menjamin kau takkan lolos dari nasibmu yang tragis ini, sebab di dunia ini tidak mungkin ada seorang pun yang mampu membongkar rahasia ini,” kata Tong-siansing sambil tertawa terbahak-bahak, lalu menyambung, “Nah, sekarang silakan kau gembira sepuas-puasnya, asal kau dapat gembira, gembiralah mumpung masih ada waktu.”

*****

Sebelum itu Yan Lam-thian, Hoa Bu-koat, dan Kang Piat-ho telah meninggalkan restoran Yangcukang itu, ketiganya seperti sama mabuk, jalan mereka sempoyongan dan putar kayun di bawah cahaya bintang yang bertaburan di langit.

Selama hidup Kang Piat-ho tidak pernah minum arak sebanyak ini. Maklumlah, bilamana seorang terlalu banyak menyimpan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain, maka sedapat-dapatnya ia pasti tidak mau membuat mabuk dirinya sendiri.

Tapi Yan Lam-thian ingin minum, terpaksa Kang Piat-ho mengiringi, sampai akhirnya setiap Yan Lam-thian menghabiskan satu cawan, maka sedikitnya Kang Piat-ho juga menghabiskan setengah cawan.

Begitulah mereka bertiga terus bergentayangan kian-kemari sambil bersenandung, terutama Yan Lam-thian, dia menengadah dan mendeklamasikan sajak kuno yang mengharukan seakan-akan melampiaskan rasa kesal yang tertimbun di dalam sanubarinya.

Selagi Kang Piat-ho bertepuk mengikuti irama sajak orang, sekonyong-konyong Yan Lam-thian memegang tangannya dan membentak bengis, “He, jadi kau pun she Kang?”

Kang Piat-ho terkejut, jawabnya sambil meringis, “Wanpwe Kang Piat-ho, masa Yan-tayhiap sudah lupa?”

Yan Lam-thian menengadah dan menghela napas panjang, katanya, “Mengapa manusia paling baik dan paling busuk di dunia ini sama-sama she Kang?”

“Ap ... apa artinya ini?” tanya Kang Piat-ho dengan tergagap-gagap.

Dengan gegetun Yan Lam-thian menjawab, “Bahwa Kang-jiteku adalah manusia yang berbudi luhur dan berhati bajik, dia tergolong manusia paling baik di dunia ini, tapi ada pula Kang Khim …”

Mendengar nama “Kang Khim”, tiba-tiba Kang Piat-ho menggigil seperti orang kedinginan.

Sedangkan Yan Lam-thian menjadi beringas dan berteriak dengan bengis, “Kang-jiteku itu memandang Kang Khim serupa saudara sekandung sendiri, tapi manusia berhati binatang itu memang busuk, diam-diam dia bersekongkol dengan orang dan menjual Kang-jiteku.”

Keringat dingin memenuhi jidat Kang Piat-ho, tapi dia berlagak tertawa dan berkata, “Ya, mengapa Kang ... Kang Khim itu begitu busuk?”

“Sayang, keparat jahanam itu entah sembunyi ke mana,” teriak Yan Lam-thian sambil mengepal, “Sudah kucari kian kemari dan sukar menemukannya. Bilamana kutemui dia, mustahil kalau tidak kuhancurleburkan dia.”

Kembali Kang Piat-ho menggigil, rasa mabuknya menjadi lenyap separo, tangannya yang dipegang Yan Lam-thian itu serasa terjepit oleh tanggam, makin lama makin terasa seakan-akan remuk tulangnya.

Terpaksa Kang Piat-ho menyengir dan memohon, “Yan ... Yan-tayhiap, Wanpwe bukanlah Kang ... Kang Khim, janganlah Yan-tayhiap meremas remuk tanganku.”

Yan Lam-thian tertawa dan mengendurkan tangannya.

Diam-diam Kang Piat-ho menarik ujung baju Hoa Bu-koat dan berbisik, “Sudah waktunya kita mohon diri pada Yan-tayhiap.”

“Mungkin aku pun harus mohon diri padamu,” ucap Bu-koat dengan tersenyum.

“He, apakah ... apakah Hiante hendak mengiringi Yan-tayhiap?” tanya Kang Piat-ho heran.

Bu-koat mengiakan.

“Kalau ... kalau hal ini diketahui gurumu, kan kurang baik?”

“Biarpun guruku tahu juga aku mesti pergi bersama dia.”

Kang Piat-ho melenggong sejenak, tanyanya kemudian, “Ka ... kalian hendak ke mana?”

“Mencari Siau-hi-ji,” jawab Bu-koat.

Kembali hati Kang Piat-ho tergetar, ia membatin, “Seumpama sekarang Yan Lam-thian belum mengenali diriku dan masih memandang diriku sebagai kawan, tapi bila Kang Siau-hi-ji sudah ditemukannya, maka tamatlah aku.”

Setelah berputar lagi kian kemari, akhirnya sampailah mereka di hotel tempat tinggal Tong-siansing.

Tiba-tiba Kang Piat-ho mendapat akal, katanya dengan tertawa, “Hotel ini terkenal ada arak simpanan lama, apakah Yan-tayhiap ingin pula minum barang dua cawan?”

“Kau benar-benar memahami perasaan orang,” ucap Yan Lam-thian dengan tertawa, “Ayolah, kita masuk ke situ.”

Segera mereka menggedor pintu, meski dengan uring-uringan, terpaksa pelayan membukakan pintu, apalagi dilihatnya yang datang adalah tamu undangan Toan Hap-pui, yaitu Kang-lam-tayhiap yang terhormat, tentu saja pelayan tidak berani teledor memberi pelayanan yang baik.

Setiba di dalam, Yan Lam-thian lantas dibawakan arak, sedang Kang Piat-ho dengan alasan mau ke belakang, diam-diam ia mengeluyur ke kamar pondokan Tong-siansing itu.

Sudah tentu maksudnya ingin mencari Tong-siansing untuk menghadapi Yan Lam-thian. Tapi sayang, Tong-siansing justru tidak di tempatnya, meski di dalam kamar masih tercium bau harum, namun orangnya mungkin sudah meninggalkan tempat ini.

Dengan agak kecewa terpaksa Kang Piat-ho kembali ke ruangan depan. Sementara itu Yan Lam-thian sudah habiskan beberapa kati arak. Betapa pun kuatnya minum arak, mau tak mau sekarang pun agak mabuk. Bahkan Hoa Bu-koat juga kelihatan akan mabuk.

Tergerak pikiran Kang Piat-ho, ia mengeluyur keluar pula, dengan jari ia korek-korek tenggorokan sendiri sehingga isi perutnya tertumpah keluar semua. Habis itu ia masuk lagi untuk mengajak minum kedua temannya sebanyak-banyaknya.

Sama sekali Yan Lam-thian tidak menolak setiap ajakan menghabiskan isi cawan, sampai akhirnya Yan Lam-thian tergeletak tak sadarkan diri.

Hoa Bu-koat juga tampak kurang sadar, ia bergumam, “Minum arak bersama sahabat, sebelum mabuk janganlah pulang. Marilah minum lagi satu cawan ....” Belum habis ucapannya ia pun mendekam di atas meja dan tertidur.

Kang Piat-ho duduk sendirian sambil memandangi Yan Lam-thian dengan mata terbelalak. Tampak butiran keringat sebesar kedelai menghiasi, jidat dan samping hidungnya. Jelas dia sedang dirangsang rasa tegang.

Selang sejenak, dengan suara gemetar ia coba memanggil, “Yan-tayhiap, marilah kita minum lagi secawan?”

Tapi yang terdengar hanya suara dengkuran Yan Lam-thian tanpa memberi jawaban apa pun.

“Hoa-hiante, ayolah kita minum?” kata pula Kang Piat-ho.

Tapi Hoa Bu-koat juga tetap mendekam di atas meja tanpa bergerak.

Kang Piat-ho merasa jantungnya berdetak keras seakan-akan melompat keluar, inilah kesempatan yang paling bagus bilamana dia ingin merajai dunia Kangouw. Tapi ia pun agak sangsi, rasanya kesempatan ini datangnya terlalu mudah, betapa pun ia harus hati-hati.

Diam-diam ia membatin, “Wahai Kang Piat-ho, jangan coba-coba menyerempet bahaya. Memangnya Yan Lam-thian dan Hoa Bu-koat ini tokoh macam apa sehingga dapat kau bunuh semudah ini?”

Ia mengepal dengan kencang sehingga tangan pun berkeringat dingin. Pikirnya pula, “Tapi, wahai Kang Piat-ho, bilamana kesempatan baik ini kau sia-siakan, selanjutnya tentu takkan dapat lagi kesempatan begini. Jika sekarang kau tidak membunuh mereka, kelak kau sendiri yang akan mati di tangan mereka, apa yang mesti kau takuti lagi? Apa pula yang kau ragukan? Mereka sudah mabuk, mengapa kau tidak turun tangan?”

Berpikir sampai di sini, sekonyong-konyong Kang Piat-ho berbangkit, tapi “bluk”, mendadak ia duduk lagi.

“Tidak, tidak! tidak boleh main untung-untungan, di dunia ini tidak mungkin terjadi hal semudah ini!” demikian ia menjadi ragu-ragu pula. Ia segera merasa tangannya menjadi gemetar, terpaksa ia pegang erat-erat kursinya.

“Tapi kejadian ini hanya kebetulan, aku sendiri tidak percaya akan jadi begini, dengan sendirinya mereka lebih-lebih tidak percaya, justru lantaran mereka tidak percaya akan terjadi begini, makanya tiada berjaga terhadap sesuatu kemungkinan.”

Berpikir demikian, seketika matanya bercahaya pula.

“Ya, betul Hoa Bu-koat dan Yan Lam-thian pasti tidak menyangka aku akan membunuh mereka, kesempatan bagus ini sukar dicari .... Wahai Kang Piat-ho, biasanya kau bukan penakut, mengapa sekarang tidak berani bertindak tegas? Asalkan kau turun tangan sekarang, maka dunia ini akan menjadi milikmu ....”

Tanpa sangsi lagi Kang Piat-ho terus melompat maju, telapak tangannya terus menghantam.

Tampaknya buah kepala Yan Lam-thian segera akan hancur oleh pukulan Kang Piat-ho itu.

Sungguh kematian yang tidak berharga, pendekar besar yang pernah malang melintang di dunia ini kini harus tewas di tangan orang kotor dan rendah begitu.

Syukur pada saat itu juga Hoa Bu-koat mendadak melompat bangun sambil membentak, “Kang Piat-ho, akhirnya dapat juga kukenal wajah aslimu. Kang Siau-hi-ji memang tidak memfitnah kau!” Di tengah suara bentakannya itu segera ia menubruk maju.

Tak terduga Yan Lam-thian ternyata terlebih cepat bertindak daripada Hoa Bu-koat, begitu pukulan Kang Piat-ho itu dilontarkan, berbareng telapak tangan saktinya juga menangkis ke atas.

“Plak”, terdengar suara benturan tangan, kontan tubuh Kang Piat-ho itu mencelat dan menumbuk dinding, seketika terasa ruas tulang sekujur badan seolah-olah retak semua, ingin bangun berdiri saja susah.

Bu-koat melengak, segera ia pun tertawa dan berucap, “Kiranya engkau juga pura-pura mabuk saja.”

“Hahahaha!” Yan Lam-thian bergelak tertawa. “Hanya beberapa cawan arak ini masakah dapat membuatku mabuk? Aku justru ingin tahu sandiwara apa yang sedang dimainkan keparat ini.”

Mendadak ia hentikan suara tertawanya dan membentak, “Kang Piat-ho, apalagi yang akan kau katakan sekarang?”

“Sudahlah ....” Kang Piat-ho meringis, “Kepandaian yang kulatih selama dua puluh tahun ternyata tidak mampu menahan sekali pukulan Yan Lam-thian, apa lagi yang dapat kukatakan?”

“Selamanya kita tiada permusuhan dan dendam apa pun, mengapa kau memperdayai diriku?” tanya Yan Lam-thian dengan bengis.

“Masa kau tidak tahu sebabnya?” sahut Kang Piat-ho jeri.

“Justru ingin kutanya padamu.”

Kang Piat-ho sengaja menghela napas panjang, ucapnya, “Dua jago tidak mungkin berdiri sama tegaknya. Bilamana pendekar besar seperti engkau tetap hidup di dunia ini, mana bisa ada tempat berpijak bagi pendekar besar macamku ini?” Ia menggereget, lalu menyambung pula dengan suara keras, “Karena itulah aku bertekad harus melenyapkan dirimu. Jika toh kepandaianku tak dapat menandingimu, ya, apa yang hendak kukatakan lagi?”

“Hm, sekalipun ilmu silatmu tiada tandingan di dunia ini, kalau jiwamu sekotor ini juga tidak pantas mendapat predikat ‘Pendekar Besar’ segala,” bentak Yan Lam-thian dengan gusar. Dengan tangan mengepal segera ia mendekati Kang Piat-ho.

“Kau ... kau mau apa?” Kang Piat-ho gemetar ketakutan.

“Percuma kau mendapatkan sebutan pendekar, hatimu ternyata begini keji, caramu ternyata begini kotor, kalau sekarang orang she Yan tidak membabat habis bibit bencana bagi dunia Kangouw, kelak entah berapa banyak orang yang akan menjadi korban kekejamanmu?”

“Jadi ... jadi engkau hendak membunuhku?”

“Ya!” bentak Yan Lam-thian, berbareng ia menghantam secepat kilat.

Tapi Kang Piat-ho sempat berguling ke sana, serangan dahsyat itu terhindar, mendadak ia tertawa dan berseru, “Kau tidak boleh membunuh aku!”

“Mengapa aku tidak boleh membunuhmu?” bentak Yan Lam-thian gusar.

“Jika kau bunuh diriku maka di seluruh dunia ini tiada seorang pun yang tahu di mana beradanya Kang Khim .... Jika kau bunuh diriku, selama hidupmu ini jangan harap akan menemukan dia.”

Tergetar hati Yan Lam-thian, cepat ia menegas, “Jadi kau tahu jejak ... jejak Kang Khim?”

Perlahan-tahan Kang Piat-ho berdiri, “Ya,” jawabnya dengan tenang.

Yan Lam-thian memburu maju dan menjambret leher bajunya sambil berteriak, “Di mana dia sekarang?”

Kang Piat-ho berdiri tegak tanpa menghindar, ucapnya dengan tenang, “Boleh kau bunuh diriku, tapi tidak dapat kau paksa aku menyebutkan di mana dia berada.”

Yan Lam-thian menggentakkan cengkeramannya dan membentak gusar, “Apa kau ingin coba?”

“Sebagai seorang ksatria termasyhur, memangnya engkau tidak menjaga kehormatan dirimu lagi, engkau hendak memaksaku dengan kekerasan?”

Melengak juga Yan Lam-thian, tanpa terasa ia kendurkan cengkeramannya.

Dengan tersenyum Kang Piat-ho berkata pula, “Jika engkau benar-benar menginginkan keteranganku, maka harus kau sanggupi dua syaratku.”

“Baik, asalkan kau mengaku terus terang, hari ini dapat kubebaskanmu,” bentak Yan Lam-thian.

“Ah, tampaknya Yan-tayhiap memandang syaratku teramat sederhana,” ucap Kang Piat-ho tertawa.

“Memang apa kehendakmu?” bentak Yan Lam-thian.

“Engkau harus berjanji bukan cuma sekarang saja membebaskan diriku dengan baik-baik, bahkan di kemudian hari juga takkan mengganggu seujung rambutku.”

Yan Lam-thian terdiam sejenak, mendadak ia berteriak, “Baik, kuterima syaratmu. Aku tidak percaya di dunia ini selain aku tiada orang lain lagi yang mampu membinasakanmu.”

Kang Piat-ho tersenyum senang, katanya pula, “Selain itu, setelah kukatakan di mana jejak Kang Khim, engkau harus jaga rapat rahasia ini, kecuali kita bertiga sama sekali tidak boleh diketahui pula orang keempat.”

“Soal ini memang urusanku sendiri dan aku ingin membunuh jahanam itu dengan tanganku sendiri, untuk apa mesti kuberitahukan kepada orang lain?” teriak Yan Lam-thian.

“Baik, kata-kata seorang ksatria sejati harus dapat dipercaya,” demikian Kang Piat-ho menambahkan.

“Persetan! Apa yang kuucapkan tidak nanti kujilat kembali,” teriak Yan Lam-thian.

“Dan kau bagaimana, Hoa-kongcu?” Kang Piat-ho berpaling kepada Hoa Bu-koat.

Bu-koat menghela napas panjang, katanya, “Sebenarnya ini adalah urusan Yan-tayhiap, kalau beliau sudah setuju, dengan sendirinya aku pun akur.”

“Bagus, hahaha, bagus sekali!” Kang Piat-ho bergelak tertawa.

“Nah, katakan sekarang, berada di mana Kang Khim?” desak Yan Lam-thian.

Perlahan Kang Piat-ho menghentikan tertawanya, dengan tajam ia tatap Yan Lam-thian, lalu berucap dengan kata demi kata, “Aku inilah Kang Khim. Tapi engkau sudah berjanji pasti takkan mengganggu seujung rambutku.”

Seketika Yan Lam-thian seperti kena dicambuk orang satu kali, ia terhuyung-huyung mundur sambil mengepal kencang, sekujur badan seakan-akan gemetar.

Hoa Bu-koat juga melengak oleh keterangan di luar dugaan ini, walaupun ia sendiri tidak tahu seluk-beluk tentang Kang Khim dan lelakonnya.

Kang Piat-ho terbahak-bahak pula, katanya, “Dengan sudah payah engkau ingin tahu di mana beradanya Kang Khim, makanya engkau berjanji akan membebaskan diriku. Sekarang meski engkau sudah tahu jejak Kang Khim, tapi untuk selamanya engkau tak dapat lagi membunuhnya.”

Ia terus tertawa hingga terpingkal-pingkal, seakan-akan di dunia ini tiada yang lebih menggelikan daripada kejadian ini.

Sorot mata Yan Lam-thian seakan-akan membara, mendadak ia mengerang terus menubruk maju sambil membentak, “Kau bangsat keparat, mana dapat kuampuni jiwamu!”

Mendadak Kang Piat-ho melotot dan balas membentak dengan bengis, “Yan Lam-thian, sebagai pendekar yang termasyhur, apakah kau ingin menjadi manusia yang ingkar janji dan tidak dapat dipercaya?”

Tergetar tubuh Yan Lam-thian, seketika ia melenggong dan tak bisa bicara. Tertampak wajahnya beringas, tangannya meremas-remas hingga mengeluarkan suara keriutan, akhirnya ia terhuyung-huyung mundur dan jatuh terduduk di tempat tidur, ucapnya dengan sedih, “Bagus, ba ... bagus, aku memang sudah berjanji padamu, boleh ... bolehlah kau pergi saja.”

“Memang kutahu pasti akan kau biarkan aku pergi,” ujar Kang Piat-ho dengan tertawa.

Sekonyong-konyong Yan Lam-thian melonjak bangun, bentaknya dengan suara parau, “Keparat, lekas enyah, awas bila mendadak pikiranku berubah!”

Lekas-lekas Kang Piat-ho memberi hormat, katanya dengan tertawa, “Jika demikian, baiklah Cayhe memohon diri saja, terima kasih banyak-banyak dan sampai berjumpa pula.”

Dengan bergelak tertawa dia terus melangkah pergi, keadaan di dalam rumah seketika menjadi sunyi senyap, hanya terdengar suara napas Yan Lam-thian yang berat, suasana terasa mencekam.

Sampai agak lama, tiba-tiba Hoa Bu-koat menghela napas dan berkata, “Yan-tayhiap, sekarang aku benar-benar takluk padamu.”

Yan Lam-thian tersenyum pedih, katanya, “Dengan ilmu pedang dan ilmu pukulan telah kukalahkan kau dua kali, selama itu kau tidak mau mengaku kalah, sekarang dengan mata terpentang lebar, kusaksikan musuh pergi dengan bebas tanpa berdaya, tapi kau malah takluk padaku?”

Dengan sungguh-sungguh Bu-koat menjawab, “Justru lantaran menyaksikan engkau membiarkan Kang Piat-ho pergi saja, baru sekarang kutahu Yan Lam-thian memang tidak malu disebut sebagai Tayhiap sejati. Jika engkau mau membunuhnya kan bukan urusan yang sulit, tapi engkau melepaskan dia pergi, inilah yang tak dapat diperbuat orang lain. Di dunia ini tidak sedikit orang yang mampu membunuh Kang Piat-ho, tapi yang dapat membebaskan dia cara begini mungkin hanya ada seorang saja, yakni Yan Lam-thian!” Ia menghela napas gegetun, lalu menyambung pula, “Sebab itulah sekalipun di dunia ini ada orang yang lebih terkenal dan lebih menakutkan daripadamu, biarpun ada orang berilmu silat lebih tinggi daripadamu, tapi hanya engkau saja seorang yang sesuai mendapatkan predikat Tayhiap.”

“Tapi apakah kau tahu untuk bisa mempertahankan predikat ‘Tayhiap’ betapa dia harus menahan siksa derita dan kesepian ....”

“Ya, sekarang baru kutahu bahwa untuk menjadi ‘Tayhiap’ memang bukan sesuatu yang mudah, dia harus sanggup melakukan sesuatu yang tak sanggup dilakukan orang lain dan juga harus sanggup menahan perasaannya yang tidak mungkin ditahan oleh orang lain ....” Dia pandang Yan Lam-thian, lalu sambungnya pula dengan tertawa, “Tapi apa pun juga kan berharga orang hidup demikian, betul tidak?”

Sementara itu Kang Piat-ho sudah berada di luar halaman, ia tidak sanggup tertawa pula, ia tahu meski hari ini Yan Lam-thian dapat ditipunya tapi kesulitan di kemudian hari pasti masih banyak.

Di pojok halaman sana ada serumpun pohon bambu, suara daun bambu bergesekan di tiup angin. Cepat Kang Piat-ho menyelinap ke balik semak-semak sana, ia ingin mengawasi gerak-gerik Yan Lam-thian dan Hoa Bu-koat. Ia pikir kedua orang itu kini pasti sangat gemas dan murka, sungguh ia ingin menyaksikan Yan Lam-thian mati kaku karena gusarnya, dengan demikian barulah hatinya bisa lega.

Tapi selang tak lama, tiba-tiba dari dalam rumah berkumandang suara tertawa nyaring Yan Lam-thian. Rupanya kekalahan yang dialaminya tadi sama sekali tidak menjadikan ganjalan hati Yan Lam-thian.

Di tengah suara tertawa itu kelihatan Yan Lam-thian dan Hoa Bu-koat melangkah keluar dengan bergandengan tangan. Sekali meloncat dan berkelebat, menghilangkan kedua orang itu dalam kegelapan.

Ke manakah mereka? Mencari Siau-hi-ji?

Ketiga orang itu sebenarnya adalah musuh besar, mengapa sekarang seperti berdiri di satu garis perjuangan yang sama?

Meski tidak dapat memahami seluk-beluknya, tapi rasa curiga ini membuat hati Kang Piat-ho tidak tenteram dan tersiksa, diam-diam ia menggigit bibir dan memeras otak, namun tetap tak dapat dimengerti dan sukar menarik kesimpulan.

Pada saat itulah tiba-tiba bayangan orang berkelebat, tertampak pula kemilauan sebuah wajah perunggu yang beringas.

Ternyata Tong-siansing sudah datang kembali.

Dengan girang Kang Piat-ho hendak memburu ke sana, tapi pada saat itu pula dilihatnya di samping Tong-siansing ada lagi seorang lain yang membuatnya terkejut, ternyata orang ini ialah Siau-hi-ji.

Muka Siau-hi-ji tampak merah dan berseri-seri, agaknya sangat gembira. Tong-siansing ternyata bersama Siau-hi-ji, bahkan keduanya seperti baru pulang dari minum arak. Hal ini membuat Kang Piat-ho melenggong heran pula.

Sandaran satu-satunya yang diharapkan dapat menghadapi Yan Lam-thian dan Hoa Bu-koat adalah Tong-siansing yang misterius ini, hanya modal inilah satu-satunya harapan baginya untuk mencapai kemenangan.

Tapi sama sekali tak tersangka olehnya bahwa Tong-siansing juga bisa berada bersama Siau-hi-ji. Sejak kapankah kedua makhluk aneh tua dan muda ini mulai bersahabat?

Padahal jelas Tong-siansing ingin membinasakan Siau-hi-ji, mengapa sekarang bisa berubah pendiriannya? Jangan-jangan tokoh aneh ini telah kena dipengaruhi oleh Siau-hi-ji yang manis dan muluk-muluk itu?

Kang Piat-ho merasa heran, kejut, gusar dan juga khawatir. Sampai Tong-siansing dan Siau-hi-ji sudah masuk rumah dia masih berdiri terkesima di situ. Tiba-tiba ia merasa dirinya terpencil sendirian, di mana-mana hanya musuh melulu dan tiada seorang kawan pun yang dapat dipercaya dan dibuat sandaran.

Diam-diam ia mengepal kencang-kencang, pikirnya, “Melulu seorang Kang Siau-hi-ji saja sudah cukup membuat pusing kepala, sekarang ditambah lagi Yan Lam-thian dan Hoa Bu-koat serta Topeng Perunggu yang aneh ini, agaknya bagiku cuma ada suatu jalan kematian. Kalau keempat orang ini bersatu, siapa pula di dunia ini yang mampu melayani mereka? Wahai Kang Piat-ho, betapa pun kau tak dapat berpeluk tangan dan menyerah begitu saja, kau harus berusaha, kau harus berdaya.”

Dasar rasa curiganya memang besar, kini menyaksikan dengan mata sendiri, ia tambah yakin Yan Lam-thian, Kang Siau-hi-ji, Hoa Bu-koat dan Tong-siansing telah berserikat untuk menghadapi dia.

Malam bertambah kelam, butiran embun di daun bambu menetes-netes di tubuh Kang Piat-ho, bahkan ada air embun yang menetes pada muka dan kuduknya. Namun dia seakan-akan tidak merasakan apa-apa, ia bergumam sendiri, “Dengan cara bagaimanakah untuk bisa mengalahkan keempat orang ini? Tenagaku sendiri jelas tidak cukup, aku harus mencari bala bantuan. Tapi siapakah yang harus kucari?”

Dari daun bambu tiba-tiba jatuh seekor ulat kecil dan tepat menjatuhi kepalanya, seenaknya Kang Piat-ho menangkap ulat itu, tertampak ulat itu bergerak-gerak di telapak tangannya mirip ular kecil.

Tiba-tiba wajahnya menampilkan senyuman girang, serunya tanpa terasa, “Aha, benar! Mengapa aku melupakan dia? Meski dia sendiri juga belum cukup kuat, tapi kalau ditambah lagi si Harimau suami istri serta diriku sendiri, jadinya empat lawan empat, bukankah kekuatannya menjadi sama.”

Dengan girang ia terus melayang keluar dari pepohonan bambu sana, tapi tiba-tiba teringat olehnya bahwa Tong-siansing dan Kang Siau-hi-ji masih berada di dalam rumah situ, ia terkejut dan cepat menghentikan langkahnya. Syukurlah tiada sesuatu reaksi apa-apa dari rumah di depan sana. Meski di dalam rumah ada cahaya lampu, namun tiada kelihatan bayangan orang. Rupanya Tong-siansing dan Siau-hi-ji sudah pergi.

Agaknya Kang Piat-ho terlalu asyik memikirkan kesulitan yang dihadapinya sehingga tidak mengetahui bilakah perginya kedua orang itu.

Ketika Siau-hi-ji masuk ke rumah itu, ia pun tidak menduga bahwa di luar sana Kang Piat-ho sedang pasang mata.

Lampu di dalam rumah telah padam, keadaan gelap gulita, meski tidak dapat melihat sesuatu, namun Siau-hi-ji merasakan di dalam rumah ada bau harum yang lebih semerbak daripada waktu mereka keluar tadi.

Ia menjadi heran apakah ada orang masuk ke rumah ini?

Tiba-tiba terdengar Tong-siansing mendengus, “Kenapa baru sekarang kau datang?”

Dalam kegelapan terdengar suara seorang perempuan menjawab, “Untuk mencari suatu tempat yang dapat memuaskan dirimu bukanlah pekerjaan yang mudah, makanya kudatang terlambat.”

Suaranya sudah tentu jauh lebih halus daripada suara Tong-siansing yang kasar dan kaku, tapi nadanya sama dinginnya.

Heran Siau-hi-ji bahwa Tong-siansing juga punya kawan perempuan dengan nada ucapan yang sama anehnya, keduanya benar-benar pasangan yang setimpal. Cepat ia meraba ketikan api dan menyalakan lampu.

Setelah lampu menyala barulah terlihat dengan jelas seorang perempuan berjubah hitam dengan rambut panjang terurai berdiri di situ, dandanan dan wajahnya seperti badan halus yang baru timbul dari alam lain.

Muka perempuan ini juga memakai topeng setan, cuma terbuat dari kayu cendana. Meski di bawah cahaya lampu cukup terang, tidak urung kaget juga Siau-hi-ji melihat orang bertopeng aneh ini.

Perempuan jubah hitam ini juga sedang menatap Siau-hi-ji, tiba-tiba ia bertanya, “Kau inikah Kang Siau-hi-ji?”

Siau-hi-ji meraba hidung dan menjawab dengan tertawa, “Betul, aku inilah Kang Siau-hi-ji, mengapa engkau kenal diriku?”

“Sudah lama kukenal kau,” jengek perempuan itu.

Mata Siau-hi-ji jadi terbelalak, ucapnya, “Sudah lama kau kenal aku, mengapa ... mengapa aku tidak kenal engkau?”

“Jika kau tahu di dunia ini ada Tong-siansing, mengapa tidak tahu akan Bok-hujin?”

“Bok-hujin?” Siau-hi-ji menegas, “Ah, benar, rasanya nama ini pernah kudengar.”

Teringat olehnya waktu Oh-ti-tu bercerita tentang Tong-siansing, pernah juga nama Bok-hujin atau nyonya topeng kayu disinggung, katanya kedua orang ini adalah makhluk yang sama anehnya.

Bok-hujin memandang Siau-hi-ji lalu memandang Tong-siansing, katanya kemudian,” Sejak tadi aku sudah datang kemari, tapi kalian berdua ....”

“Kami pergi minum arak sehingga membuat Hujin lama menunggu, harap dimaafkan,” ucap Siau-hi-ji.

“Kalian pergi minum arak?” Bok-hujin menegas dengan terheran-heran.

“Tong-siansing teramat baik padaku,” tutur Siau-hi-ji dengan tertawa, “Beliau khawatir aku kelaparan, maka membawaku pergi minum arak dan makan enak, bahkan memilih restoran yang menghidangkan makanan yang paling cocok dengan seleraku. Orang baik seperti beliau sungguh belum pernah kulihat.”

Bok-hujin kelihatan heran, kejut dan juga agak geli, semua ini tertampak jelas dari sorot matanya di balik topeng kayu itu.

Baru sekarang Siau-hi-ji melihat sepasang mata Bok-hujin itu ternyata jauh lebih lincah dan simpati daripada Tong-siansing, walaupun nada bicara mereka sama kaku dan dinginnya.

Tergerak hatinya, segera ia menghela napas dan berkata pula, “Cuma Tong-siansing juga teramat memperhatikan diriku, selalu mengawasi diriku sehingga beliau sendiri lupa makan dan lupa tidur. Aku menjadi khawatir membuat lelah dia. Makanya, bila Hujin sahabat baik Tong-siansing, harap engkau menggantikan beliau menjaga diriku agar dia dapat istirahat.”

“Oo, jika Toa ... Toako lelah, bolehlah serahkan pada diriku,” ucap Bok-hujin. Meski kelihatan senyum girangnya dari sinar matanya, tapi nadanya tetap dingin.

Mendadak Tong-siansing melompat maju, ‘plak’, dengan tepat muka Siau-hi-ji kena ditamparnya. Pukulannya tidak keras tapi tempat yang dihantamnya sangat jitu. Sedikit pun Siau-hi-ji tidak merasa sakit, hanya kepala menjadi pusing dan tidak sanggup berdiri lagi, ia terhuyung-huyung mundur dan akhirnya roboh.

Dalam keadaan samar-samar terdengar suara dingin Tong-siansing lagi berkata, “Sekali ini siapa pun jangan harap akan membawanya pergi dari tanganku. Pada waktu hidupnya akan kujaga dia, sekali pun dia sudah mati juga tetap akan kuawasi dia, sampai mayatnya membusuk sekalipun.”

“Tapi aku kan ....”

“Kau juga,” jengek Tong-siansing sebelum lanjut ucapan Bok-hujin. “Kau pun belum tentu lebih setia padaku daripada orang lain.”

“Jadi ... jadi aku pun tidak kau percaya?”

“Sejak Goat-loh membawa lari Kang Hong, mulai saat itulah aku tidak lagi percaya kepada siapa pun juga,” kata Tong-siansing dengan tegas.

Bok-hujin terdiam sejenak dan menunduk perlahan, katanya kemudian, “Ya, kutahu engkau tidak pernah melupakan kejadian itu, engkau selalu menganggap aku hendak berebut Kang Hong denganmu .…”

“Kau pun mencintai dia, kau sendiri yang bilang demikian, betul tidak?” seru Tong-siansing bengis.

“Betul, aku memang mencintai dia,” jawab Bok-hujin dengan suara keras sambil mendongak. “Tapi aku tidak ingin mendapatkan dia, lebih-lebih tiada niatku berebut dia denganmu, selama hidupku ini aku tidak pernah berebut barang apa pun denganmu, betul tidak?”

Suara Bok-hujin yang dingin itu tiba-tiba agak gemetar, sambungnya dengan suara serak, “Sejak kecil setiap ada barang baik, senantiasa aku mengalah padamu. Sejak kita berebut memetik sebuah Tho dan engkau mendorongku dari atas pohon hingga jatuh dan sebelah kakiku patah, mulai saat itu pula aku tidak berani berebut barang apa pun denganmu, engkau ingat tidak?”

Sorot mata Tong-siansing setajam pisau menatap Bok-hujin sampai lama dan lama sekali, akhirnya ia menghela napas panjang dan perlahan-lahan menunduk, katanya dengan pedih, “Ya, lupakanlah hal ini, apa pun juga, akhirnya kita kan tidak mendapatkan dia?”

Bok-hujin juga terdiam sejenak dan menghela napas, ucapnya dengan rawan. “Maaf, Toaci, tidak seharusnya aku mengungkit kejadian-kejadian itu, padahal sudah lama kita melupakan hal-hal itu.”

Memang tidak seharusnya ia membicarakan kejadian dahulu itu, sebab itu rahasia hidup mereka. Cuma sayang Siau-hi-ji sudah pingsan, hakikatnya dia tidak mendengar apa yang dibicarakan mereka.

Sebelum Siau-hi-ji sadar seluruhnya, sayup-sayup ia sudah mengendus bau harum yang memabukkan itu, ia mengira dirinya masih berada di kamar hotel itu, tapi waktu dia membuka mata segera diketahui dugaannya itu sama sekali keliru.

Di dunia ini tidak mungkin ada hotel yang memiliki kamar semewah ini, juga tiada hotel yang menyediakan tempat tidur selunak ini dengan bau harum semerbak begini.

Menyusul lantas dilihatnya dua anak perempuan yang berdiri di ujung tempat tidurnya. Keduanya memakai baju sutera yang halus dan memakai kopiah dengan kembang goyang yang indah. Wajah mereka pun cantik, cuma di antara wajah cantik itu sama sekali tidak kelihatan sesuatu perasaan dan juga tiada warna darah sedikit pun, putih mulus laksana ukiran es.

Siau-hi-ji kucek-kucek matanya sambil bergumam, “Apakah aku ini sudah meninggal, jangan-jangan aku sudah berada di surga?”

Kedua anak perempuan ini tetap berdiri tanpa bergerak, sorot mata mereka menerawang jauh ke sana, seakan-akan tidak mendengar ucapan Siau-hi-ji, bahkan seperti sama sekali tidak melihat anak muda itu.

Biji mata Siau-hi-ji mengerling, katanya pula dengan menyengir, “Ya, sudah tentu aku tidak meninggal, sebab kalau aku meninggal pasti tidak terdapat anak dara secantik bidadari seperti kalian ini.”

Ia mengira kedua anak perempuan itu pasti akan tertawa, tak tahunya memandang sekejap padanya saja tidak.

Siau-hi-ji raba-raba hidung sendiri, katanya pula, “O, barangkali kalian meremehkan diriku? Atau .... Ah, bisa jadi mendadak aku mahir ilmu menghilang sehingga kalian tidak melihat diriku?”

Tapi biarpun anak muda itu mengoceh sampai mulutnya capai, kedua anak perempuan itu tetap tidak menggubrisnya.

Akhirnya Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Sesungguhnya aku ingin kalian tertawa, sebab waktu tertawa tentu kalian bertambah cantik. Tapi sekarang terpaksa aku mengaku gagal, harap kalian panggilkan Tong-siansing yang konyol itu.”

Namun kedua anak dara itu tetap tidak peduli.

Siau-hi-ji melonjak bangun dan berteriak, “Ayo bicaralah! Mengapa kalian diam saja. Apakah kalian bisu, tuli atau buta?”

Ia melompat turun ke lantai, dengan kaki telanjang ia mendekati kedua anak dara itu dan mengamat-amati mereka sejenak, lalu mengitari mereka satu putaran, ia mengernyitkan kening dan bergumam, “Ah, mungkin mereka bukan manusia melainkan patung ukiran dari batu es.”

Sebelah tangannya segera bermaksud mencolek hidung salah seorang anak dara itu. Tapi mendadak tangan anak perempuan itu mengipas perlahan, jari-jemarinya yang lentik dengan cat kuku yang merah itu laksana pisau kecil terus menusuk tenggorokan Siau-hi-ji.

Keruan Siau-hi-ji kaget dan cepat menjatuhkan diri ke tempat tidur, serunya dengan tertawa, “Aha, meski kalian tidak dapat bicara, tapi ternyata bisa bergerak.”

Namun cepat anak dara itu berdiri mematung pula.

“Seumpama kalian tidak suka bicara denganku, seharusnya kalian bisa tertawa kan” kata Siau-hi-ji. “Kalau senantiasa merengut begitu, kalian akan lekas tua.”

Lalu dia melompat turun pula, didapatinya sepasang sandal kain yang halus, segera dipakainya, katanya pula dengan perlahan, “Dahulu ada seorang, cara bekerjanya selalu acuh tak acuh, pada suatu hari ia keluar rumah, jalannya serasa kurang leluasa, ia tidak menyadari sepatunya salah pakai, setiba di rumah kawannya barulah diberitahu sang kawan tentang kekeliruannya itu, cepat ia suruh jongos pulang ke rumah untuk mengambilkan sepatu yang salah pakai itu. Sampai setengah harian si jongos baru kembali dengan tangan kosong. Coba terka, apa sebabnya?”

Sampai di sini Siau-hi-ji hampir tertawa sendiri, dengan menahan tawa ia menyambung pula, “Orang itu pun aneh, ia marah dan menegur jongosnya mengapa tidak jadi mengambil sepatu penggatinya. Tapi jongosnya memandangnya dan menjawab, “Juragan tidak perlu ganti sepatu lagi, sepasang sepatu di rumah itu juga terdiri dari satu sisi saja, yaitu sisi kanan.”

Belum habis ceritanya ia sendiri tertawa terpingkal-pingkal.

Akan tetapi kedua anak dara itu tetap tidak menggubrisnya, bahkan tidak berkedip sedikit pun.

Siau-hi-ji kikuk sendiri, ia menghela napas, katanya, “Baiklah, aku mengaku tak berdaya membuat kalian tertawa, tapi ada seorang kawanku bernama Thio Sam, dia paling pandai memancing orang tertawa. Suatu hari, dia bersama dua temannya pergi tamasya, setiba di pojok jalan, dilihatnya seorang nona cantik berdiri di bawah pohon dengan kaku dan dingin, persis seperti kalian sekarang. Thio Sam mengatakan dia sanggup memancing tertawa si nona, dengan sendirinya kedua temannya tidak percaya. Kata Thio Sam, dia mampu memancing tertawa si nona itu hanya dengan satu kata saja, kemudian dengan satu kata pula dia sanggup membuat nona itu marah. Untuk itu dia berani bertaruh makan gratis di restoran. Tentu saja kedua temannya menyetujui pertaruhan itu.”

Dasar Siau-hi-ji memang pintar bicara, ocehannya sekarang bahkan sangat hidup dan menarik. Meski kedua anak dara itu tetap tidak memandang ke arahnya, namun dalam hati sudah timbul rasa ingin tahu cara bagaimana si Thio Sam dapat memancing tertawa orang banyak hanya dengan satu kata saja dan dengan satu kata pula dapat membuat orang marah.

Maka didengarnya Siau-hi-ji telah menyambung, “Lalu Thio Sam mendekati nona itu, tiba-tiba ia bertekuk lutut pada seekor anjing yang mendekam di samping si nona sambil memanggil, ‘Ayah!’

“Melihat si Thio Sam menganggap seekor anjing sebagai bapaknya, tentu saja si nona merasa geli dan mengikik tawa. Tak tahunya si Thio Sam lantas berlutut pula kepada si nona dan memanggilnya: ‘Ibu’.

“Keruan wajah si nona seketika merah padam, dengan menggereget ia terus melenggang dan melangkah pergi. Dan karena itu Thio Sam telah memenangkan taruhannya ....”

Belum habis cerita Siau-hi-ji, anak dara yang bermuka bulat telur di sebelah kiri mendadak mengikik geli.

Maka bersoraklah Siau-hi-ji, “Aha, tertawa, akhirnya kau tertawa!”

Dilihatnya baru saja anak dara itu berseri tawa, mendadak air mukanya berubah pucat pula.

Kiranya entah sejak kapan Tong-siansing telah muncul di situ dan sedang menatap anak dara itu dengan dingin, “Apakah kau merasa dia sangat lucu?” jengeknya.

Sekujur badan anak dara itu gemetar, segera ia berlutut dan meratap, “Hamba ... hamba tidak mengajak bi ... bicara padanya ....”

“Tapi kau telah tertawa baginya bukan?” bentak Tong-siansing bengis.

“Hamba ... hamba ....” Karena ketakutan sehingga gadis kecil itu tidak sanggup bicara, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis.

“Kau boleh keluar saja,” ucap Tong-siansing.

“Mo ... mohon ... sudilah engkau mengampuni jiwa hamba,” ratap anak dara itu dengan suara parau, “Hamba berjanji takkan berbuat lagi.”

“Mengampuni jiwanya?” Siau-hi-ji mengulang dengan terkejut. “He, apakah engkau akan ... akan membunuhnya?”

“Membunuhnya?” jengek Tong-siansing. “Kukira tidak perlu, cukup potong lidahnya saja agar selanjutnya dia tidak mampu tertawa lagi.”

“Potong lidahnya? Hanya lantaran tertawa begitu saja hendak kau potong lidahnya?” tanya Siau-hi-ji dengan kejut tak terperikan.

“Ini pun salahmu, mestinya jangan kau pancing dia tertawa,” kata Tong-siansing.

“Aku cuma mendongeng suatu lelucon baginya, mengapa ... mengapa engkau cemburu!” teriak Siau-hi-ji.

“Plak”, mendadak Tong-siansing menamparnya, sama sekali Siau-hi-ji tidak dapat berbelit sehingga tergampar dengan tepat, kontan ia jatuh terlentang. Tapi mulutnya tetap berteriak gusar, “Boleh kau pukul diriku, tapi tidak boleh sekali-kali menghukum dia.”

Sorot mata Tong-siansing seakan-akan memancarkan bara, bentaknya, “Kau malah ... malah membela dia?”

Rupanya karena gemasnya hingga tubuhnya tampak agak gemetar.

Dengan suara keras Siau-hi-ji menjawab, “Persoalan ini tak dapat menyalahkan dia, kalau ada yang salah, salahkan saja diriku.”

“Bagus ... bagus! Jadi kau lebih suka dipukul olehku daripada kuhukum dia, kau ... kau ternyata serupa dengan ayahmu, sama-sama petualang cinta.”

Begitu habis ucapannya, sekonyong-konyong ia menggeram, sebelah tangannya membalik ke sana, kontan anak dara bermuka bulat telur tadi terhantam hingga terpelanting keluar pintu, lalu jatuh terkulai tak dapat bergerak lagi untuk selamanya.

Keruan kaget Siau-hi-ji, ia melompat bangun dan berteriak, “Kau ... kau membunuh dia?”

Gemetar badan Tong-siansing, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa, katanya, “Betul, aku telah membunuh dia, supaya dia tak bisa pergi bersamamu!”

Kejut dan gusar Siau-hi-ji, tanyanya, “Apakah kau sudah gila? Bilakah dia ingin pergi bersamaku?”

“Hm, bilamana kalian sudah pergi baru kubunuh dia, tentu akan terlambat segalanya!” jengek Tong-siansing.

Siau-hi-ji terbelalak, serunya parau, “Gila, kau benar-benar sudah gila .... Tadinya kukira hanya watakmu saja dingin dan bukan orang yang berhati kejam, siapa tahu engkau tega bertindak sekeji ini terhadap seorang anak perempuan.”

Makin bicara makin gusar, tanpa pikir mendadak ia menubruk maju, kedua tangannya memukul dengan cepat.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes