Wednesday, May 12, 2010

bgp3_part2

Sampai lama sekali Peng-koh menunduk, setelah berpikir sekian lama, lambat laun matanya mulai bersinar.

“Nah, sekarang kau paham maksudku tidak?” tanya So Ing.

“Ya, aku paham,” jawab Peng-koh.

“Bagus, asalkan kau bertindak menurut petunjukku, kujamin dia pasti akan mencarimu, apalagi dia sudah datang, maka tibalah waktunya bagimu melampiaskan dendammu.”

Thi Peng-koh tertawa, tapi lantas berkata pula dengan gegetun, “Tapi aku ... aku sekarang ....”

“Apakah kau merasa dirimu sekarang sebatang kara, tidak punya harta benda dan juga tiada sandaran sehingga hati rada takut, begitu?”

Peng-koh mengangguk dengan sedih.

“Tapi jangan kau lupa, kau ini anak perempuan yang cantik dan menggiurkan, usiamu masih muda dan inilah modal perempuan yang terbesar, berdasarkan ini sudah cukup untuk mempermainkan lelaki di atas telapak tanganmu. Dengan modalmu ini, ke mana pun kau pergi sudah cukup untuk berdikari.”

Akhirnya Thi Peng-koh mengangkat kepalanya, ucapnya dengan tersenyum, “Terima kasih!” Ia pandang Siau-hi-ji sekejap, seperti ingin omong apa-apa, tapi urung. Lalu ia menerobos pergi tanpa menoleh lagi melalui terowongan yang ditemukan Oh Yok-su tadi.

Mendadak Siau-hi-ji bertepuk tangan dan berseru, “Bagus, sungguh bagus sekali. Tak tersangka cara nona So kita menghadapi kaum lelaki ternyata sehebat ini. Kukira kau sudah boleh mulai cari tempat untuk membuka kursus, kuyakin dalam waktu singkat muridmu akan datang berbondong-bondong dan sekejap saja akan kaya mendadak.”

So Ing tertawa, katanya, “Jangan khawatir, pasti takkan kugunakan cara ini untuk menghadapimu.”

“Sekalipun kau pakai caramu ini juga tak mempan bagiku,” jengek Siau-hi-ji. “Biarpun kau berpelukan dengan seratus lelaki dan berjumpalitan di depanku juga takkan kupeduli, apalagi marah?”

“Kalau begitu, sekarang belum lagi aku berpelukan dengan seorang lelaki pun, apa pula yang kau marahi?”

Siau-hi-ji melengak, segera ia meraung pula, “Kau telah mengenyahkan orang lain, kau sendiri mengapa tidak pergi?”

“Pergi, mengapa aku harus pergi? Bukankah tempat ini sangat menyenangkan untuk istirahat?”

“O, nonaku, kumohon dengan sangat, sudilah kau pergi saja. Jika tidak, sebentar mungkin aku bisa gila lantaran tingkah-polahmu.”

“Jika kau tidak senang melihat diriku, kenapa tidak kau sendiri saja yang pergi?”

Siau-hi-ji melenggong sejenak, akhirnya ia tergelak-gelak, katanya, “Haha, bagus, bagus, budak cilik, aku benar-benar takluk padamu. Sejak dilahirkan hingga kini belum pernah ada seorang pun yang membikin marah padaku seperti ini, akhirnya aku ketemu batunya juga.”

So Ing tidak pedulikan dia lagi, ia membungkus sisa makanan tadi dan bergumam, “Tempat ini sangat lembap, barang makanan yang tak tersimpan dengan baik mungkin akan bulukan dan membusuk.”

“Umpama membusuk, memangnya kenapa, masa akan kau bawa keluar lagi?” kata Siau-hi-ji.

So Ing seperti tidak mendengar ucapan anak muda itu, ia bergumam pula, “Barang-barang ini masih bisa dimakan untuk beberapa hari lagi, harus disimpan supaya tidak membusuk.”

Siau-hi-ji tidak tahan, tanyanya, “Dimakan lagi beberapa hari? Memangnya kau ingin mengeram beberapa lagi di sini?”

Baru sekarang So Ing menoleh, ucapnya dengan tertawa, “Apakah kau kira Ih-hoa-kiongcu akan segera menemukan Hoa Bu-koat?”

Siau-hi-ji terbelalak, mendadak ia mendekatkan wajahnya ke muka So Ing dan menegas, “Jangan-jangan kau yang menyembunyikan Hoa Bu-koat?”

“Dia kan bukan anakku, masa bisa kusimpan dia dengan begitu saja?”

“Tapi kau tahu dia berada di mana, bukan?”

“Dari mana kutahu?”

“Bahwa kau tahu Kang Giok-long telah menipu aku, maka tentu kau pernah melihat Hoa Bu-koat, betul tidak?”

So Ing tidak menjawab, ia duduk berlipat kaki di atas batu, ia pandang Siau-hi-ji sejenak, kemudian baru berkata dengan perlahan, “Betul, aku memang pernah melihat dia, aku pun tahu dia berada di mana sekarang. Akan tetapi tak dapat kukatakan padamu.”

Siau-hi-ji, meraung gusar, “Mengapa tak dapat kau katakan padaku?”

“Sebab khawatir kau akan marah.”

“Marah? Mengapa aku harus marah?”

“Kalau kukatakan, kau benar-benar takkan marah?”

“Ya, takkan marah!”

“Kalau marah?”

“Kalau marah, anggaplah aku ini setan belang,” teriak Siau-hi-ji.

“Tidak, tidak setuju?” So Ing menggeleng.

“Mengapa tidak setuju?” teriak Siau-hi-ji.

“Sebab kau takkan berubah menjadi setan cara mendadak bukan?”

Sungguh dongkol Siau-hi-ji tak terkatakan, ucapnya kemudian, “Baiklah, kalau kumarah, apa pun yang kau perintahkan pasti akan kulakukan.”

“Ucapanmu dapat dipercaya tidak?”

“Seorang ksatria sejati, seorang lelaki tulen, masa ingkar janji terhadap budak cilik macam kau ini.”

“Baik, kuberitahu, saat ini Hoa Bu-koat lagi pergi mencari Thi Sim-lan.”

“Hah, mencari Thi Sim-lan?” seru Siau-hi-ji. “Dari mana dia mengetahui tempat beradanya Thi Sim-lan?”

“Aku yang bilang padanya,” jawab So Ing.

Baru sekarang Siau-hi-ji benar-benar terkejut, ucapnya, “Kau yang bilang padanya? Dari mana kau tahu tempat beradanya Thi Sim-lan? Kau kenal dia?”

“Aku dan dia sudah mengangkat saudara, masa kau tidak tahu?” tutur So Ing dengan tertawa.

Siau-hi-ji jadi melongo dan tidak dapat bersuara pula.

“Bukankah sudah lama sekali kau tidak berjumpa dengan Thi Sim-lan?” tanya So Ing kemudian.

“Ehm,” Siau-hi-ji mengangguk.

“Apakah kau tahu selama dua bulan ini Thi Sim-lan selalu berada bersama Hoa-Bu-koat?”

Kembali Siau-hi-ji berteriak, “Mereka berada bersama selama dua bulan? Huh, aku tidak percaya.”

“Tidak percaya, ya sudahlah, anggap saja aku berdusta padamu,” ujar So Ing dengan tak acuh. Lalu ia membalik tubuh, membelakangi Siau-hi-ji dan tidak menggubrisnya lagi.

Cepat Siau-hi-ji memutar ke depan si nona, ucapnya dengan tertawa, “Sekarang aku percaya, sudah tentu kejadian demikian kau takkan berdusta, aku cuma merasa rada heran saja.”

“Masih banyak sekali kejadian aneh di dunia,” kata So Ing.

“Kalau mereka berada bersama juga lebih baik, tadinya aku berkhawatir baginya, sekarang aku boleh merasa lega, kutahu Hoa Bu-koat pasti akan memperlakukan dia dengan baik.”

So Ing berkedip-kedip, tanyanya kemudian, “Kau tidak marah?”

“Marah? Mengapa aku harus marah?”

Berkilau sinar mata So Ing, tapi ia lantas menunduk dan berkata, “Kenapa kau tidak tanya saat ini Thi Sim-lan berada di mana?”

“Toh takkan kau antar dia ke liang tikus sana?” ujar Siau-hi-ji tertawa.

“Dia justru berada di sana,” tutur So Ing.

Seketika lenyap tertawa Siau-hi-ji tadi, bahkan ia melonjak kaget dan meraung, “Kau budak mampus, mengapa kau antar dia ke sana?”

“Dia kan kakak angkatku, justru kuantar dia ke tempat yang aman, di sana siapa pun tak berani mengganggu dia,” ujar So Ing.

Siau-hi-ji berteriak gusar, “Tapi Hoa Bu-koat mencarinya ke sana, mana tikus raksasa itu mau melepaskan Bu-koat? Buk ... bukankah kau ini sengaja ingin membikin celaka dia? Aku ....” Saking gusarnya ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya, ia pegang tangan So Ing dan meraung pula, “Kalau tidak kuhajar adat padamu, sungguh penasaran mereka.”

“Masa kau sudah lupa, memangnya seorang lelaki sejati meski ingkar janji pada seorang budak kecil begini?”

Kembali Siau-hi-ji melengak, akhirnya ia lepaskan tangan So Ing dan cuma banting-banting kaki an mendongkol.

“Sebenarnya kau pun tidak perlu cemas, Hoa Bu-koat takkan mati. Pula, dia kan berkeras hendak membunuhmu, jelas dia bukan kawanmu. Jika dia tidak dapat datang, kan tidak perlu kau sedih baginya?”

Siau-hi-ji mengetok kepalanya sendiri dan berteriak, “Apakah kau kira tidakanmu telah membantuku? Kau kira aku akan gembira bila dia mati? Terus terang kukatakan, apabila dia benar-benar terbunuh oleh Gui Bu-geh, maka aku ... aku akan ….”

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar seorang berteriak di luar sana, “Siau-hi-ji, kau berada di dalam situ? Dapatlah kau dengar suaraku?”

Jelas itulah suara Hoa Bu-koat. Keruan Siau-hi-ji dan So Ing sama melengak. Hoa Bu-koat mengapa sudah datang, bahkan sedemikian cepat datangnya.

So Ing pegang tangan Siau-hi-ji dengan erat, ucapnya dengan suara gemetar, “Kumohon dengan sangat janganlah menjawabnya, supaya dia mengira kau sudah pergi dari sini ....”

Belum habis ucapannya Siau-hi-ji telah mengibaskan tangannya sambil berteriak, “Hoa Bu-koat, aku berada di sini!”

“Kau tidak apa-apa bukan?” tanya Bu-koat.

“Aku baik-baik saja,” jawab Siau-hi-ji. “Julurkan seutas tambang, segera aku dapat naik.”

Selang tak lama terlihat kepala Bu-koat menongol di mulut gua dengan wajahnya yang gembira dan simpatik.

Tertawa Siau-hi-ji juga tidak kurang riangnya, serunya, “Buset, selama dua bulan tak berjumpa, kita berdua tak berubah sama sekali.”

Bu-koat telah mengulurkan seutas tambang panjang, katanya, “Naiklah, tak dapat kulihat keadaanmu di bawah.”

Melihat kelakuan kedua anak muda itu, sungguh hati So Ing heran tak terkatakan. Betapa pun juga sikap dan ucapan kedua orang ini tiada tanda-tanda bahwa mereka adalah musuh yang sebentar lagi akan duel mati-matian, sungguh sukar dipahami apa yang terjadi sebenarnya antara kedua anak muda itu.

Setelah ujung tambang dapat diraih dengan tangan, segera Siau-hi-ji melompat ke atas, tapi segera ia lompat turun pula dan berkata dengan menarik muka, “Budak she So, sekarang apakah tidak mau pergi?”

“Pergilah, silakan pergilah sendiri, aku tidak ingin menyaksikan keadaanmu setelah dibunuh orang,” jawab So Ing sambil menunduk.

“Kau tidak ingin melihat, sengaja ingin kuperlihatkan padamu, kau tidak mau pergi, justru kuingin kau pergi, coba apa dayamu bisa melawanku” Siau-hi ji meraung sambil mendekati si nona.

“Kau ... kau berani ....” ucap So Ing sambil menyurut mundur.

Meski air mukanya berlagak sangat gusar, tapi dalam hati sebenarnya senang tidak kepalang. Sebab ia tahu, kini tangannya sudah mulai dapat meraba hati Siau-hi-ji, bahkan, cepat atau lambat, akhirnya hati anak muda itu pasti dapat diraihnya.

Dengan sebelah tangan mengempit So Ing, Siau-hi-ji terus merambat ke atas dengan bantuan tambang panjang itu, hanya sekejap saja ia sudah berada di luar gua.

Sementara itu Bu-koat tak lagi berada di mulut gua, dia tampak berdiri lurus di samping Kiau-goat Kiongcu, air mukanya tampak rada pucat dan kaku tanpa emosi.

Bagi Bu-koat, Kiau-goat Kiongcu bukan cuma gurunya yang kereng, bahkan juga orang tuanya. Sejak kecil belum pernah dilihatnya wajah sang guru menampilkan secercah senyuman. Selama itu pun ia tidak berani sembrono di depan Kiau-goat Kiongcu, sebab hatinya tidak cuma hormat dan terima kasih padanya, bahkan juga rada-rada takut.

Sekarang, akhirnya Siau-hi-ji dapat melihat wajah asli Kiau-goat Kiongcu.

Topeng yang menakutkan itu sudah dibukanya, namun air mukanya terlebih dingin daripada topengnya. Siapa pun tak mampu menemukan setitik tanda-tanda perasaan senang, marah, suka atau duka pada wajahnya. Tampaknya biarpun dunia ini kiamat juga tak dipedulikannya.

Namun dia juga cantik luar biasa, kecantikan yang sukar dibayangkan, begitu cantiknya sehingga membuat orang yang memandangnya merasa risi sendiri. Kecantikannya ini pada hakikatnya bukan cantiknya manusia melainkan kecantikan malaikat dewata.

Sama sekali tak terduga oleh Siau-hi-ji bahwa perempuan yang pernah mengguncangkan dunia persilatan selama dua-tiga puluh tahun ini tampaknya masih semuda ini. Lebih-lebih tak pernah terbayangkan perempuan yang cantik ini mempunyai wibawa sebesar ini, dapat membuat siapa yang memandangnya akan merasa segan sendiri. Sampai-sampai Siau-hi-ji sendiri, meski cuma memandangnya sekejap saja, tapi terasa seram laksana orang mendadak melihat badan halus yang cantik di tengah malam senyap.

Betapa kesima Siau-hi-ji sehingga tidak diperhatikannya bahwa di samping Kiau-goat Kiongcu terdapat pula Thi Sim-lan.

Sampai gemetar tubuh Thi Sim-lan saking senangnya ketika dilihatnya Siau-hi-ji melompat turun dari gua sana, tanpa terasa segera ia lari menyongsong. Tapi baru dua-tiga tindak, sekonyong-konyong ia berdiri mematung pula.

Hal ini terjadi bukan lantaran dilihatnya So Ing berada dalam rangkulan Siau-hi-ji, tapi disebabkan mendadak ia teringat pada Hoa Bu-koat. Mana boleh terjadi begitu melihat Siau-hi-ji lantas Hoa Bu-koat ditinggalkannya?

Maka sekarang ia berdiri di tengah-tengah antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, ia menjadi bingung apakah harus ke sana atau ke sini, sungguh runyam, dalam keadaan demikian ia berharap lebih baik dirinya tidak dilahirkan di dunia ini.

Dalam pada itu Siau-hi-ji juga telah melihatnya dan lagi menyapanya dengan tertawa, “Sudah lama tak berjumpa, baik-baikkah kau?”

Thi Sim-lan sama sekali tidak mendengarnya, tiba-tiba ia berpaling dan lari ke bawah pohon di sebelah sana, kebetulan pohon itu pun terletak di tengah-tengah antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat.

Sejak tadi So Ing selalu memperhatikan sikap Siau-hi-ji, dilihatnya anak muda itu masih tertawa-tawa, atau lebih tepat dikatakan menyengir. Waktu ia pandang Hoa Bu-koat, anak muda itu tetap menunduk tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekelilingnya.

Diam-diam So Ing menghela napas panjang.

Memang, melihat hubungan ketiga muda-mudi yang ruwet dan ajaib itu, apa yang dapat diperbuatnya selain menghela napas belaka?

Malahan sekarang ia sendiri pun terlibat ke dalam pusaran asmara ini. Ia merasa kekuatan pusaran ini sungguh teramat dahsyat dan menakutkan seolah-olah dikemudikan oleh sebuah tangan iblis yang misterius.

Mereka berempat, kalau kurang bijaksana, bukan mustahil akan tenggelam semuanya terseret ke dalam pusaran air itu.

Dalam pada itu sorot mata Kiau-goat Kiongcu yang dingin dan setajam sembilu itu lagi menatap Siau-hi-ji.

Siau-hi-ji menarik napas panjang-panjang, ia pun balas menatap Ih-hoa-kiongcu. Katanya dengan tersenyum, “Lumayan juga makanan yang kau antar tadi, cuma sayang tidak ada cabainya. Lain kali bila engkau menjamu makan diriku, jangan kau lupa bahwa aku suka makan pedas.”

Air muka Kiau-goat Kiongcu tidak mengunjuk perasaan apa-apa. Hoa Bu-koat terkejut dan angkat kepalanya, sungguh ia tak percaya bahwa di dunia ini ada orang berani bicara sedemikian terhadap Kiau-goat Kiongcu.

Didengarnya Kiau-goat lagi berkata, “Bagus, sekali ini kalian telah pegang janji dengan tepat.”

“Biarpun aku suka kentut terhadap orang lain, tapi terhadap Hoa Bu-koat harus dikecualikan,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Sekarang akan kuberi tempo lagi tiga jam, dalam tiga jam ini boleh kau mengatur napas dan menghimpun tenaga, tapi dilarang meninggalkan tempat ini,” kata Kiau-goat dengan dingin.

Siau-hi-ji berkeplok tertawa, ucapnya, “Haha, Ih-hoa-kiongcu tetap Ih-hoa-kiongcu, sedikit pun tidak sudi menarik keuntungan dari orang lain. Kau tahu aku lelah, maka sengaja memberi waktu istirahat bagiku.”

Kiau-goat Kiongcu tidak menghiraukannya lagi, ia berpaling ke sana dan berkata, “Kau ikut padaku, Bu-koat.”

“Aku ingin bicara sejenak dengan Hoa Bu-koat, boleh tidak?” seru Siau-hi-ji.

“Tidak boleh,” jawab Kiau-goat ketus tanpa menoleh.

“Mengapa tidak boleh” teriak Siau-hi-ji. “Memangnya kau khawatir kukatakan padanya bahwa Tong-siansing sama dengan engkau sendiri?”

Saat itu Hoa Bu-koat juga sudah berpaling ke sana tanpa menoleh, tapi Siau-hi-ji dapat melihat tubuhnya bergetar ketika mendengar ucapannya ini.

Tertawalah Siau-hi-ji, ia puas karena maksudnya telah tercapai.

Dilihatnya Kiau-goat Kiongcu mengajak Bu-koat ke bawah pohon di kejauhan sana, lalu berpaling dan seperti bicara apa-apa dengan Bu-koat. Namun Bu-koat berdiri mungkur ke sini.

Karena itulah sebegitu jauh Siau-hi-ji tidak dapat melihat bagaimana reaksinya, dengan sendirinya ia pun tidak dapat mendengar apa yang dipercakapkan mereka. Terpaksa ia menghela napas menyesal, gumamnya, “Seorang perempuan yang tidak bersuami hingga berumur 50-an tahun, andaikan sehat badaniahnya juga pasti akan sakit rohaniahnya. Adalah aneh jika dia bisa normal seperti orang lain.”

“Waktu tiga jam tidaklah lama, hendaklah kau mengaso sebaik-baiknya,” kata So Ing.

Saat itu sang surya baru saja menongol, hari masih pagi.

So Ing mengumpulkan daun-daun kering dan ditimbun di bawah pohon untuk tempat duduk Siau-hi-ji, caranya seperti seorang istri tercinta sedang mengatur tempat tidur bagi sang suami.

Thi Sim-lan berdiri di bawah pohon sana, air matanya berlinang-linang di kelopak matanya. Tiba-tiba ia merasa hidupnya di dunia ini hanya berlebihan belaka.

Kalau tadi ia tidak jadi mendekati Siau-hi-ji, tentu saja sekarang ia lebih-lebih tidak dapat mendekati anak muda itu. Tadi dia tidak kembali ke tempat Hoa Bu-koat sana, kini jadi lebih-lebih tak dapat kembali lagi ke sana.

Ia pun tahu, dalam keadaan demikian, baik Siau-hi-ji maupun Hoa Bu-koat pasti takkan mendekati dia. Ih-hoa-kiongcu telah merobek persahabatan antara kedua anak muda itu, jika tiada persahabatan antara mereka, maka nasib Thi Sim-lan jelas akan bertambah buruk dan mengenaskan.

Ia tahu paling baik baginya sekarang ialah menyingkir sejauhnya, makin jauh makin baik, maka segala apa yang terjadi tak bisa lagi dilihatnya.

Namun antara kedua orang yang dicintainya segera akan terjadi duel maut, masa dia tega tinggal pergi?

Thi Sim-lan adalah gadis yang keras hati, dalam keadaan begini, betapa pun ia tidak ingin mencucurkan air mata. Tapi apa yang dilihatnya, apa yang dialaminya sekarang mana bisa tidak membuatnya meneteskan air mata?

Angin meniup sepoi-sepoi, daun rontok berhamburan.

Ia berjongkok menjemput sehelai daun rontok itu, rasanya ia tidak ingin berbangkit lagi, dengan termangu-mangu dipandangnya butiran air mata sendiri yang menetes di atas daun kering yang kuping itu.

Dalam pada itu Siau-hi-ji telah merebahkan dirinya di atas “kasur” daun kering yang dibuat So Ing tadi.

Jika ada orang lain lagi merasa tegang dan ada pula yang menderita batin, hanya Siau-hi-ji saja yang tenang-tenang seperti tiada terjadi apa-apa, ia memejamkan matanya sambil menumpangkan sebelah kakinya di atas kaki yang lain, malahan mulutnya berdengung-dengung bernyanyi kecil lagi.

So Ing berdiri di samping sambil memandanginya, sejenak kemudian, ia menghela napas perlahan, lalu berkata, “Apakah sudah kau lihat Thi Sim-lan?”

“Tidakkah kau lihat tadi aku telah menyapanya?” jawab Siau-hi-ji.

“Hanya cukup menyapa begitu saja?”

“Mengapa tidak? Memangnya kau suruh aku menyembah padanya, begitu?”

“Tapi ... tapi dia sungguh harus dikasihani, mestinya kau mendekati dia dan menghiburnya.”

Mendadak Siau-hi-ji membuka matanya dan mendelik, “Mengapa aku harus mendekat dan menghiburnya? Mengapa dia tidak kemari?”

“Dalam keadaan demikian dia memang ... memang serba susah ....”

“Serba susah? Apakah kau tidak serba susah? Apalagi serba susahnya juga lantaran tindakannya sendiri. Siapa suruh dia diam saja di sana dan tidak mau ke sini? Kan kakinya tidak terpantek di sana?”

So Ing terdiam sejenak, katanya kemudian, “Apakah kau lagi cemburu?”

Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Mengapa kau selalu mengira aku cemburu? Jika aku suka cemburu seperti kalian ini, mungkin sekarang aku sudah berubah menjadi ikan masak saus asam.”

So Ing menghela napas pula, katanya, “Jika kau tidak mau mendekatinya, biarlah aku saja yang ke sana.”

“Nanti dulu,” seru Siau-hi-ji tiba-tiba.

“Ada apa?” tanya So Ing.

“Tahukah kau ada semacam kepandaian, yakni melihat gerakan bibir seseorang lantas diketahui apa yang sedang diucapkannya?”

“Ya, itu namanya ‘membaca kata-kata bibir’. Ada orang yang tidak paham seluk beluk ilmu ini lantas mengira kepandaian ini adalah apa yang disebut ‘ilmu mengirim gelombang suara’ dalam dongeng itu.”

“Apakah kau mahir membaca kata-kata bibir?”

“Tidak,” jawab So Ing.

“Ai, alangkah baiknya jika saat ini aku dapat membaca bibir Ih-hoa-kiongcu, entah apa yang sedang dikatakannya kepada Hoa Bu-koat?”

“Sekalipun tak dapat mendengarnya, tentunya dapat kau bayangkan juga. Apalagi yang dibicarakannya kalau bukan memberi petunjuk kepada Hoa Bu-koat dengan cara bagaimana harus membunuhmu.”

Siau-hi-ji termenung sejenak, ucapnya kemudian, “Ai, sungguh aneh. Waktu aku berada di dalam gua, Hoa Bu-koat berteriak memanggilku dan berbicara padaku dengan akrab. Tapi setelah kukeluar, dia lantas tidak gubris padaku, bahkan memandang sekejap saja tidak.”

“Dengan sendirinya karena dia dilarang bicara denganmu oleh Ih-hoa-kiongcu, mungkin dia khawatir kalau kalian bicara punya bicara dan akhirnya dari lawan akan berubah menjadi kawan.”

“Masa Hoa Bu-koat sendiri sama sekali tidak mempunyai pendirian?”

“Bila kau dibesarkan di Ih-hoa-kiong, dan selalu berhadapan dengan Ih-hoa-kiongcu, pasti juga kau akan kehilangan akal dan tiada pendirian.”

“Jika demikian, jadi Ok-jin-kok malah jauh lebih baik daripada Ih-hoa-kiong, yang berada di Ok-jin-kok paling tidak masih juga manusia, tapi yang hidup di Ih-hoa-kiong pada hakikatnya cuma setan, sekawanan mayat hidup.”

“Silakan kau mengaso saja, kupergi ke sana, segera kukembali,” kata So Ing dengan lembut.

“Mengapa kau berkeras hendak ke sana?” tanya Siau-hi-ji dengan mendelik, “Aku sendiri juga susah, mengapa tidak kau temani aku di sini?”

“Masa engkau tidak ingin tahu cara bagaimana dia dan Bu-koat dapat lolos dari liang tikus sana?” ujar So Ing dengan tersenyum.

*****

Butiran air mata di atas daun rontok itu sudah kering, namun air mata Thi Sim-lan sendiri belum lagi kering. Dilihatnya So Ing melangkah ke arahnya, sedapatnya ia bertahan agar air mata tidak menetes lagi.

Perlahan-lahan So Ing mendekatinya, tapi Thi Sim-lan sama sekali tidak angkat kepalanya. Rambutnya terurai tertiup angin, sehelai daun rontok tepat jatuh di atas kepalanya.

Dengan perlahan So Ing pungut daun kering itu, ucapnya dengan halus, “Apakah kau marah padaku?” pertanyaan ini sesungguhnya tidak cerdik, soalnya dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Thi Sim-lan juga tidak menjawab pertanyaan ini, sebab ia pun tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya.

Bayangan mereka membujur panjang tersorot sinar sang surya, bayangan mereka seolah-olah tertumpuk menjadi satu, namun hati mereka entah berjarak betapa jauhnya.

Selang sekian lama barulah Thi Sim-lan berdiri dengan perlahan, katanya kemudian, “Kutahu engkau pasti mengira aku dendam padamu lantaran kamu adalah sahabat Siau-hi-ji, tapi kau sengaja tidak mau berterus terang padaku, kau tahu di mana Siau-hi-ji berada, tapi kau suruh aku menunggumu di tempat yang lain.”

“Apakah betul kau tidak dendam padaku?” tanya So Ing menunduk.

Sim-lan tersenyum sedih, ucapnya, “Bila terjadi pada dua-tiga tahun lalu, mungkin sekali aku akan benci dan dendam padamu, tapi sekarang ... sekarang aku sudah tahu, apa yang diperbuat seseorang belum pasti timbul dari kehendaknya sendiri, ada kalanya seorang memang tak dapat mengekang keinginan diri sendiri, lebih-lebih dalam hal cinta, sering kali timbul secara di luar kehendaknya sendiri.”

“Tapi aku ....” mata So Ing menjadi basah juga.

“Kau tidak perlu menyesal. Apabila kutahu kau adalah sainganku, tentu aku pun takkan bicara secara terus terang padamu.”

So Ing menghela napas panjang, ia pegang tangan Thi Sim-lan, ucapnya dengan tersenyum haru, “Sungguh tak tersangka engkau adalah anak perempuan sebaik ini, yang kuharapkan sekarang sebenarnya adalah engkau bisa lebih kejam, lebih garang padaku, dengan demikian hatiku akan lebih terhibur.”

Thi Sim-lan memandangnya lekat-lekat, katanya tiba-tiba, “Tapi apa pun juga engkau takkan melepaskan Siau-hi-ji bagiku, bukan?”

Pertanyaan ini boleh dikatakan sangat bodoh, entah mengapa dia bisa mengajukan pertanyaan sedemikian?

So Ing juga menatapnya tajam-tajam, jawabnya, “Betul, takkan kulepaskan dia bagimu, sebab kalau kulepaskan dia, bisa jadi akan membuatmu terlebih serba susah, betul tidak?”

Kembali Thi Sim-lan menunduk, ucapan So Ing ini laksana jarum yang runcing tepat menusuk hatinya sehingga dia tidak tahu apa pula yang harus diucapkannya. Setelah daun rontok tadi diremasnya hingga hancur barulah dia berkata, “Sebenarnya tidak pantas kutanyakan hal ini padamu. Bisa jadi diriku sama sekali tidak terpikir oleh Siau-hi-ji, mungkin hanya engkau saja yang sesuai baginya.”

“Kau salah!” ucap So Ing.

“Salah?” Thi Sim-lan menegas heran.

“Ya, sebab Siau-hi-ji tidak melupakan dirimu, jika dia benar-benar tidak pernah memperhatikan dirimu, tentu dia sudah mendekat ke sini.”

Thi Sim-lan melengak, katanya, “Meng ... mengapa engkau mengatakan hal ini padaku? Mengapa tidak kau biarkan persoalan ini lenyap dari hatiku?”

“Mungkin disebabkan aku teramat ingin memiliki Siau-hi-ji, makanya aku tidak ingin dia dendam padaku, kelak, aku ingin dia memilih sendiri, jika orang yang disukai dia adalah dirimu, sekalipun kubunuh kau juga tiada gunanya bagiku.”

Makin tertunduk kepala Thi Sim-lan, dia coba meresapi suara So Ing, terasa penuh pahit getir hatinya. Maklum, semakin bertentanganlah perasaannya sekarang dan juga semakin ruwet, diam-diam ia bertanya pada dirinya sendiri, “Andaikan yang dipilih Siau-hi-ji adalah diriku, apakah aku benar-benar akan bergembira?”

Siapa pun tak tahu jawaban soal ini, bahkan dia sendiri pun tak tahu.

Tiba-tiba So Ing tertawa, katanya pula, “Apakah kamu telah bertemu dengan ayah angkatku? Bukankah tampangnya sangat menakutkan?”

“Aku tidak bertemu dengan dia,” jawab Sim-lan.

Tentu saja So Ing melengak heran, “Sebab apa? Memangnya kau tidak pergi ke tempat yang kusebutkan?”

“Sudah kupergi ke sana, tapi siapa pun tak kujumpai di sana.”

“Setiba di hutan sana masa tiada orang memapakmu? Jangan-jangan engkau kesasar ke tempat lain?”

“Aku tidak kesasar, setibanya di sana, kulihat di mana-mana hanya tikus belaka, aku menjadi ketakutan dan manjat ke atas pohon. Siapa tahu di atas pohon tergantung sesosok mayat, malahan kulihat di kejauhan ada beberapa lagi mayat bergelantungan di pohon. Selagi merasa bingung, waktu itulah Hoa ... Hoa-kongcu lantas muncul.”

So Ing melenggong dan berkhawatir.

“Menurut pandanganku, tentu telah terjadi perubahan besar di sana, akan lebih baik kalau engkau lekas memeriksanya ke sana.”

Tanpa menunggu habis ucapan Thi Sim-lan, segera So Ing lari pergi, tapi baru beberapa langkah ia lantas berhenti, apa pun juga Gui Bu-geh adalah orang yang pernah menolongnya, jika terjadi sesuatu atas diri Gui Bu-geh, betapa pun ia tak dapat berpeluk tangan. Namun sekarang ... sekarang Siau-hi-ji sedang memandangnya, mana boleh dia tinggal pergi begitu saja?

Seketika So Ing menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Pertentangan batin. Setiap orang tentu mengalami pertentangan batin dan berharap sang waktu akan berhenti pada detik demikian. Akan tetapi sejak dahulu hingga kini, sang waktu memang tidak pernah kenal kasihan. Semakin hendak kau tahan dia, semakin cepat dia akan berlalu.

Angin meniup kencang, pada saat itu juga sinar sang surya menjadi suram karena teraling oleh gumpalan awan tebal sehingga suasana jagat raya ini berubah menjadi lebih suram dan memilukan.

Melihat air muka si nona yang cemas itu, dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, “Tampaknya kau menjadi bingung kerena Ih-hoa-kiongcu mungkin telah membunuh Gui Bu-geh, begitu bukan?”

Belum lagi So Ing menjawab, tiba-tiba sesosok bayangan orang melayang tiba terbawa oleh angin.

Pendatang ini pun sama dingin dan sama cantiknya dengan Kiau-goat Kiongcu, hanya sepasang matanya yang jeli dan berkilau itu sedikit banyak mengandung perasaan kelembutan. Seperti daun yang jatuh, dengan enteng dia hinggap di samping Hoa Bu-koat.

Serentak Bu-koat berlutut dan menyembahnya.

Mata Siau-hi-ji terbelalak, ucapnya, “Mungkin engkau inilah Lian-sing Kiongcu? Engkau benar-benar berasal dari satu cetakan dengan kakakmu, seperti mayat hidup yang bisa bernapas saja.”

“Tapi mereka kakak beradik dapat membuat setiap orang Kangouw merasa segan, sampai menyebut nama mereka pun tak berani,” kata So Ing dengan tertawa. “Jika mereka hanya kau anggap sebagai mayat hidup yang bisa bernapas, maka di dunia Kangouw pasti penuh orang mati.”

“Salah kau,” seru Siau-hi-ji dengan tertawa. “Orang hidup harus bisa menangis, bisa tertawa, bisa gembira, bisa berduka dan juga bisa takut. Kalau hidup seperti mereka ini kan tiada artinya.”

Dia sengaja mengeraskan suaranya supaya didengar oleh Ih-hoa-kiongcu. Tapi kedua Ih-hoa-kiongcu ternyata tidak pedulikan dia, bahkan melirik saja tidak.

Berputar biji mata Siau-hi-ji, dengan tertawa ia berteriak pula, “Hah, orang lain mungkin sangat mengagumi mereka, tapi bagiku mereka sesungguhnya harus dikasihani. Seorang kalau tertawa saja tidak dapat, lalu apa bedanya dengan orang mati.”

Ih-hoa-kiongcu tetap tidak menggubrisnya dan entah sedang bicara apa dengan Hoa Bu-koat.

Kembali Siau-hi-ji terbahak-bahak, katanya, “Hahahaha, kau anggap mereka sebagai orang mati, bisa jadi mereka pun menganggap diriku ini orang mati, makanya apa pun yang kukatakan tak dipedulikan mereka dan juga tidak membuat mereka marah.”

Meski kata-kata ini diucapkan dengan tertawa, tapi bagi pendengaran So Ing dirasakan sangat mengharukan dan menusuk perasaan, hampir saja ia menitikkan air mata.

“Hahaha, tampaknya kau pun anggap aku ini orang mati, bukan?” seru Siau-hi-ji dengan tertawa. “Kau mengira aku pasti tiada harapan hidup lagi, bukan? Tapi paling tidak aku masih dapat hidup dua-tiga jam lagi, masih belum terlambat kiranya bagimu untuk menangis bila aku sudah mati nanti.”

Ingin tertawa juga So Ing, paling sedikit supaya bisa membesarkan hati Siau-hi-ji, tapi dalam keadaan demikian mana bisa lagi dia tertawa?

Sesungguhnya dia tidak tahu apakah Siau-hi-ji masih ada harapan untuk hidup seumpama dia mampu mengalahkan Hoa Bu-koat, sekalipun Hoa Bu-koat dibunuhnya, tapi apakah dia mampu melawan Ih-hoa-kiongcu, mustahil kalau dia takkan dibunuh oleh mereka? Jelas di dunia ini tiada seorang pun sanggup menyelamatkan Siau-hi-ji.

Maka Siau-hi-ji berkata pula, “Maukah kau tertawa? Asalkan kau tertawa sekejap saja, mati pun aku puas.”

So Ing benar-benar tertawa, tapi kalau dia tidak tertawa air matanya masih dapat dibendungnya, sekali tertawa, seketika air mata pun ikut bercucuran.

Tiba-tiba angin berkesiur, tahu-tahu Lian-sing Kiongcu telah berada di depan Siau-hi-ji, jengeknya, “Sudah hampir tiba waktunya, tahu tidak kau?”

“Kuharap waktunya akan tiba selekasnya, kalau tidak mungkin aku bisa mati tenggelam oleh lautan air mata,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sorot mata Lian-sing Kiongcu seperti memancarkan rasa senang, tapi air mukanya tetap dingin seperti es, katanya, “Adakah pesan yang hendak kau tinggalkan?”

“Tidak ada,” jawab Siau-hi-ji. “Waktu hidupku sudah terlalu banyak yang kuucapkan, setelah mati buat apa harus bikin repot orang lagi?”

“Apakah betul tiada sesuatu pula yang ingin kau katakan?” tanya Lian-sing Kiongcu. Berputar bola mata Siau-hi-ji, dengan tertawa dia berkata, “Ya, memang ada sesuatu ingin kutanyakan padamu?”

“Pertanyaan apa?”

“Perempuan seperti kau ini mengapa hingga kini belum kawin? Masa selama ini tiada seorang lelaki pun yang menyukaimu?”

Sekonyong-konyong Lian-sing Kiongcu membalik tubuh, namun sekilas Siau-hi-ji dapat melihat tubuhnya rada gemetar, rambutnya yang hitam panjang juga bertebaran tertiup angin.

Selang sejenak barulah terdengar Lian-sing berkata dengan tegas, “Berdiri kau!”

Sekali ini Siau-hi-ji sangat penurut, segera ia melompat bangun, tanyanya, “Apakah sekarang juga akan mulai?”

“Memangnya kau mau menunggu beberapa jam lagi?” jengek Lian-sing.

“Ya, memang tidak perlu menunggu lagi,” ujar Siau-hi-ji tertawa. “Betapa pun aku tidak gentar bertarung mati-matian dengan siapa pun juga. Waktu menunggu, itulah yang membuatku tersiksa, kalau segera dapat membedakan kalah dan menang serta mati dan hidup, cara demikian paling baik.”

Dilihatnya Hoa Bu-koat yang berdiri di bawah pohon sana juga mulai membalik tubuh perlahan-lahan.

Mendadak So Ing memegang tangan Siau-hi-ji dan berkata, “Apakah ... apakah kepadaku pun tiada sesuatu yang hendak kau katakan?”

“Tidak ada,” jawab Siau-hi-ji.

Perlahan-lahan jari So Ing satu per satu mengendur dan akhirnya melepaskan tangan Siau-hi-ji, ia menyurut mundur dua langkah, air mata pun tak terbendung lagi.

“Nah, Hoa Bu-koat dan Kang Siau-hi, sekarang dengarkanlah kalian!” seru Lian-sing Kiongcu. “Pertama, mulai sekarang kalian masing-masing melangkah maju lima belas tindak ke depan, begitu langkah lima belas tercapai, segera kalian boleh mulai bergebrak. Pertarungan ini hanya boleh dilakukan oleh kalian berdua, orang ketiga dilarang membantu. Barang siapa berani ikut campur, seketika jiwanya akan kubinasakan tanpa ampun.”

“Kau sendiri pun tidak boleh membantu bukan?” seru So Ing mendadak.

Belum lagi Lian-sing menjawab, dengan dingin Kiau-goat menyela, “Dia berani ikut campur, seketika aku pun akan membinasakan dia.”

“Sebaliknya kalau kau sendiri yang ikut turun tangan, lalu bagaimana?” tanya So Ing pula.

“Aku pun akan membinasakan diriku sendiri!” ucap Kiau-goat dengan tegas.

So Ing mengusap air matanya dan berteriak, “Nah, Siau-hi-ji, sudah kau dengar bukan? Apa yang telah dikatakan Ih-hoa-kiongcu, kuyakin pasti akan ditepatinya. Maka kumohon engkau harus terus berjuang sekuat tenaga dan jangan sampai dikalahkan olehnya.”

Ia tidak tahu bahwa pertarungan ini adalah pertarungan maut, yang kalah tiada jalan lain kecuali mati, sebaliknya nasib yang menang juga lebih tragis daripada yang kalah. Jika Siau-hi-ji terbunuh oleh Hoa Bu-koat, maka dia boleh dikatakan jauh beruntung daripada nasib Hoa Bu-koat nanti.

Cuaca terasa suram, awan berarak, di ujung ranting pohon masih ada beberapa helai daun kering yang tetap bertahan dari embusan angin yang kencang, tapi itu pun cuma rontakan sebelum ajal saja.

Siau-hi-ji sudah mulai melangkah ke depan. Hoa Bu-koat juga mulai menggeser langkahnya dengan perlahan.

Suasana yang mendung sudah mulai mencekam, hanya deru angin barat yang meniup kencang, tiada terdengar suara lain lagi di dunia ini.

Kiau-goat, Lian-sing, So Ing, Thi Sim-lan, empat pasang mata tanpa berkedip mengikuti setiap langkah Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat.

Meski apa yang terpikir oleh hati keempat orang itu berlainan, tapi ketegangan mereka sekarang jelas sama.

Thi Sim-lan tahu dalam sekejap lagi satu di antara kedua anak muda itu pasti akan roboh. Sesungguhnya ia tidak tahu siapa yang diharapkan roboh. Dalam lubuk hatinya ia pun tahu bilamana salah satu di antara kedua anak muda itu sudah roboh, maka pertentangan batinnya juga akan berakhir dan tidak perlu memilih lagi, dengan demikian persoalannya juga akan berubah jauh lebih sederhana.

Akan tetapi jalan pikiran demikian pada hakikatnya tak berani dibayangkannya, sebab kalau terpikir hal ini, ia menjadi marah pada dirinya sendiri, kalau bisa hati sendiri akan dikorek keluar dan dicincang hancur lebur.

Bahkan ia pun menolak adanya jalan pikiran demikian dalam benaknya, sebab jalan pikiran demikian sesungguhnya memang terlalu kotor, terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu keji dan tak berbudi.

Betapa pun ia tidak tahu bahwa seorang yang biasanya sangat luhur budinya, seorang yang tidak egois, seorang yang baik hati, terkadang juga bisa timbul pikiran-pikiran yang kotor dan mementingkan diri sendiri.

Memang begitulah tragisnya watak manusia dan tak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Sebab Malah Thi Sim-lan berharap dalam sekejap ini sebaiknya dunia ini kiamat saja, biarlah seluruh umat manusia dilebur menjadi abu.

Sedangkan hati So Ing hanya kesedihan belaka tanpa pertentangan batin apa pun, sebab dia sudah bertekad takkan hidup sendirian apabila Siau-hi-ji terbunuh oleh Hoa Bu-koat.

Dia tahu kesempatan menang bagi Siau-hi-ji tidak banyak, tapi dia berharap akan timbulnya keajaiban dan berharap Siau-hi-ji dapat merobohkan Hoa Bu-koat.

Justru lantaran harapannya itu sangat sederhana dan bersahaja, maka derita batinnya juga paling ringan.

Lantas bagaimana dengan Lian-sing Kiongcu dan Kiau-goat Kiongcu?

Kini rencana dan rekayasa mereka sudah hampir menjadi kenyataan. Kesabaran mereka selama berpuluh tahun kini pun sudah mendatangkan hasil, dendam kesumat mereka dalam waktu singkat juga akan terlampiaskan.

Tapi apakah semua ini telah membuat mereka merasa gembira?

Tidak!

Dendam kesumat yang terpendam selama dua puluh tahun ini dalam sekejap ini malah tambah berkobar.

Sorot mata Kang Hong yang menatap Hoa Goat-loh sebelum ajalnya dalam sekejap ini seakan-akan timbul pula di depan mata mereka.

Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, tidakkah mereka ini jelmaan Kang Hong?

Mereka hanya mengkhayalkan bilamana satu di antara kedua anak muda itu sudah roboh barulah dapat meringankan derita batin mereka, sebab hanya pada saat itu mereka akan menceritakan rahasia yang mengejutkan ini, rahasia ini mirip seutas rantai yang kukuh dan berat telah membelenggu jiwa mereka selama dua puluh tahun ini, hanya kalau mereka sudah menceritakan rahasia ini barulah mereka merasa bebas, bebas dari tekanan batin. Kalau tidak, maka untuk selamanya mereka akan tetap menjadi budak rahasia itu.

Dan sekarang mereka tetap harus menanti.

Diam-diam mereka menghitung setiap langkah Siau-hi-ji, “Satu ... dua ... tiga ....”

Siapa tahu, baru tiga tindak, tahu-tahu Siau-hi-ji berhenti, tiba-tiba ia menoleh dan tersenyum kepada So Ing, katanya, “Oya, baru saja teringat olehku ada sesuatu ingin kukatakan kepadamu.”

Bergetar hebat hati So Ing, air matanya berlinang-linang dan hampir menetes lagi. Apa pun juga nyata Siau-hi-ji toh bersikap padanya lain daripada yang lain.

“Bi ... bicaralah, akan kudengarkan,” ucap So Ing dengan menahan air mata.

“Begini, kunasehatkan kau lekaslah kawin mumpung masih muda, kalau tidak, makin tua tentu akan semakin tidak laku. Apabila kau sudah telanjur berusia lima puluh atau enam puluh, maka kau akan berubah seperti siluman tua macam mereka.”

Sungguh konyol. Ternyata beginilah pesan terakhir sebelum ajal Siau-hi-ji kepada So Ing. Dalam keadaan demikian dia masih dapat mengutarakan kata-kata seperti ini.

Seketika hati So Ing seperti dipuntir-puntir. Selang sejenak dengan menggereget barulah dia berkata, “Baiklah, jangan khawatir, pasti takkan kutunggu terlalu lama.”

Tapi Siau-hi-ji seperti tidak mendengar jawaban So Ing ini, dia mulai lagi melangkah maju ke depan.

Hanya ucapan yang acuh tak acuh begitu Siau-hi-ji telah meremukredamkan hati So Ing. Bahkan juga membikin marah Kiau-goat dan Lian-sing Kiongcu sehingga tubuh mereka gemetar dan muka pucat.

Akan tetapi Siau-hi-ji sendiri seakan-akan tidak merasa pernah mengucapkan kata-kata begitu.

Siau-hi-ji, wahai Siau-hi-ji, sesungguhnya orang macam apakah kau ini?

Sesungguhnya apa yang sedang kau pikirkan dan apa yang akan kau lakukan?

Yang aneh dan lucu adalah dalam keadaan demikian, dalam hati setiap orang justru berharap Siau-hi-ji menang, Thi Sim-lan juga tidak sampai hati menyaksikan keadaan Siau-hi-ji setelah dirobohkan oleh Hoa Bu-koat.

Entah mengapa, Thi Sim-lan selalu menganggap Hoa Bu-koat terlebih kuat daripada Siau-hi-ji, maka tiada alangan baginya untuk menderita lebih banyak, sebab itulah dia lebih suka Hoa Bu-koat yang roboh daripada Siau-hi-ji yang kalah.

Hoa Bu-koat sekali-kali tidak boleh kalah berbuat apa pun dan juga tidak boleh salah bicara apa pun. Sebaliknya apa pun yang diperbuat Siau-hi-ji dan apa pun yang diucapkannya selalu menusuk perasaan orang, namun orang tetap sudi memaafkan dia.

Yang lebih aneh dan ajaib adalah Kiau-goat serta Lian-sing Kiongcu juga berharap akan kemenangan Siau-hi-ji. Mungkin mereka tidak mau mengakui pikiran mereka ini, namun hal ini memang kenyataan.

Sebabnya, bila Hoa Bu-koat merobohkan Siau-hi-ji, maka mereka harus membeberkan rahasia ini di depan Hoa Bu-koat. Bahwa mereka mendidik dan membesarkan Hoa Bu-koat adalah bertujuan menuntut balas, selama belasan tahun ini berkumpul, sedikit banyak tentu timbul perasaan kasih sayang terhadap anak yang dibesarkan oleh mereka ini.

Betapa pun mereka kan manusia? Manusia yang berdarah daging dan berperasaan.

Karena itulah mereka juga berharap Siau-hi-ji yang akan merobohkan Hoa Bu-koat, sebab mereka dapat menggunakan rahasia di balik peristiwa ini untuk menyiksa batin anak muda itu, lalu menyaksikan dia mati di depan hidung mereka sendiri.

Diam-diam mereka tetap menghitung setiap langkah Siau-hi-ji, “... sepuluh, sebelas, dua belas ... tiga belas ....”

Tampaknya dalam sekejap lagi kedua saudara kembar itu akan saling bunuh tanpa kenal ampun. Sampai saat ini, di dunia ini tiada lagi seorang pun yang dapat mengubah nasib tragis mereka.

Tanpa terasa tersembul secercah senyum kepuasan di ujung mulut Kiau-goat Kiongcu.

Dalam pada itu Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sama-sama sudah mengayunkan langkah keempat belas.

Mata Siau-hi-ji senantiasa menatap Hoa Bu-koat, air muka Hoa Bu-koat tidak mengunjuk sesuatu perasaan apa pun, tapi sorot matanya selalu menghindarkan tatapan Siau-hi-ji.

Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat, apa pula yang sedang kau pikirkan sekarang?

Betapa pun lambat langkah mereka, namun langkah kelima belas akhirnya toh harus diayunkan. Tanpa terasa Kiau-goat dan Lian-sing Kiongcu ikut tegang, tangan mereka mengepal erat-erat.

Tapi tangan Thi Sim-lan dan So Ing bergerak saja terasa berat, tangan mereka gemetar sedemikian keras seperti orang yang menggigil kedinginan.

Di luar dugaan, pada saat itulah mendadak Siau-hi-ji roboh terkapar.

Dalam keadaan tegang, pada detik semua orang menahan napas, secara tak terduga-duga dan mengherankan Siau-hi-ji roboh tanpa sebab.

Seketika juga Hoa Bu-koat melenggong, Thi Sim-lan juga melengak. Tentu saja So Ing terlebih-lebih tercengang. Kalau tadi tubuh mereka seakan-akan penuh terisi oleh darah hangat saking tegangnya, kini darah yang memenuhi tubuh mereka itu seolah-olah mendadak tersedot habis seketika, benak mereka pun serasa hampa, semuanya bingung, tiada yang tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi perubahan yang timbul mendadak ini.

Bahkan Kiau-goat dan Lian-sing Kiongcu juga sama melenggong, air muka mereka pun berubah hebat.

Terlihat Siau-hi-ji yang terkapar di tanah itu terus menggigil seperti orang sakit malaria, bahkan makin lama makin hebat menggigilnya, sampai akhirnya tubuhnya meringkuk menjadi satu seperti ebi atau udang kering.

“Apa-apaan kau ini?” omel Lian-sing Kiongcu.

“Dia cuma pura-pura mampus,” kata Kiau-goat dengan gusar.

“Tapi ... tapi dia ... dia tidak ....” Bu-koat tergagap-gagap dan tidak dapat meneruskan.

“Bunuh dia, lekas bunuh dia!” bentak Kiau-goat dengan bengis.

Namun Bu-koat cuma menunduk saja, katanya, “Dia tidak sanggup melawan sama sekali, mana Tecu boleh turun tangan?”

“Kalau dia tidak berani bergebrak denganmu berarti dia mengaku kalah, mengapa kau tidak boleh membunuh dia?” kata Kiau-goat pula.

Bu-koat menunduk, tidak menjawab dan juga tidak turun tangan.

“Apa yang kukatakan padamu tadi apakah sudah kau lupakan?” tanya Kiau-goat dengan gusar.

Dengan suara parau So Ing lantas menyela, “Mana boleh kalian membunuh orang yang tak dapat melawan sama sekali?!” Seperti orang gila ia terus lari maju hendak menubruk tubuh Siau-hi-ji, tapi mendadak terasa suatu arus tenaga mahadahsyat mendampar tiba, tanpa terasa ia terdorong terjungkal ke belakang.

Terdengar Kiau-goat Kiongcu membentak dengan bengis, “Kenapa diam saja dan tidak lekas turun tangan, masa setiap kali dia berlagak mau mampus lantas kau tidak tega membunuhnya? Masa sudah kau lupakan peraturan perguruan kita? Kau berani membangkang pada perintahku?”

Butiran keringat tampak memenuhi dahi Hoa Bu-koat, dengan menunduk ia pandang Siau-hi-ji, ucapnya kemudian, “Kenapa kau tidak berdiri saja untuk bertempur? Masa kau memaksa aku membunuh dalam keadaan begini?”

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa lebar, katanya, “Baiklah, lekas kau bunuh aku saja, betapa pun takkan kusalahkan kau, sebab ini tak dapat dianggap kau yang membunuhku, orang yang membunuhku sesungguhnya ialah Kang Giok-long.”

Kiau-goat Kiongcu melengak, tanyanya, “Apa artinya ucapanmu ini?”

Siau-hi-ji menghela napas, jawabnya, “Sebab kalau aku tidak keracunan, tentu kini aku takkan lemas begini sehingga tak dapat bertempur, dan tentunya juga takkan mati konyol begini. Karena itulah, seumpama sekarang kau bunuh diriku juga bukan salahmu dan kau pun tidak perlu menyesal sebab pada hakikatnya bukan kau yang membunuh aku.”

Mendadak ia menatap Kiau-goat dan berkata pula, “Yang membunuhku sesungguhnya ialah Kang Giok-long.”

Kiau-goat dan Lian-sing saling pandang sekejap, tanpa terasa kedua Ih-hoa-kiongcu ini jadi tertegun.

Selang sejenak barulah Kiau-goat bertanya pula dengan suara bengis, “Mengapa kau bisa diracun oleh Kang Giok-long?”

“Betapa pun pintarnya seorang terkadang juga bisa tertipu,” jawab Siau-hi-ji dengan menyengir.

“Kau terkena racun apa?” tanya Lian-sing.

“Li-ji-hong,” tutur Siau-hi-ji.

Lian-sing menghela napas panjang-panjang, ucapnya sambil menatap Kiau-goat, “Melihat keadaan ini, tampaknya memang mirip bekerjanya racun Li ji-hong.”

Air muka Kiau-goat yang pucat itu tampak semakin dingin, selang sejenak, tiba-tiba ia mendengus, “Orang ini banyak tipu akalnya, mana boleh kau percaya pada ocehannya.”

“Percaya atau tidak terserah padamu,” ujar Siau-hi-ji. “Yang jelas waktu aku keracunan cukup banyak-orang yang menyaksikannya.”

“Siapa yang menyaksikan?” tanya Kiau-goat cepat.

“Ada Thi Peng-koh, ada pula seorang yang bernama Oh Yok-su, dengan sendirinya juga ada Kang Giok-long yang meracuniku,” kata Siau-hi-ji.

Lian-sing dan Kiau-goat saling pandang pula sekejap, mendadak mereka melayang berbareng ke sana seperti tertiup angin, hanya sekejap saja mereka sudah berada di bawah pohon sana.

Orang keracunan, hal ini sungguh harus disesalkan, juga menyedihkan. Tapi dalam hati So Ing, Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat sekarang diam-diam justru bergirang, merasa keracunannya Siau-hi-ji sekarang benar-benar kejadian yang beruntung dan menggembirakan.

Dalam pada itu setelah bersama melayang ke bawah pohon sana. Lian-sing Kiongcu lantas bertanya kepada sang kakak, “Sekarang bagaimana pendapatmu?”

Bibir Kiau-goat Kiongcu tampak terkancing rapat dan tidak menjawab.

Maka Lian-sing berkata pula. “Jika Kang Siau-hi betul-betul terkena racun Kang Giok-long, maka kematiannya tidak dapat dianggap terbunuh oleh Hoa Bu-koat. Dengan demikian usaha kita selama ini menjadi tiada artinya sama sekali.”

Sorot mata Kiau-goat setajam pisau mendadak menatap sang adik, ucapnya dengan suara tertahan, “Inilah hasil dari akalmu yang bagus, akalmu ini yang telah membikin susah aku menunggu selama 20 tahun, katamu setelah mereka dewasa tentu akan saling bermusuhan dan saling bunuh, tapi sekarang Hoa Bu-koat harus kupaksa barulah mau turun tangan.”

“Ya, tapi 20 tahun yang lalu mana bisa terpikir olehku bahwa setelah dewasa Siau-hi-ji bisa berubah menjadi begini?” ujar Lian-sing. “Kalau saja ia bukan orang macam begini, bukankah sudah lama Bu-koat telah membunuhnya?” ia menghela napas, lalu menyambung, “Memang banyak kejadian di dunia ini yang tak dapat diduga oleh siapa pun juga, masa engkau menyalahkan aku?”

“Habis siapa kalau bukan kau yang harus kusalahkan?” omel Kiau-goat. “Jika tidak yakin akan akalmu itu, mestinya tidak ... tidak perlu kau laksanakan.”

Mendadak Lian-sing menjengek, “Walaupun aku yang mengusulkan akal ini, tapi waktu itu engkau tidak menyanggahnya. Apalagi, bila engkau merasa akalku ini tidak baik, sekarang pun belum terlambat bagimu untuk membunuh mereka berdua.”

Mendadak tangan Kiau-goat terangkat, seperti hendak menampar muka adiknya. Tapi sorot mata Lian-sing tampak mencorong tajam seakan-akan hendak mengatakan, “Aku bukan anak kecil lagi sekarang dan tidak boleh kau pukul sesuka hatimu.”

Akhirnya tangan Kiau-goat diturunkan kembali, ucapnya kemudian dengan suara gemetar, “Aku ... aku sudah menderita selama 20 tahun dan baru sekarang kau suruh aku membunuh mereka?”

“Kau menderita selama 20 tahun, memangnya selama 20 tahun ini aku hidup gembira?” ujar Lian-sing dengan nada haru. Selang sejenak, ia menyambung pula, “Tapi penderitaan kita selama 20 tahun ini juga tidak sia-sia, sebab di kolong langit ini hanya kita berdua saja yang tahu kedua anak muda ini sebenarnya adalah saudara kembar. Jika rahasia ini tidak kita siarkan, maka sampai mati pun mereka takkan tahu.”

Air muka Kiau-goat mulai tenang kembali, katanya, “Ya, betul, sampai mati pun mereka tidak tahu.”

“Sebab itulah, lambat atau cepat, pada suatu hari akhirnya mereka pasti juga akan saling membunuh, nasib mereka sudah ditakdirkan begitu, kecuali kita berdua, siapa pun tak dapat mengubah nasib mereka,” Lian-sing merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan sekata demi sekata, “Dan kita berdua jelas pasti takkan mengubah nasib mereka itu, betul tidak?”

“Ya,” jawab Kiau-goat.

“Nah, jika begitu, hakikatnya sekarang pun kita tidak perlu cemas,” ujar Lian-sing. “Meski rasanya tersiksa kalau kita harus menunggu dan menunggu lagi, tapi mereka kan juga menderita? Kita justru akan menyaksikan mereka bergelut dengan nasibnya sendiri, mirip seperti seekor kucing yang memandangi tikus yang meronta di bawah cakarnya. Apalagi kita sudah menunggu selama 20 tahun, apa alangannya jika sekarang kita menunggu lagi dua tiga bulan?”

“Lantas maksudmu ....” mendadak Kiau-goat tidak meneruskan, sebab tiba-tiba dilihatnya sang adik lagi tertawa. Selama hidupnya untuk pertama kali inilah dia meminta pendapat sang adik. Betapa pun ia merasakan wibawa sendiri telah mengalami gangguan, maka tanpa menunggu jawaban Lian-sing ia lantas melanjutkan, “Kutahu maksudmu, kau hendak menawarkan dulu racun Kang Siau-hi-ji itu, kemudian Bu-koat kau suruh membunuhnya, kau ingin dia benar-benar mati di tangan Hoa Bu-koat, begitu bukan?”

Terpancar rasa senang dalam sorot mata Lian-sing Kiongcu, ucapnya dengan suara lembut, “Betul, sebab hanya dengan cara begini barulah dapat membuat Bu-koat merasa menyesal dan tersiksa sehingga merasa mati lebih baik daripada hidup.”

“Sedangkan kalau sekarang kita suruh dia membunuh Kang Siau-hi tentu dia akan memaafkan dirinya sendiri, bahkan bisa jadi dia akan membunuh Kang Giok-long untuk membalaskan sakit hati Kang Siau-hi, jika terjadi demikian, maka rencana kita menjadi tiada artinya sama sekali.”

Kiau-goat terdiam sejenak, katanya kemudian, “Tapi apakah kau tahu Kang Siau-hi ini benar-benar keracunan atau tidak?”

“Untuk ini segera dapat kita ketahui,” ujar Lian-sing.

Di sebelah sana Siau-hi-ji masih rebah menggigil, tapi So Ing, Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat tidak lagi memperhatikannya, pandangan mereka justru tertuju ke arah kedua Ih-hoa-kiongcu di bawah pohon sana.

Tapi ini tidak berarti mereka tidak ambil pusing lagi terhadap Siau-hi-ji, justru lantaran mereka terlalu memikirkan keadaan Siau-hi-ji itulah, maka mereka ingin tahu bagaimana sikap Ih-hoa-kiongcu. Dari sorot mata yang tiga pasang itu mereka ingin tahu sedikit kabar berita dari gerak-gerik Ih-hoa-kiongcu.

Cuma sayang, apa pun tak terlihat oleh mereka, bahkan satu kata saja tak terdengar. Mereka hanya melihat wajah Kiau-goat yang dingin penuh diliputi rasa dendam dan benci, penuh nafsu membunuh. Makin dipandang makin cemas mereka, sehingga bertambah khawatir bagi keselamatan Siau-hi-ji.

Waktu berbicara kedua Ih-hoa-kiongcu itu tidak lama, tapi bagi mereka bertiga rasanya telah menunggu beberapa jam lamanya, semakin gelisah dan cemas rasa mereka, semakin lambat pula lalunya sang waktu.

Hanya Siau-hi-ji saja, meski tubuhnya masih terus menggigil, tapi sikapnya sama sekali tidak khawatir. Dia seperti yakin Ih-hoa-kiongcu pasti takkan membunuhnya sekarang.

Entah sudah lewat beberapa lama pula, akhirnya kelihatan kedua kakak beradik Ih-hoa-kiongcu melangkah kemari dengan perlahan. Segera Bu-koat hendak menyongsong mereka, tapi baru bergerak kakinya segera berhenti lagi.

Setiba di depan Siau-hi-ji, dengan suara bengis Kiau-goat lantas bertanya, “Waktu kau keracunan antara lain disaksikan juga oleh Peng-koh, begitu?”

Siau-hi-ji mengiakan sambil merintih.

“Baik, boleh kau suruh dia keluar, akan kutanyai dia,” kata Kiau-goat.

“Ke mana harus kupanggil dia? Pada hakikatnya aku tidak tahu dia berada di mana sekarang?” jawab Siau-hi-ji.

“Kan jelas dia kulemparkan ke dalam gua itu?” bentak Kiau-goat dengan gusar.

“Hah, apakah kau kira gua ini cuma ada sebuah jalan keluar-masuk di sini?”

“Memangnya masih ada jalan keluar lain? Jika ada, masa kau tidak kabur sejak tadi-tadi,” jengek Kiau-goat.

Siau-hi-ji balas menjengek, “Untuk apa kukabur? Betapa pun kan aku tidak boleh ingkar janjiku kepada Hoa Bu-koat. Tapi Thi Peng-koh memang sudah pergi sejak tadi, jika tidak percaya, kenapa tidak kau periksa sendiri ke dalam sana.”

Belum habis ucapannya secepat terbang Kiau-goat Kiongcu telah melayang ke tebing sana. Tali yang dilemparkan ke bawah oleh Hoa Bu-koat tadi masih bergelantungan di situ. Dengan gesit Kiau-goat lantas melorot ke dalam gua. Tidak lama kemudian, secepat angin ia keluar lagi. Dari air mukanya dapat terlihat dia pun merasa heran dan tak terduga-duga.

“Nah, sekarang kau percaya tidak?” jengek Siau-hi-ji.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes