Wednesday, May 12, 2010

bgp4_part2

“Ya,” kata So Ing.

“Tapi mengapa mereka bertekad ingin Hoa Bu-koat yang membunuh diriku? Jika mereka mau turun tangan sendiri, sampai kini entah sudah berapa kali aku dibunuh oleh mereka.”

“Tadinya mereka mengira kau pasti akan benci kepada Hoa Bu-koat, andaikan kau tak dapat menuntut balas pada mereka pasti juga akan mencari Hoa Bu-koat sebagai ganti mereka. Tapi kenyataannya tidak demikian, engkau cukup berlapang dada dan berpikiran terbuka, kau anggap permusuhan orang tua tiada sangkut-pautnya dengan angkatan yang lebih muda, maka mereka terpaksa memaksa Hoa Bu-koat membunuhmu.”

“Betul, memang begitu maksud tujuan mereka. Tapi mengapa mereka berkeras membikin aku saling bermusuhan dengan Hoa Bu-koat? Yang paling aneh adalah mereka tidak melulu menghendaki aku dibunuh oleh Hoa Bu-koat, sebaliknya kalau aku membunuh Bu-koat mereka juga akan sama puasnya. Apakah kau dapat menyelami sebab musababnya?”

So Ing berpikir cukup lama, katanya kemudian, “Menurut pendapatku, antara kau dan Hoa Bu-koat pasti ada hubungan yang sangat rumit.”

Terbeliak mata Siau-hi-ji, katanya pula sambil berkerut kening, “Tapi antara diriku dan Hoa Bu-koat jelas tiada sangkut-paut apa-apa. Begitu aku dilahirkan segera paman Yan membawaku ke Ok-jin-kok, pada hakikatnya aku tidak mempunyai sanak keluarga di dunia ini.” Dia pegang tangan So Ing dan berkata dengan suara parau, “Kutahu engkau adalah orang mahapintar, sebagai penonton akan lebih jelas memecahkan persoalannya, dapatkah engkau memikirkan apa hubunganku dengan Hoa Bu-koat.”

So Ing menghela napas, ucapnya dengan suara lembut, “Segala apa, pada suatu hari akhirnya pasti akan menjadi jelas, mengapa engkau mesti gelisah sekarang.”

“Gelisah sekarang saja rasanya sudah terlamhat,” ujar Siau-hi-ji sambil menyengir. Dia lepaskan tangan So Ing dan berbaring di lantai, kembali ia termenung-menung memikirkan soal rumit itu.

Sunyi senyap, tiada bedanya antara ruangan gua ini dengan kuburan. Cahaya lampu yang menyorot lembut dari celah-celah dinding sana menyinari wajah Siau-hi-ji.

Sebenarnya ini adalah sebuah wajah yang cerah, angkuh, keras dan penuh gairah, tapi tampaknya kini wajah ini sangat letih, lesu dan guram.

Termangu-mangu So Ing memandangi muka Siau-hi-ji, terpantul sedikit demi sedikit kilau air mata di kelopak matanya.

Entahlah sudah selang berapa lama, tiba-tiba terdengar Siau-hi-ji bergumam, “So Ing, kau tahu aku tidak takut mati, tapi bila aku diharuskan mati konyol begini tanpa tahu sebab musababnya betapa pun aku tidak rela ... tidak rela ....”

So Ing mengusap matanya dan berkata pula dengan suara lembut, “Kau takkan mati, asalkan kau ....”

Mendadak Siau-hi-ji melonjak bangun dan berseru, “He, apakah masih ada jalan keluar?”

“Kutahu sudah lama Gui Bu-geh bermaksud menjadikan tempat ini sebagai makamnya bilamana ia meninggal, sebab itulah pada setiap pintu telah ditambahi sepotong balok batu raksasa, asalkan dia sentuh pesawat rahasianya, pasir lantas mengalir keluar, balok batu lantas anjlok, maka siapa pun tidak lagi mampu membukanya. Cara membangun tempat ini mirip cara membangun makam para maharaja di jaman purbakala, namun ….”

Sebenarnya Siau-hi-ji sudah berbaring pula, demi mendengar “namun” ini, seketika semangatnnya terbangkit pula, kembali ia melonjak bangun dan memegang tangan si nona serta bertanya, “Namun bagaimana?”

“Bilamana pintu tempat ini benar-benar sudah buntu, seharusnya seluruh gua ini akan sama seperti kuburan yang tidak tembus hawa lagi, namun sekarang ... sekarang sama sekali tiada terasa sumpeknya hawa, makanya kupikir ....”

“Makanya kau pikir Gui Bu-geh pasti merahasiakan suatu jalan keluar, begitu bukan?” tukas Siau-hi-ji.

“Ya, sebab kalau seluruh jalan keluarnya sudah buntu, tentu sinar lampu ini pun akan padam. Setahuku, tempat yang tidak tembus hawa tak mungkin dapat menyalakan api.”

Siau-hi-ji memukul telapak tangan sendiri dengan sebelah tinjunya, katanya, “Betul, asalkan dia masih mempunyai jalan keluar, tentu aku ada akal akan menyuruhnya mengaku.”

Tiba-tiba So Ing berkata dengan tertawa, “Bukankah kau tidak mau keluar lagi dari sini?”

Siau-hi-ji mencibir, ucapnya, “Aku sengaja menggoda kedua Kiongcu yang angkuh itu, sebelum rahasia pribadiku kupecahkan dengan jelas, bukan saja aku tidak rela mati, bahkan aku pun tidak rela mereka mati.”

Di tengah putus asa tiba-tiba timbul secercah sinar harapan, seketika semangat mereka terbangkit. Segera Siau-hi-ji pegang tangan So Ing dan berkata, “Sekarang langkah kita yang pertama ialah menemukan Gui Bu-geh.”

“Untuk ini tidak sulit, semua pesawat rahasia di sini cukup kupahami,” kata So Ing.

Baru saja mereka hendak melangkah ke depan, tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas panjang di belakang mereka, seorang berkata dengan gegetun, “Kalian tidak perlu cari lagi, aku sudah berada di sini!”

Altar batu yang semula tertaruh kursi kemala hijau itu kini mendadak bergeser dan terbukalah sebuah lubang, sambil mendorong keretanya perlahan-lahan Gui Bu-geh meluncur keluar.

Sambil menghela napas gegetun Gui Bu-geh juga bergumam, “Sudah belasan tahun kupelihara dia, akhirnya aku tak dapat menandingi seorang anak muda yang baru dikenalnya, pantas orang suka bilang, anak perempuan condong keluar, lebih baik punya piaraan anjing daripada piara anak perempuan.”

Tanpa terasa So Ing menunduk, ucapnya dengan suara lirih, “Aku ....”

Mendadak Gui Bu-geh tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Kau tidak perlu menjelaskan lagi, sekalipun kau bantu dia membunuhku juga aku tidak menyalahkan kau. Anak muda seperti dia ini, jika aku menjadi anak perempuan juga pasti akan minggat bersama dia.”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Haha, meski kau ini jahat, paling tidak pandanganmu cukup tajam dan dapat membedakan antara yang baik dan busuk.”

Gui Bu-geh terkekeh-kekeh, ucapnya, “Tidak perlu kau menjilat pantatku, biarpun kau putar lidah bagaimana pun juga aku tidak mampu mengeluarkan kau dari sini. Meski di tempat ini ada tiga lapis pintu, namun ketiga lapis ini sama-sama dikendalikan oleh suatu alat pesawat, bahkan cuma dapat digunakan satu kali saja, begitu balok batu sudah anjlok, pada saat itu pula aku sendiri pun sudah siap untuk mati di sini.” Dia pandang So Ing dan berkata pula dengan tertawa, “Jika kau tahu waktu kubangun tempat ini sudah siap mengubur diriku sendiri di sini, caraku membangun tempat ini serupa bangunan makam maharaja di jaman kuno, mengapa pula kau masih mengira di tempat ini ada jalan keluar lagi?”

So Ing melenggong sejenak, akhirnya ia menunduk dengan muram.

“Tapi di sini masih ada tempat yang tembus hawa, bukan?” seru Siau-hi-ji.

“Betul, apakah kau kira tempat ini memerlukan pintu yang tembus hawa?” Gui Bu-geh mengebaskan tangannya, lalu menyambung. “Tempat seluas ini dengan penghuni sebanyak ini, jika cuma mengandalkan tiga lapis pintu sebagai lubang hawa, bukankah sudah lama kami mati sesak di sini? Hehe, tampaknya kau sangat pintar, tapi yang kau pahami ternyata tidak terlalu banyak.”

Siau-hi-ji menjengek, “Aku kan bukan tikus dan tak pernah bertempat tinggal di liang tikus, dari mana kutahu kawanan tikus menggunakan apa sebagai lubang hawa?”

Padahal sekali-kali bukan Siau-hi-ji tidak paham, hanya saja dalam keadaan kepepet, asalkan ada setitik harapan, tentu takkan disia-siakan olehnya, makanya ia pura-pura tidak tahu.

Dengan tertawa terkekeh-kekeh Gui Bu-geh berkata pula, “Kutahu dalam hatimu sekarang tentu lagi berdaya upaya agar aku mau mengatakan di mana letak lubang hawa itu. Untuk ini dapat kukatakan padamu, tidak perlu lagi kau peras otak, sebab tiada gunanya.”

“Sebab apa?” tanya Siau-hi-ji sambil melotot.

“Sebab waktu kubikin lubang-lubang hawa itu justru sudah kupikirkan kemungkinan kawanan tikus akan lari keluar melalui lubang hawa ini,” setelah bergelak tertawa, lalu Gui Bu-geh menyambung, “Kalau saja tikus tidak mampu menyusup keluar, lalu manusia sebesar kau masa dapat menerobos keluar?”

Siau-hi-ji tidak menanggapi, ia termenung sejenak, tiba-tiba bertanya pula, “Mengapa kau tidak menyumbat sekalian lubang hawa itu?”

“Untuk apa kusumbat?”

“Memangnya kau khawatir kita mati terlalu cepat?”

“Tepat,” seru Gui Bu-geh sambil terkekeh-kekeh. “Dengan susah payah baru berhasil kupancing kalian ke sini, mana boleh kalian mati begitu saja di sini? Dengan sendirinya kalian tidak boleh mati terlalu cepat. Kalian harus mati secara perlahan-lahan, dengan demikian barulah dapat kusaksikan perbuatan konyol kalian pada waktu mendekati ajal, kutanggung di dunia ini pasti tiada tontonan yang lebih menarik daripada ini.”

Agaknya semakin dipikir semakin geli sehingga Gui Bu-geh tertawa terpingkal-pingkal.

Siau-hi-ji tertawa juga, katanya, “Ingin kutanya padamu, perbuatan konyol apa yang akan kami lakukan menurut perkiraanmu?”

Gemerdep sinar mata Gui Bu-geh, tuturnya dengan tertawa, “Tentunya kau tahu, selamanya kakak beradik Ih-hoa-kiongcu itu tidak mau duduk, tempat apa pun bagi mereka terasa kotor, tapi aku berani garansi, tidak lebih daripada tiga hari mereka pasti akan rebah di ranjang yang pernah ditiduri lelaki busuk bagi pandangan mereka, biasanya mereka tidak suka makan barang sembarangan, tapi beberapa hari lagi, biarpun seekor tikus mati juga akan mereka ganyang mentah-mentah, bisa jadi kalian berdua juga akan disembelih oleh mereka untuk dimakan. Nah, kau percaya tidak?”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Jika aku benar-benar dimakan mereka, wah, bagus juga, aku lebih suka terkubur di dalam perut mereka. Hahaha!”

Meski dia bergelak tertawa, tapi diam-diam ia merinding juga, sebab ia tahu apa yang dikatakan Gui Bu-geh memang bukan tidak mungkin sama sekali.

Betapa pun bajik dan anggunnya seseorang, apabila dia sudah kelaparan, maka perbuatan kotor dan rendah apa pun dapat dilakukannya, dalam keadaan begitu antara manusia dan hewan mungkin sudah tiada bedanya.

Maka terdengar Gui Bu-geh berkata pula dengan tertawa, “Ada lagi, kutahu kalian berempat sama-sama masih suci bersih, masih perawan dari jejaka tulen, belum ada yang pernah menikmati benar-benar kebahagiaan orang hidup. Nanti kalau kalian sudah dekat ajal, bisa jadi kalian akan berubah pikiran dan menganggap kematian kalian ini sia-sia belaka, bukan mustahil lantas timbul pikiran ingin mencicipi rasanya orang berbuat begituan.”

Sorot matanya penuh memancarkan rasa porno, otaknya seolah-olah sedang membayangkan kejadian begituan, badannya sampai bergeliat-geliat, sambil tertawa ia menyambung pula, “Nah, tiba saatnya begitu, mungkin kau anak muda ini akan menjadi barang perebutan mereka.”

Meski muka So Ing menjadi merah, tapi keringat dingin pun mengucur keluar mengingat apa yang dikatakan Gui Bu-geh itu memang bisa terjadi.

Tapi Siau-hi-ji lantas mengejek, “Hm, kau sendiri mengapa tidak suka menikmati rasa begituan? Memangnya kau sudah tidak sanggup lagi?”

Seketika lenyap suara tertawa Gui Bu-geh, sekujur badannya lantas menggigil.

Sambil menatap kedua kaki orang yang melingkar itu, Siau-hi-ji menjengek pula, “Hm, kiranya kau memang tidak mampu lagi, makanya kau berubah menjadi gila begini. Tadinya aku sangat benci padamu, tapi sekarang aku menjadi rada kasihan padamu.”

Mendadak Gui Bu-geh meraung murka terus menubruk ke arah Siau-hi-ji.

Laksana segumpal daging saja mendadak dia melejit ke atas seakan-akan hendak menumbuk Siau-hi-ji dengan tubuhnya. Tapi ketika Siau-hi-ji berkelit sambil menangkis, tahu-tahu gumpalan daging ini tumbuh keluar dua belati, kedua tangannya secepat kilat menusuk tenggorokan dan kedua mata anak muda itu.

Cepat Siau-hi-ji berputar, kedua telapak tangannya balas memotong.

Tak terduga tubuh Gui Bu-geh mendadak bertambah pula sebilah pedang pandak terus menyayat pergelangan tangan Siau-hi-ji.

Kiranya setiap jari Gui Bu-geh tumbuh kuku yang panjangnya belasan senti, biasanya kuku panjang melingkar di telapak tangan, bilamana bertempur, dengan tenaga dalam yang kuat, kuku panjang itu lantas dijulurkan dan digunakan sebagai senjata.

Di bawah sinar lampu kelihatan kesepuluh kukunya gemerlap kehitam-hitaman, jelas kuku beracun, asalkan kulit daging Siau-hi-ji tergores lecet saja pasti sukar tertolong lagi.

Sekali tubrukan Gui Bu-geh itu ternyata mengandung tenaga gerakan ikutan, setiap gerak perubahan juga di luar dugaan lawan, sungguh serangan aneh dan keji, sungguh sukar dicari bandingannya.

Saking terkejut hampir saja So Ing menjerit.

Dilihatnya Siau-hi-ji sempat menjatuhkan diri ke lantai dan menggelinding jauh ke sana, caranya mematahkan serangan Gui Bu-geh ini pun bukan gerakan ilmu silat sejati, hanya ikhtiar Siau-hi-ji sendiri bilamana menghadapi bahaya.

“Ikhtiar cepat menurut keadaan”, inilah letak ciri khas Siau-hi-ji yang mahalihai.

Dilihatnya Gui Bu-geh telah mengerahkan segenap tenaga murninya, sekalipun kepandaiannya berlipat lebih tinggi lagi juga tidak mungkin ganti napas di udara seperti burung terbang saja. Sebab itulah begitu dia hinggap di atas tanah, Siau-hi-ji segera dapat mendahuluinya, soalnya anak muda itu sekarang sudah tahu di mana letak kelemahan lawan, yaitu pada kedua kakinya yang cacat.

Siapa duga, sekali putar tubuh di atas, tahu-tahu Gui Bu-geh jatuh kembali di atas kursinya yang beroda itu. Baru saja Siau-hi-ji hendak menubruk maju, sekonyong-konyong kereta itu berputar cepat mengitarinya.

Dalam sekejap Siau-hi-ji merasa di muka, di belakang, kanan dan kiri, seluruhnya cuma bayangan Gui Bu-geh melulu, betapa cepatnya Gui Bu-geh mengemudikan kursinya sungguh jauh lebih lihai daripada Pat-kwa-yu-sin-ciang (pukulan menurut peta Pat-kwa) yang termasyhur itu.

Kereta beroda itu memang dibuat dengan sangat bagus, sepanjang tahun Gui Bu-geh duduk di atas kursinya ini sehingga kereta dan orangnya seakan-akan sudah terlebur menjadi satu, dia dapat mengemudikannya dengan sesuka hati.

Seketika Siau-hi-ji merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, hampir saja ia roboh sendiri tanpa diserang oleh Gui Bu-geh.

Terdengar suara tertawa Gui Bu-geh yang terkekeh-kekeh itu berkumandang dari berbagai penjuru membuat merinding orang yang mendengarnya, sehingga sukar bagi Siau-hi-ji untuk membedakan di mana letak pihak musuh.

Mendadak Siau-hi-ji bersiul panjang terus meloncat tinggi ke atas. Gerakan ini adalah ilmu sakti Kun-lun-pay, namanya “Hwi-liong-pat-sik” atau delapan gerakan naga terbang.

Supaya maklum, meski ilmu silat Siau-hi-ji belum dapat disejajarkan dengan tokoh ilmu silat kelas top, tapi betapa banyak ragam ilmu silat yang dipelajarinya dan betapa luas pengalamannya kini sukar lagi ditandingi oleh siapa pun juga.

Serangan Gui Bu-geh yang luar biasa ini memang cuma Hwi-liong-pat-sik saja yang dapat mematahkannya, selain itu, sekalipun tokoh utama Siau-lim-pay sekarang juga sukar lolos dari ilmu sakti “roda terbang” Gui Bu-geh ini. Akan tetapi Siau-hi-ji justru sudah berhasil meyakinkan Hwi-liong-pat-sik dan tepat dapat mematahkan ilmu sakti kebanggaan Gui Bu-geh ini.

Sudah tentu Gui Bu-geh tidak tinggal diam, begitu Siau-hi-ji meloncat ke atas, segera ia pun mengapung ke atas dan memapaknya, kesepuluh kuku beracun yang gemerlap itu kembali menusuk tenggorokan anak muda itu.

Gui Bu-geh seperti telah berubah menjadi bayangan Siau-hi-ji, ke mana pun perginya Siau-hi-ji selalu dibayanginya, ingin ganti jurus serangan juga tidak sempat lagi bagi anak muda itu. Dalam keadaan kepepet, terpaksa ia menggunakan ilmu Siau-lim-pay yang terkenal, yaitu Jian-kin-tui, ilmu membikin tubuh menjadi seberat ribuan kati.

Padahal sewaktu tubuh sedang meloncat ke atas secara mendadak, hendak menahan dan menurunkannya pula jelas bukan pekerjaan yang mudah. Tapi pada detik yang sukar dibayangkan itulah Siau-hi-ji justru dapat anjlok ke bawah.

Tak tahunya baru saja tubuhnya menyentuh tanah, terdengar suara mendesing kencang tiga kali, tiga larik sinar hitam tahu-tahu menyambar dari tiga arah yang berbeda.

Gui Bu-geh jelas-jelas masih mengapung di atas, siapakah yang menyambitkan senjata rahasia ini?

Kiranya meski tubuh Gui Bu-geh terbang ke atas, namun keretanya masih terus berputar dan ketiga larik sinar hitam itu justru terpancar keluar dari kursi beroda itu.

Gui Bu-geh satu telah berubah menjadi dua.

Serangan ini sungguh di luar dugaan Siau-hi-ji, kalau tokoh silat lain, sekalipun jago kelas satu aliran mana pun, di bawah serangan aneh ini mustahil kalau jiwanya tidak melayang di bawah ketiga panah hitam ini.

Namun Siau-hi-ji justru telah mahir “Bu-kut-yu-kang”, ilmu lemaskan badan tak bertulang, ilmu yang berasal dari negeri Thian-tiok (India) yang dibawa masuk ke Tiongkok oleh kaum Lama, ilmu itu lebih terkenal dengan nama Yoga.

Tertampak tubuh Siau-hi-ji mendadak menekuk dan menggeliat, ruas tulang seluruh tubuhnya seolah-olah terpisah-pisah, tiga larik sinar hitam itu pun menyerempet lewat bajunya pada detik menentukan itu.

Seperti diketahui, akhir-akhir ini Siau-hi-ji telah berhasil menyelami ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka yang diperolehnya di istana bawah tanah ketika dia dan Kang Giok-long dikurung oleh Siau Mi-mi dahulu, intisari ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka itu meliputi hasil ciptaan berbagai tokoh ilmu silat dari berbagai penjuru dunia ini. Dengan sendirinya ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu pun beraneka ragamnya.

Cuma sayang, lawan yang dihadapi Siau-hi-ji ialah Gui Bu-geh, ilmu silat Gui Bu-geh sungguh luar biasa anehnya dan sukar dibayangkan orang, sampai kursi beroda yang ditumpanginya pun berubah menjadi lawan yang mahalihai. Maka tidak sampai tiga puluh jurus mulailah Siau-hi-ji kewalahan.

So Ing menjadi khawatir dan berteriak, “Apa pun juga dia toh akan mati di sini, mengapa kau menyerangnya cara begini?”

Gui Bu-geh menjengek, “Hm, aku tidak ingin mencabut nyawanya, aku cuma ingin memotong lidahnya agar selanjutnya dia tidak dapat mengoceh pula. Lalu akan kupatahkan kedua kakinya agar dia berjalan dengan merangkak.”

“Sekalipun merangkak dengan tangan juga ada sesuatu kemampuanku yang jauh lebih kuat daripadamu,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tentu saja Gui Bu-geh bertambah murka, dampratnya, “Anak jadah, aku akan membikin ....” belum habis ucapnya, mendadak Siau-hi-ji melangkah miring ke samping, dengan enteng kedua telapak tangannya lantas menghantam.

Pukulan ini tampaknya tiada sesuatu yang istimewa, tapi aneh, entah mengapa, hampir saja Gui Bu-geh tidak dapat menghindar, sama sekali tak terpikir olehnya dari mana Siau-hi-ji dapat mempelajari jurus serangan lihai ini. Yang lebih sukar dimengerti ialah gaya serangan Siau-hi-ji serentak berubah, setiap jurus serangan terasa enteng tak menentu, seakan-akan tidak bertenaga sedikit pun. Namun setiap serangan selalu mengarah titik kelemahan Gui Bu-geh.

Sebenarnya So Ing lagi khawatir setengah mati, sekarang wajahnya dapat menampilkan gembira.

Kiranya pada saat berbahaya tadi, tiba-tiba Siau-hi-ji melihat kedua Ih-hoa-kiongcu sedang bergebrak sendiri di tempat kejauhan. Gerak serangan yang mereka lancarkan itu yang satu menyerang dan lain bertahan, yang satu positif, yang lain negatif, setiap gerakan mereka dilakukan dengan sangat lambat seakan-akan khawatir orang lain tidak dapat mengikutinya dengan jelas.

Melihat itu, biarpun Siau-hi-ji lebih goblok lagi juga tahu kedua Ih-hoa-kiongcu sedang mengajarkan ilmu silat padanya. Dalam keadaan demikian umpama dia ingin menolak juga tidak dapat lagi. Segera ia menirukan gaya serangan Kiau-goat tadi dan dihantamkan ke arah Gui Bu-geh. Benar saja, Gui Bu-geh terkejut. Waktu Gui Bu-geh balas menyerang, Siau-hi-ji lantas gunakan gerakan Lian-sing Kiongcu untuk mematahkannya.

Meski gerak serangan ini tampaknya sederhana dan tidak punya daya serang yang keras, tapi entah mengapa, sesudah belasan jurus, dengan mudah Siau-hi-ji berubah di atas angin.

Baru sekarang Siau-hi-ji merasakan betapa mukjizatnya ilmu silat Ih-hoa-kiong, gerak serangan yang tampaknya sederhana ini ternyata setiap jurusnya merupakan gerak serangan mematikan bagi Gui Bu-geh.

Meski Ih-hoa-kiongcu tidak bergebrak langsung dengan Gui Bu-geh, tapi setiap kelemahan silat Gui Bu-geh seakan-akan sudah diketahuinya jauh lebih jelas daripada Gui Bu-geh sendiri.

Padahal sama sekali Ih-hoa-kiongcu tidak memandang Gui Bu-geh, namun setiap kali sebelum Gui Bu-geh melancarkan serangan, tipu serangan apa yang akan digunakan seakan-akan sudah diketahui lebih dulu oleh mereka.

Ketika Gui Bu-geh mengetahui duduk perkaranya, sementara itu ia sudah terdesak oleh Siau-hi-ji hingga kelabakan, ingin berganti napas pun sulit. Sungguh ia tidak habis mengerti mengapa jurus serangannya sendiri yang mahalihai ini bisa dipatahkan oleh gerakan yang hambar dan begitu sederhana.

Ia tidak tahu bahwa tipu serangan Ih-hoa-kiongcu itu sesungguhnya telah menghimpun intisari berbagai tipu ilmu silat yang paling ruwet dan telah dileburnya menjadi satu. Maka setelah 30 jurus pula, kini Gui Bu-geh berbalik terdesak di bawah angin.

Dengan tertawa Siau-hi-ji mengejek, “Haha, aku sih tidak ingin memotong lidahmu dan juga tidak hendak mematahkan kedua kakimu yang sudah tak berguna ini, aku cuma ingin mencukil kedua biji matamu agar selanjutnya kau tidak dapat melihat apa pun.”

Pada saat itulah mendadak terdengar suara “tring” yang keras dan nyaring. Suara ini seperti berkumandang dari luar gua, tapi gema suaranya menggetar seluruh gua ini.

Siau-hi-ji terkejut dan bergirang. Sedangkan kursi beroda Gui Bu-geh lantas meluncur pergi sejauh dua-tiga tombak. Tampaknya dia hendak kabur melalui jalan rahasia itu, namun sial baginya, sekali ini Ih-hoa-kiongcu sempat mencegat jalan larinya.

“Kang Siau-hi, ayo lekas turun tangan!” bentak Lian-sing Kiongcu.

Tapi Gui Bu-geh lantas berseru, “Nanti dulu, ada yang hendak kukatakan.”

“Apa pula yang hendak kau katakan?” tanya Lian-sing Kiongcu.

“Suara yang terdengar barusan, jangan-jangan ada orang yang mengetahui kalian terkurung di sini?” kata Gui Bu-geh.

Dalam pada itu suara “tang-ting” di luar masih terus berkumandang masuk, tertampak sinar mata Lian-sing Kiongcu mengunjuk kegirangan, namun di mulut ia menjawab dengan acuk tak acuh, “Ya, kukira begitu.”

“Makanya kalian mengira bakal tertolong, bukan?” tanya Gui Bu-geh pula.

“Memangnya kau kira kami benar-benar akan mati di tanganmu?” jengek Lian-sing Kiongcu.

“Kau kira dari dalam sini sulit membobol pintu batu, sedangkan dari luar tentu cukup banyak alat penggali dan kalian pasti dapat tertolong keluar, makanya kalau sekarang kalian membunuh diriku juga bukan soal lagi, begitu bukan?”

“Jika kau dapat menggali gua di bawah ini, mengapa orang lain tidak dapat?”

“Haha, memang betul,” jawab Bu-geh. “Tempat Ini memang digali dengan tenaga manusia, tapi apakah kau tahu berapa banyak tenaga dan betapa lama waktu yang kukorbankan?” Setelah terbahak-bahak pula ia menyambung lagi, “Memangnya kalian mengira aku tidak tahu ada seorang kawanmu yang telah masuk ke sini lalu keluar pula?”

Lian-sing Kiongcu berkerut kening, ucapnya kemudian, “Mau apa seumpama kau tahu?”

“Kalau dia tahu kalian terkurung di dalam perut gunung ini dan melihat jalan keluarnya tersumbat buntu, dengan sendirinya dia akan berusaha menolong kalian. Jika kutahu hal ini, seharusnya kututup sekalian lubang hawa agar kalian mati lebih cepat, akan tetapi sedikit pun aku tidak terburu-buru. Nah, apakah kalian tidak paham sebab musababnya?”

“Memangnya kau kira anak murid Ih-hoa-kiong tidak mampu membobol pintu batu segala?” jengek Lian-sing Kiongcu.

“Sudah tentu mampu, tetapi untuk itu sedikitnya diperlukan waktu dua-tiga hari,” ujar Gui Bu-geh.

“Kalau dua-tiga hari lantas bagaimana, masa kami tak dapat menunggu?”

“Tentu saja kalian dapat menunggu, namun dari luar sampai ke sini, seluruhnya ada 13 pintu batu, sekalipun seratus tenaga dikerahkan juga memerlukan waktu paling sedikit sebulan baru sampai di sini.”

“Sebulan?” Lian-sing menegas dengan rada cemas.

“Kubilang paling sedikit satu bulan, bisa jadi lebih,” kata Bu-geh dengan tenang.

Lian-sing Kiongcu memandang sekejap sang kakak, air muka kedua orang sama berubah.

Gui Bu-geh berkata pula, “Di sini tiada makanan dan juga tiada air minum, biarpun kalian mempunyai kepandaian setinggi langit paling-paling cuma juga dapat bertahan selama sepuluh hari, bilamana orang-orang di luar dapat menggali hingga sampai di sini, tatkala mana mungkin kalian sudah berwujud seonggokan jerangkong.”

Mendadak Siau-hi-ji berteriak, “Jika begitu, lebih-lebih kami harus membunuh kau saja.”

“Betul, setelah membunuhku, tentu kekonyolan kalian tidak akan terlihat olehku, namun ....”

“Namun apa?” tanya Siau-hi-ji.

Gui Bu-geh tersenyum hambar, jawabnya, “Bila kalian membunuhku sekarang, apakah kalian tidak merasa sayang.”

“Sayang?” Siau-hi-ji menegas. “Bagiku, sekalipun kucacah kau dan kuberikan makan kepada anjing juga tidak perlu merasa sayang.”

Sama sekali Gui Bu-geh tidak marah, ia tetap tenang, katanya dengan tertawa, “Coba kalian ikut pergi bersamaku untuk melihat beberapa macam barang.”

“Melihat apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Jika sudah tiba di sana tentu kalian akan tahu sendiri,” kata Bu-geh.

Siau-hi-ji memandang sekejap pada Ih-hoa-kiongcu, lalu berkata, “Baik, aku ikut pergi, rasanya aku pun tidak takut bila kau ingin main gila.”

“Hehe, di depan Ih-hoa-kiongcu serta orang pintar nomor satu di dunia, permainan gila apa yang dapat kulakonkan?” ejek Gui Bu-geh.

Segera ia mendorong kursinya dan meluncur masuk ke lorong bawah tanah sana. Kakak beradik Ih-hoa-kiongcu lantas membayanginya dengan ketat.

Siau-hi-ji memandang So Ing sekejap, tanyanya, “Apakah di bawah gua ini masih ada ruangan lain lagi?”

So Ing mengangguk.

“Memangnya di bawah sana ada apa?” tanya Siau-hi-ji pula.

So Ing menghela napas perlahan, katanya, “Aku pun tidak tahu, sebab selama ini tak pernah kuturun ke bawah sana.”

Siau-hi-ji menjadi rada heran dan waswas, katanya, “Kau pun tidak pernah turun ke bawah sana?”

“Ya, tampaknya dia sangat merahasiakan ruang di bawah tanah ini serta merupakan tempat yang sangat penting, kecuali dia sendiri, siapa pun dilarang masuk. Pernah dua anak muridnya ingin mengintip apa yang dilakukannya di bawah sana, akibatnya mereka dijatuhi hukuman mati dicincang.”

“Perbuatan rahasia apa yang dilakukan di bawah sana, mengapa tidak boleh dilihat orang lain?” ucap Siau-hi-ji sambil berkerut kening.

“Siapa pun tidak tahu apa yang diperbuatnya di bawah, hanya pernah terdengar semacam suara yang aneh,” tutur So Ing.

“O, suara aneh? Suara apa itu?”

“Asalkan dia sudah turun ke bawah, segera terdengar suara nyaring ‘trang-tring’ berturut-turut, terkadang suara itu berlangsung beberapa hari dan beberapa malam tanpa berhenti.”

Terbeliak mata Siau-hi-ji, katanya, “Suara trang-ting-trang-ting, apakah suara batu tergores oleh benda keras?”

“Ya, seperti begitulah,” jawab So Ing.

“Hah, jangan-jangan dia sedang menggali terowongan di bawah sana,” kata Siau-hi-ji dengan girang.

Sementara itu Gui Bu-geh sudah meluncur masuk ke balik sebuah pintu batu yang sempit, Siau-hi-ji menjadi sangsi jangan-jangan pintu inilah jalan keluar rahasia yang masih ditinggalkan oleh Gui Bu-geh. Cepat ia memburu ke sana dan ikut masuk.

Tapi ia menjadi kecewa setelah berada di dalam, di balik pintu sempit ini hanya sebuah ruangan batu segi enam dan tiada terdapat pintu lagi. Ruangan ini lebih guram daripada tempat lain, samar-samar Siau-hi-ji melihat di tengah ruangan ada peti mati yang sangat besar, ada pula patung batu yang tak terhitung banyaknya.

Terdengar Gui Bu-geh berkata, “Sekarang kalian tentunya mau percaya bahwa aku memang sudah siap untuk mati di sini. Nah, peti mati batu hijau ini adalah liang kuburku yang telah kusediakan.”

“Lalu patung-patung ini apa artinya?” tanya Siau-hi-ji.

Gui Bu-geh tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Inilah hasil karyaku yang cermat, hasil kerja seorang seniman sejati. Biar kunyalakan lampu agar kalian dapat melihat lebih jelas.”

Dalam tertawanya ternyata mengandung rasa kegaiban yang sukar diterangkan. Demi mendengar suara tertawanya, Siau-hi-ji lantas tahu pasti ada sesuatu yang aneh pada patung-patung ini.

Sementara itu Gui Bu-geh telah meluncur ke pojok sana, ia mengeluarkan geretan api dan menyala belasan lampu minyak yang terselip di sekeliling dinding.

Waktu lampu keempat baru menyala, terkesimalah Siau-hi-ji.

Dilihatnya patung-patung itu semuanya terukir menyerupai kakak beradik Ih-hoa-kiongcu serta Gui Bu-geh sendiri, malahan besarnya hampir sama dengan manusia asli, setiap kelompok terdiri dari tiga patung dengan gaya yang berbeda-beda.

Kelompok pertama menggambarkan kakak beradik Ih-hoa-kiongcu bertekuk lutut di tanah sambil menarik ujung baju Gui Bu-geh, yakni seperti layaknya kalau orang sedang memohon ampun dengan sangat.

Kelompok kedua menggambarkan Gui Bu-geh sedang melecuti Ih-hoa-kiongcu dengan cambuk, bukan saja air muka Ih-hoa-kiongcu kelihatan sangat menderita seakan-akan orang hidup, bahkan cambuknya juga seperti cambuk asli.

Kelompok ketiga menggambarkan Ih-hoa-kiongcu kakak beradik merangkak di tanah dan kaki Gui Bu-geh menginjak punggung mereka, sebelah tangannya memegang cawan dengan gaya sedang menenggak arak. Begitulah makin lanjut makin tidak senonoh ukiran patung-patung itu, namun ukirannya justru sedemikian indah dan hidup. Di bawah cahaya lampu yang cukup terang tampaknya seperti sejumlah Ih-hoa-kiongcu sedang dilecuti dan disiksa oleh Gui Bu-geh dan lagi menjerit, meronta, meminta ampun.

Baru sekarang Siau-hi-ji tahu sebabnya Gui Bu-geh sembunyi di ruang bawah tanah ini, kiranya untuk mengukir patung ini, pantas terkadang selama beberapa hari dan beberapa malam ia bekerja tanpa berhenti, rupanya dia sedang mencari pelampiasan, hanya dengan cara demikian barulah nafsu berahinya mencapai kepuasan.

Akan tetapi patung-patung ini sungguh terukir sangat indah, benar-benar karya seni pahat yang bernilai tinggi.

Mau tak mau Siau-hi-ji menghela napas gegetun, gumamnya, “Tak tersangka si gila ini memiliki bakat seni sebesar ini.”

Sebaliknya kakak beradik Ih-hoa-kiongcu sampai gemetar saking gemasnya, mendadak mereka menubruk maju, sebuah patung diangkat terus dibanting hingga hancur lebur.

“Sayang, sungguh sayang,” kembali Siau-hi-ji menghela napas menyesal, “Jika patung-patung ini disimpan dengan baik, kelak pasti sukar dinilai harganya dan menjadi barang seni antik yang abadi.”

Patung-patung batu yang keras itu berada di tangan Ih-hoa-kiongcu ternyata tidak lebih daripada orang-orangan buatan kertas. Maka dalam sekejap saja hasil karya yang tiada ternilai itu berubah menjadi bubuk batu.

Sebaliknya Gui Bu-geh hanya duduk tenang-tenang saja di kursinya tanpa bergerak sedikit pun.

Akhirnya Lian-sing Kiongcu menubruk ke depan Gui Bu-geh, bentaknya dengan murka, “Binatang kau, sekali ini jangan kau harap akan lolos dari tanganku.”

Di tengah bentakannya leher baju Gui Bu-geh dijambretnya dan diangkat dari kursi beroda, terus dibanting ke dinding sana.

Maka terdengarlah suara “pyar”, Gui Bu-geh terbanting hingga hancur.

Sungguh aneh, mengapa tubuh manusia yang terdiri dari darah daging bisa terbanting “hancur”?

Keruan Lian-sing Kiongcu melengak, akhirnya baru diketahui bahwa “Gui Bu-geh” ini pun ukiran batu, hanya pakaiannya saja yang tulen. Gui Bu-geh sendiri entah sudah kabur ke mana sejak tadi.

Mendadak Siau-hi-ji melonjak sambil berseru, “Celaka, sekali ini mungkin kita benar-benar bisa konyol.”

Ternyata satu-satunya pintu batu ini pun sudah tersumbat rapat, dinding sekelilingnya adalah dinding batu gunung belaka, dinding itu tidak bergerak sama sekali ketika kena bantingan patung yang dilemparkan Ih-hoa-kiongcu tadi, maka kerasnya dapatlah dibayangkan.

Namun mereka tidak rela, dengan berbagai macam cara tetap tak dapat membobol dinding batu itu dan juga tidak mampu membuka pintu batu meski cuma satu lubang saja.

Siau-hi-ji yang pertama-tama mengakhiri usahanya. Meski dia sudah hampir putus asa, tapi ia pikir akan lebih baik bila tenaganya tidak dihabiskan. Maka bersama So Ing mereka lantas duduk di lantai bersandar dinding.

“Baru sekarang aku benar-benar kagum pada Gui Bu-geh, orang ini memang benar hebat,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.

So Ing termenung sejenak, katanya kemudian, “Kalau dia sudah mengurung kita, mengapa dia memancing kita ke sini pula?”

“Cukup banyak alasannya,” ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum getir. “Pertama, setelah kita terkurung di sini, maka dia sendiri dapat bebas bergerak sesukanya, bahkan dapat makan minum sepuasnya, nanti kalau kita sudah mati kelaparan, lalu dia sendiri dapat pergi.”

“Kau kira dia tidak bertekad mati di sini?”

“Memangnya kau kira dia benar-benar akan mengiringi kematian kita di sini? Semua ini hanya tipu muslihatnya, tujuannya cuma memancing kita ke sini, apa yang diucapkan dan diperbuatnya di luar tadi hanya sandiwara belaka.”

So Ing menunduk dan menghela napas perlahan.

Sambil menyengir Siau-hi-ji berkata pula, “Sekarang kita mirip sekawanan kera yang berada di kurungan, terpaksa kita harus main baginya.”

“Kau ... kau kira dia akan mengintip?” tanya So Ing terputus-putus.

“Dia sengaja memancing kita ke kurungan ini, tujuannya justru ingin melihat bagaimana perubahan tingkah laku kita ketika mendekati ajal, sudah tentu yang diharapkannya adalah perbuatan-perbuatan tidak senonoh yang dibayangkannya.”

So Ing tidak bersuara lagi. Selang sejenak, mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa dan bergumam, “Hahaha, sebelum ajalku nanti entah bagaimana bentukku, sungguh aku sendiri pun tidak dapat membayangkannya. Ini benar-benar hal yang menarik.”

So Ing menggeser lebih dekat dengan anak muda itu, ucapnya dengan tertawa, “Kau akan berubah menjadi bentuk apa pun pasti akan tetap menyenangkan.”

Perlahan Siau-hi-ji menggigit pipi si nona, ucapnya, “Bisa jadi kau akan kucaplok, kau takut tidak?”

“Jika demikian kita berdua akan berubah menjadi satu untuk selamanya, apa yang kutakuti?” jawab So Ing dengan suara lembut.

Dengan tajam Siau-hi-ji menatap si nona, sampai lama barulah ia berkata pula dengan gegetun, “Cuma sayang engkau terlalu pintar, kalau tidak, mungkin aku bisa menyukai kau benar-benar.”

Muka So Ing menjadi merah, katanya sambil menggigit bibir, “Konon kalau perempuan sudah melahirkan anak bisa berubah menjadi rada bodoh.”

Jika dalam keadaan biasa, mendengar ucapan So Ing ini pasti Siau-hi-ji akan tertawa terbahak-bahak. Tapi sekarang ia merasakan hangat dan manisnya ucapan si nona serta mengandung semacam rasa kecut, sesungguhnya ia pun tidak jelas bagaimana rasanya, yang pasti rasa yang demikian sebelum ini tak dikenalnya.

Dalam pada itu kakak beradik Ih-hoa-kiongcu juga sudah berhenti beraksi, kedua orang itu berdiri mematung di sana, meski tampaknya masih tetap dingin dan angkuh, tapi tak dapat menutupi sorot matanya yang letih dan sedih.

Entah lewat berapa lama lagi, tiba-tiba Siau-hi-ji berdiri, ia mendekati peti mati batu hijau itu, ia angkat tutup peti mati itu dan dialingkan di bagian depan, lalu ia mengumpulkan batu patung yang hancur berserakan itu dan ditumpuk di kedua samping peti mati.

Ih-hoa-kiongcu tidak tahu maksud perbuatan anak muda itu, makin dipandang makin heran mereka. Meski mereka ingin tahu, tapi mereka harus menjaga gengsi dan berharap So Ing yang bertanya.

Namun sorot mata So Ing tampak penuh rasa mesra, dengan tersenyum ia mengikuti tingkah polah Siau-hi-ji tanpa bersuara, agaknya dia sangat jelas apa yang dikehendaki anak muda itu.

Selang sejenak pula, akhirnya Lian-sing Kiongcu tidak tahan, sementara itu dilihatnya kepingan batu telah ditumpuk oleh Siau-hi-ji hingga setinggi manusia, ia lantas tanya, “Kerja apa kau ini?”

Siau-hi-ji mengikik tawa, jawabnya, “Makan, minum, berak, kencing dan tidur adalah lima tugas rutin yang harus dilakukan oleh manusia. Meski sekarang kita tidak makan dan minum, tapi sebelum ini kita kan sudah banyak makan minum, barang-barang yang sudah masuk perut itu akhirnya toh mesti keluar. Jika kita tidak sanggup menahannya di dalam perut, dengan sendirinya juga tak dapat membiarkannya lolos keluar di celana, maka kita harus menggunakan cara ini.”

“Kau ... kau berani tidak sopan?” damprat Kiau-goat dengan gusar.

“Tidak sopan?” tukas Siau-hi-ji. “Ini adalah urusan paling sopan di dunia ini, mengapa kau bilang tidak sopan? Kalau kuberak di celana, nah, ini baru dikatakan tidak sopan.”

Saking dongkolnya hingga muka Ih-hoa-kiongcu sama merah padam dan juga tidak sanggup buka suara pula.

Dalam pada itu Siau-hi-ji telah menumpuk kepingin batu di kedua sisi peti mati itu hingga berwujud dua dinding, lalu ditambahkan tutup peti mati itu di atasnya, maka jadinya sebuah kakus yang praktis.

Sambil memandangi kakus darurat itu, Siau-hi-ji bergumam dengan tertawa, “Tempat sebagus ini, digunakan untuk raja kiranya juga memenuhi syarat. Yang hebat, selain tempatnya bagus, ukurannya juga pas, sekalipun digunakan 40 orang sekaligus juga takkan meluap.”

Dia tepuk-tepuk tangan yang kotor, lalu menyambung pula dengan tertawa, “Biasanya Cayhe suka menghormati orang tua dan menghargai orang pandai, jika kalian berdua mau pakai, boleh silakan dulu.”

Dengan muka merah kedua Ih-hoa-kiongcu membanting kaki terus berpaling ke sana.

Siau-hi-ji pandang So Ing pula, tanyanya dengan tertawa, “Dan kau bagaimana?”

“Aku ... aku sekarang be ... belum ingin,” jawab So Ing dengan jengah.

“Jika demikian, maaf aku tidak sungkan lagi,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa, ia terus menyusup ke dalam sana.

Selang sejenak barulah anak muda itu keluar sambil meraba perutnya, ucapnya dengan gegetun, “Wah, lega rasanya. Mungkin tiada urusan lain di dunia ini yang rasanya lebih lega daripada habis kerja begini.”

Lalu ia kembali duduk ke tempatnya semula, ia memejamkan mata seperti ingin tidur.

Akhirnya So Ing juga tidak tahan, perlahan-lahan ia merangkak, dan melangkah ke sana.

Tak tahunya, baru saja ia berbangkit, mendadak sebelah mata Siau-hi-ji terpentang, katanya dengan menyengir, “Sekarang kau ingin?”

“Kau ... kau telur busuk,” omel So Ing dengan muka merah.

Memang aneh, bilamana tiada orang membicarakan hal-hal demikian, maka terkadang orang menjadi lupa. Tapi bila ada orang menyinggungnya, rasanya lantas tak tahan, makin dipikir makin kebelet.

Entah sudah lewat beberapa lama pula, lambat laun wajah Lian-sing Kiongcu menjadi merah juga. Selang tak lama lagi, kedua kakinya seperti mulai gemetar.

Terdengar suara napas Siau-hi-ji yang setengah mengorok, agaknya anak muda itu sudah pulas.

Sekonyong-konyong Lian-sing Kiongcu melayang ke sana secepat angin, mungkin belum pernah dia bergerak secepat ini biarpun dia sedang bertanding dengan lawan yang paling lihai.

Mendadak Siau-hi-ji mengikik tawa, katanya, “Nah, sekarang mungkin kau takkan bilang aku tidak sopan lagi, bahkan kau akan berterima kasih padaku.”

Memang banyak urusan di dunia ini yang tidak dapat dilawan oleh manusia. Betapa pun agungnya, betapa pun angkuhnya, betapa pun keras kepalanya, terkadang juga bisa berubah sama seperti orang yang paling hina dan paling rendah, sebab urusan-urusan yang dihadapinya ini tidak pandang kepada siapa pun juga, adil dan merata.

Seperti halnya orang paling cantik dan paling buruk, sama-sama akan mengalami masa tua dan lapuk. Orang yang paling pintar dan paling bodoh juga sama-sama bisa merasakan lapar, kedinginan dan keletihan.

Mungkin semua inilah kedukaan paling besar bagi umat manusia.

Ketika Siau-hi-ji tidak sanggup tertawa lagi, akhirnya kakak beradik Ih-hoa-kiongcu duduk juga di lantai, apa yang terjadi hanya dalam dua-tiga hari saja, tapi bagi mereka rasanya sama seperti sepuluh tahun.

Melihat Ih-hoa-kiongcu akhirnya duduk juga, So Ing jadi teringat apa yang dikatakan Gui Bu-geh, tiba-tiba timbul rasa takutnya, “Jangan-jangan kami akan berubah menjadi buas sebagaimana dilukiskan oleh Gui Bu-geh itu?”

Tapi dia tidak melihat sesuatu perubahan pada diri Siau-hi-ji, entah apa pula yang dipikirkan anak muda itu. Tampaknya dia tidak pernah kenal apa itu takut.

Pada saat itulah, tiba-tiba atap ruangan itu merekah sebuah lubang sebesar mangkuk, malahan semacam benda dijatuhkan melalui lubang itu. Setelah mereka awasi, yang dijatuhkan itu adalah sebuah jeruk.

Dalam keadaan demikian, jeruk ini benar-benar lebih berharga daripada emas di seluruh dunia ini. Barang siapa asalkan bisa lebih banyak makan sesisir jeruk itu, bisa jadi akan hidup lebih lama hingga datangnya Hoa Bu-koat.

Dalam suasana begini, dapatkah mereka membagi jeruk secara adil?

Sudah barang tentu tiada seorang pun berani mendahului meraih jeruk itu. So Ing memandangi jeruk itu hingga kesima. Selamanya tak pernah terpikir olehnya bahwa sebuah jeruk bisa sedemikian menarik baginya. Dilihatnya sorot mata kakak beradik Ih-hoa-kiongcu juga terbeliak memandangi jeruk itu.

Bila makanan lain mungkin takkan begitu menarik bagi mereka, tapi sebuah jeruk yang berisi dan banyak cairannya, bisa melenyapkan dahaga dan dapat dibuat tangsel perut, ini benar-benar sangat mereka butuhkan sekarang.

Sambil menatap tajam jeruk itu, perlahan-lahan Lian-sing Kongcu mulai berbangkit.

Sekonyong-konyong terdengar Siau-hi-ji bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, tak terduga Ih-hoa-kiongcu yang mahaagung sekarang juga sudi makan barang yang dimakan orang di lantai. Hahaha, sungguh lucu, sungguh menggelikan!”

Seketika tubuh Lian-sing Kiongcu mematung di tempatnya, hanya jarinya saja yang rada gemetar. Namun matanya masih terus menatap jeruk itu tanpa berkedip.

Dengan acuh tak acuh Siau-hi-ji berkata pula, “Jangan kau lupa, sepasang mata Gui Bu-geh yang mirip mata maling itu sedang mengintip, jika kau jumput dan makan jeruk ini, bisa jadi dia akan bergelak tertawa hingga copot giginya.”

Kulit maka Lian-sing Kiongcu tampak berkerut-kerut, jelas dia sedang mengalami pertentangan batin yang hebat. Sesungguhnya umpan ini sukar ditolak. Tapi akhirnya ia memejamkan mata dan duduk kembali.

Rupanya dia lebih suka mati daripada ditertawakan orang. Nyata, Ih-hoa-kiongcu memang punya iman teguh. Di antara seratus ribu orang mungkin cuma ada satu-dua orang yang dapat berbuat seperti dia.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berucap pula, “Tapi kalau aku yang menjumput barang makanan yang telah dibuang orang, tentu tiada orang yang akan menertawakan diriku, sebab pada dasarnya kulit mukaku memang setebal tembok.” Sambil bicara ia terus melompat bangun dan mengambil jeruk itu.

Terbelalak So Ing memandangi kelakuan anak muda itu, ia tidak tahu apakah jeruk itu akan dimakan sendiri oleh Siau-hi-ji. Betapa pun ia memang belum mutlak memahami jiwa anak muda itu.

Maklum di antara seratus ribu orang mungkin tiada satu pun yang dapat memahami jalan pikiran Siau-hi-ji.

Dilihatnya Siau-hi-ji telah mengupas kulit jeruk dan dibelah menjadi dua, air jeruk lantas muncrat membasahi mukanya, ia menjulurkan lidah untuk menjilat air jeruk itu, katanya sambil terkecek-kecek, “Ehm, alangkah manis dan sedapnya, tampaknya tidak buruk juga kulit muka seorang dibuat tebal sedikit,” Mendadak ia berpaling pada So Ing, katanya dengan tertawa, “Kulit mukamu biasanya juga tidak tipis, rasanya pantas juga kalau kubagi separo jeruk ini padamu.”

Dalam keadaan demikian, orang yang dapat membagi separo jeruk itu kepada orang lain, sekalipun orang itu adalah ayah-ibu atau sanak keluarganya betapa pun tindakan ini tidaklah mudah dilakukan. Untuk ini diperlukan sebuah hati yang bajik dan welas asih, diperlukan semangat berkorban.

Jika orang lain, pada waktu berbuat demikian, tentu takkan terhindar dari sikap sok orang dermawan, seorang penolong, seorang penyelamat, dengan demikian supaya orang merasa kagum, berterima kasih dan merasa utang budi padanya.

Tapi pada waktu berbuat demikian, Siau-hi-ji justru berolok-olok lebih dulu pada orang lain.

So Ing jadi geli, ucapnya dengan suara lembut, “Sungguh, terkadang aku sangat heran, mengapa seorang yang mempunyai mulut bandit justru mempunyai hati yang bajik.”

Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, “Memang ada setengah orang pada hakikatnya tidak banyak bedanya dengan bandit.”

“Oo? ....” So Ing melenggong bingung.

“Setahuku,” tutur Siau-hi-ji, “Ada seorang yang pintar dagang, tapi lebih banyak spekulasi dan manipulasi, di mana-mana dia main tanah, tujuannya menghalalkan cara, dengan jalan menipu dan merampas dia telah mengeruk kekayaan berjuta-juta tahil perak. Dari kekayaan sekian itu dia mendermakan seribu tahil perak untuk rumah yatim piatu, dengan demikian berubahlah dia menjadi seorang sosial dan dermawan.”

Sambil menerima pemberian jeruk separo itu So Ing berkata dengan tertawa, “Tapi kan lebih baik daripada manusia yang kikir, yang tak mau keluar sepeser pun.”

Siau-hi-ji mencium separo jeruk yang tersisa itu, tiba-tiba ia berbangkit dan mendekati Ih-hoa-kiongcu, katanya dengan tertawa, “Biarpun kalian tidak memandang padaku kan juga dapat membau sedap jeruk ini, bukan?”

Kedua Ih-hoa-kiongcu sengaja melengos dan tidak mau memandangnya.

Tiba-tiba Siau-hi-ji menyodorkan separo jeruk itu ke depan mereka dan berkata, “Sekarang boleh kalian lihat, separo jeruk ini adalah milik kalian.”

“Ambil!” teriak Kiau-goat dengan suara serak, “Aku tidak ... tidak sudi ....”

Dengan tertawa Siau-hi-ji memotong, “Kutahu kalian pasti tidak sudi makan barang buangan orang lain, tapi separo jeruk ini adalah persembahanku dengan hormat, kukira boleh kalian makan dengan senang hati.”

Seketika kedua Ih-hoa-kiongcu saling pandang dengan bingung. Selang sejenak, barulah Lian-sing Kiongcu berkata, “Meng ... mengapa kau berbuat demikian?”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, jawabnya kemudian, “Seorang kalau sudah hampir mati, tapi masih dapat menjaga martabat sendiri dan tidak sudi bikin malu pamornya, maka orang demikian sungguh sangat kukagumi.” Ia tertawa, lalu menyambung, “Nah, anggaplah jeruk ini adalah penghormatanku kepada kalian. Sumbangan dengan hormat ini tentunya takkan kalian tolak bukan?”

So Ing menjadi bingung juga menyaksikan kelakuan anak muda itu, mungkin sejak mula ia sudah menduga Siau-hi-ji akan membagi setengah jeruk itu padanya, tapi dia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa sisa separonya lagi juga akan diberikan Siau-hi-ji kepada orang lain.

Dilihatnya Siau-hi-ji kembali ke tempatnya semula dengan tertawa, sama sekali tiada kelihatan berseri pada wajahnya dan tiada perasaan masygul, seperti halnya dia habis makan seratus biji jeruk dan sisanya setengah biji baru diberikannya kepada orang lain.

“Sungguh aku tidak ... tidak paham mengapa kau berbuat demikian,” kata So Ing dengan heran.

“Sebabnya kan sudah kukatakan tadi,” ujar Siau-hi-ji. “Apalagi, coba kau pikir, jika mereka tidak merasa malu, mana kita dapat makan jeruk ini? Tentu sudah diambil mereka dan dapatkah kita merampasnya?”

“Jika sisa separo itu kau berikan kepada mereka, mengapa yang separo ini kau berikan padaku?” tanya So Ing.

“Kalau jeruk ini dapat kutipu berarti jeruk ini punyaku, kalau punyaku dengan sendirinya akan kuberikan separo padamu. Mengenai sisa separo yang lain kuberikan kepada siapa kan urusanku sendiri dan tiada sangkut-pautnya denganmu.”

So Ing terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan rawan, “Engkau sungguh orang yang aneh, aku benar-benar tidak memahami dirimu.”

“Jika seorang lelaki dapat dipahami perempuan sejelas-jelasnya, mana dia bisa hidup lagi?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

So Ing lantas membagi pula separo jeruk itu menjadi dua bagian, katanya dengan lembut, “Setelah kau berikan separo jeruk ini padaku, maka jeruk ini pun sudah menjadi punyaku, kalau aku mempunyai jeruk, dengan sendirinya harus kubagi setengahnya padamu. Nah, anggaplah ini pun tan ... tanda penghormatanku padamu.”

“Tidak, aku tidak mau,” kata Siau-hi-ji.

“Mengapa?” tanya So Ing.

“Sebab bagianmu itu lebih besar, aku menghendaki yang itu,” ucap Siau-hi-ji.

So Ing melenggong, tapi lantas mengikik tawa, katanya, “Jika kulahirkan anak mirip kau, mustahil aku tidak mati kaku dibuat jengkel setiap hari.”

“Jika begitu lebih baik kau mati sekarang saja,” ujar Siau-hi-ji.

“Sebab apa?” tanya So Ing dengan melengak.

“Sebab anak yang kau lahirkan pasti mirip aku, jika mirip orang lain, akulah yang akan mati kaku saking gemas.”

Kembali muka So Ing merah jengah, sambil menggigit bibir ia mengomel, “Kau ini memang telur busuk kecil.”

“Salah, telur busuk besar. Telur busuk kecil kan belum kau lahirkan.”

Mendengar ucapan Siau-hi-ji yang mengandung makna ganda itu, tanpa terasa So Ing mencubit si anak muda terus menjatuhkan diri ke pangkuannya, ia menjadi lupa bahwa di samping mereka masih ada Ih-hoa-kiongcu, segalanya sudah dilupakan ....

Pada saat itulah Lian-sing Kiongcu memejamkan mata perlahan-lahan, ujung matanya tampak basah, entah apa yang terkenang olehnya.

Terdengar Siau-hi-ji bergumam, “Selanjutnya jika ada orang berani bilang padaku bahwa pada dasarnya manusia berwatak jahat, mustahil kalau tidak kutempeleng dia dua kali.”

Bahwa sebuah jeruk terbagi menjadi empat, yang dapat dimakan oleh mereka masing-masing tidak lebih hanya dua tiga sayap saja, ini sama halnya tetesan embun di tengah gurun, pada hakikatnya tiada gunanya.

Tapi semangat mereka lantas berbangkit, mungkin disebabkan penemuan mereka bahwa watak manusia pada dasarnya adalah bajik, harkat manusia juga tidak semudah itu runtuh sebagaimana dibayangkan oleh Gui Bu-geh.

Akan tetapi mereka pun menemukan suatu kenyataan, jarak mereka dengan kematian sudah semakin mendekat, jelas ini kejadian yang tak dapat dihindarkan, siapa pun tak dapat mengubahnya.

Ih-hoa-kiongcu yang selamanya tinggi di atas, lambat-laun, berubah juga tiada bedanya seperti orang biasa.

Sampai di sini baru Siau-hi-ji merasa mereka ternyata juga manusia-manusia yang membutuhkan macam-macam keperluan dan memiliki berbagai perasaan, bahkan juga bisa mencucurkan air mata.

Sekarang, maukah mereka membeberkan rahasia pribadinya?

Terbeliak mata Siau-hi-ji memandangi Ih-hoa-kiongcu, tiba-tiba ia berkata, “Rasanya aku mempunyai akal yang dapat membuat kita hidup terus.”

Benar saja, Lian-sing Kiongcu lantas bertanya, “Akal apa?”

“Meski akalku ini rada memalukan, tapi pasti berguna,” ucap Siau-hi-ji. Ia merasa setiap orang sama mendengarkan uraiannya dengan penuh perhatian, maka perlahan ia melanjutkan, “Walaupun Gui Bu-geh orang hina dan kotor, tapi dia adalah seorang pecinta yang khusyuk, buktinya sampai sekarang ia masih merindukan kalian dan tak pernah jatuh hati kepada perempuan lain. Sebab itulah kalau sekarang kalian menyanggupi diperistri olehnya, maka dia pasti akan membebaskan kita seluruhnya.”

So Ing berjingkat kaget, sungguh tak terduga olehnya anak muda itu berani bicara demikian, dia mengira Ih-hoa-kiongcu pasti akan berjingkrak murka, bukan mustahil akan membunuhnya.

Siapa tahu Ih-hoa-kiongcu tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun, bahkan memperlihatkan rasa gusar pun tidak.

Gemerdep sinar mata Siau-hi-ji, dengan perlahan ia menyambung pula, “Apa pun juga Gui Bu-geh pernah jatuh cinta pada kalian, tentunya kalian pun tahu bahwa lelaki yang dapat mencintai setulus hati seperti dia tidaklah banyak di dunia ini.”

Sembari bicara ia pun memperhatikan perubahan air muka Ih-hoa-kiongcu, berbareng ia melanjutkan pula, “Jika kalian menjadi istrinya, paling tidak kan jauh lebih baik daripada diperistri oleh manusia-manusia yang tak berbudi, betul tidak?”

Kiau-goat Kiongcu hanya menggigit bibir dan tak bersuara, sedangkan Lian-sing Kiongcu mendadak berpaling ke sana, sekilas kelihatan matanya mengembeng air mata.

Selang sejenak barulah Siau-hi-ji mulai bertanya lagi, “Nah, apakah kalian sudah sadar sekarang?”

Tiba-tiba Lian-sing Kiongcu menatapnya tajam-tajam dan berucap sekata demi sekata, “Jika ucapanmu ini dikatakan beberapa jam sebelum ini, maka bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”

“Sudah tentu kutahu,” jawab Siau-hi-ji. “Sebab itulah kusimpan kata-kata ini dan baru kukatakan sekarang. Sebab aku pun tahu, seseorang yang mendekati ajalnya, cara berpikirnya pasti akan berubah banyak.”

“Jika begitu, kalau sekarang kukatakan So Ing saja diberikan kepada Gui Bu-geh, apakah kau setuju?” tanya Lian-sing.

Sampai lama sekali Siau-hi-ji tidak dapat menjawab. Tanpa berkedip So Ing memandangi anak muda itu. Selang agak lama barulah Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya, “Ah, apa yang kukatakan cuma omong iseng saja, kan tidak kupaksa kalian harus menjadi istrinya. Boleh kalian anggap kata-kataku tadi sebagai kentut belaka.”

So Ing menghela napas, ucapnya dengan suara lembut, “Asalkan aku sudah tahu dengan pasti pikiranmu, mati pun aku rela.”

“Mati, sebenarnya bukan sesuatu yang sulit, terkadang jauh lebih mudah daripada makan nasi,” ujar Siau-hi-ji. “Misalnya seorang berjalan di jalan raya, sekonyong-konyong dari udara jatuh sepotong batu dan mematikan dia, coba bayangkan, betapa mudah dan betapa ringan cara matinya, boleh dikatakan itu tidak mengalami penderitaan apa pun juga.” Setelah menghela napas, lalu ia menyambung, “Tapi menunggu ajal, ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Seorang patriot waktu tertawan musuh bilamana dia terus membunuh diri, tindakan ini jelas tiada sesuatu yang luar biasa, tapi kalau dia sanggup bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, menolak segala pancingan dan bujukan, tapi tekadnya sudah bulat untuk mati. Patriot demikianlah yang selalu dikenang, namanya akan terukir dalam sejarah secara abadi.”

Bahwa Siau-hi-ji mendadak bicara hal-hal yang berbobot begitu, tanpa terasa hati So Ing menjadi rawan juga. Ia maklum, hanya orang yang menunggu kematian saja yang tahu betapa menderitanva orang yang menanti ajal.

So Ing kucek-kucek matanya dan bertanya dengan suara tertahan, “Apakah kita sekarang benar-benar tiada harapan hidup sama sekali?”

Siau-hi-ji termenung sejenak, jawabnya dengan suara tertahan juga, “Jika kita dapat bersabar, menanti kematian dengan tenang, mungkin akan timbul setitik sinar harapan.”

“Bila harus menanti kematian dengan tenang, masa ada harapan untuk hidup segala?” ujar So Ing.

“Gui Bu-geh menghendaki kita mati perlahan-lahan, tujuannya supaya kita tersiksa lahir batin, menjadi gila, bahkan saling membunuh, sebab hanya beginilah baru dia mendapatkan pelampiasan, hanya orang gila yang cacat seperti dia mempunyai jalan pikiran abnormal begini.”

“Ya, memang betul,” kata So Ing.

“Tapi kita sekarang dapat bersabar dan bersikap tenang, jika kita mati dengan tenang begini, dia pasti tidak rela, pasti akan bertindak dengan cara lain pula. Kalau sudah begitu, maka tibalah kesempatan baik bagi kita.”

“Betul juga,” So Ing manggut-manggut. “Bila dia tidak menggubris kita, tentu kita mati kutu. Tapi sekali dia bertindak sesuatu berarti pula kita telah diberi kesempatan baik. Hanya ....”

“Hanya saja kalau dia terlebih sabar daripada kita, maka celakalah kita,” tukas Siau-hi-ji.

So Ing berkedip-kedip, katanya, “Makanya sekarang kita harus mencari sesuatu akal untuk memancing keluar dia.”

“Betul, memang begitulah maksudku,” kata Siau-hi-ji.

“Lalu akal apa?” tanya So Ing.

“Masa tak dapat kau pikirkan akal ini?”

So Ing menggigit bibir dan tak bersuara pula.

Ih-hoa-kiongcu tidak mendengar apa yang sedang diperbincangkan mereka, sejenak kemudian mereka melihat Siau-hi-ji berjangkit, lalu memberi hormat kepada mereka kakak beradik, kemudian menghela napas panjang dan berkata, “Aku Kang Siau-hi dapat mati dan terkubur bersama Ih-hoa-kiongcu, sungguh terasa sangat beruntung dan rupanya ada jodoh. Sekarang kita sama-sama menghadapi kematian, biarlah permusuhan kita yang sudah-sudah kuhapus sejak kini, sebab apa kalian menyuruh Hoa Bu-koat membunuhku dan apa rahasianya, aku pun tidak mau tanya lagi.”

Ih-hoa-kiongcu menjadi bingung mengapa anak muda ini mendadak bicara demikian, mereka hanya terbelalak dan ingin tahu apa yang akan disambung pula.

Siau-hi-ji lantas berkata lagi, “Karena sekarang Hoa Bu-koat tidak berada di sini, tampaknya kita pun tiada harapan bisa lari keluar, terpaksa kumohon bantuan kalian agar aku diberi mati secara menyenangkan dan cepat.”

“Kau ... kau ingin bunuh diri?” tanya Lian-sing Kiongcu.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, ucapnya, “Betul, kan sudah kukatakan, aku tidak takut mati, tapi menunggu ajal, inilah yang membuatku tidak tahan.”

Seketika perasaan Ih-hoa-kiongcu kakak beradik merasa tertekan. Mendadak Kiau-goat berseru dengan parau, “Tidak boleh!”

“Mengapa aku tidak boleh membunuh diri? Keadaan sudah begini, memangnya kau ingin menunggu kedatangan Hoa Bu-koat untuk membunuhku?” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. Sembari bicara diam-diam ia pun mengedipi Ih-hoa-kiongcu, jelas mengandung maksud tertentu.

Kiau-goat jadi melengak, sedangkan Lian-sing Kiongcu lantas menarik ujung baju sang kakak. Lalu berkata, “Baiklah, silakan kau bunuh diri jika kau ingin mati.”

“Terima kasih, setiba di depan raja akhirat pasti akan kupuji kebaikan kalian,” kata Siau-hi-ji.

Tiba-tiba So Ing menambahkan, “Aku punya dua biji obat racun, mestinya disediakan Gui Bu-geh untuk muridnya.”

“Kutahu betapa lihainya racun ini, satu biji saja sudah cukup,” ujar Siau-hi-ji.

So Ing tersenyum pedih, katanya pula, “Bila kau mati, satu detik saja aku tak dapat hidup sendirian, masa kau tidak tahu?”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian, “Baiklah, ingin mati marilah kita mati bersama agar tidak kesepian di tengah perjalanan menuju akhirat.”

Sekonyong-konyong seorang berseru, “Jangan, kalian tidak boleh mati. Kalian muda-mudi yang sedang dimabuk cinta, lebih lama hidup sehari berarti sehari lebih bahagia, Jika kalian mati sekarang juga, bukankah sia-sia belaka hidup kalian ini?”

Jelas itulah suara Gui Bu-geh.

Siau-hi-ji dan So Ing saling pandang sekejap, diam-diam mereka membatin, “Tampaknya dia tak dapat menahan perasaannya.”

Maka terdengarlah Gui Bu-geh berkata pula, “Kalau kalian merasa kesal boleh minumlah beberapa cawan arak. Hahaha, anggaplah arak suguhanku bagi malam pengantin kalian.”

Di tengah suara tertawa itu, dari lubang di atas lantas jatuh sebotol arak. Baru saja Siau-hi-ji menangkapnya, menyusul sebotol lain jatuh pula. Hanya sebentar saja di pangkuan Siau-hi-ji sudah ada dua belas botol arak, bahkan tidak kecil botolnya.

So Ing berkerut kening, bisiknya lirih, “Apa maksud tujuannya ini? Arak kan juga bisa menambah tenaga, bila kedua belas botol arak ini diminum secara perlahan, tentu kita dapat bertahan hidup beberapa hari lebih lama ....”

“Arak bisa menambah tenaga, tapi juga bisa mengacaukan pikiran,” kata Siau-hi-ji. “Seorang yang sudah dekat ajalnya, bila minum arak lagi, maka segala apa pun dapat diperbuatnya. Langkah Gui Bu-geh ini benar-benar sangat lihai dan keji.”

“Jika demikian mengapa kau menangkap semua botol arak ini?” tanya So Ing.

“Masa kau tidak paham maksudku?” jawab Siau-hi-ji sambil tertawa.

So Ing menggigit bibir lagi dan tidak bersuara.

Siau-hi-ji lantas menaruh enam botol arak di depan Ih-hoa-kiongcu, katanya, “Tetap aturan lama, kita bagi separo-separo.”

“Ambil kembali saja, selamanya kami tidak pernah minum barang setetes arak,” Kata Kiau-goat Kiongcu.

“Hah, jika benar kalian tidak pernah minum arak, maka sekarang kalian lebih-lebih harus mencicipinya barang dua cawan,” ujar Siau-hi-ji tertawa. “Seorang kalau mati tidak pernah tahu rasanya arak, maka hidupnya boleh dikatakan sia-sia belaka.”

Hanya sekejap saja ia sendiri sudah menghabiskan isi setengah botol.

Jika arak itu sangat keras mungkin Ih-hoa-kiongcu dapat bertahan dan tidak meminumnya, tapi arak itu justru adalah arak Tiok-yap-jing (hijau daun bambu), baunya harum, warnanya menarik, memandangnya saja menyenangkan, apalagi kalau mencicipi rasanya.

Ada peribahasa yang mengatakan “Minum racun untuk menghilangkan dahaga”, seorang kalau sudah kehausan, dalam keadaan kepepet, racun juga akan diminumnya, apalagi arak berbau sedap begini?

Lian-sing Kiongcu dan Kiau-goat Kiongcu saling pandang sekejap, akhirnya mereka tidak tahan, sumbat botol mereka buka dan masing-masing mencicipi seteguk.

Mendingan kalau mereka tidak mencicipinya, sekali sudah tahu rasanya, seketika mata mereka terbeliak, terasa hawa hangat mengalir masuk ke perut, menyusul darah sekujur badan lantas menghangat.

Setelah minum seteguk, segera ada dua teguk, ada dua ceguk tentu ada tiga ceguk dan begitu seterusnya.

Siau-hi-ji mengetuk-ngetuk botol arak sambil bersenandung, karena sekolahnya terbatas, dengan sendirinya senandung Siau-hi-ji senandung kampungan. Namun Lian-sing dan Kiau-goat tidak ambil pusing, setelah minum beberapa ceguk arak enak itu, bahkan mereka mulai merasakan senandung anak muda itu sangat merdu dan menggairahkan.

Tanpa terasa arak terus mengalir masuk ke perut kedua Ih-hoa-kiongcu, hanya sebentar saja isi botol sudah tinggal setengah. Bahkan cara minum mereka bertambah semangat, dan menyesal mengapa tidak sejak dulu-dulu mereka minum arak yang ternyata seenak ini.

Ketika senandung Siau-hi-ji berakhir, sementara itu satu botol arak sudah dihabiskan Lian-sing, dengan wajah merah ia mulai mengigau mengulangi senandung Siau-hi-ji tadi sambil bergelak tertawa.

“Kang ... Kang Siau-hi-ji, marilah hab ... habiskan secawan ini, marilah kita bersama-sama melupakan ....” Demikian Lian-sing tampak mulai mabuk.

So Ing jadi melenggong, sama sekali tak tersangka olehnya Lian-sing bisa berubah menjadi demikian setelah minum arak.

Hakikatnya Lian-sing bukan lagi Ih-hoa-kiongcu yang agung itu, tapi sudah berubah menjadi orang lain.

Ia tidak tahu bahwa perut kalau dalam keadaan kosong akan sangat mudah menjadi mabuk, ketika setengah botol arak masuk perut Lian-sing, sedikitnya dia sudah tujuh bagian mabuk, maka arak yang diminumnya lagi biarpun pahit akan terasa manis.

Seorang yang biasanya tidak suka minum arak memang tidak mudah untuk disuruh minum arak. Tapi sekali dia sudah minum, apalagi sudah tujuh bagian mabuk, bila ingin mencegahnya supaya jangan minum lagi, maka sukarnya jangan ditanya pula.

Siau-hi-ji tertawa kepada So Ing, katanya, “Nah, sekarang tentunya kau tahu bahwa segala apa boleh diminum secara perlahan-lahan, hanya arak saja yang tidak dapat.”

“Masa kau ... kau benar-benar menghendaki dia mabuk?” tanya So Ing.

Siau-hi-ji tidak menjawab, tapi perlahan bersenandung pula, “Tengok pintu longok jendela sepi tiada orang, cepat mendekap buru-buru dicium. Sialan, omel si cantik, pura-pura menolak, belum diminta sudah mau ....”

Pantun kampungan yang tidak keruan ini memang tidak menarik, tapi cukup melukiskan khusuk-masyuk muda-mudi yang sedang tenggelam berpacaran.

Tentu saja selama hidup Lian-sing Kiongcu tidak pernah mencicipi rasanya berpacaran, tanpa terasa ia menjadi kesima, pipinya bertambah merah dan panas.

Kiau-goat juga sudah minum beberapa ceguk arak, tapi ketika melihat adiknya menghabiskan lagi sebagian isi botol kedua, ia berkerut kening dan hendak merampas botol arak itu sambil mengomel, “Kau sudah mabuk, taruh saja botolnya, jangan minum lagi.”

Tapi Lian-sing mengipatkan tangan sang kakak dan berkata, “Siapa bilang aku mabuk? Selamanya aku tak pernah berpikir sejernih seperti sekarang ini.”

“Kubilang kau sudah mabuk!” seru Kiau-goat dengan bengis.

Lian-sing Kiongcu tergelak-gelak, jawabnya, “Kau bilang aku mabuk, lantas benar aku mabuk? Kukira kau sendiri yang mabuk.”

“Mabuk atau tidak, tidak boleh minum lagi,” kata Kiau-goat.

Mendadak Lian-sing berteriak, “Kau tidak perlu urus, aku justru ingin minum lagi.” Dia memelototi Kiau-goat dan berkata pula, “Sudah cukup hampir mati, masa kau hendak memerintah aku pula?”

Kejut dan gusar Kiau-goat, tapi demi mendengar dua-tiga kalimat yang terakhir itu, tanpa terasa ia pun menghela napas panjang dan minum arak seceguk, ucapnya dengan rawan, “Ya, memang benar, aku sendiri toh tidak jauh lagi dari ajal, untuk apa kucampur urusanmu.”

Lian-sing Kiongcu lantas berpaling dan tertawa kepada Siau-hi-ji, katanya, “Marilah, kusuguh kau secawan pula, kau memang anak yang menyenangkan.”

Siau-hi-ji seperti tidak mengacuhkan orang, seenaknya ia tanya, “Jika begitu, mengapa kau hendak membunuhku?”

Mendadak berubah air muka Kiau-goat, sedangkan Lian-sing cuma terkekeh-kekeh saja. Ucapnya, “Setelah dekat ajalmu, tentu rahasia ini akan kuberitahukan kepadamu.” Dalam keadaan demikian dia masih dapat menyimpan rahasia dan tidak mau membeberkannya.

Diam-diam Siau-hi-ji merasa gegetun, tapi dia sengaja tertawa dan berkata pula, “Baiklah, sekalipun aku sudah mati pasti juga akan kutunggu ceritamu ini, habis itu baru kupergi menghadap Giam-lo-ong (raja akhirat).”

“Baik, kita tetapkan begitu,” kata Lian-sing sambil tertawa.

“Bagus, akan ... akan tetapi bagaimana bila engkau mati lebih dulu daripadaku?”

“Jika begitu boleh kau ikut mati bersamaku saja, di tengah jalan tentu akan kuceritakan padamu.”

“Ai, bisa mati bersamamu, tidak percumalah hidupku ini,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

Lian-sing mengerling mesra, ucapnya, “Apa betul? Kau benar-benar mau ikut bersamaku?”

“Memangnya kau kira cuma Gui Bu-geh saja yang tergila-gila padamu? Wanita menyenangkan seperti dirimu, sungguh aku ... aku ingin ....”

“Apa benar aku sangat menyenangkan?” tanya Lian-sing dengan tertawa. “Mengapa kebanyakan orang bilang aku menakutkan?”

“Yang menakutkan adalah ilmu silatmu dan bukan dirimu,” Kata Siau-hi-ji. “Jika dirimu menakutkan, maka semua perempuan di dunia ini mungkin akan berubah menjadi kuntilanak seluruhnya.”

Lian-sing Kiongcu mengerling genit, tiba-tiba ia tuding So Ing dan berkata, “Apakah aku lebih menyenangkan daripada dia?”

“Dia mana bisa dibandingkan denganmu?” jawab Siau-hi-ji. “Jika kau mau menjadi istriku, sekarang juga akan kukawini kau.”

Lian-sing terkikik-kikik dengan muka merah, ucapnya, “Setan cilik, meski orangnya kecil, tapi hatimu tidak kecil.”

Makin omong makin tidak keruan seakan-akan mereka sedang bercumbu rayu berduaan, orang lain dianggapnya sudah mati semua, sama sekali mereka tidak mau tahu bahwa wajah So Ing saat itu telah berubah menjadi pucat dan Kiau-goat juga gemetar karena gusarnya.

Omong punya omong sambil tertawa cekikik dan cekakak, akhirnya tubuh Lian-sing lantas jatuh ke pangkuan Siau-hi-ji, katanya pula dengan tertawa genit, “Selama hidupku belum pernah segembira sekarang, aku ingin ....”

“Apa kau sudah gila!” bentak Kiau-goat mendadak dengan gusar.

Dengan suara keras Lian-sing menjawab, “He, apakah kau merasa cemburu lagi, dan kau hendak membuat susah diriku. Sekarang aku tidak mau tunduk lagi padamu, mati pun aku harus mati dengan gembira.”

Karena murkanya Kiau-goat terus menubruk maju. Tapi mendadak didengarnya Siau-hi-ji membisikinya dengan suara tertahan, “Kau ingin keluar dengan hidup tidak? Kau ingin membunuh Gui Bu-geh tidak?”

Seketika Kiau-goat melengak, katanya, “Kau … kau ....”

Dengan suara lebih lirih lagi Siau-hi-ji berucap, “Jika kau ingin, kau harus bertindak menurut anjuranku. Padamkan dulu semua lampu di sini.”

Ternyata Gui Bu-geh senantiasa mengintip di luar, waktu dilihatnya Lian-sing menjatuhkan diri ke dalam pangkuan Siau-hi-ji, biji matanya lantas melotot seakan-akan melompat keluar, sekujur badannya terasa tegang dan gemetar, telapak tangan pun terasa berkeringat. Ia membayangkan adegan apa yang bakal terjadi.

Di luar dugaan, pada saat yang mendebarkan jantung itu, sekonyong-konyong lampu padam semuanya. Ruangan di bawah seketika gelap-gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.

Karena gelisah dan dongkolnya hampir saja Gui Bu-geh berjingkrak. Didengarnya macam-macam suara di dalam kegelapan, mula-mula adalah suara tawa genit Lian-sing Kiongcu, lalu bentakan Kiau-goat, menyusul lantas sambaran angin pukulan yang dahsyat. Agaknya kedua kakak beradik Ih-hoa-kiongcu telah saling labrak sendiri.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes