Wednesday, May 12, 2010

bgp7_part2

Sambil berjalan Li Toa-jui bergumam sendiri, “Sebenarnya kita juga perlu menonton pertarungan antara Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu, tontonan menarik ini kuyakin sukar dicari lagi, jika kita sia-siakan kesempatan baik ini, sungguh mirip siluman kerbau gagal menikmati daging Tong Sam-cong.”

Pek Khay-sim terkekeh sambil memegang mukanya yang bengap itu, katanya, “Betul, sungguh terlalu sayang, lekas kau pergi melihatnya, kukira masih keburu.”

Karena bicara, seketika rasa sakit mukanya tambah hebat sehingga keringat dingin bercucuran. Tapi dasar orang bermulut bejat, biarpun sakit setengah mati tetap dia ingin bicara. Rasanya hidupnya akan terasa tak berarti jika dia tidak omong seberapa patah kata yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.

Li Toa-jui malas mengubris ocehan Pek Khay-sim itu, kembali ia bergumam, “Menurut pendapatku, Yan Lam-thian pasti bukan tandingan Ih-hoa-kiongcu. Ilmu saktinya sudah telantar sekian tahun, betapa pun takkan lebih lihai daripada dulu. Apalagi dua kepalan juga sukar melawan empat tangan. Ih-hoa-kiongcu ada dua, Yan Lam-thian cuma sendirian, sedikit banyak tentu kurang menguntungkan dia.”

“Dua lawan satu maksudmu?” jengek Pek Khay-sim. “Hehe, kau kira orang lain pun tidak kenal malu seperti kau? Kaum ksatria Kangouw justru mengutamakan peraturan, harus satu lawan satu, tidak nanti main kerubut.”

Mendadak Li Toa-jui melonjak murka sambil meraung, “Keparat, jika kau berani omong satu kata lagi, segera kuhantam kau supaya mukamu yang sebelah juga bengap. Kau percaya tidak?”

“Memang seharusnya tadi kugampar kedua sisi mukanya,” tukas Toh Sat.

Karena Toh Sat ikut buka suara, seketika Pek Khay-sim tak berani omong lagi.

Tiba-tiba Pek-hujin membisiki Pek Khay-sim, “Apakah kau tahu sebabnya kau selalu dihina orang?”

“Sebab aku ketemu bintang kemungkus (lambang sial) seperti dirimu ini,” jawab Pek Khay-sim dengan mendongkol.

Pek-hujin tak marah, sebaliknya malah tertawa, katanya, “Sebabnya karena mereka berkawan, sebaliknya kau cuma sendirian. Katamu sendiri dua kepalan sukar melawan empat tangan. Kalau kau tahu teori ini, mengapa kau tidak mencari bala bantuan.”

Seketika mencorong sinar mata Pek Khay-sim, segera ia menarik Pek-hujin ke samping. Sementara itu mereka sudah berada di lereng bukit yang penuh batu padas berserakan. Pek Khay-sim menarik Pek-hujin ke balik sepotong batu besar, lalu berkata dengan suara tertahan, “Satu kata menyadarkan orang dalam mimpi, ucapanmu tadi telah mengingatkan padaku akan seorang pembantu yang baik.”

“Dan sekarang masih kau anggap aku ini bintang kemungkus lagi?” tanya Pek-hujin dengan tertawa genit.

“O, tidak, tidak, melihat hidungmu yang mancung, kutahu kau pasti membawa keberuntungan bagi sang suami,” jawab Pek Khay-sim.

“Sialan,” omel Pek-hujin dengan tertawa. “Tidak perlu mengumpak. Cobalah katakan dulu siapa pembantu yang baik itu?”

“Kau tahu, di antara mereka ini, sudah lama Li Toa-jui memusuhi aku,” demikian tutur Pek Khay-sim. “Sekarang tampaknya Toh-lotoa sudah serong ke sana, Kungfu mereka berdua cukup hebat, lebih-lebih Toh-lotoa, dia bukan lawan yang empuk.”

“Ya, aku pun tahu,” kata Pek-hujin.

“Sebenarnya dapat kucari bantuan Ha-ha-ji agar melayani mereka,” kata Pek Khay-sim pula.

“Tapi si gemuk ini lebih licin daripada belut, jika kucari dia bukan mustahil aku akan dijualnya.”

“Bagaimana dengan To Kiau-kiau?” tanya Pek-hujin.

“Si banci ini pun tidak dapat dipercaya,” ujar Pek Khay-sim. “Lahirnya saja dia cukup baik padaku, tapi selamanya dia sangat takut pada Toh-lotoa, jika disuruh memusuhi Toh-lotoa, mati pun dia tidak mau.”

“Bisa jadi diam-diam dia ada main dengan Toh-lotoa,” kata Pek-hujin dengan tertawa keras.

“Sialan, memang betul juga,” omel Pek Khay-sim dengan tertawa. “Makanya setelah kupikir agaknya cuma Im Kiu-yu saja yang dapat kubujuk untuk bersekutu, ditambah dirimu, kita bertiga sudah cukup untuk menghadapi mereka.”

“Kau yakin dapat membujuknya?” tanya Pek-hujin sambil berkedip-kedip.

“Tadinya aku pun sangsi, tapi sekarang aku sudah punya akal.”

“O, ya? Jika begitu, mengapa tidak sekarang saja kau cari dia?”

“Tidak perlu kucari dia, dia yang akan mencari diriku.”

“Ooo?” tercengang juga Pek-hujin.

“Kau tahu orang she Im ini selama hidupnya paling suka mengintip rahasia orang lain, lebih-lebih mengintip pasangan suami istri yang lagi ‘main’. Soalnya dia sendiri tidak mampu, terpaksa mencari kepuasan dengan jalan mengintip.” Sampai di sini, tak tertahan lagi tangannya lantas menggerayangi dada Pek-hujin bahkan terus menarik gaunnya.

Pek-hujin mengerling genit, omelnya dengan tertawa, “Memangnya kau hendak ‘main’ denganku di sini juga?”

Pek Khay-sim terus merangkulnya dan menciumnya satu kali, katanya dengan tertawa, “Keparat, cocok lagi ucapanmu. Dan bila kita sudah bergulat, tidak seberapa lama orang she Im itu pasti akan datang.”

“Tapi ... tapi kalau diintip orang aku ... aku tidak mau,” kata Pek-hujin dengan terkikik-kikik.

“Sialan, memangnya kau kira aku tidak paham?” omel Pek Khay-sim dengan tertawa. “Justru kalau diintip orang barulah kau bisa main lebih bersemangat.”

Mendadak Pek Khay-sim meremas paha Pek-hujin dengan keras, lalu berseru. “Ayolah, goyang!”

Terdengar Pek-hujin mengeluh perlahan. Perempuan yang histeris dan suka diperlakukan sadis ini lantas membisiki Pek Khay-sim dengan napas yang mulai terengah-engah, “O, keras sedikit sayang ... Keraslah sedikit ... makin keras makin baik!”

Selang sejenak, mendadak Pek Khay-sim berkata dengan tertawa, “Im-lokiu, jika ingin melihat, mengapa tidak keluar saja, untuk apa mengintip segala?”

Benar juga, segera terdengar suara Im Kiu-yu menjawab dengan terkekeh-kekeh, “Keparat, kau sungguh pintar mencari bini, permainannya sungguh merangsang, nikmat!”

“Eh, apakah kau ingin mencoba?” tanya Pek-hujin dengan tersengal-sengal.

“O, tidak, tidak, cukup kutonton dari samping saja dan sudah puas bagiku, “ kata Im Kiu-yu.

“Betul juga, kau harus lebih banyak bergembira mumpung masih ada waktu,” kata Pek Khay-sim. “Jika Yan Lam-thian sampai menemukanmu, maka terlambatlah segalanya.”

Menyinggung nama Yan Lam-thian, seketika air muka Im Kiu-yu berubah, jengeknya, “O, maka sekarang kalian bergembira sepuas-puasnya, begitu?”

“Kami sih tidak menjadi soal,” ujar Pek Khay-sim. “Aku kan tidak pernah ikut menyerang Yan Lam-thian, makanya aku tidak perlu takut padanya. Tapi kau ... Hehe ....” Sampai di sini, ia sengaja tidak melanjutkan ucapannya.

Dengan muka kehijau-hijauan Im Kiu-yu melenggong sejenak, tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, “Haha, apakah kau kira aku takut? Saat ini mungkin Yan Lam-thian sudah mati di tangan Ih-hoa-kiongcu, apa yang perlu kutakuti?”

“Hahaha, betul, betul,” Pek Khay-sim bergelak tertawa. “Sesungguhnya kau memang tidak perlu takut. Ilmu silat Yan Lam-thian pada hakikatnya tidak berharga seperser pun, sekali bergebrak dengan Ih-hoa-kiongcu, kepalanya pasti akan pamit dengan tuannya.”

Im Kiu-yu menyeringai, katanya, “Meski ilmu silat Yan Lam-thian cukup hebat, tapi Ih-hoa-kiongcu ....”

“Kalian cuma tahu ilmu silat Yan Lam-thian sudah telantar sekian tahun, tapi kau lupa bahwa mungkin sekali selama ini dia telah berhasil meyakinkan semacam Kungfu lain yang mahalihai,” sela Pek Khay-sim, “Kalau tidak masakan dia berani mencari Ih-hoa-kiongcu dan menantangnya bertanding? Memangnya dia sudah bosan hidup?”

Im Kiu-yu melengak, air mukanya tambah pucat.

“Apalagi,” demikian Pek Khay-sim menyambung pula, “Sudah beberapa hari Ih-hoa-kiongcu kelaparan terkurung di dalam gua sana, betapa pun lihainya juga takkan tahan oleh siksaan fisik ini. Seumpama sekarang dia sudah makan sesuatu, tapi ilmu silatnya akan terpengaruh banyak, jika mereka berani bergebrak dengan Yan Lam-thian pada saat demikian ....” Dia menggoyang kepala dan menghela napas gegetun, lalu menyambung, “Hm, kukira dia lebih banyak celaka daripada selamatnya.”

Setelah tercengang sejenak, kemudian Im Kiu-yu berkata, “Apa alangannya seumpama Yan Lam-thian tidak mati? Aku memang bukan tandingannya, tapi apakah aku tak dapat bersembunyi?”

“Bila Yan Lam-thian hendak mencari perkara kepada seorang, belum pernah kudengar sasarannya bisa kabur,” ujar Pek Khay-sim. “Apalagi, orang yang sudah berumur lebih setengah abad, jika hidupnya senantiasa kebat-kebit dan main sembunyi ke sana-sini, lalu apa artinya hidup ini baginya? Kan kasihan?”

Lama-lama Im Kiu-yu jadi gegetun, dampratnya dengan mendongkol, “Apa maksudmu sebenarnya bicara hal-hal ini padaku?”

“Aku pun tiada maksud apa-apa, aku cuma ingin membantumu agar Yan Lam-thian tidak lagi mencari kau,” kata Pek Khay-sim dengan tenang.

“Kau ingin membantuku? Kau punya akal?” tanya Im Kiu-yu, jadi tertarik.

“Jika aku tidak punya akal tentu takkan kucari kau,” jawab Pek Khay-sim.

Serentak Im Kiu-yu menarik bangun Pek Khay-sim yang masih berpelukan dengan Pek-hujin itu dan berseru, “Keparat, lekas katakan apa akalmu?”

Pek Kay-sim tidak lantas menjawab, ia sengaja memejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga, sejenak kemudian barulah ia berkata, “Setahuku, yang menyerang Yan Lam-thian di Ok-jin-kok dahulu bukanlah kau.”

“Betul,” cepat Im Kiu-yu berseru. “Li Toa-jui yang mengatur perangkap. To Kiau-kiau yang menyamar sebagai orang mati ....”

“Itu dia,” Pek Khay-sim bertepuk gembira. “Hanya mereka berdua itulah biang keladinya, asalkan Yan Lam-thian melihat mereka berdua sudah mampus, rasa dendamnya akan lenyap sebagian besar dan tentu takkan ngotot menuntut balas lagi pada orang lain.”

Gemerdep sinar mata Im Kiu-yu, katanya, “Jadi maksudmu agar aku membinasakan mereka berdua?”

“Kau sendiri tentu kurang kuat, jika ditambah kami suami-istri, lalu pakai lagi sedikit akal, mustahil kepala mereka takkan terpenggal dengan mudah?”

Im Kiu-yu berpikir sejenak, jengeknya kemudian, “Kukira kalian hanya ingin melampiaskan dendam kalian sendiri.”

“Memang betul,” jawab Pek Khay-sim. “Jika bukan untuk melampiaskan dendam sendiri, untuk apa mesti kusuruh kau membantuku? Aku kan bukan bapakmu?”

Im Kiu-yu tidak marah, sebaliknya malah tertawa, katanya, “Kulihat mereka memang sudah hidup cukup lama, bila lebih cepat bikin tamat riwayat mereka, rasanya juga tiada jeleknya.”

“Kau keparat, akhirnya kau paham juga maksudku, tampaknya aku memang tidak keliru mencari sekutu,” kata Pek Khay-sim dengan girang.

“Kau dirodok, tampaknya matamu memang tidak buta,” Im Kiu-yu balas mengumpat dengan tertawa.

Tapi mendadak Pek Khay-sim menarik muka pula, katanya sambil menghela napas, “Cuma, bila sekarang kita turun tangan, walaupun Ha-ha-ji mungkin tidak ikut campur, tapi Toh-lotoa pasti tidak berkenan di hati, bila dia ikut campur, maka urusan ini bisa sulit.”

Sinar mata Im-Kiu-yu gemerdep, katanya, “Memangnya kau dirodok, kau pun hendak mengerjai Toh-lotoa sekalian?”

“Hehehe, ini namanya kalau sudah mau berbuat janganlah kepalang tanggung,” kata Pek Khay-sim dengan terkekeh-kekeh.

“Tapi kalau cuma tenaga kita bertiga harus melawan mereka bertiga, rasanya akan seperti daging disodorkan ke mulut harimau, pasti akan dimakan mereka,” jengek Im Kiu-yu.

“Ai, kau keparat ini sungguh bodoh, sama sekali tidak paham ilmu siasat,” kata Pek Khay-sim.

Im Kiu-yu termenung sejenak, segera matanya terbeliak pula, ucapnya, “Apakah maksudmu ....”

“Pada waktu musuh tidak siap siaga, serang titik kelemahannya, habis itu baru tumpas satu per satu,” kata Im Kiu-yu.

“Tapi ... tapi mana ada titik kelemahan Toh-lotoa?” ujar Im Kiu-yu

“Kelemahannya terletak pada kecongkakannya,” kata Pek Khay-sim. “Dia sok gagah, anggap dirinya paling top, maka jalan paling baik adalah menghadapi dia dengan perempuan, sebab dia selalu menganggap perempuan adalah kaum lemah.”

Mendadak Pek-hujin tertawa, katanya, “Hihi, lelaki yang menganggap perempuan adalah kaum lemah, dia sendiri pasti akan konyol.”

*****

Dalam pada itu, Ha-ha-ji, To Kiau-kiau, Toh Sat dan Li Toa-jui telah berhenti di depan sana, mereka merasa lereng gunung ini sangat sunyi dan sejuk, boleh dibuat tempat istirahat.

Mereka tahu, selanjutnya mereka akan mulai buron lagi tanpa ada habis-habisnya, mereka pun tahu untuk buron jangka panjang diperlukan perencanaan yang matang.

Akan tetapi sekarang mereka sama sekali tidak mempunyai sesuatu gagasan apa pun.

Tiba-tiba To Kiau-kiau berkata, “Apakah kalian kira Yan Lam-thian akan mati di tangan Ih-hoa-kiongcu?”

“Kukira dia memang lebih banyak celaka daripada selamatnya,” ujar Li Toa-jui.

“Kukira belum tentu,” tukas Toh Sat. “Ilmu silat Yan Lam-thian cukup jelas bagiku,” ia pandang tangannya yang buntung, sorot matanya menampilkan rasa rawan dan pedih.

“Kalau Yan Lam-thian tidak mati, tentu dia takkan melepaskan kita,” kata Kiau-kiau pula. “Lalu ke manakah kita akan lari? Memangnya kita akan kembali lagi ke Ok-jin-kok?”

Mereka sama tahu Ok-jin-kok memang suatu tempat sembunyi yang baik, tapi hanya bagi orang lain, bagi Yan Lam-thian, Ok-jin-kok sudah tiada artinya lagi. Tapi selain Ok-jin-kok memangnya mau ke mana lagi mereka?

Seketika anggota Cap-toa-ok-jin yang biasanya suka omong menjadi bungkam semua.

Entah sudah berapa lama, Li Toa-jui berkerut kening dan mengomel, “Keparat, bocah she Pek yang suka merugikan orang lain itu entah kabur ke mana? Jangan-jangan sedang merancang akal busuk untuk membuat susah orang lain?”

“Kukira dia tidak berani,” kata Toh Sat.

Selagi Kiau-kiau hendak bicara, tiba-tiba tertampak Pek-hujin berlari datang dengan langkah terhuyung, air mata tampak meleleh di kedua pipinya, ia memandang sekeliling dengan cemas, habis itu dia mendekati Toh Sat dan berlutut sambil meratap “O, Toh-toako, tol ... tolong, sudilah engkau ... menolong diriku.”

“Menolong engkau?” tanya Toh Sat. “Ada urusan apa?”

Dengan menangis Pek-hujin menjawab, “Kami baru kawin satu hari, tapi dia sudah ... sudah tidak menghendaki diriku lagi, bahkan aku akan dibunuhnya. O, Toh-toako, diriku sudah sebatang kara, tidak punya sanak, tidak punya kadang, hanya Toh-toako saja yang dapat kumintai bantuan, sudilah engkau menolong diriku. Kutahu selamanya Toh-toako suka membela keadilan.”

Toh Sat benar-benar menjadi gusar, serunya, “Keparat, kalau dia sudah kawin denganmu mana boleh bertindak kasar padamu.”

Segera Li Toa-jui menyambung, “Benar, seumpama dia tidak suka lagi padamu, kan dapat menceraikan dirimu, mana boleh main bunuh segala. Memang sudah sejak dulu kutahu bocah she Pek itu tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik).”

Sekonyong-konyong Toh Sat berdiri, serunya dengan bengis, “Di mana keparat itu? Coba bawaku ke sana, akan kulihat apakah dia berani mengganggu seujung jarimu atau tidak?”

Sambil mengusap air mata dan ingusnya, Pek-hujin berkata, “Kutahu hanya Toh-toako saja seorang ksatria sejati dan tidak nanti membiarkan seorang perempuan lemah dibuat susah orang.”

Habis berkata, ia meronta-ronta bangun, berdiri saja tampaknya hampir tidak kuat.

“Apakah dia telah melukaimu?” tanya Toh Sat.

Pek-hujin menghela napas, jawabnya dengan sedih, “Dia telah menghajarku hingga babak belur, coba Toh-toako melihat sendiri.” Mendadak ia membuka baju sehingga kelihatan tubuhnya yang montok, lalu menyambung pula, “Kutahu hanya Toh-toako saja yang adil, pasti takkan ....”

“Sudahlah, lekas benarkan bajumu, akan kubantu ....” Belum habis ucapan Toh Sat, sekonyong-konyong sebilah belati menancap di dadanya.

Keruan kejut Toh Sat tak terkatakan, ia meraung keras, tangannya yang buntung dan berkait tajam itu terus terayun ke depan.

Tapi sekali berhasil menikam sasarannya, segera pula Pek-hujin melompat mundur, ia merasa kaitan baja Toh Sat menyerempet lewat buah dadanya dan hampir saja terkait, ia terkesiap hingga muka pucat.

Kejadian ini berlangsung mendadak dan terlalu cepat, sama sekali Ha-ha-ji, Li Toa-jui dan To Kiau-kiau tidak menduga perempuan histeris ini bernyali sebesar ini dan berani turun tangan keji terhadap Toh Sat.

Tertampaklah Toh Sat telah mencabut belati yang menancap di dadanya itu, seketika darah segar menyembur seperti pancuran air. Ia bermaksud menubruk maju, akan tetapi tenaga sudah ikut terembes keluar bersama pancuran darah itu. Kedua tangannya yang pernah membunuh orang dalam jumlah sukar dihitung itu kini telah berlepotan darah pula. Tapi sekali ini darah itu adalah darahnya sendiri.

Li Toa-jui dan To Kiau-kiau memburu maju hendak menolongnya, namun Toh Sat telah mengebaskan tangannya, ucapnya dengan menyesal sambil menengadah, “Selama hidup orang she Toh gagah perkasa, tak tersangka sekarang harus mati di tangan perempuan hina dina yang tidak tahu malu ini.”

“Jangan khawatir, Toh-lotoa,” seru To Kiau-kiau dengan gemas. “Dia pun takkan hidup!”

“Ba ... bagus ....” kata Toh Sat dengan terputus-putus, mendadak ia tersenyum pedih dan menyambung pula, “jika tahu akan jadi begini, lebih baik kita mati di tangan Yan Lam-thian saja, betapa pun dia kan seorang ksatria sejati ....” Sampai di sini, ia tidak kuat lagi, ‘brek’, orang yang menganggap dirinya gagah perkasa ini telah ambruk dan tidak bangun lagi untuk selamanya.

Pek-hujin seperti ketakutan dan baru sekarang ingat akan lari, ia menjatuhkan diri terus menggelinding ke sana, lalu melompat bangun dan hendak kabur.

“Mau kabur ke mana?” bentak Li Toa-jui dengan bengis.

“Dia takkan dapat kabur!” terdengar seorang menanggapi dengan suara seram.

Seperti arwah gentayangan saja mendadak Im Kiu-yu muncul dari balik batu sana mengadang di depan Pek-hujin. Tanpa bicara, segera Pek-hujin menyerang beberapa kali. Tapi cuma sekali gebrak saja, sekali meraih dapatlah Im Kiu-yu memegang pergelangan tangan Pek-hujin.

“Hehehe, kalau hari ini kau dapat kabur begitu saja, lalu ke mana lagi nama Cap-toa-ok-jin kami akan ditaruh?” kata Im Kiu-yu dengan terkekeh-kekeh.

Pek-hujin menggereget, katanya, “Aku sudah kenyang disiksa oleh kawanan Ok-jin kalian ini, kau bunuh saja diriku, betapa pun dendamku sudah terlampias sebagian.”

“Bunuh kau?” tukas Im Kiu-yu, “hehe, masa begitu mudah?” Lalu dia berpaling dan berkata kepada Li Toa-jui. “Konon daging manusia yang lezat harus langsung dikupas dari tubuh orang hidup, biarlah kuhadiahkan masakan ini untukmu.”

Li Toa-jui menyeringai, ucapnya, “Aku bukan orang she Li jika tidak kusayat seribu tiga ratus lima puluh kali dagingnya, lalu kubinasakan dia.”

Mendadak Pek-hujin bergelak tertawa histeris, teriaknya, “Hahaha, kukira kau hendak menuntut balas bagi Toh-lotoa, tak tahunya kau cuma ingin makan dagingku saja. Baiklah, majulah kemari, anak yang baik, silakan menetek saja susu biangmu ini, jika biangmu mengernyitkan kening, anggaplah aku yang melahirkan kau.”

“Hm, mustahil perempuan bejat ini mempunyai nyali sebesar ini untuk turun tangan keji pada Toh-lotoa, pasti Pek Khay-sim yang mendalangi dia,” jengek Kiau-kiau mendadak.

“Hehe, masakan ibumu ini perlu didalangi orang?” jengek Pek-hujin dengan tertawa. “Terus terang kukatakan, si bangsat keparat Pek Khay-sim itu pun sudah mampus di atas tubuhku, mayatnya sedang menantikan kalian untuk menguburnya.”

Sinar mata To Kiau-kiau gemerdap, ucapnya tiba-tiba, “Sementara jangan kalian bunuh dia, akan kujenguk dulu ke sana.”

“Jangan khawatir, kujamin dalam tiga hari tiga malam dia tidak akan mampus,” ujar Li Toa-jui sambil menyeringai seram. Dia jemput belati yang berlepotan darah Toh Sat itu dan selangkah demi selangkah mendekati Pek-hujin yang terpegang oleh Im Kiu-yu itu.

Ha-ha-ji memandang Li Toa-jui sekejap, lalu memandang pula To Kiau-kiau yang sudah berada jauh di sana, ia tertawa lalu berkata, “Entah bagaimana jadinya wajah Pek Khay-sim yang sudah mampus itu, biarlah aku pun menjenguk dia.”

Habis berkata ia terus mendekati Pek-hujin. Tapi belum lagi sampai di depannya, mendadak Pek-hujin berteriak, “Im Kiu-yu, setan alas kau! Jika kau masih berbau manusia, boleh kau bunuh diriku saja, jangan sampai aku disiksa oleh binatang pemakan manusia ini, nanti jadi setan pun aku akan berterima kasih padamu.”

“Aku setan alas? Manusia? Hehehe, hakikatnya aku cuma setengah setan setengah manusia!” Demikian Im Kiu-yu terkekeh-kekeh.

Li Toa-jui bergelak tertawa, katanya, “Kiranya kau pun kenal takut. Baiklah mengingat Pek Khay-sim juga kau bunuh, maka akan kukurangi seratus kali sayatan dan tidak boleh ditawar lagi, satu kali pun tidak boleh kurang.”

Dengan suara parau Pek-hujin berteriak, “Kau... kau binatang, kau ....”

Mendadak Li Toa-jui melompat maju, jengeknya dengan menyeringai, “Hm, tadinya aku bingung sayatan pertama harus kumulai dari bagian mana, baru sekarang kutahu harus kupotong dulu lidahmu agar perempuan judes seperti dirimu ini tak bisa omong lagi.” Sembari bicara, segera pula ia angkat belatinya hendak memotong lidah Pek-hujin.

Siapa tahu, pada saat itu juga, sekonyong-konyong Im Kiu-yu melepaskan Pek-hujin, dari kanan-kiri kedua orang itu terus mengerubutnya.

Belum lagi Li Toa-jui menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu rusuk kiri sudah kena dihantam sekali oleh Pek-hujin, berbareng rusuk kanan juga kena di tonjok Im Kiu-yu, kontan darah segar tersembur dari mulutnya dan jatuh tersungkur.

“Hihihi, kan sudah kukatakan pasti tiada kesulitan apa-apa, coba lihat sekarang kan lebih mudah daripada makan kacang goreng?” ujar Pek-hujin dengan tertawa nyekikik.

“Hehe, semula kukira hatiku paling berbisa daripada hati siapa pun, baru sekarang kutahu hati yang paling berbisa adalah tetap hati perempuan,” kata Im Kiu-yu sambil tertawa ngekek.

“Semua ini kan berkat perhitunganmu yang cermat,” kata Pek-hujin dengan senyum genit. “Menurut pendapatku, biarlah mereka semua ini bergabung menjadi satu juga tidak dapat membandingkan satu jarimu.”

“Hehe, apakah kau hendak memikat diriku? Kukira kau telah salah sasaran, selamanya tuan Im tidak suka hal-hal begini,” kata Im Kiu-yu dengan terkekeh. “Ayolah, lekas angkat serigala mulut besar ini dan ikutlah pergi bersamaku.”

“O, apa dayaku kalau kasih hanya bertepuk sebelah tangan, tak tersangka hati kakanda sekeras baja, terpaksa kusesali nasibku sendiri,” ucap Pek-hujin dengan rawan.

Dia bicara seperti sedang main sandiwara di atas panggung, tapi Im Kiu-yu menjadi senang. Maklum, selama hidupnya memang tidak ada seorang perempuan yang pernah menunjuk cinta padanya. Jika seorang lelaki pada hakikatnya tidak tahu bagaimana rasanya berhubungan antara lelaki dan perempuan, maka kata-kata perempuan yang semakin genit akan semakin menyenangkan dia.

Begitulah dengan menggigit bibir dan lesu Pek-hujin mendekati Li Toa-jui.

Li Toa-jui ternyata belum mati, dia sedang merintih dan berkata, “Akan ... akan kau bawa ke mana diriku? Meng ... mengapa tidak ... tidak kau bunuh saja aku?”

“Kau bilang akan sayat tubuhku ini seribu tiga ratus lima puluh kali, mana aku tega membunuhmu sekarang juga?” ucap Pek-hujin dengan suara halus.

Lalu dia setengah berjongkok, bibirnya tampak bergerak-gerak entah apa yang diucapkannya di telinga Li Toa-jui. Yang jelas mendadak mata Li Toa-jui mencorong terang.

Saat itu Im Kiu-yu sedang mondar-mandir dengan bertolak pinggang, tiba-tiba ia merasa dirinya telah bertambah ganteng, sungguh ia ingin mencari sebuah cermin untuk melihat wajah sendiri apakah memang sudah bertambah cakap.

Tak terduga, mendadak Pek-hujin mengangkat tubuh Li Toa-jui terus ditolak ke depan, seketika tubuh Li Toa-jui melayang ke atas terus menubruk ke arah Im Kiu-yu, kontan rambut Im Kiu-yu terjambak sehingga keduanya jatuh terguling.

Mimpi pun Im Kiu-yu tidak menyangka Li Toa-jui masih bisa bertindak demikian, keruan ia terkejut, segera ia bermaksud memukul untuk membuat Li Toa-jui terpental, tapi sudah terlambat, tahu-tahu Kiat-hay-hiat di pinggangnya tertusuk jarum perak Pek-hujin, seketika tubuhnya kaku kesemutan dan bisa bergerak lagi.

Dengan menyeringai Li Toa-jui berucap dengan terengah-engah, “Jika kau tahu hati perempuan paling berbisa, mengapa kau masih percaya kepada kata-kata perempuan? Kau mencelakai diriku, memangnya apa manfaatnya bagimu?”

Terdengar suara ‘krak-kruk’ di tenggorokan Im Kiu-yu, satu kata pun tak dapat diucapkannya. Maklumlah, tulang lehernya telah diremas patah oleh Li Toa-jui. Maka kini dia telah menjadi setan seluruhnya dan tidak setengah-setengah lagi.

Memandangi kedua tangan sendiri yang berlepotan darah itu, Li Toa-jui bergelak tertawa seperti orang gila.

“Li-toaya, sudah kubantu membalas sakit hatimu, sekarang cara bagaimana kau harus berterima kasih padaku?” kata Pek-hujin dengan tersenyum kenes.

Suara tertawa Li Toa-jui berhenti perlahan-lahan, dengan napas tersengal ia menjawab, “Sesungguhnya apa kehendakmu?”

“Sudahlah, apakah kau berterima kasih atau tidak padaku, yang pasti aku tetap akan membantumu,” kata Pek-hujin pula dengan suara lembut.

“O, jangan, kumohon jangan, jangan lagi engkau membantuku, aku tidak sanggup menerima lagi,” kata Li Toa-jui.

“Tapi bantuan ini mau tak mau harus kuberikan,” ujar Pek-hujin dengan tertawa, “Kalian Cap-toa-ok-jin sedemikian baik padaku, mana boleh aku tidak membalas kebaikan kalian ini secara setimpal?”

Dia bicara dengan tersenyum, mendadak sebelah kakinya melayang, kontan Li Toa-jui ditendangnya hingga jatuh kelengar.

Di sebelah sana Pek Khay-sim memang benar sudah mati, mati tergantung di atas pohon.

Waktu hidupnya tampaknya memang tidak terbilang cakap, sesudah mati tentu saja tambah jelek, matanya mendelik persis tikus yang dijemur.

To Kiau-kiau menghela napas menyesal, gumamnya, “Memang sudah kuduga orang ini pasti tidak bakal mati dengan baik-baik, tapi tak tersangka dia akan mati secara begini mengenaskan. Kita telah membantu merebut bini si harimau she Pek itu, jadinya malah telah membantu si harimau itu.”

Sembari menggerutu, tahu-tahu ia pun sudah sampai di bawah pohon tempat Pek Khay-sim digantung dengan terjungkir itu.

Mendadak didengarnya Ha-ha-ji berseru di belakangnya, “Awas, hati-hati, bukan mustahil jahanam itu cuma pura-pura mati saja.”

Mendingan kalau dia tidak bersuara, lantaran seruannya itu, dengan sendirinya To Kiau-kiau lantas menoleh. Karena sedikit meleng inilah, tahu-tahu kedua tangan Pek Khay-sim telah mencekik lehernya.

Ha-ha-ji terkesiap dan melenggong seperti patung di tempatnya, rasanya selangkah saja tidak sanggup berjalan lagi.

Terdengar Pek Khay-sim sedang menjengek, “Hm, To Kiau-kiau, sebenarnya aku pun tidak dendam apa-apa padamu, juga tiada niatku hendak membunuhmu, semua ini adalah gagasan Im-lokiu. Bila kau telah menjadi setan, sebaiknya kau menagih jiwa padanya dan janganlah mencari diriku.”

To Kiau-kiau tampak melotot karena lehernya tercekik, sama sekali ia tak dapat bersuara, bahkan mendengar saja tidak bisa lagi.

Pek Khay-sim lantas melompat turun, katanya dengan tertawa sambil memandang Ha-ha-ji, “Coba, caraku menyamar sebagai orang mati kan tidak kalah dibandingkan To Kiau-kiau, bukan? Selama hidup si banci paling mahir pura-pura mati untuk menjebak orang, tak tersangka akhirnya ia sendiri pun mampus di tangan orang yang pura-pura mati.”

Ha-ha-ji menghela napas gegetun, gumamnya, “Dunia berputar terus, segala sesuatu balas membalas, pada penitisanku yang akan datang, tak berani lagi aku berbuat jahat.”

Pek Khay-sim bergelak tertawa, katanya, “Apakah kau hendak kembali ke jalan yang baik, Ha-ha-ji? Padahal Cap-toa-ok-jin sekarang tinggal tersisa beberapa orang lagi dan memerlukan tenagamu untuk perkembangan selanjutnya, sebab bobotmu seorang cukup menandingi tiga orang lain.”

Ha-ha-ji seperti kegirangan, cepat ia tanya dengan suara agak gemetar, “Jadi ... jadi engkau sudi mengampuni diriku?”

“Bisa jadi,” jawab Pek Khay-sim sambil mendongak angkuh. “Cuma aku perlu mengingat, menimbang untuk kemudian baru memutuskan.”

“Sudahlah, kumohon dengan sangat, janganlah pakai menimbang lagi,” pinta Ha-ha-ji dengan wajah memelas. “Asalkan engkau sudi mengampuni diriku, maka engkau adalah ayah bundaku, selanjutnya akan kuturut segala perintahmu, engkau memerintahkan aku ke timur pasti aku takkan ke barat, engkau suruh aku merangkak, pasti aku tidak berani berdiri.”

“Hihi, bagus, jika begitu. Coba sekarang kau merangkak satu putaran dulu,” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

Tanpa bicara lagi Ha-ha-ji terus menjatuhkan diri ke bawah dan mulai merangkak kian kemari.

“Hahaha,” Pek Khay-sim bertepuk tertawa senang. “Marilah kemari, lihatlah ada tontonan menarik, di sini ada seekor kura-kura lagi merangkak.”

Sambil merangkak malahan Ha-ha-ji sembari cengar-cengir dan berseru, “Kura-kura gemuk, suka merangkak, Tuan Pek tertawa hahaha, nyonya Pek memburu tiba juga tertawa ....”

Benar juga, Pek-hujin telah menyusul tiba dengan menyeret Li Toa-jui, ia pun tertawa gembira.

Pek Khay-sim memicingkan mata kepada perempuan itu, katanya, “Apakah semuanya sudah beres?”

“Tentu saja sudah,” jawab Pek-hujin dengan genit. “Betapa pun liciknya mereka juga takkan lolos dari tanganku.”

“Dan mana Im-lokiu?” tanya Pek Khay-sim.

“Untuk apa menyisakan dia, sudah kubereskan sekalian,” jawab Pek-hujin. “Bila dia dibiarkan hidup, jangan-jangan nanti kalau kita lagi ‘main’, lalu dia ingin menonton di samping, kan bikin runyam saja.”

“Kau keparat, memang betul juga ucapanmu,” seru Pek Khay-sim dengan tertawa. “Kalau kelinci sudah mati semua, untuk apa piara anjing?”

Pek-hujin lantas lemparkan Li Toa-jui, katanya, “Hanya sisa serigala ini, kutahu kau merasa berat bila dia mati begitu saja.”

Pek Khay-sim terus melompat maju, Pek-hujin dirangkulnya dengan mesra, ucapnya, “O, jantung hatiku, mestikaku, kau memang seperti cacing pita dalam perutku, segala isi hatiku dapat kau ketahui seluruhnya.”

Pek-hujin tertawa nyekikik, katanya, “Dan bagaimana dengan kura-kura gemuk ini?”

“Kukira setiap saat jiwanya dapat kita habiskan bilamana kita mau, maka sekarang tidak perlu terburu-buru membunuhnya,” kata Pek Khay-sim. “Biarkan saja, kalau hatiku lagi kesal, akan kupermainkan dia seperti kura-kura sebagai pelipur lara.”

“Lalu bagaimana dengan serigala mulut besar ini? Akan kau bereskan dengan cara bagaimana?” tanya Pek-hujin pula.

Pek Khay-sim berkedip-kedip, katanya, “Ah, jangan-jangan kau ada gagasan baru lagi?”

“Kau tahu,” jawab Pek-hujin dengan tertawa, “Segala macam daging sudah pernah dimakannya, sampai-sampai daging istrinya juga dimakannya. Hanya ada semacam daging manusia yang belum pernah dia makan, kalau dia mati begini saja kan bisa menyesal di neraka? Maka aku harus membantu dia memenuhi seleranya yang terakhir ini.”

“O, daging manusia macam apa yang belum pernah dia makan?” tanya Pek Khay-sim.

“Daging orang yang suka makan orang,” jawab Pek-hujin.

Terbeliak mata Pek Khay-sim, “O, maksudmu menyuruh dia makan dagingnya sendiri?”

“Coba katakan, gagasan ini bagus tidak?” tanya Pek-hujin sambil terkikik-kikik.

Kembali Pek Khay-sim merangkulnya dengan mesra, serunya sambil bergelak tertawa, “O, jantung hatiku, mestikaku tercinta, betapa bahagianya kau menjadi istriku.”

Di tengah gelak tertawanya itu, mendadak terdengar suara “krek”, sekonyong-konyong Pek-hujin menjerit ngeri, tubuhnya lantas roboh terkulai seperti tak bertulang lagi. Kepalanya juga terkulai ke bawah. Bergelantung ke depan dada, tapi matanya tampak melotot sebesar gundu, dengan sorot mata penuh rasa kejut dan takut ia berkata, “Kau ... kau ....”

Namun leher yang sudah patah mana bisa bersuara lagi, biarpun banyak kata-kata caci-maki yang paling keji hendak dilontarkannya, namun yang keluar dari mulutnya hanya suara mendesis-desis saja, keadaannya sungguh mengerikan.

Rupanya sampai mati pun Pek-hujin tidak percaya bahwa yang membunuhnya ialah Pek Khay-sim, sama halnya sampai ajalnya Toh Sat dan Im Kiu-yu juga tidak percaya dia akan membunuh mereka.

Dengan tertawa terkekeh-kekeh Pek Khay-sim lantas berkata, “Tidaklah perlu kau bersikap beringas begini. Sebenarnya kau tahu sejak mula, jika kelinci sudah mati semua, untuk apa pula memelihara anjing betina macam kau ini?”

Pek-hujin menatapnya dengan mata melotot, biji matanya seakan-akan meloncat keluar, barang siapa yang melihat cara melotot Pek-hujin ini, malamnya pasti akan selalu terbayang-bayang dan tak dapat tidur nyenyak.

Namun Pek Khay-sim sama sekali tidak memusingkannya, dengan tenang ia berkata pula, “Apalagi, jika tidak kubunuh engkau, lambat atau cepat pastilah aku yang akan kau bunuh. Kutahu dalam hatimu sudah teramat benci kepada Cap-toa-ok-jin kami ini, makanya kau sengaja memperalat diriku untuk membunuh mereka, habis itu kau akan berdaya upaya lagi untuk membunuhku. Jika sekarang aku tidak turun tangan lebih dulu, kelak akulah yang akan mati konyol.”

Otot hijau pada leher Pek-hujin berkerut-kerut, lalu ia mengembuskan napasnya yang terakhir.

Mendadak Li Toa-jui berseru dengan gegetun, “Wahai Pek Khay-sim, tadinya kukira kau ini orang paling goblok, siapa tahu kau jauh lebih pintar daripada dugaanku.”

“Hah, kau belum lagi mati? Apakah kau memang sedang menunggu untuk makan dagingmu sendiri?” tanya Pek Khay-sim dengan menyeringai.

“Ya, betul,” jawab Li Toa-jui, sedapatnya ia bersikap tenang. “Memang sudah lama ingin kucicipi bagaimana rasanya dagingku sendiri. Cuma sayang, selama ini belum ada kesempatan. Sekarang kesempatan baik tersedia, mana boleh kulewatkan begini saja.”

Pek Khay-sim jadi melengak malah, tanyanya, “Apakah betul?”

“Mengapa tidak?” jawab Li Toa-jui, “Orang yang dekat ajalnya bicaranya pasti juga bijak, untuk apa kudusta dalam keadaan begini?”

Pek Khay-sim berkedip-kedip, mendadak ia bergelak tertawa pula, katanya, “Hahaha, memangnya kau kira aku akan percaya pada ucapanmu, lalu tidak memenuhi keinginanmu.”

“Syukur jika kau tidak percaya,” kata Li Toa-jui. “Nah, lekas ambilkan pisau, tapi jangan potong daging bagian lenganku, daging di bagian ini paling kasar seratnya.”

Pek Khay-sim menatapnya sejenak, tiba-tiba ia berpaling kepada Ha-ha-ji dan bertanya, “Kau percaya ucapannya tidak?”

Sejak tadi Ha-ha-ji masih terus merangkak dengan munduk-munduk, sekarang lekas ia menjawab dengan mengiring tawa, “Sampai mati pun anjing tetap makan najis, kalau serigala mulut besar ini tidak makan daging orang lain, daging sendiri pasti juga dimakannya. Tapi untuk apa Pek-lotoa memenuhi seleranya, biarkan saja dia mati dengan mengeluarkan air liur.”

“Betul, betul, harus kubuat dia mati mengiler,” seru Pek Khay-sim sambil bertepuk. “Meski daging tumbuh di tubuhnya, akan kubuat dia hanya dapat memandang tapi tak dapat memakannya.”

Dengan napas memburu Li Toa-jui berkata, “Kutahu sebabnya Im-lokiu membunuh kami adalah karena dia ingin mengelabui Yan Lam-thian agar menyangka kami sudah mati semua sehingga takkan mengusik lebih jauh sakit hatinya. Tapi kau juga membunuh kami, memangnya apa manfaatnya bagimu?”

Pek Khay-sim tertawa lebar, katanya, “Apa nama julukanku, masa kau sudah lupa?”

Li Toa-jui melenggong sejenak, gumamnya kemudian sambil menyengir, “Merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri ....” tiba-tiba napasnya semakin memburu, akhirnya ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.

Tiba-tiba Ha-ha-ji bertanya dengan tertawa, “Pek-lotoa, apakah engkau masih ingin melihat kura-kura gemuk merangkak?”

Pek Khay-sim memberi tanda, katanya, “Sudahlah cukup, berdirilah.”

“Engkau ... engkau benar-benar telah mengampuni diriku?” tanya Ha-ha-ji.

“Jangan khawatir,” ujar Pek Khay-sim. “Asalkan kau tunduk kepada segala perintahku, pasti takkan kubuat susah kau. Persaudaraan kita kini tinggal kita berdua, mana kutega membunuhmu lagi, jika kau pun mati, lalu siapa di dunia ini yang mau berkawan denganku?”

“Terima kasih, terima kasih, Pek-lotoa,” kata Ha-ha-ji sambil menjura berulang-ulang.

Pek Khay-sim tertawa terbahak-bahak, betapa senangnya seperti mendadak telah menjadi raja.

Tapi dia benar-benar cuma menjadi raja sekejap, sesuai namanya, “Pek Khay-sim “ atau gembira percuma, akhirnya kegembiraan itu memang cuma sia-sia belaka.

Ketika Ha-ha-ji hampir selesai menjuranya sekonyong-konyong dari punggungnya menyambar keluar tiga batang anak panah berwarna hitam gilap, “cret” kontan bersarang di hulu hati Pek Khay-sim.

Keruan Pek Khay-sim menjerit kaget, seketika ia terjungkal dan menatap Ha-ha-ji dengan melotot. Sikapnya ini persis seperti Pek-hujin menatapnya tadi.

Ha-ha-ji bergelak tertawa, serunya, “Wahai Pek Khay-sim, makanya jangan sok pintar, nyatanya kau pun goblok, masa kau tidak curiga mengapa aku menjadi sedemikian tunduk padamu? Memangnya kau kira aku benar-benar takut padamu?”

Sambil memegangi anak panah yang menancap di hulu hatinya. Pek Khay-sim berkata dengan suara serak, “Jika ... jika kutahu tentu aku takkan terjebak oleh kura-kura gemuk macam kau ini.”

“Dan berdasarkan apa kau kira aku takut padamu?” tanya Ha-ha-ji pula.

“Kukira orang gemuk pada umumnya takut mati dan tidak mungkin berani turun tangan padaku, aku pun mengira orang gemuk pasti tidak becus, seumpama kau menyerangku juga tidak perlu kutakut, tapi aku lupa ... lupa ....” Tiba-tiba air muka Pek Khay-sim berubah pucat, bibir pun biru dan mata mulai berkunang-kunang.

“Haha, jadi kau lupa akan julukanku, menikam sambil tertawa, begitu? Haha, masa kau tidak tahu bahwa tidak sedikit orang Kangouw yang telah binasa oleh kepandaianku yang khas ini?”

“Tapi ... tapi mengapa kau bunuh diriku?” tanya Pek Khay-sim dengan terengah-engah. “Jika kita bergabung menjadi satu kan jauh lebih baik daripada berdiri sendiri?”

Ha-ha-ji tidak memandangnya lagi, mendekati To Kiau-kiau dan bertanya dengan suara lembut, “Kiau-kiau, kau lihat tidak? Sakit hatimu sudah kubalaskan.”

“He, kiranya kau bunuh diriku untuk membalas sakit hatinya?” seru Pek Khay-sim. “Jadi kau … kau dan dia....”

Kulit muka Ha-ha-ji tampak berkerut-kerut, agaknya merasa sedih, maka tidak perlu tanya lagi Pek Khay-sim juga tahu ada hubungan istimewa antara Ha-ha-ji dan To Kiau-kiau.

Terdengar Ha-ha-ji berkata dengan rawan, “Selama ini, betapa pun kau cukup baik padaku, sekarang kau akan mati, hatiku merasa sedih ....”

Pek Khay-sim meringis menahan rasa sakitnya, serunya tiba-tiba, “Selama dua puluh tahun mengeram di Ok-jin-kok, memang sudah kuduga si banci itu pasti tidak tahan rasa gatalnya, sering kukatakan dia pasti punya ‘gacoan’, tapi yang selalu kucurigai adalah Toh-lotoa.” mendadak ia bergelak tertawa, lalu menyambung, “Padahal seharusnya sudah kuduga bahwa gendaknya pastilah dirimu, sebab siapa yang sudi pada banci yang sudah tua bangka seperti dia kecuali kura-kura gemuk macam kau ini.”

Sambil meraung Ha-ha-ji ayun kakinya, Pek Khay-sim ditendangnya hingga mencelat dan untuk seterusnya tidak dapat lagi berucap dan berbuat sesuatu yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.

Untuk sejenak Ha-ha-ji istirahat, setelah tenang kembali, mendadak dilihatnya To Kiau-kiau masih dapat membuka matanya sedikit. Kejut dan bergirang Ha-ha-ji, cepat ia berjongkok pula dan bertanya, “Kiau-kiau, apakah kau masih bisa bicara?”

To Kiau-kiau mengangguk, bibirnya tampak bergerak-gerak seperti ingin berkata sesuatu. Tapi keadaannya sudah terlampau lemah sehingga Ha-ha-ji tidak mendengar apa pun. Terpaksa dia mendekatkan telinganya ke mulut Kiau-kiau, katanya dengan lembut, “Kiau-kiau, ada isi hati apa yang ingin kau katakan, bicaralah, pasti akan kulakukan bagimu.”

Kiau-kiau mengeluh perlahan, katanya dengan lemah, “Kita ... kita sepasang merpati yang senasib bukan?”

Berulang-ulang Ha-ha-ji mengangguk, katanya, “Betul, memang betul kita ini sepasang merpati yang senasib, suami istri yang penuh kasih sayang.”

Tersembul senyuman terakhir pada ujung mulut To Kiau-kiau, katanya pula lirih, “Makanya kalau aku mati, betapa pun kau tidak boleh hidup sendirian.”

Sungguh kejut Ha-ha-ji tak terkirakan, segera ia ingin melompat mundur, tapi sayang, sudah terlambat. Tahu-tahu kedua tangan To Kiau-kiau seperti ular telah membelit lehernya, berbareng mulut terus menggigit tenggorokannya.

Sekuatnya Ha-ha-ji meronta, tapi akhirnya tak dapat bergerak lagi. Lambat-laun air mukanya berubah pucat, darahnya mengucur bagai air ledeng mengalir masuk ke perut To Kiau-kiau. Mendadak ia meronta sekeras-kerasnya dan menindih di atas tubuh To Kiau-kiau.

Maka terdengarlah serentetan suara “krek-krek”, tulang sekujur badan To Kiau-kiau tertindih patah.

Ha-ha-ji merangkak bangun dengan sisa tenaganya, ia terbahak-bahak beberapa kali sambil menengadah, dan “bluk”, akhirnya ia jatuh tersungkur dan tak bangun lagi untuk selamanya.

Li Toa-jui memandangi semua kejadian itu dengan melenggong. Gumamnya kemudian sambil menghela napas panjang, “Bagus, bagus sekali! Akhirnya Cap-toa-ok-jin mati semua. Sudah semenjak dulu, tiga puluh tahun yang lalu, sudah kuduga bahwa di antara Ok-jin ini pasti akan terjadi saling membunuh. Thian mengumpulkan kami bersepuluh, memangnya hendak membuat kami jahat memukul jahat, racun melawan racun, supaya saling membunuh. Kalau tidak, satu-dua Ok-jin saja sudah cukup ramai, untuk apa mesti berkumpul sampai sepuluh orang?”

Sekuatnya ia meronta bangun, tapi lantas jatuh lagi, akhirnya ia berusaha merangkak ke atas bukit, agaknya ingin jauh meninggalkan mayat-mayat menjijikkan ini.

Angin pegunungan meniup silir-semilir, dari kejauhan seperti ada suara raungan binatang buas.

Li Toa-jui menyengir, gumamnya, “Apakah Toapekong penjaga tanah di sini tidak sudi menerima mayat orang-orang ini, makanya menyuruh kawanan serigala atau harimau melalap habis mayat mereka ini agar segalanya menjadi lenyap dan bersih.”

Lalu ia goyang-goyang kepala dan bergumam pula, “Cuma sayang, orang-orang ini bukan saja hati berbisa, sampai daging mereka pun bau busuk, sekalipun anjing kelaparan juga tidak sudi mengendusnya.”

Di balik tanjakan bukit ini, di balik semak-semak pepohonan sana seperti ada sebuah gua yang sangat dalam, batu padas tampak berserakan di sekitar gua ini seperti raksasa yang mengangakan mulutnya.

Sekuatnya Li Toa-jui merangkak ke sana, dengan menyengir ia bergumam pula, “Mulut gua ini jauh lebih besar daripada mulutku. Jika Li si mulut besar bisa mati di dalam gua yang mahabesar ini, maka matinya boleh dikatakan cocok dengan tempatnya. Diharap saja mulut raksasa ini tidak seperti diriku, setelah telan tubuhku bulat-bulat, lalu kepalaku ditumpahkan.”

Seram juga rasanya di dalam gua sebesar ini, karena lembap, tercium bau yang memualkan.

Akan tetapi Li Toa-jui berlagak seakan-akan selama hidup belum pernah menikmati tempat istirahat sebagus ini, ia menghela napas panjang-panjang, lalu merebahkan diri di situ.

Padahal tanah gua ini sangat lembap dan penuh batu kerikil, namun Li Toa-jui seperti berbaring di atas ranjang anak perawan yang berkasur empuk dan berbau harum. Ia bergumam pula, “Wahai Li Toa-jui, bahwa Thian telah memberikan suatu tempat begini padamu agar kau dapat menantikan ajalmu dengan aman dan tenang, sungguh hal ini sudah suatu karunia yang sukar dicari, lalu apalagi yang kau sesalkan?”

Akan tetapi Thian ternyata tidak membiarkan dia menanti ajal dengan aman dan tenang.

Entah berselang berapa lama, tiba-tiba terdengar suara langkah orang di luar gua.

Segera Li Toa-jui bermaksud melompat bangun, tapi apa daya, tenaga untuk merangkak saja tidak ada. Dalam keadaan demikian, mau tak mau ia hanya menyerah saja kepada takdir. Maka dia lantas berbaring lagi, pikirnya, “Selama hidupku ini aku suka makan daging manusia, jika Thian menghendaki mayatku harus menjadi makanan anjing kan juga adil.”

Untunglah Thian tiada maksud menjadikan ia sebagai makanan anjing sebab yang datang ini adalah manusia.

Terdengar suara seorang berkata, “Di sinilah tempatnya, pasti tidak salah lagi, masih kuingat dengan baik batu di depan gua itu.”

Meski kata-kata orang ini sangat umum, tapi suaranya keras dan berat, walaupun tidak kenal suara siapa, tapi entah mengapa, jantung Li Toa-jui lantas berdebar.

Selang sejenak terdengar seorang lagi berkata, “Paman, aku telah berbuat sesuatu di luar tahumu, apakah engkau sudi memaafkan diriku?”

Mendengar suara ini barulah Li Toa-jui benar-benar terkejut.

Orang ini ternyata Siau-hi-ji adanya. Jika demikian, yang seorang lagi tentu Yan Lam-thian. Sungguh tak terpikir oleh Li Toa-jui bahwa akhirnya ia pun sia-sia belaka bersembunyi ke sana ke sini. Karena takutnya hingga bernapas saja tidak berani keras-keras.

Padahal dia sudah dekat ajalnya, apa yang mesti ditakuti pula? Itulah buktinya bilamana seorang pernah berbuat dosa, maka pasti akan timbul rasa takutnya dalam keadaan bagaimana pun juga.

Terdengar Yan Lam-thian lagi berkata, “Kau berbuat apa di luar tahuku?”

“Di ... di luar tahu paman, diam-diam telah ... telah kusuruh orang melepaskan Kang Piat-ho dan anaknya,” jawab Siau-hi-ji.

Agaknya Yan Lam-thian melenggong sejenak, katanya kemudian dengan suara bengis. “Mengapa kau bertindak demikian? Masa kau lupa akan sakit hatimu yang sedalam lautan itu?”

“Anak tidak pernah lupa,” jawab Siau-hi-ji, “Cuma kurasa, untuk menuntut balas tidak perlu harus membunuh mereka, bahwa orang lain telah membunuh orang tuaku, ini adalah perbuatan mereka yang kotor dan kejam, jika aku pun membunuh mereka, bukankah aku pun berubah serupa mereka? Sebab itulah aku sengaja membiarkan mereka hidup agar mereka dapat menyesali dosanya sendiri, kupikir dengan cara demikian akan jauh lebih berarti daripada aku membunuh mereka.”

Anak muda itu bicara dengan lancar dan tegas, sedikit pun tiada tanda takut-takut.

Yan Lam-thian termenung agak lama, ia menghela napas gegetun, lalu berkata dengan rawan, “Anak yang baik, Kang Hong mempunyai anak seperti kau, di alam baka dapatlah dia istirahat dengan tenteram. Percumalah paman Yan hidup selama berpuluh tahun, nyatanya tidak dapat berpikir bijaksana seperti dirimu.”

“Jika demikian, lalu pertarungan dengan Hoa Bu-koat apakah juga boleh dibatalkan?” tanya Siau-hi-ji.

“Ini sama sekali tidak boleh,” kata Yan Lam-thian, suaranya menjadi bengis lagi.

“Mengapa tidak boleh?” tanya Siau-hi-ji. “Antara Hoa Bu-koat dan diriku kan tiada permusuhan apa-apa, untuk apa aku harus mengadu jiwa dengan dia?”

“Pertarungan ini bukan untuk menuntut balas, tapi demi nama, demi kehormatan,” seru Yan Lam-thian dengan kereng. “Seorang lelaki, kepala boleh dipenggal, darah boleh mengalir, tapi tidak boleh berbuat sesuatu yang memalukan. Urusan sudah sejauh ini, bila kau hendak lari sebelum maju di medan laga, dapatkah kau bertanggung jawab terhadap ayah bundamu, dapat pulakah bertanggung jawab padaku?”

Siau-hi-ji menghela napas, satu kata saja dia tidak sanggup menjawab.

Yan Lam-thian menyambung pula, “Jadi sekarang, apa pun juga kau harus bertarung dengan Hoa Bu-koat, aku pun harus bertempur dengan Ih-hoa-kiongcu, sebab orang yang berbuat salah harus menerima hukumannya. Seorang lelaki sejati ada yang tidak boleh diperbuatnya, tapi ada juga yang harus diperbuatnya. Biarpun kita tahu jelas akan gugur di medan tempur juga tidak boleh mengelakkan diri. Apakah kau sudah paham artinya?”

“Ya, paham,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Yan Lam-thian menghela napas panjang, lalu berkata pula dengan suara lembut, “Kutahu antara kau dan Hoa Bu-koat sudah terpupuk persahabatan yang erat, makanya kau tidak suka bertempur dan mengadu jiwa dengan dia. Tapi orang hidup di dunia ini terkadang memang harus berbuat sesuatu yang sebenarnya berlawanan dengan kehendaknya. Orang memang sering kali dipermainkan oleh nasib, betapa pun kepahlawanan seorang juga tak dapat menghindarinya.”

Siau-hi-ji menghela napas panjang, tiba-tiba ia berkata, “Yan-toasiok, aku cuma ingin memohon sesuatu padamu.”

“Tentang apa, katakan saja,” jawab Yan Lam-thian.

“Kumohon apabila bertemu dengan Toh Sat, Li Toa-jui dan lain-lain kuharap paman jangan membunuh mereka,” pinta Siau-hi-ji.

Yan Lam-thian menjadi gusar, jawabnya, “Apa, jangan membunuh mereka? Orang-orang itu sudah lama pantas dibinasakan, mengapa kau malah memintakan ampun bagi mereka?”

“Seorang yang berbuat kesalahan memang sepantasnya mendapatkan hukuman setimpal, tapi Toh Sat dan lain-lain itu sudah cukup menerima hukuman berat, mereka telah menderita selama dua puluh tahun di Ok-jin-kok, hidup mereka boleh dikatakan sangat merana, siang dan malam selalu kebat-kebit, lari ke sana dan sembunyi ke sini, mereka benar-benar seperti segerombolan anjing liar yang kehilangan majikan. Kalau sudah begitu, masakan selanjutnya mereka berani berbuat jahat dan membuat susah orang lain lagi?”

Mendengar sampai di sini, tanpa terasa Li Toa-jui menghela napas gegetun, pikirnya, “Makian yang baik, makian yang tepat, bahkan caci maki ini masih terlalu ringan, sebab kami pada hakikatnya lebih runyam daripada anjing liar.”

Dalam pada itu terdengar Yan Lam-thian sedang berkata, “Kekuasaan negara mudah berpindah, watak manusia sukar berubah. Dari mana kau tahu selanjutnya mereka tak berani lagi berbuat kejahatan dan membuat celaka orang lain?”

“Mungkin paman Yan tidak tahu bahwa sebelum mereka kabur ke Ok-jin-kok, mereka pernah menyembunyikan satu partai harta karun, justru lantaran partai harta karun inilah jiwa mereka hampir-hampir amblas,” tutur Siau-hi-ji, “Coba paman pikir, bilamana mereka masih mempunyai keberanian membuat celaka orang lain, bukankah dengan mudah mereka dapat merampok lagi harta yang lebih banyak, untuk apa mereka mesti berusaha menemukannya kembali harta karun yang mereka sembunyikan itu?”

Dia menghela napas, lalu menyambung pula, “Dari sini terbuktilah bahwa nyali mereka sekarang sudah berubah ciut, kini mereka tidak lebih hanya beberapa gelintir kakek-kakek yang kemaruk harta benda saja, mana ada wibawa sebagai ‘Cap-toa-ok-jin’ yang disegani seperti dahulu itu? Hidup mereka sekarang tiada ubahnya seperti sudah mati, lalu untuk apa paman Yan mengusut dan membunuh mereka lagi? Biarkanlah mereka hidup lebih lama dua-tiga tahun untuk menyambung napas mereka yang memang sudah kembang-kempis itu.”

Sampai di sini, tak tahan lagi air mata Li Toa-jui bercucuran, tanpa terasa ia menghela napas panjang dan berseru, “O, Siau-hi-ji, rupanya kami telah salah menilai dirimu. Bilamana kami dapat membayangkan kau akan membela kami dan memintakan ampun bagi kami, mungkin kami pun tidak perlu berakhir dengan nasib begini.”

Belum habis ucapannya, serentak Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji melompat tiba.

“He, engkau Li-toasiok!” seru Siau-hi-ji. “Mengapa engkau berubah menjadi begini?”

Li Toa-jui tersenyum pedih, katanya, “Mungkin inilah yang dinamakan bajik dan jahat akhirnya pasti akan menerima ganjaran yang setimpal, banyak berbuat kebusukan akhirnya pasti akan binasa sendiri.”

“Di manakah kawan-kawan yang lain?” jawab Siau-hi-ji.

“Mati semua, sudah mati semua,” jawab Li Toa-jui menyesal.

“Siapa yang membunuh mereka?” tanya Siau-hi-ji pula dengan tercengang.

“Siapa lagi yang mampu membunuh mereka jika bukan mereka sendiri?” tutur Li Toa-jui dengan tersenyum getir. Ia menghela napas panjang, lalu berkata pula, “Yan-tayhiap, sungguh kami telah berdosa padamu, lekaslah kau bunuh diriku.”

Waktu melihatnya semula wajah Yan Lam-thian memang sangat gusar, tapi sekarang malah menampilkan rasa iba, rasa kasihan. Ia hanya menggeleng saja sambil menghela napas panjang.

“Kutahu orang macam diriku ini sudah tiada harganya untuk dituruntangani Yan-tayhiap,” kata Li Toa-jui pula sambil menyengir pedih. “Seorang kalau hidupnya sampai musuh sendiri pun merasa tidak berharga untuk membunuhnya, maka apalah artinya hidup ini baginya.”

Mendadak ia bergelak tertawa, sejenak kemudian baru ia melanjutkan, “Dan untunglah hidupku ini sudah tidak akan lama lagi, inilah kemujuranku, kalau tidak rasanya aku lebih suka mati tenggelam oleh air kencingnya sendiri.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes