Wednesday, May 12, 2010

bgp8_part2

Apakah manusia juga memiliki semangat yang tidak menyerah dan pantang putus asa seperti labah-labah?

Sampai lama sekali Siau-hi-ji saling pandang dengan Hoa Bu-koat, keduanya sama-sama tidak dapat bersuara.

Selang sekian lama barulah Bu-koat menghela napas, lalu berkata, “Mengapa kau bersikap begitu padanya?”

Siau-hi-ji tidak lantas menjawab, ia termenung hingga lama, gumamnya kemudian, “Tampaknya kau dan aku memang banyak perbedaannya.”

“Antara manusia dan manusia memang tiada yang persis sama,” kata Bu-koat.

“Demi diriku dia mencarimu untuk mengadu jiwa, tapi aku malah mendampratnya habis-habisan, dia hendak membunuh engkau, tapi engkau malah membelanya, kukira di sinilah letak perbedaan paling besar di antara kita,” setelah tersenyum getir lalu Siau-hi-ji menyambung lagi, “Katanya engkau ini adalah Kuncu, sebaliknya aku senantiasa adalah ….”

“Mengapa kau remehkan dirimu sendiri?” potong Bu-koat. “Padahal engkaulah seorang Kuncu benar-benar, kalau tidak, mengapa kau lukai perasaannya hanya karena membela diriku?”

Ia merandek sejenak, lalu berkata pula dengan menghela napas, “Selain kau, rasanya tak terpikir olehku ada orang yang mau membela lawan dengan melukai hati pacarnya sendiri.”

Mendadak Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Tindakanku ini bukan demi membelamu, tapi demi diriku sendiri.”

“Demi dirimu sendiri?” Bu-koat menegas.

“Ya, demi diriku sendiri ....” Siau-hi-ji mengulang ucapannya itu dengan perlahan, sorot matanya menampilkan cahaya yang sukar diraba, ini membuat anak muda itu kelihatan seperti telah berubah menjadi seorang yang sangat aneh.

Setiap kali Bu-koat melihat mata Siau-hi-ji memancarkan cahaya demikian, segera diketahuinya ada orang akan segera tertimpa kesialan, akan dikerjai oleh anak muda itu. Lantas siapakah sasarannya sekali ini?

Dengan perlahan Siau-hi-ji menyambung pula, “Sebab kalau sekarang engkau mati dibunuh orang, maka tidak saja aku akan menyesal selamanya, bahkan mungkin aku akan menderita selama hidup.”

“O, sebab apa?” tanya Bu-koat terharu.

“Sebab ....”

Belum lanjut ucapan Siau-hi-ji, mendadak seorang menukasnya, “Sebab dia juga ingin membunuhmu dengan tangannya sendiri!”

Jelas itulah suara Kiau-goat Kiongcu, suaranya tetap ketus, bahkan jauh lebih dingin daripada dulu.

Air mukanya kini juga sudah berubah, meski masih tetap pucat dan dingin seperti dulu, tapi kini wajahnya telah bertambah semacam cahaya halus gemerlap, jika wajahnya dahulu dapat diibaratkan es, maka sekarang adalah giok atau kemala.

Siau-hi-ji menghela napas panjang sambil memandang Kiau-goat Kiongcu, ucapnya, “Baru dua-tiga hari tidak bertemu, tampaknya engkau banyak bertambah muda. Agaknya setiap perempuan di dunia ini harus berlatih Beng-giok-kang, agar semuanya awet muda dan mahasakti seperti engkau.”

Kiau-goat Kiongcu hanya memandang dengan melotot tanpa menanggapi.

Kembali Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Sejak kuselamatkan kalian dari liang tikus sana, kenapa engkau tidak menggubris diriku lagi? Ai, terkadang aku jadi menyesal, akan lebih baik kalau kita tetap terkurung selamanya di liang tikus itu, di sana engkau akan lebih suka menuruti perkataanku, sikapmu juga lebih sungkan padaku.”

Air muka Kiau-goat Kiongcu tampak berubah lagi, dengusnya kemudian, “Sudah habis belum ucapanmu?”

“Sudah habis,” jawab Siau-hi-ji tertawa, “Cuma perlu kuingatkan padamu, jika tidak ada diriku, sekalipun engkau berubah lebih muda lagi juga tiada gunanya, sebab dalam waktu beberapa hari juga engkau pasti akan mati terkurung di liang tikus itu.”

*****

Dipandang dari puncak bukit, gumpalan awan tampak mengambang mengelilingi angkasa, sungai panjang (Tiangkang) yang lekuk-lekuk menjulur panjang laksana seutas tali raksasa.

Yan Lam-thian sendiri berdiri di puncak bukit yang paling tinggi itu, tampaknya dia sangat kesepian.

Padahal di atas gunung itu tidak cuma dia saja, masih banyak orang yang berada di situ, namun setiap orang seakan-akan berjarak sangat jauh dengan dia.

Angin meniup mengibarkan ujung jubahnya, gumpalan awan melayang lewat di sekitarnya.

Tiba-tiba Buyung San menghela napas panjang, katanya dengan terharu, “Yang ditunggu tidak datang, sahabat lama juga tidak tampak .... Meski Yan-tayhiap gagah perkasa tiada bandingannya, tapi selama hidupnya ini pernahkah menikmati sesuatu kegembiraan apa?”

“Tinggi pohon besar badainya, lebih baik beta hidup bersahaja ....” Gumam Buyung Siang seperti berpantun.

“Ya tampaknya seorang memang lebih baik hidup biasa saja,” kata Buyung San.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar orang berseru, “Itu dia, sudah datang!”

“Siapa yang datang?” tanya Buyung Siang sambil berpaling ke sana.

Maka terlihatlah bayangan Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat muncul dari balik gumpalan awan yang mengelilingi mereka.

Angin meniup semakin kencang, cuaca mulai guram ....

*****

Sementara itu So Ing masih terus melangkah ke depan dengan pikiran bimbang tanpa arah tujuan. Entah sudah berapa jauh ia berjalan dan entah di mana dia berada.

Kalau bisa, dia berharap mendadak guntur akan berbunyi dan sekaligus menghancurkan tubuhnya berkeping-keping lalu berhamburan tertiup angin, tersebar ke segenap pelosok jagat raya ini.

Ia pun geregetan kalau saja Siau-hi-ji mendadak memburu tiba, lalu bertekuk-lutut di depannya serta meminta maaf, mohon ampun padanya, bahkan bersumpah takkan meninggalkan dia untuk selamanya.

Akan tetapi semua itu cuma angan-angan belaka, Siau-hi-ji tidak menyusul tiba, guntur juga tidak menggelegar ....

*****

Di pihak lain, Thi Sim-lan juga sedang dirundung penderitaan batin.

Dari tempat berdirinya ia dapat melihat Siau-hi-ji dan juga Hoa Bu-koat. Dilihatnya sorot mata Bu-koat yang menderita itu, maka hati sendiri pun serasa hancur luluh.

Sebaliknya Siau-hi-ji masih tetap tersenyum simpul, seperti tidak berkhawatir sama sekali.

Sungguh aneh, apakah sudah diperhitungkannya bahwa dia pasti tidak akan kalah? Apakah dia yakin Hoa Bu-koat tidak akan membunuhnya? Atau dia sendiri sudah mempunyai sesuatu pegangan yang mampu mengalahkan Hoa Bu-koat?

Thi Sim-lan menggigit bibir, sedapatnya menahan perasaannya. Bibir sampai berdarah, darah terasa asin, tapi hatinya terasa pahit.

Tapi siapa yang tahu akan kepahitgetiran hatinya?

Si singa Gila Thi Cian masih terus muring-muring, berulang-ulang ia mengentak kaki, dengan melotot ia menggerutu, “Hoa Bu-koat si bocah itu benar-benar keterlaluan, selaku bapak mertua aku ini tidak menjadi soal, tapi paling tidak dia kan mesti kemari sejenak, bicaralah sebentar dengan anak Lan.”

“Eh, kenapa kau jadi uring-uringan sendiri?” ujar si nenek Siau. “Ketahuilah, setelah pertarungan ini, selekasnya nama bakal menantumu akan termasyhur ke seluruh dunia, mendapatkan menantu begitu baik, masa kau masih kurang puas?”

“Saat ini, sebelum namanya terkenal saja sudah menyepelekan diriku sebagai mertuanya, kalau sudah termasyhur apalagi?” ujar Thi Cian.

“Ini pun tidak dapat menyalahkan dia,” kata si nenek Siau pula. “Orang muda tentu berkulit muka lebih halus, kan malu dia disuruh menyembah pada sang mertua di depan umum begini. Apalagi saingan asmaranya juga sedang mengawasi dengan melotot di sebelah sana.”

Gemetar sekujur badan Thi Sim-lan mendengar percakapan kedua orang tua ini. Kalau boleh, sungguh ia ingin tinggal pergi sekarang juga ke tempat jauh.

Akan tetapi sekarang ia belum dapat tinggal pergi, ia masih ingin mengucapkan sesuatu ....

Angin tiba-tiba mengembus, suasana terasa mencekam, alam ini seakan-akan penuh diliputi hawa pembunuhan.

Siau-hi-ji mengkeretkan kuduknya dan berkata, “Kencang amat tiupan angin ini, rasanya menjadi dingin, mestinya kupakai baju rangkap.”

Yan Lam-thian mengernyitkan dahi, ucapnya dengan suara kereng, “Apakah kau merasa tidak tahan?”

“Jangan khawatir Paman, masa tubuhku selemah itu?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jika Lwekang seorang sudah mencapai tingkatan yang cukup, meski tidak mutlak dapat menahan hawa dingin, paling sedikit pasti tidak akan takut dingin seperti orang biasa,” kata Yan Lam-thian dengan perlahan dan mantap.

Siau-hi-ji mengiakan.

Lalu Yan Lam-thian menyambung pula, “Kungfu yang kulatih adalah intisari peyakinan beberapa Cianpwe dunia persilatan, boleh dikatakan setiap jurus adalah hasil pengamatan yang sempurna. Apalagi pondasimu sudah terpupuk baik oleh paman Ban sejak kau masih kecil sehingga Kungfumu tidak menjurus ke arah sesat. Karena adanya semua persyaratan ini, makanya aku tidak merasa khawatir mempertandingkan kau dengan Hoa Bu-koat.”

Kembali Siau-hi-ji mengiakan.

“Tapi sampai di mana tingkat latihanmu, sampai betapa kuat keuletanmu, inilah tidak kuketahui,” kata Yan Lam-thian pula. “Tapi kau sangat pintar dan cerdik, nasibmu juga selalu mujur. Satu-satunya yang masih kukhawatirkan adalah sifatmu yang kurang mantap, pikiranmu terlalu gopoh sehingga Kungfumu belum terlatih sempurna.”

Siau-hi-ji menunduk dan tertawa, katanya, “Dalam urusan lain memang sering kukerjakan dengan acuh tak acuh, tapi dalam hal berlatih Kungfu telah kulakukan dengan sepenuh tenaga dan mencurahkan segenap perhatian.”

“Baik sekali jika memang begitu,” kata Yan Lam-thian sambil manggut-manggut. Tiba-tiba ia bertanya pula, “Jika kau sudah pernah bergebrak dengan Hoa Bu-koat, apakah sudah kau selami pula sampai di mana ilmu silatnya?”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, jawabnya kemudian, “Bahwa Ih-hoa-kiongcu telah mendapatkan nama besar dan sudah lama termasyhur, dengan sendirinya ilmu silat mereka mempunyai ciri khasnya sendiri. Lebih-lebih Kungfu mereka yang disebut Ih-hoa-ciap-giok itu, sungguh membuat kepala pusing.”

Dia tertawa, lalu menyambung pula, “Untunglah, sedikit banyak Kungfu andalan mereka sudah dapat kuraba.”

Dengan sungguh-sungguh Yan Lam-thian berkata, “Ih-hoa-ciap-giok hanya satu di antara sekian macam Kungfu Ih-hoa-kiongcu yang lihai, betapa luas dan ruwet perubahan ilmu silat Ih-hoa-kiongcu memang tidak mudah diselami. Apalagi, lahiriah Hoa Bu-koat kelihatan tidak secerdik dirimu, tapi sebenarnya dia pasti tidak bodoh. Ilmu silatmu boleh dikatakan luas dan campur-campur, sebaliknya ilmu silat Hoa Bu-koat lebih matang dan lebih dalam. Jika bergebrak dengan dia jangan sekali-kali menghadapi dia dengan keras melawan keras, paling baik berdayalah untuk menguras tenaganya, bila kekuatannya sudah mulai berkurang, itulah saatnya kau lancarkan serangan balasan.”

“Ya, hal ini pun sudah kuketahui,” kata Siau-hi-ji, “Pondasinya memang terpupuk lebih baik daripadaku, pertarungan nanti rasanya tidak banyak harapan untuk menang bagiku, tapi untuk ini aku telah menarik suatu hal yang sangat menguntungkan.”

“Dalam hal ilmu silat sama sekali tiada soal menarik keuntungan segala,” ucap Yan Lam-thian dengan nada bengis. “Jika kau ingin menarik keuntungan dari lawan, ini berarti kau sudah kalah lebih dulu.”

Dengan khidmat Siau-hi-ji menjawab, “Ya, cuma ... cuma betapa cetek atau dalam ilmu silatnya sudah seluruhnya kuketahui, sedangkan inti ilmu silatku sama sekali tak diketahui olehnya, sebab selama ini tidak pernah kupamerkan ilmu silatku yang sejati di depan umum.”

Sorot mata Yan Lam-thian menampilkan rasa terhibur dan bersyukur, ucapnya sambil manggut-manggut, “Bagus, bagus sekali. Tahu kemampuan sendiri dan kenal kekuatan pihak lawan, cara begini barulah dapat menang dalam setiap pertempuran.”

Mendadak Siau-hi-ji tertawa, tanyanya, “Paman Yan, aku pun ingin tanya sesuatu padamu.”

“Baik, katakanlah,” jawab Yan Lam-thian.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya kemudian dengan tersenyum, “Apabila paman Yan bergebrak dengan Kiau-goat Kiongcu, kira-kira berapa bagian kemenangan berada pada paman Yan, berapa persen menurut keyakinan paman.”

Yan Lam-thian memandang jauh pada gumpalan awan yang menyerupai sekuntum bunga raksasa yang mengambang di udara, ia termenung agak lama, tiba-tiba ujung mulutnya yang menunjukkan kekerasan hati dan kebulatan tekadnya itu menampilkan secercah senyuman yang jarang terlihat.

Ia tidak menjawab pertanyaan Siau-hi-ji itu, namun Siau-hi-ji juga tidak memerlukan jawabnya lagi. Tanpa terasa tersimpul juga senyuman berarti pada wajah anak muda itu.

Ban Jun-liu yang hanya mendengarkan saja di samping tadi, tiba-tiba berkata, “Waktu sudah hampir tiba, apakah persiapanmu sudah cukup?”

Siau-hi-ji mengangguk, tiba-tiba ia pun berkata, “Aku pun masih ada sesuatu hal yang ingin kutanyakan kepada paman Ban.”

Ban Jun-liu tertawa, katanya, “Belum pasti dapat kujawab semua pertanyaanmu, sebab apa yang kuketahui rasanya tidak lebih banyak daripadamu.”

“Tapi urusan ini paman Ban pasti tahu,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Segera ia mengeluarkan sebuah cawan arak dengan sangat hati-hati dan diangsurkan kepada Ban Jun-liu, katanya, “Di dalam cawan ini masih ada setetes arak, kucuriga arak ini beracun, bahkan semacam racun yang tak berwarna dan tak berbau. Coba paman Ban memeriksanya arak ini sesungguhnya beracun atau tidak?”

Ban Jun-liu terima cawan arak itu, dengan jari kecilnya dia celup setitik air arak, lalu diciumnya beberapa kali. Kemudian dijilatnya perlahan dengan lidah sejenak, kemudian baru dia berkata, “Arak ini ….”

“Nanti dulu, paman,” mendadak Siau-hi-ji memotong ucapan Ban Jun-liu. “Apakah di dalam arak ini mengandung racun atau tidak, untuk sementara ini paman Ban jangan memberitahukan padaku.”

“Kenapa begitu?” tanya Ban Jun-liu.

“Sebab kalau di dalam arak memang betul beracun, maka aku akan sangat marah,” tutur Siau-hi-ji dengan menghela napas gegetun. “Tapi jika di dalam arak tiada mengandung racun, maka aku akan merasa berduka pula. Sebab itulah jangan paman Ban katakan sekarang, nanti setelah pertempuran ini selesai barulah paman Ban beritahukan padaku, jika sekarang paman Ban memberi keterangan padaku, bisa jadi perhatianku akan terpencar.”

Ban Jun-liu menjadi heran, ia tidak tahu apa maksud anak muda ini. Tapi ia pun menurut, dengan tertawa ia berkata, “Baiklah, dasar kau ini memang anak binal, setiap tindak tandukmu memang sukar diraba orang lain.”

Siau-hi-ji tersenyum lega.

Tapi dalam hal ini agaknya Siau-hi-ji melupakan sesuatu.

Coba bayangkan, bagaimana jika Siau-hi-ji kalah dalam pertarungan maut nanti? Jika dia mati terbunuh, bukankah selamanya dia takkan mengetahui keterangan Ban Jun-liu itu?

*****

Para nona keluarga Buyung dan suami mereka dengan sendirinya dapat melihat keadaan di pihak Siau-hi-ji dan suasana di pihak Hoa Bu-koat sana. Mereka menjadi agak heran. Karena kedua pihak itu sangat berbeda.

“Kalian sudah lihat bukan?” demikian ucap Buyung Siang. “Siau-hi-ji dan Yan-tayhiap bercakap-cakap tidak habis-habisnya. Sebaliknya Hoa Bu-koat dan Ih-hoa-kiongcu hanya berdiri melenggong saja di sana.”

“Betul, tampaknya Ih-hoa-kiongcu sama sekali tidak memusingkan kalah atau menang Hoa Bu-koat dalam pertempuran ini,” kata Buyung San. “Aku pun heran, apakah tiada suatu kontak perasaan antara mereka guru dan murid?”

“Bisa jadi lantaran kedua Ih-hoa-kiongcu itu merasa yakin Hoa Bu-koat pasti akan menang dalam pertandingan nanti,” kata Lamkiong Liu dengan menghela napas.

Buyung San mencibir, ucapnya, “Kukira belum tentu. Meski Hoa- Bu-koat memang cerdas dan tinggi ilmu silatnya, tapi Siau-hi-ji juga bukan lawan yang empuk. Jika bicara tentang kecerdikan dan reaksi menurut keadaan, kukira tiada seorang pun dapat menandingi dia.”

“Betul,” tukas Buyung Siang. “Dalam hal keuletan memang harus diakui Hoa Bu-koat lebih kuat, tapi pertarungan antara dua jago, melulu kekuatan saja tidak banyak gunanya, yang utama adalah bertempur menurut gelagat, bergerak sesuai keadaan, mengatasi musuh pada kesempatan pertama.”

“Setahuku,” Cin Kiam ikut bicara, “pengetahuan ilmu silat Siau-hi-ji sangat luas, apa yang dipelajarinya terdiri dari berbagai aliran, pertempuran ini kupercaya 60% akan dimenangkan oleh dia.”

“Kukira lebih dari itu,” tukas Buyung San.

Agaknya tuan-tuan dan nyonya-nyonya keluarga Buyung itu tidak bersimpati kepada Hoa Bu-koat, sebaliknya sepenuhnya mereka condong pada pihak Siau-hi-ji dan mengharapkan anak muda ini yang menang.

Tapi sekarang menjadi sangat berbeda dengan rombongan Thi Cian sana.

Si nenek Siau sedang berkata kepada Thi Cian, “Eh, coba katakan, menurut penilaianmu, pertarungan bakal menantumu ini berapa persen kira-kira bisa menang?”

“Seratus persen! “ jawab Thi Cian tanpa pikir.

Si nenek Siau tertawa geli, katanya, “Hihi, jangan terlalu yakin, kulihat lawannya si ikan kecil itu pun bukan orang yang mudah dilayani. Apalagi di belakangnya mendapat dukungan Yan Lam-thian.”

“Biarpun didukung Yan Lam-thian juga tiada gunanya, memangnya Yan Lam-thian mewakili dia bertempur!” kata Thi Cian. “Betapa pun pintarnya bocah ini, paling-paling cuma anak didik sebangsa Li Toa-jui, To Kiau-kiau dan sebagainya, memangnya apa kemampuannya? Andaikan lihai juga terbatas.”

“O, jadi dia cuma anak didik kawanan Ok-jin begudalmu itu?” tanya si nenek Siau. “Tahu begitu, tentu tidak sudi kudatang ke sini, hanya membuat kantuk saja nanti pertarungan mereka ini, tadinya kukira dia adalah murid Yan Lam-thian.”

Mendadak terlihat Yan Lam-thian tampil ke muka dan berseru, “Baiklah, sudah tiba saatnya, majulah kau!”

Meski ucapannya ditujukan kepada Siau-hi-ji, tapi suaranya lantang dan menggema angkasa pegunungan sehingga dapat juga didengar oleh Hoa Bu-koat dan siapa saja.

Segera Hoa Bu-koat bangkit dari tempatnya, lebih dulu ia memberi hormat kepada Ih-hoa-kiongcu, katanya, “Adakah sesuatu pesan dari Suhu?”

“Tidak ada lagi,” jawab Kiau-goat Kiongcu, “Majulah kau, kuyakin kau pasti tidak akan membuat kecewa padaku.”

Meski datar saja nadanya, tapi tidak urung bergolak juga perasaannya.

Detik terakhir dimulainya pertarungan maut ini akhirnya tiba juga.

Sekali ini, betapa pun Ih-hoa-kiongcu tidak akan membiarkan pertarungan ini batal setengah jalan lagi. Sekali ini, antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat harus roboh salah satu.

Rasanya tidak mudah untuk menggambarkan betapa tegang dan terangsang perasaan Kiau-goat Kiongcu sekarang, satu-satunya orang di dunia ini yang dapat menyelami perasaannya hanyalah Lian-sing Kiongcu.

Wajah Lian-sing Kiongcu kelihatan jauh lebih pucat daripada biasanya. Waktu Bu-koat berpaling ke sana, dia ternyata menghindari sinar mata anak muda itu, rupanya ia khawatir kalau-kalau dirinya tidak tahan perasaannya dan mungkin akan membuka rahasia yang telah disimpannya selama dua puluh tahun itu.

Sebenarnya watak Lian-sing Kiongcu juga dingin, tapi selama dua-tiga hari terakhir ini, ia merasa dirinya sudah agak berubah, sebab di dalam gua sana dia telah banyak mengalami hal-hal yang belum pernah ditemuinya selama hidup ini. Selamanya tak pernah terbayang olehnya bahwa hal demikian ini dapat terjadi atas dirinya.

Selama hidupnya tak pernah terpikir olehnya, bagaimana rasanya orang yang menghadapi ajal, selama hidupnya tidak pernah kenal apa artinya takut.

Selamanya dia tidak pernah bersandar pada perlindungan orang lain, ia pun tidak pernah merasa harus berterima kasih kepada siapa pun juga.

Dengan sendirinya ia pun tidak pernah kelaparan juga tidak pernah minum-minum hingga mabuk. Lebih-lebih tidak pernah terpikir bahwa pada suatu hari dia akan berbaring di dalam pelukan seorang lelaki.

Tadi semua yang belum pernah dialaminya selama hidup beberapa puluh tahun itu, hanya dalam waktu dua-tiga hari saja telah terjadi seluruhnya atas dirinya. Bahkan semuanya berkesan, setiap kejadian itu masih terbayang sejelas dan sedalam itu. Meski dia berusaha melupakan semua itu, tapi sukar.

Selama dua hari ini, bilamana teringat pada Siau-hi-ji, hatinya lantas pedih. Betapa pun Siau-hi-ji cukup baik padanya, sebaliknya bagaimana dirinya terhadap anak muda itu?

Rencana keji dan kejam ini boleh dikatakan timbul dari gagasannya, dialah yang mengaturnya.

Dan sekarang, nasib Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat yang tragis itu segera akan terjadi, namun asalkan dia mau berucap satu kata saja, maka semuanya itu akan berubah. Akan tetapi dia justru tidak dapat melakukannya, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.

Siau-hi-ji memberi hormat dengan khidmat kepada Yan Lam-thian dan Ban Jun-liu, habis itu ia lantas maju ke tengah gelanggang. Di situ Hoa Bu-koat sudah menunggunya.

Namun sedikit pun Siau-hi-ji tidak tergesa-gesa, sama sekali ia tidak gelisah, lebih dulu ia mendekati Han-wan Sam-kong, dengan tertawa ia tanya, “Bagaimana peruntunganmu selama dua hari ini?”

Meski sejak tadi Han-wan Sam-kong terus mengawasi anak muda itu, tapi sekarang dia datang padanya, Ok-tu-kui menjadi terharu, matanya menjadi agak merah, hampir-hampir ia tidak dapat bersuara apa pun. Selang agak lama barulah ia tertawa, katanya, “Keparat, akhir-akhir ini anginku benar-benar lagi meniup keluar, kalah terus-menerus, sampai kepala pusing tujuh keliling, semuanya ludes. Dalam keadaan bokek, apa yang dapat kupertaruhkan?”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Haha, katanya engkau ini Ok-tu-kui, masa tidak tahu hukum alam yang mengatakan ‘sesuatu kalau sudah mencapai puncaknya pasti akan terjadi arus balik’, jika pada saat-saat paling krisis engkau bertaruh sekali lagi, pasti kemujuranmu akan datang.”

Han-wan Sam-kong mengangguk, ucapnya, “Ya, masuk di akal.”

“Dan sekarang engkau ingin bertaruh atau tidak?” tanya Siau-hi-ji.

“Sekarang?” Han-wan Sam-kong menegas dengan melenggong.

“Ya, sekarang,” kata Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip. “Bila kukatakan di tubuhku sekarang ada seekor kutu busuk, kau percaya tidak?”

Han-wan Sam-kong jadi tertawa geli, katanya, “Haha, masa di tubuhmu ada kutu busuk segala?”

“Jika tidak percaya, ayolah kita bertaruh?” tantang Siau-hi-ji.

“Taruhan apa?” tanya Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

“Taruhannya juga seekor kutu busuk,” jawab Siau-hi-ji.

“Hahaha,” Han-wan Sam-kong bergelak tertawa. “Jika aku kalah, masa aku harus mencari seekor kutu busuk untukmu? Apakah kutu busuk di tubuhmu itu ingin dicarikan jodoh?”

“Bukan begitu cara pertaruhan kita,” kata Siau-hi-ji.

“Habis cara bagaimana?” tanya Ok-tu-kui.

“Jika di tubuhku tidak ada kutu busuk, kau harus menangkap seekor kutu busuk untukku dan akan kupiara kutu busuk itu di tubuhku,” kata Siau-hi-ji. “Sebaliknya jika kau kalah segera kuberikan kutu busuk yang berada di tubuhku ini kepadamu dan kau harus memeliharanya di tubuhmu ....”

Belum habis ucapannya, bergelak tertawalah Han-wan Sam-kong, serunya, “Piara anjing atau piara kucing dan piara kura-kura sekali pun belum pernah kulihat, tapi sengaja piara kutu busuk, haha, ini kerja macam apa? Apakah takkan gatal digigit kutu busuk setiap hari?”

“Jadi kau tidak berani bertaruh denganku?” tanya Siau-hi-ji.

“Kuhidup lima puluh delapan tahun sampai sekarang, belum pernah kutolak tantangan bertaruh siapa pun juga,” jawab Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

“O, jadi kau berani?” tanya Siau-hi-ji pula.

“Ya, memangnya siapa takut? Ayo, jadi!” jawab Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

Siau-hi-ji terdiam sejenak, mendadak ia menghela napas, katanya, “Kau memang pemberani. Baiklah, anggap aku yang kalah.”

“Hahaha, memang sudah kuketahui kau cuma main gertak belaka, masa aku dapat kau tipu?” seru Han-wan Sam-kong dengan terbahak-bahak.

“Baiklah, engkau sudah menang, sekarang lekaslah mencarikan seekor kutu busuk untukku,” kata Siau-hi-ji. “Tapi ingat, harus kutu busuk yang masih hidup. Jika seketika tak dapat kau temukan diriku, sementara boleh titip dulu di tempatmu kutu busuk itu, piaralah yang baik supaya gemuk. Aku cuma suka pada kutu busuk gemuk, tidak suka yang kurus.”

Untuk sejenak Han-wan Sam-kong jadi melenggong, ia tertawa, katanya, “Haha, tampaknya aku toh tetap tertipu olehmu, setan cilik, cuma kau saja yang dapat mengemukakan pertaruhan cara begini.”

Mendadak suara tertawanya berhenti, ia pandang bayangan punggung Siau-hi-ji dan menampilkan perasaan sedih, ia bergumam, “Apakah karena menyadari dirinya pasti akan gugur, makanya dia mengajak pertaruhan terakhir denganku?”

Dalam pada itu Siau-hi-ji sedang mendekati anggota keluarga besar Buyung, dengan tertawa ia menyapa, “Baik-baiklah kalian semua?”

Sebagai anggota tertua, Tan Hong-ciau mewakilkan para kerabatnya menjawab, “Terima kasih, kami semuanya baik-baik, semoga engkau pun baik-baik.”

Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya, “Pertanyaanku ini sebenarnya tidak perlu kuajukan, jika kalian masing-masing bisa mempersunting istri cantik dan bijaksana begini, tentu saja segala sesuatunya berjalan dengan baik-baik.”

“Terima kasih atas pujianmu ....” dengan kikuk Buyung Siang menjawab.

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa pula dan berkata, “Sebenarnya aku pun hampir menjadi sanak keluargamu, cuma sayang, agaknya aku memang tidak mempunyai rezeki sebesar itu.”

Buyung Siang seperti menghela napas gegetun, ucapnya dengan tertawa, “Ah, mungkin adik Kiu yang tidak ....” Dia tidak melanjutkan ucapannya, sebab dia tidak sanggup.

Siau-hi-ji tepuk-tepuk pundak Koh Jin-giok, tanyanya dengan tertawa, “Baikkah engkau akhir-akhir ini?

“Baik, baik,” jawab Koh Jin-giok dengan muka merah.

“Rezekimu juga besar, aku pun sangat kagum dan iri padamu,” kata Siau-hi-ji dengan menyesal. “Sebenarnya engkau pun masih terhitung pamanku, Kohtio atau Ihtio (paman, suami adik ayah atau ibu)”

Koh Jin-giok melengak bingung, ia menegas, “Kohtio atau Ihtio?”

“Ya, begitulah,” kata Siau-hi-ji. Lalu dia berpaling dan tertawa kepada Siau-sian-li, katanya pula, “Apakah kau masih ingat, waktu untuk pertama kalinya kita bertemu, bukankah engkau mengharuskan aku memanggil bibi padamu?”

Muka Siau-sian-li seketika berubah merah, jawabnya, “Oo, aku ... aku tidak ingat lagi.”

“Tapi masih kuingat dengan jelas,” kata Siau-hi-ji pula. “Malahan waktu itu aku salah panggil sehingga mendapat persen tiga kali tamparan darimu.”

“Oo, masa ... masa begitu?” ujar Siau-sian-li.

Padahal mana bisa dia melupakan kejadian dahulu, malahan setiap kata dan setiap hal paling kecil sekalipun masih dapat diingatnya dengan jelas.

Masih teringat olehnya waktu Siau-hi-ji kontan membalas tiga kali tamparannya, bahkan anak muda itu berkata kepadanya, “Kutahu selamanya kau takkan melupakan diriku, sebab perempuan pasti takkan melupakan lelaki pertama yang pernah memukulnya, seperti halnya perempuan yang pasti takkan lupa kepada kekasihnya yang pertama ....”

Yang paling tidak dapat dilupakan selamanya adalah waktu Siau-hi-ji balas menampar kedua kalinya, anak muda itu berkata, “Kau pukul aku dengan tangan, akan kubalas pukul dengan mulut, pukulan mulutku tentu akan jauh lebih ringan daripada pukulan tanganmu ....” Habis itu mulutnya lantas dikecup oleh anak muda itu.

Kecupan hangat, kecupan pertama bagi Siau-sian-li takkan terlupakan untuk selama hidupnya, selamanya dia takkan lupa pada senyuman Siau-hi-ji yang “menggemaskan” itu.

Bilamana terbayang senyuman anak muda itu, badan Siau-sian-li akan bergetar. Ia sendiri tidak tahu apakah itu tandanya benci atau cinta? Sama sekali ia tidak dapat membedakannya.

Dan sekarang, dia bukan lagi “Siau-sian-li” melainkan “Koh-hujin”, nyonya Koh.

Sebaliknya Siau-hi-ji masih tetap Siau-hi-ji, sedikit pun tidak berubah, sedikit pun tidak berkurang. Kalau ada kelebihannya ialah bertambah tegap dan ganteng.

Wajah anak muda itu masih tetap dihiasi oleh senyuman yang “menggemaskan” itu.

Diam-diam Siau-sian-li jadi khawatir kalau-kalau anak muda itu membeberkan semua kejadian dahulu.

Syukurlah Siau-hi-ji tidak mengusiknya lagi, dia malah menghela napas gegetun sambil bergumam, “Ai, daya ingat perempuan biasa ya lebih baik daripada lelaki, bisa jadi aku sendiri yang salah ingat, mungkin yang memukulku waktu itu bukanlah kau, tapi seekor babi betina atau ....”

Kembali Siau-sian-li geregetan lagi, kalau bisa dia ingin gigit anak muda itu sekeras-kerasnya.

Tapi mengingat kedudukannya sekarang, terpaksa ia hanya menunduk saja, semua kejadian masa lalu dikuburnya di dalam lubuk hati untuk selamanya.

Thi Sim-lan khawatir kalau-kalau Siau-hi-ji juga akan mendekatinya. Sukar untuk dibayangkan apa yang akan diperbuatnya apabila anak muda itu benar mendekatinya.

Dia lebih-lebih takut kalau Siau-hi-ji akan menyinggung kejadian-kejadian masa lampau yang penuh suka dan duka, menggemaskan dan juga menyenangkan itu.

Padahal tanpa diungkit kembali oleh Siau-hi-ji, setiap kejadian yang telah lalu itu masih tetap diingatnya dengan jelas.

Teringat olehnya ketika Siau-hi-ji menyatakan akan “menggeledah” tubuhnya, seketika mukanya merah jengah, hati pun berdetak keras. Malahan suatu ketika anak muda itu membohongi dia bahwa pada waktu dia tak sadarkan diri anak muda itu telah membuka pakaiannya dan memeriksa tubuhnya dari ujung kuku hingga mercu kepala. Waktu itu ia benar-benar hampir menangis dan kheki setengah mati.

Tapi sekarang kedudukan dirinya juga sudah berlainan. Segala suka-duka di masa lampau sudah lalu bersama angin dan ia bersumpah takkan mengingatnya lagi.

Syukurlah Siau-hi-ji memang tidak mendekatinya, bahkan memandang sekejap padanya pun tidak.

Thi Sim-lan menunduk, entah bersyukur dan atau merasa aman? Atau kecewa?

Dalam pada itu yang paling tidak sabar adalah Thi Cian, si Singa Gila, berulang-ulang ia mengentakkan kaki dan menggerutu, “Brengsek! Mau apa lagi bocah ini? Mengapa Ih-hoa-kiongcu tidak menyuruhnya lekas mulai?”

Tapi si nenek Siau lantas menggeleng dan berkata, “Rupanya kau tidak paham aturan?”

“Aturan apa?” tanya Thi Cian.

“Soalnya Ih-hoa-kiongcu mengetahui apa yang dilakukan bocah itu bukan sengaja mengulur waktu atau kehendak lain, tapi dia sedang mengucapkan selamat berpisah selamanya dengan setiap orang yang dikenalnya,” demikian tutur si nenek Siau dengan menghela napas. “Makanya, Ih-hoa-kiongcu tidak tega mendesaknya.”

Betul atau tidak Siau-hi-ji sedang menyampaikan salam berpisah untuk selamanya dengan setiap orang yang dikenalnya, nyatanya dia memang menghampiri setiap orang yang dikenalnya, kecuali Thi Sim-lan tentunya.

Akhirnya Siau-hi-ji menuju juga ke arah Hoa Bu-koat.

Menyaksikan Siau-hi-ji menyampaikan salam perpisahan dengan setiap kenalannya, Bu-koat sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya sendiri, sebab cuma dia sendiri yang tahu bahwa Siau-hi-ji pasti takkan mati.

Dia sudah berjanji kepada Thi Sim-lan, demi memenuhi janjinya itu, dia sudah bertekad akan mengorbankan jiwanya sendiri.

Mati, bukanlah sesuatu yang mudah. Seorang kalau sudah mendekati ajalnya baru tahu hidup ini memang berharga dan menyenangkan, karena itulah berat rasanya untuk meninggalkan kehidupan ini.

Namun cinta Thi Sim-lan terlampau mendalam terukir di lubuk hatinya dan tak dapat dihapuskan. Bilamana ada dua hal yang tak mungkin diperolehnya sekaligus, maka pasti dia akan mengorbankan jiwanya dan memilih cinta.

Waktu melihat betapa Han-wan Sam-kong, Siau-sian-li dan lain-lain sama menaruh simpati terhadap Siau-hi-ji, betapa mereka sayang dan berat untuk berpisah dengan Siau-hi-ji, sungguh tidak keruan perasaan Hoa Bu-koat.

Sekarang, dia sudah bertekad akan gugur demi cinta, akan tetapi tiada satu pun sasaran yang dapat disampaikan salam perpisahan untuk selamanya.

“Setelah kumati, adakah yang akan berduka bagiku? Siapakah yang akan menangis bagiku?” demikian ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

Dia hampir tidak tahan dan ingin lari ke depan Thi Sim-lan serta merangkulnya dan menangis sepuas-puasnya. Akan tetapi ia tidak berbuat demikian, ia pun tidak dapat berbuat-demikian.

Ia hanya dapat berdiri tegak di tempatnya dan menantikan datangnya Siau-hi-ji ....

Dia hanya dapat menunggu kedatangan Siau-hi-ji untuk membunuhnya.

Akhirnya dua anak muda itu berdiri berhadapan. Duel segera akan dimulai.

Di dunia Kangouw ini, sebenarnya setiap hari, setiap jam, setiap detik, entah betapa banyak orang yang melakukan pertarungan maut. Akan tetapi, selama beratus tahun, bahkan beribu tahun, mungkin tiada duel yang lebih menyedihkan dan mengharukan seperti duel sekarang ini.

Sebab duel ini lain daripada yang lain. Kedua orang yang harus duel ini sama-sama tidak ingin membunuh pihak lawan, keduanya lebih suka mengorbankan dirinya sendiri daripada membunuh lawannya.

Hal ini benar-benar belum pernah terjadi di dunia Kangouw, yang lebih mengharukan lagi adalah dalam pertarungan maut ini, yang mati jelas menyedihkan, tetapi nasib bagi yang hidup justru akan lebih tragis.

Malahan, jauh sebelum duel ini dimulai, bahkan jauh sampai 20 tahun yang lalu kedua anak muda ini sudah ditakdirkan hanya ada satu pilihan, yaitu mati.

Dan kedua orang ini justru adalah saudara kembar sekandung.

Setiap orang yang hadir, kecuali Ih-hoa-kiongcu tentunya, bilamana mengetahui latar belakang duel maut ini, rasanya pasti akan berduka dan meneteskan air mata. Cuma sayang, sebelum kedua anak muda ini mati salah satu, siapa pun tidak mengetahui rahasia ini.

Sekarang, seluruh hadirin sama merasa kagum dan tertarik oleh ilmu silat mereka yang aneh dan tinggi itu. Sebab, meski kedua anak muda itu sama-sama mempunyai tekad akan mengorbankan dirinya sendiri, tapi mereka pun sama-sama berwatak ingin menang.

Walaupun mereka sanggup menghadapi kematian dengan tertawa, tapi mereka pun juga ingin menjaga harga diri, tidak ingin dipandang rendah oleh orang lain.

“Mulai!”

Begitu mendengar aba-aba Yan Lam-thian, serentak kedua orang mulai bergebrak.

Agaknya mereka sudah bertekad bulat, andaikan harus mati, sebelum ajal mereka ingin memperlihatkan segenap Kungfu yang dimiliki, mati pun harus berlangsung secara gemilang.

Oleh karena itulah, belum lagi ratusan jurus mereka saling bergebrak, tertampaklah macam-macam jurus serangan yang aneh dan lihai.

Siapa pun tidak nyana kedua anak muda belia mempunyai Kungfu setinggi ini.

Setiap orang terkesima. Ada yang melongo dan gegetun karena kepandaian sendiri jauh ketinggalan dibandingkan kedua anak muda itu. Ada yang berdebar-debar mengikuti serangan yang lihai itu. Ada pula yang manggut-manggut setiap ada tipu serangan yang indah memesona.

Hanya perasaan Thi Sim-lan saja yang berbeda daripada orang lain.

Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji tidak bicara apa pun sebelum mereka bergerak. Bisa jadi lantaran mereka merasa apa yang hendak mereka bicarakan sudah habis dan tiada yang perlu dikatakan lagi sekarang.

Hoa Bu-koat juga tidak bicara apa pun kepada Thi Sim-lan, meski nasib nona itu sesungguhnya sudah terikat menjadi satu bersama dia, tak perlu disangsikan lagi nona itu adalah sebagian daripada kehidupan Bu-koat sendiri.

Namun pada sebelum kedua anak muda itu bergebrak, sekilas Thi Sim-lan melihat Hoa Bu-koat telah memandang sekejap padanya. Ya, hanya sekejap saja.

Tapi meski cuma memandangnya kurang sekejap saja, namun sudah melebihi ucapan beribu kata dan seratus kalimat.

Hanya melihat sinar matanya saja tahulah Thi Sim-lan bahwa anak muda itu sedang mengucapkan selamat berpisah selamanya kepadanya, sedang menyatakan tekad isi hatinya yang lebih kukuh daripada gunung dan lebih dalam daripada laut, yaitu cintanya.

Sim-lan tahu pandangan sekejap Hoa Bu-koat itu sama dengan ucapan: “Aku pasti tidak mengingkari harapanmu, Siau-hi-ji pasti takkan mati, jangan khawatir.”

Hati Thi Sim-lan sudah hancur luluh.

Yang diharapkan, kini memang akan terlaksana, tapi apakah ini benar-benar sesuai yang diharapkannya?

Apakah dia benar-benar mengharapkan Hoa Bu-koat mati?

Dipandangnya Hoa Bu-koat dengan air mata meleleh di pipinya, “Aku pun pasti takkan mengingkari harapanmu, kau pun jangan khawatir!”

Diam-diam ia mundur ke belakang, meninggalkan orang banyak. Betapa pun dia tidak tega menyaksikan Hoa Bu-koat mati baginya, mati di depannya. Sebab Bu-koat tidak cuma kekasihnya, suaminya, tapi juga sahabatnya, sukmanya, jiwanya

Awan berarak menyelimuti pegunungan yang suram ini.

So Ing berbaring di bawah pohon, termangu-mangu memandangi gumpalan awan yang mengapung di udara, air matanya sudah habis tercucur sejak tadi.

Sebab sukmanya, jiwanya, kekasihnya, suaminya, saat ini pun sedang melakukan duel maut dengan orang lain di pegunungan yang diliputi gumpalan awan kemawan ini.

Tapi dia sendiri sama sekali tidak mengetahui bagaimana hasil daripada duel itu.

Apakah Siau-hi-ji menang? Atau kalah? Hidup atau mati? ....

So Ing kucek-kucek matanya, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Mengapa aku masih memperhatikan dia? Ada sangkut-paut apa antara dia dengan aku?”

Ia ingin berdiri, ia coba menguatkan dirinya, namun bukan cuma hatinya saja hancur, seluruh tubuhnya seakan-akan juga sudah luluh, mana sanggup berdiri lagi.

Sekonyong-konyong didengarnya suara orang menangis memilukan di balik pohon, seperti ada seorang yang baru saja menjatuhkan diri di sebelah pohon sana.

Pohon ini sangat besar, mungkin lebih daripada pelukan tiga orang, makanya orang itu tidak tahu So Ing berada di sebelah sini.

Namun So Ing segera dapat mengenali itulah suara Thi Sim-lan.

Ia menjadi heran, “Mengapa Thi Sim-lan datang ke sini? Sebab apa dia sedemikian berduka?”

“Apakah duel itu sudah berakhir? Apakah Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sudah ada yang mati salah satu? Akan tetapi, siapakah yang mati?”

Sekuatnya So Ing merangkak bangun dan menubruk ke sebelah sana.

Tentu saja Thi Sim-lan terkejut, serunya, “He, kau pun berada di sini?”

So Ing memegangi lengan Thi Sim-lan dengan erat-erat, tanyanya, “Apakah dia ... dia sudah mati?”

Thi Sim-lan mengangguk dengan sedih, kembali ia menangis lagi.

Seketika kepala So Ing terasa pusing, sekujur badan serasa runtuh seluruhnya. Belum lagi dia jatuh terkulai lebih dulu ia sudah menangis tersedu-sedu.

Kedua nona itu duduk berhadapan di bawah pohon dan sama-sama menangis sedih, entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba Thi Sim-lan bertanya, “Siau-hi-ji kan tidak mati, apa yang kau tangisi?”

So Ing jadi melengak, tanyanya dengan tersendat-sendat, “Siau ... Siau-hi-ji tidak mati? Ap ... apakah yang mati Hoa ... Hoa Bu-koat?”

“Ehmm,” Thi Sim-lan mengangguk.

Rupanya “dia” yang dimaksudkan Thi Sim-lan lain daripada “dia” yang dimaksudkan So Ing.

Keruan So Ing terkejut dan bergirang pula, tapi mendadak ia berseru, “Ah, aku tidak percaya, mana bisa Siau-hi-ji membunuh Hoa Bu-koat!”

“Bukan dia yang membunuh Hoa Bu-koat, tapi Bu-koat membunuh dirinya sendiri,” jawab Sim-lan.

“Dia membunuh dirinya sendiri?” So Ing menegas. “Memangnya sebab apa?”

Thi Sim-lan menggigit bibir sehingga berdarah, serunya dengan parau, “Sebab ... sebab aku yang memohon dia agar jangan membunuh Siau-hi-ji, dia menerima permintaanku, terpaksa dia sendiri harus mati ....”

So Ing jadi melongo, ia pandang Thi Sim-lan dengan terbelalak seakan-akan baru pertama kali melihatnya.

Selang agak lama barulah So Ing berkata dengan tandas, “Tentunya kau tahu Hoa Bu-koat sudah bertekad untuk mati dan kau tetap minta dia jangan membunuh Siau-hi-ji?”

Sekujur Thi Sim-lan seperti mengejang, ia mengertak gigi dengan sangat menderita.

“Sudah jelas-jelas tahu begitu, masih juga Hoa Bu-koat memenuhi permintaanmu?” tanya So Ing pula.

Sorot mata Thi Sim-lan yang menderita itu menampilkan setitik perasaan terhibur, ucapnya, “Ya, dia memang orang yang berjiwa paling besar di dunia ini.”

“Tapi engkau, demi Siau-hi-ji, engkau tidak sayang menghendaki kematian orang yang berjiwa paling besar ini?”

“Aku ... aku ....” Thi Sim-lan tidak sanggup berucap pula.

So Ing menghela napas panjang, katanya, “Tak tersangka begini mendalam cintamu kepada Siau-hi-ji ....”

Mendadak Thi Sim-lan berteriak, “Tapi yang benar-benar kucintai bukanlah Siau-hi-ji!”

“Bukan Siau-hi-ji? Memangnya Hoa Bu-koat?”

“Betul, dialah yang kucintai, dialah yang kucintai dengan segenap jiwa ragaku,” ucap Sim-lan dengan mencucurkan air mata. “Selamanya kau takkan tahu betapa dalam kucintai dia, tiada seorang pun yang tahu betapa dalam kucintai dia.”

“Tapi kau menghendaki dia mati,” kata So Ing.

Sim-lan menangis sambil mendekap kepalanya, katanya, “Betul, sebab aku pun sudah bertekad akan mati bersama dia.”

So Ing memandang Thi Sim-lan dengan melenggong. Selang sejenak barulah ia menghela napas, katanya, “Memangnya sebab apa kau berbuat demikian?”

Dengan menangis sedih Sim-lan menjawab, “Sebab aku mencintai Hoa Bu-koat dan Hoa Bu-koat juga mencintai diriku. Kami merasa berdosa terhadap Siau-hi-ji, maka kami ingin mati .... Hanya kematian saja yang dapat membalas kebaikannya.”

So Ing menghela napas panjang, ucapnya, “Aku tetap tidak paham. Meski aku pun perempuan, tapi tetap tidak memahami isi hatimu. Pantaslah lelaki suka bilang hati perempuan laksana jarum di dasar lautan yang sukar dijajaki ....”

Sampai di sini mendadak dilihatnya tubuh Thi Sim-lan mengejang, lalu mengkeret, meringkuk menjadi satu.

“He, kenapakah engkau?” seru So Ing kaget.

Mata Thi Sim-lan terpejam dengan rapat, wajahnya penuh rasa derita, namun ujung mulutnya menampilkan senyuman, senyuman yang penuh rasa gembira dan bahagia. Dengan sekata demi sekata ia berucap, “Sekarang dia sudah mati, aku pun akan mati, selekasnya kami akan berkumpul menjadi satu. Segala keburukan di dunia ini, segala kekotoran, kekejian dan segala kesengsaraan takkan menimpa diri kami lagi.”

“Omong kosong! Kau takkan mati,” seru So Ing sambil menggenggam tangan Thi Sim-lan.

Thi Sim-lan tersenyum pedih, ucapnya, “Aku sudah minum racun yang paling keras di dunia ini, tak bisa tidak aku pasti mati ....”

Sementara itu pertarungan antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sudah berlangsung hingga lebih lima ratus jurus.

Ilmu silat kedua orang sama-sama hebatnya laksana arus sungai Tiangkang yang bergulung-gulung tiada habis-habisnya, jurus aneh dan serangan lihai silih berganti hingga membuat penontonnya menggeleng kepala dan merasa gegetun.

Namun pertarungan maut ini jelas sudah mendekati akhirnya!

Ini tidak berarti kedua anak muda itu sudah kehabisan tenaga melainkan disebabkan mereka tidak ingin bertempur lebih lama lagi.

Si nenek Siau menggeleng-geleng kepala, katanya dengan menyesal, “Sayang, sungguh sayang!”

“Sayang apa?” tanya Thi Cian.

“Kedua anak muda itu adalah jenius persilatan yang sukar dicari selama beratus tahun ini, siapa pun yang mati di antara mereka sama-sama harus disayangkan,” kata si nenek Siau.

Padahal perasaan orang lain masa kurang gegetunnya daripada mereka? Bahkan Yan Lam-thian juga timbul rasa sayang dan kasihan terhadap Hoa Bu-koat. Biarpun dia berharap Siau-hi-ji akan menang, tapi ia pun tidak ingin menyaksikan ksatria muda belia dan cendikia seperti Hoa Bu-koat harus mati secara mengenaskan begini.

Ia tidak tahu kedua anak muda itu pada hakikatnya tiada satu pun yang dapat hidup, andaikan akhirnya salah satu di antaranya mati terbunuh.

Hanya Lian-sing Kiongcu saja yang mengetahui rahasia ini, air mukanya yang cantik pucat itu tanpa terasa pun menampilkan perasaan yang bergolak, gumamnya di dalam hati, “Mana boleh kubiarkan kedua anak ini mati? Aku sendiri yang membesarkan Hoa Bu-koat sejak dia keluar dari rahim ibunya. Siau-hi-ji bukan saja pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan juga menutupi rasa maluku, mana boleh kusaksikan kedua anak ini mati di depan mataku?”

Mendadak ia menerjang ke depan.

Dalam sekejap ini, dendam kesumat yang ditanggungnya selama dua-tiga puluh tahun itu telah terlupakan seluruhnya. Yang terasa hanya darahnya bergolak dan tak mampu menguasai perasaannya. Berbareng ia pun berseru, “Berhenti dulu, ingin kubicara dengan kalian!”

Cuma sayang suaranya sudah serak, sedangkan perhatian semua orang lagi terpusat ke tengah gelanggang yang mendebarkan hati ini sehingga tiada yang memperhatikan apa yang diucapkannya. Sebaliknya Kiau-goat Kiongcu telah dapat melihat ulah saudaranya ini. Baru saja Lian-sing membuka mulut, secepat kilat Kiau-goat melayang ke sampingnya terus memegang tangannya.

“Apa yang kau lakukan?” bentak Kiau-goat dengan bengis sambil memencet Hiat-to di tangan Lian-sing Kiongcu.

“Aku ... aku ....” hampir tak terdengar suara Lian-sing yang serak itu, air mata pun berderai, katanya, “Toaci, kejadian dua puluh tahun yang lalu itu sudah lama lalu, meski Kang Hong bersalah padamu, namun ... namun tulang belulang mereka sekarang pun sudah menjadi abu. Toaci, untuk ... untuk apa pula engkau masih benci kepada mereka?”

Sorot mata Kiau-goat Kiongcu beralih kepada Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, ucapnya dengan perlahan, “Apakah kau hendak mengampuni mereka?”

“Jika dapat kubuat mereka berterima kasih selama hidup padamu, apa pula jeleknya cara begini?” kata Lian-sing.

Mendadak air muka Kiau-goat Kiongcu berubah putih seakan-akan tembus cahaya, katanya, “Apakah hendak kau katakan rahasia diri mereka pada saat begini?”

“Kupikir ....” mendadak dilihatnya air muka Kiau-goat yang luar biasa itu, seketika Lian-sing Kiongcu menggigil dan tidak sanggup melanjutkan.

“Semenjak kau berusia tujuh, kau lantas suka mengacau dan bertengkar denganku, apa pun yang kusukai selalu berebut denganku, apa pun yang ingin kukerjakan selalu kau rusak dan kau gagalkan.”

Air muka Kiau-goat makin lama makin bening sehingga seperti batu es yang diselimuti kabut dingin.

Air muka Lian-sing juga berubah pucat, ucapnya dengan gemetar, “Jang ... jangan kau lupa, betapa pun aku ini kan adikmu!”

Mendadak ia membalik tubuh, dengan gerak cepat dia bermaksud melepaskan diri dari pegangan Kiau-goat Kiongcu. Namun pada saat yang sama tiba-tiba suatu arus dingin yang aneh dan menakutkan tersalur dari tangan Kiau-goat terus menembus ke hulu hatinya. Keruan Lian-sing kaget, jeritnya, “He, apa yang kau lakukan? Kau sudah gila?!”

Dengan perlahan dan tegas Kiau-goat berkata, “Aku tidak gila, cuma sudah dua puluh tahun aku menunggu hingga sekarang, maka siapa pun sekali-kali tidak boleh menggagalkannya, juga kau ....” Setiap kata diucapkan, setiap kali pula rasa dingin di tubuh Lian-sing Kiongcu bertambah hebat. Ketika Kiau-goat selesai bicara, sekujur badan Lian-sing juga hampir kaku membeku.

Lian-sing merasa dirinya seolah-olah telanjang bulat terendam dalam air danau, sedangkan air danau perlahan-lahan sedang membeku. Ia ingin meronta tapi tiada bertenaga sama sekali.

Hakikatnya Kiau-goat tidak memandang Lian-sing Kiongcu, yang diperhatikannya cuma pertarungan antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, perlahan-lahan ujung mulutnya menampilkan semacam senyuman aneh, katanya lirih, “Lihat, pertarungan itu sudah hampir berakhir, bilamana Kang Hong dan Hoa Goat-loh mengetahui anak kembar mereka sedang saling membunuh sendiri, mereka tentu menyesal akan perbuatan mereka di masa lampau itu.”

Bibir Lian-sing Kiongcu tampak gemetar, mendadak ia berteriak sekuatnya, “Kalian jangan saling labrak lagi, dengar tidak kalian? Sebab kalian sebenarnya adalah saudara sekandung!”

Kiau-goat hanya mendengus saja dan tidak merintangi teriakan adiknya itu, sebab meski Lian-sing telah berteriak sekuat tenaga, tapi yang dapat didengar orang lain hanya suara gemertuk giginya yang saling mengertak, pada hakikatnya tidak terdengar apa yang dikatakannya.

Tanpa terasa air mata bercucuran dari mata Lian-sing Kiongcu.

Selama berpuluh tahun, bisa jadi untuk pertama kalinya inilah dia menangis. Tapi air mata yang mengalir itu dalam sekejap membeku juga menjadi es.

Ia tahu nasib Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sekarang benar-benar tak dapat diubah oleh siapa pun juga, sebab orang yang tahu rahasia asal-usul kedua anak muda itu kini hanya tinggal Kiau-goat Kiongcu saja seorang. Sedangkan Kiau-goat sudah pasti takkan membongkar rahasia mereka itu, kecuali nanti bilamana Siau-hi-ji atau Hoa Bu-koat sudah roboh salah satu, tatkala mana segala persoalannya akan mencapai babak terakhir.

Akhir dari semua ini sungguh terlalu kejam dan tragis. Lian-sing Kiongcu tidak bisa melihatnya lagi, pada hakikatnya dia memang tidak sanggup melihatnya lagi.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes