Wednesday, May 12, 2010

bp8_part1

Pada saat itulah tiba-tiba seorang menukas dengan terkekeh-kekeh, “Hehehe, saat ini Hoa-kongcu ingin membela diri saja sukar, mana dia ada tenaga buat menolong kalian, masa kalian tidak dapat melihat keadaannya ini, mengapa kalian memaksanya?”

Di tengah gelak tertawa kembali Kang Giok-long muncul dengan lagak tuan besar. Dan Hoa Bu-koat ternyata menyaksikan kedatangannya begitu saja tanpa berdaya dan tak menanggapi.

Keruan Thi Sim-lan melenggong kaget, serunya parau, “Ap ... apakah betul demikian?”

Bu-koat menghela napas panjang, katanya perlahan, “Kang Giok-long, aku tidak ingin membunuhmu, apakah kau sengaja mencari mampus sendiri?”

“Betul, aku memang sengaja mencari mampus,” jawab Kang Giok-long dengan terbahak-bahak. “Sekarang juga akan kubawa pergi nona Thi dan sebentar aku akan mati di atas tubuhnya.”

Meski latah ucapannya, tapi sedikit banyak dia tetap jeri terhadap Hoa Bu-koat, ia mengitarinya dari jauh dan mendekati Thi Sim-lan terus memondong nona itu.

Thi Sim-lan menjerit khawatir, “Kau ... kau berani ....”

Melihat Hoa Bu-koat tetap diam saja, Kang Giok-long tambah berani, katanya sambil terkekeh-kekeh, “Kenapa aku tidak berani? Memangnya Hoa-kongcu itu bisa berbuat apa terhadap diriku?!”

Sambil memondong Thi Sim-lan, setindak demi setindak ia lantas mundur keluar, cuma matanya tetap menatap Bu-koat.

Thi Sim-lan juga memandang Bu-koat, meski mulut bicara, tapi matanya memancarkan rasa putus asa, seakan-akan seruan tak bersuara terhadap Hoa Bu-koat, “Apakah kau tega menyaksikan aku dibawa lari orang?!”

Bu-koat sudah mandi keringat. Dia sudah berjalan cukup jauh, entah sudah berapa puluh tindak, bukan mustahil cukup satu langkah lagi akan mengantarnya menuju akhirat.

Sekarang, biarpun siapa juga dapat melihat ksatria yang disanjung puji oleh dunia persilatan, pemuda kebanggaan para pahlawan di dunia ini, sama sekali tak berdaya apa pun.

Kang Giok-long bergelak tertawa, teriaknya, “Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat! Kenapa kau tidak maju kemari? Ilmu silatmu yang kau banggakan itu berada di mana? Masa kau benar-benar manda menyaksikan jantung hatimu dibawa ke tempat tidur oleh pemuda lain?”

Sebenarnya dia sudah mundur sampai di ambang pintu, tapi dia tidak terus menghilang sebaliknya ia sengaja berhenti di situ.

Sekujur badan Hoa Bu-koat gemetar seluruhnya. Mati memang menakutkan tapi yang lebih menakutkan ialah bilamana dia sudah mati, maka nasib malang yang akan menimpa Thi Sim-lan tetap sukar berubah.

Tangan Kang Giok-long tampak sengaja menggerayangi dada Thi Sim-lan, katanya sambil terkekeh-kekeh, “Hehehe, lihatlah, dada yang montok sedemikian kenyalnya, kulit badan yang putih ini sedemikian halusnya, tubuh halus ini sebenarnya adalah milikmu, tapi sekarang, semua ini telah menjadi milikku. Cara bagaimana akan kunikmatinya dapat kulakukan sesukaku.”

Di luar dugaan, sekonyong-konyong Hoa Bu-koat melangkah maju setindak demi setindak.

Meski sudah tahu pasti akan mati, sekalipun tahu takkan mampu menyelamatkan Thi Sim-lan, tapi apa pun juga dia tidak boleh menyaksikan nona itu dihina dan dinodai orang. Setiap langkahnya itu entah membutuhkan berapa besar tekad dan keberaniannya.

Sekonyong-konyong suara tertawa Kang Giok-long terhenti. Mau tak mau ia ngeri juga menyaksikan wajah Hoa Bu-koat yang pucat menghijau itu. Teriaknya takut, “Kau ... kau berani maju lagi?!”

Bu-koat menarik napas panjang-panjang, bentaknya mendadak, “Lepaskan dia!”

Sinar mata Kang Giok-long tampak gemerlap. Tiba-tiba ia lihat meski wajah Hoa Bu-koat sangat beringas, tapi langkahnya tetap enteng tak bertenaga, seperti cara berjalan seorang yang sama sekali tidak mahir ilmu silat.

Segera ia bergelak tertawa latah pula, teriaknya, “Hahaha, Hoa Bu-koat, kau tidak dapat menggertak aku! Sejak tadi sudah kulihat kau terluka parah oleh Pek San-kun dan istrinya, kepandainmu sama sekali tak dapat dikeluarkan, betul tidak?”

Dengan mengertak gigi Bu-koat tidak bersuara melainkan setindak demi setindak melangkah ke depan.

Sudah tentu ia tahu apa yang dikatakan Kang Giok-long itu memang betul, ia pun tahu dirinya sedang melangkah menuju kematian, tapi baginya sekarang memang cuma ada jalan kematian belaka dan tiada pilihan lain.

Karena lawan sudah semakin dekat, dengan bengis Kang Giok-long membentak, “Keparat, bandel juga kau! Jika kau berani melangkah maju lagi setindak, segera kubinasakan kau!”

Diam-diam Bu-koat menghela napas dan kembali melangkah pula setindak.

“Kematian! Datanglah bilamana kau mau!” demikian pikirnya. Tiba-tiba ia merasa kematian toh tidak begitu menakutkan sebagaimana dibayangkannya semula.

Mendadak terdengar Thi Sim-lan menjerit, “Hoa Bu-koat, kumohon dengan sangat, janganlah engkau maju lagi, aku ... tidak menjadi soal, aku kan tidak mendatangkan kebaikan apa pun bagimu, untuk apa kau pikirkan diriku.”

Bu-koat tersenyum hambar, katanya, “Selamanya aku tak pernah menghendaki kebaikan apa pun darimu, bukan? Yang penting asalkan aku ….”

“Tapi apa pun juga yang kau lakukan terhadapku tetap aku tidak menyukaimu,” seru Thi Sim-lan dengan suara gemetar. “Sekalipun kau mati bagiku, yang kucintai tetap Siau-hi-ji. Untuk apa kau mesti mati dengan sia-sia belaka?”

“Nah, Hoa Bu-koat, kau dengar tidak ucapannya?” seru Kang Giok-long sambil terbahak.

“Dengar, sudah kudengar dengan jelas” jawab Bu-koat dengan tersenyum rawan.

“Dan kau masih tetap ingin mengantarkan kematian?” tanya Giok-long pula.

“Kau kira mati sangat menakutkan?” tanya Bu-koat.

“Tapi jangan lupa, setiap orang hanya punya satu nyawa,” kata Giok-long sambil menyeringai.

“Betul, nyawa memang berharga dan tidak mungkin ditukar dengan benda apa pun juga ....” ucap Bu-koat dengan tersenyum. “Sebab itulah apabila aku ingin mati bagi seseorang, maka kematianku juga tidak perlu syarat penukaran apa pun darimu. Apakah dia baik padaku dan mencintai aku atau tidak bukan soal bagiku.”

Thi Sim-lan menangis tersedu-sedan dan tidak sanggup bicara lagi.

Akhirnya Oh-ti-tu tidak tahan, mendadak ia membentak, “Sungguh seorang lelaki sejati! Selama hidupku tidak pernah tunduk kepada siapa pun juga, tapi terhadapmu .... Ai, tadi aku benar-benar telah salah paham padamu, sekarang dengan setulus hati kuminta maaf padamu. Engkau ... engkau boleh pergi saja.”

Bu-koat menjawab dengan tersenyum hampa, “Terima kasih!” Berbareng ia melangkah maju lagi setindak.

Kang Giok-long seperti terkesima oleh keberanian Hoa Bu-koat yang tidak kenal akibat itu. Tak tersangka olehnya bahwa Hoa Bu-koat juga berwatak sama dengan Siau-hi-ji, bilamana perlu juga nekat dan berani mengadu jiwa. Nyawa yang dipandang paling berharga oleh siapa pun juga bagi mereka berdua itu seakan-akan tiada artinya sama sekali.

Dalam pada itu Bu-koat sudah mulai merasakan kesakitan di pinggangnya seperti ditusuk jarum. Ia tahu kematian sudah menanti dan tidak jauh lagi.

Melihat Bu-koat melangkah maju pula perlahan-lahan, akhirnya Kang Giok-long menyeringai dan berkata, “Baik, jika kau memilih mati, biarlah kupenuhi kehendakmu. Dengan membunuh seorang rasanya juga takkan mengurangi hasrat kenikmatanku nanti.” Diam-diam telapak tangannya sudah menggenggam senjata rahasia dan siap untuk dihamburkan.

Siapa duga pada saat itu juga, mendadak terlihat tubuh Hoa Bu-koat gemetar dengan keras seperti tertusuk jarum, menyusul lantas bergelak tertawa keras seperti orang gila.

Sama sekali tak tersangka oleh Kang Giok-long bahwa pemuda yang ramah tamah seperti Hoa Bu-koat ini bisa mengeluarkan suara tertawa latah sekeras ini. Tanpa terasa dia menegur, “He, apakah kau sudah gila?”

“Hahaaah! Kau ... kau heran ... heran bukan?” seru Bu-koat sambil tertawa lebih keras.

Setiap kali dia melangkah, segera ia merasa seperti sebatang jarum menusuk pada bagian tubuhnya yang paling lunak dan paling lemah, segera timbul semacam perasaan aneh, ya sakit ya geli, langsung menggelitik hulu hati. Karena itu ia terus-menerus bergelak tertawa, ia tidak mampu mengatasi hasrat tertawa itu. Sebaliknya tenaga dalam yang tadinya macet itu sekonyong-konyong lancar kembali.

Dalam keadaan heran dan khawatir, mendadak Kang Giok-long menghamburkan segenggam jarum yang telah disiapkannya.

“Kau ... hahaha, kau berani!” bentak Bu-koat sambil tertawa latah. Berbareng sebelah tangannya terus menggores suatu lingkaran di udara, hujan senjata rahasia itu seketika lenyap seperti nyemplung ke laut, tanpa menimbulkan suara dan tanpa bekas.

“Sungguh Ih-hoa-ciap-giok yang hebat!” teriak Oh-ti-tu saking kagumnya.

Sedangkan Kang Giok-long menjadi pucat ketakutan, teriaknya, “Jadi ... jadi tadi kau cuma ... cuma pura-pura saja?”

“Betul, haha ... hahahaha .... Nah, tidak lekas kau lepaskan dia?” bentak Bu-koat disertai tertawa keras.

“Setelah kulepaskan dia kau ... kau juga akan melepaskan aku?” tanya Giok-long dengan suara keder.

“Ya, akan ku ... hahaha, akan kulepaskan ....” dengan tertawa Bu-koat menjawab.

Kang Giok-long yakin apa yang sudah diucapkan Hoa Bu-koat pasti dapat dipercaya, maka ia tidak berani banyak cincong lagi, begitu Thi Sim-lan diturunkan segera ia angkat langkah seribu, hanya sekejap saja lantas menghilang.

Bu-koat masih terus tertawa seperti orang gila, namun dalam hati dia sudah terang bagaimana jadinya sebentar. Terngiang ucapan Pek San-kun di telinganya, “Asalkan kau melangkah lebih 50 tindak, segera jarum berbisa itu akan menyusup ke Jiau-yau-hiatmu dan tak dapat dikeluarkan lagi untuk selamanya. Kau akan tertawa terus sampai seharian dan akhirnya binasa.”

Apa yang diucapkan Pek San-kun itu tampaknya bukan cuma gertakan belaka. Sebisanya Bu-koat menutup mulutnya, namun tak dapat menahan hasrat tertawanya.

Terpaksa untuk sementara ia tidak memikirkan persoalan ini, ia membuka dulu hiat-to Thi Sim-lan yang tertutuk.

Nona itu terbelalak heran melihat kelakuan Hoa Bu-koat yang tidak normal itu, tanyanya, “Apa yang kau tertawakan?”

“Hahaha, aku ... hahaha ... aku ....” tetap Bu-koat tak dapat menahan hasrat tertawanya.

Thi Sim-lan menggigit bibir, ucapnya, “Apa kau merasa geli lantaran berhasil mengelabui kami sehingga tadi kami kelabakan setengah mati berkhawatir bagimu, begitu?”

“Aku ... hahahaha ... aku .... Bu-koat tahu si nona salah paham pula, tapi sukar untuk memberi penjelasan. Malahan ia pun khawatir bilamana Thi Sim-lan mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, tentu si nona akan berduka baginya. Terpaksa ia berpaling ke sana dan membuka hiat-to Oh-ti-tu.

Dengan gusar Oh-ti-tu juga lantas membentak, “Apakah kau merasa kelakar ini sangat menggelikan, begitu?”

Diam-diam Bu-koat menghela napas gegetun, akan tetapi siapakah yang dapat menyelami penderitaan batinnya? Orang lain hanya dapat melihat lahiriahnya sedang tertawa gembira.

Mendadak Bu-koat tarik Thi Sim-lan terus diajak lari keluar seperti dikejar setan.

Betapa pun pengalaman Kangouw Oh-ti-tu alias si labah-labah hitam lebih luas, akhirnya ia pun merasakan sikap Hoa Bu-koat itu rada-rada tidak beres, ia mengerut kening dan berpikir. Tiba-tiba dilihatnya pula Buyung Kiu sedang memandangnya dengan terkesima.

Segera ia pun menyampingkan segala urusan, Buyung Kiu diseretnya terus dibawa lari keluar.

*****

Thi Sim-lan masuk dari lorong ini, dengan sendirinya ia tahu rahasia jalan ke luar ini.

Setelah berlari-lari, akhirnya mereka sampai di ruang pendopo semula, ruangan ini masih tetap seram dan sunyi tiada bayangan seorang pun. Agaknya Pek San-kun suami-istri yakin Hoa Bu-koat pasti mati, maka mereka tidak perlu pusing lagi sehingga sepanjang jalan tiada sesuatu rintangan, mereka terus lari keluar menjelajah ladang belukar.

Bintang-bintang yang bertaburan di langit makin menipis dan lenyap, suasana di kaki gunung berhutan sunyi senyap, tapi Hoa Bu-koat masih terus tertawa keras dan kedengaran sangat menusuk telinga menjelang fajar menyingsing ini.

“Dapatkah kau tidak tertawa?” ucap Thi Sim-lan tak tahan.

Langkah Bu-koat sudah makin lambat, tapi suara tertawanya semakin keras, jawabnya, “Aku ... aku tidak ....”

“Apakah kau kira caramu membohongi orang sedemikian menggelikan sehingga perlu tertawa terus-menerus?” omel Thi Sim-lan dengan mendelik dongkol.

Remuk redam hati Hoa Bu-koat, hampir saja ia menceritakan duduk perkara yang sebenarnya.

Tapi tiba-tiba terpikir daripada Thi Sim-lan menyaksikan kematiannya dengan mengenaskan, akan lebih baik biarkan si nona tetap salah sangka saja. Toh dia sudah hampir mati, buat apa mesti membuat orang lain ikut berduka.

Thi Sim-lan membanting kaki dan berkata pula, “Jika kau masih terus tertawa, aku akan segera pergi.”

Diam-diam Bu-koat menyesal, tapi dia tetap tertawa dan menjawab, “Baiklah, silakan kau pergi saja! Hahaha, toh sudah kuketahui kau tidak suka padaku ... hahaha, boleh pergi saja kau!”

Tergetar tubuh Thi Sim-lan, tanyanya dengan suara gemetar, “Kau benar-benar menghendaki aku pergi?”

“Ya, hahaha, ya .…” jawab Bu-koat sambil ngakak.

Thi Sim-lan menatapnya dengan melenggong sambil melangkah mundur setindak demi setindak. Sebaliknya Hoa Bu-koat lantas menengadah dan terbahak-bahak pula tanpa memandang sekejap pada si nona.

Akhirnya Thi Sim-lan jadi geregetan, teriaknya, “Baik, pergi ya pergi, baru ... baru sekarang kutahu kau adalah orang macam begini.” Segera ia membalik tubuh dan berlari pergi, air mata pun bercucuran.

Tapi Hoa Bu-koat masih terus tertawa latah tanpa berhenti. Dia tahu pasti akan mati, ia menyaksikan orang yang paling dicintainya telah meninggalkannya, bahkan orang yang diselamatkannya dengan mati-matian juga tidak dapat memahami dia, namun dia sendiri ... dia masih terus tertawa dan tertawa tanpa berhenti ....

Di pegunungan sunyi itu hanya penuh bergema suara tertawanya yang keras menyeramkan itu, bintang semakin jarang, cuaca tampak buram. Langit dan bumi ini seakan-akan juga tidak kenal kasihan lagi kepada pemuda yang malang ini.

Air mata Hoa Bu-koat akhirnya juga bercucuran.

Sejak kecil ia dibesarkan di dunianya sendiri di suatu lingkungan yang dingin dan tidak kenal citarasa, selama ini belum dikenalnya bagaimana rasanya mencucurkan air mata. Tapi sekarang ... di tengah gelak tertawa latahnya sekarang ia meneteskan air mata.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan muncul pula di depannya dan memandangnya dengan termangu-mangu.

Cepat Bu-koat mengusap air mata di pipinya, sambil ngakak ia berkata, “Untuk ... hahaha, untuk apa kau kembali lagi ke sini?”

Air muka Thi Sim-lan menampilkan perasaan heran dan khawatir, jawabnya dengan gemetar, “Katakan padaku, sesungguhnya apa yang terjadi pada dirimu?”

“Apa yang terjadi? Hahaha ... aku merasa kau sangat lucu, hahaha ... masa diusir saja kau tidak mau pergi?”

“Tidak, aku takkan pergi,” jawab Thi Sim-lan. “Kutahu, kau bukanlah orang berhati demikian.”

“Kau tidak mau pergi? Hahahaha, baik, aku saja yang pergi,” teriak Bu-koat.

Tapi sebelum dia membalik tubuh, mendadak Thi Sim-lan merangkulnya sambil menjerit dengan suara parau, “O, katakan padaku, katakan ... apakah ... apakah engkau menderita sesuatu luka yang sangat aneh?”

“Aku ... hahaha ... mana aku dapat terluka?” jawab Hoa Bu-koat dengan tertawa.

“Jika tidak, maka kumohon janganlah engkau tertawa lagi.”

“Hahaha! Kenapa ... kenapa aku tidak boleh tertawa? Haha, untuk apa kau memelukku? Lepas ... hahaha, lepaskan! Hahaha ... pergilah mencari Kang Siau-hi-ji saja.”

Lambat-laun ucapan Bu-koat juga mulai tidak jelas. Thi Sim-lan merasakan tangan Bu-koat sedingin es, ia menjadi khawatir dan berseru pula, “Kenapa engkau tidak mau bicara terus terang padaku?”

Tapi Bu-koat tetap tertawa, katanya, “Lepaskan ... hahaha ... lepaskan ....”

Thi Sim-lan jadi geregetan, tiba-tiba ia berteriak, “Baik, akan kulepaskan, mungkin kau merasa aku tidak pantas memelukmu, tapi asalkan kau bicara terus terang bahwa aku adalah perempuan hina dan kejam, habis itu segera akan kulepaskan.”

“Kau ... hahaha ... kau ....”

Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, katanya kemudian dengan pedih, “Ya, tahulah aku, engkau tak dapat mendustai aku. Kutahu dalam keadaan apa pun engkau tidak tega mengucapkan sepatah kata yang dapat menyinggung perasaanku.”

Hati Bu-koat seperti disayat-sayat, tapi dia hanya bisa tertawa saja, tertawa terus-menerus.

Kembali Thi Sim-lan mencucurkan air mata, ucapnya, “Kutahu, lantaran diriku, maka kau berubah menjadi begini. Kau ... kau ….”

“Lantaran dirimu? Hahaha ... lekaslah kau pergi mencari Kang Siau-hi-ji saja! Le ... lekas, lekas!”

“Tidak, aku tidak mau pergi!” teriak Thi Sim-lan dengan suara parau. “Aku takkan mencari siapa-siapa, aku akan tetap mendampingimu, siapa pun tak dapat menyuruh aku pergi.”

“Dan Kang Siau-hi?” tanya Bu-koat.

“Siau-hi-ji? .... Sudah lama aku melupakan dia!” teriak Sim-lan dengan suara gemetar dan menangis.

“Kau sudah melupakan dia? ... Hahaha, kau benar-benar dapat melupakan dia? Haha ....”

“Mengapa tidak? Kebaikan apa yang pernah dia lakukan terhadap diriku? Bilamana aku menghadapi bahaya, dapatkah dia menolongku dengan mati-matian seperti kau? Huh, bisa jadi tanpa berpaling akan ditinggal pergi olehnya.”

“Tapi kau tetap tak dapat melupakan dia. Hahaha ... cinta ... cinta tidak mungkin dijadikan barang tukar-menukar ... haha ... bilamana kau mencintai seseorang, betapa pun dia berbuat atas dirimu tetap kau mencintai dia.”

“Tapi aku ... aku ....” mendadak Thi Sim-lan terkulai di tanah dan menangis tergerung-gerung.

Hoa Bu-koat ... Kang Siau-hi ... sungguh kalau bisa Thi Sim-lan ingin dibelah menjadi dua.

Dengan tertawa Bu-koat berkata pula, “Pergilah kau mencari dia saja, jagalah dia ... hahaha, semoga ... semoga kalian hidup senang dan bahagia ....” suara tertawanya semakin jauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.

Waktu Thi Sim-lan mengangkat kepalanya, namun Hoa Bu-koat tidak nampak pula. Ia tahu selamanya takkan dapat menyusulnya lagi. Ia hanya menangis sedih dan berteriak dengan suara parau, “Hoa Bu-koat ... O, Hoa Bu-koat, jika kau mati cara begini, dapatkah aku menikahi Siau-hi-ji? Bilamana kau mati cara begini, apakah hidup kami selanjutnya akan bahagia?” Sekuatnya ia berteriak pula, “Hoa Bu-koat, kem ... kembalilah!”

Aku tetapi tiada suatu jawaban apa pun. Yang ada cuma angin meniup dingin menimbulkan suara seperti keluhan yang menyayat hati.

Sementara itu fajar sudah menyingsing.

Apabila fajar tiba, maka hidup Hoa Bu-koat juga akan tamat. Ia tahu jiwa sendiri pada hakikatnya lebih pendek daripada umur laron di malam hujan.

Tapi apakah dia harus menanti ajal begini saja?

Semula Hoa Bu-koat telah duduk putus asa, mendadak ia melompat bangun, ia menengadah dan tertawa keras, teriaknya, “Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat, paling tidak saat ini kau kan masih hidup. Paling sedikit kau masih dapat berbuat sesuatu sebelum ajalmu tiba. Seumpama harus mati, tidak boleh kau mati tanpa suara dan tanpa pergulatan!”

Bumi ini seakan-akan bergetar mengumandangkan suara tertawanya yang nyaring. Segera ia membalik tubuh dan lari ke kelenteng sana.

Ruangan pendopo kelenteng itu masih gelap dan seram. Tanpa pikir Hoa Bu-koat melayang ke dalam, sekali depak ia jungkalkan patung malaikat gunung yang dipuja itu. Teriaknya sambil tertawa latah, “Ayo, Pek San-kun, keluarlah kau!”

Suara tertawanya yang keras lantang itu berkumandang jauh, tapi Pek San-kun belum lagi menampakkan batang hidungnya. Mustahil dia tidak mendengar, jika mendengar mengapa dia tidak keluar?

Dengan tertawa ngakak Bu-koat lantas angkat meja sembahyang dan dibanting sekerasnya di halaman sana. Teriaknya sambil tertawa, “Pek San-kun ... hahaha ... dengarkan .... Meski aku akan mati, sedikitnya aku juga akan membinasakan manusia-manusia keji macam kalian ini untuk ... hahaha ... untuk keselamatan umum.”

Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar auman, tahu-tahu harimau loreng itu menerobos tiba.

Dengan tertawa Bu-koat memapak binatang buas itu, sekali mengegos ia hindarkan terkaman yang sukar ditahan itu, berbareng sebelah tangannya terus memotong ke belakang dan tepat mengenai kuduk harimau.

Raja hutan yang ganas itu jatuh mendekam kena tebasan telapak tangannya itu. Mendadak harimau itu meraung kalap dan kembali menerkam.

Hoa Bu-koat bergelak tertawa, suara tertawanya berpadu dengan raungan harimau sehingga ruangan pendopo seakan-akan bergetar roboh. Tapi Pek San-kun suami istri seperti orang tuli, sampai saat ini tetap belum muncul.

Dengan gesit Hoa Bu-koat terus berputar kian kemari, mana bisa harimau itu menyentuhnya, setelah menubruk tiga kali, kegarangan raja hutan itu pun mulai surut. Ketika Hoa Bu-koat menabas pula satu kali, kontan harimau itu terkapar dan tak bisa bergerak lagi.

Di tengah ruangan kini tinggal suara latah Hoa Bu-koat, suara tertawa yang pedih mengharukan. Sambil terbahak-bahak Bu-koat mendepak daun jendela hingga terpentang, ia terus menerobos ke halaman belakang, tapi di situ juga sepi tiada bayangan seorang pun.

Dada Hoa Bu-koat diliputi rasa pedih dan dendam yang tak terlampiaskan, sekali tendang ia bikin daun pintu terpentang, sebuah meja diangkatnya dan dilemparkan keluar hingga berantakan.

Tapi apa gunanya biarpun seluruh isi rumah ini dihancurkan olehnya, sebab Pek San-kun suami istri tetap tidak memperlihatkan batang hidungnya.

“Pek San-kun, ayo, Pek San-kun!” Bu-koat berteriak-teriak dengan tertawa latah. “Di mana kau, Pek San-kun! Mengapa kau tidak keluar untuk perang tanding?”

Yang diharapkannya sekarang hanya suatu pertarungan saja, sekalipun tidak mampu melawan dan mati juga rela baginya.

Namun sia-sia belaka dia berteriak, suara tertawanya yang berkumandang balik itu seakan-akan sedang mencemoohkan dia sendiri. Sekeliling tetap tiada bayangan seorang pun, yang ada cuma gambar malaikat gunung yang sedang memandang padanya dengan dingin seakan-akan lagi berkata, “Hoa Bu-koat, lebih baik kau mati dengan tenang-tenang saja, untuk apa kau umbar gila di sini, biarpun tenggorokanmu sampai bejat berteriak juga tidak digubris orang. Kalau orang sudah jelas tahu kau pasti akan mati, untuk apa dia bertempur mengadu jiwa lagi denganmu?”

Sambil berteriak mendadak Hoa Bu-koat menubruk maju, sekali tarik ia robek lukisan itu hingga berkeping-keping, terasa darah bergolak dan muncrat keluar bersama tertawanya, bintik-bintik darah menghiasi bajunya laksana ceplok bunga sulaman. Ia merasa tenaganya sudah hampir ludes, tubuh pun mulai sempoyongan.

Subuh telah tiba, hari sudah mulai terang, bumi penuh diliputi rasa dingin memilukan.

Mati sebenarnya tidaklah menakutkan dan juga tidak perlu dirisaukan, yang dirisaukan adalah mati dengan murka tanpa terlampiaskan, yang ditakutkan adalah menjelang ajal terasa sesunyi ini.

Tiba-tiba Bu-koat merasakan bilamana sekarang ada seorang berada di sampingnya, siapa pun boleh, betapa pun ia tidak ingin mati kesepian.

Selama hidupnya ini meski penuh sanjung puji, tapi selama itu sebenarnya hidup terpencil dan kesepian, dia dilahirkan di tempat terpencil, sungguh ia tidak ingin mati kesepian pula.

Dia berharap mati dalam pertempuran, tapi tiada seorang pun mau menggubrisnya. Dia berharap mati di tengah-tengah kerumunan orang, tapi rasanya dia tidak dapat berjalan keluar lagi.

Dengan sempoyongan akhirnya Bu-koat jatuh terduduk di kursi, dengan sorot mata guram ia memandangi tibanya cahaya subuh, ia berharap ajal akan datang menyusul tibanya subuh.

Sesungguhnya ia sudah putus asa, ia sedang menantikan ajalnya.

Tapi apa pun juga dia tetap tertawa tanpa henti, tertawa latah, tertawa yang mengantarkan ajalnya, tertawa yang tak dapat mengeluarkan rasa duka dan dendamnya.

Suara tertawanya ini pada hakikatnya hampir membuatnya menjadi gila.

Kini dia malah tidak sayang mengorbankan segalanya, yang diharap hanya berhentinya suara tertawa sialan ini. Ia coba mendekap telinganya, tapi mana bisa membendung suara tertawanya sendiri.

Ia tahu, untuk bisa menghentikan suara tertawanya hanya ada satu jalan, yakni mati!

Supaya tertawanya bisa berhenti, Bu-koat sudah siap menamatkan hidupnya sendiri.

Pada saat remang-remang tibanya subuh itulah, tahu-tahu muncul sesosok bayangan orang. Jubah orang ini memanjang menyentuh tanah, rambut panjang semampir di pundak, langkahnya halus dan enteng sehingga tampaknya seperti bayangan kematian yang menyongsong keberangkatan Hoa Bu-koat.

Akhirnya Bu-koat dapat melihat jelas wajah orang, wajah yang cantik itu seolah-olah menampilkan rasa putus asa.

Pek-hujin! Orang ini ternyata Pek-hujin adanya. Akhirnya muncul juga dia!

Bu-koat mengira dirinya pasti akan menerjang maju dan melabraknya apabila melihat Pek San-kun atau istrinya, siapa tahu sekarang dia hanya duduk terpukau saja dan memandangnya dengan kesima.

Maklumlah, tenaga untuk hidup saja sudah lenyap, apalagi tenaga untuk melabrak orang?

Seperti badan halus saja Pek-hujin melangkah maju dengan enteng. Bu-koat mengira kedatangan orang pasti untuk membunuhnya, tak terduga Pek-hujin hanya berdiri diam di depannya dan memandangnya dengan tenang.

“Tepat sekali kedatanganmu ini. Hahaha, mengapa kau tidak lekas turun tangan?” mendadak Bu-koat berseru sambil tertawa.

Pek-hujin tetap memandangnya dengan lekat tanpa bicara.

“Kiranya kau cuma ingin menyaksikan kematianku saja?” kata Bu-koat pula, dan Pek-hujin masih tetap tidak bersuara.

“Bagus,” teriak Bu-koat sambil tertawa. “Tidak peduli apa maksud kadatanganmu tetap aku berterima kasih padamu. Aku memang lagi kesepian di sini.”

Mendadak Pek-hujin menghela napas panjang, ucapnya dengan terharu, “O, orang yang harus dikasihani, masa setitik keberanianmu mencari hidup saja sudah tiada lagi.”

Hati Bu-koat seperti dipuntir-puntir, teriaknya dengan tertawa parau, “Hahahaha! Bukankah kalian menghendaki kematianku secepatnya, mengapa sekarang malah menyuruh aku berusaha mencari hidup? Memangnya kau anggap penderitaanku ini belum cukup?”

Pek-hujin menjawab dengan sedih, “Ya, aku telah melukaimu, kutahu kau pasti sangat benci padaku, tapi kuharap engkau juga dapat memaklumi kesukaranku.”

“Kesukaranmu? Hahaha, kau juga mempunyai kesukaran?”

“Seorang perempuan, demi suaminya terkadang bisa juga melakukan sesuatu yang bodoh dan kejam,” jawab Pek-hujin dengan perlahan. “Pek San-kun adalah suamiku, mana ... mana boleh kusaksikan dia dibunuh olehmu?”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba air matanya berlinang-linang, sambungnya pula dengan pedih, “Tapi aku pun tahu aku berdosa padamu, kumohon engkau suka memaafkan diriku.”

“Hahaha! Aku tidak tahu untuk apa kau mesti menipu seorang yang sudah dekat ajalnya. Hahaha, tapi apa pun juga sekarang ini aku tak dapat kau tipu lagi.”

Pek-hujin menunduk sedih, ucapnya, “Ya, aku pun sudah menduga kau pasti tak percaya lagi padaku. Tapi ... tapi sudikah kau ikut pergi melihat sesuatu?”

Bu-koat duduk saja tanpa bergerak, suara tertawanya sudah tambah lemah dan berubah menjadi parau.

Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, katanya pula dengan nada gemetar, “Hanya satu kali ini saja kumohon, apa pun juga ini takkan membikin susah padamu lagi, betul tidak?”

“Betul, hahaha, sudah hampir mati, memangnya siapa yang hendak mencelakai aku pula?” teriak Bu-koat dengan serak. Akhirnya ia ikut keluar juga bersama Pek-hujin.

Setelah menyusuri beberapa rumah, sekonyong-konyong Bu-koat melihat seorang tergantung jungkir pada suatu belandar, seluruh badan berlumuran darah, sebilah belati menembus dadanya.

Belum lagi Bu-koat melihat jelas siapa orang itu, Pek-hujin telah berhenti di situ dan berkata, “Yang hendak kuperlihatkan padamu, ialah dia!”

“Sia ... siapa dia?” tanya Bu-koat.

“Masa kau tak kenal?” kata Pek-hujin. Segera ia merobek sepotong ujung bajunya untuk mengusap muka orang berlumuran darah yang mengalir dari dada itu sehingga tertampak jelas wajah aslinya.

Ternyata orang yang mati tergantung menjungkir ini bukan lain ialah suaminya.

Keruan Bu-koat terkejut, teriaknya, “He, Pek San-kun sudah mati?!”

Tapi suara tertawa latahnya lantas melenyapkan nada kejut ucapannya. Malahan nadanya rada-rada kecewa dan sama sekali tiada rasa gembira.

Meski ia ingin bertarung melawan Pek San-kun dan bertekad akan membunuhnya, tapi mendadak melihat orang mati cara begini, mau tak mau timbul juga rasa simpatinya.

Dengan perlahan Pek-hujin lantas berkata, “Aku ingin kau lihat jenazahnya, sebab aku merasa bersalah padamu ....”

“Kau yang membunuhnya?” tanya Bu-koat.

Pek-hujin menghela napas panjang dan menjawab dengan sedih, “Ya, betul, aku yang membunuhnya.”

Bu-koat tersurut mundur dengan melongo, satu patah kata pun tidak sanggup bersuara.

“Tentunya kau sangat heran aku yang telah membunuh dia, begitu bukan?” tanya Pek-hujin.

Padahal mana Hoa Bu-koat cuma “heran” saja, pada hakikatnya ia tidak percaya.

“Tapi kau pun perlu tahu, sebab apakah kubunuh dia?!” kata Pek-hujin pula. “Sungguh aku mempunyai seribu alasan untuk membunuhnya, memang sudah lama seharusnya kubunuh dia.”

Bu-koat tertawa latah, teriaknya dengan gusar, “Setiap orang di dunia ini memang boleh membunuhnya, hanya kau adalah istrinya, kau tidak dapat membunuhnya. Memangnya dalam hal apa dia berbuat tidak baik padamu?”

“Kutahu dia pasti telah banyak omong bohong padamu,” ucap Pek-hujin dengan rawan. “Tentu dia bercerita mengenai kebusukanku, diriku pasti dilukiskannya sebagai iblis atau siluman, tapi ... tapi apakah kau pun percaya pada obrolannya?”

“Mengapa aku tidak percaya?” teriak Bu-koat. Meski demikian, namun hatinya sudah mulai goyah.

“Bilamana aku benar-benar perempuan semacam perkataannya, cara bagaimana dia dapat berkumpul denganku selama berpuluh tahun? Orang bertabiat seperti dia pasti sudah sejak dulu-dulu tidak tahan, tentu aku sudah dibunuh olehnya,” Pek-hujin melirik Bu-koat sejenak, lalu menyambung pula, “Apa yang kulakukan terhadap dirimu adalah karena sebisanya aku ingin merebut kembali hatinya, demi dia aku tidak sayang berbuat apa pun, tidak sayang untuk mencelakai siapa pun juga ....”

Air matanya lantas bercucuran pula, ia menangis dengan terguguk-guguk.

Bicaranya sedemikian sungguh-sungguh, menangisnya sedemikian sedih, sebaliknya apa yang pernah diceritakan Pek San-kun rasanya teramat janggal dan sukar dipercaya. Apabila ada orang yang lebih percaya pada cerita Pek San-kun itu dan tidak percaya pada keterangan Pek-hujin, maka orang itu benar-benar mahaaneh.

Maka Bu-koat lantas berkata, “Tapi mengapa kau membunuhnya jika betul segala tindak tandukmu itu demi sang suami?”

Pek-hujin menangis tersedu-sedu, jawabnya, “Aku adalah perempuan, betapa jelek nasibku sebenarnya harus kuterima, namun meski aku sudah berusaha sepenuh tenaga agar dia sudi kembali ke sampingku, siapa tahu ... siapa tahu ....” mendadak ia jatuhkan diri ke pangkuan Hoa Bu-koat dan menangis tergerung-gerung, lalu menyambung dengan terputus-putus, “Siapa tahu dia tidak ... tidak memikirkan sama sekali cinta kasih suami istri, dia bahkan hendak ... hendak membunuh diriku.”

Bu-koat ternyata tidak mendorongnya pergi. Dalam keadaan demikian ia merasa tidak tega mendorong pergi perempuan yang menangis sedih dalam pelukannya.

Seorang perempuan menangis sedih dalam pelukan seorang lelaki yang sedang tertawa latah, di sebelah mereka bergantung mayat yang berlumuran darah, suasana ini benar-benar aneh dan lucu, rasanya siapa pun sukar melukiskan adegan ganjil ini.

“Makanya ... makanya kau lantas membunuhnya?” tukas Bu-koat kemudian.

“Sebenarnya aku tidak sayang mati baginya, tapi ketika dia benar-benar hendak membunuhku, betapa pun aku tidak tahan lagi, siksa derita selama lebih 20 tahun seketika meledak dalam sekejap, tanpa pikir kucabut belati dan menikamnya,” sampai di sini Pek-hujin terguguk-guguk sedih, lalu menyambung, “Tadinya kuharap tikamanku ini takkan mencelakai dia, di luar dugaan, dia sama sekali tidak pernah membayangkan perlawananku sehingga sama sekali dia tidak berjaga-jaga, tikamanku itu benar ... benar-benar telah menewaskan dia.”

Bukti memang nyata begitu, apa yang dapat diucapkan Hoa Bu-koat?

Sambil menarik leher baju Bu-koat, Pek-hujin menengadah memandangnya dan berkata dengan mengalirkan air mata, “Coba katakan, apakah tidak pantas kubunuh dia? Masa aku salah membunuhnya?”

“Kau tidak salah, bagimu hanya ada satu jalan, yaitu membunuhnya, dalam keadaan begitu, siapa pun pasti akan membunuhnya dan tiada pilihan lain,” kata-kata demikian ini tidak sampai diucapkan Hoa Bu-koat, tapi kentara sekali terpancar dari sorot matanya, suara tertawanya sudah makin lemah dan parau, kaki pun lambat-laun menjadi lemas.

Pek-hujin memandangnya sejenak, kemudian menunduk dengan sedih, katanya, “Kutahu engkau pasti menaruh simpati padaku, sebab itulah aku berbicara sebanyak ini padamu. Sekalipun di dunia ini tiada orang lain yang bersimpati padaku, hanya engkau yang bersimpati padaku, sebab ... sebab ....” dia tersenyum pedih, lalu melanjutkan, “Walaupun tidak sedikit lelaki yang pernah kujumpai, tapi cuma kau saja paling lemah lembut, hanya engkau saja paling memahami perasaan perempuan. Bilamana lelaki di seluruh dunia ini serupa dirimu, maka bahagialah kaum perempuan.”

Justru lantaran sifat Hoa Bu-koat inilah, makanya dia mudah ditipu oleh perempuan. Sebenarnya dia bukan orang bodoh, hanya hatinya yang terlalu lemah. Bilamana semua lelaki di dunia ini seperti dia, maka dunia ini mungkin akan menjadi dunianya kaum perempuan. Sembilan di antara sepuluh lelaki mungkin harus bunuh diri.

Begitulah tiba-tiba Hoa Bu-koat berkata, “Urusan yang sudah lalu tidak perlu disebut pula, sekali-kali aku tidak ... tidak dendam padamu.”

“Jadi kau memaafkan aku?” tanya Pek-hujin.

Bu-koat mengangguk. Lalu berkata, “Apakah bicaramu sudah habis?”

“Yang perlu kukatakan sudah habis kukatakan, apakah ... apakah kau sendiri tiada sesuatu yang ingin dikatakan padaku?”

“Ak ... aku cuma ber ... berharap kau ....” dengan sendirinya Bu-koat berharap Pek-hujin dapat menghentikan suara tertawanya yang sialan itu, tapi sampai detik gawat demikian dia tetap tidak sanggup mengucapkan sesuatu permohonan kepada seorang perempuan.

Biarpun dia tertipu seribu kali oleh perempuan, meski dia akan mati karena tipuan perempuan, betapa pun dia tidak sudi minta balas kasihan di depan seorang perempuan.

Di dunia justru ada orang macam begini, lebih suka ditipu perempuan daripada dibenci perempuan.

Pek-hujin memandangnya dengan termenung, sejenak kemudian baru berkata pula, “Sebenarnya tanpa kau minta juga seharusnya kukeluarkan jarum yang menyusup di Jiau-yau-hiatmu ini, tapi tadi kau terlalu banyak mengeluarkan tenaga, jarum itu sudah masuk sangat dalam, kini aku pun tidak mampu mengeluarkannya.”

Bu-koat kesakitan seperti diiris-iris, mendadak ia mendorong Pek-hujin terus melangkah pergi. Ia tahu nasibnya sudah ditakdirkan begini, mati tertawa. Tapi ia pun tidak ingin mati di depan perempuan, ia harus menyingkir pergi jauh-jauh, biarpun mati juga tidak boleh meninggalkan kesan menggelikan dan harus dikasihani oleh orang lain.

Siapa tahu Pek-hujin justru mengadangnya pula dan berkata, “Sekarang kau belum boleh pergi.”

Bu-koat tak dapat lagi menahan rasa gusarnya, tapi sedapatnya ia menekan perasaannya, katanya, “Urusan sudah begini, mengapa kau masih menahanku di sini?”

“Meski aku tak dapat menolongmu, tapi kutahu di dunia ini masih ada seorang yang dapat menyelamatkan kau,” jawab Pek-hujin.

Bu-koat menengadah dan terbahak-bahak, katanya, “Keadaanku sudah begini masa aku masih perlu pula memohon pertolongan orang?”

Pek-hujin menatapnya dengan tajam dan berkata tegas, “Semula kukira engkau ini seorang pemberani, tapi sekarang keberanianmu untuk hidup saja ternyata tidak ada.”

Bu-koat menunduk dengan sedih.

“Walaupun aku tidak mampu menolongmu, tapi aku dapat berusaha memperpanjang umurmu selama tiga hari, dalam tiga hari ini dapat kubawa kau pergi mencari orang itu. Jika kau mempunyai keberanian untuk hidup, maka kau pun harus mempunyai keberanian untuk memohon pertolongannya. Usiamu masih muda, minta bantuan orang bukan sesuatu yang memalukan, yang memalukan ialah apabila tidak berani hidup.”

Bu-koat tertawa dengan suara serak, katanya, “Sekalipun kuminta pertolongannya juga belum tentu dia sudi menolong aku, lalu untuk apa .…”

“Aku cukup kenal watak orang itu,” sela Pek-hujin. “Asalkan kau mau pergi ke sana, dia pasti akan menolongmu. Apalagi, kepergianmu ke sana juga bukan untuk mohon pertolongan melainkan untuk berobat, orang sakit tidak mau berobat pada tabib kan aneh.”

Setelah dibujuk berulang-ulang akhirnya goyah pula hati Bu-koat. Betapa pun seseorang tidak takut mati, bila masih ada setitik harapan untuk hidup tentu juga akan berusaha agar tidak mati.

Dengan suara lembut Pek-hujin berkata pula, “Kumohon dengan sangat, terimalah usulku. Demi aku kau pun harus hidup, jika kau mati, kepada siapa aku harus .... Pokoknya, asalkan engkau mengangguk dan aku akan sangat berterima kasih padamu.”

Akhirnya Bu-koat mengangguk juga. Terhadap sesuatu permohonan yang merengek-rengek begini betapa pun dia tidak dapat menolaknya.

Bu-koat dan Pek-hujin telah pergi, ruangan pendopo menjadi hening dan lebih seram. Cahaya matahari menyinari mayat yang berlumuran darah itu, darah segar itu seakan-akan bersemu kehijau-hijauan.

Pada saat demikianlah tiba-tiba Kang Giok-long muncul pula di situ, serunya sambil berkeplok tertawa, “Tipu daya Cianpwe benar-benar hebat, sungguh Tecu kagum dan tunduk sepenuhnya.”

“Mayat” yang tergantung di belandar itu mendadak tertawa ngekek, katanya, “Meski bagus juga akal ini, tapi hanya manusia macam orang she Hoa saja yang dapat tertipu. Bilamana kau atau aku mungkin tidak begitu mudah percaya kepada ocehan perempuan.”

“Ya, jika Cianpwe, tentunya si perempuan yang akan ditipu,” seru Giok-long sambil tertawa.

“Di dunia ini ada lelaki macam Hoa Bu-koat, tentunya juga ada lelaki seperti kau dan aku,” ucap si ‘mayat hidup’ alias Pek San-kun dengan terkekeh-kekeh, “Lelaki seperti kita ini memang dilahirkan untuk membela kaum lelaki.”

“Jika demikian, dilahirkannya Pek-hujin bukankah juga untuk membela kaum perempuan?” ujar Kang Giok-long dengan tertawa.

“Betul juga,” jawab Pek San-kun. “Apabila lelaki di dunia ini semuanya seperti kau dan aku kan kasihan kaum perempuan.”

“Mayat” itu sekarang sudah melompat turun, gagang belati di dadanya dicabut, tangan lain menarik ujung belati yang menembus punggung. Kiranya belati ini terdiri dari dua potong dan ditempelkan di tubuh Pek San-kun.

Karena ia tergantung menjungkir dengan berlumuran darah, ditambah lagi waktu itu masih remang-remang, Hoa Bu-koat sendiri sedang dirundung kesedihan dan penderitaan yang sangat sehingga tanpa sadar tertipu oleh Pek-hujin.

Padahal kalau Hoa Bu-koat pasti akan mati, lalu apa pula Pek-hujin menipunya? Kini dia membawa Bu-koat pergi mencari seorang penolong, siapa pula gerangan penolong yang dimaksudkan itu?

Dalam keadaan sadar tak sadar Bu-koat duduk di dalam kereta, Pek-hujin telah memberinya minum semacam obat penenang yang sangat keras dan membuatnya mengantuk. Tapi dia tidak dapat tidur pulas, begitu tidur lantas terjaga bangun oleh hasrat tertawanya sendiri. Kini dia sudah lemas lunglai karena terlalu banyak tertawa.

Baru sekarang Bu-koat tahu, tertawa tidak cuma mendatangkan kegembiraan terkadang juga semacam alat siksa yang sangat keji.

Untung kabin kereta kuda ini cukup relaks, entah dari mana Pek-hujin mendatangkan kereta kuda yang mewah ini, ia pun tidak tahu siapa saisnya, lebih-lebih tidak tahu kereta ini dilarikan ke mana?

Seorang sudah dekat ajalnya, kenapa mesti tidak percaya lagi kepada orang lain?

Begitulah selama tiga hari mereka dalam perjalanan. Selama tiga hari Pek-hujin menjaga dan merawat Bu-koat dengan penuh perhatian. Meski tidak berucap, tapi dalam hati Bu-koat merasa berterima kasih.

Menjelang senja hari ketiga, kereta menanjak ke suatu perbukitan, lalu berhenti. Di luar sana pemandangan indah permai laksana lukisan. Sejauh mata memandang, sungai memanjang seperti pita, bola matahari membara hampir terbenam di balik bukit sana, di bawah pancaran cahaya senja tertampak air sungai bertambah kemilauan.

Diam-diam Bu-koat membatin, “Sekalipun aku harus mati tanpa sebab, tapi dapat mati di tempat begini, rasanya juga tidak sia-sia perjalanan ini.”

Terdengar Pek-hujin menghela napas panjang, katanya dengan rawan, “Di sinilah orang itu bertempat tinggal, di sini juga kita harus berpisah.”

“Kau akan pergi?” tanya Bu-koat.

“Setiba di sini, mau tak mau aku harus pergi?”

“Sebab apa?”

“Watak orang itu sangat aneh, aku ... aku tidak ingin bertemu dengan dia,” kata Pek-hujin sambil membuka pintu kereta dan memayang Bu-koat turun. Ia menuding jauh ke sana dan berkata pula, “Dapatkah kau lihat gardu di sana?”

Tertampak di antara pepohonan yang menghijau dan bunga mekar beraneka warna. Di sana ada sebuah gardu, sejalur air terjun menuangkan airnya ke bawah dari tebing di sebelah gardu, air muncrat memantulkan sinar berwarna-warni tersorot oleh cahaya matahari senja.

Bu-koat terpesona menghadapi keindahan alam ini, hampir-hampir ia mengira dirinya sudah berada di surga. Angin meniup sejuk membawa harum bunga semerbak, ia termangu-mangu sejenak, kemudian baru menjawab, “Ya, hahaha ... kulihat.”

Suasana pegunungan sunyi senyap, hanya terkadang terdengar kicau burung dan bau harum bunga, suara tertawa Bu-koat yang sudah serak itu memecahkan keheningan.

“Setelah melintasi gardu kecil itu, kau akan melihat sebuah pintu batu bersembunyi di balik akar-akaran tetumbuhan di lereng tebing sana, pintu batu itu selalu terbuka sepanjang tahun, kau boleh langsung masuk ke sana,” demikian pesan Pek-hujin.

Diam-diam Bu-koat membatin dengan gegetun, “Orang yang tinggal di tempat luar biasa ini tentu bukanlah sembarang orang, sungguh menyenangkan aku dapat berjumpa dengan orang kosen, cuma sayang beginilah keadaanku sekarang.”

Terdengar Pek-hujin berucap pula, “Setelah kau masuk pintu batu itu, dengan sendirinya kau akan bertemu dengan orang itu. Asalkan sudah bertemu dengan dia, kalian pasti akan segera menjadi sahabat baik, sebab kalian berdua sama-sama orang yang luar biasa.”

“Hahaha, beginilah keadaanku, mana dapat aku disejajarkan dengan orang, hahaha ...” kata Bu-koat sambil bergelak parau.

“Kau pun tidak perlu meremehkan dan menyiksa diri sendiri, biarpun orang itu sangat pintar, bahkan mahir segala macam ilmu pengetahuan, tapi dia juga belum tentu lebih unggul daripadamu.”

“Siapa namanya?”

“Namanya So Ing,” jawab Pek-hujin.

Bu-koat menghela napas menyesal, pikirnya, “Wahai So Ing, selamanya kita belum kenal, tapi aku akan minta engkau menolong jiwaku, apakah engkau tidak merasa geli?”

Didengarnya Pek-hujin berkata pula, “Setelah bertemu dengan dia, tentu akan dia tanya siapa yang membawamu ke sini, maka boleh kau sebut namaku saja .... Oya, aslinya aku bernama Be Ek-hua.”

“Baiklah, kuingat,” kata Bu-koat.

Setelah termenung sejenak, kemudian Pek-hujin berkata pula, “Sekarang bolehlah kau masuk ke sana. Aku memang perempuan yang bernasib jelek dan bodoh, betapa pun tidak berani kuharapkan engkau akan mengenangkan diriku, asalkan engkau tidak takut lagi padaku, mati pun aku tidak penasaran.”

Bu-koat melengak, tanyanya, “Mati? ... Masa ... kau akan ....”

Pek-hujin tersenyum sedih, ucapnya, “Selanjutnya hidupku tiada ubahnya sudah mati, engkau pun tidak perlu memperhatikan aku lagi, seterusnya di dunia ini tiada lagi perempuan bernasib malang seperti diriku ....” tiba-tiba ia berhenti berucap lebih lanjut, ia membalik tubuh terus berlari ke keretanya dan dilarikan cepat ke sana.

Bu-koat melenggong sejenak, entak bagaimana perasaannya sukarlah dilukiskan.

Perempuan itu telah membikin susah dia sedemikian rupa, tapi sekarang dia malah berterima kasih, percaya penuh padanya, sedikit pun tidak merasa sangsi apalagi dendam.

Setelah kereta kuda itu melintasi beberapa belokan bukit, mendadak kereta berhenti di kaki tebing sana, dari balik pepohonan muncul tiga orang. Mereka ialah Thi Peng-koh, Kang Giok-long dan Pek San-kun.

“Apakah bocah itu sudah kau antar ke sana?” tanya Pek San-kun dengan tertawa.

“Apa yang telah kukerjakan masa perlu diragukan?” jawab Pek-hujin dengan tertawa genit.

“Hujin benar-benar jantannya kaum perempuan, Tecu dapat mendampingi engkau selalu, sungguh beruntung sekali,” segera Kang Giok-long ikut mengumpak.

“Buset, setan cilik, manis juga mulutmu,” ucap Pek-hujin sambil nyekikik.

Pek San-kun menengadah dan bergelak tertawa, katanya, “Setelah Hoa Bu-koat bertemu dengan dia, tidak sampai tiga hari pasti dia akan menguraikan seluruh rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok padanya. Maka kedua perempuan siluman Ih-hoa-kiong itu pun tidak panjang lagi umurnya.”

Kang Giok-long tampak berkedip-kedip, katanya kemudian, “Apakah orang itu benar-benar memiliki kepandaian sehebat itu?”

“Setan cilik,” omel Pek-hujin sambil tertawa, “jangan kau kira banyak sekali corak permainanmu, bilamana kau kebentur dia, biarpun kau mengeluarkan segenap kemahiranmu juga jangan harap akan mampu lolos dari tangannya.”

“Wah, masa ilmu silat orang ini begitu tinggi?” Giok-long menegas.

“Dia justru sama sekali tidak mahir ilmu silat,” tutur Pek-hujin.

“Hah, tidak mahir ilmu silat?” Giok-long mengulang ucapan itu dengan melengak, lalu ia tertawa, “Haha, masa orang tidak mahir ilmu silat bisa begini lihai?”

“Memangnya kau kira orang yang tinggi ilmu silatnya pasti lebih unggul daripada orang lain?” kata Pek-hujin. “Supaya kau tahu, jika adu kekuatan, jelas dia kalah, tapi kalau adu akal, sepuluh Kang Giok-long juga tak dapat menandingi dia.”

“Ooo,” Giok-long tertawa. Dia sengaja menarik panjang suara “O” ini, suatu tanda dia tidak setuju.

“Kau tidak percaya?” tanya Pek-hujin. “Baik, coba jawab, aku ini bagaimana menurut pandanganmu?”

“Hujin mahahebat dan tiada taranya, mana ada bandingannya di dunia ini,” ucap Giok-long dengan khidmat.

“Hah, jangan menjilat pantat,” kata Pek-hujin dengan tertawa. “Kau bilang aku tiada bandingannya di dunia ini, tapi kalau dibandingkan dia aku ini belum masuk hitungan.”

“Nah, kau dengar tidak? Hahaha!” Pek San-kun bergelak tawa. “Biniku juga mengaku kalah pada orang lain, sungguh bukan urusan mudah.”

“Aku memang tidak tunduk pada siapa-siapa, hanya tunduk padanya,” kata Pek-hujin.

Kang Giok-long juga tertawa, katanya, “Dengan kepandaian Hujin saja Hoa Bu-koat telah dibikin kelabakan setengah mati, bilamana bocah she Hoa itu ketemu dia, bukankah setitik sinar harapan untuk hidup saja tidak ada lagi?”

“Memang,” kata Pek-hujin, “lelaki mana pun juga hanya ada jalan kematian saja bilamana berhadapan dengan dia, apalagi Hoa Bu-koat yang masih hijau pelonco itu.”

“Sampai saat ini Tecu belum lagi mengetahui siapa namanya?” tanya Giok-long sambil menyengir.

“Setan cilik, apakah kau akan mengincarnya juga? Awas, gentong cuka di sebelahmu bisa berontak lagi,” kata Pek-hujin dengan tertawa sambil melirik Thi Peng-koh.

Thi Peng-koh tersenyum hambar, ucapnya, “Sesungguhnya Tecu juga ingin tahu siapa nama orang itu?”

“Dia bernama So Ing,” jawab Pek-hujin. “Ing dari Ing-toh, belimbing, tapi ingat, meski belimbing ini cantik dan manis, namun berbisa.”

*****

Sementara itu Hoa Bu-koat sudah memasuki pintu batu yang berwarna hijau gelap karena penuh lumut itu. Di balik pintu adalah gua sangat luas dan sunyi senyap, Bu-koat sendiri bingung entah dirinya berada di mana sekarang?

Dia masih tertawa dan tertawa terus, ia benci pada suara tertawanya sendiri yang mengganggu ketenangan tempat yang indah ini. Sedapatnya ia menutup mulut, tapi suara tertawa tetap tidak terbendung.

Berjalan sebentar lagi, gua ini semakin dalam diapit dinding batu di kanan kiri, makin jauh makin menyempit. Tapi tak jauh kemudian mendadak membentang lebar lagi, bahkan lantas terang benderang.

Kiranya di depan sana ada sebuah lembah sunyi, awan berarak di langit, bunga mekar di mana-mana, terdengar gemerciknya mata air, batu aneh berserakan di sana-sini, tertampak gedung berloteng yang megah di balik pepohonan sana.

Di kejauhan ada beberapa ekor bangau putih dan beberapa ekor menjangan sedang berkeliaran kian kemari, sama sekali binatang-binatang itu tidak takut pada manusia, bahkan mendekat seperti menyambut kedatangan tamu.

Selagi pikiran Bu-koat melayang-layang kesima, seekor bangau putih menggigit bajunya serta membawanya ke suatu jalan berbatu menuju semak-semak sana. Tampaklah kemudian di tepi sebuah sungai kecil berduduk sesosok bayangan perempuan.

Perempuan itu duduk menunduk seolah-olah sedang ngelamun, seakan-akan lagi bercengkerama dengan ikan yang berenang di sungai mengenang masa mudanya yang cepat berlalu dan tentang hidupnya yang kesepian.

Rambut _yang panjang gompiok terurai di atas pundak, bajunya yang tipis putih sebersih salju. Tanpa kuasa Bu-koat ikut bangau penyambut tamu tadi ke tepi sungai ini, ia menjadi kesima pula melihat bayangan di tepi sungai bersaing dengan bayangan orang di dalam air sungai.

Si gadis baju putih mendadak menoleh dan memandang Bu-koat sekejap.

Mendingan kalau gadis itu tidak menoleh, sekali menoleh, seketika bunga di lembah ini seakan-akan layu seluruhnya. Mata alis si gadis seperti lukisan, pipi dekik memesona, bibirnya yang merah itu agak besaran dan dahinya terasa agak lebar, namun sepasang matanya yang jeli dan terang cukup mengatasi semua kekurangan itu.

Mungkin gadis ini tidak secerah Thi Sim-lan, tidak selembut Buyung Kiu, tidak segenit Siau-sian-li, mungkin dia tidak tergolong sangat cantik. Akan tetapi keanggunannya yang tiada taranya membuat setiap orang merasa rendah diri dan tidak berani memandangnya lama-lama.

Kini sorot matanya mengunjuk rasa heran dan kurang senang seakan-akan sedang bertanya tamu yang tak diundang ini mengapa tertawa ngakak seaneh ini.

Muka Bu-koat menjadi merah, katanya kemudian dengan tergagap, “Cayhe Hoa ... Hoa Bu-koat, ingin bertemu dengan So Ing, So-losiansing.”

Si gadis baju putih memandangnya sejenak, tiba-tiba ia tertawa, jawabnya “Di sini memang ada seorang So Ing, tapi bukan Losiansing (tuan tua).”

“Oo!” Bu-koat jadi melengak.

Dengan perlahan si gadis baju putih berkata pula, “Aku inilah So Ing.”

Bu-koat jadi benar-benar melenggong. Tadinya ia mengira “So Ing” yang dikatakan dapat menyembuhkan penyakit tertawanya itu tentu seorang tokoh tua Kangouw atau tabib ternama di dunia persilatan yang mengasingkan diri. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa So Ing yang dimaksud adalah seorang gadis cantik belum genap 20 tahun.

Si gadis So Ing bertanya pula dengan tersenyum, “Tempat terpencil di pegunungan sunyi ini, entah siapa gerangan yang mengantar Tuan ke sini?”

“Ini ... ini ....” Bu-koat menjadi gelagapan. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Pek-hujin menyuruhnya memohon pertolongan jiwa kepada seorang gadis jelita. Kini menghadapi senyuman yang hambar dan pandangan yang dingin ini, ia menjadi lebih tidak enak mengucapkan kata-kata memohon.

“Jauh-jauh Tuan telah datang kemari, masa sepatah kata saja tak dapat berucap?” kata So Ing pula. Meski cukup ramah ucapannya, namun sudah timbul rasa hina terhadap tamu asing yang terus tertawa keras ini. Sambil bicara pandangannya beralih pula ke arah sungai.

Tiba-tiba Bu-koat berkata, “Cayhe salah masuk ke sini sehingga mengganggu ketenangan nona, harap dimaafkan ….” Setelah sedikit membungkuk badan, lalu ia membalik tubuh dan melangkah pergi.

So Ing juga tidak berpaling lagi, ketika bayangan Bu-koat hampir menghilang di balik semak-semak bunga sana, mendadak ia berseru, “Kongcu itu hendaklah berhenti dulu!”

Terpaksa Bu-koat berhenti dan menjawab, “Nona ada petunjuk apa?”

“Coba kembali sini!” seru So Ing.

Meski kata-kata ini kedengaran kurang sopan, namun nadanya telah berubah sangat lembut, rasanya tiada seorang lelaki di dunia ini yang tidak terpengaruh oleh suara ini.

Tanpa kuasa Bu-koat lantas melangkah balik.

So Ing tetap tidak menoleh, katanya dengan acuh tak acuh. “Kukira kau tidak salah masuk ke sini, tapi memang khusus datang kemari. Cuma setelah engkau melihat So Ing yang kau cari hanya seorang gadis belia, hatimu menjadi kecewa, begitu bukan?”

Tentu saja Bu-koat tercengang, jawabnya, “Cayhe ... Cayhe ....”

“Apa yang kukatakan tidak memerlukan jawabanmu,” kata So Ing pula, “sebab pertanyaanku ini jelas kikuk untuk kau jawab, sedangkan kau justru orang yang tidak dapat berdusta, apalagi dusta pada seorang perempuan.”

Bu-koat benar-benar tidak dapat berkata apa-apa.

Maka So Ing menyambung pula, “Lantaran kau adalah orang demikian, merasa malu apabila mengucapkan sesuatu permohonan kepada seorang gadis, maka meski kau khusus sengaja datang ke sini, namun dengan suatu dan lain alasan segera kau pergi lagi. Begitu bukan?”

Kembali Bu-koat melenggong, padahal gadis itu hanya memandangnya sekejap saja, tapi pandangan sekejap itu seakan-akan telah menembus dalam-dalam ke lubuk hatinya, apa pun yang terpikir dalam benaknya seakan-akan tak dapat mengelabui pandangan mata yang jeli itu.

Dengan perlahan So Ing menghela napas dan berkata pula, “Jika kau hendak pergi, tentunya aku tak dapat merintangimu. Tapi ingin kuberitahukan padamu bahwa kau sekali-kali tidak mungkin melangkah keluar pintu batu itu.”

Tergetar tubuh Bu-koat, belum sampai ia buka suara So Ing sudah menyambung pula, “Saat ini urat nadimu sudah hampir tergetar putus oleh tertawamu, air mukamu sudah menampilkan warna kematian, di dunia ini hanya ada tiga orang yang mampu menolongmu, apabila sama sekali kau tidak sayang pada jiwanya sendiri, sungguh hal ini membuat orang kecewa.”

*****

Rumah ini sangat besar dan luas dengan daun jendela di sekelilingnya. Hari sudah mulai gelap, api lilin belum lagi dinyalakan, bau harum bunga yang memenuhi lembah di luar sana terbawa angin memenuhi ruangan ini, kelihatan juga bintang berkelip-kelip bertaburan di langit.

So Ing merapatkan daun jendela yang terakhir, sepasang tangannya yang putih halus itu seakan akan tembus cahaya.

Di bagian yang tak berdaun jendela penuh rak kitab, jarak antara rak tidak tertentu, semuanya penuh kitab beraneka ragam diseling pot-pot dan benda antik lainnya, ada yang terbuat dari jade, ada pula ukiran dari batu dan kayu serta macam-macam lagi.

Namun di dalam ramah ini ada sesuatu yang aneh, yaitu ruangan seluas ini hanya ada sebuah kursi melulu, lain tidak ada.

Kursi ini pun sangat aneh, tampaknya tidak mirip kursi malas umumnya dan juga tidak seperti kursi yang sering terdapat di kamar anak perempuan.

Kursi ini tampaknya lebih mirip sebuah peti yang besar, cuma di bagian tengah mendekuk sehingga orang yang duduk di situ seakan-akan terjepit saja tampaknya.

Di ruangan inilah Hoa Bu-koat disilakan masuk. Ia merasa cara bicara si nona meski kedengaran ramah tamah tapi terasa sukar dibantah. Walaupun kedengaran dingin kaku ucapannya, tapi terasa pula sukar ditolak.

Aneh juga tuan rumah ini, tanpa menyilakan duduk tamunya, sebaliknya So Ing lantas duduk sendiri pada satu-satunya kursi di ruangan ini.

Terpaksa Bu-koat berdiri saja di dekat pintu dengan perasaan serba salah.

Dengan tersenyum hambar kemudian So Ing berkata, “Tempatku ini jarang sekali kedatangan tamu, andaikan ada tamu juga kebanyakan tamu yang sudah sakit parah sehingga duduk saja tidak bisa, maka aku pun tidak perlu menyediakan kursi lagi.”

Bu-koat masih terus tertawa latah, cuma dalam hati ia berpikir, “Apabila orang yang datang kemari tidak dapat duduk lagi, memangnya hanya disuruh berdiri saja begini?”

Segera terdengar So Ing berkata pula, “Tentunya kau akan berpikir apabila orang yang datang ke sini tidak dapat duduk lagi, dengan sendirinya juga tidak dapat disuruh berdiri, lalu apakah mereka dibaringkan di lantai? Begitu bukan?”

Diam-diam Bu-koat terkejut. Ia merasa anak perempuan ini sungguh menakutkan. Apa pun yang kupikirkan, segera dapat diterkanya. Sebaliknya apa yang telah dipikirkan olehnya justru tiada seorang pun yang tahu.

Terdengar So Ing berkata pula dengan tertawa, “Kenapa khawatir, bukan maksudku selalu ingin menerka isi hati orang, aku pun tidak akan menyuruh orang berbaring di lantai ....”

Kursi mirip peti yang diduduki So Ing itu mempunyai sandaran tangan yang lebar sehingga mirip juga sebuah peti kecil dan dapat dibuka. Sambil bicara ia lantas membuka tutup bagian sandaran tangan, perlahan jarinya menyontek sesuatu di dalamnya, terdengar “klik” perlahan satu kali.

Mendadak lantai di depan Bu-koat berdiri itu merekah dan terlihatlah sebuah lubang menyusul sebuah ranjang lantas timbul perlahan dari bawah.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes