Wednesday, May 12, 2010

bgp5_part3

“Tampaknya ketiga nyonya cantik ini masih hijau, mereka tidak tahu cara setan judi meneruskan orang,” kata Pek-Khay-sim. “Memulihkan modal? Hah, jika ini yang mereka harapkan, kukira sebentar celana mereka pun harus dilepas.”

“Memangnya kau kira mereka benar-benar ingin memulihkan modal mereka yang sudah ludes itu?” tanya To Kiau-kiau.

“Bukan untuk memulihkan kekalahan tadi, habis untuk apa?” jawab Pek Khay-sim. “Tadi kau malah mengira mereka hendak mencari perkara kepada Ok-tu-kui, nyatanya sehabis kalah ludes segera mereka hendak pergi, mana ada tanda-tanda hendak mencari perkara?”

To Kiau-kiau hanya tertawa saja dan tidak menanggapi lagi.

Dalam pada itu nampak Han-wan Sam-kong sedang garuk-garuk kepala dengan tertawa gembira, katanya “Sekali ini nona hendak pasang berapa?”

Dengan tertawa si nona baju ungu menjawab, “Meski kau percaya penuh pada kami, tapi kami tidak ingin melanggar peraturan judi, apalagi, kalau cuma omong kosong belaka, kurang semangat rasanya.”

“Hahaha, bagus, bagus, memang betul, para nona benar-benar penjudi sejati,” seru Han-wan Sam-kong dengan terbahak-bahak. Mendadak ia berhenti tertawa dan bertanya dengan mata terbelalak, “Tapi modal yang nona bawa kan sudah kalah ludes tadi?”

“Meski harta kami sudah kalah ludes, tapi orangnya kan belum sampai ikut ludes,” ucap si nyonya baju ungu dengan hambar.

“Orangnya?” melengak juga Han-wan Sam-kong, ia tidak tahu apa arti ucapannya si nyonya.

Dengan tersenyum lantas nyonya baju ungu itu menjelaskan, “Orang, terkadang kan boleh dijadikan barang taruhan. Apabila setan judi sudah memegang kartu bagus, maka segala apa pun tidak sayang untuk dipertaruhkan. Tuan sudah berjudi selama berpuluh tahun, masa tidak tahu kebiasaan itu?”

Han-wan Sam-kong bergelak tertawa, katanya “Benar, memang benar, sungguh tak tersangka cara bertaruh para nona lebih berpengalaman daripadaku “

“Nah, tentunya kau tahu, bilamana lelaki sudah kalah habis-habisan, sering kali istrinya sekaligus ikut dipertaruhkan,” kata si nyonya baju ungu. “Bagi kami orang perempuan dengan sendirinya tak dapat mempertaruhkan dirinya sendiri.”

“Haha, bagus, bagus!” seru Han-wan Sam-kong dengan bertepuk tertawa. “Sudah rata kujelajahi dunia ini, baru sekarang aku benar-benar ketemu tandingan.” Lalu ia gosok-gosok tangannya dan bertanya, “Nah, cara bagaimana nona ingin bertaruh, silakan bicara saja, pasti akan kulayani.”

“Cara bertaruh kami pun sangat sederhana,” jawab si nyonya baju ungu. “Seperti aturan umum, juga pasang satu mendapat satu.”

“Pasang satu apa?” tanya Han-wan Sam-kong sambil berkedip-kedip heran.

“Pasang satu orang?!” kata si nyonya.

Han-wan Sam-kong mengerling sekejap atas diri ketiga nyonya jelita itu lalu bergelak tertawa dan berkata, “Tapi kalau kami diharuskan membayar orang seperti nyonya-nyonya, betapa pun kami tidak sanggup.”

“Yang kita pertaruhkan sudah tentu terbatas pada orang yang berhadapan di sini,” kata si nyonya berbaju ungu, “Bila kami menang, cukup salah satu di antara kalian ikut pergi bersama kami.”

Seketika Han-wan Sam-kong melotot bingung, tanyanya kemudian, “Dan kalau nona kalah, lalu bagaimana?”

Nyonya baju ungu tersenyum, jawabnya, “Jika kami kalah, dengan sendirinya salah satu di antara kami juga akan ikut bersama kalian.”

Penjelasan itu seketika membuat geger pula, para penonton sama merasa cara pertaruhan demikian hakikatnya terlalu menguntungkan pihak Han-wan Sam-kong, kalah atau menang pada hakikatnya boleh dikatakan tiada ruginya.

Coba bayangkan, jika menang, secara otomatis mereka akan mendapatkan istri cantik, sebaliknya kalau kalah, siapa yang akan dipilih ikut pergi bersama ketiga nyonya cantik itu kan juga berarti akan menuju ke surga impian.

Pek Khay-sim jadi melotot mendengar cara pertaruhan ganjil itu, omelnya, “Masa ketiga nyonya cantik ini telah penujui Ok-tu-kui? Kalau tidak mengapa mereka menghendaki pertaruhan cara begini?”

“Ya, sekarang aku pun makin bingung dan tidak tahu apa maksud tujuan kedatangan mereka ini.” ujar To Kiau-kiau.

Terdengar Han-wan Sam-kong lagi tertawa dan berteriak, “Bagus, cocok, sungguh bagus?”

“Jadi kau setuju cara pertaruhan kami?” tanya si nyonya baju ungu.

“Tentu saja, masa tidak setuju?” jawab Han-wan Sam-kong.

“Tanya dulu kongsimu itu, apakah dia juga setuju?” si nyonya menegas.

Pertanyaan ini ditujukan kepada Han-wan Sam-kong, tapi pandangannya beralih ke arah si hitam kurus yang sejak tadi tetap bungkam saja.

Kecuali pada waktu mangkuk dadu dibuka, sedikit banyak akan kelihatan air mukanya yang ikut prihatin dan juga menyorotkan sinar mata yang bersemangat, lebih dari itu ia tetap duduk termangu saja tanpa mengunjuk sesuatu perasaan, seakan-akan apa yang terjadi di rumah judi yang ramai ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan dia.

Begitulah Han-wan Sam-kong lantas menjawab dengan tertawa, “Saudaraku ini serupa denganku, ia pun tidak punya hobi lain kecuali bertaruh. Asalkan bertaruh, bagaimana pun caranya pasti disetujuinya.”

Si nyonya jelita mengerling sekejap, katanya pula, “Tapi aku tetap ingin mendengar sendiri persetujuannya.”

Han-wan Sam-kong menepuk pundak si hitam kurus itu dan berkata, “Baiklah, boleh kau menyatakan sendiri persetujuanmu.”

Si hitam kurus seperti baru terjaga dari impian, dengan bingung ia memandang sekitarnya dan berkata, “Setuju apa?”

“Jika kita kalah, maukah kau ikut pergi bersama mereka?” tanya Han-wan Sam-kong.

Tanpa pikir sama sekali si hitam kurus lantas menjawab, “Setuju!”

Tapi si nyonya baju ungu lantas menambahkan, “Ke mana pun kau harus ikut, kau setuju?

“Ke mana pun tidak menjadi soal bagiku,” kata si hitam kurus sambil menghela napas panjang. “Bagiku tempat mana pun sama saja.”

Segera Han-wan Sam-kong berkata, “Jangan kalian kira saudaraku ini ketolol-tololan, yang benar dia adalah lelaki sejati, apa yang sudah diucapkannya tidak akan dijilatnya kembali.”

“Aku pun percaya penuh,” kata si nyonya baju ungu dengan tersenyum.

“Jika demikian, ayolah kalian pasang!” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa, segera ia angkat mangkuk dadu itu dan mulai dikocok, tanyanya kemudian sambil melototi si nyonya baju ungu, “Sekali ini kau pegang besar atau kecil?”

“Besar!” jawab si nyonya baju ungu tanpa ragu. Dia tetap pasang ‘besar’, padahal tadi dia sudah kalah tujuh kali.

Seketika terjadi kegemparan di antara para penonton, semua seakan-akan sudah membayangkan nyonya cantik ini pasti akan kalah lagi.

Segera Han-wan Sam-kong angkat mangkuk dan mengguncang dadu. ‘Brek’, mendadak ia taruh kembali mangkuk dadu, tangan memegang tutup mangkuk dan tidak segera dibukanya.

Pada waktu mengocok dadu sama sekali Han-wan Sam-kong tidak tegang. Tapi setelah berhenti mengocok, mau tak mau ia menjadi agak tegang, betapa pun cara taruhan ini memang luar biasa.

Sebaliknya ketiga nyonya itu tetap tenang saja sambil tersenyum seolah-olah meremehkan pertaruhan ini.

Semua orang juga ikut menahan napas, suasana dalam kasino menjadi hening, begitu sunyi sehingga bunyi jarum jatuh ke lantai saja akan terdengar.

Sekonyong-konyong Han-wan Sam-kong berteriak, “Buka!”

Waktu tutup mangkuk diangkat, titik ketiga dadu menunjukkan lima-enam-enam atau sama dengan tujuh belas.

“Besar!” Akhirnya tepat juga pasangan para nyonya jelita itu.

Serentak ada sebagian penonton bersorak gembira tanpa terasa. Maklum, betapa pun penjudi-penjudi juga manusia, manusia pada umumnya tentu bersimpatik kepada kaum lemah, konon perempuan itu kaum lemah. Selain itu, biasanya kaum penjudi juga bersimpatik kepada pihak yang kalah, asalkan saja pihak yang menang bukan mereka sendiri.

Setelah jelas kalah, Han-wan Sam-kong bahkan tidak tegang lagi, ia bergelak tertawa, serunya, “Bagus, bagus! Rupanya kalian sudah resmi diterima menjadi murid oleh malaikat judi, maka sekali-sekali kalian pun diberi menang. Jika kalian hanya kalah melulu tentu selanjutnya kalian akan kapok.”

Si nyonya baju ungu tersenyum, katanya, “Jika demikian, jadi sekali ini kami yang menang?”

“Dengan sendirinya kalian yang menang, masa kami menyangkal?” ujar Han-wan Sam-kong.

“Kalau begitu, bandar kan harus bayar!” kata si nyonya baju ungu.

Tertegun juga Han-wan Sam-kong, ia mengusap keringat di mukanya, lalu berkata, “Masa nona benar-benar menghendaki aku ikut pergi bersama kalian?”

“Yang kami kehendaki bukanlah dirimu,” jawab si nyonya baju ungu sambil menggeleng.

Han-wan Sam-kong menjadi heran, tanyanya dengan tertawa, “Bukan diriku? Habis siapa?”

“Dia!” kata si nyonya baju ungu sambil menunjuk si hitam kurus di samping Han-wan Sam-kong, lalu melanjutkan dengan tersenyum, “Silakan saudara ini ikut pergi bersama kami.”

Untuk sejenak si hitam kurus kecil itu melenggong, tapi, mendadak ia pun berdiri dan melangkah keluar.

Cepat Han-wan Sam-kong mencegahnya sambil berseru, “He, kau ... kau benar-benar hendak pergi?”

“Ehm,” jawab si hitam kurus.

Han-wan Sam-kong berkerut kening, katanya pula, “Tapi modal judi ini ada setengahnya milikmu.”

“Untukmu seluruhnya,” jawab si hitam kurus. Maklumlah, sedangkan jiwa raga sendiri saja tak sayang lagi, apalagi harta benda segala.

Si nyonya baju ungu tersenyum, katanya, “Jangan khawatir, ikutlah bersama kami, pasti takkan merugikan kau.”

Tapi si hitam mirip orang linglung dan tiada menghiraukan perkataan mereka, ia tetap berdiri kaku seperti patung.

Para nyonya itu tersenyum kepada Han-wan Sam-kong, lalu membalik ke sana dan melangkah pergi.

Sejak tadi Han-wan Sam-kong hanya memandangi mereka dengan terbelalak, mendadak ia membentak, “Nanti dulu!” Berbareng itu tubuhnya yang besar itu terus mengapung ke atas, seperti seekor burung raksasa ia melayang ke ambang pintu dan tepat mengadang di depan ketiga nyonya jelita.

Melihat Ginkangnya yang hebat itu, tanpa terasa para penonton sama berteriak, ada yang berteriak karena kagum, ada yang berseru karena kejut.

Namun ketiga nyonya cantik itu tetap tenang-tenang saja, sampai mata pun tidak berkedip, si baju ungu membuka suara dengan tersenyum, “Kami tidak ingin berjudi lagi dan ingin pulang saja, harap Tuan memberikan jalan.”

“Hah, baru sekarang kutahu tujuan kalian adalah Oh-lauteku ini,” jengek Han-wan Sam-kong, “Sesungguhnya kalian hendak mengapakan dia? Akan bawa dia ke mana?”

“Semua ini tidak perlu kau urus,” jawab nyonya baju ungu dengan ketus, “Kau sendiri sudah bilang, boleh main nakal, boleh main licik tapi tidak boleh curang dan tidak membayar. Sekarang kau sudah kalah, masa akan ingkar janji?”

Muka Ok-tu-kui menjadi agak merah, namun dia masih penasaran, tanyanya pula, “Jika kalian kalah apakah benar-benar kau mau ikut padaku?”

“Jika kami kalah, dengan sendirinya ada di antara kami yang ikut pergi bersamamu,” jawab si nyonya baju ungu dengan hambar. “Mana jumlah saudara sekeluarga kami kan sangat banyak ....”

Tiba-tiba mata Han-wan Sam-kong terpicing hingga cuma tinggal sejalur sempit saja, ia pandang ketiga nyonya jelita ini dari atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu menegas, “Kau bilang kalian bersaudara banyak?”

“Ya, sangat banyak,” jawab si nyonya baju ungu.

“Adakah sembilan orang?” tanya Han-wan Sam-kong.

Sejenak si nyonya baju ungu terdiam, tapi akhirnya menjawab, “Ya, tidak kurang dan tidak lebih memang persis sembilan.”

Mendengar ini, mata Han-wan Sam-kong yang terpicing itu kembali terpentang lebar, bahkan melotot hingga sebesar gundu. Si hitam kurus kecil yang sejak tadi diam-diam saja mendadak juga tergetar, mukanya seketika berubah merah, serasa tersirap darah di sekujur badannya, dengan melotot ia bertanya, “Apakah engkau ... Buyung ....”

Si nyonya baju ungu tertawa, jawabnya, “Aku Jit-nio (ketujuh), ini Lak-ci (kakak keenam), dan itu Pat-moay (adik kedelapan).”

Kedua nyonya muda di sampingnya juga tersenyum manis, kata salah satu yang disebut Lak-ci itu, “Meski kau tidak pernah melihat kami, tapi sudah lama kami tahu akan dirimu.”

Air muka si hitam tiba-tiba berubah pucat sambil menyurut mundur.

Si nyonya baju ungu atau Buyung Jit-nio lantas berkata, “Kami pun tahu ucapanmu adalah seperti emas yang tak pernah berubah karatnya.”

“Hahahaha! Menurut berita di dunia Kangouw, katanya sembilan kakak beradik Buyung kebanyakan sudah mendapatkan suami pilihan, bahkan kakak beradik Buyung itu rata-rata memiliki dua-tiga jurus,” seru Han-wan Sam-kong.

“Perempuan yang tidak punya dua-tiga jurus, mana bisa mendapatkan suami baik?” Buyung Jit-nio menanggapi dengan tak acuh.

“Betul, tepat!” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa. Lalu dia menyambung pula, “Hampir semua orang Kangouw juga tahu, ilmu silat paling tinggi di antara kakak beradik Buyung itu adalah Ji-ci (kakak kedua) Buyung Siang, sedang yang paling pintar bekerja ialah Buyung Kiu, si bungsu.”

Mendengar nama “Buyung Kiu” disebut, tiba-tiba muka si hitam kurus menjadi merah.

Tapi Han-wan Sam-kong lantas menyambung, “Padahal kalau menurut penilaianku, kalian bertiga toh tidak lebih jelek daripada Buyung Kiu, hanya saja dalam pandangan kaum lelaki, perempuan yang masih perawan memang lebih cantik daripada perempuan yang sudah bersuami.”

“Ehm, boleh juga cara bicaramu,” ujar Buyung Jit-nio dengan tertawa. “Nah, apa pula yang kau ketahui, boleh kau beberkan saja seluruhnya.”

“Kutahu bahwa nasib Buyung Kiu tidak sebaik kakak-kakaknya,” kata Han-wan Sam-kong. “Belum lama ini mendadak ia menghilang entah ke mana. Padahal kedelapan Cihunya (kakak iparnya) adalah berasal dari keluarga termasyhur di dunia ini, pergaulan mereka boleh dikatakan luas sampai tiap pelosok, namun sudah tiga tahun mereka mencari adik mereka itu dan tetap tak bisa menemukannya.”

“Hm, banyak juga yang kau ketahui,” jengek Buyung Jit-nio.

“Dunia selebar ini, untuk mencari seorang memang tidaklah mudah,” tukas Buyung Lak-nio dengan tertawa.

“Ya, tapi Oh-lauteku ini telah berhasil menemukannya,” sambung Han-wan Sam-kong “Bahkan dia sendiri menjadi seperti orang linglung dan mengantar si nona pulang ke rumah. Siapa duga, orang lain ternyata tidak mau terima kebaikannya itu, sebaliknya malah mengira dia yang menculik Buyung Kiu, dia diperlakukan seperti penculik dan ditanyai sampai dua-tiga hari lamanya, untung dia tidak sampai digebuk pantatnya dan tidak disiksa.”

“Ji-ci dan Sam-ci tidak bermaksud jahat padanya, mereka hanya menanyai dia mengenai pengalaman Kiu-moay selama ini,” ujar Buyung Jit.

“Ya, lantaran terlalu memperhatikan diri Kiu-moay, maka pada waktu menanyai dia Ji-ci dan Sam-ci menjadi agak kurang sabar,” tukas Buyung Lak. “Tapi apa pun juga kami tetap sangat berterima kasih padanya.”

“Sebab itulah waktu dia mohon diri untuk pergi, kami berkeras ingin memberi hadiah besar padanya,” demikian Buyung Pat menambahkan.

“Betul, waktu dia akan pergi, kalian bermaksud memberikan hadiah lima ribu tahil emas padanya,” kata Han-wan Sam-kong. “Jumlah ini memang tidak sedikit, jika dibagikan kepada barisan pengemis yang antre, sedikitnya cukup untuk seratus ribu orang atau lebih.”

Makin omong makin dongkol Han-wan Sam-kong, sampai di sini mendadak ia berjingkrak murka dan meraung, “Tapi Oh-lauteku ini bukanlah pengemis, dia tidak sudi diberi sedekah. Dia bekerja menurut hati nurani sendiri, demi membela Kiu-moay kalian itu, beberapa kali jiwanya hampir menjadi korban, entah berapa banyak pahit-getir yang telah dirasakannya. Memangnya tujuannya hanya untuk mengincar beberapa tahil logam rongsokan kalian itu? Hm, kalian kakak beradik terkenal pintar dan cerdik, masa kalian tidak paham jalan pikirannya?”

Buyung Jit-nio menghela napas, ucapnya sambil tersenyum getir, “Bukan kami tidak paham, soalnya ....”

“Soalnya semua menantu keluarga Buyung adalah orang terkemuka, sedangkan Oh-lauteku ini orang miskin juga tidak punya pangkat, lebih-lebih bukan berasal dari keluarga bangsawan segala, dengan sendirinya kalian keberatan menjodohkan Buyung Kiu kepadanya,” demikian jengek Han-wan Sam-kong, lalu dengan gusar ia berteriak pula, “Padahal Oh-lauteku ini kurang apa? Masa dia tidak setimpal berjodohkan adik perempuan kalian? Meski dia bukan orang kaya, tapi dia adalah seorang lelaki sejati yang gilang-gemilang, bilamana adikmu mendapatkan suami seperti dia, boleh dikatakan leluhur kalian yang telah banyak berbuat amal.”

Begitu karena nafsunya cara bicara, Han-wan Sam-kong sampai mencak-mencak sehingga jarinya hampir menunjuk ke batang hidung Buyung Jit.

Namun Buyung Jit tidak marah, ia bahkan menghela napas gegetun dan berkata, “Ya, kami pun tahu ia adalah orang yang baik dan tidak merendahkan Kiu-moay ....”

“Masa baru sekarang kau tahu?” jengek Han-wan Sam-kong.

“Menurut cerita Toaci, ketika ia menyodorkan lima ribu tahil emas padanya, sekejap saja dia tidak memandang, lalu angkat kaki tinggal pergi tanpa berkata apa pun,” kata Buyung Jit.

“Dengan pergi begitu saja, kan kebetulan bagi kalian?” jengek Han-wan Sam-kong pula. “Kalian dapat menghemat lima ribu tahil emas dan adik kesayangan sudah pulang di rumah. Tapi untuk apa sekarang kalian mencari Oh-laute lagi dan akan kalian bawa ke mana?”

Kembali Buyung Jit menghela napas panjang, lalu berkata dengan sedih, “Karena kau sudah tahu segalanya, maka supaya maklum juga bahwa selama ini Kiu-moay jatuh sakit dan makin lama semakin berat sakitnya.”

“Hm, setahuku waktu Oh-laute mengantar Buyung Kiu pulang, penyakit linglungnya sudah tampak mulai baik. Justru lantaran kalian mengira penyakit adikmu pasti akan sembuh, makanya kalian tidak sudi menjodohkan dia kepada Oh-laute.”

“Ya, waktu itu kami mengira penyakitnya akan sembuh,” ujar Buyung Jit dengan gegetun. “Sebab waktu itu dia sudah seperti kenal Toaci dan mulai mau bicara. Siapa tahu begitu Oh ... Oh-laute ini pergi, segera penyakitnya memburuk pula, bukan saja Toaci tak dikenalnya lagi, bahkan sepanjang hari tidak mau bicara sepatah kata pun.”

Buyung Lak menghela napas, katanya, “Jika bicara yang diucapkan hanya pertanyaan, ‘Sudah pergikah engkau?’ Dan akhirnya pertanyaan ini pun tidak diucapkannya lagi, sepanjang hari dia hanya duduk termenung sambil mencucurkan air mata.”

Si Hitam kurus kecil ini dengan sendirinya ialah Oh-ti-tu, si labah-labah hitam yang nyentrik dan angkuh itu.

Dia berdiri kaku seperti patung, tapi demi mendengar cerita kakak beradik Buyung itu, wajahnya yang kaku itu tiba-tiba berkerut-kerut pedih seakan-akan hatinya tertusuk jarum.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong lantas berkata pula, “Haha, kiranya nona Kiu itu pun seorang nona yang berperasaan halus, tidak percumalah Oh-laute begitu baik padanya.”

“Sampai sekarang kami baru tahulah isi hati Kiu-moay,” kata Buyung Lak. “Dengan sendirinya kami pun tahu segala di dunia ini dapat dipaksakan, hanya urusan ‘cinta’ saja yang tidak mungkin dipaksakan.”

“Ehm, betapa pun kalian masih cukup bijaksana,” ujar Han-wan Sam-kong.

“Penyakit Kiu-moay sudah seberat itu, tapi dia masih dapat merasakan kebaikannya, ini suatu tanda ia juga pasti sangat mencintai Kiu-moay,” kata Buyung Lak. “Setiap manusia kan terdiri dari darah daging, kalau urusannya sudah sejauh ini, siapa pun dia pasti juga takkan kami tolak lagi.”

“Sebab itulah kami lantas keluar mencarinya,” sambung Buyung Pat.

“Tapi kami pun tahu jejaknya sukar dicari,” tutur Buyung Pat. “Selagi kami merasa bingung ke mana mencarinya, untung waktu itu Gocihu (kakak ipar kelima) lewat kota Buhan dan sempat menyaksikan pertaruhan besar-besaran antara dia dengan engkau.”

“Siapa Go-cihu kalian? Cara bagaimana dapat mengenali kami?” tanya Han-wan Sam-kong.

Dengan tertawa Buyung Jit menjawab, “Gocihu kami ialah ‘Sin-gan-susing’ (si pelajar bermata sakti) Loh Beng-to. Beberapa tahun yang lalu dia pernah melihatmu satu kali. Setiap orang yang pernah dilihatnya satu kali, selama hidup pasti takkan dilupakan olehnya.”

“Seumpama dia dapat mengenali aku, tapi dia kan tidak kenal Oh-lauteku ini,” kata Han-wan Sam-kong. “Apalagi Oh-laute selalu pergi datang tanpa meninggalkan jejak. Orang yang pernah melihat tampang aslinya duga tidak banyak.”

“Semula Gocihu juga tidak kenal dia,” tutur Buyung Jit. “Tapi demi mencari dia, sebelumnya Sam-ci sudah banyak melukis gambarnya. Maka begitu pulang dan melihat gambarnya, segera Gocihu ingat di mana dia telah melihatnya.”

“Lukisan Sam-ci kami sangat bagus dan hidup,” kata Buyung Lak dengan tersenyum. “Pernah satu kali dia bergurau dengan Jicihu (kakak ipar kedua), Sam-ci sengaja melukis gambar Ji-ci dan digantung di dinding, Jicihu ternyata tidak dapat membedakan asli dan palsunya, ia mengajak bicara gambar Ji-ci sampai sekian lamanya.”

Buyung Pat menambahkan dengan tertawa, “Maklumlah Jicihu terlalu banyak membaca di malam hari sehingga matanya kurang tajam.”

“Hehe, keluarga kalian memang banyak orang-orang berbakat, pantas orang Kangouw sama segan kepada kalian,” kata Han-wan Sam-kong dengan gegetun.

“Setelah mendapat keterangan dari Gocihu, segera kami menyusul ke Buhan sini,” sambung Buyung Jit pula. “Untunglah cara bertaruh kalian di wilayah ini sudah terkenal, maka dengan cepat dapat kami menemukan kalian.”

“Tapi kalian jangan salah sangka, Oh-lauteku ini tidak sama dengan aku, dia bukan setan judi, dia berjudi karena pikirannya sedang kacau,” kata Han-wan Sam-kong.

“Memang, pada umumnya orang yang patah hati di medan asmara, kebanyakan lalu melarikan diri ke meja judi sebagai pelampiasan, makanya ada semboyan yang mengatakan ‘gagal di medan cinta menang di medan judi’. Padahal semboyan ini adalah ciptaan kawanan setan judi yang sengaja hendak menjerumuskan orang.”

Buyung Jit tertawa, katanya pula, “Jalan pikirannya cukup kami pahami, kami pun tahu dia seorang yang tinggi hati dan angkuh, jika kami datang mencarinya dengan begini saja tentu dia takkan ikut pergi bersama kami.”

“Makanya kami lantas menggunakan cara pertaruhan begini,” tukas Buyung Lak dengan tersenyum.

“Tapi kalau kalian yang kalah, lalu bagaimana?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Jika kami kalah memangnya apa kesukarannya, cukup asalkan salah satu di antara kami ikut pergi bersama kalian, kan beres?” jawab Buyung Jit.

“Ah, betul juga,” kata Han-wan Sam-kong.

“Makanya, bila kami kalah, tentu kami akan menyuruh Kiu-moay ikut pergi bersama kalian, kami yakin kalian pasti takkan membuat susah Kiu-moay, asalkan dia gembira, siapa yang ikut siapa kan tiada bedanya?”

“Hebat, kalian memang hebat ....” seru Han-wan Sam-kong dengan terbahak-bahak.

“Tapi kami telah membikin susah padamu, engkau jadi kehilangan seorang sekutu yang baik,” ujar Buyung Jit pula. “Sebab bila dia sudah menikah dengan Kiu-moay, mungkin dia takkan mengajak bertaruh lagi denganmu.”

“Hahaha! Asalkan aku dapat menyaksikan Oh-lauteku ini melangsungkan pernikahan dengan nona Kiu dan ikut minum arak bahagia mereka, sekalipun aku harus berhenti berjudi tiga bulan juga bukan soal bagiku,” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa gembira. Tapi mendadak ia berhenti tertawa dan menambahkan sambil menggeleng, “Tidak, tidak, mungkin aku tak dapat minum arak bahagia mereka.”

“Sebab apa?” tanya Buyung Jit.

“Habis, bilamana keluarga Buyung mengadakan pesta nikah, yang hadir pastilah tamu-tamu terhormat dan orang-orang ternama, jika Ok-tu-kui macamku ini mendadak ikut hadir, bukankah suasana bisa berubah runyam?” kata Han-wan Sam-kong.

“Jangan khawatir, arak pernikahan ini pasti ada bagianmu,” kata Buyung Jit. “Seumpama kami tidak mengundang siapa-siapa tentu juga akan mengundang engkau.”

“Hahaha, kalau aku tidak hadir, maka aku inilah anak kura-kura,” seru Han-wan Sam-kong sambil bertepuk tertawa. Mendadak ia memberi tanda dan berseru, “Angkat, angkat semua perakmu itu, satu tahil pun jangan tertinggal.”

“Ken ... kenapa?” tanya Buyung Jit.

“Jika ingin minum arak nikah, tentunya harus mengirim kado, kalau kalian tak menerimanya berarti memandang rendah padaku, berarti pula tidak menginginkan kehadiranku.”

“Sekalipun begitu, kan perlu disisakan sedikit bagi modal judimu?” ujar Buyung Jit dengan tertawa.

“Tidak, jangan disisakan,” seru Han-wan Sam-kong. “Kalian tahu watakku, bila belum kalah habis-habisan belum mau berhenti. Maka sejak aku mendapat rezeki, sejak itu hakikatnya aku tidak pernah tidur dengan nyenyak, siang malam hanya berjudi melulu, semakin ingin kukalahkan hingga ludes semakin tidak mau ludes, sebaliknya malah bertambah. Sekarang mumpung ada kesempatan kubikin habis, mengapa kalian malah tak mau menerima? Jika tidak kalian terima kan berarti membuat susah padaku lagi.”

Buyung Jit termenung sebentar, katanya kemudian dengan tersenyum, “Karena kau telah bertindak segoblok ini, kalau kami tidak menerimanya akan kelihatan kami sendiri berjiwa sempit ....”

“Hahaha, tak tersangka para nona keluarga Buyung adalah orang sedemikian menyenangkan, tampaknya Oh-lauteku ini memang tajam pandangannya,” seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa. Lalu ia tepuk pundak Oh-ti-tu dan berkata, “Oh-laute, kenapa tidak lekas berangkat? Kutahu hatimu tentu sudah tidak sabar lagi, mengapa pura-pura lagi? Nona Kiu tentu juga sedang menantikan kedatanganmu.”

Oh-ti-tu termangu-mangu sejenak, entah suka entah duka, katanya kemudian dengan tergagap, “Mana ... mana boleh kupergi lagi ke sana ....”

“Mengapa tidak boleh?” seru Han-wan Sam-kong sambil melotot. “Tindak-tanduk seorang lelaki sejati harus dilakukan dengan cepat dan tepat, harus jujur dan blak-blakan. Apalagi orang judi hanya boleh main licik dan main palsu, tapi tidak boleh main curang, kau sudah kalah, apa pun juga kau harus pegang janji.”

Akhirnya Oh-ti-tu tertawa juga, tiba-tiba ia membisiki Han-wan Sam-kong, “Eh, Siau-hi-ji pasti masih berada di atas gunung sana, bila melihat dia jangan lupa beritahukan padanya ....”

“Jangan khawatir,” jawab Han-wan Sam-kong dengan tertawa. “Bila bertemu dia tentu akan kuajak dia hadir minum arak nikahmu.”

Rupanya persahabatan mereka tidak seluruhnya lantaran berjudi, tapi sebagian besar adalah karena Siau-hi-ji. Sebab sejak awal mereka selalu menganggap Siau-hi-ji adalah seorang sahabat yang baik.

Han-wan Sam-kong mengantar mereka keluar, tiba-tiba ia memberi pesan pula, “Nona Jit, selanjutnya bila tanganmu gatal, jangan lupa mencari diriku. Petaruh seperti dirimu sungguh jarang kutemukan selama hidupku ini.”

Akhirnya berangkatlah Oh-ti-tu, hidupnya yang terlunta-lunta sebatang kara akhirnya telah menemukan kebahagiaan, ini memang ganjaran yang pantas diperolehnya dan pasti tiada yang keberatan.

Buyung Kiu juga mendapatkan jodohnya yang setimpal. Meski dia kehilangan ingatan dan kecerdasan, tapi ia pun mendapatkan kebahagiaan. Cukup berharga bahagia yang diperoleh dengan pengorbanan apa pun juga. Bahagia terbesar bagi seorang perempuan adalah bisa memperoleh orang yang mencintainya dengan sungguh hati, kebahagiaan demikian tak mungkin diganti dengan urusan apa pun juga.

Dan setelah harta diangkut pergi, para pengunjung kasino pun bubar.

Han-wan Sam-kong memandangi cahaya gemilang yang mulai menongol di ufuk timur, dia menggeliat kemalas-malasan, gumamnya, “Persetan, kini benar-benar semuanya ludes, memangnya kalau belum ludes semuanya aku pun tak dapat tidur.”

Tapi mendadak ia lihat para pengunjung kasino itu tidak pergi seluruhnya, di situ masih tersisa empat orang, ada dua orang yang sedang tidur di lantai. Sedangkan dua orang lagi sedang memandangnya dengan tertawa.

Han-wan Sam-kong melotot dan mengomel, “Kalian berdua anak kura-kura mengapa tidak enyah? Apakah kalian ingin bertaruh pula denganku?”

Satu di antara kedua yang lebih tinggi menanggapi dengan tertawa, “Di sini cuma ada seorang anak kura-kura, yang lain cuma setengahnya anak kura-kura.”

Han-wan Sam-kong tambah melotot, ia tatap seorang lagi yang lebih pendek.

Orang itu ialah To Kiau-kiau, dengan tertawa ia pun berkata, “Memang di sini cuma ada seorang anak kura-kura, tapi aku adalah nenekmu!”

Ia tidak tahu sekarang Han-wan Sam-kong dapat mengenalinya atau belum, yang jelas mendadak Ok-tu-kui melompat ke sana terus kabur secepat terbang.

Pek Khay-sim berkerut kening, katanya, “Setiap kali bila bertemu, yang pasti lari adalah diriku, mengapa sekali ini dia yang lari dulu malah?”

“Mungkin sekali setan judi ini telah berbuat sesuatu dosa apa-apa, maka tidak berani bertemu dengan orang,” kata To Kiau-kiau, habis berkata, segera ia memburu keluar.

“Tapi kita sudah belasan tahun tidak bertemu dengan dia, masa dia berbuat sesuatu kesalahan apa padamu?” ujar Pek Khay-sim.

“Ya, makanya aku pun heran dan ingin menanyai dia,” kata Kiau-kiau.

Waktu itu fajar baru menyingsing, namun orang berlalu lalang di jalanan sudah cukup banyak. Maklum, para pengunjung baru saja bubar dan sebagian besar di antara mereka sedang sarapan di tepi jalan.

Ketika To Kiau-kiau memburu keluar, ternyata bayangan Han-wan Sam-kong sudah tidak nampak lagi. Hanya kelihatan orang-orang yang lagi nongkrong makan di tepi jalan itu sama memandang ke kiri, jelas Han-wan Sam-kong berlari menuju ke sebelah sana.

Dengan tertawa To Kiau-kiau berkata kepada Pek Khay-sim, “Jangan khawatir, Ginkang setan judi itu tidak terlalu tinggi, kita pasti dapat menyusulnya.”

Belum lenyap suaranya, mendadak tertampak Han-wan Sam-kong mundur kembali dari belokan jalan sebelah kiri sana, cara mundurnya ternyata jauh lebih cepat daripada kaburnya tadi. Dan begitu sampai di tikungan cepat Ok-tu-kui memutar dan berlari ke sini dengan air muka penuh rasa terkejut dan gugup, langsung ia menerjang ke dalam rumah judi tadi.

Dengan sendirinya To Kiau-kiau dan Pek Khay-sim ikut masuk lagi ke dalam.

“He, apa-apaan kau, memangnya setan judi juga ketemu setan?” demikian Pek Khay-sim berolok-olok.

To Kiau-kiau sedang mengintip keluar melalui celah-celah pintu, katanya, “Tampaknya dia memang kepergok setan, setan kepala besar?”

“Hahahaha, masakan setan judi juga takut kepada setan kepala besar?” kembali Pek Khay-sim berseloroh.

“Ssstt,” desis Kiau-kiau dengan tegang, air mukanya juga rada pucat.

Pek Khay-sim menjadi heran, cepat ia pun ikut mengintip keluar. Tertampaklah dari tikungan sebelah kiri sana telah muncul dua orang.

Orang yang jalan di depan berperawakan tinggi berbahu lebar, tapi tubuhnya kurus kering, baju panjang berwarna biru yang dipakainya itu tampaknya menjadi komprang dan kedodoran.

Tidak cuma tubuhnya saja yang aneh, mukanya juga aneh, banyak juga kerutan di mukanya tapi tiada seutas jenggot dan tiada bulu alis, semuanya tercukur bersih. Padahal biasanya yang cukur hingga kelimis begitu hanya kaum “Thaykam”, kaum dayang istana yang kebiri, orang kasim, namun jelas orang ini bukanlah Thaykam.

Betapa pun orang yang berwajah demikian tampaknya menjadi sangat lucu, dengan sendirinya orang-orang di tepi jalan sana memandangnya dengan tertawa geli, namun tiada seorang pun yang berani tertawa keras, maklum meski orang itu kelihatan lucu, tapi kedua matanya tidaklah lucu, bahkan kelihatan menakutkan.

Matanya tampak cekung karena kurusnya, sebab itulah biji matanya tampaknya menjadi lebih bulat besar. Meski mukanya pucat kurus seperti orang sakit paru-paru, tapi ketambahan matanya yang besar itu, timbul juga perbawanya sehingga membuat orang tidak berani memandangnya lama-lama.

“Agak aneh juga bocah ini,” desis Pek Khay-sim. “Bahwa dunia Kangouw muncul seorang aneh begini, mengapa tak pernah kudengar dan juga tak pernah melihatnya. Ini menandakan selama beberapa tahun ini kita benar-benar terasing.”

Kiau-kiau juga berkerut kening, tanyanya kemudian, “Ok-tu-kui, apakah kau kenal orang aneh ini?”

“Tidak kenal,” jawab Han-wan Sam-kong. Tapi yang ditatapnya adalah seorang lagi yang berada di belakang orang aneh ini.

Orang yang ikut di belakang itu bentuknya tidak aneh bahkan sangat apik, usianya juga sudah lima puluhan, namun jelas hidupnya serba kecukupan, ini terlihat dari wajahnya yang bersih dan bercahaya.

Baju yang dipakainya juga berwarna sangat serasi, cuma wajahnya yang kelihatan sengaja di buat-buat tersenyum itu jelas rada-rada kurang wajar, malahan boleh dikatakan rada lesu dan sedih.

Orang ini ternyata bukan lain daripada Kang Piat-ho adanya.

Tentu saja yang paling terkejut adalah To Kiau-kiau, ucapnya sambil berkerut kening, “Aneh, mengapa Kang Piat-ho tidak ikut Gui Bu-geh, sebaliknya ikut ke sini bersama orang aneh ini?”

Pek Khay-sim lantas menepuk pundak Han-wan Sam-kong dan berkata, “Kiranya kau tidak berani bertemu dengan Kang Piat-ho, memangnya kau berbuat salah apa padanya?”

Han-wan Sam-kong mendengus, jawabnya, “Masa kutakut padanya, aku cuma bosan melihat cecongornya.”

Dengan tertawa Pek Khay-sim berkata pula, “Ah, kukira pasti ada apa-apanya, jika tidak kau katakan, biar kutanya sendiri pada Kang Piat-ho.” Tiba-tiba ia mendapat akal dan mendadak berteriak, “Ke sinilah kalian, lihatlah di sini ada Ok-tu ….”

Rupanya kumat lagi penyakitnya ‘merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri’, syukur sebelumnya Han-wan Sam-kong sudah menduga akan tindakannya ini, belum habis teriakannya, segera ia menubruk maju dan mendekap mulutnya, katanya dengan suara tertahan, “Tutup bacotmu, jika kau anak kura-kura ini berani bersuara lagi, segera kupecahkan batok kepalamu.”

Pek Khay-sim hanya menyengir saja dan tidak berucap lagi. Akan tetapi seharusnya orang di luar sana dapat mendengar teriakannya tadi.

Siapa tahu orang di luar tidak menggubris teriakkannya itu, sebab pada saat itu juga dari belokan kanan sana tiba-tiba muncul seekor kuda.

Kuda merah membara, secepat terbang kuda itu menerjang ke jalanan ini dan tampaklah akan menumbuk seorang penjual bakmi di tepi jalan. Tentu saja orang yang sedang jajan bakmi sama menjerit kaget dan berlari menyingkir. Rupanya suara derapan kuda dan jerit kaget orang itulah yang telah menenggelamkan suara teriakan Pek Khay-sim tadi.

Si penunggang kuda merah itu ternyata sangat cekatan, pada detik yang gawat itu mendadak ia menahan kudanya sehingga kuda itu meringkik sambil berdiri dengan kaki belakang, namun tiada satu mangkuk pun yang tertumbuk.

Habis itu semua orang dapat melihat jelas si penunggang kuda itu ternyata sama dengan kudanya, juga memakai baju merah, malahan cambuk yang dipegangnya juga berwarna merah.

Di tengah ringkik kuda yang melengking itu, si penunggang kuda pun turun, yakni seorang nona cantik.

Baru sekarang semua orang melihat jelas si penunggang kuda, sepasang matanya yang besar dan jeli itu sungguh sangat memesona.

Setiap mata orang sama memandangnya, tapi si nona anggap orang lain seperti patung saja, hakikatnya dia tidak memperhatikan mereka, sambil bertolak pinggang ia berteriak ke arah sana, “Ayolah kemari, lekas! Apakah kuda tungganganmu cuma berkaki tiga? Kenapa begitu lambat?”

Pada saat itu juga dari ujung jalan sana baru muncul lagi seekor kuda, penunggangnya menjawab, “Bukan kudaku yang lambat, tapi kau yang terlampau cepat membedal kudamu.”

Sambil bicara pun orang itu melompat turun dari kudanya dengan gerakan gesit, orang ini adalah pemuda yang cakap dan lembut, pakaiannya juga perlente.

Si nona baju merah tadi agak kurang senang, dengan melotot ia mengomel, “Siapa bilang bedal kudaku terlalu cepat, memangnya pernah kutabrak orang?”

Si pemuda menjadi kikuk karena dipandang orang banyak, mukanya menjadi merah, cepat ia menjawab, “Ya, engkau ti ... tidak cepat.”

“Kalau aku tidak cepat jelas kau yang lambat,” kata si nona baju merah.

“Ya, ya, aku yang lambat,” sahut si pemuda.

“Nah, harus menurut begini, nanti Cici menjamu kau,” kata si nona, baru sekarang ia tertawa puas.

Tentu saja muka si pemuda tambah merah sehingga kepala pun tertunduk.

Semua orang merasa tertarik oleh kedua muda-mudi itu dan merasa geli melihat sikap si pemuda yang lebih mirip anak perempuan itu, sebaliknya si nona tampak begitu garang.

Cuma sekarang semua orang sudah tahu juga bahwa kedua muda-mudi itu pasti bukan orang biasa, maka tiada seorang pun berani tertawa.

Pandangan orang banyak memang betul, si nona baju merah memang tidak boleh sembarangan direcoki, asalkan ada orang berani tertawa, mungkin kepalanya akan segera berkenalan dengan cambuknya.

Malahan si orang aneh tadi juga sedang memperhatikan gerak-gerik muda-mudi ini, hanya Kang Piat-ho saja yang segera menunduk demi melihat mereka. Sebab hanya Kang Piat-ho saja yang kenal siapa mereka.

Kiranya si nona baju merah tadi bukan lain daripada Siau-sian-li Thio Cing dan pemuda yang pemalu ini adalah Koh Jin-giok.

Siau-sian-li telah memegang tangan Koh Jin-giok, katanya dengan tertawa, “Sudah kukatakan di sini banyak penjual makanan dan kau tidak percaya, sekarang kau lihat sendiri, aku tidak berdusta bukan?”

Dia bicara dengan bebas tanpa menghiraukan orang banyak yang sedang memandang padanya. Tapi Koh Jin-giok menjadi malu, dengan muka merah ia menjawab, “Lihatlah, begini banyak orang ….”

“Banyak orang apa sangkut-pautnya dengan kita, mereka juga sedang jajan, kenapa kau takut?” kata Siau-sian-li.

Koh Jin-giok tidak berani bersuara pula, tampaknya ia sangat takut pada si nona.

Dengan tertawa Siau-sian-li lantas berucap pula, “Hari ini boleh dikatakan hari bahagia si budak Kiu, aku pun sangat gembira, maka aku harus makan-minum sepuas-puasnya, bahkan harus minum arak barang dua cawan.”

Koh Jin-giok seperti merasa serba susah, ia menghela napas.

Kembali Siau-sian-li melotot dan mengomel, “Apa yang menyebabkan kau menghela napas? Budak kita sudah mendapatkan pasangan, kau menyesal bukan?”

“Masa aku menyesal,” cepat Koh Jin-giok menjawab dengan tersenyum, “Aku ma ... malahan ....”

Siau-sian-li tertawa melihat sikap Koh Jin-giok yang serba susah itu, katanya pula, “Baiklah jika kau tidak menyesal. Nah, lihatlah, di sini ada penjual bakmi, ada bakso, dan macam-macam lagi, sudah lama aku tidak makan bakso, kukira jajanan di sini pasti sangat enak.”

Dia terus mencerocos sambil tertawa, dan baru saja Koh Jin-giok diajaknya duduk di depan angkringan si penjual bakso, mendadak ia berdiri pula sambil melotot ke seberang sana dan berseru, “He, lihat, siapa itu?”

Yang dimaksud ternyata bukan lain daripada Kang Piat-ho.

Waktu Koh Jin-giok ikut memandang ke arah sana, seketika air mukanya juga berubah, katanya dengan suara tertahan, “Mengapa dia juga berada di sini?”

“Memang, Kang-lam-tayhiap yang termasyhur itu mengapa bersembunyi di tempat kecil begini, apa barangkali sudah tidak berani bertemu dengan orang lain? Pantas di dunia Kangouw tersiar berita Kang-lam-tayhiap telah menghilang,” demikian Siau-sian-li sengaja berkata dengan suara keras sehingga setiap orang dapat mendengarnya.

Dengan sendirinya banyak orang yang kenal nama kebesaran Kang-lam-tayhiap, seketika banyak orang mengalihkan pandangan mereka ke arah Kang Piat-ho.

Hanya sekali lompat saja Siau-sian-li lantas berada di depan Kang Piat-ho, jengeknya, “Kang Piat-ho, Kang-tayhiap, mengapa kau tutup mulut? Biasanya kau kan pintar omong, bahkan kuingat betul wibawamu tidak kecil.”

Tapi Kang Piat-ho tetap bungkam, dan bahkan menunduk kepala.

Dengan gusar Siau-sian-li membentak pula, “Kang Piat-ho, kau tidak perlu berlagak dungu, tiada gunanya meski pura-pura bodoh. Tentunya kau tahu tidak sedikit orang yang sedang mencarimu untuk membuat perhitungan lama. Nah, sekarang juga kau pergi bersamaku.”

Namun Kang Piat-ho hanya berdiri mematung di tempatnya tanpa bergerak, air mukanya juga tidak mengunjuk sesuatu perasaan. Kang-lam-tayhiap yang biasanya gagah perwira itu kini telah berubah seperti pengecut.

Tiba-tiba orang aneh yang berada di sebelah Kang Piat-ho membuka suara, “Dia tidak dapat ikut pergi bersamamu.”

Suara orang ini rendah lagi serak, kerongkongannya seperti pecah sehingga suaranya bocor. Setiap katanya seolah-olah terdesak keluar dari sela-sela kerongkongan yang pecah itu.

Melengak juga Siau-sian-li melihat orang aneh dengan suara yang juga aneh ini. Tanpa pikir ia tanya, “Sebab apa dia tidak dapat ikut pergi bersamaku?”

“Sebab dia harus ikut bersamaku,” jawab si orang aneh.

“Ikut kau?” Siau-sian-li menjadi gusar. “Memangnya kau ini apa?”

Berbareng itu cambuknya langsung bekerja, “tarr”, kontan ia menyabet. Cambuk adalah benda mati, tapi di tangan Siau-sian-li telah berubah seperti ular hidup dan seolah-olah sejalur api terus menggulung ke muka orang aneh itu.

Reaksi orang aneh itu sangat lamban, hakikatnya seperti tidak tahu rasanya sakit bila tercambuk, dia hanya memandangi cambuk lawan dengan terkesima.

Tampaknya cambuk Siau-sian-li segera akan meninggalkan jalur berdarah di muka orang aneh itu. Tak terduga, tahu-tahu ujung cambuk yang panjang itu lantas putus menjadi belasan potong dan jatuh ke tanah. Siau-sian-li juga tak dapat berdiri tegak lagi, ia terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh di pangkuan Koh Jin-giok.

Orang lain hanya tahu putusnya cambuk menjadi berkeping-keping dan jatuhnya Siau-sian-li, tapi tidak seorang pun yang tahu jelas cara bagaimana si orang aneh turun tangan. Malahan Siau-sian-li juga tidak jelas apa yang terjadi, ia cuma merasakan suatu arus tenaga mahadahsyat tersalur tiba melalui cambuknya, lalu tubuhnya tergetar seperti kena aliran listrik.

Jika orang lain, setelah kesandung secara mengejutkan begini, andaikan tidak ketakutan setengah mati tentu juga sudah kapok dan tak berani turun tangan lagi.

Tapi dasar Siau-sian-li, si bidadari cilik, hanya namanya saja indah dan orangnya memang cantik juga, namun wataknya ternyata sangat berangasan. Apalagi sejak berkelana di dunia Kangouw belum pernah dia kecundang sehebat ini.

Belum lagi Koh Jin-giok sempat membujuknya karena sempat melihat Kungfu si orang aneh sesungguhnya teramat lihai, tahu-tahu si nona sudah melompat bangun, sekali bergerak, mendadak ia lolos keluar dua bilah pedang pandak.

Sementara itu orang-orang yang sedang makan di tepi jalan sudah sama menyingkir, meja dan bangku penjual bakso dan bakmi juga sudah sama disingkirkan, selain khawatir ikut menjadi korban, mereka pun ingin menonton pertarungan yang pasti menarik ini.

Maka tertampaklah sinar pedang berkelebat secepat kilat, hanya sekejap saja Siau-sian-li sudah melancarkan tujuh kali serangan, karena gemasnya dia menyerang tanpa kenal ampun, kalau bisa sekaligus ia hendak menembus dada orang aneh itu.

Ada penonton yang berkhawatir bagi si orang aneh sebab gerak-geriknya kelihatan lamban, seolah-olah tidak tahu bahwa setiap tikaman Siau-sian-li itu dapat merenggut jiwanya.

Sebaliknya juga ada orang yang menganggap si nona cilik baju merah itu terlalu ganas, masa menyerang orang sekejam itu. Sudah tentu lebih banyak lagi orang-orang yang suka keramaian, mereka justru berharap pertarungan berlangsung lebih sengit.

Hanya Koh Jin-giok saja yang benar-benar berkhawatir, dengan sendirinya ia khawatir bagi Siau-sian-li, tapi ia pun tahu bila si nona sudah umbar wataknya yang keras itu, maka siapa pun tak dapat melerainya, apalagi, seumpama dia dapat melerainya sekarang juga sudah terlambat.

Benar saja, terdengar si orang aneh membentak perlahan, tidak jelas cara bagaimana bergeraknya, tahu-tahu kedua pedang di tangan Siau-sian-li sudah terlepas dan mencelat ke udara, lenyap entah jatuh di mana. Waktu orang memandang Siau-sian-li nona itu kembali jatuh lagi ke dalam pelukan Koh Jin-giok, malahan sekali ini dia tidak sanggup berdiri lagi.

“Kau ini anak murid siapa? Mengapa tanpa sebab menyerang orang sekeji ini?” demikian ucap si orang aneh dengan kurang senang. “Ai, anak jaman sekarang mengapa makin lama makin tidak tahu aturan?”

“Kau sendiri tidak tahu aturan,” damprat Siau-sian-li. “Tahukah kau ....”

Mendadak ucapannya terputus, sebab Koh Jin-giok telah mendekap mulutnya.

Tentu saja Siau-sian-li mendongkol, sekuatnya ia menyikut, meski Koh Jin-giok lantas melepaskan pegangannya karena kesakitan, tapi tubuh Siau-sian-li juga memberosot ke tanah dan jatuh terduduk.

Si nona terus saja duduk di tanah, omelnya sambil menunjuk hidung Koh Jin-giok, “Aku dihina orang cara begini, kau tidak membantu, sebaliknya malah melarangku bicara. Hm, apakah kau terhitung lelaki lagi? Pantas orang suka menyebut Koh-siumoay padamu.”

Muka Koh Jin-giok menjadi merah seperti kepiting rebus, ia tergagap-gagap, “Aku ... aku tidak ….”

“Hah, rupanya aku salah menilai dirimu,” kata Siau-sian-li. “Tadinya kukira kau lelaki sejati, siapa tahu ... siapa tahu kau lebih empuk daripada tahu, sungguh kau sangat mengecewakan aku.”

Sampai di sini ia menjadi sangat berduka dan air mata pun bercucuran.

Mendadak Koh Jin-giok mengertak gigi, dengan langkah lebar ia mendekati si orang aneh, katanya, “Sungguh lihai kungfumu, tapi Cayhe tetap ingin belajar kenal.”

Orang aneh itu hanya menarik muka saja dan tidak menanggapi.

“Awas, akan kuserang kau!” bentak Koh Jin-giok.

Walaupun pribadinya lemah-lembut seperti anak perempuan, tapi pukulannya ternyata sangat kuat, mantap, ganas, jitu dan cepat.

“Blang”, pukulan keras ini dengan tepat mengenai tubuh orang aneh. Entah mengapa, sama sekali orang itu tidak menghindar.

Siau-sian-li tidak menangis lagi, bahkan mencorong terang matanya, sebab ia kenal betapa lihai pukulan Koh Jin-giok. Meski gaya pukulan Koh Jin-giok tidak sedap dipandang, tapi sangat kuat, bila terkena pukulannya dengan telak, biarpun seekor kerbau juga akan gepeng.

Hampir saja Siau-sian-li bertepuk gembira apabila tidak segera dilihatnya si orang aneh ternyata tidak terpukul gepeng bahkan bergerak saja tidak. Pukulan sakti Koh Jin-giok yang mengenai tubuhnya seakan-akan memijatnya saja, sebaliknya Koh Jin-giok sendiri malah tergetar mundur dan terhuyung-huyung.

Baru sekarang Siau-sian-li melongo kaget.

Didengarnya si orang aneh lagi menegur Koh Jin-giok dengan melotot, “Kau ini pernah apanya Koh-losi?”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes