Wednesday, May 12, 2010

bgp5_part2

“Haha, dengan sendirinya adalah jasamu,” kata Ha-ha-ji.

“Asal tahu saja,” ucap To Kiau-kiau. “Dan kalau sudah tahu, cara bagaimana kalian harus berterima kasih padaku.”

Cepat Pek Khay-sim mendahului menjawab, “Baiklah, kita hadiahkan serigala mulut besar ini sebagai jodohmu, bilamana kau menjadi perempuan suruh dia menjadi lakimu, kalau kau ingin menjadi laki-laki, tinggal suruh dia ganti tempat saja.”

Ia merasa ucapannya sendiri sangat lucu, maka sebelum orang lain tertawa ia sendiri sudah mendahului tertawa.

Li Toa-jui berjingkrak murka, ia meraung, “Kentut makmu busuk, kau sendiri anak jadah.”

Namun To Kiau-kiau hanya terkikik-kikik, katanya, “Jangan khawatir, orang-orang macam kalian ini biarpun dihadiahkan secara gratis juga aku tidak sudi.”

“Omitohud! Hahaha, habis apa yang kau harapkan?” tanya Ha-ha-ji.

To Kiau-kiau mengerling genit, katanya kemudian. “Aku cuma minta kalian membagi sebuah lebih banyak daripada beberapa buah peti itu.”

“Tidak menjadi soal, akan kubagi kau lebih banyak,” segera Ha-ha-ji menyatakan setuju.

Tapi Pek Khay-sim menyanggah, jengeknya, “Hm, karena kau tahu tiada seorang pun di antara kita akan mendapatkan peti-peti itu, maka kau lantas berlagak murah hati.”

“Dari mana kau tahu takkan mendapatkan peti-peti itu?” tanya Kiau-kiau.

“Hakikatnya sampai detik ini kau pun tak tahu peti-peti itu berada di mana?” jawab Pek Khay-sim.

“Bisa jadi kutahu, lalu bagaimana?” ujar Kiau-kiau.

“Hah, kau tahu?” melonjak juga Pek Khay-sim.

To Kiau-kiau tidak menggubrisnya, tapi ia berkata kepada Toh Sat, “Toh-lotoa, maukah kau membagi satu peti lebih banyak padaku?”

“Baik,” jawab Toh Sat setelah menatapnya sejenak.

“Nah, asalkan Toh-lotoa sudah menyanggupi, maka legalah aku,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

“Coba katakan sekarang, di mana peti-peti itu?” tanya Li Toa-jui pula.

“Kupikir peti-peti itu pasti berada di dalam gua ini,” tutur Kiau-kiau, “Betapa pun tidak mungkin Gui Bu-geh memindahkan peti-peti yang besar dan berat itu.”

“Tapi Hoa Bu-koat bilang tidak melihat apa-apa,” kata Li Toa-jui.

“Dengan sendirinya mereka tidak memperhatikan beberapa peti itu,” kata Kiau-kiau. “Kuyakin waktu itu kedua Auyang bersaudara juga pasti tidak berani menipu Gui Bu-geh, maka besar kemungkinan peti-peti itu masih tersimpan di dalam gua ini.”

“Hah, bagus, bagus, silakan kau masuk ke sana, peti pasti masih tersimpan di situ, tapi aku ingin mohon diri untuk pergi saja,” seru Pek Khay-sim sambil tertawa. Benar juga, segera ia angkat kaki dan pergi.

“Keparat ini benar-benar pergi, apakah kau tahu sebab apa dia pergi?” tanya Li Toa-jui.

To Kiau-kiau tertawa, jawabnya, “Dia mengira kita takkan mampu masuk ke dalam gua, andaikan dapat masuk juga sama seperti kambing disodorkan ke mulut harimau dan tidak mungkin bisa keluar lagi.”

“Apakah kau ingin masuk ke sana?” tanya Li Toa-jui. “Kalau kita masuk ke situ, yang pasti akan keluar lagi ialah Ih-hoa-kiongcu, sebab meski Gui Bu-geh mampu mengurung mereka di dalam, tapi pasti tidak mampu mencelakai mereka. Mereka pun takkan berterima kasih karena kita telah menolong mereka.”

“Wah, jika begitu, rasanya aku juga mau pergi saja bersama Pek Khay-sim,” kata Ha-ha-ji.

“Kalau kita masuk sekarang memang akan seperti babi panggang disuguhkan ke mulut mereka,” kata To Kiau-kiau dengan tertawa. “Tapi kan tiada peraturan yang mengharuskan kita harus masuk sekarang juga?”

“Hahaha, memang betul juga, memang tiada peraturan begitu,” seru Ha-ha-ji dengan mata berkilau.

“Jika Gui Bu-geh dapat mengurung mereka di dalam situ, tentu sebelumnya sudah dirancang dengan cermat,” tutur Kiau-kiau. “Di dalam gua pasti tak terdapat bahan makanan dan minuman.”

“Betul, Gui Bu-geh pasti sudah memperhitungkan mereka akan mati kelaparan di situ,” tukas Li Toa-jui.

“Coba jawab, badanmu biasanya sangat sehat bukan?” tiba-tiba To Kiau-kiau tanya kepada Li Toa-jui.

“Sudah tentu,” jawab Li Toa-jui dengan tertawa. “Kan sering kukatakan kepada kalian bahwa daging manusia jauh lebih baik dari pada daging lain, lebih bergizi dan lebih banyak menambah tenaga, orang biasa makan daging manusia pasti akan selalu sehat walafiat, kuat dan tangkas.”

“Dan berapa lama kau tahan lapar?” tanya Kiau-kiau pula.

Terbeliak mata Li Toa-jui, jawabnya, “Wah, jika tidak makan apa-apa sedikitnya kutahan sepuluh hari sampai setengah bulan, tapi kalau tiada air minum, dua hari saja tidak tahan.”

“Itulah dia,” seru To Kiau-kiau dengan bergelak tawa. “Betapa pun kuatnya seseorang, tanpa minum air dua hari saja pasti akan roboh juga. Seandainya Ih-hoa-kiongcu memang jauh lebih kuat ketahanannya daripada orang lain juga takkan tahan lebih dari tiga hari.”

“Haha, betul, jika begitu, kenapa kita tidak menunggu saja selama tiga atau lima hari baru kemudian masuk ke situ?” tukas Ha-ha-ji.

Belum lenyap suaranya, mendadak Pek Khay-sim melompat keluar dari balik pohon sana dan berseru dengan tertawa, “Betul, kita tunggu lagi tiga hari baru nanti kita masuk ke situ. Hahaha, wahai To Kiau-kiau, kau memang jauh lebih cerdik daripada apa yang pernah kubayangkan.”

Meski sejak tadi Hoa Bu-koat memejamkan mata, tapi telinganya tetap terbuka, dengan sendirinya percakapan mereka dapat didengarnya. Seketika perasaannya tertekan, cemas dan gelisah.

Didengarnya Ha-ha-ji berkata pula dengan tertawa, “Haha, memangnya apa susahnya kita tunggu di sini, kita dapat makan minum enak di sini, biarpun menunggu tiga bulan juga tidak menjadi soal.”

“Masa kita lantas menunggu di sini melulu?” kata Pek Khay-sim.

“Dengan sendirinya cuma menunggu saja di sini,” ujar Kiau-kiau. “Sebab kita juga tidak ingin orang lain masuk lebih dulu, siapa pun yang muncul di sini, kita harus berdaya mengenyahkannya.”

Sejak tadi Toh Sat diam saja, kini mendadak ia berucap dengan kaku, “Dan bagaimana kalau Gui Bu-geh yang muncul kembali ke sini?”

Seketika berubah air muka Pek Khay-sim, serunya, “Betul juga, Gui Bu-geh berhasil mengurung mereka, bisa jadi dia akan datang lagi ke sini untuk melihat mereka.” Ia kebas-kebas bajunya dan menyambung pula, “Nah, silakan kalian menunggu saja di sini, maaf, tak dapat kutemani kalian.”

“Pergilah kau, pergilah lekas, sekali ini jangan kau kembali lagi ke sini,” kata Kiau-kiau.

“Sekali ini kalau dia berani kembali ke sini akan kutabas buntung kedua kakinya,” ancam Toh Sat.

Rupanya Pek Khay-sim memang jeri terhadap Toh Sat, dengan menyengir ia berkata, “Toh-lotoa, kau sendiri yang bilang Gui Bu-geh akan datang lagi, tentunya kau pun tahu betapa hebat ilmu silatnya, untuk apa kita meski menunggu kedatangannya dan mengadu jiwa dengan dia?”

Toh Sat tidak menanggapinya lagi, ia hanya memandang kaitan baja mengkilat yang terpasang pada lengannya yang buntung itu, sorot matanya menampilkan nafsu membunuh.

Seketika Pek Khay-sim merinding dan tidak berani bersuara pula.

To Kiau-kiau lagi berucap, “Coba, menurut penilaianmu bagaimana ilmu silat Gui Bu-geh dibandingkan Yan Lam-thian?”

“Sudah tentu Gui Bu-geh bukan tandingan Yan Lam-thian,” jawab Pek Khay-sim.

“Nah, sedangkan orang selihai Yan Lam-thian saja Toh-lotoa berani melabraknya, apalagi seekor tikus yang sudah ompong?” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa.

Pek Khay-sim menarik napas dingin, jengeknya, “Tapi apakah kau pun ingin melabrak Gui Bu-geh? Bilakah kau berubah menjadi pemberani?”

“Untuk apa aku melabrak dia?” jawab Kiau-kiau dengan tertawa. “Jika muncul, aku hanya ingin bersahabat saja dengan dia.”

Pek Khay-sim memandangnya sejenak, mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal, ucapnya sambil memegangi perut, “Hahaha! Kau ingin bersahabat dengan dia? Kukira Gui Bu-geh yang akan bersahabat denganmu! Jika Gui Bu-geh bersahabat denganmu, maka musang pun dapat bersaudara dengan ayam.”

“Jika terjadi setengah hari yang lalu tentu dia takkan mau bersahabat denganku, tapi kini keadaan sudah lain,” ujar Kiau-kiau.

“O, lain? Lain bagaimana?” tanya Pek Khay-sim.

“Sebab sekarang aku sudah ada modal untuk bersahabat dengan dia,” jawab Kiau-kiau.

“Haha, bersahabat juga perlu modal segala?” seru Pek Khay-sim dengan tergelak.

“Sudah tentu,” kata Kiau-kiau. “Berdagang mungkin tidak memerlukan modal, tapi bersahabat justru perlu modal. Umurmu sudah mendekati masuk kubur, masa peraturan ini saja tidak paham?”

“Ya, aku memang tidak paham,” kata Pek Khay-sim.

“Begini,” tutur Kiau-kiau. “Misalnya kau ingin bersahabat dengan seorang jutawan, maka sedikitnya kau harus punya kekayaan delapan ratus ribu. Jika kau ingin bersahabat dengan putra perdana menteri, paling tidak bapakmu sendiri harus seorang direktur jenderal. Kalau tidak, biarpun kau membelah perutmu dan perlihatkan kesungguhanmu padanya juga dia takkan bersahabat denganmu.”

“Ya, ya, betul juga, justru lantaran aku ini seorang brengsek, makanya mempunyai teman-teman konyol seperti kalian ini. Begitu bukan?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Betul, pintar juga kau, akhirnya kau paham,” kata Kiau-kiau.

“Tapi ... tapi kau punya modal apa untuk bersahabat dengan Gui Bu-geh?” tanya Pek Khay-sim pula.

“Ini,” jawab Kiau-kiau sambil menuding Hoa Bu-koat. “Bocah inilah modalku.”

“Aha, pahamlah aku,” seru Pek Khay-sim sambil bertepuk tertawa. “Baru sekarang kutahu kau ini sepuluh kali lebih konyol daripada dugaanku.”

“Dan sekarang kau tidak ingin pergi lagi?” tanya Kiau-kiau.

Pek Khay-sim mendelik, jawabnya, “Bilakah pernah kukatakan mau pergi? Kita sudah berkawan selama berpuluh tahun, masa boleh kutinggal pergi begitu saka tanpa pedulikan kalian? Seumpama Gui Bu-geh tidak mau bersahabat denganmu juga akan kulabraknya.”

Hoa Bu-koat sampai melongo mengikuti percakapan mereka itu.

Sungguh, kalau tidak mendengar dan melihat dengan mata kepala sendiri pasti tiada yang percaya bahwa di dunia ini ada manusia yang berkulit muka setebal dan berhati sekeji ini, sekarang dia jatuh di tangan orang-orang demikian, ingin menangis pun tak keluar air mata lagi.

Terdengar To Kiau-kiau berkata pula, “Sekarang kalau kita sudah bertekad akan menunggu di sini, maka ada beberapa urusan yang harus kita kerjakan.”

“Betul,” tukas Pek Khay-sim, “Jika kita sudah pasti tinggal di sini, harus pula kita bawa ke sini kedua anak dara itu. Meski makhluk setengah setan dan setengah manusia itu berjanji akan menjaga mereka, namun aku tetap khawatir.”

“Memang, bisa jadi kedua nona itu masih perlu kita gunakan nanti,” kata To Kiau-kiau. “Untuk itu, hai, Ha-ha-ji, sukalah kau bawa mereka ke sini.”

Seketika Pek Khay-sim berjingkrak gusar, omelnya, “Mengapa kau menyuruh Hwesio sontoloyo yang tak beres ini dan tidak menyuruh aku?”

“Sebabnya, sekarang aku tidak menghendaki anak perempuan si Thi gila dicaplok oleh setan kundai licin seperti kau ini dan juga tidak ingin dia ditelan oleh Li Toa-jui, makanya kusuruh Ha-ha-ji,” jawab Kiau-kiau dengan tertawa.

“Hahaha! Nah, orang she Pek,” kata Ha-ha-ji, “kau pun tidak perlu khawatir. Akhir-akhir ini aku sudah tambah malas gerak badan, khawatir keluar keringat, biarpun kau sodorkan bidadari ke depanku juga malas kuraba dia.”

“Hm,” Pek Khay-sim mendengus. “Dan bagaimana dengan diriku, pekerjaan apa yang harus kulakukan?”

“Boleh kau pergi mencari barang makanan dan minuman, sedikitnya harus cukup untuk kita makan tiga hari,” kata To Kiau-kiau.

Seketika Li Toa-jui juga melonjak gusar, omelnya, “Mengapa kau menyuruh dia? Keparat itu sama sekali tidak paham soal makan, sepotong ikan saja dimakannya selama tiga hari, apa yang dibawanya nanti mungkin anjing saja tidak mau mengendusnya.”

“Memang betul juga, kebanyakan setan kundai licin (maksudnya tukang main perempuan) tidak mengutamakan soal makan,” kata To Kiau-kiau. “Tapi apa pun juga toh lebih baik daripada kau yang pergi, jika nanti kau bawa pulang sepotong paha manusia yang gemuk, bukankah kami yang harus kelaparan?”

“Hm,” jengek Li Toa-jui. “Baiklah, jika kau tidak menyuruhku, kebetulan, aku boleh menganggur dan berjalan jalan saja.”

“Kau pun ada tugas,” kata Kiau-kiau tiba-tiba.

Li Toa-jui melotot, tanyanya, “Tugas apa?”

“Di bawah bukit sana ada sebuah kota kecil, agaknya ada sebuah bengkel juga, boleh kau ke sana dan usahakan beberapa alat penggali. Kukira untuk menjebol gua ini bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah.”

“Hahaha, jika mudah, kan sejak tadi-tadi Ih-hoa-kiongcu sudah keluar?” seru Ha-ha-ji.

Begitulah ketiga orang itu lantas berangkat menunaikan tugas masing-masing.

Yang kembali dulu adalah Ha-ha-ji.

Dia menyeret seekor keledai. Keledai itu menarik sepotong batu besar. Batu besar yang penuh lumut, batu itu setinggi setombak lebih dan selebar tujuh-delapan kaki, dengan mantap batu tertaruh di atas papan yang diberi empat roda.

Batu sebesar itu sedikitnya mempunyai bobot ribuan kati. Padahal keledai itu kurus kecil, mukanya jelek, tiada sesuatu yang menarik.

Tapi aneh, keledai yang jelek itu justru mampu menarik sepotong batu yang beratnya beribu kali, bahkan sedikit pun tidak kelihatan payah. Masa keledai ini “keledai ajaib”.

Padahal Hoa Bu-koat lagi menantikan kedatangan Thi Sim-lan dengan gelisah, tapi kini Ha-ha-ji pulang dengan cuma membawa seekor keledai. Keruan Bu-koat sangat kecewa dan juga melenggong.

Pada saat itulah, peristiwa yang lebih aneh telah terjadi pula. Tiba-tiba terdengar di dalam batu raksasa itu ada suara rintihan yang aneh, bahkan terseling pula suara tertawa cekikikan.

Sungguh aneh, apakah di dalam batu raksasa itu ada siluman!?

Bu-koat hampir tidak percaya pada matanya sendiri, lebih-lebih tidak percaya pada telinganya sendiri.

To Kiau-kiau meliriknya sekejap, tiba-tiba ia berkata, “Sudahkah kau lihat jelas batu itu? Inilah batu ajaib, batu ini bisa makan manusia, maka bisa juga disebut batu pemakan manusia. Nona Thi yang kau rindukan itu justru termakan ke dalam perut batu itu.”

Hoa Bu-koat cuma menggereget saja, sedapatnya ia tahan perasaannya dan tidak bersuara.

“Kau tidak percaya?” kata Kiau-kiau pula. “Baiklah, akan kuperlihatkan padamu.”

Dengan berlenggak-lenggok ia lantas mendekati batu itu dan mengitarinya satu kali, mulut lantas berkomat-kamit seperti membaca mantera, habis itu mendadak ia membentak, “Batu pemakan manusia, lekas buka pintu, cepat!”

Sekalipun Hoa Bu-koat seribu kali tidak percaya, tidak urung pandangannya tertuju juga ke sana. Walaupun matanya memandang, tapi dalam hati tetap seribu kali tidak percaya.

Tak terduga, sekali To Kiau-kiau mengayun tangannya, tahu-tahu batu terbuka, benar juga di dalam batu ternyata ada dua manusia. Manusia hidup.

Mereka ternyata Thi Sim-lan dan Pek-hujin, istri Pek San-kun.

Di malam gelap di tengah pegunungan yang sunyi, dalam keadaan demikian dan pada saat ini, Hoa Bu-koat benar-benar dibuat terkejut.

Akan tetapi Ha-ha-ji dan To Kiau-kiau lantas bertepuk tertawa.

Akhirnya Bu-koat juga mengetahui bahwa batu raksasa itu ternyata buatan dari kain layar yang dibentuk seperti batu, lalu bagian luar ditempeli dengan lumut hijau.

Batu buatan ini memang mirip sekali batu asli, apalagi di tengah malam gelap, sekalipun tajam mata Hoa Bu-koat juga tak dapat membedakannya.

Setelah kain layar tersingkap baru kelihatan kerangka batu itu terbuat dari kawat baja sehingga bentuknya mirip sebuah sangkar. Pek-hujin dan Thi Sim-lan justru terkurung di dalam sangkar besi ini.

Thi Sim-lan tampak meringkuk di pojok, kedua tangan mendekap muka, seperti tidak ingin terlihat orang dan juga tidak ingin melihat orang.

Sedangkan tubuh Pek-hujin hampir telanjang bulat, bahkan kelihatan lagi bergeliat-geliat sambil tertawa terus-menerus serta merintih-rintih.

Bu-koat memandangnya sekejap lantas memejamkan mata, ia tidak tega memandang lebih lama. Ia tidak tega memandang keadaan Thi Sim-lan, juga tidak tega membuatnya berduka, sedangkan Pek-hujin membuatnya agak mual.

Terdengar To Kiau-kiau mengikik tawa dan berkata, “Kukatakan batu ini adalah batu ajaib, kan tidak seluruhnya berdusta padamu bukan? Di waktu siang, jika harus menempuh perjalanan, cukup di atas sangkar ini ditutup dengan tenda, maka jadilah dia kereta bertenda, ke mana pun takkan menimbulkan perhatian orang.”

“Dan kalau istirahat di waktu malam,” demikian Ha-ha-ji menyambung, “Kami lantas menaruhnya di semak-semak pohon yang lebat, boleh kau memandangnya dari jauh atau melihatnya dari dekat, diperiksa dari kanan atau diteliti dari kiri, dia tetap sepotong batu belaka. Haha, memangnya siapa yang menduga bahwa di dalam batu ada orangnya?”

“Bilamana kami sendiri yang tinggal di dalam batu, maka jadilah kamar yang aman dan enak,” sambung To Kiau-kiau dengan tertawa. “Jika kami mendapat tawanan dan disembunyikan di dalam batu, maka siapa pun takkan menemukannya.”

“Haha, makanya sekalipun bukit ini telah kau bongkar seluruhnya juga bayangan nona Thi ini takkan kau temukan,” tukas Ha-ha-ji.

Diam-diam Bu-koat menghela napas gegetun, baru sekarang ia mengaku beberapa “Ok-jin” ini memang mempunyai kemampuan yang tak dapat di kerjakan orang lain. Permainan yang aneh begini, kecuali mereka mungkin tidak banyak yang dapat melakukannya.

Dengan tertawa To Kiau-kiau lantas berseru, “Eh, Thi Sim-lan, nona Thi, tahukah kau kami ini sedang bicara dengan siapa?”

Namun Thi Sim-lan tetap mendekap mukanya dengan kedua tangan dan tidak mau mengangkat kepalanya.

“Mengapa kau tidak pentang mata dan memandangnya, kutanggung kau akan berjingkat bila kau pandang sekejap saja,” sambung Ha-ha-ji.

Namun Bu-koat justru berharap agar Thi Sim-lan jangan mau membuka mata, jangan memandang keadaannya sekarang. Maklum, selamanya ia tidak ingin membuat si nona berduka baginya.

Akan tetapi tangan Thi Sim-lan toh diturunkan juga dan menengadah. Seketika tubuh si nona lantas gemetar.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan menerjang maju, tangan memegang jeruji sangkar, sorot matanya penuh rasa duka dan putus asa, tapi dia tidak menjerit dan menangis, kerlingan matanya sungguh membuat hati orang remuk redam.

Bu-koat memejamkan mata, ia tidak tega memandang si nona, ia berharap bumi raya ini mendadak merekah dan menelannya bulat-bulat selamanya.

Tiba-tiba Kiau-kiau berucap dengan tertawa, “Hoa-kongcu, Kionghi, baru sekarang kutahu dia menyukaimu dengan setulus hati. Sungguh tidak mudah kau dapat merebutnya dari tangan Siau-hi-ji.”

“Haha, pantas Siau-hi-ji merasa cemburu, kiranya dia ....”

“Tutup mulut!” bentak Hoa Bu-koat sekuatnya sebelum lanjut ucapan Ha-ha-ji. Dengan melotot ia pandang Toh Sat dan berteriak, “Kau sudah berjanji takkan menganggunya?”

“Betul,” jawab Toh Sat.

“Jika begitu, mengapa sekarang kalian memperlakukan begini padanya?” teriak Bu-koat.

“Sekarang tiada yang melukai dia, tiada yang mengganggu satu jarinya pun,” jawab Toh Sat.

“Tapi mengapa kalian melukai hatinya?”

“Melukai hatinya? Selama hidup aku tidak kenal istilah ini,” jengek Toh Sat.

“Kau ... kau sendiri selamanya tidak pernah terluka hatimu?”

Sedingin sembilu sorot mata Toh Sat ucapnya, “Hakikatnya aku tidak punya hati untuk dilukai.”

Bu-koat tidak tahu apa yang harus diucapkannya pula. Ia merasa dirinya sebenarnya semakin tidak memahami orang lain, ia pun tidak tahu orang ini harus dibenci atau harus dikasihani?

Ia sendiri betapa pun juga masih mempunyai hati yang dapat dilukai, kalau seorang sudah tiada mempunyai hati untuk dilukai, itulah benar-benar menyedihkan.

Pada saat itu tertampak Pek Khay-sim juga telah kembali. Dia membawa dua bungkusan besar dan tiada hentinya mengomel, “Aku dapat mencarikan makanan bagi kalian, sungguh aku sendiri pun tidak percaya.”

“Haha, barangkali inilah untuk pertama kalinya kau berbuat sesuatu yang menguntungkan orang lain tanpa merugikan diri sendiri,” kata Ha-ha-ji dengan tertawa.

“Ya, dan juga penghabisan kalinya,” tukas Pek Khay-sim.

“Dan mana Li Toa-jui, mengapa belum lagi pulang?” tanya Toh Sat.

“Dia mungkin kepergok setan,” tutur Pek Khay-sim.

“Kau tidak ke kota kecil itu bersama dia?” tanya Toh Sat pula.

“Masa aku mau jalan bersama serigala mulut besar itu,” teriak Pek Khay-sim. “Kalau dia mau menuju surga, aku lebih baik pergi ke neraka.”

“Jika demikian, makanan ini kau dapat dari mana?” tanya To Kiau-kiau.

“Dari biara di kaki bukit sana,” jawab Pek Khay-sim.

“Wah, biara!” teriak Kiau-kiau. “Masa kau suruh kami Ciacay selama tiga hari?”

Pek Khay-sim tertawa, jawabnya, “Memangnya kau kira Hwesio penghuni biara sana itu Ciacay semua? Supaya kau tahu, nasibmu lagi mujur, biara yang kutemukan itu kebetulan dihuni oleh Hwesio sontoloyo. Juragan dan pelayannya saja merasa sayang makan daging barang satu tahil pun, tapi mereka justru makan tanpa batas, daging sekati demi sekati disikat terus.”

“Hah, biara masa kau anggap seperti rumah makan, mana boleh kau anggap Hwesio membuka rumah makan?” kata Kiau-kiau dengan geli.

“Kau kira ada bedanya antara biara kaum Hwesio dengan rumah makan?” tanya Pek Khay-sim dengan melotot.

“Dengan sendirinya berbeda,” jawab Kiau-kiau.

“Umpamanya saja, rumah makan pasti akan menghidangkan makanan yang paling lezat bagi tamunya, sebaliknya biara kaum Hwesio hanya memberi makan orang lain dengan sebangsa tahu dan sayuran, mereka sendiri bersembunyi di dapur untuk makan daging. Malahan orang yang makan tahu dan sayur di biara kaum Hwesio itu akan jauh lebih mahal dibandingkan bila mereka makan besar di restoran.”

“Tapi di dunia ini kan tidak seluruh Hwesio sontoloyo suka makan daging dan minum arak, Hwesio yang prihatin dan suci juga banyak,” ujar To Kiau-kiau.

“Kalau tidak makan daging dan minum arak lantas kenapa? Apakah itu menandakan mereka orang baik-baik?” tanya Pek Khay-sim. “Huh, mereka tidak bekerja apa pun, tapi justru ada orang yang rela mengantarkan harta bagi mereka sekalipun harta benda mereka itu diperoleh dari kerja mati-matian.”

Lalu dia mendengus dan mengacungkan tiga jari, katanya pula, “Kau tahu, di dunia ini hanya ada tiga macam pekerjaan yang tidak perlu modal. Pertama menjadi lonte, kedua menjadi rampok, ketiga ialah menjadi Hwesio.”

“Omitohud, dosa, dosa, kalau kau mati mustahil tidak digusur ke neraka untuk dipotong lidahmu,” ucap Ha-ha-ji.

“Memangnya kalau sudah menjadi Hwesio lantas naik surga?” jengek Pek Khay-sim. “Hehe, jika orang di dunia ini sama ingin naik surga dan menjadi Hwesio, mungkin patung pemujaan di biara itu bisa mati kelaparan.”

“Makilah, silakan maki sepuasmu, toh tiada Hwesio yang mendengar makianmu kecuali Hwesio munafik seperti Ha-ha-ji,” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Haha, biarpun kudengar juga kuanggap dia lagi kentut,” kata Ha-ha-ji. Dari bungkusnya segera dikeluarkannya sepotong daging terus dilalap, gumamnya dengan tertawa. “Mulut orang gunanya makan dan bukan untuk memaki orang, jika salah pakai, yang sial pasti dia sendiri.”

Sekonyong-konyong Pek-hujin melompat bangun dan mengincar kedua kantong makanan yang dibawa pulang Pek Khay-sim tadi.

Sekujur badanya penuh luka-luka, ada yang bekas cambuk, ada yang dicakarnya sendiri, sesungguhnya dia telah tersiksa sedemikian rupa sehingga tiada mirip orang, dia sudah mempunyai lagi martabat sebagai seorang manusia. Malahan sorot mata Pek-hujin sekarang lebih mirip seekor binatang buas.

“Apakah kau pun ingin makan?” tanya To Kiau-kiau sambil mengeluarkan sepotong bakpau.

Dengan suara serak Pek-hujin menjawab, “Di dunia ini hanya ada pesakitan yang harus dihukum dan tiada pesakitan yang tak diberi makan.”

“Maaf, kami justru ingin membikin kalian kelaparan,” kata Kiau-kiau.

Pek-hujin tidak bicara lagi, sebab rasa gatal aneh ditubuhnya kembali kumat.

“Mengapa kau sengaja membuat mereka kelaparan?” tanya Toh Sat.

“Ya, akan kugunakan mereka sebagai kelinci percobaan,” jawab To Kiau-kiau dengan tersenyum. “Ingin kutahu sampai berapa lama mereka akan kehabisan tenaga jika tidak diberi makan. Sesudah begitu baru kita mulai menggali gua ini.”

Pek Khay-sim menggeleng dan berucap dengan gegetun, “Orang hanya tahu di dunia ini ada perempuan yang berhati keji, tak tahunya bahwa ada sementara orang yang bukan lelaki dan tidak perempuan justru berhati lebih menakutkan.”

“Hehe, tak tersangka tuan Pek kita sekarang juga paham cara bagaimana berkasih sayang,” kata Kiau-kiau. “Cuma tampaknya kau pun tidak paham perasaannya, jika kau sangka ia menderita dan kesakitan, maka kelirulah kau.”

“Dia tidak menderita, tidak sakit? Memangnya dia sangat senang, sangat riang?” tanya Pek Khay-sim.

“Ya, memang begitulah,” jawab Kiau-kiau. “Sebab di dunia ini memang ada sementara orang yang suka disiksa dan dianiaya. Coba dengarkan suara keluh-kesahnya, suara rintihannya sekarang dapatkah kau bedakan apakah itu keluhan menderita atau rintihan kepuasan?”

Orang yang pulang terakhir ialah Li Toa-jui.

Waktu kembali hari pun sudah hampir terang tanah. Dia berlari-lari bekerja keras semalam suntuk, tapi sedikitnya dia tidak nampak letih dan mengantuk, sebaliknya sangat gembira dan tetap bersemangat.

Pek Khay-sim mencibir, jengeknya, “Coba kalian lihat betapa riang gembiranya seperti orang putus lotre satu miliar.”

Tapi To Kiau-kiau lantas menyela, “Jangan kau pedulikan dia yang sedang kentut, lekas ceritakan saja kejadian aneh apa yang kau lihat.”

“Dari mana kau tahu aku melihat kejadian aneh?” tanya Li Toa-jui.

“Jika kau berkaca sekarang, tentu kau tahu apa sebabnya?” jawab Kiau-kiau.

“Ya, ya, kelemahanku yang terbesar adalah aku tak dapat menyimpan perasaan,” ucap Li Toa-jui sambil meraba dagunya. “Entah sampai kapan baru dapat kulatih sehingga setaraf Toh-lotoa yang girang dan marah tidak kelihatan sama sekali!”

“Toh-lotoa juga bukan benar-benar tidak kenal rasa senang dan marah, jika hatinya lagi gembira tentu juga tertampak dari air mukanya, hanya saja hati Toh-lotoa selama ini memang tidak pernah gembira,” demikian ujar To Kiau-kiau.

Li Toa-jui melirik Toh Sat sekejap, mau tak mau ia pun merinding melihat wajahnya yang seram itu. Cepat ia berkata dengan tertawa, “Dugaan kalian memang tidak salah, kejadian yang dipergoki bukan saja sangat aneh, bahkan sangat menarik.”

“Kejadian apa sesungguhnya?” tanya Toh Sat dengan dingin.

“Waktu kuberangkat, sementara itu sudah menjelang tengah malam,” demikian tutur Li Toa-jui. “Semula kukira penduduk di kota kecil itu pasti sudah tidur semua, siapa tahu, setiba di sana seluruh kota kecil itu masih terang benderang orang masih berlalu lalang dengan ramainya, tampaknya jauh lebih ramai daripada pasar malam di kota raja.”

“Sekalipun kota raja juga tidak ada pasar malam pada musim ini,” ujar Kiau-kiau.

“Ya, aku pun heran,” tutur Li Toa-jui lebih lanjut. “Maka aku lantas mencari tahu pada seseorang dan baru diketahui apa yang terjadi. Kiranya di sana kedatangan dua orang yang sengaja membuka tempat judi, bukan saja penduduk setempat siang malam ikut berjudi, bahkan penduduk sekitar kota sana juga sama berbondong-bondong membanjir tiba. Sebab itulah kota kecil yang biasanya sepi itu menjadi jauh lebih ramai daripada-kota dagang yang besar.”

“Hanya tempat judi kecil begitu, mengapa punya daya tarik sebesar itu? Memangnya selama hidup orang-orang itu tidak pernah berjudi?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Haha, jadi bandar judi adalah usaha yang menguntungkan, boleh dikatakan tidak ada perusahaan lain di dunia ini yang lebih menguntungkan daripada usaha judi,” seru Ha-ha-ji. “Hahaha, bagaimana kalau kita juga ramai-ramai jadi bandar untuk menyaingi kedua bocah itu?”

“Tempat judi seperti mereka itu mungkin kita tidak sanggup membukanya,” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Sebab apa?” tanya Kiau-kiau.

“Sebab mereka membuka tempat judi bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk mencari senang saja, untuk memuaskan selera judi mereka,” tutur Li Toa-jui. “Orang-orang yang berjudi ke sana, jika menang, mereka akan mendapatkan kemenangannya sesuai taruhannya. Bila kalah mereka tidak perlu keluar uang, cukup bertekuk lutut dan menyembah satu kali, lalu boleh angkat kaki. Konon tidak sampai tiga hari kedua bandar itu sudah tombok belasan laksa tahil perak.”

Seketika mata Pek Khay-sim terbeliak, ucapnya, “Biasanya tidak ada yang mau bekerja rugi, jangan-jangan otak kedua orang itu sudah miring!”

“Otak mereka sih tidak miring, hanya selera judi mereka yang luar biasa, boleh dikatakan sudah mencandu,” tutur Li Toa-jui. “Siapa saja yang mengajak mereka bertaruh, mereka akan terima dengan senang hati, kalah atau menang bukan soal bagi mereka.”

To Kiau-kiau tertawa, katanya, “Hah, masa di dunia ini ada orang yang kecanduan judi seperti itu kecuali ....” mendadak ia merandek dan melototi Li Toa-jui, lalu menegas, “Apakah dia?”

“Hahaha, kalau bukan dia, memangnya siapa lagi?” jawab Li Toa-jui dengan bergelak tertawa.

Mendadak Ha-ha-ji juga bertepuk, serunya, “Haha, sekarang aku pun tahu siapa setan judi begitu, di dunia ini memang tidak ada orang kedua selain dia.”

“Masa benar-benar Han-wan Sam-kong?” Toh Sat menegas dengan berkerut kening.

“Dengan sendirinya dia, siapa lagi?” jawab Li Toa-jui.

“Kau telah melihat dia?” tanya Toh Sat pula.

“Ya, tapi dia sendiri tidak melihatku,” tutur Li Toa-jui. “Saat itu dia lagi asyik bertaruh, matanya hanya tertuju kepada biji dadu dan kartu pay-kiu, sekalipun bapaknya sendiri berdiri di depannya juga tak dikenalnya lagi.”

To Kiau-kiau mengikik geli, ucapnya, “Memang, bilamana seorang pecandu judi lagi asyik bertaruh, biarpun sanak famili juga tidak dipedulikan. Cuma, apakah kau menyaksikan dia kalah dan membayar kepada lawannya?”

“Cara pertaruhannya sangat aneh juga,” tutur Li Toa-jui pula. “Satu kali menyembah dihargai satu tahil perak, satu kali pukul pantat dinilai dua tahil, maka kalau taruhannya dimenangkan dia, seketika tempat judi itu ramai dengan suara pantat orang digebuk dan kepala membentur lantai, ditambah lagi suara gelak tertawanya yang gembira, maka suasana menjadi riuh ramai.”

“Dan kalau dia kalah, kontan dia bayar, dikeluarkannya perak sepotong demi sepotong dan bayar kontan, satu peser pun tidak menunggak,” kata Li Toa-jui.

“Sungguh aneh, aku menjadi bingung,” ucap To Kiau-kiau. “Padahal Ok-tu-kui terkena suka bertaruh secara keras, tidak suka utang, tidak main curang. Malahan lebih bersifat ngotot, kalau hari terang, orang belum bubar dan uang belum ludes, tidak mungkin berhenti berjudi. Nah, jika menuruti cara berjudinya ini, biarpun malaikat juga akhirnya pasti kalah. Apalagi dia baru setan dan belum malaikat.”

“Haha, makanya dia selalu rudin, sampai sepatu yang layak saja tidak mampu beli, sepanjang tahun yang dipakainya adalah sepatu buntut yang depannya menganga dan belakangnya mengap,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa.

“Memang betul, selama ini Ok-tu-kui terkenal miskin, entah mengapa bisa berubah menjadi royal dan kaya mendadak, dari manakah dia mendapatkan perak sebanyak itu untuk membayar dia,” ujar Li Toa-jui.

“Aku pun tidak tahu sebab tidak kutanyai dia,” ujar Li Toa-jui.

“Sahabat lama bertemu, masa kau tidak menyapanya?” tanya To Kiau-kiau.

“Sejak dua puluh tahun yang lalu aku dipaksa bertaruh dengan dia, sejak itu pula kepalaku lantas pusing bila bertemu dengan dia,” tutur Li Toa-jui dengan tertawa. “Tentunya kalian tahu, aku ini selain suka makan daging manusia, biasanya tidak mempunyai hobi lain lagi.”

“Huh, melulu kesukaanmu itu saja sudah cukup alasan untuk memasukkan kau ke neraka, jika kau bertambah lagi hobi lain mungkin Giam-lo-ong akan bingung ke mana kau harus dikirim?” jengek Pek Khay-sim.

Li Toa-jui tertawa, tukasnya, “Kirim saja ke tempat tidur makmu!”

Keruan Pek Khay-sim berjingkrak murka, tapi sebelum dia bertindak lebih dahulu Toh Sat telah bersuara, ia paling jeri pada Toh Sat, terpaksa ia menahan gusarnya dan tidak berani bersuara pula.

“Lalu siapa lagi orang yang berkongsi dengar Han-wan Sam-kong itu”

“Sebelumnya malahan aku tidak pernah melihatnya,” jawab Li Toa-jui.

“O, macam apakah orang itu?” tanya Kiau-kiau,

“Kurus kecil, mukanya tidak menarik, kau pasti tidak suka padanya,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa.

“Belum tentu,” kata To Kiau-kiau dengan acuh. “Bisa jadi orang begitu akan sangat menarik bagiku.”

“Aku pun sangat tertarik terhadap orang begini,” tukas Pek Khay-sim, “Aku menjadi ingin tahu cara bagaimana dia bisa bersahabat dengan Ok-tu-kui, bisa jadi dia yang merogoh saku apabila Ok-tu-kui kalah bertaruh.”

To Kiau-kiau mengerling, ucapnya dengan tertawa, “Jika kita berdua sama-sama menaruh minat padanya, maka nanti kita boleh ke sana untuk menjenguk mereka.”

“Tapi alat penggali yang kita perlukan sudah kubawa kemari, sudah dua hari juga mereka terkurung di sini, malam nanti juga kita harus mulai bekerja,” kata Li Toa-jui.

“Hoa-kongcu ini saja tidak gelisah, mengapa kau malah terburu-buru?” omel Kiau-kiau.

*****

Meski sudah jauh malam, tapi kota kecil itu benar-benar masih terang benderang, orang pun masih ramai berlalu lalang, kebanyakan orang juga riang gembira, namun sembilan di antara sepuluh orang itu tampaknya bukan orang baik-baik, kalau bukan pencoleng tentulah kaum gelandangan.

Tapi dandanan To Kiau-kiau sekarang justru sangat apik dan terhormat, ia menyamar sebagai seorang Siucay (gelar terendah kaum sastrawan ujian negara) miskin. Dan dengan sendirinya Pek Khay-sim menyaru sebagai pengiring atau jongosnya.

Di tepi jalan kota kecil itu banyak penjaja makanan, ada pangsit mi, mi babat, nasi campur, bubur ayam, yan-cian-ngo-hiang (sosis) dan macam-macam lagi, ingin daging anjing juga ada.

To Kiau-kiau memilih pangsit-mi, ia duduk di bangku dan pesan semangkuk pangsit serta satu porsi daging rebus, sudah tentu tidak ketinggalan sepoci arak.

Pek Khay-sim sangat mendongkol, hati pingin makan, tapi apa daya, terpaksa ia harus menyaksikan To Kiau-kiau makan minum doang. Maklum dia menyamar sebagai jongos, mana boleh seorang jongos duduk makan bersama sang cukong?

Si tukang pangsit adalah seorang tua, sambil membuatkan pangsit yang diminta sembari mengajak ngobrol, ia bertanya, “Apakah Tuan juga datang untuk berjudi?”

“Bukan,” jawab Kiau-kiau acuh tak acuh.

“Ya, tampaknya tuan bukan orang yang kemaruk pada beberapa tahil perak lalu rela pantat dipukul orang atau menyembah segala,” kata si tukang pangsit. “Coba Tuan lihat, yang datang kemari ini hampir seluruhnya kaum pencoleng di sekitar kota ini, orang terhormat sebagai Tuan tentu tidak sudi.”

“Jika kau benci pada orang-orang ini, mengapa kau berjualan di sini dan menarik keuntungan dari mereka?” tanya Kiau-kiau.

Si tukang pangsit menyengir, jawabnya, “Manusia ada bedanya antara yang baik dan jahat, tapi perak kan sama putihnya? Tuan tahu?!”

To Kiau-kiau tertawa, tanyanya pula. “Apakah pernah kau lihat orang yang menjadi bandar judi itu?”

“Kedua orang itu mungkin sudah gila semua,” tutur si tukang pangsit dengan gegetun. “Tuan tahu, terutama yang kurus kecil itu, bila dia tidak ikut bertaruhan, maka ia cuma duduk termenung saja seperti habis kematian ayah-ibunya. Tapi sekali dia sudah pegang kartu, wah, lantas penuh semangat seperti habis makan obat kuat. Konon sampai sekarang dia sudah main tiga hari tiga malam dan belum ganti tangan. Tuan tahu?!”

“Apakah mereka mampu bayar jika kalah banyak?” tanya Kiau-kiau pula.

“Konon mereka membawa modal dua kereta penuh,” tutur si tukang pangsit. “Coba pikir, bukankah mereka itu orang sinting, mungkin leluhur mereka berdosa, maka melahirkan anak cucu yang membikin bangkrut.”

Rasa pangsit-mi itu tidak cukup enak, hanya beberapa kali menyumpit saja To Kiau-kiau lantas taruh mangkuknya. Lalu suruh tukang pangsit menghitung harganya.

Setelah putar kayun ke sana-sini, tetap To Kiau-kiau tidak memperoleh sesuatu berita istimewa, hanya diketahui selera judi sekutu Han-wan Sam-kong bahkan lebih besar daripada Ok-tu-kui itu, bilamana kebetulan tidak berminat, maka dia hanya duduk termenung seperti orang mampus.

“Tampaknya sekali ini Ok-tu-kui telah menemukan sahabat yang sepaham,” ujar Pek Khay-sim dengan tertawa.

To Kiau-kiau berpikir sejenak, katanya kemudian, “Kukira sekutunya itu bisa jadi sedang stress, maka menggunakan judi sebagai hiburan. Bukankah orang suka bilang bilamana orang berjudi maka urusan lain akan terlupakan seluruhnya.”

“Cara bagaimana kau bisa berpikir demikian?” tanya Pek Khay-sim.

“Sebab aku tidak mengerti dunia ini masih ada orang yang punya hobi judi lebih besar daripada Han-wan Sam-kong.”

Sambil bicara mereka ikut berjubel bersama orang banyak dan masuk ke suatu hotel. Hotel ini tidak besar dan merupakan hotel satu-satunya di kota kecil ini, kini hotel kecil ini hampir meledak karena berjubelnya pengunjung. Sebab kasino (rumah judi) yang dibuka Han-wan Sam-kong justru berada di dalam hotel itu.

Hotel kecil ini sebenarnya cuma ada empat kamar yang lumayan, sekarang keempat kamar ini telah ditembus, dinding yang menghadap halaman juga telah dijebol sehingga berwujud menjadi bangsal yang panjang.

Waktu To Kiau-kiau berdua masuk ke situ, tertampak di mana-mana hanya pengunjung yang berdesakan. Perawakan To Kiau-kiau memang tidak tinggi, dengan sendirinya ia tidak dapat melihat di mana beradanya Han-wan Sam-kong. Terdengar suara seorang lagi memaki sambil bergelak tertawa, “Hahaha, anak kura-kura, kenapa kalian main berjubel begini, antrilah secara teratur, bila berdesakan begini, sebentar kuning telur kalian mungkin tergencet keluar ....”

Meski sudah dua puluh tahun To Kiau-kiau tidak mendengar suaranya, tapi begitu mendengar istilah ‘anak kura-kura’ segera ia tahu itu pasti Ok-tu-kui adanya.

“Marilah kita pun berdesakan ke depan, bila melihat kita mustahil Ok-tu-kui tidak berjingkrak kaget,” ujar Pek Khay-sim.

“Nanti dulu, jangan terburu-buru,” kata Kiau-kiau.

“Kita lihat dulu sesungguhnya orang macam apakah sekutu Ok-tu-kui itu.”

“Tapi kalau terus berdiri di sini, selain pantat orang-orang ini apa yang dapat kau lihat lagi?”

Tiba-tiba Kiau-kiau mendapat akal, ia tutuk Hiat-to dua orang di depannya, kontan kedua orang itu roboh tanpa bersuara, bahkan tiada seorang pun yang perhatikan mereka. Dengan leluasa To Kiau-kiau lantas menggunakan tubuh kedua orang itu sebagai panggung, ia berdiri di atas tubuh mereka.

Dari situ akhirnya To Kiau-kiau dapat melihat Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

Agaknya yang sedang terjadi pertaruhan ialah main dadu, cara bertaruhnya juga sederhana, hanya menebak: “besar” atau “kecil”.

Dadu terdiri dari tiga biji, setiap biji dadu yang berbentuk persegi itu mempunyai enam sisi, tiap-tiap sisi diberi titik. Dari satu titik sampai enam titik.

Dadu dimasukkan dalam mangkuk bertutup lalu dikocok, bila mangkuk dibuka dan titik ketiga dadu berjumlah sepuluh atau lebih berarti “besar”, jika berjumlah sembilan atau kurang daripada itu adalah “kecil”.

Saat itu Han-wan Sam-kong menggunakan sebuah meja panjang dengan taplak putih, di tengah taplak bergaris hitam, di sebelah sana tertulis sebuah huruf “besar” dan di sebelah sini huruf “kecil”.

Penjudi tinggal menjatuhkan pilihannya saja, bila pasang “besar” dan tepat, kontan mereka mendapat bayaran. Jika pasang “besar” dan dadu keluar “kecil”, artinya mereka kalah, lalu ramailah orang bertekuk lutut menyembah serta suara pantat digebuk. Cara pertaruhan ini sungguh sangat sederhana, cepat dan menyenangkan, juga unik.

Waktu itu Han-wan Sam-kong sedang mengocok dadu. Tampak bajunya hampir seluruhnya tak terkancing sehingga kelihatan simbar dadanya. Rambutnya juga semrawut, tapi diikat dengan sebuah handuk yang sudah kotor dan tentu saja berbau. Mukanya juga kotor berminyak, matanya merah, tampangnya itu lebih mirip seorang jagal babi.

Di depan Han-wan Sam-kong tertaruh beberapa potong bakpau yang cuma digerogot satu-dua kali saja, lalu ditaruh sehingga kelihatan daging yang terselip di tengah bakpau itu.

Jelas kelihatan Han-wan Sam-kong tidak cuma kurang tidur, bahkan juga tidak sempat makan, hal ini terbukti setiap bakpau itu hanya digigit satu kali lalu ditaruh begitu saja.

Walaupun keadaannya kelihatan serba konyol, namun “semangat tempurnya” tetap berkobar-kobar, dia masih berteriak-teriak dengan gembiranya, meski suaranya sudah serak tapi masih terus berkoar.

Hanya memandangnya sekejap saja Pek Khay-sim lantas tertawa geli, katanya, “Apa artinya cara berjudi begini? Hakikatnya seperti tersiksa hidup-hidup.”

“Kau anggap dia tersiksa, tapi dia sendiri justru merasa puas,” kata To Kiau-kiau dengan tertawa. “Setan judi, asalkan ada uang untuk bertaruh, sekalipun kau suruh dia berjudi di dalam kakus juga takkan dirasakan baunya.”

Sambil bicara, yang diperhatikan To Kiau-kiau adalah orang yang duduk di samping Han-wan Sam-kong. Akhirnya Pek Khay-sim juga ikut memandang ke sana.

Orang ini memang kurus kecil dan hitam, mukanya tidak menarik, namun matanya yang merah karena kurang tidur itu tetap mencorong terang.

“Apakah pernah kau lihat bocah ini?” tanya Kiau-kiau.

Pek Khay-sim termenung sejenak, jawabnya kemudian, “Rasanya seperti pernah melihatnya ….”

“Siapa dia?” tanya Kiau-kiau pula.

Kembali Pek Khay-sim berpikir sejenak, lalu menjawab dengan tertawa, “Sudah tidak teringat lagi sekarang.”

To Kiau-kiau melotot dengan dongkol.

Dalam pada itu terdengar Han-wan Sam-kong lagi berteriak, “Ayo anak kura-kura, lekas pasang! Ayo pasang lekas!”

Maka ramailah pasangan jatuh dilemparkan ke meja, ada yang pilih besar, ada yang pasang kecil. Macam-macam juga benda yang dibuat tanda pasangan, ada beberapa keping mata uang tembaga, ada yang cuma taruh dua potong batu kecil, malahan ada yang menggunakan secarik kertas dan diberi angka jumlah pasangannya.

Di samping meja sana tampak dua orang sedang menyembah tiada henti-hentinya, mungkin mereka kalah terlalu banyak sehingga mereka pun harus bayar banyak dengan menyembah!

Sambil mengocok dadu dalam mangkuk butut, Han-wan Sam-kong juga terus berteriak-teriak, “Ayo pasang, lekas, segera akan kubuka!”

Terdengar suara dadu yang terkocok dan menggelinding di dalam mangkuk, lelaki hitam kurus kecil di samping Han-wan Sam-kong hanya melotot saja dengan butiran keringat memenuhi dahinya.

Mendadak Han-wan Sam-kong berteriak, “Stop pasangan ... Buka!” lalu dibukalah tutup mangkuk.

Serentak terdengar suara gemuruh orang banyak, ada yang menggerutu, ada yang bersorak gembira, seorang berteriak, “Aha, tujuh! Kecil, tepat pasanganku!”

Han-wan Sam-kong juga berseru, “Satu-dua-empat, tujuh, kecil! Yang kena boleh terima uang, yang kalah lekas menyembah, anak kura-kura!”

Lalu ia comot suatu pasangan di bagian besar yang berarti kalah, dia menghitung-hitung jumlah mata uangnya sembari berkata, “Sialan, lima puluh, kamu anak kura-kura juga berani mengincar lima puluh tahil perak dariku dan sekarang baru kau tahu rasa .... Ayo siapa yang pasang, lekas maju dan menyembah lima puluh kali.”

Berulang-ulang ia tanya, tapi tiada seorang pun yang mengaku.

Diam-diam Khay-sim tertawa dan membisiki To Kiau-kiau, “Sekali ini Ok-tu-kui telah tertipu, orang bertaruh dengan cek kosong, kalau menang terima bayaran, jika kalah tidak mengaku, memangnya siapa yang tahu?”

Belum habis ucapannya sekonyong-konyong lelaki kurus kecil itu melompat ke atas, ia mengapung seperti seekor burung raksasa terbang di udara, sekali mengitar segera rambut seseorang dijambaknya.

Keruan orang itu menjerit kaget dan takut, “Bukan ... bukan pasanganku ... bukan aku ....”

Tapi sekali lelaki kurus kecil itu menutul kakinya di pundak salah seorang penjudi, dengan enteng sekali ia mengapung lebih tinggi lagi, berbareng orang yang dijambaknya itu pun terangkat dan “serr”, ia terus melayang kembali ke tempatnya semula.

Terkesiap juga To Kiau-kiau, katanya, “Bagus amat Ginkangnya.”

Mau tak mau Pek Khay-sim juga memuji, “Ya, memang boleh juga.”

“Bukan saja Ginkangnya hebat, bahkan gerakannya sangat aneh, sungguh tak pernah kulihat,” ucap To Kiau-kiau sambil berpikir.

Pek Khay-sim menjawab, “Rasanya kita pernah melihatnya, cuma ....”

“Cuma sekarang tidak ingat lagi, begitu bukan?” jengek Kiau-kiau.

“Hehe, memang betul,” kata Pek Khay-sim sambil menyengir.

Sementara itu si kurus kecil telah membanting orang yang dijambaknya tadi ke meja, orang itu berbaju hijau dan bertampang kriminal, kedua pelipisnya ditempeli koyok, mungkin kepala selalu pusing melulu. Namun begitu dia tetap berteriak menyangkal, “Bukan ... bukan aku, Tuan keliru ….”

Mendadak Han-wan Sam-kong meraihnya, bentaknya dengan gusar, “Keparat, kau anak kura-kura ini mengira mata bapakmu ini sudah lamur? Mengapa tidak kau cari tahu pada orang-orang yang hadir di sini bilakah Locu (aku bapakmu) pernah salah lihat?” Sembari bicara ia bertambah marah, kontan ia menampar dan memaki pula, “Bangsat, orang judi boleh main licik cara apa pun juga, tapi tidak boleh main curang, masa peraturan begini saja tidak paham dan berani berjudi kemari .... Pergilah kau, enyah ke tempat makmu sana!”

Sekali ayun tangan, kontan Han-wan Sam-kong melemparkan orang itu jauh melampaui kepala orang banyak.

Dengan contoh ini, maka tiada seorang pun yang berani main curang lagi, yang kalah juga segera berlutut dan menyembah sehingga ramai lagi, bunyi kepala dibentur-benturkan ke lantai. Ditambah lagi gelak tertawa Han-wan Sam-kong, maka suasana tambah riuh.

To Kiau-kiau menggeleng-geleng, ucapnya dengan tertawa, “Kukira julukan ‘Ok-tu-kui’ sekarang perlu diganti.”

“Ganti apa?” tanya Pek Khay-sim.

“Menurut cara berjudi ini, julukannya lebih tepat diganti menjadi ‘Hong-tu-kui’ (setan judi gila),” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Sesungguhnya seorang kalau sudah keranjingan judi, lambat atau cepat akhirnya juga pasti akan menjadi gila,” kata Kiau-kiau pula. “Maka bila kelak Han-wan Sam-kong berubah menjadi gila sungguh-sungguh, tentu aku takkan heran.”

“Memang, sejak dulu-dulu seharusnya dia sudah gila,” tukas Pek Khay-sim.

“Yang aneh ialah si hitam kecil ini mengapa juga ikut gila-gilaan dengan dia?” kata Kiau-kiau pula. “Apakah harta mereka ini jatuh dari langit secara mendadak?” Setelah merandek sejenak dan tertawa, lalu ia menyambung, “Bisa juga lantaran bocah ini masih muda dan belum berpengalaman, belum tahu apa artinya uang. Bilamana dia sudah berusia seperti diriku barulah dia akan paham bahwa di dunia ini tiada benda lain lagi yang lebih menyenangkan daripada uang.”

“Memang betul, selalu pegang uang jauh lebih baik daripada anak kandung,” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa. “Orang yang belum berumur 50 memang tidak paham arti pemeo ini.”

To Kiau-kiau mendelik, katanya, “Jadi kau anggap aku sudah berumur 50, padahal tahun ini aku baru 38.”

“Haha, tahun yang lalu kau mengaku 39, kenapa tahun ini malah berubah menjadi 38?” tanya Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Lelaki yang pintar harus tahu bahwa perempuan yang sudah berumur tiga puluh tahun, paling sedikit usianya akan berhenti lima tahun,” jawab To Kiau-kiau dengan sungguh-sungguh. “Apabila umurnya mencapai empat puluh tahun, maka usianya harus dihitung mundur ke belakang.”

Belum lagi Pek Khay-sim menanggapi, terdengar Han-wan Sam-kong sedang berteriak-teriak pula, “Ayo, anak kura-kura, lekas pasang, sudah taruh seluruhnya? Ayo, segera buka lagi!”

“Brek”, dia taruh mangkuknya di meja dan segera hendak mengangkat tutupnya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang berseru, “Nanti dulu, tunggu!”

Suara itu sangat nyaring dan merdu, jelas suara seorang perempuan. Kedengarannya pembicaraan itu berada di luar pintu, tapi sekata demi sekata berkumandang ke dalam sehingga suara ribut orang banyak teratasi.

Han-wan Sam-kong tertawa lebar dan berseru, “Menurut peraturan kasino, kau datang terlambat, silakan pasang saja pada pembukaan berikutnya. Tapi aku menjadi tertarik oleh suaramu yang enak didengar, maka bolehlah kutunggu sebentar padamu!”

“Terima kasih!” jawab suara merdu tadi dengan tertawa.

Suara tertawanya jauh lebih enak didengar daripada suara ucapannya, semua orang jadi ingin tahu bagaimana macamnya si pendatang ini.

Selagi semua orang berpaling ke sana, terdengar suara orang lelaki membentak, “Minggir! Beri jalan!”

Menyusul lantas terlihat lima-enam orang lelaki kekar berbaju mentereng menerjang masuk dengan memegang cambuk.

Penjudi yang datang ke sini rata-rata adalah, kaum pencoleng yang suka cari perkara, mana mereka mau memberi jalan pada pendatang belakangan, tentu saja sebagian besar di antara mereka lantas menggerutu dan melotot, tapi demi melihat perawakan beberapa lelaki kekar itu dan perbawanya, seketika mereka mengkeret dan beramai-ramai menyingkir memberi jalan.

Dengan bertolak pinggang beberapa lelaki berbaju indah itu lantas berdiri di kedua sisi jalan yang diluangkan itu sehingga orang ramai semakin terdesak ke pojok, tidak terkecuali To Kiau-kiau dan Pek Khay-sim juga terdorong ke belakang.

Tentu saja Pek Khay-sim sangat mendongkol, omelnya, “Keparat, biar kuhajar adat kepada mereka.”

Sorot mata To Kiau-kiau tampak gemerdap, katanya dengan tertawa, “Nanti dulu, jika kau ingin menonton permainan yang menarik, paling baik berdiri saja di situ dan jangan banyak tingkah.”

Tengah bicara, dari luar muncul pula empat lelaki kekar berseragam sama seperti yang duluan, dua di antaranya menggotong sebuah peti besar, bobot peti tampaknya sangat berat.

Peti besar itu digotong ke depan meja judi dan ditaruh, lalu orang-orang itu menyurut mundur dan berdiri di samping dengan “pentang kelek”.

Biji mata Han-wan Sam-kong mengerling kian kemari, katanya kemudian sambil terbahak, “Hahaha! Sungguh tidak nyana kelenteng kecilku ini mendapat kunjungan malaikat besar.” Lalu dia tepuk keras-keras pundak si hitam kecil dan berseru, “Saudaraku, bukankah kau selalu menggerundel bahwa perjudian ini tak dapat memuaskan seleramu? Nah, sekarang tampaknya kau pasti akan puas, kau akan ketemu tandingan setimpal.”

Namun si hitam tidak menampilkan perasaan apa-apa dan juga tidak bersuara, jika matanya tidak terbuka, orang lain tentu akan mengira dia sedang tidur.

Pada saat itulah tiga nyonya muda cantik tampak muncul dengan gayanya yang menarik.

Suasana dalam ruangan kasino biasanya sangat berisik, tapi begitu ketiga nyonya cantik itu muncul, seketika keadaan berubah menjadi hening, suara sedikit saja tidak ada, setiap orang sama melongo dengan pandangan melenggong, sampai bernapas pun seperti terhenti.

Maklumlah, ketiga nyonya muda itu sesungguhnya memang teramat cantik, terutama senyuman mereka, bisa bikin orang mati lemas.

Ketiga nyonya itu berwajah hampir serupa, sama-sama beraut muka daun sirih, mulut kecil, alis lentik, berpupur tipis, tampaknya mereka adalah bersaudara.

Sanggul mereka digelung dengan model yang digemari pada jaman itu, sanggul yang hitam ikal itu hanya dihiasi tusuk kundai mutiara kembang goyang.

Baju mereka pun tidak terlalu mencolok, tapi ukurannya pas dan serasi, mereka tidak memakai hiasan kepala, juga tidak pakai perhiasan tangan. Namun setiap orang yang melihatnya segera akan tahu bahwa mereka pasti bukan sembarang orang, sebab kecantikan mereka sudah cukup menjelaskan derajat mereka.

Jangankan di kota kecil ini, sekalipun di kota raja juga jarang ada nyonya secantik ini. Keruan semua orang sama melongo kesima memandangi mereka.

Lebih-lebih manusia bejat sebagai Pek Khay-sim, ia pun melotot dengan mulut ternganga sehingga air liur hampir menetes ke luar, napas pun terengah-engah dengan lidah setengah terjulur, macamnya itu mengingatkan orang kepada seekor anjing herder jantan yang lagi berahi di musim kawin.

“Awas, jangan timbul pikiranmu yang tidak senonoh,” demikian To Kiau-kiau memperingatkannya dengan tertawa, “Kukira kau harus prihatin, jika kau bermaksud menggerayangi ketiga orang ini, maka celakalah kau.”

“Memangnya kenapa?” tanya Pek Khay-sim.

“Apakah kau kira mereka itu boleh direcoki?”

“Memangnya siapa mereka? Kenapa mesti takut?”

“Walaupun belum diketahui asal-usul mereka, tapi dapat kupastikan mereka pasti bukan makanan empuk,” ujar Kiau-kiau. “Jika kau tidak percaya, tunggu dan lihat sebentar lagi, bukan mustahil hari ini Ok-tu-kui juga akan terjungkal habis-habisan.”

Kecuali warna pakaian mereka yang berbeda, hakikatnya bentuk ketiga nyonya muda itu seolah-olah dilahirkan dari suatu cetakan yang sama, bukan saja wajah mereka mirip satu sama lain, bahkan sama jalannya, gayanya, lenggang-lenggoknya, semuanya serupa.

Sementara itu mereka sudah tiba di depan Han-wan Sam-kong dan sama tertawa manis.

Si baju ungu yang berdiri di tengah lantas berkata, “Maaf jika Tuan telah menunggu cukup lama,”

“O, tidak apa-apa, sudah lama sekali aku tidak pernah bertaruhan dengan perempuan cantik, biarpun menunggu lagi lebih lama juga bukan soal,” jawab Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

Ucapannya sekali ini tidak diselingi lagi dengan “anak kura-kura” dan sebagainya, sungguh boleh dikatakan luar biasa.

Diam-diam Pek Khay-sim merasa geli, katanya “Kiranya setan judi suka perempuan cantik.”

“Ah, ini kan belum mulai,” ujar To Kiau-kiau dengan tersenyum. “Sebentar bila pertaruhan sudah dimulai, yang terlihat olehnya hanya biji dadu yang lagi menggelinding, mana dia kenal perempuan cantik apa segala.”

“Betul, serigala bermulut besar itu hanya mengincar dagingnya yang empuk bila melihat wanita cantik, sedangkan Ok-tu-kui hanya mengincar hartanya, cuma aku saja yang tahu cara bagaimana harus bercumbu rayu dengan perempuan cantik.”

Dalam pada itu beberapa lelaki kekar tadi sudah membawakan tiga kursi dan menyilakan ketiga nyonya cantik itu duduk.

Han-wan Sam-kong bertepuk tangan, katanya, “Baik, sekarang silakan nona-nona mulai pasang!”

Si baju ungu mengangguk kepada seorang lelaki kekar yang berdiri di sampingnya, cepat orang itu membuka peti. Seketika pandangan semua orang menjadi silau. Isi peti ternyata lantakan perak melulu.

Seketika mata Han-wan Sam-kong juga terbeliak, serunya dengan tertawa, “Ah, rupanya nona-nona sengaja hendak bertaruh sungguh-sungguh, sekarang kalian benar-benar mendapatkan lawan yang setimpal berhadapan denganku.”

Si baju ungu lantas bertanya, “Pasangan pakai limit tidak di sini?”

“Tidak, jangan khawatir, silakan pasang sesukamu, bandar pasti bayar tanpa kurang sepeser pun,” seru Han-wan Sam-kong dengan bergelak.

“Bagus,” ucap si nyonya baju ungu. Segera ia memberi tanda dan berseru, “Goban, besar!”

Begitu terdengar “goban” atau lima laksa alias lima puluh ribu tahil perak, seketika semua orang mengira telinga sendiri yang tidak beres, akan tetapi bukti nyata terpampang di depan mereka, lelaki kekar tadi benar-benar mengeluarkan lima laksa tahil dari peti dan didorong ke atas meja.

Dengan heran Pek Khay-sim tanya To Kiau-kiau, “Kau kira ketiga nyonya cantik ini benar-benar datang untuk berjudi?”

Kiau-kiau menggeleng, katanya, “Orang macam mereka ini, seandainya kecanduan judi juga takkan datang ke sini.”

“Habis, apakah kedatangan mereka ini sengaja hendak mencari perkara pada Ok-tu-kui?” tanya Pek Khay-sim pula.

“Sekarang aku pun belum dapat menerka maksud tujuan kedatangan mereka,” kata Kiau-kiau. “Lihat saja sebentar lagi, yang jelas hari ini Ok-tu-kui pasti tak bisa gembira lagi.”

Dalam pada itu si hitam kecil tadi seakan-akan terjaga bangun dari lamunannya, wajahnya yang hitam itu pun bercahaya kemerah-merahan. Lebih-lebih Han-wan Sam-kong, ia malah terus menggosok-gosok kepalan dan berteriak-teriak, “Bagus, bagus! Semakin banyak taruhannya, semakin marem!”

Habis itu ia lantas angkat mangkuk dadu dan diguncang keras-keras sambil berkata, “Stop pasangan .... Buka!”

Waktu tutup mangkuk tersingkap, biji dadu mengunjuk satu-dua-dua.

Seketika bergemuruhlah suara orang banyak, “Lima, kecil, bandar menang!”

Tapi nyonya cantik baju ungu sama sekali tidak berkedip, kekalahan lima laksa tahil perak itu baginya seperti lima ketip saja. Kembali ia memberi tanda dan berucap dengan hambar, “Goban lagi, tetap besar!”

“Betul,” seru Han-wan Sam-kong dengan bergelak tertawa. “Baru satu kali, uber terus! Guncang lagi!”

Segera ia angkat mangkuk dan dikocok lagi, setelah berteriak ‘stop pasangan’, lalu tutup mangkuk dibuka.

Sekali ini dadunya agak jail, dua biji sudah memperlihatkan titik tiga dan lima, ini berarti berjumlah delapan. Tinggal dadu ketiga masih menggelinding perlahan, asalkan jatuh pada titik dua dan selebihnya, maka jumlahnya pasti di atas sepuluh dan ini berarti besar dan berarti pula kemenangan bagi si nyonya jelita.

Tapi dadu itu seakan-akan kesetanan, sudah jelas akan jatuh pada tiga titik, mendadak bergulir pula sehingga jatuh pada satu titik. Dengan demikian jumlahnya menjadi sembilan dan ini berarti kecil dan tetap dimenangkan oleh bandar.

Keruan suasana menjadi gempar, banyak penonton yang menggerutu dan penasaran bagi nyonya cantik berbaju ungu itu.

Namun nyonya jelita itu tetap tenang-tenang saja. Kembali ia beri tanda pasangan. Berturut-turut enam kali ia pasang “besar” tapi berturut-turut enam kali pula dadu yang keluar adalah “kecil”.

Isi kedua petinya sudah terkuras separo, penonton ikut berkeringat bagi yang kalah.

Tapi nyonya baju ungu itu tetap tenang saja, kedua nyonya jelita yang lain juga sama tenangnya, mereka tetap mengulum senyum tanpa bicara dan juga tidak berkerut kening, bahkan gaya duduk mereka tidak berubah.

Sudah tentu yang paling senang adalah Han-wan Sam-kong, wajahnya bercahaya gembira, ia tertawa dan berseru, “Ayo, uber lagi, masih ada ketujuh kalinya?”

“Masih sisa berapa?” tanya si nyonya baju ungu kepada pengiringnya.

“Masih dua puluh laksa,” jawab lelaki kekar tadi.

“Baik, pasangkan seluruhnya!” ucap si nyonya dengan acuh tak acuh.

Lelaki kekar itu mengiakan dan mengeluarkan seluruh isi peti, tanyanya kemudian, “Pasang besar atau kecil?” jelas suaranya agak gemetar, keringat pun memenuhi dahinya.

Dari bibir si nyonya yang merah tipis itu hanya tercetus suara lirih, “Besar!”

Dia tetap pasang “besar” tanpa gentar.

Keruan penonton lantas gempar di tengah suara guncangan dadu yang dikocok Han-wan Sam-kong. Ketika mangkuk dadu sudah ditaruh di atas meja, suasana lantas sunyi senyap seketika, semua orang ikut menahan napas.

Sekali ini agaknya Han-wan Sam-kong juga agak tegang, ia sampai lupa berteriak “stop pasangan”. Kedua tangannya mendekap mangkuk, matanya terbelalak memandang si nyonya baju ungu. Kemudian ia tanya, “Kau benar-benar tetap pasang besar?”

“Ya, besar,” jawab si nyonya dengan tak acuh.

Si kurus hitam di samping Han-wan Sam-kong juga ikut terbelalak, tanpa berkedip ia memandangi tangan sekutunya.

“Baik, sungguh hebat kau!” kata Han-wan Sam-kong kemudian terus menambahkan, “Buka!”

Berpuluh pasang mata sama melotot ke arah tangan Han-wan Sam-kong, penonton di belakang yang tak dapat melihat jelas berdesakan ke depan.

Mendadak Han-wan Sam-kong angkat tutup mangkuk, sekali ini mangkuk itu seperti benda yang mahaberat dan Ok-tu-kui seperti mengerahkan sepenuh tenaganya.

Tapi jumlah titik ketiga biji dadu tetap jatuh pada “kecil”.

Sekali ini Han-wan Sam-kong sendiri juga melenggong dan hampir tidak percaya pada matanya sendiri, sungguh ia heran sekali, mengapa begini besar rezeki sendiri sehingga berturut-turut titik dadu seri kecil tujuh kali.

Serentak penonton menjadi gempar pula dan banyak ikut gegetun.

Namun ketiga nyonya itu tetap tidak memperlihatkan rasa kesal, bahkan kembang goyang tusuk kundai mereka juga tidak bergerak sedikit pun.

Ketiganya hanya melirik sekejap saja pada dadu, lalu berbangkit, tanpa bicara apa-apa mereka terus membalik tubuh dan berangkat pergi.

“Ah, jangan terburu-buru pergi, para nona,” seru Han-wan Sam-kong tiba-tiba.

“Tuan ingin memberi petunjuk apa lagi?” tanya si baju ungu sambil menoleh.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong berkata, “Sudah berpuluh tahun aku berjudi dan menjelajah seluruh dunia, kecuali si tua raja boleh dikatakan pernah kuhadapi lawan macam apapun. Tapi cara bertaruh sedemikian menyenangkan, sungguh tak pernah kulihat meski setan judi seperti diriku ini.”

“Terima kasih,” kata si nyonya baju ungu dengan tersenyum.

“Penjudi seperti nona sungguh jarang ada di dunia ini kalau tidak boleh dikatakan sukar dicari,” kata Han-wan Sam-kong pula. “Seorang setan judi kalau ketemu lawan seperti nona dan dilepaskan begitu saja, maka berdosalah setan judi itu dan dia pasti akan masuk neraka.”

“Memangnya kau masih ingin bertaruh dengan kami?” tanya si nyonya baju ungu.

“Masa nona-nona tidak ingin memulihkan modal?” tanya Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

Si nyonya baju ungu tertawa, ucapnya, “Cuma sayang modal kami sudah ludes, biarlah lain hari kita taruhan lagi.”

Tiba-tiba Han-wan Sam-kong berkata pula, “Menurut peraturan kasino, pertaruhan harus dilakukan dengan kontan dan tiada utang-piutang. Tapi terhadap langganan sebagai nona tentu dapat dikecualikan.”

Mendadak ia menggebrak meja dan menambahkan, “Silakan pasang saja, betapa banyak nona ingin bertaruh, sebutkan saja jumlahnya dan jadilah.”

Si nyonya baju ungu melirik sekejap kepada kedua saudaranya, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Masa engkau mempercayai kami?”

“Asalkan nona masih mau bertaruh, apa yang mesti kukhawatirkan lagi, mustahil kalian akan anglap uangku?” ujar Han-wan Sam-kong tertawa.

Nyonya baju ungu itu berpikir sejenak, lalu ketiga orang saling mengedip, akhirnya mereka putar balik dan mendekati meja judi pula.

Diam-diam To Kiau-kiau membisik Pek Khay-sim, “Sejak tadi sudah kuduga Ok-tu-kui pasti takkan melepaskan mereka.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes