Welcome to website

UNDERCONTRUCTION

private.

Wednesday, May 12, 2010

yuhu

wahahahahah

bgp8_part3

Di tempat lain Thi Sim-lan sedang rebah di pangkuan So Ing, dengan napas terengah ia berkata, “Bet ... betapa pun kita terhitung juga saudara, sek ... sekarang ingin kumohon bantuanmu, entah engkau sudi menerima tidak?”

So Ing membelai rambut Thi Sim-lan dengan lembut, jawabnya, “Apa pun permintaanmu, pasti akan kukerjakan, katakan saja!”

“Sesudah kumati nanti, harap engkau suka menguburkan jasadku bersama Hoa Bu-koat, harap pula engkau memberitahukan kepada Siau-hi-ji bahwa meski aku tak dapat menjadi istrinya, tapi aku tetap adalah saudaranya, sahabatnya!”

So Ing kucek-kucek matanya yang basah, ucapnya perlahan, “Baik, akan ... akan kukerjakan menurut pesanmu.”

Sim-lan memandangnya lekat-lekat, kemudian berkata pula, “Aku pun berharap engkau akan menjaga Siau-hi-ji sebaik-baiknya. Dia meski seperti seekor kuda liar, tapi berada di sampingmu dia mungkin akan berubah lebih jinak.”

So Ing menghela napas perlahan, katanya, “Dapatkah dia?”

“Ehm,” kata Sim-lan. “Sebab aku sangat memahami dia, kutahu hanya dikau seorang yang benar-benar dicintainya, sedangkan diriku ... belum pernah dia suka padaku, hanya saja dia memang kepala batu dan suka menang ....”

“Sudahlah, kutahu semuanya sudah kau ketahui, jangan kau katakan lagi, apa pun permintaanmu pasti akan kukerjakan,” kata So Ing dengan parau.

Thi Sim-lan begitu tenang, dia tidak menyesal dan kesal lagi, tidak menanggung sesuatu pikiran lagi.

Memandangi Thi Sim-lan yang sudah tak bergerak itu, air mata So Ing bercucuran bagai air hujan

Pertarungan maut itu sudah hampir berakhir. Gerakan Hoa Bu-koat sudah mulai lamban. Ia tahu sudah tiba waktunya dan tidak perlu berlarut-larut lagi.

Urusan apa pun juga, cepat atau lambat pasti akan tiba waktunya berakhir.

Dalam keadaan demikian, perasaan Hoa Bu-koat menjadi lebih tenteram malah. Rasa iri, dengki, sedih, benci, menang, suka pamer ... pendeknya segala perasaan insaniah mendadak sirna.

Yang diharapkannya cuma Siau-hi-ji dapat hidup dengan baik dan Thi Sim-lan juga dapat hidup dengan baik dan juga musuhnya bisa hidup senang dan bahagia.

Dia mulai memperhatikan serangan Siau-hi-ji dan menunggu kesempatan. Kesempatan untuk mati.

Dia ingin memberi “kemenangan” gemilang bagi Siau-hi-ji, dia tidak ingin orang lain tahu bahwa kematiannya itu disengaja, lebih-lebih tidak ingin diketahui oleh Siau-hi-ji.

Karena itulah dia tidak dapat sengaja memperlihatkan titik kelemahan, juga tidak dapat sengaja menyodorkan dirinya untuk dihantam oleh Siau-hi-ji, dia harus menunggu bila Siau-hi-ji sedang melancarkan suatu tipu serangan indah dan lihai, lalu pura-pura tidak sempat mengelak.

Dilihatnya tubuh Siau-hi-ji sedang berputar dengan cepat, telapak tangan kiri membelah miring dari atas, sedangkan telapak tangan kanan tersembunyi di belakang.

Bu-koat tahu serangan Siau-hi-ji ini cuma pancingan belaka, bilamana telapak tangan kanan yang tersembunyi itu menyerang barulah serangan maut benar-benar, bila serangan tangan kiri itu ditangkis, sedikit menggeser, segera tangan kanan pun menghantam.

Jurus serangan ini memang sangat aneh dan sukar diraba, boleh dikatakan serangan maut yang jarang terlihat di dunia Kangouw.

Akan tetapi Siau-hi-ji sendiri seperti sudah pusing kepala karena bertempur sekian lamanya, seperti sudah keblinger sehingga lupa bahwa jurus serangan ini sudah pernah dilontarkannya tadi. Memang agak kelabakan juga cara Hoa Bu-koat menghindarkan serangannya yang lihai ini, akan tetapi sekarang dia sudah menguasai serangan Siau-hi-ji ini dengan jelas. Sekarang tibalah “kesempatan” yang ditunggu-tunggu Hoa Bu-koat itu.

Segera ia menangkis tabasan kiri Siau-hi-ji itu, berbareng tangan lain terus memotong ke iganya. Ia yakin Siau-hi-ji pasti akan putar tubuh dengan cepat dan serangan sendiri akan mengenai tempat kosong, sebaliknya tangan kanan Siau-hi-ji yang sudah siap itu segera akan menghantamnya, dengan demikian dirinya jadi kelihatan tidak sempat mengelak dan segera akan binasa terpukul oleh serangan Siau-hi-ji.

Di luar dugaan, putaran tubuh Siau-hi-ji sekali ini ternyata jauh lebih lamban daripada tadi, ketika tabasan tangan Hoa Bu-koat mengancam iganya, tubuhnya ternyata belum lagi berputar. Padahal tulang iga adalah tempat yang lemah, merupakan salah satu bagian fatal di tubuh manusia.

Karena Bu-koat yakin serangannya itu pasti akan dihindarkan oleh Siau-hi-ji, maka ia pun tidak pernah berpikir akan menahan daya pukulannya, seketika dia merasakan gelagat jelek dan ingin mengerem, namun sudah tidak keburu lagi. “Blang”, kontan Siau-hi-ji terpukul terpelanting.

Keruan terdengar suara jeritan orang ramai, serentak Yan Lam-thian melayang maju. Sambil menjerit kaget Han-wan Sam-kong dan lain-lain juga memburu ke depan Siau-hi-ji.

Terlihat wajah anak muda itu pucat kekuning-kuningan, napasnya kempas-kempis, keadaannya sangat parah. Waktu denyut nadinya diperiksa, getarannya juga sangat lemah, jelas harapan untuk hidup sangat tipis.

Karena cemasnya Yan Lam-thian mencucurkan air mata, ucapnya dengan menggentak-gentak kaki, “Hanya se .... serangan begitu, mestinya dapat kau hindari dengan mudah, tapi ... tapi mengapa ….”

Siau-hi-ji tersenyum pedih, dengan lemah ia berkata, “Seb ... sebenarnya ingin kupancing ... kupancing dia, sia ... siapa tahu ... dia ... dia malah ....” sampai di sini ia terbatuk-batuk keras, napasnya terengah-engah pula, lalu menyambung dengan terputus-putus, “Semuanya ... semuanya ini adalah ... adalah karena aku ... aku sok pintar, ini namanya ... ingin ... ingin untung malah jadi buntung ....”

Suaranya makin lemah dan mata pun terpejam perlahan-lahan, napasnya yang terengah-engah itu mulai perlahan dan akhirnya berhenti ....

Dalam benak Siau-hi-ji rasanya ingin membuka mata pula untuk memandang terakhir kalinya segala apa di dunia yang berkesan ini, namun betapa pun ia berusaha membuka kelopak matanya ternyata sukar terpentang lagi.

Hoa Bu-koat berdiri kaku seperti patung di tempatnya, pikirannya sudah kacau seluruhnya. Segala apa pun di depan matanya hanya kabut belaka, tidak ada yang dapat dipikirkan lagi, tidak ada yang dapat dilihat lagi.

Siau-hi-ji ternyata sudah mati! Siau-hi-ji ternyata mati terbunuh olehnya!

Dia berharap apa yang terjadi ini bukan sesuatu yang benar melainkan impian belaka, impian buruk!

Ia ingin menangis, namun sumber air matanya seperti sudah kering, tidak ada air mata yang dapat mengalir lagi.

Mendadak Yan Lam-thian meraung murka, ia putar balik terus menghantam batok kepala Hoa Bu-koat dengan pukulan dahsyat.

Sama sekali Bu-koat tidak berusaha menolak atau melawan, ia tetap tidak bergerak sedikit pun.

Sementara itu Kiau-goat Kiongcu juga telah meninggalkan adiknya yang sudah tidak bernyawa itu dan sedang memeriksa denyut nadi Siau-hi-ji. Melihat tindakan kalap Yan Lam-thian itu, mendadak ia pun melayang ke sana, Hoa Bu-koat sempat diseretnya mundur sehingga terhindar dari pukulan maut Yan Lam-thian.

“Bagus, bagus sekali!” teriak Yan Lam-thian dengan bengis. “Yang muda sudah selesai, kini memang sudah waktunya giliran kita!”

Tapi Kiau-goat Kiongcu hanya tertawa saja menghadapi tantangan Yan Lam-thian itu, katanya, “Cepat atau lambat kita memang harus bertarung, tapi hal ini boleh ditunda sementara setelah kuceritakan sesuatu rahasia.”

“Rahasia? Rahasia apa?” tanya Yan Lam-thian.

“Tadi kusempat seret mundur Bu-koat, padahal kaulah yang kutolong,” tutur Kiau-goat dengan tenang. “Sebab, siapa pun di dunia ini boleh membunuhnya, hanya kau, ya, hanya kau sekali-kali tidak boleh membunuhnya.”

“Sebab apa?” tanya Yan Lam-thian terheran-heran.

Sinar mata Kiau-goat Kiongcu menampilkan senyuman yang kejam dan sinis, katanya, “Apakah kau tahu siapa dia?”

Yan Lam-thian tampak heran. Sungguh aneh pertanyaan Ih-hoa-kiongcu ini.

Siapa yang hadir di sini tidak kenal Hoa Bu-koat dan siapa pula yang tidak tahu Bu-koat adalah murid Ih-hoa-kiong, ahli waris Ih-hoa-kiongcu. Mengapa hal ini perlu ditanyakan padanya?

Karena bingungnya, Yan Lam-thian lantas balas bertanya, “Memangnya siapa dia?”

Mendadak Kiau-goat Kiongcu bergelak tertawa, tertawa latah, tertawa seperti orang gila, ditudingnya Hoa Bu-koat sambil berkata, “Nah, dengarkan, biar kuberitahukan padamu, dia tak lain dan tak bukan adalah putra Kang Hong, dia adalah saudara kembar sekandung Siau-hi-ji!”

Tentu saja keterangan Ih-hoa-kiongcu ini seketika menggemparkan setiap hadirin.

Sebaliknya Yan Lam-thian jadi melenggong, sampai lama barulah dia membentak dengan gusar, “Kentut! Omong kosong!”

“Kau kira aku berdusta padamu dan ingin menipumu?” kata Kiau-goat Kiongcu. Kembali ia bergelak-gelak hingga berkali-kali. Lalu sambungnya pula, “Sudah dua puluh tahun aku menunggu tibanya hari seperti sekarang ini, sengaja kutunggu mereka berdua saudara kembar ini saling bunuh-membunuh. Sudah dua puluh tahun kutunggu dan baru sekarang kusiarkan rahasia ini, sungguh aku sangat gembira, sangat puas!”

“Apa pun juga yang kau katakan, pokoknya satu kata saja aku tidak percaya,” Yan Lam-thian meraung murka.

“Kuyakin kau akan percaya,” ucap Kiau-goat Kiongcu dengan terkekeh-kekeh. “Coba renungkan lagi tentu akan kau dapati banyak kemiripan di antara mereka berdua, coba kau lihat hidung mereka, mata mereka dan ....”

Kedua tangan Yan Lam-thian terkepal dengan kencang, tanpa terasa air keringat pun merembes seperti air perasan.

Kiau-goat Kiongcu bergelak tertawa pula dan berkata, “Apakah kau tahu sebab apa kupaksa mereka bertarung mati-matian? Tahukah mengapa aku mengharuskan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji dengan tangan sendiri? Kalian pasti tidak tahu sebab musababnya bukan? Dan sekarang biarpun kalian tahu duduk perkaranya, namun semuanya sudah terlambat ....”

Rahasia ini benar-benar amat mengejutkan, laksana guntur di siang bolong sehingga semua orang sama melongo, meski dalam hati terasa berguncang tapi tak sanggup bersuara sedikit pun. Di jagat raya ini seakan-akan cuma terdengar suara tertawa Kiau-goat Kiongcu.

Bila semua orang membayangkan macam-macam kejadian di masa lampau yang menyangkut diri Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, meski mereka ingin tidak percaya kepada ucapan Kiau-goat Kiongcu tadi, tapi mau tak mau mereka harus percaya juga.

Entah apa yang timbul dalam hati masing-masing, entah kejut, gusar, duka, atau simpatik .... Bisa jadi semua perasaan itu terdapat setitik, tapi tetap saja lebih banyak rasa kasihan dan simpatiknya.

Bila teringat nasib kedua bersaudara kembar yang malang ini, para nona Buyung menjadi terharu, dan menangis sedih. Han-wan Sam-kong dan setiap laki-laki juga sama mencucurkan air mata.

Wajah Hoa Bu-koat kelihatan pucat bagai kertas, dipandangnya jenazah Siau-hi-ji yang tergeletak di tanah itu, lambat-laun tubuh Bu-koat menjadi gemetar, makin lama makin keras gemetarnya, sampai akhirnya berdiri saja tidak sanggup lagi, ia menungging sambil memeluk tubuh sendiri.

Memandangi kedua saudara kembar yang satu hidup dan yang lain mati, perawakan Yan Lam-thian yang kekar itu seakan-akan runtuh seluruhnya, dalam sekejap ini dia benar-benar telah berubah menjadi lebih tua. Dalam hati penuh rasa duka, derita dan menyesal.

“Mengapa kupaksa mereka bergebrak? Mengapa tidak tidak kucegah mereka,” demikian ia mencela dirinya sendiri.

Ia tahu semua ini adalah karena dendam, sakit hati.

Sekarang ia tahu bahwa dendam itu takkan mendatangkan kejayaan bagi siapa pun juga. Dendam hanya akan mendatangkan penderitaan dan kehancuran. Namun kini sudah terlambat segalanya.

Yan Lam-thian benar-benar sangat berduka sehingga kekuatan yang timbul dari kemurkaannya tadi pun lenyap, ia tidak lagi menantang Kiau-goat Kiongcu, bahkan memandang sekejap lagi padanya juga tidak.

Sebaliknya Kiau-goat Kiongcu justru sedang memandangi mereka.

Sorot mata Kiau-goat penuh rasa senang dan puas, tapi juga mengandung rasa keji dan kejam, ia melototi Hoa Bu-koat dan menjengek, “Kau telah membunuh saudara kandungmu sendiri, apa yang akan kau katakan pula?”

Bu-koat mendekap mukanya dan terkulai di tanah.

Kiau-goat Kiongcu menyeringai, katanya, “Jangan lupa, padamu masih ada sebilah pedang hijau, yaitu ‘Pek-hiat-kiam’ pemberianku. Sekarang tentunya kau percaya apa yang pernah kukatakan dahulu bahwa pedang hijau ini adalah pedang iblis, pedang sial, barang siapa memilikinya harus mati.”

Mendadak Hoa Bu-koat mendongkak, tahu-tahu Pek-hiat-kiam sudah terhunus.

Pedang pandak itu berwarna hijau muda dan memancarkan cahaya yang kemilau menyeramkan.

Meski setiap orang tahu apa yang akan dilakukan Hoa Bu-koat, tapi tiada seorang pun yang dapat merintangi, sebab biarpun siapa bilamana sudah tertimpa nasib seperti dia, maka jalan satu-satunya baginya harus mati, lain tidak.

“Sudah saatnya bagimu, kau tunggu apalagi?” ucap Kiau-goat Kiongcu dengan sekata demi sekata.

Tanpa ragu lagi Hoa Bu-koat terus angkat tangannya dan menikam ke dada sendiri.

Tapi mendadak sebuah tangan terjulur dari samping, tahu-tahu pedang hijau yang dipegang Hoa Bu-koat telah terebut.

Sebenarnya bukan pekerjaan gampang bagi siapa pun yang hendak merampas pedang dari tangan Hoa Bu-koat. Tapi sekarang, dalam keadaan limbung pada saat Hoa Bu-koat merasa dirinya runtuh seluruhnya, tahu-tahu pedangnya telah dirampas orang.

Bu-koat mendongak dan menatap orang tua itu sekian lama, habis itu barulah ia berkata dengan suara parau, “Siapa engkau? Mengapa engkau merintangi kematianku?”

Yang merampas pedang Hoa Bu-koat ternyata Ban Jun-liu adanya.

Dia menghela napas, lalu menjawab perlahan, “Jika seorang sudah bertekad ingin mati, maka siapa pun tak dapat mencegahnya.”

“Jika sudah tahu begitu, mengapa kau ikut campur urusan orang lain,” bentak Kiau-goat Kiongcu mendadak.

Ban Jun-liu tidak menggubrisnya, dengan tajam ia masih menatap Hoa Bu-koat, ucapnya dengan suara lembut, “Bukan maksudku hendak merintangi kehendakmu, aku cuma minta kau tunggu lagi sebentar. Sebentar saja, bisa jadi tidak sampai setengah jam, selang setengah jam lagi, apabila kau tetap ingin mati, kujamin pasti tiada seorang pun yang akan merintangimu.”

Lalu dia pandang pedang hijau yang tergenggam di tangannya itu dan menyambung pula, “Ya, pada saatnya nanti, siapa pun yang ingin mati bukan saja takkan kurintangi, bahkan dengan tanganku sendiri akan kusodorkan pedang ini kepadanya.”

“Setengah jam? Hanya setengah jam?” seru Kiau-goat Kiongcu dengan bergelak tawa, “Hahaha, hanya dalam setengah jam kau bisa main gila apa? Sudahlah, kukira tidak perlu kau tunggu lagi, jangan percaya ocehannya, tidak perlu tunggu lagi, lebih lama kau tunggu lebih lama pula kau akan menderita.”

Mendadak Thi Cian membentak, “Biarpun menderita lagi sebentar, memangnya apa alangannya? Masa kau sama sekali tiada mempunyai keberanian sedikit pun?”

Kiau-goat menjadi gusar, dampratnya, “Siapa kau? Berani banyak mulut di depanku?”

Thi Cian menjadi murka juga, jawabnya dengan suara terlebih keras, “Mau apa jika aku banyak mulut?”

Warna muka Kiau-goat Kiongcu kembali mulai putih bening lagi, selangkah demi selangkah dia mendekati Thi Cian, katanya, “Barang siapa berani banyak mulut, segera akan kubinasakan dia!”

Tiba-tiba si nenek Siau juga mendengus dan melangkah maju ke samping Thi Cian, katanya, “Selama hidupku tiada hobi lain kecuali suka banyak mulut!”

Ni Cap-pek lantas menukas, “Watakku serupa dengan dia!”

“Aku juga!” sambung Ji Cu-geh.

Dalam sekejap saja, tokoh-tokoh kosen yang sudah lama mengasingkan diri itu serentak berdiri menjadi satu baris dan siap menghadapi Kiau-goat Kiongcu.

Seketika Kiau-goat menghentikan langkahnya, ditatapnya sinar mata beberapa tokoh yang tajam itu. Selang sejenak, ia tertawa acuh, katanya, “Dua puluh tahun sudah kutunggu, kalau cuma setengah jam saja masa aku tidak dapat menunggu lagi?”

Kecuali Ban Jun-liu sendiri, siapa pun tidak tahu dalam waktu setengah jam yang singkat itu akan terjadi perubahan apa?

Akan tetapi Ban Jun-liu seperti sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia duduk bersila di samping Hoa Bu-koat, bahkan lantas memejamkan mata untuk mengumpulkan semangat.

Sang waktu rasanya berlalu dengan sangat lambat, meski cuma waktu setengah jam saja, tapi rasanya tidak habis-habis, perasaan setiap orang sama tertekan.

Cukup lama Yan Lam-thian termangu-mangu, perlahan ia berjongkok untuk mengangkat jenazah Siau-hi-ji.

“He, lepaskan dia, jangan menyentuhnya!” mendadak Ban Jun-liu berseru.

Yan Lam-thian jadi melengak, “Jangan menyentuhnya? Sebab apa?” tanyanya heran.

“Sekarang tidak perlu kau tanya, apa pun juga sebentar akan kau ketahui sendiri,” kata Ban Jun-liu.

Yan Lam-thian terdiam sejenak, tubuh Siau-hi-ji yang sudah diangkatnya sedikit itu diletakkan kembali. Tapi mendadak ia jadi teringat pula, cepat ia pegang kembali tangan Siau-hi-ji. Dilihatnya air muka anak muda yang mula-mula pucat menghijau itu telah berubah menjadi putih, lalu dari putih mulai bersemu merah.

Keruan girang Yan Lam-thian tidak kepalang, mendadak ia berteriak sekeras-kerasnya, “He, Siau-hi-ji tidak mati, tidak mati ....”

Kiau-goat Kiongcu juga terkejut, tapi segera ia mendengus, “Hm, aku sendiri telah memeriksa denyut nadinya, dengan jelas kutahu dia telah mati, apa gunanya kau membohongi aku?

“Untuk apa kubohongimu?” teriak Yan Lam-thian dengan tertawa. “Sekalipun tadi dia benar-benar telah mati, yang pasti sekarang dia sudah hidup kembali.”

Ucapan Yan Lam-thian ini menggemparkan pula, meski dalam hati setiap orang sama berharap Siau-hi-ji benar-benar bisa hidup kembali, tapi tiada seberapa orang yang mau percaya pada kata-kata Yan Lam-thian.

Kiau-goat Kiongcu lantas bergelak tertawa, serunya sambil menunjuk Yan Lam-thian, “Hahahaha! Orang mati mana bisa hidup kembali?”

Yan Lam-thian menengadah dan terbahak-bahak, ia tidak memusingkan olok-olok Kiau-goat Kiongcu itu dan juga tidak membantahnya.

Melihat keadaan Yan Lam-thian itu, semua orang lantas timbul rasa haru dan pilu, semua orang mengira pendekar pedang nomor satu di dunia ini mungkin sudah gila benar-benar. Sebab, orang mati mana bisa hidup lagi?

Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba seorang berseru, “Siapa bilang orang mati tak dapat hidup kembali? Bukankah diriku sekarang sudah hidup lagi?”

Seketika itu siapa pun tidak tahu persis apakah kata-kata itu benar-benar diucapkan oleh Siau-hi-ji sendiri. Yang jelas, “jenazah” Siau-hi-ji memang benar-benar telah berbangkit.

Orang mati ternyata benar-benar dapat hidup kembali!

Setiap orang hampir tidak percaya pada matanya sendiri. Semua orang sama tercengang. Selang sejenak, serentak semua orang bersorak gembira. Ada di antaranya lantas paham duduk perkaranya. Kiranya tadi Siau-hi-ji hanya pura-pura mati saja.

Akan tetapi Kiau-goat Kiongcu sendiri yakin bahwa Siau-hi-ji benar-benar telah mati, sebab ia sendiri yang memeriksa denyut nadinya, jelas napasnya sudah berhenti, nadinya tak bergerak, mana bisa orang mati hidup kembali? Jangan-jangan kesurupan setan?

Sambil menatap Siau-hi-ji, setindak demi setindak Kiau-goat Kiongcu menyurut mundur ke belakang, wajahnya penuh rasa kejut dan takut.

Betapa pun dia tetap seorang perempuan. Di dunia ini hampir tidak ada perempuan yang tidak takut setan.

Sebaliknya Siau-hi-ji memandangnya dengan tertawa, katanya, “Kenapa kau takut? Waktu hidupku saja kau tidak takut, sesudah kumati masa engkau malah takut?”

Kiau-goat Kiongcu berteriak dengan parau, “Kau ... kau mau main gila apa sebenarnya?”

Siau-hi-ji tergelak-gelak, jawabnya, “Jika permainan Siau-hi-ji dapat diterka olehmu, maka gelar orang pintar nomor satu di dunia akan kuserahkan padamu.”

Lalu dia berpaling kepada Ban Jun-liu dan bertanya, “Paman Ban, apakah dia sudah bicara?”

Ban Jun-liu mengangguk dengan tersenyum, ia pegang tangan Hoa Bu-koat dan menjawab, “Ya, segala apa pun sudah dikatakannya. Rahasia di balik semua itu sebenarnya sangat sederhana, cukup satu kalimat saja sudah jelas bagimu. Yakni, kalian sebenarnya saudara sekandung, bahkan saudara kembar!”

Kontan Siau-hi-ji bersorak gembira, ia melompat maju terus merangkul Hoa Bu-koat, serunya sambil tertawa, “Memang sejak mula kutahu kita pasti tidak ditakdirkan menjadi musuh. Kita harus dilahirkan sebagai kawan, sebagai saudara!”

Meski dia bicara dengan tertawa, tapi tidak urung air mata pun berderai.

Sejak tadi muka Hoa Bu-koat sudah dipenuhi air mata, mana dia sanggup bicara lagi.

Yan Lam-thian mementang kedua tangannya dan merangkul erat-erat kedua saudara kembar ini, serunya sambil menengadah, “Jite, O, Jite, jika arwahmu ....” Suaranya menjadi tersendat-sendat dan tenggorokannya serasa tersumbat, dia tidak sanggup meneruskan ucapannya, hanya air mata saja yang bercucuran.

Tapi air matanya sekarang adalah air mata kegirangan, air mata bahagia, walaupun hati masih pilu. Semua orang memandang mereka bertiga, seketika mereka pun tidak tahu ikut merasa gembira atau berduka? Tanpa terasa air mata setiap orang pun meleleh.

Tanpa terasa Buyung Siang menyandarkan dirinya ke dalam pelukan Lamkiong Liu meski hatinya diliputi rasa suka dan duka, tapi juga penuh rasa bahagia. Ketika ia memandang ke sana, semua saudaranya juga saling berdekapan dengan suami masing-masing dengan mesra.

Si nenek Siau mengucek-kucek matanya yang basah, ucapnya tiba-tiba, “Apa pun yang akan terjadi atas diri kalian, yang pasti aku takkan pulang lagi ke pulau terpencil sana. Betapa pun dunia ini tetap masih menarik.”

Kiau-goat Kiongcu berdiri mematung di tempatnya, tiada seorang pun yang memandangnya, dia seakan-akan sudah dilupakan dan dibuang oleh dunia ini.

Hanya Ban Jun-liu saja, perlahan ia mendekati Kiau-goat Kiongcu, katanya, “Air dapat mengapungkan kapal juga dapat menenggelamkan kapal. Racun bisa mencelakakan orang, tapi juga dapat menolong orang. Jika beberapa macam rumput racun dijadikan satu akan dapat menghasilkan semacam obat bius yang sangat lihai. Bila obat bius ini diminum, sekujur badan orang bisa menjadi lumpuh, napas berhenti, sehingga tiada ubahnya seperti orang mati. Bilamana obat bius ini digunakan untuk mencelakai orang, dengan sendirinya orang itu dapat diperlakukan sesukanya dalam keadaan kehilangan kesadarannya. Tapi obat bius yang kubuat ini adalah untuk menolong orang, sebab khasiatnya tidak cuma untuk menghilangkan rasa sakit, tapi juga dapat membuat orang tertipu.”

Sampai di sini, kulit muka Kiau-goat Kiongcu tampak mulai berkerut-kerut, suatu tanda betapa bergejolak perasaannya.

Namun Ban Jun-liu tetap menyambung lagi, “Sebelum Siau-hi-ji bertanding, lebih dulu ia berunding denganku dan minta obat bius ini padaku. Sejak kecil dia tinggal bersamaku, dia cukup paham kegunaan obat bius ini, sebab itulah dia ingin memanfaatkannya untuk pura-pura mati. Ia tahu, apabila dia sudah mati, maka segala rahasia yang menyangkut pribadinya pasti akan kau beberkan.”

Dia tertawa, lalu melanjutkan, “Anak ini memang sangat cerdik, setiap tipu akal pemikirannya selalu aneh dan sukar dibayangkan dan diraba orang, maka tidaklah heran bahwa Ih-hoa-kiongcu juga tertipu olehnya.”

Lalu dia menyodorkan Pek-hiat-kiam, pedang hijau yang dirampasnya dari Hoa Bu-koat tadi, ke hadapan Kiau-goat Kiongcu, katanya dengan tenang, “Karena Hoa Bu-koat tidak memerlukan lagi pedang ini, terpaksa kuserahkan kembali kepada Kiongcu, dalam keadaan dan saat begini, bukan mustahil Kiongcu memerlukannya, betul tidak?

Dia tersenyum, lalu membalik tubuh dan tidak menoleh lagi.

Padahal dalam keadaan demikian, asalkan Kiau-goat Kiongcu mengayun tangannya, seketika Ban Jun-liu dapat dibinasakan dengan pedang hijau itu.

Namun Ban Jun-liu tahu dengan perasaan Kiau-goat sekarang pasti tidak sanggup membunuh orang lagi. Sebaliknya satu-satunya orang yang ingin dibunuhnya mungkin adalah dirinya sendiri!

Pek-hiat-kiam, pedang hijau itu, bisa jadi memang sebilah pedang iblis, pedang sial.

*****

Sementara itu So Ing sudah muncul lagi di situ, ia datang tepat pada saat Siau-hi-ji “hidup kembali”.

Tapi baru sekarang dia mengusap air mata dan mendekati anak muda itu.

Ketika mendadak melihat si nona, Siau-hi-ji terkejut dan juga bergirang, serunya, “He, kau pun sudah datang, kutahu kau pasti akan datang lagi.”

Namun wajah So Ing tetap dingin saja tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya, “Kedatanganku ini hanya lantaran aku sudah berjanji kepada seorang untuk menyelesaikan suatu persoalan.”

“Kau berjanji kepada siapa? Untuk menyelesaikan urusan apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Aku berjanji kepada Thi Sim-lan dan datang ke sini untuk ....”

Belum habis ucapan So Ing, serentak Thi Cian dan Hoa Bu-koat berseru, “He, di mana dia?”

So Ing memandang Bu-koat lekat-lekat, katanya, “Dia cuma ingin memberitahukan padamu, bahwa meski dia minta engkau mati baginya, tapi ia sendiri pun sudah siap untuk mati bersamamu. Dia juga minta padaku agar mengubur jenazah kalian menjadi satu liang.”

“Ya, kutahu dia pasti ... pasti takkan mengingkari diriku, sudah kuketahui sebelum ini,” ucap Bu-koat dengan menangis.

“Tapi kau pun tidak mengingkari dia,” ujar So Ing sambil menghela napas rawan. “Kalian memang pasangan yang setimpal. Thian tidak seharusnya menyiksa kalian sedemikian rupa.”

“Di … di manakah dia sekarang?” tanya Bu-koat.

“Ia telah minum racun dan bunuh diri ....”

Belum lagi lanjut ucapan So Ing, sekonyong-konyong Thi Cian meraung terus mencekik leher Hoa Bu-koat, dampratnya, “Semuanya gara-garamu, kau yang membuat celaka dia, kau harus ganti jiwanya!”

Bu-koat berdiri saja seperti patung, tidak meronta juga tidak melawan, ia cuma bergumam, “Ya, betul, akulah yang membuat celaka dia. ... akulah yang membuat celaka dia ....”

Tadinya semua orang sudah bergirang bagi kedua saudara kembar itu, tapi demi melihat keadaan Bu-koat sekarang, kembali perasaan mereka tertekan, mereka merasa Thian benar-benar tidak adil, mengapa selalu kejam terhadap orang yang saling cinta mencintai.

Tak terduga, mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa.

Thi Cian menjadi gusar, dampratnya, “Kau binatang! Apa yang kau tertawakan?”

Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, “Kutertawakan kalian terlalu buru-buru cemas, kalian lupa akan kepandaian nona So kita ini.”

“Dia ... dia mempunyai kepandaian apa?” tanya Thi Cian.

“Jangankan Thi Sim-lan cuma minum sedikit racun, biarpun segala macam racun di dunia ini diminumnya sekaligus juga nona So kita sanggup menolongnya,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Betul tidak, nona So?”

Dengan mendongkol So Ing melototi anak muda itu, tapi tidak urung ia mengangguk juga. Lalu katanya kepada Hoa Bu-koat dengan tersenyum, “Sebenarnya aku pun ingin membuat cemas padamu, tapi demi melihat keadaanmu yang memelas ini, aku menjadi tidak tega .... Nah, lekaslah ke sana, dia terbaring di bawah pohon sana, kukira sebentar lagi dia akan siuman.”

Sungguh girang Bu-koat tak terperikan, serunya, “Terima kasih ....” Belum lagi ucapan itu habis dikatakan, secepat terbang dia sudah lari pergi.

Segera Thi Cian ingin ikut ke sana juga, tapi si nenek Siau sempat menariknya, katanya dengan tertawa, “Tempat di sana sangat sempit, bila kau pun ke sana, tentu akan berdesakan.”

Sejenak Thi Cian melengak, tapi segera ia paham maksudnya, serunya dengan tertawa, “Aha, memang betul, di sana terlalu sempit dan berdesakan ....”

Dengan tertawa segera Siau-hi-ji hendak memegang tangan So Ing. Tapi begitu si nona melihat anak muda itu, seketika ia menarik muka dan mengebaskan tangannya terus melengos dan tinggal pergi.

Dalam pada itu Kiau-goat Kiongcu mendadak tertawa keras, di tengah tertawa latah itulah ia terus mengangkat jenazah adiknya dan dibawa lari, hanya sekejap saja sudah menghilang di tengah kabut yang tebal.

Sekarang Siau-hi-ji juga tidak memusingkan orang lain lagi, segera ia memburu ke arah So Ing, katanya dengan tertawa, “Apakah kau masih marah padaku?”

So Ing tidak menoleh dan tidak menjawab, hakikatnya tidak menggubrisnya.

“Seumpama aku salah padamu, kan juga tidak perlu marah begitu.”

Tapi si nona tetap tidak menggubrisnya.

“Aku sudah mengaku salah dan minta maaf padamu, masa marahmu belum lagi reda?”

Namun So Ing seperti tidak mendengar apa yang diuraikan anak muda itu.

Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, “Ai, sebenarnya aku hendak melamar dia untuk menjadi istriku, tapi dia masih marah, kukira lebih baik tak kukatakan saja agar tidak tumbuk dinding.”

Sekonyong-konyong So Ing berpaling, katanya, “Kau ... kau bilang apa?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya sambil membentang kedua tangannya, “Aku bilang apa? Aku kan tidak bilang apa-apa.”

Tapi So Ing terus menubruk maju dan merangkul lehernya, telinga Siau-hi-ji digigitnya serta memukuli pundaknya. Katanya sambil menggentak-gentak kaki, “Apa yang kau katakan telah kudengar semuanya. Kau hendak melamar diriku, masa kau berani mungkir?”

Telinga Siau-hi-ji terasa sakit digigit si nona, tapi seluruh badan penuh rasa bahagia, hanya sedikit rasa sakit itu masa menjadi soal? Kontan ia pondong si nona terus dibawa ke depan dengan langkah lebar.

“He, he, apa ... apa yang hendak kau lakukan?” seru So Ing.

“Di sini terlalu banyak orang, ingin kucari suatu tempat yang sepi untuk membuat perhitungan denganmu?” bisik Siau-hi-ji.

Muka So Ing menjadi merah, katanya pula, “Apa yang kau lakukan tadi akan ... akan kau tepati tidak?”

“Seorang lelaki sejati masa menjilat kembali ludah sendiri?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sambil mengeluarkan suara keluh manja So Ing merangkul erat-erat leher Siau-hi-ji dan membisiknya, “Memang betul, di sini terlalu banyak orang, lekas bawalah diriku, selanjutnya ke mana pun kau pergi aku tetap ikut bersamamu.”

Buyung Siang juga sedang berdekapan dengan Lamkiong Liu, dengan muka merah ia pun membisiki sang suami, “Tidakkah kau pun merasakan di sini orang terlalu berdesakan?”

“Apakah kau ingin pulang sekarang?” bisik Lamkiong Liu dengan pandangan mesra.

Buyung Siang menyembunyikan kepalanya dalam pelukan sang suami, jawabnya lirih, “Masa perlu pulang? Cukup cari saja tempat yang sepi ….”

Mendadak terdengar Buyung San mengikik tawa dan berkata, “Ai, sudah tua, masih main roman segala, tidak malu?”

“Budak setan, kau berani mencuri dengar pembicaraan kami?” omel Buyung Siang dengan muka merah.

“Kalian jangan tergesa-gesa pergi, pokoknya setiap orang harus tetap tinggal di sini, kita harus angkat cawan dan minum bersama Yan-tayhiap,” seru Buyung San.

“Tapi dari mana mendapatkan araknya?” ujar Buyung Siang.

“Mungkin kau sudah lupa daratan, masa tidak melihat Han-wan Sam-kong menyeret pergi Thi Cian untuk membeli arak?”

“Betul!” mendadak Yan Lam-thian berseru dengan tertawa, “Hari ini semua hadirin harus tetap tinggal di sini untuk minum tiga cawan, anggaplah minum bagi kebahagiaan Kang Siau-hi-ji dan Kang Bu-koat!”

Dia sengaja mengeraskan ucapan “Kang Bu-koat”, seakan-akan sengaja mengumumkan secara khusus kepada hadirin bahwa “Hoa Bu-koat” selanjutnya adalah Kang Bu-koat.

Sejak tadi si nenek Siau berdiri termangu-mangu, baru sekarang ia menghela napas hampa, ucapnya, “Melihat anak-anak muda ini, aku menjadi agak menyesal.”

“Menyesal apa?” tanya Ni Cap-pek.

“Menyesali diriku sendiri karena dahulu aku sok ragu-ragu dan sangsi, dilamar pemuda ini tidak mau, dipinang pemuda lain juga emoh, akhirnya aku menjadi kapiran dan sebatang kara seperti sekarang ini.”

“Tapi sekarang kalau kau mau cari jodoh kan belum lagi terlambat?” ujar Ni Cap-pek.

“Sekarang? Masa sekarang ada yang mau pada nenek-nenek macamku?” kata si nenek Siau dengan menghela napas.

“Jangan lupa, sampai saat ini aku pun masih membujang sendirian,” kata Ni Cap-pek sambil menunjuk hidungnya sendiri.

Muka nenek Siau menjadi merah seakan-akan mendadak usianya menjadi lebih muda dua-tiga puluh tahun. “Plak”, kontan dia tampar muka Ni Cap-pek satu kali sambil mengomel dengan tertawa, “Sudah tua bangka, gigi saja tinggal dua, masih berani menaksir diriku?”

Dengan cengar-cengir Ni Cap-pek berkata, “Ini namanya tua sama tua, muda mendapat muda dan ….”

Segera nenek Siau hendak menamparnya pula, untunglah pada saat itu juga Thi Cian dan Han-wan Sam-kong telah muncul kembali.

Cepat Ni Cap-pek menyongsong mereka dan bertanya, “Mana arak yang kalian beli?”

Dengan muka bersungut Han-wan Sam-kong menjawab, “Keparat, dasar aku lagi bokek, tak tahunya si gila ini pun sama miskinnya seperti diriku, tidak punya duit sepeser pun.”

Di tengah suasana gembira, tanpa arak tentu saja rasanya hambar seperti halnya sayur kurang garam.

Selagi semua orang merasa kecewa, tiba-tiba terlihat segerombolan orang sedang merangkak ke atas gunung. Waktu mereka amati, kiranya bukan manusia melainkan satu gerombolan kera.

Gerombolan kera ini ada besar ada kecil dan mengeluarkan suara “cuat-cuit” yang berisik, anehnya di tangan mereka sama membawa semacam benda, kiranya adalah sebangsa botol dan kaleng rusak.

Tentu saja semua orang terheran-heran dan merasa geli pula. Mereka heran dari mana dan mau apa datangnya kawanan kera ini. Tapi segera mereka mengendus bau arak yang keras.

Cepat Ni Cap-pek memburu maju ke arah sana, kiranya di antara botol dan kaleng yang dibawa kawanan kera itu berisi arak sedap. Keruan ia tertawa girang, serunya, “Ini dia, manusianya tidak berhasil membeli-arak, kawanan kera malah mengantarkan arak dengan cuma-cuma. Tampaknya kera jauh lebih berguna daripada manusia.”

Han-wan Sam-kong menghela napas gegetun, gumamnya sambil menyengir, “Kera terkadang memang lebih pintar daripada manusia, paling sedikit mereka pasti tidak mau berjudi ....”

Dalam pada itu Siau-hi-ji sedang bergumul dengan So Ing di satu gua di kejauhan sana. Dengan tertawa ia berkata, “Aku berani bertaruh biarpun mereka peras otak memikirkannya selama beribu tahun juga takkan tahu dari mana datangnya arak itu dan arak apa namanya?”

So Ing mirip seekor kucing jinak mendekap di dalam pelukan Siau-hi-ji, dengan pandangan yang menggiurkan dia seperti malas untuk bicara, hanya secara acuh tak acuh dia bertanya, “Memangnya arak apakah itu?”

“Namanya Kau-ji-ciu (arak kera), sebab arak itu memang sulingan kawanan kera sendiri,” kata Siau-hi-ji.

“Masa kera juga bisa menyuling arak?”

“Arak sulingan kera terkadang bahkan jauh lebih sedap daripada arak buatan manusia.”

“Dengan cara bagaimanakah kau menyuruh kawanan kera itu mengantarkan arak ke sana? Sungguh aku tidak mengerti.”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Tipu akal Kang Siau-hi-ji dengan sendirinya tak dapat dimengerti oleh kalian. Jika kau pun sama pintarnya denganku, tentu aku takkan mengambil kau sebagai biniku.”

Dengan geregetan So Ing menggigitnya sekali, katanya dengan tertawa genit, “Wahai Siau-hi-ji, kau memang barang busuk!”

Mendadak Siau-hi-ji menarik muka dan mengomel, “Aku sudah menjadi suamimu, segera akan menjadi ayahnya anakmu, mengapa kau masih memanggil ‘Siau-hi-ji’ padaku?”

Dengan tertawa menggiurkan So Ing menjawab, “Wahai Siau-hi-ji, sekalipun nanti kau berumur delapan puluh tahun, biarpun kau sudah menjadi kakek, orang akan tetap memanggil Siau-hi-ji padamu. Sebab nama Siau-hi-ji sesungguhnya teramat sangat terkenal, Siau-hi-ji adalah ‘trade mark’, merek daganganmu ....”

bgp8_part2

Apakah manusia juga memiliki semangat yang tidak menyerah dan pantang putus asa seperti labah-labah?

Sampai lama sekali Siau-hi-ji saling pandang dengan Hoa Bu-koat, keduanya sama-sama tidak dapat bersuara.

Selang sekian lama barulah Bu-koat menghela napas, lalu berkata, “Mengapa kau bersikap begitu padanya?”

Siau-hi-ji tidak lantas menjawab, ia termenung hingga lama, gumamnya kemudian, “Tampaknya kau dan aku memang banyak perbedaannya.”

“Antara manusia dan manusia memang tiada yang persis sama,” kata Bu-koat.

“Demi diriku dia mencarimu untuk mengadu jiwa, tapi aku malah mendampratnya habis-habisan, dia hendak membunuh engkau, tapi engkau malah membelanya, kukira di sinilah letak perbedaan paling besar di antara kita,” setelah tersenyum getir lalu Siau-hi-ji menyambung lagi, “Katanya engkau ini adalah Kuncu, sebaliknya aku senantiasa adalah ….”

“Mengapa kau remehkan dirimu sendiri?” potong Bu-koat. “Padahal engkaulah seorang Kuncu benar-benar, kalau tidak, mengapa kau lukai perasaannya hanya karena membela diriku?”

Ia merandek sejenak, lalu berkata pula dengan menghela napas, “Selain kau, rasanya tak terpikir olehku ada orang yang mau membela lawan dengan melukai hati pacarnya sendiri.”

Mendadak Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Tindakanku ini bukan demi membelamu, tapi demi diriku sendiri.”

“Demi dirimu sendiri?” Bu-koat menegas.

“Ya, demi diriku sendiri ....” Siau-hi-ji mengulang ucapannya itu dengan perlahan, sorot matanya menampilkan cahaya yang sukar diraba, ini membuat anak muda itu kelihatan seperti telah berubah menjadi seorang yang sangat aneh.

Setiap kali Bu-koat melihat mata Siau-hi-ji memancarkan cahaya demikian, segera diketahuinya ada orang akan segera tertimpa kesialan, akan dikerjai oleh anak muda itu. Lantas siapakah sasarannya sekali ini?

Dengan perlahan Siau-hi-ji menyambung pula, “Sebab kalau sekarang engkau mati dibunuh orang, maka tidak saja aku akan menyesal selamanya, bahkan mungkin aku akan menderita selama hidup.”

“O, sebab apa?” tanya Bu-koat terharu.

“Sebab ....”

Belum lanjut ucapan Siau-hi-ji, mendadak seorang menukasnya, “Sebab dia juga ingin membunuhmu dengan tangannya sendiri!”

Jelas itulah suara Kiau-goat Kiongcu, suaranya tetap ketus, bahkan jauh lebih dingin daripada dulu.

Air mukanya kini juga sudah berubah, meski masih tetap pucat dan dingin seperti dulu, tapi kini wajahnya telah bertambah semacam cahaya halus gemerlap, jika wajahnya dahulu dapat diibaratkan es, maka sekarang adalah giok atau kemala.

Siau-hi-ji menghela napas panjang sambil memandang Kiau-goat Kiongcu, ucapnya, “Baru dua-tiga hari tidak bertemu, tampaknya engkau banyak bertambah muda. Agaknya setiap perempuan di dunia ini harus berlatih Beng-giok-kang, agar semuanya awet muda dan mahasakti seperti engkau.”

Kiau-goat Kiongcu hanya memandang dengan melotot tanpa menanggapi.

Kembali Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Sejak kuselamatkan kalian dari liang tikus sana, kenapa engkau tidak menggubris diriku lagi? Ai, terkadang aku jadi menyesal, akan lebih baik kalau kita tetap terkurung selamanya di liang tikus itu, di sana engkau akan lebih suka menuruti perkataanku, sikapmu juga lebih sungkan padaku.”

Air muka Kiau-goat Kiongcu tampak berubah lagi, dengusnya kemudian, “Sudah habis belum ucapanmu?”

“Sudah habis,” jawab Siau-hi-ji tertawa, “Cuma perlu kuingatkan padamu, jika tidak ada diriku, sekalipun engkau berubah lebih muda lagi juga tiada gunanya, sebab dalam waktu beberapa hari juga engkau pasti akan mati terkurung di liang tikus itu.”

*****

Dipandang dari puncak bukit, gumpalan awan tampak mengambang mengelilingi angkasa, sungai panjang (Tiangkang) yang lekuk-lekuk menjulur panjang laksana seutas tali raksasa.

Yan Lam-thian sendiri berdiri di puncak bukit yang paling tinggi itu, tampaknya dia sangat kesepian.

Padahal di atas gunung itu tidak cuma dia saja, masih banyak orang yang berada di situ, namun setiap orang seakan-akan berjarak sangat jauh dengan dia.

Angin meniup mengibarkan ujung jubahnya, gumpalan awan melayang lewat di sekitarnya.

Tiba-tiba Buyung San menghela napas panjang, katanya dengan terharu, “Yang ditunggu tidak datang, sahabat lama juga tidak tampak .... Meski Yan-tayhiap gagah perkasa tiada bandingannya, tapi selama hidupnya ini pernahkah menikmati sesuatu kegembiraan apa?”

“Tinggi pohon besar badainya, lebih baik beta hidup bersahaja ....” Gumam Buyung Siang seperti berpantun.

“Ya tampaknya seorang memang lebih baik hidup biasa saja,” kata Buyung San.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar orang berseru, “Itu dia, sudah datang!”

“Siapa yang datang?” tanya Buyung Siang sambil berpaling ke sana.

Maka terlihatlah bayangan Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat muncul dari balik gumpalan awan yang mengelilingi mereka.

Angin meniup semakin kencang, cuaca mulai guram ....

*****

Sementara itu So Ing masih terus melangkah ke depan dengan pikiran bimbang tanpa arah tujuan. Entah sudah berapa jauh ia berjalan dan entah di mana dia berada.

Kalau bisa, dia berharap mendadak guntur akan berbunyi dan sekaligus menghancurkan tubuhnya berkeping-keping lalu berhamburan tertiup angin, tersebar ke segenap pelosok jagat raya ini.

Ia pun geregetan kalau saja Siau-hi-ji mendadak memburu tiba, lalu bertekuk-lutut di depannya serta meminta maaf, mohon ampun padanya, bahkan bersumpah takkan meninggalkan dia untuk selamanya.

Akan tetapi semua itu cuma angan-angan belaka, Siau-hi-ji tidak menyusul tiba, guntur juga tidak menggelegar ....

*****

Di pihak lain, Thi Sim-lan juga sedang dirundung penderitaan batin.

Dari tempat berdirinya ia dapat melihat Siau-hi-ji dan juga Hoa Bu-koat. Dilihatnya sorot mata Bu-koat yang menderita itu, maka hati sendiri pun serasa hancur luluh.

Sebaliknya Siau-hi-ji masih tetap tersenyum simpul, seperti tidak berkhawatir sama sekali.

Sungguh aneh, apakah sudah diperhitungkannya bahwa dia pasti tidak akan kalah? Apakah dia yakin Hoa Bu-koat tidak akan membunuhnya? Atau dia sendiri sudah mempunyai sesuatu pegangan yang mampu mengalahkan Hoa Bu-koat?

Thi Sim-lan menggigit bibir, sedapatnya menahan perasaannya. Bibir sampai berdarah, darah terasa asin, tapi hatinya terasa pahit.

Tapi siapa yang tahu akan kepahitgetiran hatinya?

Si singa Gila Thi Cian masih terus muring-muring, berulang-ulang ia mengentak kaki, dengan melotot ia menggerutu, “Hoa Bu-koat si bocah itu benar-benar keterlaluan, selaku bapak mertua aku ini tidak menjadi soal, tapi paling tidak dia kan mesti kemari sejenak, bicaralah sebentar dengan anak Lan.”

“Eh, kenapa kau jadi uring-uringan sendiri?” ujar si nenek Siau. “Ketahuilah, setelah pertarungan ini, selekasnya nama bakal menantumu akan termasyhur ke seluruh dunia, mendapatkan menantu begitu baik, masa kau masih kurang puas?”

“Saat ini, sebelum namanya terkenal saja sudah menyepelekan diriku sebagai mertuanya, kalau sudah termasyhur apalagi?” ujar Thi Cian.

“Ini pun tidak dapat menyalahkan dia,” kata si nenek Siau pula. “Orang muda tentu berkulit muka lebih halus, kan malu dia disuruh menyembah pada sang mertua di depan umum begini. Apalagi saingan asmaranya juga sedang mengawasi dengan melotot di sebelah sana.”

Gemetar sekujur badan Thi Sim-lan mendengar percakapan kedua orang tua ini. Kalau boleh, sungguh ia ingin tinggal pergi sekarang juga ke tempat jauh.

Akan tetapi sekarang ia belum dapat tinggal pergi, ia masih ingin mengucapkan sesuatu ....

Angin tiba-tiba mengembus, suasana terasa mencekam, alam ini seakan-akan penuh diliputi hawa pembunuhan.

Siau-hi-ji mengkeretkan kuduknya dan berkata, “Kencang amat tiupan angin ini, rasanya menjadi dingin, mestinya kupakai baju rangkap.”

Yan Lam-thian mengernyitkan dahi, ucapnya dengan suara kereng, “Apakah kau merasa tidak tahan?”

“Jangan khawatir Paman, masa tubuhku selemah itu?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jika Lwekang seorang sudah mencapai tingkatan yang cukup, meski tidak mutlak dapat menahan hawa dingin, paling sedikit pasti tidak akan takut dingin seperti orang biasa,” kata Yan Lam-thian dengan perlahan dan mantap.

Siau-hi-ji mengiakan.

Lalu Yan Lam-thian menyambung pula, “Kungfu yang kulatih adalah intisari peyakinan beberapa Cianpwe dunia persilatan, boleh dikatakan setiap jurus adalah hasil pengamatan yang sempurna. Apalagi pondasimu sudah terpupuk baik oleh paman Ban sejak kau masih kecil sehingga Kungfumu tidak menjurus ke arah sesat. Karena adanya semua persyaratan ini, makanya aku tidak merasa khawatir mempertandingkan kau dengan Hoa Bu-koat.”

Kembali Siau-hi-ji mengiakan.

“Tapi sampai di mana tingkat latihanmu, sampai betapa kuat keuletanmu, inilah tidak kuketahui,” kata Yan Lam-thian pula. “Tapi kau sangat pintar dan cerdik, nasibmu juga selalu mujur. Satu-satunya yang masih kukhawatirkan adalah sifatmu yang kurang mantap, pikiranmu terlalu gopoh sehingga Kungfumu belum terlatih sempurna.”

Siau-hi-ji menunduk dan tertawa, katanya, “Dalam urusan lain memang sering kukerjakan dengan acuh tak acuh, tapi dalam hal berlatih Kungfu telah kulakukan dengan sepenuh tenaga dan mencurahkan segenap perhatian.”

“Baik sekali jika memang begitu,” kata Yan Lam-thian sambil manggut-manggut. Tiba-tiba ia bertanya pula, “Jika kau sudah pernah bergebrak dengan Hoa Bu-koat, apakah sudah kau selami pula sampai di mana ilmu silatnya?”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, jawabnya kemudian, “Bahwa Ih-hoa-kiongcu telah mendapatkan nama besar dan sudah lama termasyhur, dengan sendirinya ilmu silat mereka mempunyai ciri khasnya sendiri. Lebih-lebih Kungfu mereka yang disebut Ih-hoa-ciap-giok itu, sungguh membuat kepala pusing.”

Dia tertawa, lalu menyambung pula, “Untunglah, sedikit banyak Kungfu andalan mereka sudah dapat kuraba.”

Dengan sungguh-sungguh Yan Lam-thian berkata, “Ih-hoa-ciap-giok hanya satu di antara sekian macam Kungfu Ih-hoa-kiongcu yang lihai, betapa luas dan ruwet perubahan ilmu silat Ih-hoa-kiongcu memang tidak mudah diselami. Apalagi, lahiriah Hoa Bu-koat kelihatan tidak secerdik dirimu, tapi sebenarnya dia pasti tidak bodoh. Ilmu silatmu boleh dikatakan luas dan campur-campur, sebaliknya ilmu silat Hoa Bu-koat lebih matang dan lebih dalam. Jika bergebrak dengan dia jangan sekali-kali menghadapi dia dengan keras melawan keras, paling baik berdayalah untuk menguras tenaganya, bila kekuatannya sudah mulai berkurang, itulah saatnya kau lancarkan serangan balasan.”

“Ya, hal ini pun sudah kuketahui,” kata Siau-hi-ji, “Pondasinya memang terpupuk lebih baik daripadaku, pertarungan nanti rasanya tidak banyak harapan untuk menang bagiku, tapi untuk ini aku telah menarik suatu hal yang sangat menguntungkan.”

“Dalam hal ilmu silat sama sekali tiada soal menarik keuntungan segala,” ucap Yan Lam-thian dengan nada bengis. “Jika kau ingin menarik keuntungan dari lawan, ini berarti kau sudah kalah lebih dulu.”

Dengan khidmat Siau-hi-ji menjawab, “Ya, cuma ... cuma betapa cetek atau dalam ilmu silatnya sudah seluruhnya kuketahui, sedangkan inti ilmu silatku sama sekali tak diketahui olehnya, sebab selama ini tidak pernah kupamerkan ilmu silatku yang sejati di depan umum.”

Sorot mata Yan Lam-thian menampilkan rasa terhibur dan bersyukur, ucapnya sambil manggut-manggut, “Bagus, bagus sekali. Tahu kemampuan sendiri dan kenal kekuatan pihak lawan, cara begini barulah dapat menang dalam setiap pertempuran.”

Mendadak Siau-hi-ji tertawa, tanyanya, “Paman Yan, aku pun ingin tanya sesuatu padamu.”

“Baik, katakanlah,” jawab Yan Lam-thian.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya kemudian dengan tersenyum, “Apabila paman Yan bergebrak dengan Kiau-goat Kiongcu, kira-kira berapa bagian kemenangan berada pada paman Yan, berapa persen menurut keyakinan paman.”

Yan Lam-thian memandang jauh pada gumpalan awan yang menyerupai sekuntum bunga raksasa yang mengambang di udara, ia termenung agak lama, tiba-tiba ujung mulutnya yang menunjukkan kekerasan hati dan kebulatan tekadnya itu menampilkan secercah senyuman yang jarang terlihat.

Ia tidak menjawab pertanyaan Siau-hi-ji itu, namun Siau-hi-ji juga tidak memerlukan jawabnya lagi. Tanpa terasa tersimpul juga senyuman berarti pada wajah anak muda itu.

Ban Jun-liu yang hanya mendengarkan saja di samping tadi, tiba-tiba berkata, “Waktu sudah hampir tiba, apakah persiapanmu sudah cukup?”

Siau-hi-ji mengangguk, tiba-tiba ia pun berkata, “Aku pun masih ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan kepada paman Ban.”

Ban Jun-liu tertawa, katanya, “Belum pasti dapat kujawab semua pertanyaanmu, sebab apa yang kuketahui rasanya tidak lebih banyak daripadamu.”

“Tapi urusan ini paman Ban pasti tahu,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Segera ia mengeluarkan sebuah cawan arak dengan sangat hati-hati dan diangsurkan kepada Ban Jun-liu, katanya, “Di dalam cawan ini masih ada setetes arak, kucuriga arak ini beracun, bahkan semacam racun yang tak berwarna dan tak berbau. Coba paman Ban memeriksanya arak ini sesungguhnya beracun atau tidak?”

Ban Jun-liu terima cawan arak itu, dengan jari kecilnya dia celup setitik air arak, lalu diciumnya beberapa kali. Kemudian dijilatnya perlahan dengan lidah sejenak, kemudian baru dia berkata, “Arak ini ….”

“Nanti dulu, paman,” mendadak Siau-hi-ji memotong ucapan Ban Jun-liu. “Apakah di dalam arak ini mengandung racun atau tidak, untuk sementara ini paman Ban jangan memberitahukan padaku.”

“Kenapa begitu?” tanya Ban Jun-liu.

“Sebab kalau di dalam arak memang betul beracun, maka aku akan sangat marah,” tutur Siau-hi-ji dengan menghela napas gegetun. “Tapi jika di dalam arak tiada mengandung racun, maka aku akan merasa berduka pula. Sebab itulah jangan paman Ban katakan sekarang, nanti setelah pertempuran ini selesai barulah paman Ban beritahukan padaku, jika sekarang paman Ban memberi keterangan padaku, bisa jadi perhatianku akan terpencar.”

Ban Jun-liu menjadi heran, ia tidak tahu apa maksud anak muda ini. Tapi ia pun menurut, dengan tertawa ia berkata, “Baiklah, dasar kau ini memang anak binal, setiap tindak tandukmu memang sukar diraba orang lain.”

Siau-hi-ji tersenyum lega.

Tapi dalam hal ini agaknya Siau-hi-ji melupakan sesuatu.

Coba bayangkan, bagaimana jika Siau-hi-ji kalah dalam pertarungan maut nanti? Jika dia mati terbunuh, bukankah selamanya dia takkan mengetahui keterangan Ban Jun-liu itu?

*****

Para nona keluarga Buyung dan suami mereka dengan sendirinya dapat melihat keadaan di pihak Siau-hi-ji dan suasana di pihak Hoa Bu-koat sana. Mereka menjadi agak heran. Karena kedua pihak itu sangat berbeda.

“Kalian sudah lihat bukan?” demikian ucap Buyung Siang. “Siau-hi-ji dan Yan-tayhiap bercakap-cakap tidak habis-habisnya. Sebaliknya Hoa Bu-koat dan Ih-hoa-kiongcu hanya berdiri melenggong saja di sana.”

“Betul, tampaknya Ih-hoa-kiongcu sama sekali tidak memusingkan kalah atau menang Hoa Bu-koat dalam pertempuran ini,” kata Buyung San. “Aku pun heran, apakah tiada suatu kontak perasaan antara mereka guru dan murid?”

“Bisa jadi lantaran kedua Ih-hoa-kiongcu itu merasa yakin Hoa Bu-koat pasti akan menang dalam pertandingan nanti,” kata Lamkiong Liu dengan menghela napas.

Buyung San mencibir, ucapnya, “Kukira belum tentu. Meski Hoa- Bu-koat memang cerdas dan tinggi ilmu silatnya, tapi Siau-hi-ji juga bukan lawan yang empuk. Jika bicara tentang kecerdikan dan reaksi menurut keadaan, kukira tiada seorang pun dapat menandingi dia.”

“Betul,” tukas Buyung Siang. “Dalam hal keuletan memang harus diakui Hoa Bu-koat lebih kuat, tapi pertarungan antara dua jago, melulu kekuatan saja tidak banyak gunanya, yang utama adalah bertempur menurut gelagat, bergerak sesuai keadaan, mengatasi musuh pada kesempatan pertama.”

“Setahuku,” Cin Kiam ikut bicara, “pengetahuan ilmu silat Siau-hi-ji sangat luas, apa yang dipelajarinya terdiri dari berbagai aliran, pertempuran ini kupercaya 60% akan dimenangkan oleh dia.”

“Kukira lebih dari itu,” tukas Buyung San.

Agaknya tuan-tuan dan nyonya-nyonya keluarga Buyung itu tidak bersimpati kepada Hoa Bu-koat, sebaliknya sepenuhnya mereka condong pada pihak Siau-hi-ji dan mengharapkan anak muda ini yang menang.

Tapi sekarang menjadi sangat berbeda dengan rombongan Thi Cian sana.

Si nenek Siau sedang berkata kepada Thi Cian, “Eh, coba katakan, menurut penilaianmu, pertarungan bakal menantumu ini berapa persen kira-kira bisa menang?”

“Seratus persen! “ jawab Thi Cian tanpa pikir.

Si nenek Siau tertawa geli, katanya, “Hihi, jangan terlalu yakin, kulihat lawannya si ikan kecil itu pun bukan orang yang mudah dilayani. Apalagi di belakangnya mendapat dukungan Yan Lam-thian.”

“Biarpun didukung Yan Lam-thian juga tiada gunanya, memangnya Yan Lam-thian mewakili dia bertempur!” kata Thi Cian. “Betapa pun pintarnya bocah ini, paling-paling cuma anak didik sebangsa Li Toa-jui, To Kiau-kiau dan sebagainya, memangnya apa kemampuannya? Andaikan lihai juga terbatas.”

“O, jadi dia cuma anak didik kawanan Ok-jin begudalmu itu?” tanya si nenek Siau. “Tahu begitu, tentu tidak sudi kudatang ke sini, hanya membuat kantuk saja nanti pertarungan mereka ini, tadinya kukira dia adalah murid Yan Lam-thian.”

Mendadak terlihat Yan Lam-thian tampil ke muka dan berseru, “Baiklah, sudah tiba saatnya, majulah kau!”

Meski ucapannya ditujukan kepada Siau-hi-ji, tapi suaranya lantang dan menggema angkasa pegunungan sehingga dapat juga didengar oleh Hoa Bu-koat dan siapa saja.

Segera Hoa Bu-koat bangkit dari tempatnya, lebih dulu ia memberi hormat kepada Ih-hoa-kiongcu, katanya, “Adakah sesuatu pesan dari Suhu?”

“Tidak ada lagi,” jawab Kiau-goat Kiongcu, “Majulah kau, kuyakin kau pasti tidak akan membuat kecewa padaku.”

Meski datar saja nadanya, tapi tidak urung bergolak juga perasaannya.

Detik terakhir dimulainya pertarungan maut ini akhirnya tiba juga.

Sekali ini, betapa pun Ih-hoa-kiongcu tidak akan membiarkan pertarungan ini batal setengah jalan lagi. Sekali ini, antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat harus roboh salah satu.

Rasanya tidak mudah untuk menggambarkan betapa tegang dan terangsang perasaan Kiau-goat Kiongcu sekarang, satu-satunya orang di dunia ini yang dapat menyelami perasaannya hanyalah Lian-sing Kiongcu.

Wajah Lian-sing Kiongcu kelihatan jauh lebih pucat daripada biasanya. Waktu Bu-koat berpaling ke sana, dia ternyata menghindari sinar mata anak muda itu, rupanya ia khawatir kalau-kalau dirinya tidak tahan perasaannya dan mungkin akan membuka rahasia yang telah disimpannya selama dua puluh tahun itu.

Sebenarnya watak Lian-sing Kiongcu juga dingin, tapi selama dua-tiga hari terakhir ini, ia merasa dirinya sudah agak berubah, sebab di dalam gua sana dia telah banyak mengalami hal-hal yang belum pernah ditemuinya selama hidup ini. Selamanya tak pernah terbayang olehnya bahwa hal demikian ini dapat terjadi atas dirinya.

Selama hidupnya tak pernah terpikir olehnya, bagaimana rasanya orang yang menghadapi ajal, selama hidupnya tidak pernah kenal apa artinya takut.

Selamanya dia tidak pernah bersandar pada perlindungan orang lain, ia pun tidak pernah merasa harus berterima kasih kepada siapa pun juga.

Dengan sendirinya ia pun tidak pernah kelaparan juga tidak pernah minum-minum hingga mabuk. Lebih-lebih tidak pernah terpikir bahwa pada suatu hari dia akan berbaring di dalam pelukan seorang lelaki.

Tadi semua yang belum pernah dialaminya selama hidup beberapa puluh tahun itu, hanya dalam waktu dua-tiga hari saja telah terjadi seluruhnya atas dirinya. Bahkan semuanya berkesan, setiap kejadian itu masih terbayang sejelas dan sedalam itu. Meski dia berusaha melupakan semua itu, tapi sukar.

Selama dua hari ini, bilamana teringat pada Siau-hi-ji, hatinya lantas pedih. Betapa pun Siau-hi-ji cukup baik padanya, sebaliknya bagaimana dirinya terhadap anak muda itu?

Rencana keji dan kejam ini boleh dikatakan timbul dari gagasannya, dialah yang mengaturnya.

Dan sekarang, nasib Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat yang tragis itu segera akan terjadi, namun asalkan dia mau berucap satu kata saja, maka semuanya itu akan berubah. Akan tetapi dia justru tidak dapat melakukannya, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.

Siau-hi-ji memberi hormat dengan khidmat kepada Yan Lam-thian dan Ban Jun-liu, habis itu ia lantas maju ke tengah gelanggang. Di situ Hoa Bu-koat sudah menunggunya.

Namun sedikit pun Siau-hi-ji tidak tergesa-gesa, sama sekali ia tidak gelisah, lebih dulu ia mendekati Han-wan Sam-kong, dengan tertawa ia tanya, “Bagaimana peruntunganmu selama dua hari ini?”

Meski sejak tadi Han-wan Sam-kong terus mengawasi anak muda itu, tapi sekarang dia datang padanya, Ok-tu-kui menjadi terharu, matanya menjadi agak merah, hampir-hampir ia tidak dapat bersuara apa pun. Selang agak lama barulah ia tertawa, katanya, “Keparat, akhir-akhir ini anginku benar-benar lagi meniup keluar, kalah terus-menerus, sampai kepala pusing tujuh keliling, semuanya ludes. Dalam keadaan bokek, apa yang dapat kupertaruhkan?”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Haha, katanya engkau ini Ok-tu-kui, masa tidak tahu hukum alam yang mengatakan ‘sesuatu kalau sudah mencapai puncaknya pasti akan terjadi arus balik’, jika pada saat-saat paling krisis engkau bertaruh sekali lagi, pasti kemujuranmu akan datang.”

Han-wan Sam-kong mengangguk, ucapnya, “Ya, masuk di akal.”

“Dan sekarang engkau ingin bertaruh atau tidak?” tanya Siau-hi-ji.

“Sekarang?” Han-wan Sam-kong menegas dengan melenggong.

“Ya, sekarang,” kata Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip. “Bila kukatakan di tubuhku sekarang ada seekor kutu busuk, kau percaya tidak?”

Han-wan Sam-kong jadi tertawa geli, katanya, “Haha, masa di tubuhmu ada kutu busuk segala?”

“Jika tidak percaya, ayolah kita bertaruh?” tantang Siau-hi-ji.

“Taruhan apa?” tanya Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

“Taruhannya juga seekor kutu busuk,” jawab Siau-hi-ji.

“Hahaha,” Han-wan Sam-kong bergelak tertawa. “Jika aku kalah, masa aku harus mencari seekor kutu busuk untukmu? Apakah kutu busuk di tubuhmu itu ingin dicarikan jodoh?”

“Bukan begitu cara pertaruhan kita,” kata Siau-hi-ji.

“Habis cara bagaimana?” tanya Ok-tu-kui.

“Jika di tubuhku tidak ada kutu busuk, kau harus menangkap seekor kutu busuk untukku dan akan kupiara kutu busuk itu di tubuhku,” kata Siau-hi-ji. “Sebaliknya jika kau kalah segera kuberikan kutu busuk yang berada di tubuhku ini kepadamu dan kau harus memeliharanya di tubuhmu ....”

Belum habis ucapannya, bergelak tertawalah Han-wan Sam-kong, serunya, “Piara anjing atau piara kucing dan piara kura-kura sekali pun belum pernah kulihat, tapi sengaja piara kutu busuk, haha, ini kerja macam apa? Apakah takkan gatal digigit kutu busuk setiap hari?”

“Jadi kau tidak berani bertaruh denganku?” tanya Siau-hi-ji.

“Kuhidup lima puluh delapan tahun sampai sekarang, belum pernah kutolak tantangan bertaruh siapa pun juga,” jawab Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

“O, jadi kau berani?” tanya Siau-hi-ji pula.

“Ya, memangnya siapa takut? Ayo, jadi!” jawab Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

Siau-hi-ji terdiam sejenak, mendadak ia menghela napas, katanya, “Kau memang pemberani. Baiklah, anggap aku yang kalah.”

“Hahaha, memang sudah kuketahui kau cuma main gertak belaka, masa aku dapat kau tipu?” seru Han-wan Sam-kong dengan terbahak-bahak.

“Baiklah, engkau sudah menang, sekarang lekaslah mencarikan seekor kutu busuk untukku,” kata Siau-hi-ji. “Tapi ingat, harus kutu busuk yang masih hidup. Jika seketika tak dapat kau temukan diriku, sementara boleh titip dulu di tempatmu kutu busuk itu, piaralah yang baik supaya gemuk. Aku cuma suka pada kutu busuk gemuk, tidak suka yang kurus.”

Untuk sejenak Han-wan Sam-kong jadi melenggong, ia tertawa, katanya, “Haha, tampaknya aku toh tetap tertipu olehmu, setan cilik, cuma kau saja yang dapat mengemukakan pertaruhan cara begini.”

Mendadak suara tertawanya berhenti, ia pandang bayangan punggung Siau-hi-ji dan menampilkan perasaan sedih, ia bergumam, “Apakah karena menyadari dirinya pasti akan gugur, makanya dia mengajak pertaruhan terakhir denganku?”

Dalam pada itu Siau-hi-ji sedang mendekati anggota keluarga besar Buyung, dengan tertawa ia menyapa, “Baik-baiklah kalian semua?”

Sebagai anggota tertua, Tan Hong-ciau mewakilkan para kerabatnya menjawab, “Terima kasih, kami semuanya baik-baik, semoga engkau pun baik-baik.”

Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya, “Pertanyaanku ini sebenarnya tidak perlu kuajukan, jika kalian masing-masing bisa mempersunting istri cantik dan bijaksana begini, tentu saja segala sesuatunya berjalan dengan baik-baik.”

“Terima kasih atas pujianmu ....” dengan kikuk Buyung Siang menjawab.

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa pula dan berkata, “Sebenarnya aku pun hampir menjadi sanak keluargamu, cuma sayang, agaknya aku memang tidak mempunyai rezeki sebesar itu.”

Buyung Siang seperti menghela napas gegetun, ucapnya dengan tertawa, “Ah, mungkin adik Kiu yang tidak ....” Dia tidak melanjutkan ucapannya, sebab dia tidak sanggup.

Siau-hi-ji tepuk-tepuk pundak Koh Jin-giok, tanyanya dengan tertawa, “Baikkah engkau akhir-akhir ini?

“Baik, baik,” jawab Koh Jin-giok dengan muka merah.

“Rezekimu juga besar, aku pun sangat kagum dan iri padamu,” kata Siau-hi-ji dengan menyesal. “Sebenarnya engkau pun masih terhitung pamanku, Kohtio atau Ihtio (paman, suami adik ayah atau ibu)”

Koh Jin-giok melengak bingung, ia menegas, “Kohtio atau Ihtio?”

“Ya, begitulah,” kata Siau-hi-ji. Lalu dia berpaling dan tertawa kepada Siau-sian-li, katanya pula, “Apakah kau masih ingat, waktu untuk pertama kalinya kita bertemu, bukankah engkau mengharuskan aku memanggil bibi padamu?”

Muka Siau-sian-li seketika berubah merah, jawabnya, “Oo, aku ... aku tidak ingat lagi.”

“Tapi masih kuingat dengan jelas,” kata Siau-hi-ji pula. “Malahan waktu itu aku salah panggil sehingga mendapat persen tiga kali tamparan darimu.”

“Oo, masa ... masa begitu?” ujar Siau-sian-li.

Padahal mana bisa dia melupakan kejadian dahulu, malahan setiap kata dan setiap hal paling kecil sekalipun masih dapat diingatnya dengan jelas.

Masih teringat olehnya waktu Siau-hi-ji kontan membalas tiga kali tamparannya, bahkan anak muda itu berkata kepadanya, “Kutahu selamanya kau takkan melupakan diriku, sebab perempuan pasti takkan melupakan lelaki pertama yang pernah memukulnya, seperti halnya perempuan yang pasti takkan lupa kepada kekasihnya yang pertama ....”

Yang paling tidak dapat dilupakan selamanya adalah waktu Siau-hi-ji balas menampar kedua kalinya, anak muda itu berkata, “Kau pukul aku dengan tangan, akan kubalas pukul dengan mulut, pukulan mulutku tentu akan jauh lebih ringan daripada pukulan tanganmu ....” Habis itu mulutnya lantas dikecup oleh anak muda itu.

Kecupan hangat, kecupan pertama bagi Siau-sian-li takkan terlupakan untuk selama hidupnya, selamanya dia takkan lupa pada senyuman Siau-hi-ji yang “menggemaskan” itu.

Bilamana terbayang senyuman anak muda itu, badan Siau-sian-li akan bergetar. Ia sendiri tidak tahu apakah itu tandanya benci atau cinta? Sama sekali ia tidak dapat membedakannya.

Dan sekarang, dia bukan lagi “Siau-sian-li” melainkan “Koh-hujin”, nyonya Koh.

Sebaliknya Siau-hi-ji masih tetap Siau-hi-ji, sedikit pun tidak berubah, sedikit pun tidak berkurang. Kalau ada kelebihannya ialah bertambah tegap dan ganteng.

Wajah anak muda itu masih tetap dihiasi oleh senyuman yang “menggemaskan” itu.

Diam-diam Siau-sian-li jadi khawatir kalau-kalau anak muda itu membeberkan semua kejadian dahulu.

Syukurlah Siau-hi-ji tidak mengusiknya lagi, dia malah menghela napas gegetun sambil bergumam, “Ai, daya ingat perempuan biasa ya lebih baik daripada lelaki, bisa jadi aku sendiri yang salah ingat, mungkin yang memukulku waktu itu bukanlah kau, tapi seekor babi betina atau ....”

Kembali Siau-sian-li geregetan lagi, kalau bisa dia ingin gigit anak muda itu sekeras-kerasnya.

Tapi mengingat kedudukannya sekarang, terpaksa ia hanya menunduk saja, semua kejadian masa lalu dikuburnya di dalam lubuk hati untuk selamanya.

Thi Sim-lan khawatir kalau-kalau Siau-hi-ji juga akan mendekatinya. Sukar untuk dibayangkan apa yang akan diperbuatnya apabila anak muda itu benar mendekatinya.

Dia lebih-lebih takut kalau Siau-hi-ji akan menyinggung kejadian-kejadian masa lampau yang penuh suka dan duka, menggemaskan dan juga menyenangkan itu.

Padahal tanpa diungkit kembali oleh Siau-hi-ji, setiap kejadian yang telah lalu itu masih tetap diingatnya dengan jelas.

Teringat olehnya ketika Siau-hi-ji menyatakan akan “menggeledah” tubuhnya, seketika mukanya merah jengah, hati pun berdetak keras. Malahan suatu ketika anak muda itu membohongi dia bahwa pada waktu dia tak sadarkan diri anak muda itu telah membuka pakaiannya dan memeriksa tubuhnya dari ujung kuku hingga mercu kepala. Waktu itu ia benar-benar hampir menangis dan kheki setengah mati.

Tapi sekarang kedudukan dirinya juga sudah berlainan. Segala suka-duka di masa lampau sudah lalu bersama angin dan ia bersumpah takkan mengingatnya lagi.

Syukurlah Siau-hi-ji memang tidak mendekatinya, bahkan memandang sekejap padanya pun tidak.

Thi Sim-lan menunduk, entah bersyukur dan atau merasa aman? Atau kecewa?

Dalam pada itu yang paling tidak sabar adalah Thi Cian, si Singa Gila, berulang-ulang ia mengentakkan kaki dan menggerutu, “Brengsek! Mau apa lagi bocah ini? Mengapa Ih-hoa-kiongcu tidak menyuruhnya lekas mulai?”

Tapi si nenek Siau lantas menggeleng dan berkata, “Rupanya kau tidak paham aturan?”

“Aturan apa?” tanya Thi Cian.

“Soalnya Ih-hoa-kiongcu mengetahui apa yang dilakukan bocah itu bukan sengaja mengulur waktu atau kehendak lain, tapi dia sedang mengucapkan selamat berpisah selamanya dengan setiap orang yang dikenalnya,” demikian tutur si nenek Siau dengan menghela napas. “Makanya, Ih-hoa-kiongcu tidak tega mendesaknya.”

Betul atau tidak Siau-hi-ji sedang menyampaikan salam berpisah untuk selamanya dengan setiap orang yang dikenalnya, nyatanya dia memang menghampiri setiap orang yang dikenalnya, kecuali Thi Sim-lan tentunya.

Akhirnya Siau-hi-ji menuju juga ke arah Hoa Bu-koat.

Menyaksikan Siau-hi-ji menyampaikan salam perpisahan dengan setiap kenalannya, Bu-koat sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya sendiri, sebab cuma dia sendiri yang tahu bahwa Siau-hi-ji pasti takkan mati.

Dia sudah berjanji kepada Thi Sim-lan, demi memenuhi janjinya itu, dia sudah bertekad akan mengorbankan jiwanya sendiri.

Mati, bukanlah sesuatu yang mudah. Seorang kalau sudah mendekati ajalnya baru tahu hidup ini memang berharga dan menyenangkan, karena itulah berat rasanya untuk meninggalkan kehidupan ini.

Namun cinta Thi Sim-lan terlampau mendalam terukir di lubuk hatinya dan tak dapat dihapuskan. Bilamana ada dua hal yang tak mungkin diperolehnya sekaligus, maka pasti dia akan mengorbankan jiwanya dan memilih cinta.

Waktu melihat betapa Han-wan Sam-kong, Siau-sian-li dan lain-lain sama menaruh simpati terhadap Siau-hi-ji, betapa mereka sayang dan berat untuk berpisah dengan Siau-hi-ji, sungguh tidak keruan perasaan Hoa Bu-koat.

Sekarang, dia sudah bertekad akan gugur demi cinta, akan tetapi tiada satu pun sasaran yang dapat disampaikan salam perpisahan untuk selamanya.

“Setelah kumati, adakah yang akan berduka bagiku? Siapakah yang akan menangis bagiku?” demikian ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

Dia hampir tidak tahan dan ingin lari ke depan Thi Sim-lan serta merangkulnya dan menangis sepuas-puasnya. Akan tetapi ia tidak berbuat demikian, ia pun tidak dapat berbuat-demikian.

Ia hanya dapat berdiri tegak di tempatnya dan menantikan datangnya Siau-hi-ji ....

Dia hanya dapat menunggu kedatangan Siau-hi-ji untuk membunuhnya.

Akhirnya dua anak muda itu berdiri berhadapan. Duel segera akan dimulai.

Di dunia Kangouw ini, sebenarnya setiap hari, setiap jam, setiap detik, entah betapa banyak orang yang melakukan pertarungan maut. Akan tetapi, selama beratus tahun, bahkan beribu tahun, mungkin tiada duel yang lebih menyedihkan dan mengharukan seperti duel sekarang ini.

Sebab duel ini lain daripada yang lain. Kedua orang yang harus duel ini sama-sama tidak ingin membunuh pihak lawan, keduanya lebih suka mengorbankan dirinya sendiri daripada membunuh lawannya.

Hal ini benar-benar belum pernah terjadi di dunia Kangouw, yang lebih mengharukan lagi adalah dalam pertarungan maut ini, yang mati jelas menyedihkan, tetapi nasib bagi yang hidup justru akan lebih tragis.

Malahan, jauh sebelum duel ini dimulai, bahkan jauh sampai 20 tahun yang lalu kedua anak muda ini sudah ditakdirkan hanya ada satu pilihan, yaitu mati.

Dan kedua orang ini justru adalah saudara kembar sekandung.

Setiap orang yang hadir, kecuali Ih-hoa-kiongcu tentunya, bilamana mengetahui latar belakang duel maut ini, rasanya pasti akan berduka dan meneteskan air mata. Cuma sayang, sebelum kedua anak muda ini mati salah satu, siapa pun tidak mengetahui rahasia ini.

Sekarang, seluruh hadirin sama merasa kagum dan tertarik oleh ilmu silat mereka yang aneh dan tinggi itu. Sebab, meski kedua anak muda itu sama-sama mempunyai tekad akan mengorbankan dirinya sendiri, tapi mereka pun sama-sama berwatak ingin menang.

Walaupun mereka sanggup menghadapi kematian dengan tertawa, tapi mereka pun juga ingin menjaga harga diri, tidak ingin dipandang rendah oleh orang lain.

“Mulai!”

Begitu mendengar aba-aba Yan Lam-thian, serentak kedua orang mulai bergebrak.

Agaknya mereka sudah bertekad bulat, andaikan harus mati, sebelum ajal mereka ingin memperlihatkan segenap Kungfu yang dimiliki, mati pun harus berlangsung secara gemilang.

Oleh karena itulah, belum lagi ratusan jurus mereka saling bergebrak, tertampaklah macam-macam jurus serangan yang aneh dan lihai.

Siapa pun tidak nyana kedua anak muda belia mempunyai Kungfu setinggi ini.

Setiap orang terkesima. Ada yang melongo dan gegetun karena kepandaian sendiri jauh ketinggalan dibandingkan kedua anak muda itu. Ada yang berdebar-debar mengikuti serangan yang lihai itu. Ada pula yang manggut-manggut setiap ada tipu serangan yang indah memesona.

Hanya perasaan Thi Sim-lan saja yang berbeda daripada orang lain.

Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji tidak bicara apa pun sebelum mereka bergerak. Bisa jadi lantaran mereka merasa apa yang hendak mereka bicarakan sudah habis dan tiada yang perlu dikatakan lagi sekarang.

Hoa Bu-koat juga tidak bicara apa pun kepada Thi Sim-lan, meski nasib nona itu sesungguhnya sudah terikat menjadi satu bersama dia, tak perlu disangsikan lagi nona itu adalah sebagian daripada kehidupan Bu-koat sendiri.

Namun pada sebelum kedua anak muda itu bergebrak, sekilas Thi Sim-lan melihat Hoa Bu-koat telah memandang sekejap padanya. Ya, hanya sekejap saja.

Tapi meski cuma memandangnya kurang sekejap saja, namun sudah melebihi ucapan beribu kata dan seratus kalimat.

Hanya melihat sinar matanya saja tahulah Thi Sim-lan bahwa anak muda itu sedang mengucapkan selamat berpisah selamanya kepadanya, sedang menyatakan tekad isi hatinya yang lebih kukuh daripada gunung dan lebih dalam daripada laut, yaitu cintanya.

Sim-lan tahu pandangan sekejap Hoa Bu-koat itu sama dengan ucapan: “Aku pasti tidak mengingkari harapanmu, Siau-hi-ji pasti takkan mati, jangan khawatir.”

Hati Thi Sim-lan sudah hancur luluh.

Yang diharapkan, kini memang akan terlaksana, tapi apakah ini benar-benar sesuai yang diharapkannya?

Apakah dia benar-benar mengharapkan Hoa Bu-koat mati?

Dipandangnya Hoa Bu-koat dengan air mata meleleh di pipinya, “Aku pun pasti takkan mengingkari harapanmu, kau pun jangan khawatir!”

Diam-diam ia mundur ke belakang, meninggalkan orang banyak. Betapa pun dia tidak tega menyaksikan Hoa Bu-koat mati baginya, mati di depannya. Sebab Bu-koat tidak cuma kekasihnya, suaminya, tapi juga sahabatnya, sukmanya, jiwanya

Awan berarak menyelimuti pegunungan yang suram ini.

So Ing berbaring di bawah pohon, termangu-mangu memandangi gumpalan awan yang mengapung di udara, air matanya sudah habis tercucur sejak tadi.

Sebab sukmanya, jiwanya, kekasihnya, suaminya, saat ini pun sedang melakukan duel maut dengan orang lain di pegunungan yang diliputi gumpalan awan kemawan ini.

Tapi dia sendiri sama sekali tidak mengetahui bagaimana hasil daripada duel itu.

Apakah Siau-hi-ji menang? Atau kalah? Hidup atau mati? ....

So Ing kucek-kucek matanya, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Mengapa aku masih memperhatikan dia? Ada sangkut-paut apa antara dia dengan aku?”

Ia ingin berdiri, ia coba menguatkan dirinya, namun bukan cuma hatinya saja hancur, seluruh tubuhnya seakan-akan juga sudah luluh, mana sanggup berdiri lagi.

Sekonyong-konyong didengarnya suara orang menangis memilukan di balik pohon, seperti ada seorang yang baru saja menjatuhkan diri di sebelah pohon sana.

Pohon ini sangat besar, mungkin lebih daripada pelukan tiga orang, makanya orang itu tidak tahu So Ing berada di sebelah sini.

Namun So Ing segera dapat mengenali itulah suara Thi Sim-lan.

Ia menjadi heran, “Mengapa Thi Sim-lan datang ke sini? Sebab apa dia sedemikian berduka?”

“Apakah duel itu sudah berakhir? Apakah Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sudah ada yang mati salah satu? Akan tetapi, siapakah yang mati?”

Sekuatnya So Ing merangkak bangun dan menubruk ke sebelah sana.

Tentu saja Thi Sim-lan terkejut, serunya, “He, kau pun berada di sini?”

So Ing memegangi lengan Thi Sim-lan dengan erat-erat, tanyanya, “Apakah dia ... dia sudah mati?”

Thi Sim-lan mengangguk dengan sedih, kembali ia menangis lagi.

Seketika kepala So Ing terasa pusing, sekujur badan serasa runtuh seluruhnya. Belum lagi dia jatuh terkulai lebih dulu ia sudah menangis tersedu-sedu.

Kedua nona itu duduk berhadapan di bawah pohon dan sama-sama menangis sedih, entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba Thi Sim-lan bertanya, “Siau-hi-ji kan tidak mati, apa yang kau tangisi?”

So Ing jadi melengak, tanyanya dengan tersendat-sendat, “Siau ... Siau-hi-ji tidak mati? Ap ... apakah yang mati Hoa ... Hoa Bu-koat?”

“Ehmm,” Thi Sim-lan mengangguk.

Rupanya “dia” yang dimaksudkan Thi Sim-lan lain daripada “dia” yang dimaksudkan So Ing.

Keruan So Ing terkejut dan bergirang pula, tapi mendadak ia berseru, “Ah, aku tidak percaya, mana bisa Siau-hi-ji membunuh Hoa Bu-koat!”

“Bukan dia yang membunuh Hoa Bu-koat, tapi Bu-koat membunuh dirinya sendiri,” jawab Sim-lan.

“Dia membunuh dirinya sendiri?” So Ing menegas. “Memangnya sebab apa?”

Thi Sim-lan menggigit bibir sehingga berdarah, serunya dengan parau, “Sebab ... sebab aku yang memohon dia agar jangan membunuh Siau-hi-ji, dia menerima permintaanku, terpaksa dia sendiri harus mati ....”

So Ing jadi melongo, ia pandang Thi Sim-lan dengan terbelalak seakan-akan baru pertama kali melihatnya.

Selang agak lama barulah So Ing berkata dengan tandas, “Tentunya kau tahu Hoa Bu-koat sudah bertekad untuk mati dan kau tetap minta dia jangan membunuh Siau-hi-ji?”

Sekujur Thi Sim-lan seperti mengejang, ia mengertak gigi dengan sangat menderita.

“Sudah jelas-jelas tahu begitu, masih juga Hoa Bu-koat memenuhi permintaanmu?” tanya So Ing pula.

Sorot mata Thi Sim-lan yang menderita itu menampilkan setitik perasaan terhibur, ucapnya, “Ya, dia memang orang yang berjiwa paling besar di dunia ini.”

“Tapi engkau, demi Siau-hi-ji, engkau tidak sayang menghendaki kematian orang yang berjiwa paling besar ini?”

“Aku ... aku ....” Thi Sim-lan tidak sanggup berucap pula.

So Ing menghela napas panjang, katanya, “Tak tersangka begini mendalam cintamu kepada Siau-hi-ji ....”

Mendadak Thi Sim-lan berteriak, “Tapi yang benar-benar kucintai bukanlah Siau-hi-ji!”

“Bukan Siau-hi-ji? Memangnya Hoa Bu-koat?”

“Betul, dialah yang kucintai, dialah yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku,” ucap Sim-lan dengan mencucurkan air mata. “Selamanya kau takkan tahu betapa dalam kucintai dia, tiada seorang pun yang tahu betapa dalam kucintai dia.”

“Tapi kau menghendaki dia mati,” kata So Ing.

Sim-lan menangis sambil mendekap kepalanya, katanya, “Betul, sebab aku pun sudah bertekad akan mati bersama dia.”

So Ing memandang Thi Sim-lan dengan melenggong. Selang sejenak barulah ia menghela napas, katanya, “Memangnya sebab apa kau berbuat demikian?”

Dengan menangis sedih Sim-lan menjawab, “Sebab aku mencintai Hoa Bu-koat dan Hoa Bu-koat juga mencintai diriku. Kami merasa berdosa terhadap Siau-hi-ji, maka kami ingin mati .... Hanya kematian saja yang dapat membalas kebaikannya.”

So Ing menghela napas panjang, ucapnya, “Aku tetap tidak paham. Meski aku pun perempuan, tapi tetap tidak memahami isi hatimu. Pantaslah lelaki suka bilang hati perempuan laksana jarum di dasar lautan yang sukar dijajaki ....”

Sampai di sini mendadak dilihatnya tubuh Thi Sim-lan mengejang, lalu mengkeret, meringkuk menjadi satu.

“He, kenapakah engkau?” seru So Ing kaget.

Mata Thi Sim-lan terpejam dengan rapat, wajahnya penuh rasa derita, namun ujung mulutnya menampilkan senyuman, senyuman yang penuh rasa gembira dan bahagia. Dengan sekata demi sekata ia berucap, “Sekarang dia sudah mati, aku pun akan mati, selekasnya kami akan berkumpul menjadi satu. Segala keburukan di dunia ini, segala kekotoran, kekejian dan segala kesengsaraan takkan menimpa diri kami lagi.”

“Omong kosong! Kau takkan mati,” seru So Ing sambil menggenggam tangan Thi Sim-lan.

Thi Sim-lan tersenyum pedih, ucapnya, “Aku sudah minum racun yang paling keras di dunia ini, tak bisa tidak aku pasti mati ....”

Sementara itu pertarungan antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sudah berlangsung hingga lebih lima ratus jurus.

Ilmu silat kedua orang sama-sama hebatnya laksana arus sungai Tiangkang yang bergulung-gulung tiada habis-habisnya, jurus aneh dan serangan lihai silih berganti hingga membuat penontonnya menggeleng kepala dan merasa gegetun.

Namun pertarungan maut ini jelas sudah mendekati akhirnya!

Ini tidak berarti kedua anak muda itu sudah kehabisan tenaga melainkan disebabkan mereka tidak ingin bertempur lebih lama lagi.

Si nenek Siau menggeleng-geleng kepala, katanya dengan menyesal, “Sayang, sungguh sayang!”

“Sayang apa?” tanya Thi Cian.

“Kedua anak muda itu adalah jenius persilatan yang sukar dicari selama beratus tahun ini, siapa pun yang mati di antara mereka sama-sama harus disayangkan,” kata si nenek Siau.

Padahal perasaan orang lain masa kurang gegetunnya daripada mereka? Bahkan Yan Lam-thian juga timbul rasa sayang dan kasihan terhadap Hoa Bu-koat. Biarpun dia berharap Siau-hi-ji akan menang, tapi ia pun tidak ingin menyaksikan ksatria muda belia dan cendikia seperti Hoa Bu-koat harus mati secara mengenaskan begini.

Ia tidak tahu kedua anak muda itu pada hakikatnya tiada satu pun yang dapat hidup, andaikan akhirnya salah satu di antaranya mati terbunuh.

Hanya Lian-sing Kiongcu saja yang mengetahui rahasia ini, air mukanya yang cantik pucat itu tanpa terasa pun menampilkan perasaan yang bergolak, gumamnya di dalam hati, “Mana boleh kubiarkan kedua anak ini mati? Aku sendiri yang membesarkan Hoa Bu-koat sejak dia keluar dari rahim ibunya. Siau-hi-ji bukan saja pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan juga menutupi rasa maluku, mana boleh kusaksikan kedua anak ini mati di depan mataku?”

Mendadak ia menerjang ke depan.

Dalam sekejap ini, dendam kesumat yang ditanggungnya selama dua-tiga puluh tahun itu telah terlupakan seluruhnya. Yang terasa hanya darahnya bergolak dan tak mampu menguasai perasaannya. Berbareng ia pun berseru, “Berhenti dulu, ingin kubicara dengan kalian!”

Cuma sayang suaranya sudah serak, sedangkan perhatian semua orang lagi terpusat ke tengah gelanggang yang mendebarkan hati ini sehingga tiada yang memperhatikan apa yang diucapkannya. Sebaliknya Kiau-goat Kiongcu telah dapat melihat ulah saudaranya ini. Baru saja Lian-sing membuka mulut, secepat kilat Kiau-goat melayang ke sampingnya terus memegang tangannya.

“Apa yang kau lakukan?” bentak Kiau-goat dengan bengis sambil memencet Hiat-to di tangan Lian-sing Kiongcu.

“Aku ... aku ....” hampir tak terdengar suara Lian-sing yang serak itu, air mata pun berderai, katanya, “Toaci, kejadian dua puluh tahun yang lalu itu sudah lama lalu, meski Kang Hong bersalah padamu, namun ... namun tulang belulang mereka sekarang pun sudah menjadi abu. Toaci, untuk ... untuk apa pula engkau masih benci kepada mereka?”

Sorot mata Kiau-goat Kiongcu beralih kepada Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, ucapnya dengan perlahan, “Apakah kau hendak mengampuni mereka?”

“Jika dapat kubuat mereka berterima kasih selama hidup padamu, apa pula jeleknya cara begini?” kata Lian-sing.

Mendadak air muka Kiau-goat Kiongcu berubah putih seakan-akan tembus cahaya, katanya, “Apakah hendak kau katakan rahasia diri mereka pada saat begini?”

“Kupikir ....” mendadak dilihatnya air muka Kiau-goat yang luar biasa itu, seketika Lian-sing Kiongcu menggigil dan tidak sanggup melanjutkan.

“Semenjak kau berusia tujuh, kau lantas suka mengacau dan bertengkar denganku, apa pun yang kusukai selalu berebut denganku, apa pun yang ingin kukerjakan selalu kau rusak dan kau gagalkan.”

Air muka Kiau-goat makin lama makin bening sehingga seperti batu es yang diselimuti kabut dingin.

Air muka Lian-sing juga berubah pucat, ucapnya dengan gemetar, “Jang ... jangan kau lupa, betapa pun aku ini kan adikmu!”

Mendadak ia membalik tubuh, dengan gerak cepat dia bermaksud melepaskan diri dari pegangan Kiau-goat Kiongcu. Namun pada saat yang sama tiba-tiba suatu arus dingin yang aneh dan menakutkan tersalur dari tangan Kiau-goat terus menembus ke hulu hatinya. Keruan Lian-sing kaget, jeritnya, “He, apa yang kau lakukan? Kau sudah gila?!”

Dengan perlahan dan tegas Kiau-goat berkata, “Aku tidak gila, cuma sudah dua puluh tahun aku menunggu hingga sekarang, maka siapa pun sekali-kali tidak boleh menggagalkannya, juga kau ....” Setiap kata diucapkan, setiap kali pula rasa dingin di tubuh Lian-sing Kiongcu bertambah hebat. Ketika Kiau-goat selesai bicara, sekujur badan Lian-sing juga hampir kaku membeku.

Lian-sing merasa dirinya seolah-olah telanjang bulat terendam dalam air danau, sedangkan air danau perlahan-lahan sedang membeku. Ia ingin meronta tapi tiada bertenaga sama sekali.

Hakikatnya Kiau-goat tidak memandang Lian-sing Kiongcu, yang diperhatikannya cuma pertarungan antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, perlahan-lahan ujung mulutnya menampilkan semacam senyuman aneh, katanya lirih, “Lihat, pertarungan itu sudah hampir berakhir, bilamana Kang Hong dan Hoa Goat-loh mengetahui anak kembar mereka sedang saling membunuh sendiri, mereka tentu menyesal akan perbuatan mereka di masa lampau itu.”

Bibir Lian-sing Kiongcu tampak gemetar, mendadak ia berteriak sekuatnya, “Kalian jangan saling labrak lagi, dengar tidak kalian? Sebab kalian sebenarnya adalah saudara sekandung!”

Kiau-goat hanya mendengus saja dan tidak merintangi teriakan adiknya itu, sebab meski Lian-sing telah berteriak sekuat tenaga, tapi yang dapat didengar orang lain hanya suara gemertuk giginya yang saling mengertak, pada hakikatnya tidak terdengar apa yang dikatakannya.

Tanpa terasa air mata bercucuran dari mata Lian-sing Kiongcu.

Selama berpuluh tahun, bisa jadi untuk pertama kalinya inilah dia menangis. Tapi air mata yang mengalir itu dalam sekejap membeku juga menjadi es.

Ia tahu nasib Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sekarang benar-benar tak dapat diubah oleh siapa pun juga, sebab orang yang tahu rahasia asal-usul kedua anak muda itu kini hanya tinggal Kiau-goat Kiongcu saja seorang. Sedangkan Kiau-goat sudah pasti takkan membongkar rahasia mereka itu, kecuali nanti bilamana Siau-hi-ji atau Hoa Bu-koat sudah roboh salah satu, tatkala mana segala persoalannya akan mencapai babak terakhir.

Akhir dari semua ini sungguh terlalu kejam dan tragis. Lian-sing Kiongcu tidak bisa melihatnya lagi, pada hakikatnya dia memang tidak sanggup melihatnya lagi.

bgp8_part1

Jilid 8. Bahagia Binal
Angin masih tetap meniup mendesir-desir, tapi kedengarannya tidak lagi menangis.

Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan saling berdekapan dengan diam saja. Kegelapan dan kesunyian yang tak terbatas ini memang seakan-akan karunia Thian bagi pasangan kekasih di dunia ini yang sedang tenggelam di lautan cinta.

Cinta adalah semacam bunga yang aneh, dia tidak memerlukan cahaya matahari, juga tidak memerlukan air embun, dalam kegelapan bunga cinta ini malah akan mekar terlebih indah.

Namun kegelapan perlahan mulai lalu, malam panjang akhirnya pergi, fajar telah menyingsing pula.

Mendadak Thi Sim-lan menghela napas panjang, katanya, “Hari sudah terang, cepat amat hari sudah terang!”

Bu-koat hanya memandangi keremangan fajar di luar dengan rawan dan tidak bersuara lagi.

Ia tahu saat bahagia yang dimilikinya selama hidup ini kini sudah tamat terbawa oleh datangnya cahaya sang fajar. Cahaya memang lebih sering membawakan harapan yang tak terkatakan bagi orang lain, tapi bagi Bu-koat sekarang hanya penderitaan belaka.

“Kau pikir hari ini dia akan datang atau tidak?” kata Sim-lan kemudian.

“Mungkin mau tak mau dia akan datang juga,” jawab Bu-koat.

“Betul,” kata Sim-lan dengan menghela napas, “Urusan toh harus diselesaikan cepat atau lambat, meski dia hendak lari juga tidak bisa lagi. Meski aku tidak berani membayangkan, tapi tak tahan rasanya untuk tidak membayangkan, bilamana fajar menyingsing pula esok, dunia ini entah akan berubah menjadi bagaimana keadaannya?”

“Esok pagi sang surya akan tetap terbit dengan cahayanya yang cemerlang, apa pun takkan terjadi perubahan,” ucap Bu-koat dengan tersenyum pedih.

“Akan tetapi bagaimana dengan kita? ....”

Mendadak Thi Sim-lan merangkul Bu-koat erat-erat, katanya pula dengan suara lembut, “Apa pun juga, sekarang kita sudah berada bersama, dibandingkan Siau-hi-ji kita tetap lebih beruntung. Dapat hidup sampai sekarang, tiada sesuatu lagi yang perlu kita sesalkan, betul tidak?”

Hati Bu-koat seperti disayat-sayat, jawabnya dengan menghela napas panjang, “Betul, sesungguhnya kita memang jauh lebih beruntung daripada dia. Dia ....”

“Dia benar-benar seorang yang harus dikasihani,” tukas Sim-lan “Selama hidupnya ini pada hakikatnya tidak pernah merasakan setitik bahagia apa pun juga. Dia tidak punya orang tua, tak punya sanak famili, ke sana-sini selalu dicemoohkan orang, dimaki orang. Bilamana dia mati mungkin tiada seberapa orang yang akan meneteskan air mata baginya, sebab semua orang hanya kenal dia sebagai orang busuk ....”

Sampai di sini Thi Sim-lan tidak sanggup melanjutkan lagi, suaranya tersendat-sendat, tenggorokannya serasa tersumbat.

Dengan rawan Bu-koat berkata, “Ya, selama hidupnya memang penuh penderitaan, kecuali malapetaka dan kemalangan, hampir tiada hal lain yang didapatkannya. Dia tidak pernah mendapatkan pujian, juga tidak ....” Ia pandang Thi Sim-lan dengan perasaan pedih dan tidak melanjutkan lagi.

Selama hidup Siau-hi-ji, paling tidak toh masih ada seorang nona yang mencintainya dengan segenap jiwa-raganya, yakni Thi Sim-lan, akan tetapi sekarang ....

Hoa Bu-koat tidak berani lagi memandang si nona, ia menunduk dengan air mata bercucuran.

Sim-lan juga menunduk, katanya kemudian, “Aku ... aku cuma ingin memohon sesuatu padamu, entah ... entah engkau sudi menerima atau tidak?”

“Mana bisa aku tidak menerima?” jawab Bu-koat dengan tersenyum pedih.

Thi Sim-lan memandang jauh ke depan sana, katanya, “Kurasa bilamana sekarang dia mati, maka matinya pasti tidak rela, mati penasaran, sebab itulah ....” Tiba-tiba ia menatap Bu-koat lekat-lekat, lalu menyambung dengan sekata demi sekata, “Kumohon dengan sangat padamu, janganlah engkau membunuhnya. Betapa pun jangan engkau membunuhnya!”

Seketika Bu-koat melenggong, sedetik itu darahnya serasa membeku.

Dalam hati seakan-akan menjerit: “Kau minta aku jangan membunuh dia, bukankah ini berarti aku harus dibunuh oleh dia? Demi mempertahankan hidupnya, kau tidak sayang mengorbankan kematianku? Kedatanganmu ke sini ini apakah melulu untuk memohon padaku agar bertindak demikian?”

Walaupun begitu kata hatinya, namun Hoa Bu-koat takkan mengucapkannya, selamanya takkan diucapkannya. Ia lebih suka dirinya sendiri yang menderita daripada mencelakai orang lain. Lebih-lebih ia tidak ingin melukai perasaan dan mengecewakan harapan orang yang dicintainya.

Maka dia cuma tersenyum getir saja, katanya kemudian, “Andai kata kau tidak minta padaku, pasti juga aku takkan membunuh dia.”

Dengan lekat-lekat Thi Sim-lan memandang Bu-koat, sorot matanya penuh rasa kasih mesra, penuh rasa simpatik dan pedih pula, bahkan timbul juga semacam rasa hormat dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Tapi ia pun tidak bicara apa-apa lagi, hanya dengan perlahan ia berucap, “Terima kasih!”

*****

Sang surya belum lagi menongol, suasana sunyi senyap, lereng bukit ini diliputi kabut tipis putih. Angin sepoi-sepoi sejuk membawa bau harum bunga hutan yang membangkitkan semangat.

Siau-hi-ji menarik napas dalam-dalam, gumamnya, “Tampaknya cuaca hari ini pasti sangat cerah, dalam keadaan yang baik ini, siapakah yang ingin mati?”

Dengan tersenyum So Ing menggelendot di samping Siau-hi-ji, sebenarnya ia ingin bilang, “Biarpun hari bercuaca betapa buruk tentu juga jarang ada orang yang ingin mati?”

Namun sekarang ia tidak mau berdebat dengan Siau-hi-ji, dalam saat demikian, ia ingin menurut segala tindak dan ucapan anak muda itu. Biarpun Siau-hi-ji bilang matahari itu persegi dan bulan itu gepeng, pasti dia akan mengiakan dan tidak lagi menyangkalnya.

Akan tetapi Siau-hi-ji lantas berkata pula dengan tertawa, “Sebenarnya seorang ingin mati atau tidak kan tiada sangkut-pautnya dengan cuaca yang baik atau buruk. Misalnya seseorang kalau baru punya istri, lalu mendapat lotere satu miliar, maka sekalipun cuaca berubah menjadi buruk dan hujan dua tahun lebih tiga bulan juga takkan dipedulikannya, apalagi disuruh mati.”

So Ing tersenyum, katanya, “Tepat sekali apa yang kau katakan.”

“Umpama seseorang mempunyai istri, lalu istrinya menyeleweng, main pat-gulipat dengan lelaki lain, anaknya menjadi perampok pula, maka biarpun cuaca sangat cerah dan semuanya serba indah toh dia lebih suka mati juga.”

“Ya, memang tidak salah,” kata So Ing.

Mendadak Siau-hi-ji mendelik, katanya, “Jika istrinya menyeleweng dan anaknya menjadi rampok, semua itu kan anak dan istrinya yang brengsek, mengapa dia harus mati?”

“Aku kan tidak bilang dia harus mati?” jawab So Ing tertawa.

“Kau tidak bilang habis siapa yang bilang?” teriak Siau-hi-ji pula.

“Baiklah, anggaplah aku yang bilang, aku salah omong,” ujar si nona.

Serentak Siau-hi-ji berjingkrak, teriaknya pula, “Sudah jelas bukan kau yang omong, mengapa kau mau mengakui?”

Berputar-putar biji mata So Ing, dengan suara lembut ia berkata, “Apakah kau sengaja mau bertengkar?”

“Aku memang ingin bertengkar, kau mau apa?” jawab anak muda itu.

Mendadak So Ing juga berteriak, bahkan tidak kalah galaknya, “Baik, akan kukatakan padamu bahwa sesungguhnya kau orang yang paling brengsek, bagi seorang lelaki sejati, seorang jantan gagah perwira, menghadapi sesuatu harus dapat berpikir secara tegas, kalau kuat harus dijinjing, bila tidak sanggup harus ditaruh, bila perlu silakan turun gunung, kalau tidak ya naiklah ke sana dan bertempur. Bila seperti caramu ini, belum berhadapan dengan lawan hati sendiri sudah kacau lebih dahulu, setiap orang kau jadikan pelampiasan, maka pertandingan ini akan lebih baik diurungkan saja, sebab sebelum bertanding jelas-jelas kau sudah kalah lebih dulu.”

Dia mengira sekali ini Siau-hi-ji akan berjingkrak murka. Tak terduga, setelah didamprat begini, Siau-hi-ji berbalik menjadi sopan dan termangu-mangu hingga lama sekali.

“Ya, ucapanmu memang tidak salah, aku memang betul-betul seorang yang sangat brengsek, seorang konyol,” kata Siau-hi-ji tiba-tiba sambil menghela napas menyesal. “Memang betul, sebelum bertanding hatiku sudah bingung, pikiranku sudah kacau. Bila benar-benar bertanding nanti, jelas aku pasti kalah.”

Melihat sikap Siau-hi-ji yang lesu dan lemas itu, tanpa terasa timbul pula rasa kasih sayang So Ing, perlahan ia membelai rambut anak muda itu.

Selagi ia hendak mengucapkan beberapa kata halus untuk menghiburnya, sekonyong-konyong seorang berseru dengan suara tertahan di samping, “Pertarungan antara jagoan kelas tinggi, bila pikiran kacau pasti akan kalah. Jika kau tahu teori ini, mestinya tenangkan dulu hatimu. Ketahuilah bahwa pertandingan ini sangat besar sangkut-pautnya, maka kau harus menang dan tidak boleh kalah.”

Tanpa menoleh juga Siau-hi-ji tahu siapa pembicara itu, yaitu Yan Lam-thian, terpaksa ia mengiakan dengan menunduk.

Perawakan Yan Lam-thian yang kekar itu laksana malaikat gunung yang tegap berdiri di tengah-tengah kabut pagi yang masih remang-remang itu. Sinar matanya mencorong terang, ia memandang Siau-hi-ji dengan tajam, katanya pula, “Apakah dendam selama hidupmu ini sudah kau selesaikan seluruhnya?”

Siau-hi-ji mengiakan. Tapi mendadak ia menengadah dan berkata pula, “Tapi, masih ada budi besar seorang lagi yang belum kubalas hingga sekarang.”

“O, siapa,” tanya Yan Lam-thian.

“Ialah paman Ban, paman Ban Jun-liu yang baik hati itu,” jawab Siau-hi-ji.

Sinar mata Yan Lam-thian yang kereng itu menampilkan perasaan hangat, katanya, “Kau masih mempunyai pikiran demikian, tidak percumalah dia pernah sayang padamu. Tapi embun menyuburkan segala macam tanaman bukanlah karena berharap segala macam tumbuhan itu akan membalas budinya. Asalkan segalanya tumbuh dengan subur, maka cukup puaslah dia.”

“Yang kuharapkan sekarang hanya ingin tahu di mana beliau berada? Apakah beliau tetap sehat walafiat?” kata Siau-hi-ji

“Maksudmu, kau ingin menemui dia?” tanya Yan Lam-thian.

Siau-hi-ji mengiakan.

“Baik sekali,” ujar Yan Lam-thian dengan tersenyum. “Dia memang sedang menunggumu dan ingin melihat dirimu ....”

Dengan kegirangan Siau-hi-ji lantas berseru, “He, apakah paman Ban sekarang juga berada di sini?”

“Ya, baru kemarin ia sampai di sini,” jawab Yan Lam-thian.

*****

Sudah lama juga So Ing ingin bertemu dengan tabib sakti yang berbudi luhur dan berilmu tinggi ini. Waktu ia menoleh, terlihatlah seorang Tojin berjubah panjang dan berkopiah kuning berdiri di bawah pohon sebelah sana.

Kejut dan girang Siau-hi-ji tak terkatakan, cepat ia memburu ke sana. Sebenarnya banyak urusan yang akan ia bicarakan, tapi seketika tenggorokannya seperti tersumbat oleh sesuatu sehingga satu patah kata saja tidak sanggup diucapkannya.

Wajah Ban Jun-liu yang kelihatan tenang itu pun menampilkan perasaan terharu, sudah sekian tahun mereka berpisah, kini ternyata masih dapat berjumpa di sini, sudah tentu timbul rasa girang dan terharu yang sukar dilukiskan.

Yan Lam-thian juga tertegun sejenak karena harunya, tiba-tiba ia berkata, “Sang surya hampir terbit, sudah waktunya aku pergi.”

Dengan terharu Siau-hi-ji berseru, “Aku ....”

“Untuk sementara boleh kau tinggal di sini,” kata Yan Lam-thian. Lalu dengan kereng ia menyambung pula, “Lantaran pikiranmu belum lagi tenang, saat ini tidak cocok bagimu untuk bertempur.”

“Tapi kalau menunggu terlalu lama juga dapat mengacaukan pikiran,” ujar Ban Jun-liu.

“Jika begitu, akan kujanjikan pada mereka untuk bertempur tepat pada siang hari nanti,” kata Yan Lam-thian. Begitu kata-kata terakhir itu terucapkan, segera bayangannya menghilang di tengah kabut.

Ban Jun-liu memandang Siau-hi-ji sekejap, lalu dipandangnya So Ing, katanya kemudian dengan tersenyum, “Sebenarnya aku pun mesti menyingkir pergi, tapi kesempatan bicara kalian selanjutnya kan masih banyak, sedangkan aku ....”

“Apa yang engkau kehendaki, paman Ban?” tanya Siau-hi-ji dengan terharu.

“Tidak ada apa-apa yang kuhendaki selain ingin melihatmu saja, di dunia fana ini pun tiada sesuatu yang memberatkanku lagi,” ucap Ban Jun-liu dengan menghela napas.

Siau-hi-ji termenung sejenak, mendadak ia menarik muka dan berkata kepada So Ing, “Jika ada dua lelaki sedang bicara, apakah pantas kau ikut mendengarkan di sini?”

So Ing tertawa, jawabnya, “Memangnya antara engkau dan paman ini ada sesuatu rahasia yang perlu dibicarakan?”

“Ada pembicaraan rahasia atau tidak, pokoknya, kalau lelaki sedang bicara, tidak pantas jika perempuan ikut mendengarkan,” kata Siau-hi-ji.

Berputar biji mata So Ing, katanya dengan tersenyum, “Baiklah, biar kupergi jalan-jalan dulu ke sana.”

Melihat si nona sudah pergi jauh, dengan tersenyum Ban Jun-liu berkata, “Kuda liar yang terlepas dari kekangan, tampaknya akhirnya toh dapat dipasangi pelana.”

Siau-hi-ji mencibir, katanya, “Huh, selama hidupnya jangan dia harap akan dapat mengendalikan diriku, akulah yang akan mengendalikan dia.”

“Ooo? Apa betul?” tanya Ban Jun-liu.

“Hm, jika bukan lantaran dia suka menuruti setiap perkataanku, tentu sudah sejak mula kudekap dia,” ujar Siau-hi-ji.

“Hahaha, dasar Siau-hi-ji, sekali Siau-hi-ji tetap Siau-hi-ji,” seru Ban Jun-liu dengan tertawa, “Meski di dalam hati sudah lunak, tapi di mulut tetap keras dan tidak mau kalah.”

“Siapa bilang hatiku sudah lunak?” tanya Siau-hi-ji.

“Jika dia tidak yakin pasti akan memilikimu mana dia mau tunduk dan menuruti segala kehendakmu?” kata Ban Jun-liu. “Dan kalau dia yakin selanjutnya kau juga pasti akan menuruti setiap perkataannya, masa dia mau menurut pada kehendakmu sekarang?”

Dia berhenti sejenak, lalu menyambung pula dengan tersenyum, “Dalam hal ini perempuan selalu lebih pintar daripada lelaki, perempuan pasti tidak mau kalah.”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapannya kemudian dengan tersenyum, “Dalam hal meracik obat dan menyembuhkan orang, sudah barang tentu paman Ban Jun-liu jauh lebih ahli daripadaku, tapi mengenai urusan perempuan ....” Dia tertawa cekikikan dan tidak melanjutkan lagi.

Ban Jun-liu tersenyum, katanya, “Orang muda selalu mengira pengetahuannya terhadap perempuan jauh lebih banyak daripada siapa pun juga. Tapi nanti, kalau usiamu sudah lanjut, barulah kau akan mengetahui bahwa dirimu sesungguhnya tidak memahami urusan perempuan sama sekali?”

Siau-hi-ji tertawa, katanya kemudian, “Paman Ban, pertemuan kita ini bukan maksudku hendak belajar urusan perempuan dengan engkau.”

“Ya, kutahu,” jawab Ban Jun-liu sambil manggut-manggut. “Sejak mula memang sudah kuduga pasti ada sesuatu urusan yang sangat penting dan penuh rasa rahasia yang akan kau mohon padaku. Nah, sesungguhnya urusan apa, toh aku tidak dapat menolak permintaanmu.”

Ia pandang anak muda itu dengan sorot mata yang penuh rasa kasih sayang, katanya pula dengan tersenyum, “Apakah kau masih ingat kejadian dahulu, pernah kau minta sebungkus obat bau busuk padaku untuk mengerjai Li Toa-jui sehingga dia kelabakan dan merasa kapok untuk mengganggumu lagi, dan sekali ini hendak kau kerjai siapa pula?”

Siau-hi-ji jadi teringat kepada peristiwa lucu waktu kecilnya itu, ia pun tertawa geli.

Akan tetapi segera sikap Siau-hi-ji berubah prihatin, dengan suara tertahan ia berkata dengan sungguh-sungguh, “Paman Ban, sekali ini bukan maksudku hendak minta bantuanmu untuk bergurau dengan orang lain, tapi soal ini menyangkut suatu urusan penting mengenai, mati dan hidup dua orang.”

Selama kenal anak muda itu, belum pernah Ban Jun-liu melihat Siau-hi-ji bicara serius begini, segera ia tanya, “Sesungguhnya ada urusan apa, masa begini gawat?”

Siau-hi-ji menghela napas, lalu ia ceritakan apa yang akan dilakukan nanti, katanya pula, “Oleh karena itulah, kumohon paman suka ....”

*****

Sementara itu So Ing sedang berjalan sendirian menyusuri lereng bukit sana, selama dua bulan ini, boleh dikatakan sudah sangat mendalam So Ing memahami Siau-hi-ji. Seorang perempuan kalau ingin memahami lelaki yang dicintainya memang bukan sesuatu pekerjaan sulit.

Berbeda dengan lelaki, semakin dia mencintai perempuan itu, semakin dia tidak dapat memahaminya, nanti kalau dia sudah benar-benar memahami perempuan itu, bisa jadi dia sudah tidak mencintainya lagi.

Biasanya, apa yang dipikirkan Siau-hi-ji dan apa yang hendak dilakukannya, hampir seluruhnya pasti dapat diterka oleh So Ing. Tapi sekali ini, hanya sekali ini, si nona benar-benar tidak tahu sesungguhnya rahasia apa yang hendak dibicarakan Siau-hi-ji dengan Ban Jun-liu.

Semula ia tidak ingin menyingkir terlalu jauh, tapi pikir punya pikir, mendadak matanya terbeliak, tiba-tiba ia seperti mengambil sesuatu keputusan yang besar. Segera ia mendaki ke atas bukit dengan tergesa-gesa.

Setiap pelosok bukit ini boleh dikatakan sudah sangat hafal baginya. Sambil berjalan ia pun berpikir, “Sudah dua hari Ih-hoa-kiongcu dan Hoa Bu-koat menunggu di atas bukit, di manakah mereka bertempat tinggal? ....”

Baru saja hatinya berpikir begitu, segera matanya telah memberi jawaban.

Di balik bayang-bayang pepohonan di lereng bukit di depan sana tampak menongol ujung tembok merah, maka tahulah dia itulah Hian-bu-kiong, sebuah kelenteng yang dahulu sangat ramai dikunjungi peziarah dan tahun-tahun terakhir ini hampir tidak pernah didatangi pengunjung lagi.

Dari situlah sekarang kelihatan muncul beberapa orang.

Usia berapa orang ini sudah sama-sama lanjut, tapi masih tetap tangkas dan gesit, sinar matanya terang, jelas semuanya tokoh kelas tinggi dunia persilatan. Anehnya, salah seorang kakek itu membawa serta sebuah tambur yang terbuat dengan sangat indah dengan bentuk yang khas pula.

Di antaranya ada seorang nenek, meski giginya sudah ompong seluruhnya, tapi kerlingan matanya tetap menggiurkan, kalau bicara masih bernada genit, dapat diperkirakan pada waktu mudanya dahulu pasti seorang perempuan yang bergaya dan sangat cantik.

So Ing tidak kenal kawanan kakek dan nenek ini, ia pun tidak ingat siapakah gerangan tokoh Bu-lim jaman ini yang terkenal suka membawa tambur? Tapi di antara rombongan ini terdapat pula seorang nona jelita yang dikenalnya.

Nona jelita ini ialah Thi Sim-lan.

Dilihatnya Thi Sim-lan tidak sekurus dan pucat seperti beberapa hari yang lalu, malahan wajahnya kini tampak menampilkan semacam cahaya yang aneh. Dengan sendirinya ia tidak tahu urusan apa yang dapat mengubah pikiran Thi Sim-lan.

Ia tidak ingin dilihat oleh Thi Sim-lan, segera ia bermaksud mencari suatu tempat sembunyi. Tapi dilihatnya Thi Sim-lan berjalan dengan menunduk, seperti menanggung pikiran yang berat sehingga sama sekali tidak melihat So Ing yang berada tidak jauh di sisi mereka.

Orang-orang itu terus menuju ke atas bukit. Apa yang dipercakapkan mereka itu tidak terdengar oleh So Ing, hanya salah seorang kakek yang bercambang-bauk lebat dan kelihatan sangat kekar itu mempunyai suara yang sangat keras bila bicara.

Terdengar kakek brewok itu sedang berkata, “Siau Lan, untuk apa lagi hatimu merasa bimbang, kukira kau harus ambil keputusan untuk memilih Hoa Bu-koat saja. Meski bocah ini agak menyerupai perempuan, tapi masih lumayan jika kau mendapatkan dia.”

Thi Sim-lan tampak tetap menunduk dan entah menjawab atau tidak.

Lalu kakek brewok itu menepuk pundak si nona dan berkata pula dengan tertawa, “Setan cilik, di depan bapakmu sendiri berlagak bodoh apalagi? Ayo katakan, ke mana kau semalam? Memangnya kau kira bapakmu sudah pikun dan tidak tahu?”

Thi Sim-lan tetap tidak bicara, tapi mukanya menjadi merah.

Si nenek genit tadi lantas menyela dengan tertawa, “Hihi, masa ayah bercanda dengan anak perempuannya sendiri, kukira kau memang sudah pikun.”

Si kakek brewok menengadah dan bergelak tertawa, tampaknya sangat gembira.

So Ing girang dan terkejut, karena girangnya hampir saja ia berjingkrak jingkrak.

Dari pembicaraan mereka tadi jelas Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat telah bertambah erat hubungannya, malahan ayah si nona jelas-jelas mendorong dan menyuruh Thi Sim-lan memilih Hoa Bu-koat. Sungguh hal ini sangat menggembirakan So Ing.

Padahal boleh dikatakan tiada perbedaan antara semua orang tua di dunia ini, setiap orang tua tentu berharap anak perempuan sendiri akan mendapatkan suami yang dapat diandalkan. Seumpama kelak kalau So Ing sendiri mempunyai anak perempuan, tentu pula dia berharap akan mendapatkan ahli waris Ih-hoa-kiong, tak nanti menghendaki anak perempuannya mendapat suami yang dibesarkan di Ok-jin-kok.

Didengarnya si kakek brewok tadi berkata pula dengan tertawa, “Jika kau sudah bertekad akan ikut Hoa Bu-koat, lalu apa pula yang kau risaukan? Nanti, setelah pertandingan ini berakhir, segera akan kukawinkan kalian, maka kau pun tidak perlu banyak khawatir lagi.”

Dengan tertawa si nenek lantas berkata, “Bakal suami akan berkelahi dengan orang, tentu saja dia khawatir, jika aku menjadi dia, mungkin ... mungkin sudah kucarikan akal untuk membinasakan ikan kecil itu.”

Si kakek terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, jika demikian barang siapa bisa mendapatkan dirimu sebagai istri, wah, benar-benar akan mendapatkan pembantu yang menyenangkan.”

“Memang, cuma sayang, kalian semuanya tiada yang punya hokkhi untuk mendapatkan istri seperti diriku,” jawab si nenek.

Tiba-tiba salah seorang kakek yang tinggi kurus menyela, “Menurut pendapatku, Hoa Bu-koat ini kelihatan sangat tangkas, baik Lwekang maupun Gwakangnya, semuanya sudah cukup sempurna, rupanya pembawaannya memang baik, ditambah lagi mendapatkan didikan guru ternama, dengan sendirinya makin menonjol. Kang Siau-hi-ji yang menjadi lawannya itu jika berusia sebaya dia, ilmu silatnya pasti takkan mencapai tingkatan seperti Hoa Bu-koat. Maka pertarungan ini jelas Hoa Bu-koat sudah berada di tempat yang tak terkalahkan, hakikatnya kalian tidak perlu berkhawatir baginya.”

Ucapan si kakek ini sudah tentu membuat hati semua orang menjadi mantap, terutama Thi Sim-lan dan si kakek brewok yang bukan lain daripada Thi Cian itu, mereka menjadi tidak perlu khawatir lagi.

Tapi So Ing justru mulai berkhawatir, sudah tentu khawatir bagi Siau-hi-ji.

Tadinya dia anggap kalah-menang pertarungan ini, kuncinya tidak terletak pada tinggi dan rendahnya ilmu silat. Tapi sekarang ia mulai merasakan jalan pikirannya itu tidak seluruhnya tepat. Jika ilmu silat Siau-hi-ji memang bukan tandingan Hoa Bu-koat, maka seumpama dia sampai hati untuk membunuh lawannya juga tiada gunanya, yang pasti sekarang kunci daripada pertarungan ini justru terletak di tangan Hoa Bu-koat, apakah dia tega membinasakan Siau-hi-ji?

So Ing sendiri tahu ilmu silat Siau-hi-ji pasti bukan tandingan Hoa Bu-koat. Jika kedua anak muda itu mengadu akal, maka jelas Siau-hi-ji akan menang. Tapi bila keduanya harus adu otot, keras lawan keras, jelas Siau-hi-ji tiada harapan sama sekali. Maka kalau So Ing ingin Siau-hi-ji memenangkan pertandingan ini, maka tidak cuma Siau-hi-ji saja yang harus tega turun tangan membunuh lawan, sebaliknya Hoa Bu-koat juga harus dibikin tidak sampai hati untuk turun tangan.

Kiasan ini sungguh sangat lucu dan janggal, ini sama halnya orang lain dilarang makan tapi dirinya sendiri masuk restoran setiap hari. Jelas pikiran demikian hanya ingin menang sendiri.

Kalau Siau-hi-ji boleh membunuh Hoa Bu-koat, berdasar apa Hoa Bu-koat tidak boleh membunuh Siau-hi-ji. Semut saja ingin hidup, apalagi manusia?

Hoa Bu-koat hidup cukup senang dan bahagia, berdasarkan apa dia disuruh jangan membunuh lawannya? Dengan alasan apa dia harus mengorbankan dirinya sendiri agar orang lain dapat hidup?

So Ing menghela napas, tiba-tiba ia menyadari bahwa yang dipikirnya sejak dulu hanya satu saja daripada persoalan ini, dia hanya berpikir bagi Siau-hi-ji dan tidak pernah berpikir bagi Hoa Bu-koat.

Jelas bagi pandangannya jiwa Siau-hi-ji lebih penting daripada Hoa Bu-koat. Akan tetapi bagaimana di mata orang lain? Dan bagaimana di mata Hoa Bu-koat sendiri?

Begitulah pikiran So Ing bergolak, makin dipikir makin kacau, ia merasa selama hidupnya belum pernah mengalami pikiran kusut seperti sekarang ini.

Padahal berpikir kian kemari yang diharapkannya cuma satu, yakni Siau-hi-ji harus tetap hidup.

Dan kalau Siau-hi-ji harus hidup, maka dia harus berdaya agar Hoa Bu-koat mati.

Orang mati tentu tidak dapat membunuh orang lagi.

Hingga lama So Ing bersembunyi di balik pohon, akhirnya dilihatnya para kakak beradik keluarga Buyung beserta suami masing-masing berturut-turut keluar dari kelenteng.

Wajah mereka tampak lesu, mata agak membesar, jelas selama dua hari mereka tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Umumnya orang Kangouw mengutamakan “di segenap penjuru adalah rumah sendiri”, di mana pun dapat tidur. Tapi tuan-tuan dan nyonya-nyonya ini sudah biasa hidup mewah di rumah, mereka bukan lagi orang Kangouw umumnya. Sekalipun cuma berganti tempat tidur saja mereka tak dapat pulas, apalagi disuruh tidur di kelenteng bobrok yang sunyi ini.

Namun dandanan mereka masih tetap rapi, rambut tersisir dengan baik, bahkan pakaian juga tetap rajin dan bersih.

Sambil berjalan mereka pun ramai berbicara, tanpa pasang telinga juga So Ing tahu yang dibicarakannya mereka pasti mengenai pertarungan maut Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat.

Duel ini bukan saja menggemparkan, bahkan juga pasti akan tercatat dalam sejarah dan menjadi cerita menarik di kemudian hari. Sebab itulah mereka rela menderita tidur di kelenteng rusak itu dan ingin menyaksikan pertarungan yang luar biasa ini.

Sesudah rombongan ini naik ke atas gunung, So Ing menunggu lagi hingga lama, ternyata tiada orang keluar lagi dari kelenteng itu. Malahan tiada terdengar suara apa-apa pula di sana.

Lalu di manakah Hoa Bu-koat, apakah masih tertinggal di kelenteng itu? Apakah Ih-hoa-kiongcu juga masih mendampingi anak muda itu?

So Ing mengertak gigi, ia bertekad akan menyerempet bahaya.

Ia pikir, pertarungan maut sudah hampir tiba, semua orang telah meninggalkan kelenteng itu, bisa jadi mereka ingin memberi kesempatan istirahat bagi Hoa Bu-koat, maka mereka berangkat dulu menunggu di atas bukit.

Sekarang Yan Lam-thian pasti sudah berada di puncak bukit, mungkin Ih-hoa-kiongcu juga tidak berada di kelenteng itu. Paling sedikit kedua Kiongcu itu mesti memberi waktu bagi Hoa Bu-koat untuk merenungkan siasat pertempuran nanti.

Kelenteng Hian-bu-kiong itu memuja Hian-thian-siang-te, mesti akhir-akhir ini sudah tiada pengunjungnya lagi, tapi seperti halnya suatu keluarga besar yang telah jatuh miskin, betapa pun bekas-bekas kemegahannya masih tersisa.

Di halaman depan kelenteng itu ada beberapa pohon cemara tua yang menjulang tinggi menembus awan, meski sang surya sudah memancarkan sinarnya yang gemilang, namun suasana di dalam kelenteng terasa suram dan seram.

So Ing terus masuk ke halaman kelenteng yang sunyi senyap itu dan menaiki undak-undakan batu yang cukup panjang.

Patung Hian-thian-siang-te di altar pendopo kelenteng itu tampak cukup angker, tapi tubuh patung yang sudah hangus oleh asap dupa itu sudah terkupas, di beberapa bagian. Kedua anak buahnya yaitu Ku dan Coa, kura-kura dan ular, yang biasanya terinjak di bawah telapak kaki Hian-thian-siang-te itu sudah rusak, bahkan bagian kepalanya sudah terkupas sebagian. Kain kuning yang menutupi kotak altar pun sudah luntur dan sukar lagi dibedakan apa warnanya.

Belasan Tosu tampak duduk bersimpuh di sana, semuanya menunduk dengan mulut komat-kamit, entah sedang berdoa atau lagi memaki orang.

Selama dua hari ini Hian-bu-kiong pasti telah kacau balau, mungkin tempat tidur kawanan tosu ini terpaksa juga harus diserahkan pada orang lain.

Tapi sedekah yang diberikan para tuan dan nyonya keluarga Buyung pasti juga tidak sedikit, maka seumpama para tosu ini ingin memaki orang tentu juga tidak berani keras-keras dan terpaksa menggerutu di dalam hati.

So Ing berada di samping mereka, agaknya mereka sama sekali tidak tahu. Mestinya So Ing hendak minta keterangan kepada mereka. Tapi melihat keadaan mereka yang lesu itu terpaksa ia urungkan maksudnya. Kecuali orang sinting, kalau tidak, mungkin tidak banyak anak perempuan yang suka mendekati kaum Hwesio dan Tosu.

Di belakang pendopo adalah dua deret kamar tidur, semuanya sunyi sepi, tiada bayangan seorang pun.

So Ing jadi heran, apakah Hoa Bu-koat sudah pergi?

Selagi So Ing merasa sangsi, tiba-tiba dilihatnya di balik pintu bundar, di bawah rumpun bambu sana masih ada beberapa kamar. Mungkin di situlah kamar pribadi sang ketua kelenteng.

Biarpun para nona keluarga Buyung itu sudah biasa hidup disanjung puji, kalau makan ayam minta bagian paha, bila tinggal di rumah minta yang menghadap selatan, tapi dalam permainan yang akan dipentaskan nanti, peranan utamanya ialah Hoa Bu-koat, peranan utama dengan sendirinya harus mendapat pelayanan khusus, biarpun para nona Buyung itu juga ingin tinggal di kamar ketua kelenteng yang tentu lebih mewah daripada kamar lain, tapi mau tak mau mereka harus mengalah juga kepada Hoa Bu-koat.

Begitulah, segera So Ing menuju ke kamar sana, kamar tinggal sang Hongtiang (ketua) memang kelihatan sangat resik, pintu setengah tertutup dan bergerak-gerak tertiup angin. Di langit serambi rumah tampak seekor labah-labah sedang membuat sarang, terdengar pula bunyi jangkrik di pojok rumah sana, daun warna kuning bertebaran tertiup angin menimbulkan suara gemersik. Namun di dalam rumah tetap sunyi senyap tiada suara orang sama sekali.

“Hoa-kongcu?!” So Ing coba memanggil dengan perlahan.

Namun tiada suara jawaban seorang pun.

Jangan-jangan Hoa Bu-koat sudah pergi? Bahkan waktu perginya lupa menutup pintu?

Tapi So Ing sudah berada di sini, betapa pun dia ingin masuk ke situ untuk melihatnya.

Perlahan dia mendorong pintu, dilihatnya kamar Hongtiang ini pun sangat sederhana, di dalam kamar terdapat sebuah meja dengan dua kursi. Saat itu di atas meja tampak tertaruh dua poci arak dan beberapa macam santapan.

Tampaknya santapan yang tersedia itu sama sekali belum tersentuh, tapi araknya entah sudah terminum berapa banyak.

Di pojok kamar ada sebuah ranjang kasur, selimut tampak acak-acakan, seakan-akan habis ditiduri oleh beberapa orang dan cara tidurnya seperti tidak sopan.

Hoa Bu-koat ternyata tidak pergi, dia masih berada di dalam kamar. Namun hatinya seolah-olah sudah terbang jauh ke awang-awang.

Dia berdiri termangu-mangu di depan jendela, orang yang bermata-telinga setajam dia, sekarang ternyata sama sekali tidak tahu datangnya So Ing.

Sinar matahari menembus tirai jendela dan menyorot mukanya, muka yang pucat pasi, namun matanya tampak merah, suatu tanda kurang tidur, kelihatan lesu dan agak kurus.

Aneh juga, menghadapi pertarungan maut, mengapa Ih-hoa-kiongcu tidak berusaha memberi waktu istirahat yang cukup baginya? Apakah mereka yakin dalam keadaan betapa sulit pun Hoa Bu-koat pasti dapat mengalahkan Siau-hi-ji?

Atau Ih-hoa-kiongcu pada hakikatnya tak peduli siapa bakal menang atau kalah? Tujuan mereka hanya mengadu Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat supaya keduanya bertempur sampai mati dan urusan lain tak terpikir oleh mereka.

So Ing merasa sangat heran, tapi ia tidak ingin mencari tahu sebab musababnya, ia pun tahu pasti tiada seorang pun yang dapat memberitahukan padanya.

Mendadak didengarnya Hoa Bu-koat menghela napas panjang, tarikan napas ini entah mengandung berapa banyak rasa derita dan duka nestapa yang sukar diutarakan kepada orang lain. Mengapa Hoa Bu-koat sedemikian sedih? Apakah lantaran Siau-hi-ji?

Perlahan-lahan So Ing mendekatinya dan memanggilnya lirih, “Hoa-kongcu ....”

Sekali ini Hoa Bu-koat dapat mendengarnya. Perlahan ia menoleh, dipandangnya So Ing. Mesti matanya menatap si nona, tapi sinar matanya seperti melayang jauh ke sana, ke tempat yang pada hakikatnya tak terlihat olehnya.

So Ing masih ingat Hoa Bu-koat mempunyai mata yang sama jeli dan sama terangnya dengan Siau-hi-ji, akan tetapi sepasang mata ini kini telah berubah buram, seperti sepasang mata orang mati, kaku dan dingin. Tidak enak rasanya dipandang oleh mata yang begini.

Hampir berkeringat dingin So Ing karena pandangan Hoa Bu-koat itu, ia coba tertawa dan berkata, “Apakah Hoa-kongcu sudah lupa padaku?”

Bu-koat manggut-manggut, tiba-tiba ia berkata, “Apakah kau datang untuk mohon padaku agar jangan kubunuh Siau-hi-ji.”

So Ing melengak, belum lagi ia menjawab, mendadak Bu-koat bergelak tertawa.

Begitu aneh tertawanya, seperti tertawa orang gila, tidak pernah terpikir oleh So Ing bahwa macam Hoa Bu-koat bisa mengeluarkan suara tertawa yang begini menakutkan. Orang yang normal tidak nanti tertawa cara demikian, hampir saja So Ing lari.

Setelah tergelak-gelak, lalu Bu-koat berkata, “Setiap orang sama datang meminta padaku agar jangan membunuh Siau-hi-ji, sungguh aneh mengapa tiada seorang pun yang minta Siau-hi-ji agar dia jangan membunuh diriku? Apakah aku saja yang harus terbunuh, hanya aku saja yang pantas mati?”

“Soalnya mungkin ... mungkin setiap orang tahu bahwa Siau-hi-ji pasti tidak dapat membunuh engkau,” kata So Ing.

Seketika Bu-koat berhenti tertawa, tanyanya, “Dan bagaimana dengan dia? Dia sendiri tahu tidak?”

“Sekalipun dia tahu juga pasti takkan diutarakannya,” ujar So Ing.

“Ya, benar, dia memang suka menang, dia selalu menganggap orang lain tidak dapat mengalahkan dia,” kata Bu-koat. “Tapi, tapi sekali ini ....”

Ia melototi So Ing dan berseru, “Sekali ini mengapa dia menyuruhmu kemari untuk memohon padaku?”

“Tidak, dia tidak menyuruh aku kemari, pada hakikatnya dia tidak tahu aku akan ke sini,” jawab So Ing.

“Dia tidak tahu?” Bu-koat menegas.

So Ing menghela napas, jawabnya, “Jika tahu, pasti dia akan melarang kedatanganku ini, sebab kedatanganku ini pun bukan untuk memohon kemurahan hatimu.”

“Bukan untuk memohon aku jangan membunuh dia?” tanya Bu-koat pula.

“Bukan,” jawab So Ing tegas. Ia pun balas menatap tajam anak muda itu dan menyambung pula sekata demi sekata, “Kedatanganku ini adalah untuk membunuhmu.”

Sekali ini berbalik Hoa Bu-koat yang melengak, ia menatap So Ing sejenak, mendadak ia bergelak tertawa seperti mendengar sesuatu yang sangat lucu.

“Kau tidak percaya?” tanya So Ing.

Bu-koat tidak lantas menjawab, ia terbahak-bahak pula. Sejenak kemudian baru menjawab, “Berdasarkan apa kau kira dapat membunuh diriku”

“Dan berdasarkan apa kau kira aku tidak mampu membunuhmu?” balas tanya So Ing.

Seketika Bu-koat berhenti tertawa pula, katanya, “Jika benar-benar kedatanganmu ini bermaksud membunuhku, seharusnya hal ini tidak kau katakan padaku.”

“Memangnya kenapa?” ujar So Ing.

“Jika tidak kau katakan, mungkin masih bisa terbuka kesempatan bagimu.”

“Dan karena sudah kukatakan, maka tidak ada lagi kesempatan lagi bagiku, begitu?”

“Andaikan ada, mungkin sedikit sekali,” kata Bu-koat dengan gegetun.

“Kesempatan bagiku setidak-tidaknya pasti jauh lebih banyak daripada kesempatan bagi Siau-hi-ji,” ujar So Ing dengan tertawa. “Kalau tidak, tentu aku takkan kemari.”

Mendadak ia membalik ke sana, ia menuang dua cawan arak, lalu berkata pula, “Jika aku bergebrak dengan engkau, sudah tentu tidak ada kesempatan sama sekali bagiku. Tapi kita adalah manusia dan bukan hewan. Hewan hanya mengenal menyelesaikan segala persoalan dengan kekerasan, manusia kan tidak perlu.”

“Cara apa yang digunakan manusia?” tanya Bu-koat.

“Cara manusia kan lebih sedikit sopan daripada hewan,” ucap So Ing, lalu ia membalik tubuh dan menuding kedua cawan arak yang terletak di meja, katanya, “Akulah yang menuang kedua cawan arak itu.”

“Ya, aku tahu,” jawab Bu-koat.

“Nah, boleh pilih salah satu cawan itu dan minumlah, maka persoalan kita pun selesai.”

“Hanya minum salah satu cawan arak itu? Kenapa begitu?” tanya Bu-koat.

“Sebab sudah kutaruh racun pada salah satu cawan arak itu, bila yang kau pilih adalah cawan yang beracun, maka kau pasti akan mati, sebaliknya jika yang kau pilih tidak beracun, akulah yang mati,” So Ing tersenyum, lalu menambahkan pula, “Bukankah cara ini sangat sopan dan sangat adil?”

Bu-koat memandang kedua cawan arak di atas meja, tak terasa kulit mukanya menjadi berkerut.

“Kau tidak berani?” tanya So Ing.

“Mengapa aku harus minum salah satu cawan itu?” jawab Bu-koat dengan suara parau.

“Sebab aku ingin duel denganmu, duel secara halus, masa alasan ini tidak cukup bagimu!?” kata So Ing tegas.

“Mengapa aku harus mengadu jiwa denganmu?” jawab Bu-koat.

“Dan mengapa harus mengadu jiwa dengan Siau-hi-ji?” tanya So Ing. “Jika kau boleh mengadu jiwa dengan dia, mengapa aku tidak boleh mengadu jiwa denganmu?”

Kembali Bu-koat melengak.

“Apakah kau rasa cara mengadu jiwa begini kurang sip bagimu?” jengek So Ing. “Apakah hanya kau yakin dapat mengalahkan lawan barulah kau mau duel dengan orang? Tapi, hm, bila benar-benar kau tahu pasti akan menang baru mau mengadu jiwa, itu tidak dapat dikatakan duel lagi, tapi lebih tepat dikatakan pembunuhan, pembunuhan dengan intrik.”

Wajah Bu-koat tampak pucat, butiran keringat dingin memenuhi dahi dan ujung hidungnya.

So Ing menjengek pula, “Hm, jika kau tidak berani terima tantanganku, ya, aku pun tidak dapat memaksa, cuma ....”

Dengan mengertak gigi, akhirnya Bu-koat menjadi nekat, ia pegang secawan arak itu.

So Ing menatapnya dengan lekat-lekat dan berucap sekata demi sekata, “Cawan ini apakah beracun atau tidak adalah pilihanmu sendiri. Kau harus percaya bahwa cara ini adalah duel yang paling adil, jauh lebih adil daripada duel mana pun di dunia ini.”

Mendadak Hoa Bu-koat tertawa dan berkata, “Betul, cara ini memang sangat adil, aku ....”

“Tidak, tidak adil, sedikit pun tidak adil,” tiba-tiba seorang membentak. “Sekali-kali tidak boleh kau minum arak itu!”

“Blang,” mendadak pintu didobrak dan seorang menerjang masuk. Kiranya Siau-hi-ji adanya.

“He, kenapa kau pun datang kemari?” seru So Ing.

“Kenapa aku tidak boleh kemari?” jengek Siau-hi-ji, sembari bicara ia terus rampas cawan arak yang dipegang Hoa Bu-koat itu dan berteriak pula, “Bukan saja aku datang kemari, bahkan aku pun ingin minum arak ini.”

“Jangan, arak ini tidak boleh kau minum,” seru So Ing dengan muka pucat.

“Kenapa tidak boleh kuminum?” tanya Siau-hi-ji.

“Arak ... arak ini beracun,” jawab So Ing.

“Kiranya kau tahu cawan arak inilah yang beracun?” jengek Siau-hi-ji.

“Kusendiri yang menaruh racunnya, dengan sendirinya kutahu,” kata So Ing.

“Jika kau tahu arak ini beracun, mengapa kau suruh dia minum?” Siau-hi-ji meraung murka.

“Ini memang duel yang menentukan mati hidup, harus salah seorang minum arak ini, dia sendiri bernasib jelek dan memilih cawan ini, mana boleh menyalahkan aku?” kata So Ing pula. Dia melototi Bu-koat dan menambahkan, “Kan tidak kusuruh kau pilih cawan arak ini, betul tidak?”

Terpaksa Bu-koat mengangguk. Biarpun dia tidak takut mati, tapi bila mengingat baru saja dirinya seolah-olah sudah “piknik” sekeliling ke gerbang neraka, mau tak mau ia pun berkeringat dingin.

Siau-hi-ji pandang arak dalam cawan yang dipegangnya itu, jengeknya pula, “Kutahu kau tidak menyuruh dia memilih cawan ini, tapi kan sama saja bila dia mengambil cawan yang itu.”

“Masa sama?” tanya So Ing.

“Ya, sebab kedua cawan arak ini beracun semuanya,” Siau-hi-ji meraung pula. “Hm, permainanmu ini dapat menipu orang lain tapi masa bisa menipu diriku? Kutahu cawan mana pun yang dia pilih, habis diminum dia tetap akan mati, pada hakikatnya kau sendiri tidak perlu minum lagi cawan yang lain.”

So Ing memandangnya dengan terkesima, matanya mulai basah dan hampir-hampir meneteskan air mata.

Siau-hi-ji menggeleng kepala, ucapnya, “Hoa Bu-koat, O, Bu-koat, kelemahanmu adalah karena terlalu percaya pada mulut perempuan ....”

So Ing menghela napas dengan perasaan hampa, ia pun bergumam, “Siau-hi-ji, O, Siau-hi-ji, penyakitmu adalah terlalu tidak percaya kepada perempuan.”

Mendadak ia pun angkat cawan arak yang lain terus ditenggaknya hingga habis.

Seketika berubah air muka Hoa Bu-koat, serunya dengan parau, “Kau ... kau salah menuduhnya. Arak beracun tetap harus kuminum.”

“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Ini kan duel yang paling adil, jika aku harus kalah, mati pun aku rela,” seru Bu-koat tegas.

“Ai, engkau benar-benar seorang Kuncu (lelaki sejati, gentleman),” ucap So Ing dengan menghela napas gegetun. “Sungguh aku menyesal mengapa ….”

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Hahaha, memang betul, dia memang seorang Kuncu, sebaliknya aku ini Siaujin (orang kecil, orang rendah, pengecut) makanya kutahu segala sesuatu permainanmu.”

Bu-koat menjadi gusar, dampratnya, “Mengapa kau sembarangan menuduhnya? Bukankah dia sudah minum arak itu?”

“Sudah tentu dia dapat minum, biarpun minum lagi sepuluh cawan juga tidak menjadi soal,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Sebab racun kan dia yang menaruhnya, jika sebelumnya ia sendiri sudah minum obat penawarnya, lalu apa gunanya racun? Masa permainan sederhana begini saja kau tidak paham?”

Seketika Bu-koat jadi melenggong dan tidak sanggup bersuara lagi.

So Ing juga memandang Siau-hi-ji dengan terkesima, lama dan lama sekali barulah dia bergumam, “Engkau benar-benar seorang pintar, seorang yang mahapintar.”

Dia tersenyum pedih, lalu menyambung pula, “Tapi apa pun juga, semua ini kulakukan demi dirimu, seharusnya engkau tidak boleh bersikap sedemikian padaku?”

Kembali Siau-hi-ji meraung murka, teriaknya, “Memangnya kau ingin cara bagaimana sikapku padamu? Apakah kau kira setelah kau bunuh Hoa Bu-koat lantas aku harus berterima kasih padamu?”

“Sudah tentu kutahu engkau takkan berterima kasih padaku, sebab kalian adalah kaum ksatria yang gagah perwira dan berbudi luhur, kalian tidak sudi sembarangan membunuh, harus membunuh dengan tangan sendiri,” bicara sampai di sini, air matanya tak terbendung lagi dan mulai bercucuran.

Tapi segera ia mengusap air matanya, lalu berkata pula, “Sekarang aku cuma ingin tanya padamu, seumpama aku membunuh seseorang dengan akal, lalu apa bedanya dengan cara kalian.”

“Sudah tentu berbeda, bahkan sangat jauh berbeda,” Siau-hi-ji meraung pula. “Paling sedikit cara kami jauh lebih Kong-beng-cing-tay (terang-terangan dan secara adil) daripada caramu.”

“Kong-beng-cing-tay?” jengek So Ing. “Sudah jelas kalian tahu pihak lawan bukan tandinganmu, tapi tetap kau ingin duel dengan dia, apakah ini yang dinamakan adil? Apakah ini yang disebut terang-terangan dan blak-blakan? Apakah membunuh orang dengan senjata barulah terhitung cara yang adil dan terang-terangan. Mengapa kalian tidak gigit-menggigit saja seperti anjing? Bukankah cara begini jauh lebih adil dan lebih terus terang?”

Lalu dia tunjuk Siau-hi-ji dan menyambung pula, “Apalagi maksudku membunuh orang paling tidak kan ada tujuan tertentu, yakni demi membela kau. Seorang perempuan demi membela orang yang dicintainya, apa pun yang diperbuatnya pasti dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memalukan. Sebaliknya kalian? Apa maksud kalian dengan pertarungan maut kalian nanti? Segera kalian akan mengadu jiwa, jika kau tidak membunuhnya, kaulah yang akan terbunuh, lalu semua ini untuk apa dan demi siapa? Apa pula sebabnya kalian berbuat demikian? Huh, kalian ini tidak lain daripada seperti anjing menggigit anjing, bahkan lebih tepat dikatakan dua ekor anjing gila.”

Melengak juga Siau-hi-ji mendengar dampratan So Ing yang penuh emosi itu, satu kata saja ia tidak sanggup menjawabnya.

Bahwa Siau-hi-ji sampai membisu didamprat orang, selama hidup benar-benar baru terjadi sekarang.

Hoa Bu-koat juga berdiri mematung di situ, dahinya penuh keringat dingin dan bercucuran seperti hujan.

Dengan suara parau So Ing mencerca pula, “Ya, aku ini memang perempuan yang bawel, perempuan judes, perempuan berhati keji. Sedangkan engkau adalah seorang Enghiong seorang ksatria sejati, selanjutnya aku pun tidak berani naksir lagi padamu, siapa di antara kalian yang bakal mati atau hidup bukan lagi urusanku dan juga tiada sangkut-pautnya denganku ....”

Suaranya semakin tersendat dan tambah tergegap, akhirnya meledaklah tangisnya, segera ia lari pergi sambil mendekap mukanya.

Ia tidak menoleh lagi. Hati seorang perempuan kalau sudah remuk redam, untuk selamanya dia takkan berpaling lagi.

Daun waru masih bertebaran tertiup angin dan menimbulkan suara gemersik, jangkrik di pojok halaman sana masih terus mengerik, sarang labah-labah di langit serambi sana telah bobol tertiup angin.

Namun benang sarang labah-labah yang putus itu tidak membuat jera labah-labah itu, dengan cepat jaringannya sudah tersambung dan membentang lagi. Selamanya labah-labah tidak kenal patah semangat, tapi kalau benang cinta juga putus, apakah dengan cepat dapat tersambung kembali?
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes