Wednesday, May 12, 2010

bgp6_part1

Jilid 6. Bahagia Binal

Dahi Koh Jin-giok tampak berkeringat, jawabnya, “Ap ... apakah Cianpwe kenal ayahku.”

“Hmk,” jengek orang itu. “Konon Koh-losi mempunyai peraturan keluarga yang keras, mana boleh anak muridnya sembarangan bertindak di luaran? Hendaklah diketahui, seorang yang semakin tinggi kungfunya juga harus semakin prihatin, apabila sedikit-sedikit lantas main pukul, itu kan sama dengan perbuatan kaum pencoleng di tepi jalan, masa ajaran ini tak pernah diberikan oleh ayahmu?”

Seketika Koh Jin-giok tertunduk oleh dampratan orang aneh itu, mana berani lagi dia bersuara.

Siau-sian-li yang tidak tahan, ia berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Berdasarkan apa kau beri kuliah segala?”

Sejak tadi Kang Piat-ho berdiri mematung di samping, sama sekali ia tidak terkejut terhadap apa yang terjadi di depannya, seolah-olah ia sudah tahu bilamana si orang aneh turun tangan, maka Koh Jin-giok dan Siau-sian-li pasti akan kecundang.

Sekarang mendadak Kang Piat-ho tertawa dan berkata, “Masa kalian sama sekali tidak tahu siapa gerangan beliau?”

“Siapa dia?” Siau-sian-li menegas dengan melotot.

Lebih dulu Kang Piat-ho menghela napas, lalu menjawab sekata demi sekata, “Beliau inilah Yan-tayhiap, Yan Lam-thian!”

Yan Lam-thian! Begitu mendengar nama ini, seketika kuncup nyali Siau-sian-li dan tidak berani bertingkah lagi, matanya terbeliak dan mulut pun tertutup.

Koh Jin-giok bahkan terus menyembah, sampai kawanan buaya darat yang tadi baru bubar dari rumah judi pun sama menahan napas demi mendengar nama Yan Lam-thian.

“Selanjutnya Kang Piat-ho takkan memalsukan nama dan berbuat jahat lagi, maka kalian pun tidak perlu mencari dia lagi untuk membuat perhitungan,” kata Yan Lam-thian kemudian. “Sebab sudah ada orang lain akan membuat perhitungan lebih dulu dengan dia untuk menyelesaikan utang-piutang yang sudah tertunggak dua puluh tahun lamanya.”

Berulang-ulang Koh Jin-giok mengiakan dengan hormat.

Lalu terdengar Yan Lam-thian menambahkan, “Dan selanjutnya hendaklah kalian pun jangan bertindak sembrono dan sembarangan membunuh orang.”

Dengan tertunduk kembali Koh Jin-giok mengiakan.

Yan Lam-thian lantas memberi tanda, katanya, “Baiklah, sekarang kalian boleh pergi.”

Kaki Pek Khay-sim dan To Kiau-kiau yang mengintip di balik pintu sana terasa seperti lemas dan baju mereka pun basah kuyup oleh keringat dingin.

Han-wan Sam-kong juga jeri terhadap Yan Lam-thian, tapi dia tidak ketakutan seperti kedua rekannya itu. Ia merasa geli melihat keadaan kedua kawannya itu, katanya dengan tertawa, “Ayo kalian anak kura-kura ini kenapa tidak berteriak lagi sekarang? Kabarnya kalian telah mengurung Yan Lam-thian di Ok-jin-kok selama dua puluh tahun, tadinya Locu merasa sangsi dan tidak percaya, tapi sekarang tampaknya hal itu memang bukan berita kosong belaka.”

“Ti ... tidak ....” mestinya To Kiau-kiau hendak menyangkal, tapi lidahnya terasa kaku dan sukar berucap pula.

“Itulah perbuatan si banci dengan serigala mulut besar mereka itu, tiada sangkut pautnya dengan aku,” cepat Pek Khay-sim mendahului bicara.

“Jika tiada sangkut pautnya dengan kalian anak kura-kura ini, kenapa kau anak kura-kura mesti ketakutan setengah mati?” tanya Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

“Memangnya kau sendiri tidak takut?” ujar Pek Khay-sim.

“Kejahatan yang kulakukan kan tidak sebanyak perbuatan kalian, Locu tidak perlu takut seperti kau anak kura-kura ini,” kata Ok-tu-kui.

Mendadak Pek Khay-sim tertawa lebar, katanya, “Kata orang, yang ada biasanya cuma berzina paksa dan tidak ada judi paksa, ini tandanya memaksa orang berjudi jauh lebih jahat daripada pemerkosaan. Nah, kejahatanku paling-paling juga cuma memerkosa saja. Tapi kau ... hehehe, boleh kau lihat nanti, apabila Yan Lam-thian tahu kau inilah Ok-tu-kui, mustahil kalau kepalamu tidak dipukulnya hingga pecah.”

Han-wan Sam-kong mengusap keringatnya, ia pun tidak sanggup bicara pula.

Sudah tentu ketiga orang sama berharap selekasnya Yan Lam-thian akan pergi sejauh-jauhnya bersama Kang Piat-ho. Siapa tahu, Yan Lam-thian justru lantas duduk di tempat penjual bakmi, ia minta satu botol arak, lalu menuang sendiri dan minum sendiri.

Kang Piat-ho hanya berdiri saja di samping, tidak berani pergi juga tidak berani ikut duduk. Agaknya orang-orang lain juga sama jeri sehingga satu per satu pembeli bakmi sama angkat kaki, sampai-sampai si penjual bakmi sendiri juga agak gemetar.

Namun Yan Lam-thian tetap tenang-tenang saja, ia minum sendirian secawan demi secawan tanpa berhenti. Setiap kali habis menenggak arak, setiap kali pula menghela napas panjang seperti orang menanggung tekanan batin.

Han-wan Sam-kong bergumam sambil berkerut kening, “Aneh, si anak kura-kura Kang Piat-ho itu mengapa bisa berada bersama Yan Lam-thian, sungguh kejadian maha aneh.”

Dia mengira pertanyaan ini pasti tiada orang yang mampu menjawabnya, tak terduga To Kiau-kiau lantas menghela napas dan berucap, “Baru sekarang aku ingat asal-usul Kang Piat-ho ini.”

“Memangnya bagaimana asal-usulnya?” tanya Ok-tu-kui.

“Dia pasti Kang Khim adanya,” kata Kiau-kiau.

“Kang Khim? Siapa itu Kang Khim?” tanya Ok-tu-kui pula.

“Kang Khim adalah kacungnya Kang Hong, saudara angkat Yan Lam-thian,” tutur Kiau-kiau. “Tujuan Yan Lam-thian ke Ok-jin-kok dulu adalah untuk mencari Kang Khim, sebab Kang Khim telah mengkhianati Kang Hong.”

“Kang Hong? Nama ini seperti pernah kudengar,” ujar Ok-tu-kui.

“Sudah tentu pernah kau dengar dulu, cuma sudah terlalu lama,” kata Kiau-kiau. “Kang Hong bukan lain ialah ayah Kang Siau-hi-ji.”

Han-wan Sam-kong melengak, katanya kemudian, “Jika betul dia hendak menuntut balas pada Kang Khim alias Kang Piat-ho sekarang, mengapa dia tidak membinasakannya saja, tapi malah membawanya kian kemari untuk apa?”

“Sebab dia ingin menemukan dulu Siau-hi-ji agar anak muda itu dapat membalas dendam dengan tangannya sendiri,” tutur Kiau-kiau.

“Ya, betul, pasti inilah alasannya,” tukas Ok-tu-kui. “Akan tetapi bagaimana kalau tidak berhasil menemukan Siau-hi-ji?”

Tiba-tiba Pek Khay-sim tertawa lebar, katanya, “Selama hidupnya ini kukira dia takkan menemukan lagi si telur busuk kecil itu.”

“Memangnya kenapa?” tanya Ok-tu-kui.

Pek Khay-sim hanya tertawa saja dan tidak menjawab, sebab diam-diam To Kiau-kiau telah mencubitnya agar jangan banyak omong.

Pada saat itu juga, tiba-tiba ada seorang dengan membawa botol arak mendekati penjual bakmi tempat Yan Lam-thian duduk itu, lalu ia pun duduk di samping sang pendekar.

Lampu penjual bakmi itu tergantung di bagian atas sehingga dapat menyinari wajah orang yang baru datang ini, terlihat usianya masih muda, juga cukup tampan, hanya mukanya sangat pucat.

Han-wan Sam-kong terkejut, katanya, “Berengsek! Anak-kura-kura ini bukankah putra lelaki Kang Piat-ho yang bernama Kang Giok-long itu?”

“Memang betul,” tukas Pek Khay-sim.

Terlihat Kang Giok-long duduk di tempat penjual bakmi itu dan seakan-akan tidak melihat sang ayah, sebaliknya Kang Piat-ho juga berlagak seperti tidak kenal dia. Ayah beranak itu tidak saling pandang sama sekali.

“Kedua ayah beranak ini lagi main gila apa?” omel Han-wan Sam-kong sambil mengernyitkan dahi.

“Tampaknya ia bermaksud menolong bapaknya?” kata Kiau-kiau.

“Hm, hanya anak jadah ini, apakah dia mampu?” jengek Ok-tu-kui.

Kiau-kiau tertawa, katanya, “Meski dia tidak memiliki kemampuan besar, tapi cukup banyak tipu akalnya, sampai Siau-hi-ji terkadang juga tertipu olehnya.”

Han-wan Sam-kong melotot, jengeknya, “Hm, Locu juga tahu banyak tipu muslihatnya, tapi kalau dibandingkan Siau-hi-ji sedikitnya masih berselisih tiga pal jauhnya.”

Berputar biji mata To Kiau-kiau dan tidak bersuara pula. Jelas diketahuinya sekarang bahwa hubungan Ok-tu-kui dengan Siau-hi-ji ternyata cukup erat, kalau tidak, mana mungkin Ok-tu-kui bernada membela Siau-hi-ji.

Dalam pada itu tampak Kang Giok-long sedang menghormat arak kepada Yan Lam-thian, bahkan mengajaknya bicara dengan tertawa. Jelas Yan Lam-thian tidak tahu bahwa Kang Giok-long adalah putra Kang Piat-ho, ia pun tidak menolak ajakan bicara Kang Giok-long itu.

Tidak lama kemudian, mendadak Yan Lam-thian berbangkit dan berseru, “Apa betul kau kenal Kang Siau-hi?”

Kang Giok-long juga berdiri, jawabnya dengan mengiring tawa, “Bukan cuma kenal saja, bahkan boleh dikatakan sahabat sehidup-semati.”

Yan Lam-thian lantas memegang pundak Kang Giok-long dan bertanya, “Apakah akhir-akhir ini kau pernah melihatnya?”

“Dua hari yang lalu Wanpwe baru saja minum arak bersama dia,” jawab Giok-long.

“Dan ke mana dia sekarang?” tukas Yan Lam-thian cepat.

“Jejaknya memang tidak menentu,” tutur Giok-long. “Tapi rasanya Wanpwe masih sanggup menemukannya.”

“Betul?” Yan Lam-thian menegas.

“Masa Wanpwe berani berdusta kepada Cianpwe?” kata Giok-long.

“Bagus, bagus, bagus ....” karena senangnya Yan Lam-thian mengucapkan “bagus” hingga beberapa kali, tangannya yang mencengkeram pundak Kang Giok-long juga lupa dilepaskan, keruan anak muda itu meringis kesakitan, tulang pundak serasa retak, tapi sedapatnya ia unjuk senyuman.

Sinar mata Kang Piat-ho tampak gemerdep, tiba-tiba ia menimbrung, “Asal-usul bocah ini tidak jelas, mana boleh Yan-tayhiap percaya kepada ocehannya?”

“Tutup mulutmu!” bentak Yan Lam-thian gusar. “Di depanku tiada bagianmu buat ikut bicara.”

Segera ia lemparkan sepotong uang perak kepada penjual bakmi, ia tarik Kang Giok-long terus diajak berangkat. Terpaksa Kang Piat-ho mengikut di belakang dengan lesu, tapi kalau diperhatikan jelas tersembul senyuman girang pada ujung mulutnya.

Melihat Yan Lam-thian kena diakali Kang Giok-long, To Kiau-kiau tertawa, gumamnya, “Memang sudah kuduga Yan Lam-thian pasti akan tertipu olehnya dan dugaanku ternyata tidak meleset.”

“Setan cilik ini boleh juga!” kata Pek Khay-sim dengan tertawa geli. “Hihihi! Caranya berpura-pura sungguh mirip benar, keparat! Dan Yan Lam-thian ternyata mau juga ikut pergi bersama dia, mungkin dia sudah keblinger.”

“Sekali ini bukan saja selamanya Yan Lam-thian takkan bertemu lagi dengan Siau-hi-ji, bahkan jiwanya mungkin juga akan melayang di tangan kedua ayah beranak itu,” ujar To Kiau-kiau.

Han-wan Sam-kong tampak termangu-mangu, mendadak ia menolak pintu terus hendak menerobos keluar. Tak terduga tangan To Kiau-kiau sudah menunggu di belakangnya, baru saja ia mendorong pintu, secepat kilat Kiau-kiau menutuk beberapa hiat-tonya, habis itu terus dipanggulnya dan dibawa keluar melalui jendela belakang.

Cepat Pek Khay-sim menyusulnya, sambil bertepuk tangan ia berolok-olok, “Haha, tak tersangka To Kiau-kiau bisa terpikat oleh Ok-tu-kui, rupanya kau hendak membawanya pulang untuk dijadikan suami. Tapi menjadi istri setan judi tidak terlalu enak, kau harus hati-hati kalau ikut terjual bila dia kalah judi.”

Kejut dan gusar sekali Han-wan Sam-kong, tapi apa daya, sama sekali ia tak dapat berkutik, bicara pun tidak bisa.

To Kiau-kiau mengitari belakang rumah dan keluar dari kota kecil itu, sementara itu hari sudah terang, jalan pegunungan dengan sendirinya masih sepi.

Sekuatnya To Kiau-kiau terus lari ke atas gunung, dengan sendirinya ia agak kepayahan karena harus memanggul Ok-tu-kui yang bertubuh tidak kecil itu.

Entah sudah berapa lama lagi, tiba-tiba terdengar suara gemerantang nyaring di depan sana, rupanya Li Toa-jui, Ha-ha-ji, dan Toh Sat sedang menggali gunung. Mendadak mereka melihat To Kiau-kiau dan Pek Khay-sim berlari datang seperti dikejar setan.

Yang paling aneh ialah punggung To Kiau-kiau memanggul seseorang.

Segera Li Toa-jui bertiga berhenti menggali dan menyongsong maju.

Sekilas pandang saja Ha-ha-ji lantas mengenali siapa yang dipanggul Kiau-kiau itu, serunya dengan tertawa, “Haha, kukira siapa, rupanya Ok-tu-kui adanya. Haha, selamat bertemu, sahabat lama!”

“Ya, kita sudah berpisah cukup lama, Ok-tu-kui,” Li Toa-jui juga menyapa. “Eh, baru saja bertemu mengapa engkau lantas merangkak ke atas tubuh To Kiau-kiau? Apakah kau setan judi ini telah berubah menjadi setan kundai licin?”

Toh Sat juga berkerut kening, tanyanya, “Apa-apaan ini?”

Kiau-kiau tidak lantas menjawab, ia banting Ok-tu-kui ke tanah, karena bantingan ini, hiat-to yang tertutuk seketika terbuka semua, belum lagi Ok-tu-kui melompat bangun sudah bergelak tertawa lebih dulu, “Hahahaha, kiranya kalian kawanan anak kura-kura ini sudah berada di sini semuanya. Bukit Kura-kura ini kedatangan anak kura-kura sebanyak ini, haha, benar-benar keadaan cocok dengan namanya.”

Pek Khay-sim tertawa, katanya, “Tanpa sebab musabab hiat-tomu ditutuk To Kiau-kiau, lalu seperti membanting seekor anjing kau dibanting ke tanah, tapi kau tidak melabraknya, sebaliknya terus bergurau. Hehe, tampaknya kau ini memang empuk dikerjai orang.”

Pada dasarnya Han-wan Sam-kong berwatak jujur dan terbuka, ketika mendadak melihat sahabat lama sama berkumpul, maka segala urusan telah dikesampingkan olehnya. Sekarang Pek Khay-sim membakarnya dengan mengingatkannya kejadian tadi, seketika ia naik pitam, ia melompat bangun dan menuding hidung To Kiau-kiau sambil berkata, “Ya, coba jawab, kau anak kura-kura bukan jantan bukan betina ini mengapa menutuk sesukamu?”

“Coba jawab dulu pertanyaanku,” kata Kiau-kiau. “Untuk apa tadi kau hendak lari keluar?”

“Apa yang kulakukan, peduli apa denganmu?” Ok-tu-kui meraung murka.

“Maksudmu hendak memberitahukan kepada Yan Lam-thian agar jangan tertipu oleh Kang Giok-long, begitu bukan?” tanya Kiau-kiau.

Mendengar nama “Yan Lam-thian”, tidak kepalang kejut Li Toa-jui, Ha-ha-ji, dan Toh Sat, kaki pun terasa lemas semua.

“Yan Lam-thian?” Toh Sat menegas.

“Kau ... kau lihat Yan Lam-thian?” Ha-ha-ji bertanya.

“Apa ... apakah dia sudah waras kembali?”

“Bukan saja sudah waras dan segar bugar, bahkan kungfunya kelihatan terlebih hebat daripada dulu,” tutur To Kiau-kiau. “Waktu melihat orangnya tidak seketika kukenali dia, tapi setelah dia memperlihatkan satu jurus saja segera kuyakin dia itulah Yan Lam-thian, sebab selain dia di dunia ini tiada orang kedua yang memiliki ilmu silat setinggi itu.”

Ha-ha-ji menggigil ketakutan, bukan saja tidak sanggup tertawa lagi, bahkan bicara pun tidak sanggup.

“Dia ... dia di mana sekarang?” tanya Li Toa-jui.

“Dia telah ditipu pergi oleh Kang Giok-long dan ayahnya, tapi Ok-tu-kui ingin mencarinya malah,” tutur Kiau-kiau.

Belum habis penuturan To Kiau-kiau ini, serentak Toh Sat, Li Toa-jui, dan Ha-ha-ji mengelilingi Han-wan Sam-kong dengan murka.

“Apa maksud tujuanmu itu?” tanya Toh Sat dengan melotot.

Ok-tu-kui tidak takut kepada orang lain, tapi jeri terhadap Toh Sat. Apalagi sekarang sikap Toh Sat kelihatan beringas dan penuh nafsu membunuh, diam-diam ia pun merinding, maka cepat ia menjawab, “Ah, hanya kuingin minta Yan Lam-thian membunuh Kang Piat-ho dan anaknya, masa ada maksud lain.”

“Jangan percaya, Toh-lotoa,” seru Pek Khay-sim.

“Habis, apakah mungkin kuminta Yan Lam-thian mencari perkara kepada kalian?” ujar Han-wan Sam-kong.

“Bisa jadi, bukan mustahil,” ujar Pek Khay-sim. “Sudah dua puluh tahun tidak berjumpa, siapa tahu apa pekerjaanmu sekarang? Mungkin sekali kau sudah menanjak ke atas dan ada hubungan baik dengan Yan Lam-thian, dengan sendirinya kau pun pandang sebelah mata lagi kepada kawan-kawan lama.”

“Ucapan anak kura-kura ini lebih busuk daripada kentut, jangan kau percaya padanya, Toh-lotoa,” kata Ok-tu-kui.

“Coba jawab, jika kau tidak berbuat kesalahan apa-apa, mengapa lantas lari ketika melihat kami?” tanya Pek Khay-sim dengan tertawa.

Agak berubah juga air muka Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, jawabnya gelagapan, “Ini ... ini ....”

“Ayolah katakan, mengapa tak dapat kau jelaskan?” desak Pek Khay-sim. “Nah, bukankah lantaran berdosa dan takut tertangkap tangan?”

Han-wan Sam-kong berjingkrak gusar dan meraung, “Locu kan tidak menggali kuburan nenek moyangmu, kenapa kau anak kura-kura ini sengaja mencari gara-gara padaku?”

Pek Khay-sim merasa maksud tujuannya tercapai, maka tidak bersuara meski dicaci maki oleh Han-wan Sam-kong.

Li Toa-jui dan Ha-ha-ji menjadi lebih murka, Toh Sat juga tambah beringas, dengan bengis ia tanya pula, “Jadi tadi begitu melihat kami kau lantas lari?”

“Aku ... aku ... sialan, memang betul, aku lari,” jawab Ok-tu-kui.

“Mengapa lari?” tanya Toh Sat pula.

Mendadak Han-wan Sam-kong membusungkan dada dan menjawab tegas, “Sebab Locu telah meludeskan harta benda kalian.”

Keterangan ini membuat mereka terkejut.

“Harta benda kami, katamu?” tanya Ha-ha-ji cepat. “Harta benda apa?”

“Kalian hanya tahu Locu ini Ok-tu-kui,” tutur Han-wan Sam-kong, “tapi kalian tidak tahu watakku selain ingin menang, juga tak gentar kalah. Asalkan masih ada modal dan bisa kalah, maka rasanya terlebih menyenangkan daripada menang. Lebih-lebih bila kukalah pada setan judi yang miskin dan melihat betapa senangnya mereka setelah menang, wah, kenikmatan itu jelas tak dapat dibayangkan oleh kalian kawanan anak kura-kura ini.”

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula, “Bulan lalu aku diminta seorang kawan untuk mengantar suatu partai harta milik hartawan besar Toan Hap-pui di daerah Kanglam, meski lantaran urusan itu aku menjadi bermusuhan dengan Kang Piat-ho dan anaknya, tapi aku pun lantas kenal Toan Hap-pui, selama lebih setengah bulan kami mengadu jangkrik di rumahnya, dasar nasibku lagi mujur, aku telah menang beberapa puluh laksa tahil perak dari dia. Karena sudah punya modal, tanganku menjadi gatal dan ingin membuang sebagian harta karun itu.”

“Hm, tak tersangka setan judi macam kau juga punya hati bijak, apakah kau ingin menjadi pendekar yang merampas orang kaya untuk membantu orang miskin?” jengek Li Toa-jui.

Han-wan Sam-kong tidak menanggapi, ia meneruskan ceritanya, “Tapi semakin Locu ingin kalah, harta itu seakan-akan sengaja memusuhi aku, bukannya berkurang, malahan terus bertambah, bukannya kalah, malah selalu menang.”

“Orang judi tentu mengharapkan menang, tapi kau malah ingin kalah,” ujar Li Toa-jui. “Padahal apa sulitnya jika ingin kalah?”

“Judi yang menyenangkan harus berlangsung secara jujur dan pakai teknik sejati, kalah atau menang tidak boleh menggunakan cara curang, kalau tidak kan sama seperti makan nasi putih tanpa sayur, sedikit pun tiada rasanya,” kata Ok-tu-kui. “Nah, pada suatu hari, ketika aku lagi minum di suatu rumah makan, mendadak di sebelah ada orang main dadu. Tentu saja aku tertarik, maka aku pun ikut bermain dengan kawanan anak kura-kura itu.”

“Dan kau menang lagi?” tanya Li Toa-jui.

“Mungkin kawanan anak kura-kura itu yang lagi mujur, kebetulan juga kemujuranku itu harus ganti tempat, maka setiap kali lempar dadu selalu bijiku ketinggalan daripada lemparan orang lain, selama beberapa hari dan beberapa malam berturut-turut Locu kalah terus-menerus.”

“Itu kan cocok dengan kehendakmu?” sela Pek Khay-sim.

Han-wan Sam-kong tidak menggubris, ia menyambung pula ceritanya, “Rumah makan itu terletak di suatu gang, karena Locu kalah terus-menerus selama tiga hari, tentu saja setiap orang di gang itu, tua maupun muda, hampir rata-rata memenangkan uangku. Hanya ada seorang kakek konyol, meski setiap hari dia juga datang minum ke rumah makan itu dan setiap hari menyaksikan kelemahanku, tapi dia sendiri tidak tertarik, satu kali pun tidak pernah ikut taruhan.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan tertawa, “Hahaha, semakin dia tidak main judi, makin besar keinginanku untuk mengajak dia berjudi. Orang lain sama bilang kakek itu sangat alim, bukan saja tidak suka berjudi, bahkan juga tidak merokok, tidak minum arak, tidak main perempuan, jadi benar-benar seorang bersih, maka kebanyakan orang memberi julukan Li-lausit atau Li si Jujur padanya. Malahan ada orang yang menantang, katanya kalau aku mampu memancing Li-lausit ikut berjudi, maka mereka akan menyembah padaku.”

“Sungguh tidak tersangka keluarga Li bisa terdapat seorang tua sebaik itu,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa sambil melirik Li Toa-jui.

“Di gang itu bertempat tinggal pula seorang janda she To, konon dia akan mendapat piagam dari maharaja karena si janda dapat mempertahankan kesuciannya tanpa kawin selama berpuluh tahun,” demikian tutur Ok-tu-kui pula. “Janda To itu berjualan serabi di depan rumahnya, akan tetapi selama berpuluh tahun orang yang berlalu-lalang di situ belum pernah melihat tertawa si janda. Anehnya di rumah janda itu tiada orang lain lagi kecuali seekor anjing yang membantunya menjaga rumah.”

“Hahaha, tak menyangka keluarga To ada perempuan yang rela menjanda sampai tua, sungguh harus dipuji,” demikian Li Toa-jui balas berolok-olok pada To Kiau-kiau. “Cuma sayang, dia toh melahirkan seekor anjing ... Hahaha, kita tahu kebaikan anjing yang paling utama ialah tak bisa bicara.”

Han-wan Sam-kong tersenyum, ia melanjutkan ceritanya lagi, “Tidak sampai empat hari, modalku hanya sisa empat laksa tahil saja, selebihnya sudah berpindah ke saku kawanan anak kura-kura itu. Maka sisa modalku itu sekaligus kusodorkan ke depan Li-lausit, kutantang dia bertaruh. Kataku, cukup kusebut satu kata saja pasti dapat membuat si janda To itu tertawa, kemudian kusebut satu kata lagi akan kubuat si janda memukulku, kutanya Li-lausit dia percaya atau tidak dan berani tidak bertaruh denganku?”

“Dan dia tidak percaya?” Ha-ha-ji ikut bertanya.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong menjawab, “Bahwa janda itu tidak pernah tertawa, antara lelaki dan perempuan juga ada batas-batasnya, lebih-lebih janda tidak mungkin memukul lelaki, semua ini dengan sendirinya membuat Li-lausit tidak percaya. Maka aku lantas bertaruh dengan dia, bilamana aku kalah, seluruh sisa perak milikku itu akan kuserahkan padanya, sebaliknya kalau aku menang, syaratnya ialah dia mesti bermain dadu sepuluh kali lemparan denganku.”

“Dan dia terima tantanganmu?” tanya Ha-ha-ji.

“Dia tidak lantas menjawab, ia pandang perak yang kusodorkan di depannya itu, paling tidak ada setengah jam ia memandang, akhirnya ia setuju bertaruh denganku,” tutur Ok-tu-kui pula. “Haha, biarpun orang jujur, kalau melihat tumpukan perak yang putih gilap itu disodorkan ke depan hidungnya pasti juga ingin memilikinya, sebab setiap orang mengira taruhan ini pasti akan dimenangkan oleh Li-lausit.”

“Akan tetapi akhirnya kau yang menang,” tutur Ha-ha-ji.

“Ya, agar dia mau berjudi lagi denganku, sudah tentu aku harus memenangkan pertaruhan itu,” kata Ok-tu-kui dengan tertawa.

Sampai di sini, akhirnya Toh Sat juga tertarik dan bertanya, “Cara bagaimana kau akan mengalahkan dia?”

To Kiau-kiau juga berseru, “Ya, bahwa kau dapat membuat tertawa si janda dengan satu kata, lalu satu kata lagi dapat kau buat dia marah dan memukul kau, sungguh aku sendiri pun bingung membayangkannya,” kata Kiau-kiau.

Seketika Li Toa-jui, Ha-ha-ji, Toh Sat, dan To Kiau-kiau hanya saling pandang, betapa pun mereka tidak tahu kata apa yang dimaksud Han-wan Sam-kong, masa mempunyai kekuatan gaib sebesar itu dapat membuat tertawa dan membuat marah seorang janda hanya dengan satu kata saja.

Dengan tenang dan perlahan Han-wan Sam-kong lantas bercerita pula, “Petangnya, waktu si janda mulai berjualan serabi lagi, anjing piaraannya yang setia itu sudah tentu selalu mendampinginya. Maka aku lantas mendekatinya, dengan hormat aku menyembah kepada anjing itu sambil memanggil: ‘ayah’. Si janda tampak melengak, maksudnya hendak marah, tapi toh akhirnya dia tertawa juga.”

Bahwa Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong menyembah dan memanggil seekor anjing sebagai ayah, sudah tentu hal ini sangat lucu. Maka Li Toa-jui dan lain-lain juga bergelak tertawa geli.

Dengan tersenyum Ok-tu-kui menyambung pula, “Bahwa terbukti si janda benar-benar tertawa setelah mendengar satu kata ucapanku, tentu saja semua orang merasa kagum dan geli, tapi mereka tetap sangsi dengan satu kata lagi.”

“Terus terang, sampai saat ini pun aku tidak percaya kau mampu membuatnya marah hanya dengan satu kata saja,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

“Untuk itu pun tidak sulit,” tutur Han-wan Sam-kong. “Segera kuberlutut di depan si janda dan memanggilnya ‘ibu’. Seketika mukanya berubah merah padam, dengan gemas ia tampar mukaku satu kali lalu lari masuk rumah.”

Belum habis uraiannya, karena gelinya Li Toa-jui dan lain-lain sama mendekap perut dan tertawa terpingkal-pingkal.

“Maka Li-lausit terpaksa main dadu denganku sesuai perjanjian,” sambung Ok-tu-kui pula. “Siapa tahu kemujuranku bertambah memuncak, berturut-turut kumenang belasan kali lemparan dadu. Semula Li yang mengaku lausit (jujur, polos) itu hanya bertaruh kecil-kecilan saja. Tapi setelah kalah, lama-lama ia menjadi bernafsu dan kalap, taruhannya bertambah besar dan kalahnya juga tambah banyak, akhirnya sampai kasur selimut dan pispot di rumahnya juga dijual untuk taruhan. Hanya dalam sehari saja dia telah kalah ludes, bangkrut habis-habisan.”

“Memang betul,” ujar Toa-jui dengan tertawa, “orang yang tidak pernah berjudi, sekali mulai berjudi dan kalah, makin bernafsu untuk berjudi terus, sebelum ludes takkan berhenti.”

“Pada umumnya, kalau sudah kalah, tentu ingin menang untuk mengembalikan modalnya, tapi akibatnya tambah ludes,” kata Ok-tu-kui. “Dalam hal ini Li-lausit pun tidak terkecuali. Sudah ludes, dia masih ngotot mengajak bertaruh lagi. Kutanya dia dengan apa dia akan bertaruh. Sesudah berpikir, rupanya ia menjadi nekat, ia mengajak aku ke rumahnya, isi rumahnya sudah bersih, tapi di suatu ruangan masih ada beberapa buah peti besar.”

“Peti besar? Bagaimana bentuk peti itu?” tanya Kiau-kiau cepat.

“Hitam warna peti-peti itu, penuh debu, jelas sudah lama tersimpan di situ,” tutur Ok-tu-kui. “Menurut cerita Li-lausit, katanya peti-peti itu sebenarnya adalah barang titipan orang, selama ini belum pernah disentuhnya. Tapi sekarang ia tidak peduli lagi.”

Setelah tertawa, lalu Ok-tu-kui menyambung pula, “Kalian tahu, bila seorang sudah kepepet karena kalah habis-habisan, jangankan barang titipan orang lain, biarpun istri dan anaknya juga tega dijadikan barang jaminan, bahkan dijual sekaligus.”

“Apakah ... apakah peti-peti itu pun dikalahkan seluruhnya kepadamu?” tanya Kiau-kiau.

“Ya, cuma tak kusangka isi peti-peti itu adalah emas dan perak, lebih tak terpikir olehku peti itu adalah milik kalian, apabila di dalam peti tiada tanda pengenal kalian, tidak nanti terpikir olehku bahwa kalian dapat menitipkan peti-peti berharga itu kepada seorang kakek. Haha, cara kalian itu sesungguhnya sangat bagus.”

Setelah berhenti sejenak lalu Ok-tu-kui menyambung lagi, “Tentu saja aku kejatuhan rezeki nomplok, beberapa juta tahil perak kudapatkan tanpa susah payah, maka aku dapat bertaruh dengan sepuas-puasnya, sampai sekarang kekalahanku sudah cukup lumayan, sisanya juga sudah kusumbangkan kepada orang sebagai kado perkawinan, sekarang kantong sudah kosong, aku sudah jatuh rudin lagi, bila kalian menagih utang padaku, jelas satu peser pun aku tidak punya lagi, kalau jiwa sih masih ada satu.”

Seketika melenggong Pek Khay-sim, Ha-ha-ji, Toh Sat, Li Toa-jui, dan To Kiau-kiau, muka mereka menjadi pucat, lesu, dan sedih seperti kematian ibunda.

“Haha, kiranya ... kiranya Auyang Ting dan Auyang Tong tidak menyimpan harta benda itu di Ku-san, tapi dititipkan pada Li-lausit, akhirnya kita toh tetap tertipu olehnya,” seru Ha-ha-ji.

Dengan gemas Li Toa-jui menambahkan, “Siapa pun juga, bila sudah mendekati ajalnya seperti Auyang Ting dan Tong pasti tidak berani berdusta lagi, tak tersangka kedua Auyang bersaudara itu ternyata bukan manusia!”

Mendadak Ha-ha-ji membuang pacul dan sekop yang berserakan itu, lalu teriaknya dengan tertawa, “Sesungguhnya kita harus berterima kasih juga kepada setan judi ini.”

“Terima kasih? Mengapa?” tanya Pek Khay-sim.

“Coba bayangkan. Apabila dia tidak menceritakan pengalamannya itu, tentu kita akan tetap menjadi kuli galian dan bekerja mati-matian di sini. Tapi sekarang kita tidak perlu menggali lagi dan dapat istirahat dengan baik.”

“Pantas kau gemuk seperti babi, nyatanya kau memang malas,” omel Pek Khay-sim.

“Ucapannya memang tidak salah,” tukas Toh Sat. “Jika tiada Han-wan Sam-kong, selamanya kita takkan tahu di mana beradanya peti-peti kita itu. Bahkan kita akan tambah banyak urusan dan kelabakan percuma.”

Mendadak Pek Khay-sim berseru, “Habis, kita harus minta ganti rugi tidak kepadanya?”

Li Toa-jui tertawa, katanya, “Dia sudah bilang tadi, satu peser saja dia tidak punya lagi, yang ada cuma jiwanya ....”

“Kulihat kulit dagingnya kan juga lumayan, apakah kau tidak ingin mencicipinya?” tanya Pek Khay-sim.

“Jika setan judi begini kumakan, wah, bisa runyam,” kata Li Toa-jui dengan tertawa. “Jangan-jangan dia akan mempertaruhkan usus dan ginjalnya, kan celaka?”

Mendadak ia berhenti tertawa dan melototi Han-wan Sam-kong, tanyanya, “Kau telah menghabiskan harta karun itu, apakah beberapa buah peti itu pun kau habiskan pula di meja judi?”

“Tidak,” jawab Han-wan Sam-kong.

Bercahaya mata Li Toa-jui, cepat ia tanya pula, “Di mana peti-peti itu?”

“Di mana? Sudah kubuang,” jawab Ok-tu-kui. “Peti-peti itu sangat besar lagi berat, untuk apa kubawa kian kemari? Maka seluruhnya telah kubuang ke sungai.”

Kembali Li Toa-jui dan To Kiau-kiau saling pandang dengan melongo dan tidak sanggup bicara lagi.

Han-wan Sam-kong berludah keras-keras, lalu mengomel, “Keparat, biasanya kau anak kura-kura ini cuma gemar daging manusia, padahal daging manusia kan tidak dapat dibeli dengan uang, sekarang kau cuma kehilangan beberapa tahil perak, apa yang kau sedihkan?”

Li Toa-jui menghela napas, katanya, “Dalam hal ini kau masih hijau. Usia seorang kalau sudah mulai lanjut, maka pasti juga mulai kemaruk harta. Meski kutahu benda-benda emas perak begituan tak dapat dimakan dan tak dapat dipakai, pula tak mungkin dibawa masuk peti mati, tapi semakin tua usiaku semakin kusuka pula padanya.”

“Haha, memang betul,” tukas Ha-ha-ji. “Bagiku, setiap hari boleh tidak bekerja apa-apa, cukup asalkan tutup pintu di dalam kamar dan menghitung uang, maka puaslah hidupku ini.”

“Kukira kalian anak kura-kura ini mungkin sudah hampir masuk peti semua,” gerutu Han-wan Sam-kong. “Seorang kalau tidak suka apa-apa melainkan cuma suka uang, maka sebelah kaki mereka boleh dikatakan sudah melangkah ke dalam kubur.”

Setelah meludah, lalu ia menyambung, “Jika kalian masih kemaruk harta, mengapa kalian tidak merampok dan membegal lagi, harta yang kuhabiskan itu kan juga berasal dari rampokan?”

“Kau tidak paham lagi mengenai urusan ini,” kata Li Toa-jui. “Ok-jin kan juga harus menjaga gengsi, ok-jin yang berkedudukan seperti kita ini, kalau sekarang harus main bunuh lagi dan merampok, kan bisa ditertawakan orang?”

Han-wan Sam-kong tercengang sejenak, tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, “Hahaha, tak tersangka kalian anak kura-kura ini tidak berani lagi menjadi perampok, lalu apa gunanya kalian ini? Lebih baik bunuh diri saja atau cebur ke dalam sungai.”

“Kentut makmu, siapa bilang Cap-toa-ok-jin tiada gunanya lagi?” damprat To Kiau-kiau.

“Dua puluh tahun yang lalu mungkin kalian bisa tergolong Cap-toa-ok-jin, tapi setelah sembunyi sekian lamanya di lembah kura-kura itu, paling-paling kalian berlima ini cuma dapat di anggap sebagai Go-toa-ok-ku (lima ekor kura-kura jahat),” demikian Han-wan Sam-kong mengejeknya.

To Kiau-kiau menjadi gusar, dampratnya, “Hm, kau ini kutu macam apa, biarpun dua puluh tahun yang lalu kau juga tidak memenuhi syarat sebagai anggota Cap-toa-ok-jin, bahwa kau pun dianggap satu di antara kesepuluh top penjahat, soalnya orang ingin membuat genap bilangan sepuluh saja.”

“Baik, jika kita sesungguhnya belum tergolong ok-jin sejati, kenapa kita tak coba-coba menjadi ho-jin (orang baik) saja?” ucap Han-wan Sam-kong. “Dan untuk menjadi ho-jin kita juga perlu coba-coba berbuat baik.”

“Berbuat baik bagaimana?” tanya Li Toa-jui.

Han-wan Sam-kong menunjuk Hoa Bu-koat yang menggeletak di tanah dan Thi Sim-lan yang terkurung di dalam sangkar itu, katanya, “Kenapa kita tidak membebaskan mereka agar mereka selalu merasa berterima kasih kepada kita.”

Li Toa-jui termenung sejenak, katanya kemudian, “Betul juga, sudah sekian lama kita dibenci orang, kalau sekali tempo kita pun membikin orang berterima kasih kepada kita, kan menarik juga.”

“Bagaimana pendapatmu, Toh-lotoa?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Tampaknya ketiga orang ini sudah sekarat, aku pun malas membunuh mereka,” jawab Toh Sat.

Pek Khay-sim juga sedang putar otak, mendadak ia berkata, “Jika kalian ingin menjadi orang baik, kenapa tidak menjadi baik-baik benar?”

“Haha, masakah orang yang selalu membuat rugi orang lain juga ingin berbuat sesuatu yang baik?” seru Ha-ha-ji dengan tertawa.

“Aku sudah berbuat jahat selama ini, sekarang aku pun ingin tahu bagaimana rasanya berbuat baik,” kata Pek Khay-sim. “Kalau tidak, kan sukar kupertanggung jawabkan perbuatanku di depan Giam-lo-ong bilamana kumati kelak.”

“Memangnya kau anak kura-kura ini ingin permainan apa?” tanya Ok-tu-kui.

Pek Khay-sim berdiri membelakangi Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan, ia menunjuk kedua anak muda itu di luar tahu mereka, katanya dengan tertawa, “Kedua bocah ini sudah sekian lama suka sama suka, cuma sayang di antara mereka terhalang oleh seorang Siau-hi-ji, sekarang Siau-hi-ji jelas sudah ‘bebas tugas’, kenapa kita tidak kawinkan mereka ini. Hahaha, biarkan semua kekasih di dunia ini terikat menjadi suami-istri abadi. Bukankah ini perbuatan yang menyenangkan dan mulia?”

“Haha, betul,” tukas Ha-ha-ji sambil bertepuk. “Kita sudah mengasingkan diri sekian tahun, kalau sekarang kita bisa pesta pora dengan gembira, kan menyenangkan sekali?”

“Benar,” sambung Li Toa-jui. “Sudah dua puluh tahun lebih tak pernah kuminum arak pesta perkawinan, kukira pasti sangat menyenangkan.”

Tapi mendadak To Kiau-kiau menunjuk hidung Pek Khay-sim dan mengomel, “Kutahu bocah ini tidak mungkin punya maksud baik, nyatanya memang urusan yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan dia sendiri.”

“Menjadi comblang bagi orang lain adalah pekerjaan mulia, bila diketahui Giam-lo-ong tentu juga umurku akan diberi ekstra tiga tahun lebih panjang, mengapa kau bilang tindakanku ini merugikan orang lain?” teriak Khay-sim.

“Sudah jelas kau tahu kedua bocah ini sedang berduka, tapi kau menghendaki mereka kawin sekarang juga, ini kan lebih berdosa daripada kau bunuh mereka?” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

Pek Khay-sim memicingkan mata dan berkata dengan tertawa, “Misalnya mereka sedang berduka, tapi nanti setelah kawin dan tahu rasanya, tanggung mereka tidak sempat berduka lagi.”

“Buset, dasar mulut anjing, mana mungkin keluar gadingnya,” gerutu Li Toa-jui.

“Sudahlah,” sela Ha-ha-ji. “Aku tidak peduli bagaimana pendapat kalian, yang pasti kedua bocah ini harus dikawinkan. Hahaha, dengan tanganku sendiri akan kuganti pakaian pengantin mereka, dengan tanganku sendiri akan kutuang arak bahagia mereka.”

Li Toa-jui melirik sekejap ke arah Pek Khay-sim dan mendadak ia tertawa dan berkata, “He, di sini kan masih ada seekor macan betina baginya?”

Ha-ha-ji memandang Pek-hujin, terus memandang pula Pek Khay-sim, lalu bergelak tertawa dan berseru, “Ya, betul, mereka memang pasangan yang cocok.”

Dengan terkikik-kikik To Kiau-kiau menambahkan, “Tampaknya Nyonya Pek kita memang besar rezekinya, ke sana dan ke sini dia memang berjodoh dengan orang she Pek, ganti suami juga tetap dengan orang yang punya she sama.”

Pek Khay-sim lantas berteriak, “Tapi kalian ....” sembari bicara segera ia hendak mengeluyur pergi.

Namun To Kiau-kiau dan Li Toa-jui sempat bertindak, sekaligus mereka bekuk Pek Khay-sim dan diseret balik.

“Ini kan peristiwa bahagia, mengapa kau hendak kabur?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Ya, jangan harap kau dapat kabur sesukamu,” sambung Li Toa-jui.

Sejak mendengar Siau-hi-ji sudah “bebas tugas” sebagaimana diucapkan Pek Khay-sim tadi, sejak itu Han-wan Sam-kong lantas tidak bersuara pula, sekarang mendadak ia pun nimbrung, “O, ya, kutahu di sana sudah ada sepasang pengantin, jika mau pesta, biarlah kita gabungkan saja dengan mereka, kan hemat biaya dan juga tambah ramai.”

“Apakah kau maksudkan Buyung Kiu dengan sahabatmu si hitam kecil itu?” tanya Kiau-kiau.

“Betul,” jawab Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

“Tapi keluarga Buyung mana mau pesta pora bersama kita,” kata Li Toa-jui dengan tertawa. “Haha, kukira setan judi ini telah kambuh penyakit gilanya.”

“Kita tidak perlu berunding dengan mereka, bila tiba waktunya, beramai-ramai kita masuk saja ke ruangan pesta mereka, kita jajarkan dua pasang pengantin baru dan bersama merayakannya, dalam suasana gembira ria dan bahagia begitu masakah mereka sampai hati bertengkar dengan kita?”

“Haha, saran bagus, akal baik!” seru Ha-ha-ji sambil bertepuk tertawa.

“Kuharap di antara santapan yang mereka sajikan terdapat daging manusia, dengan demikian aku pun dapat menikmati kegemaranku dan semuanya benar-benar menjadi riang gembira,” kata Li Toa-jui.

“Dan kuharap pada waktu itu Yan Lam-thian juga hadir,” tukas Pek Khay-sim tiba-tiba.

Ucapan ini membuat semua orang tertegun dan tidak dapat tertawa lagi.

“Yan Lam-thian tidak akan ikut hadir ke sana,” kata Han-wan Sam-kong.

“Dari mana kau tahu? Kau kan bukan cacing pita dalam perutnya?” jengek Pek Khay-sim.

Ok-tu-kui tak menggubrisnya, ia berkata pula, “Yang jelas sementara ini Yan Lam-thian lagi sibuk mencari Siau-hi-ji, mana dia sempat hadir ke sana?”

“Tapi jangan lupa, untuk mencari orang harus mencarinya di tempat yang banyak orangnya, dan tempat berpesta pora adalah tempat yang banyak orangnya, apabila aku menjadi Yan Lam-thian pasti akan hadir ke sana.”

“Tapi kau anak kura-kura ini pun jangan lupa, siapa orang yang menjadi penunjuk jalan Yan Lam-thian sekarang?” kata Han-wan Sam-kong.

Pek Khay-sim melengak dan tidak bersuara lagi.

Dengan tertawa To Kiau-kiau berkata, “Yang menjadi penunjuk jalan Yan Lam-thian sekarang ialah Kang Giok-long dan bocah she Kang itu juga tak mungkin membawa Yan Lam-thian ke rumah keluarga Buyung, bahkan juga tak mungkin membawanya ke tempat yang banyak orangnya, sebab ia khawatir orang lain akan membongkar akal kejinya.”

“Jika demikian, jadi tempat yang ramai justru adalah tempat yang lebih aman?” kata Pek Khay-sim.

“Memang, tempat yang paling aman sekarang adalah tempat pesta pernikahan keluarga Buyung sana,” sambung Han-wan Sam-kong.

“Betul juga,” tukas Kiau-kiau dengan tertawa. “Tak tersangka si setan judi akhir-akhir ini berubah menjadi cerdik.”

“Kalau betul, apa yang kita tunggu lagi?” seru Ha-ha-ji sambil berjingkrak girang. “Ayolah lekas berangkat! Haha, dasar watakku memang suka keramaian, makin banyak orang yang hadir di sana makin baik.”

Dalam keadaan demikian, Hoa Bu-koat menjadi sangat sedih dan menyesal mengapa dirinya masih bisa hidup di dunia ini, apalagi bila teringat apa yang akan dilakukan orang-orang ini terhadap dirinya dan Thi Sim-lan, sungguh remuk redam hatinya.

Yang paling menyedihkan dia adalah sekarang tiada seorang pun yang mau menggali lagi gua ini, maka Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu pasti akan terkubur untuk selamanya di dalam gua.

Ia pun tahu saat ini Thi Sim-lan pasti jauh lebih berduka daripadanya, maka ia tidak berani memandang si nona.

Padahal sama sekali Thi Sim-lan tidak mencucurkan air mata, maklumlah, sejak tadi air matanya sudah kering.

Sekarang adalah hari keenam terkurungnya Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu di dalam gua itu, harapan hidup mereka jelas sudah terputus sama sekali.

Berbondong-bondong para anggota Cap-toa-ok-jin ini lantas membawa Bu-koat, Thi Sim-lan, dan Pek-hujin ke bawah bukit.

Di kaki bukit memang ada sebuah kelenteng. Kawanan hwesio penghuni kelenteng itu benar-benar lagi sial, tanpa hujan tiada angin tahu-tahu kedatangan penyatron tak diundang itu, terpaksa mereka hanya menggerutu saja dan mengira malaikat tak mengizinkan mereka makan daging dan minum arak.

Di luar dugaan, tidak lama kemudian penyatron itu datang lagi, bahkan suatu rombongan besar. Anehnya orang-orang yang tampaknya bengis dan jahat ini, semuanya tertawa gembira seperti habis mendapat rezeki nomplok.

Di antara mereka ada lagi tiga orang pesakitan, namun ketiga orang ini sangat menarik, yang lelaki cakap dan yang perempuan cantik.

Berdebar juga jantung kawanan hwesio melihat perempuan yang menggiurkan ini. Malahan hati si hwesio ketua juga berdetak keras.

Yang paling aneh adalah rombongan orang ini membawa satu bungkus besar berisi pakaian yang beraneka warna serta memaksa ketiga orang pesakitan itu berganti pakaian. Tentu saja kawanan hwesio itu serbasusah dan lekas baca kitab suci, mereka bersumpah selanjutnya tak berani lagi melanggar pantangan makan daging.

Padahal rombongan Li Toa-jui dan To Kiau-kiau tidak mirip kaum perusuh, mereka lebih mirip anak nakal yang lepas sekolah, mereka tertawa cekakak dan cekikik melulu, bungkusan pakaian yang beraneka warna itu mereka keluarkan dan dilempar kian kemari, akhirnya mereka dapat memilih satu potong baju berwarna merah.

Baju merah itu lantas dikenakan pada Pek-hujin. Nyonya Pek ini pun tidak menolak, walaupun rasa gatalnya sudah lenyap, tapi tetap pura-pura genit, bergeliat, dan pasang aksi.

Dengan kuat Ha-ha-ji tepuk pundak Pek Khay-sim sambil berseru, “Haha, tampaknya perempuan ini benar-benar ingin menjadi istrimu.”

“Ya, kukira dia sudah bosan dengan suaminya yang dulu, maka ingin ganti suami baru,” sambung Li Toa-jui.

Dengan tertawa To Kiau-kiau juga berkata, “Mungkin dia merasa puas dipecuti oleh Pek Khay-sim untuk mencari kepuasan setiap hari, tentu saja ia pilih Pek Khay-sim.”

Ha-ha-ji lantas memilih pula sepotong baju hijau dan memaksa Pek Khay-sim ganti pakaian.

“Tukar yang lain saja, baju ini agak panjangan sedikit,” tawar Pek Khay-sim.

“Jika terlalu panjang, potonglah sedikit untuk dibuat topi,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa.

“Haha, betul, setelah kau menikahi perempuan ini, selekasnya kau pun perlu pakai topi hijau,” sambung Ha-ha-ji. (Pakai topi hijau = kata olok-olok bagi lelaki yang masa bodoh terhadap istrinya yang menyeleweng).

Melihat tingkah laku orang-orang gila ini, hati Hoa Bu-koat menjadi tenang. Ia sudah ambil keputusan akan tinggal diam saja dan takkan memperlihatkan rasa derita meski diperlakukan bagaimanapun oleh kawanan orang gila ini. Ia tahu, bila dirinya mengunjuk rasa sedih dan tersiksa, maka orang-orang gila itu akan bertambah gembira dan akan lebih hebat mengerjainya.

Satu hal yang membuat lega hati ialah Thi Sim-lan telah jatuh pingsan, paling tidak si nona tidak perlu ikut merasa terhina dan tersiksa.

Dahulu Bu-koat lebih suka dirinya mati seribu kali daripada Thi Sim-lan yang harus mati, tapi sekarang ia justru berharap semoga Thi Sim-lan takkan siuman untuk selamanya. Sebab orang kalau sudah mati, maka tiada sesuatu kejadian di dunia ini yang akan membuatnya sedih dan susah.

Dalam pada itu Ha-ha-ji juga telah memilih sepotong baju dan dikenakan di tubuh Bu-koat, katanya sambil berucap, “Hahaha, hari bahagiamu sudah tiba, untuk apa wajahmu selalu murung saja?”

“Kau pun tidak perlu merasa bersalah kepada Siau-hi-ji,” sambung To Kiau-kiau. “Bisa jadi Siau-hi-ji dan budak she So itu sudah menjadi pengantin di dalam gua sana.”

“Hahaha, memang betul,” tambah Ha-ha-ji, “bilamana kutahu diriku akan mati, takkan kupeduli lagi siapa yang berada bersamaku, baik si Nem maupun si Yem, asalkan perempuan, pasti akan kukawini dia.”

Hoa Bu-koat bungkam saja, ia sudah bertekad takkan bicara apa pun.

“He, kita telah melupakan sesuatu!” seru Li Toa-jui mendadak sambil bertepuk.

“Sesuatu apa?” tanya Kiau-kiau.

“Keluarga Buyung sangat mengutamakan kehormatan, mana bisa mereka mengadakan pesta nikah di tempat sepi begini?” ujar Li Toa-jui.

“Peduli di mana mereka akan pesta, yang penting kita pun ikut pergi ke sana, apa bedanya?” kata Kiau-kiau.

“Jika begitu kita harus mencari keterangan dulu apakah mereka sudah pergi dan di mana mereka akan berpesta?” kata Li Toa-jui.

“Boleh suruh si setan judi saja ke sana, dia mempunyai hubungan baik dengan mereka,” ujar Kiau-kiau.

Pada saat itulah mendadak ada seorang menanggapi dengan suara serak, “Setan hidup sudah pergi ke sana, setan judi tidak diperlukan lagi.”

“Keparat,” damprat Han-wan Sam-kong dengan tertawa. “Kau anak kura-kura setengah manusia setengah setan ini rupanya belum lagi dijebloskan ke neraka.”

Yang bicara itu memang si Poan-jin-poan-kui atau Setengah Manusia Setengah Setan Im Kiu-yu. Mukanya yang seram itu menongol di luar jendela sambil tertawa.

“Jadi kabar tentang keluarga Buyung sudah kau ketahui?” tanya Toh Sat.

“Ya, semula mereka hendak pesta di rumah, tapi kemudian ganti acara,” tutur Im Kiu-yu.

“Sebab apa mereka berganti acara mendadak?” tanya Toh Sat.

Im Kiu-yu menggeleng, jawabnya, “Mereka tidak menjelaskan, juga tidak ada yang berani tanya mereka.”

“Kalau perempuan sudah ambil keputusan sesuatu hal dan tidak berubah pikiran, inilah baru aneh,” ujar Li Toa-jui.

“Sebab apa mereka ganti haluan, bisa jadi To Kiau-kiau mengetahuinya, sedikitnya dia kan setengah perempuan?” kata Ha-ha-ji.

“Betul, aku memang tahu,” ujar Kiau-kiau.

Ha-ha-ji melengak malah, tanyanya, “Kau benar-benar tahu? Dari mana kau tahu?”

“Jika kau mau peras otak sedikit, tentu kau dapat menerkanya,” kata Kiau-kiau. “Cuma pikiranmu rupanya sudah bebal dan perlu direparasi.”

Han-wan Sam-kong mengernyit kening, omelnya, “Keparat, kalian kawanan anak kura-kura ini apakah bisa mampus jika tidak saling memaki dan bertengkar.”

Li Toa-jui tertawa, katanya, “Selama dua puluh tahun ini kami hidup di tempat seperti neraka, selain bercanda, saling maki, dan bertengkar, bisa kerja apa lagi?”

Memang, bila serombongan orang hidup terasing, lalu apa yang dapat mereka lakukan selain mencari pelampiasan menurut keadaan. Dan bagi ok-jin seperti mereka itu, saling mencaci maki adalah seperti makanan sehari-hari bagi mereka.

“Coba katakan, apa yang menyebabkan mereka ganti acara?” tanya Toh Sat kepada Kiau-kiau.

Dengan tertawa Kiau-kiau menjawab, “Coba pikir, jika mereka hendak berpesta sungguh-sungguh menurut tradisi, tentu setiap orang kangouw yang terkenal pasti hadir, semua orang tentu ingin tahu tokoh macam apakah pasangan Nona Buyung Kiu yang terkenal pintar dan cantik itu.”

“Tapi sayang, Nona Kiu kita sekarang telah berubah menjadi linglung, bakal suaminya juga tidak menonjol tampangnya, bahkan agak angin-anginan. Bilamana pasangan suami-istri begini dilihat oleh sanak kadang yang hadir, apakah keluarga Buyung takkan kehilangan muka?”

“Benar, sanak famili mereka tentu terdiri dari keluarga terhormat, kalau bukan hartawan tentu juga bangsawan,” sambung Li Toa-jui dengan tertawa. “Orang-orang golongan atas begitu biasanya makan kenyang tanpa pekerjaan, saking isengnya, yang ditunggu hanya tontonan yang menarik saja dari orang lain, kalau ada bahan bicara, maka gemparlah seketika. Karena itulah keluarga Buyung tidak ingin dijadikan buah tutur dan bahkan tertawaan orang, dengan sendirinya mereka melangsungkan pernikahan Buyung Kiu secara sederhana.”

“Ya, makanya mereka lantas menikahkan pasangan pengantin yang memalukan itu di tempat terpencil ini saja,” kata Kiau-kiau. “Habis itu pengantin baru lantas dikirim ke suatu tempat agar dapat hidup dengan aman tenteram. Kelak bila ditanyakan orang tentu mereka cukup banyak alasan untuk memberi keterangan bahwa segala sesuatu itu sengaja dilangsungkan dengan sederhana, sebab pengantin baru tidak suka ramai-ramai dan sebagainya, tentang perjamuan boleh disediakan lagi dan macam-macam pula ....”

“Benar, dengan demikian, seumpama orang lain merasa sangsi juga tak dapat mendesak lagi,” ujar Li Toa-jui.

“Walaupun demikian, tapi keluarga terkemuka begitu biasanya mati pun ingin menjaga muka, mereka pasti takkan menghemat dan tentu akan memperlihatkan kemampuan mereka dengan perjamuan yang meriah sebagai tanda bukan maksud mereka hendak menghemat uang. Cuma tamu yang mereka undang pastilah orang-orang yang tiada sangkut paut dengan keluarga mereka, dengan demikian tentu tiada seorang pun yang berani menertawakan mereka.”

“Haha, To Kiau-kiau memang tidak malu sebagai Khong Beng perempuan, apa yang diuraikan memang tidak salah,” kata Im Kiu-yu dengan tertawa.

“Di manakah mereka akan berpesta?” tanya Toh Sat.

“Di tepi sungai,” tutur Im Kiu-yu. “Di sana sudah mereka bangun sebuah bangsal panjang sekali, sudah tersedia pula santapan dengan acara bebas, siapa pun boleh hadir dan makan minum sesukanya, sampai pengemis juga diberi bagian setiap orang dua kati daging dan satu botol arak.”

“Bilakah pesta akan berlangsung?” tanya Toh Sat pula.

“Hari ini juga,” jawab Im Kiu-yu.

“Sudah tentu mereka berharap lebih cepat lebih baik,” kata Kiau-kiau. “Kalau tidak, bisa jadi sobat andai taulan di tempat lain pun akan ikut datang bila mendengar kabar.”

“Haha, jika begitu, santapannya pasti tidak enak,” seru Ha-ha-ji.

“Pesta umum begitu, santapannya pasti tidak enak, arak yang disuguhkan pasti arak murahan,” ujar Li Toa-jui.

Sejak tadi Pek Khay-sim tidak bicara, mendadak sekarang ia menimbrung, “Kukira kau harus tahu diri sedikit, boleh makan minum gratis, masih berolok-olok lagi, sebenarnya kau ini memang pantas makan tahi saja.”

To Kiau-kiau terkikik-kikik geli, katanya, “Kenapa kau pakai istilah ‘tahi’ segala, jika kau ganti dengan istilah kotoran manusia kan jauh lebih sopan.”

*****

Di tepi sungai memang benar telah dibangun sebuah bangsal yang sangat panjang, meski hari belum lagi gelap tapi di luar bangsal itu sudah terpasang tanglung merah besar, malahan ditempeli kertas merah dengan macam-macam tulisan puja-puji selamat bahagia, suasana memang meriah.

Di dalam bangsal sudah penuh tetamu, hampir semuanya adalah penduduk setempat, orang kampung. Diundang melihat pengantin saja orang kampung akan kegirangan, apalagi disediakan pula daging dan arak dan boleh makan minum gratis sepuas-puasnya, keruan yang hadir berjubel-jubel.

Akan tetapi ada juga yang merasa rikuh bila cuma datang makan minum gratis, ada sementara orang yang membawa kado sekadarnya, ada juga yang menyumbang hilian, yakni kain merah bertuliskan kata-kata pujian kepada pengantin baru dan keluarga yang bahagia.

Di tepi sungai berlabuh tiga kapal layar besar, terlihat kaum pelayan keluar-masuk di kabin kapal dalam suasana yang semarak.

Orang-orang yang hadir dalam perjamuan di bangsal panjang ini berulang-ulang sama melongok ke arah ketiga kapal itu. Ada seorang di antaranya berkata, “Keluarga yang punya kerja ini juga sangat aneh, tanpa sebab kita diundang menghadiri pesta perkawinan, tapi yang punya kerja malah sembunyi saja di dalam kapal, kedua mempelai juga tidak mau keluar mengajak minum para tamu.”

“Ai, hendaklah kau tahu diri,” demikian kawannya menanggapi. “Tahukah kau yang punya kerja ini keluarga macam apa, mana orang sudi minum arak bersama kita.”

“Ya, melihat caranya mengadakan pesta besar ini sungguh sukar diduga mereka itu orang macam apa?” kata seorang lagi.

Segera yang lain menanggapi, “Konon mereka adalah hartawan nomor satu di daerah Kanglam, bahkan juga tokoh terkemuka di dunia kangouw. Bahwa kita ini diundang ke sini, paling-paling hanya untuk meramaikan saja. Maka lebih baik kita banyak makan dan sedikit bicara agar tidak menimbulkan gara-gara, bisa celaka sendiri nanti.”

Begitulah selagi ramai membicarakan pesta meriah ini, mendadak mereka bungkam seketika, sebab ketika mereka berpaling, tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang luar biasa.

Kiranya sebuah kereta telah berhenti di luar bangsal, bentuk kereta kuda ini sangat aneh, orang yang turun dari kereta terlebih aneh. Yang menjadi kusir adalah seorang lelaki kekar, meski baju yang dipakainya tergolong baru dan dari kain pilihan, tapi tiada satu pun kancing yang dirapatkan, jadi bajunya terbuka sehingga kelihatan simbar dadanya, yaitu bulu dada yang hitam lebat.

Bila tertawa, lebar mulut orang ini hampir mencapai tepi telinga, tampaknya sepotong bakpao besar dapat ditelannya bulat-bulat dengan sekali mengap.

Menyusul dari atas kereta turun pula beberapa orang, ada yang gemuk dan pendek, ada yang berlenggak-lenggok, ada yang bertangan kaitan baja, mukanya yang pucat itu sangat menyeramkan.

Bahwa bentuk orang ini sudah aneh, siapa tahu mereka menyeret turun lagi tiga orang. Ketiga orang tampak lemas lunglai dan muka pucat dalam keadaan sudah kempas-kempis, tapi pakaiannya justru berwarna-warni dan serbabaru seperti dandanan pengantin baru.

Sudah tentu kedatangan orang-orang ini sangat menarik perhatian, beratus pasang mata sama memandang mereka, tapi mereka anggap tidak tahu saja, beramai-ramai mereka terus masuk ke bangsal.

Seorang di antaranya yang bertubuh tegap dan bewokan segera berteriak, “Keparat, kalian anak kura-kura ini tahu tidak di mana beradanya tuan rumah? Katakan tuan-tuan besar ini mencari mereka.”

Kebanyakan hadirin sama kenal pembicara ini adalah orang aneh yang membuka rumah judi itu dan cukup kenal kelihaiannya, meski dicaci maki, tapi tiada seorang pun berani balas mencaci.

Hanya ada dua orang yang baru datang dari kota, mereka bekerja di perusahaan pengawalan, dengan sendirinya berkepandaian lumayan, tentu saja mereka tidak terima dicaci maki, apalagi mereka sudah banyak menenggak arak, segera mereka berjingkrak sambil menggebrak meja, teriak mereka dengan geram, “Persetan, kau telur busuk ini memaki siapa?”

Baru saja kata-kata “telur busuk” terucapkan, tahu-tahu tengkuk mereka kena dicengkeram orang terus diangkat. Biasanya mereka menganggap kungfu mereka cukup hebat, tak tahunya mereka kena dicengkeram orang begitu saja seperti anak ayam tercengkeram oleh cakar elang.

Keruan semua orang terkesiap, terdengar seorang aneh berbaju hijau berkata dengan tertawa, “Haha, kedua bocah ini berani memaki Han-wan-heng sebagai telur busuk, sungguh besar juga nyali mereka, kalau Han-wan-heng tidak memberi hajaran setimpal kepada mereka, kelak setiap orang tentu dapat memakimu sebagai telur busuk.”

Si bewok atau Han-wan Sam-kong memang berwatak berangasan, kini dikipas-kipas lagi oleh orang itu, tentu saja hatinya tambah panas, sekali angkat segera kepala kedua itu hendak diadu.

Untunglah pada saat itu seorang gemuk telah menarik tangan Han-wan Sam-kong sambil berkata, “Hahaha, saat ini orang sedang berpesta pora, tapi datang-datang kau lantas hendak membunuh orang, tidakkah tuan rumahnya akan tersinggung nanti?”

Si mulut besar lantas tertawa juga dan berkata, “Ya, andaikan kau hendak membunuh orang juga tidak perlu menghancurkan kepala mereka, meski aku pantang makan kepala manusia, tapi seorang kalau kepalanya sudah pecah, tampaknya menjadi memualkan dan dagingnya tidak enak lagi.”

Si bewok tadi mendengus, mendadak ia melemparkan kedua orang itu dan tepat jatuh di atas meja, kepala masing-masing masuk ke dalam baki kuah panas, keruan mereka menjerit kesakitan, mangkuk piring di atas meja lantas hancur berantakan.

Suasana di dalam bangsal menjadi kacau-balau, orang perempuan dan anak kecil sama menjerit ketakutan dan lari serabutan.

Pada saat itulah tiba-tiba seseorang membentak, “Kawan dari manakah yang bikin onar ini, apakah sengaja hendak mencari gara-gara kepada kami?”

Suara orang ini tidak terlalu keras, tapi setiap kata-katanya terdengar dengan jelas oleh siapa pun, suaranya juga berwibawa sehingga membuat orang menurut.

Terlihatlah seorang pemuda berdiri di haluan kapal layar sana, kedua tangan tergendong di punggung, tampaknya lemah lembut seperti pelajar yang baru mau masuk sekolah, tapi sikapnya kereng, berdirinya sekukuh gunung. Bagi orang yang berpengalaman, sekali pandang saja pasti tahu orang ini adalah tokoh silat kelas wahid.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes