Wednesday, May 12, 2010

bp7_part3

“Maksudmu Hoa Bu-koat?” Kang Giok-long menegas dengan tertawa terpingkal-pingkal. “Padahal saat ini Hoa Bu-koat sendiri juga sedang menunggu pertolongan orang.”

“Hm, kau ingin menipu aku?” jengek Sim-lan.

“Menipu kau? Memangnya kau sangka di dunia ini tiada orang yang sanggup mengatasi Hoa Bu-koat?”

“Paling sedikit kau sendiri belum mampu.”

“Aku tidak mampu, memangnya tiada lagi orang lain?” jawab Giok-long dengan tenang-tenang saja.

Meski lahirnya Thi-Sim-lan cukup yakin akan kemampuan Hoa Bu-koat, tapi diam-diam ia pun tegang, tanyanya, “Siapa?”

“Kau tidak perlu tahu namanya, cukup kuberitahukan padamu, apabila Hoa Bu-koat ketemu dia maka dapat diumpamakan Kau-ce-thian (si kera sakti) kebentur Ji-lay-hud (sang Budha), betapa pun dia takkan mampu lolos dari telapak tangannya,” tutur Giok-long sambil memicingkan mata.

*****

Di tempat lain, akhirnya Hoa Bu-koat telah melepaskan belenggu yang merantai leher Pek-hujin itu.

Sebenarnya sudah sejak tadi-tadi belenggu itu dapat dibukanya, tapi dari badan Pek-hujin teruar bau harum yang khas membuat jantung Hoa Bu-koat berdebar keras sehingga tangan menjadi rada lemas. Ditambah lagi leher Pek-hujin terasa hangat, halus dan licin, begitu tangan Bu-koat menyentuhnya, seketika Pek-hujin mengkirik-kirik sambil nyekikik.

“Hihihi, jangan mengkilik-kilik badanku, aku aku tidak tahan ... aku geli,” demikian keluh Pek-hujin sambil tertawa genit.

Sudah tentu Bu-koat bermaksud membela diri dengan menyatakan dia tidak pernah menggelitik nyonya itu, tapi mukanya menjadi merah dan tidak sanggup bersuara.

Semakin dia berlaku hati-hati, tangannya justru menyentuh leher orang dan suara tertawa Pek-hujin pun bertambah keras sehingga sekujur badan seakan-akan ikut berguncang.

Diam-diam Bu-koat gegetun, batinnya, “Mengapa perempuan tidak tahan geli?”

Entah mengapa, bilamana melihat Pek-hujin gemetar saking gelinya, tanpa terasa hatinya juga rada-rada guncang.

Pemuda seusia Bu-koat ini dengan sendirinya belum tahu bahwa “takut geli” juga merupakan semacam senjata merayu kaum wanita. Hanya perempuan yang bermaksud memikat seorang lelaki barulah bisa merasa geli. Bila perempuan itu tiada maksud memikat si lelaki, biar dikerjai bagaimana pun oleh lelaki juga dia takkan geli. “Pengetahuan umum” ini cukup dipahami oleh kaum lelaki yang sudah cukup berpengalaman.

Setelah berkutak-kutek sekian lamanya, akhirnya gembok rantai itu dapatlah dibuka, Hoa Bu-koat sudah mandi keringat seolah-olah habis perang tanding mati-matian.

“Sekarang Hujin dapat berdiri bukan?” kata Bu-koat sambil menghela napas lega.

Tapi Pek-hujin masih terkulai lemas di atas onggokan jerami, ucapnya dengan terengah-engah, “Mana aku sanggup berdiri sekarang?”

Keruan Bu-koat melengak bingung, tanyanya, “Ken ... kenapa tidak sanggup berdiri?”

“Masa ... masa kau tidak tahu?” ucap Pek-hujin dengan lirikan genit.

“Tidak, aku tidak paham,” jawab Bu-koat.

“Tolol, masa tak dapat kau lihat? Saat ini pada hakikatnya aku tidak bertenaga sedikit pun,” ujar Pek-hujin sambil menghela napas gegetun. Sebutannya kepada Bu-koat dari “Kongcu” kini telah berubah menjadi “tolol”.

Bu-koat berdehem kikuk, katanya sambil menyengir, “Tadi ... tadi Hujin bilang waktunya sudah mendesak, mengapa sekarang malah tidak terburu-buru lagi.”

“Aku kan tidak sengaja,” ucap Pek-hujin. “Jika kau yang terburu-buru, bolehlah memayang bangun aku.”

Terpaksa Bu-koat menjulurkan tangannya untuk menyanggah bahu si nyonya.

Tapi Pek-hujin seperti orang lumpuh saja, mana dia sanggup menariknya bangun. Malahan kalau dia tidak berdiri kuat-kuat, mungkin dia sendiri yang terseret jatuh ngusruk ke onggokan jerami.

Terpaksa Bu-koat memegang pinggang Pek-hujin.

Tapi sekujur badan Pek-hujin lantas menggeliat sambil tertawa nyekikik dan berseru, “O, ge ... geli! Ai, rupanya kau pun tidak beres, sudah tahu aku takut geli, tapi kau sengaja menggelitik aku.”

“Aku ... aku tidak sengaja,” kembali muka Bu-koat merah jengah.

Pek-hujin mengerling genit dan mengomel, “Siapa tahu kau sengaja atau tidak.”

Bu-koat tidak berani memandangnya, ia berpaling ke arah lain dan berkata, “Jika Hujin tidak lekas bangun, Cayhe akan ....”

“Kau akan apa? Memangnya kau cuma menolong orang setengah-setengah lantas hendak pergi begitu saja?” ucap Pek-hujin dengan tertawa genit.

“Tapi aku ... aku ....” Bu-koat benar-benar tak berdaya sehingga tidak tahu apa yang harus diucapkan.

“Tolol,” omel Pek-hujin pula, “lelaki segagah kau masakah bingung menghadapi urusan sekecil ini?”

“Habis bagaimana harus kulakukan menurut Hujin?” tanya Bu-koat.

“Jika tidak kuat memayang diriku, kenapa tidak kau pondong saja?” kata Pek-hujin dengan wajah bersemu merah dan dada yang montok itu berombak.

Jika Kang Giok-long yang menghadapi adegan seperti sekarang ini, mustahil kalau Pek-hujin tidak ditubruknya dan dirangkul. Apabila Siau-hi-ji bisa jadi kontan Pek-hujin akan dipersen suatu tamparan, lalu ditanya apa maksudnya.

Akan tetapi Hoa Bu-koat bukanlah Kang Giok-long dan juga bukan Siau-hi-ji, pada hakikatnya dia anti seluruh perempuan di dunia ini, tapi ia pun tidak bersikap kasar terhadap perempuan, juga tidak mungkin marah kepada mereka. Bahkan sampai detik ini dia belum merasakan bahwa perempuan yang genit dan lunglai ini sesungguhnya berpuluh kali lebih berbahaya daripada macan loreng yang mendekam di samping itu.

Dia cuma mengganggap sikap Pek-hujin itu hanya karena bergeloranya nafsu berahi seorang perempuan saja. Ia merasa dirinya sekalipun tidak boleh menerima godaannya itu, tapi juga tidak boleh terlalu kejam padanya, sebab ia selalu merasa perempuan begini harus dikasihani.

Di Ih-hoa-kiong sendiri juga banyak terdapat perempuan yang begini. Sebegitu jauh ia bersimpatik kepada mereka, apalagi ia pun merasakan, betapa pun orang kan juga “bermaksud baik” padanya?

Bilamana Siau-hi-ji mengetahui jalan pikiran Hoa Bu-koat, mustahil kalau gigi Siau-hi-ji tidak rontok karena tertawa terpingkal-pingkal. Akan tetapi, apabila Siau-hi-ji juga dibesarkan di lingkungan seperti Hoa Bu-koat, jalan pikirannya tentu juga akan sama.

Begitulah Bu-koat terdiam sejenak dengan ragu-ragu, ia menghela napas, katanya kemudian dengan suara halus, “Jika Hujin belum sanggup berdiri, biarlah Cayhe menunggu saja sebentar lagi.”

Pek-hujin memandangi anak muda yang aneh ini dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas pula, diam-diam ia sangat heran. akhirnya ia tanya, “Apakah benar kau tak bisa apa-apa dan cuma bisa menunggu saja?”

“Ya,” jawab Bu-koat.

“Jika sehari suntuk aku tak dapat berdiri?” tanya Pek-hujin sambil mengerling genit.

“Akan kutunggu juga satu hari.”

“Kau dapat menunggu sekian lama?”

“Biasanya Cayhe cukup sabar.”

Pek-hujin mengikik tawa, katanya, “Bilamana tiga hari tiga malam aku tak dapat berdiri, apakah kau pun akan menunggu sekian lama?”

Hoa Bu-koat tetap tenang saja dan menjawab dengan tersenyum, “Kuyakin Hujin pasti takkan membiarkan kutunggu sebegitu lama.”

Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, ucapnya sambil menggeleng, “Sungguh tak kusangka bahwa kau ternyata orang seaneh ini ....” sampai di sini, mendadak ia menjerit tertahan terus menubruk ke pangkuan Hoa Bu-koat.

Keruan Bu-koat kaget, serunya, “Hujin ....”

“Wah celaka!” seru Pek-hujin gemetar. “Sua ... suamiku pulang.”

Mau tak mau berubah pucat juga Bu-koat, serunya khawatir, “Di ... di mana?”

“Itu ... itu ....” suara Pek-hujin tergagap dan badan gemetar.

Maka terdengarlah suara seorang meraung di luar, “Di sini!”

“Blang”, daun jendela sebelah kiri mendadak tergetar pecah berkeping-keping, seorang lelaki kekar tahu-tahu menerobos masuk melalui jendela yang sudah jebol itu. Perawakan lelaki ini tidak terlalu tinggi, tapi pundak lebar dan punggung tebal, gagah perkasa tampaknya, otot dagingnya kencang dan kekar sehingga memberi kesan orang yang memandangnya bahwa perawakannya jauh lebih tinggi besar.

Dia memakai baju loreng pancawarna, muka hitam penuh cambang yang kaku, sorot matanya mencorong tajam.

Sejak tadi Hoa Bu-koat berniat mendorong pergi Pek-hujin, tapi celakanya, nyonya itu justru merangkul lehernya dengan lebih erat, mati pun tidak mau lepas, tampaknya ketakutan setengah mati. Dalam keadaan demikian, mana Bu-koat tega mendorongnya pergi?

Dengan sendirinya lelaki kekar itu mendelik menyaksikan adegan yang memanaskan hati itu. Bentaknya murka, “Sundel, bagus sekali perbuatanmu!”

Ketika orang itu sudah berada di dalam, harimau loreng tadi lantas mendekatinya dengan menggoyang-goyang ekor seperti anjing piaraan.

Akan tetapi dengan sekali jotos lelaki itu telah membuat harimau yang bobotnya beratus kali itu hampir mencelat keluar, paling sedikit terpental dua-tiga meter jauhnya. Berbareng ia berjingkrak dan memaki binatang itu, “Keparat yang tak berguna, kusuruh kau awasi perempuan busuk ini, tapi kau hanya tidur melulu.”

Harimau itu sedikit pun tidak punya kegarangan sebagai raja hutan lagi, setelah menggeliat bangun, dengan munduk-munduk dia mendekam di sana. Melihat keadaannya yang lesu dan takut-takut itu, sungguh tidak lebih menarik daripada seekor anjing.

Terkesima Hoa Bu-koat menyaksikan kejadian itu, ia berkata, “Harap Tuan jangan gusar dulu, dengarkanlah keteranganku ....”

Mendingan kalau dia diam saja, lantaran bicara lelaki itu jadi semakin murka, teriaknya, “Keterangan apa? Keterangan kentut anjing! Baru saja kakiku melangkah keluar, kalian berdua anjing laki perempuan ini lantas main pat-gulipat. Memang sudah lama kutahu sundel ini adalah perempuan hina-dina, cuma tidak kusangka dia bisa penujui muka putih macam kau ini.”

Bu-koat tidak tahan lagi, dengan mendongkol dia menjawab, “Cara bicaramu hendaklah kira-kira sedikit ....”

“Kira-kira sedikit apa? Istriku berada dalam pelukanmu, apakah kau tahu kira-kira segala?” damprat lelaki itu.

Melenggong juga Bu-koat, memang betul Pek-hujin masih didekap olehnya, terpaksa ia tidak dapat umbar rasa amarahnya, ucapnya dengan menyengir, “Ah, ini ... ini salah paham belaka ….”

“Salah paham kentut anjing!” bentak lelaki itu. “Dengan mata sendiri kulihat perbuatan kalian, bukti nyata tertangkap basah, kau masih berani mungkir?”

“Menyaksikan sendiri belum tentu terjadi sungguh-sungguh,” ucap Bu-koat dengan menyesal. “Sesungguhnya Cayhe bukanlah ... bukanlah manusia sebagaimana kau sangka. Jika Tuan tidak percaya, mengapa tidak tanya langsung kepada istrimu?”

Sebenarnya hati Bu-koat juga sangat gusar, tapi sebelum persoalannya dibikin jelas terpaksa ia harus bersabar dan tak dapat bertindak.

Segera lelaki itu membentak, “Baik! Nah, katakan, sundel, siapa bocah ini? Apa yang telah kalian lakukan tadi?”

Pek-hujin menghela napas panjang, jawabnya perlahan, “Urusan sudah kadung begini, kukira juga tidak perlu membohongimu lagi. Dia ... dia ialah gen ... gendakku.”

Sekali ini Bu-koat benar-benar melonjak kaget, sekuatnya dia mendorong nyonya itu, teriaknya, “Apa katamu, Hujin?”

Jawab Pek-hujin dengan menunduk, “Urusan kita cepat atau lambat toh harus diberitahukan padanya, ditutup lagi juga tiada gunanya.”

Tidak kepalang terperanjat Hoa Bu-koat, teriaknya, “Hujin, mengapa kau ... kau ....”

“Nah, masih berani mungkir lagi?” si lelaki tadi meraung murka. “Anak jadah, apa abamu sekarang?”

Bu-koat jadi pucat, jawabnya, “Tapi aku dan istrimu sesungguhnya belum ... belum kenal ....”

“Belum kenal?! Kentut makmu busuk! Belum kenal mana bisa saling peluk segala? ...” lelaki itu meraung murka pula. “Ayo, mengakulah terus terang. Semenjak kapan kau bergendakan dengan biniku?”

“Bahkan baru malam ini ....”

Belum lanjut ucapan Bu-koat, dengan suara lantang Pek-hujin lantas menyela, “Mengaku ya mengaku, kita takut apa? ....” lalu ia melotot ke arah suaminya sambil menjengek, “Terus terang kuberitahukan padamu, gendakan kami sudah berlangsung dua tahun lebih, bahkan sudah hampir tiga tahun. Nah, kau mau apa?”

Kembali lelaki itu meraung-raung kalap sambil memukul dada sendiri, teriaknya murka, “O, mati aku!”

Akan tetapi Bu-koat sedikitnya sepuluh kali lebih murka daripada dia, dengan terputus-putus ia berteriak, “Pek-hujin, selamanya kita ... kita tiada permusuhan apa-apa, mengapa ... mengapa kau bicara begini? ....”

“O, permata hatiku, apa yang kita takuti?” jawab Pek-hujin dengan suara lembut, “Urusan toh sudah kadung begini, akan lebih baik kalau kita membuka kartu dan bicara blak-blakan saja dengan dia.”

Saking dongkol dan gusarnya hingga tangan Bu-koat terasa gemetar, “Kau ... kau ....” ia tidak sanggup bicara lagi.

“Bicara terus terang juga tiada gunanya,” teriak lelaki itu dengan bengis. “Bila kalian sepasang anjing buduk ini menghendaki mataku merem dan melek, huh, jangan kalian harapkan.”

Sambil meraung, mendadak ia menerjang maju terus menghantamnya. Pukulan yang dahsyat sehingga sumbu lampu tergoncang dan sinar bergoyang-goyang. Kain baju Hoa Bu-koat sampai berkibar tersampuk oleh angin pukulannya.

Tak terduga oleh Bu-koat bahwa orang yang dogol dan tidak tahu aturan ini juga memiliki tenaga pukulan sedahsyat ini. Sesungguhnya ia tidak ingin berkelahi untuk persoalan yang membuatnya penasaran ini, cepat ia mengegos, dengan mudah pukulan orang dapat dihindarkannya.

Lelaki itu tambah marah, bentaknya, “Keparat, pantas kau berani mengerjai bini orang, kiranya kau memang punya sejurus dua!” Di tengah bentakannya dua-tiga kali pukulannya dilontarkan pula.

Dengan gesit Bu-koat berkelit ke sana kemari, kalau bisa sungguh dia tidak ingin balas menyerang.

Akan tetapi pukulan lelaki ini sudah lihai lagi dahsyat, bahkan gayanya sangat ganas, betapa tinggi Kungfunya ternyata jauh di luar dugaan Bu-koat.

“Ayolah, balas serang dia!” demikian Pek-hujin berteriak-teriak di samping. “Untuk apa mengalah padanya? Jika kau tidak membunuh dia, sebentar kau yang akan dibunuhnya.”

Sesungguhnya Hoa Bu-koat juga sudah kepepet sehingga terpaksa harus balas menyerang. Segera telapak tangan kiri menepuk ke depan, dengan gaya indah tangan kanan lantas memutar setengah lingkaran ke samping.

Inilah ilmu sakti “Ih-hoa-ciap-giok” yang termasyhur. Tak peduli siapa pun juga bila kena ditarik oleh tenaga putaran yang aneh ini, maka serangan yang dilancarkan akan seluruhnya berbalik menghantam pada tubuh sendiri.

Tak terduga, mendadak lelaki itu meraung keras-keras seperti auman harimau, tubuhnya mendoyong mentah-mentah ke belakang, daya pukulannya yang dilontarkan tadi dihentikannya di tengah jalan.

Padahal tenaga pukulannya telah dilontarkan sedemikian dahsyat, tentu pertahanan bagian belakang sudah kosong. Kalau tenaga pukulannya sampai menghantam balik, maka pasti tidak tahan. Namun lelaki ini benar-benar sangat lihai, dia mampu mengelakkan dengan gaya yang sukar dibayangkan.

Sama sekali Bu-koat tidak menyangka orang ini mampu mematahkan ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok yang hebat itu. Kecuali “Yan Lam-thian”, lelaki inilah orang kedua yang mampu melawannya. Tentu saja ia terkejut.

Lelaki itu menatapnya dengan menyeringai, katanya, “Kiranya kau berasal dari Ih-hoa-kiong, pantas kau begini aneh .... Tapi melulu sedikit kemampuan ini masa kau dapat melawan aku Pek San-kun. Jika ibu gurumu disuruh menghadapi aku masih boleh juga.”

Pukulannya lantas dilancarkannya pula, tenaganya lebih kuat dan tambah buas seakan-akan ilmu silat Ih-hoa-kiong yang mahasakti itu sama sekali tidak dihiraukan olehnya.

Setelah serangan pertama tak dapat menundukkan lawan, Bu-koat juga tidak berani sembarangan mengeluarkan lagi ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok, sebab ilmu ini tampaknya ringan saja permainannya, tapi sebenarnya sangat makan tenaga.

Akan tetapi kini mau tak mau dia harus balas menyerang. Ilmu silat Pek San-kun yang lihai ini telah merangsang hasrat pertarungannya, mendadak bisa ketemu lawan tangguh, timbul juga keinginannya untuk menentukan kalah menang dengan lawan.

Pek-hujin lantas bersorak di samping, “Betul, jangan takut padanya, demi membela diriku, pantas juga kau labrak dia!”

Seruan ini meski terasa tidak enak di telinga Hoa Bu-koat, tapi ibarat sudah berada di atas punggung macan, ingin turun juga tidak bisa lagi, sungguh dia tidak paham sebenarnya apa maksud tujuan Pek-hujin itu?

Sementara itu serangan Pek San-kun semakin dahsyat. Lwekangnya cukup kuat, gaya serangannya berbahaya, semua ini belum menakutkan, yang paling hebat adalah perbawanya yang galak dan buas itu benar-benar seperti harimau hendak menerkam mangsanya dan membuat orang ngeri.

Akan tetapi Bu-koat juga melayani dengan tidak kurang lihainya, gerakannya gesit, gayanya indah, dia terus berputar kian kemari di seluruh ruangan, betapa pun dahsyat pukulan Pek San-kun tetap tak dapat menyenggolnya.

“Kekasihku, baru sekarang kutahu kau memiliki kepandaian sebagus ini,” seru Pek-hujin dengan tertawa genit. “Punya pacar seperti kau ini, apalagi yang kutakuti? Lekas kau binasakan tua bangka ini dan kita akan menjadi suami-istri abadi dan hidup dengan aman tenteram.”

Makin omong makin menusuk telinga, tapi Hoa Bu-koat tidak dapat menutup kuping, mau tidak mau ia harus mendengarkannya. Meski ia cukup tenang, tidak urung juga rada terganggu konsentrasi pikirannya. Sedangkan pukulan Pek San-kun yang mahadahsyat itu justru tidak mengizinkan dia lengah sedikit pun.

Mendadak Pek-hujin menjerit khawatir, “He, awas, serangan berikutnya dengan cakar harimaunya akan mencengkeram hulu hatimu!”

Benar juga, di tengah raungannya yang keras, tangan Pek San-kun yang mirip cakar harimau itu betul-betul mencengkeram ke dada Hoa Bu-koat.

Serangan ini tidak kelihatan lihai, Bu-koat hanya menyurut mundur selangkah saja dan serangan itu pun terhindar. Diam-diam ia merasa heran, ia tidak tahu mengapa Pek-hujin mesti menjerit mendadak. Ia tahu di balik semua ini pasti tersembunyi suatu permainan.

Namun keadaan tidak memberi kesempatan baginya untuk merenungkan hal itu, baru saja kakinya melangkah mundur, antara belakang dengkul kanan-kiri masing-masing telah terkena satu titik Am-gi atau senjata rahasia. Rasanya seperti digigit nyamuk, tapi orangnya lantas roboh terjungkal.

Senjata gelap itu ternyata sudah memperhitungkan dengan jitu ke mana dia akan mundur dan seakan-akan sudah menantikannya di situ. Suara sambaran senjata rahasia itu sangat lirih, ditambah lagi jeritan ngeri Pek-hujin dan raungan Pek San-kun, tentu saja Hoa Bu-koat tidak tahu.

Bahkan setelah roboh dia masih tidak tahu bahwa yang menyambitkan senjata rahasia itu ialah Pek-hujin sendiri.

Sementara itu Pek-hujin telah menubruk maju dan merangkul leher Pek San-kun sambil berseru dengan terengah-engah, “Tadinya kusangka telah jatuh cinta pada orang lain, tapi setelah kalian berkelahi baru kuyakin yang benar-benar kucintai tetaplah engkau. Aku dapat membunuh seluruh lelaki di dunia ini, tapi tidak dapat menyaksikan orang lain mengusik sebuah jarimu.”

Bu-koat menghela napas, ia memejamkan mata dan diam-diam mengeluh, “O, perempuan ....”

Baru sekarang ia mengerti sebab apa Siau-hi-ji merasa sakit kepala terhadap perempuan.

Didengarnya suara “plok” yang keras, suara muka digampar, terdengar Pek-hujin menjerit perlahan. Jelas dia kena ditempeleng dengan keras oleh Pek San-kun.

Menyusul terdengar Pek San-kun mengumpat dengan gusar, “Kau perempuan hina-dina, perempuan busuk! Memangnya baru sekarang kau sadar yang kau cintai adalah diriku?!” Setiap bicara satu kalimat, berbareng ditampar lagi satu kali dan Pek-hujin pun lantas menjerit ngeri.

Diam-diam Bu-koat mengeleng kepala. Ia merasa makian Pek San-kun itu memang tidak salah, betapa pun “Pek-hujin” itu memang perempuan murahan. Meski dia tidak setuju lelaki memukul perempuan, tapi ia pun merasa nyonya ini memang perlu dihajar secara setimpal, cuma ia sendiri tidak sudi memandangnya lagi.

Padahal kalau sekarang dia mau membuka mata dan memandang ke sana, maka pasti dia akan terheran-heran.

Suara napas Pek-hujin seperti sangat menderita, tubuhnya meringkuk menjadi satu, namun air mukanya tiada sedikit pun mengunjuk rasa sakit, malahan sorot matanya memancarkan cahaya aneh, cahaya kepuasan. Setiap digampar oleh tangan Pek San-kun, sama sekali dia tidak menghindar, bahkan seakan-akan sengaja memapak pukulan itu.

Semakin ganas cara menghajar Pek San-kun, semakin terang pula sinar mata Pek-hujin. Tubuhnya yang meringkuk itu mulai menggeliat-liat.

Sambil memukul Pek San-kun masih terus mencaci-maki, “Kau perempuan sundel, perempuan pecomberan, selanjutnya kau berani lagi mengkhianati aku atau tidak?!”

“Tidak, tidak berani lagi!” teriak Pek-hujin dengan gemetar. “Sungguh tidak berani lagi. Selain engkau, aku tidak menghendaki lelaki lain pula.”

“Apakah kau sudah puas dihajar?” damprat Pek San kun.

“O, kekasih, tega ... tega amat engkau! Biarlah kau pukul mati aku saja!” demikian keluh Pek-hujin. Mendadak ia menubruk maju, kaki Pek San-kun dipeluknya erat-erat.

Tapi sekali Pek San-kun mendepak, kontan tubuh Pek-hujin mencelat ke sana dan menubruk dinding, setelah terguling pula, akhirnya terkapar tak bergerak lagi. Hanya mulutnya saja masih mengeluarkan rintihan lirih.

Diam-diam Hoa Bu-koat menghela napas gegetun. Didengarnya Pek San-kun tertawa keras pula, makin lama makin dekat dan akhirnya berada di sebelahnya. Tapi mata Bu-koat terpejam lebih rapat, ia tidak ingin bicara, tidak ingin mendengar dan juga tidak ingin melihat.

Dengan tertawa latah Pek San-kun berkata, “Nah, sekarang tentunya kau tahu betapa lihainya biniku, barang siapa menyentuh dia pasti celaka, usiamu masih muda belia dan tidak mirip orang tolol, mengapa kau sampai berbuat tidak senonoh begini?”

Bu-koat hanya menggereget dan tidak memberi bantahan apa pun. Dalam keadaan demikian, ia tahu biarpun membantah dan berdebat cara bagaimana pun juga tiada gunanya.

Pek San-kun lantas menjambret bajunya terus diseret pergi.

Maka bicaralah Bu-koat, “Pek San-kun, jika kau seorang lelaki sejati, bila sekali bacok kau bunuh diriku, tentu aku malah berterima kasih padamu, tapi kalau kau bermaksud menghina aku, cara demikian bukanlah perbuatan seorang ksatria tulen.”

“Hah, kau ingin mati?” tanya Pek San-kun dengan tertawa.

“Urusan sudah begini, paling-paling juga cuma mati saja,” jawab Bu-koat.

“Lalu bagaimana bila aku tidak mematikan kau?” kata Pek San-kun.

Bu-koat menghela napas, ia memejamkan mata dan tidak mau berucap pula.

Ia merasa tubuhnya ditaruh di atas sebuah dipan oleh Pek San-kun, lalu dibalik sehingga bertiarap, menyusul celananya lantas dipelorotkan.

Keruan Bu-koat kaget dan berteriak, “He, apa ... apa kehendakmu?” Sebisanya ia berusaha mendongak dan membuka matanya.

Tertampak Pek San-kun berdiri di samping dipan sambil cengar-cengir, air mukanya tidak menampilkan maksud jahat, tangannya memegang sepotong besi tapal kuda, katanya, “Racun senjata rahasia biniku ini sangat keji, sampai-sampai Yan Lam-thian dulu juga pusing kepala menghadapinya. Sekarang kedua kakimu masing-masing terkena sebuah senjata rahasianya, jika tidak kusedot keluar dengan besi sembrani ini, maka selama hidupmu ini jangan harap akan dapat berjalan pula.”

Kejut dan sangsi Bu-koat, tanyanya, “Meng ... mengapa kau menolong aku?”

Pek San-kun mendelik, ia balas bertanya, “Mengapa aku tidak boleh menolongmu?”

“Tapi ... tapi ....” Bu-koat tergegap.

“Hahaha! Memangnya kau kira aku mau percaya kepada ocehan biniku?” tiba-tiba Pek San-kun bergelak tertawa pula.

Dalam pada itu dua buah jarum kecil selembut bulu kerbau telah disedotnya keluar dengan besi sembraninya dari belakang dengkul Hoa Bu-koat, meski lembut sekali jarum itu, namun ketika menancap di siku dengkul Bu-koat telah membuat tenaganya hilang sama sekali, bahkan satu jari pun tak dapat bergerak. Kini setelah jarum itu dikeluarkan, secara ajaib tenaga Bu-koat lantas pulih seketika, segera ia melompat bangun.

“Jika kau tidak percaya ucapan istrimu, mengapa ... mengapa kau tadi marah-marah dan memukuli dia?” tanya Bu-koat dengan terbelalak.

Pek San-kun angkat pundak, jawabnya dengan tertawa, “Aku sengaja berbuat begitu baginya.”

“Kau sengaja?” seru Bu-koat terheran-heran.

“Ya, masa kau heran?”

Bu-koat menghela napas, ucapnya, “Terus terang, selama hidupku belum pernah kulihat kejadian yang lebih aneh daripada kejadian tadi.”

Bahwa Pek-hujin dirantai oleh suaminya sendiri seperti hewan sehingga perlu minta pertolongannya, hal ini sudah luar biasa. Setelah Pek-hujin dibebaskan dari belenggu, nyonya ini malahan memfitnah dan menyerangnya dengan jarum berbisa, ini pun sama sekali tak terduga. Dan sekarang Pek San-kun berbalik menolongnya dengan mengeluarkan jarum beracun itu serta memberitahukan apa yang terjadi sesungguhnya. Semua ini membuatnya tidak habis mengerti dan bingung.

Pek San-kun lantas tepuk-tepuk pundaknya dan berkata, “Anak muda, aku pun tahu kau telah dibuat bingung, duduk dan biarlah kuceritakan lebih jelas.”

“Ya, Cayhe memang ingin mohon penjelasan,” Bu-koat tersenyum pahit.

Pek San-kun lantas menghela napas gegetun dan juga tersenyum getir, tuturnya, “Kau tahu, di dunia ini ada setengah orang yang berwatak aneh, bilamana orang menghormat dan mencintai dia, maka dia akan menderita malah. Sebaliknya kalau dia diperlakukan secara kasar, secara sadis, dia justru malah merasa senang dan nikmat.”

Tentu saja Bu-koat heran juga geli, katanya, “Masa di dunia ini ada orang macam begini?”

“Sudah tentu ada,” Pek San-kun menyengir. “Istriku itulah salah satu di antaranya.”

“Oo!” baru sekarang Bu-koat paham.

“Sungguh sukar dipercaya bila kuceritakan,” tutur Pek San-kun pula, “Hidup istriku ini tiada mempunyai kesukaan lain, hobinya cuma minta dipukuli. Bila kupukul dia, makin keras makin senang dia. Bahkan esoknya semangatnya akan berkobar-kobar dan wajah berseri-seri. Sebaliknya kalau beberapa hari tidak dipukul, maka dia akan, lesu, malas, makan minum rasanya tidak enak, bahkan bicara pun sungkan.”

Bu-koat melongo kesima mendengarkan cerita yang aneh ini. “Masa ... masa dia bisa begitu?” tanyanya kemudian.

“Konon sejak kecil dia sudah begitu. Sejak kecil dia suka orang lain memperlakukan dia dengan sadis, bahkan ia sendiri pun berbuat kasar atas dirinya sendiri. Sampai usia sudah lanjut sifatnya ini tidak berubah, bahkan bertambah menjadi-jadi, sampai-sampai tempat tinggal bisa juga tidak betah dan sengaja mengatur tempat tinggalnya serupa kandang kuda, malahan minta aku membelenggu dia dengan rantai.”

“O, kiranya ia sendiri yang minta diperlakukan begitu, tadinya Cayhe mengira ....”

“Memangnya kau kira aku ini orang yang tak berperikemanusiaan?”

“Soalnya Cayhe tidak pernah membayangkan di dunia ini ada orang yang sukarela diperlakukan sebagai hewan,” ujar Bu-koat dengan gegetun.

“Nah, meski kutahu penyakitnya itu, terkadang aku toh tidak tega turun tangan menyiksanya, maka dia lantas sengaja membuat marah padaku, tujuannya agar aku memukul dia.”

“Apa yang terjadi tadi tentunya juga lantaran kebiasaannya itulah,” ujar Bu-koat dengan gegetun.

“Dalam hal ini masih ada suatu sebab lainnya,” kata Pek San-kun.

“O? Ada sebab lain?” Bu-koat heran.

“Lantaran usianya makin menanjak, dia selalu khawatir aku akan semakin bosan padanya dan menyukai perempuan lain, maka sering kali dia sengaja membuat aku cemburu ....”

“Padahal perbuatan Pek-hujin ini hanya berlebihan belaka,” tiba-tiba Bu-koat menyela dengan tertawa, “Cintamu kepada istri, dari awal hingga akhir, tentunya tidak pernah berubah, betul tidak?”

“Dia sendiri tidak tahu, dari mana kau malah tahu?” tanya Pek San-kun.

“Sebab kalau engkau tidak mencintai dia hingga merasuk tulang sumsum, tentu takkan timbul kejadian seperti tadi.”

“Hahahaha!” Pek San-kun menengadah dan bergelak tertawa. “Memang betul, demi kepuasannya ternyata sahabat yang harus kena getahnya. Kejadian ini betapa pun adalah kesalahan kami suami istri, hukuman apa yang kiranya setimpal boleh silakan sahabat menyebutkannya.”

Bu-koat membetulkan pakaiannya, ucapnya dengan tersenyum, “Bicara terus terang, terhadap kejadian tadi Cayhe memang rada mendongkol, tapi setelah mendengar penjelasanmu barusan, betapa pun aku menaruh simpatik atas keadaanmu dan sangat kuhormati pula kesetiaanmu dalam hubungan antara suami dan istri. Apalagi sekarang aku sudah menjadi tawanan kalian, yang harus pasrah nasib adalah diriku ini.”

“Ah, ucapan sahabat teramat gawat,” ujar Pek San-kun dengan tertawa.

Bu-koat memberi hormat, lalu berkata pula, “Apa pun juga, kejadian tadi pasti takkan kuungkap lagi, kuharap semoga kalian suami istri hidup bahagia hingga tua ....” mendadak dia tidak melanjutkan ucapannya, sebab baru dua-tiga tindak dia melangkah, tiba-tiba dirasakan langkah kakinya ada sesuatu pula yang tidak beres. Walaupun kaki dapat bergerak, namun tenaga terasa sukar dikerahkan, hanya sebatas pinggang, lalu macet.

Tapi Pek San-kun masih memandangnya dengan tertawa, ia membalas hormat dan menjawab, “Apakah sahabat hendak berangkat sekarang?”

Bu-koat menarik napas panjang-panjang, jawabnya kemudian, “Barangkali engkau ada pesan lain pula?”

“Apa pun juga aku merasa tidak enak terhadapmu, mana berani kubikin repot padamu lagi?” jawab Pek San-kun.

“Jika begitu, mengapa diam-diam kau mengerjakan sesuatu di bagian pinggangku?” tanya Bu-koat.

Pek San-kun seperti terkejut dan berseru, “He, apa betul? Ah, mungkin tadi waktu kusedot jarum itu, karena kurang hati-hati sehingga jarum itu kembali menancap di sesuatu Hiat-tomu lagi.”

“Ya, rasanya seperti di bagian Jiau-yau-hiat,” kata Bu-koat dengan tenang.

Pek San-kun tampak merasa khawatir, ucapnya sambil menggosok-gosok tangan, “Wah, repot jika berada di dekat Jiau-yau-hiat, sungguh aku menjadi takut untuk mencabut pula jarum itu, bila kurang hati-hati, bisa jadi jarum itu tambah menyusup lebih dalam ke tubuhmu, maka malaikat dewata sekalipun tidak sanggup menolongmu, terpaksa engkau harus tersiksa tertawa latah selama tiga hari dan akhirnya akan binasa.”

Bu-koat terdiam sejenak, katanya kemudian, “Jika demikian, terpaksa kumohon diri untuk mencari jalan lain saja.”

“Tapi kalau kau terus bergerak, jarum lembut itu pun akan bergerak mengikuti jalan darahmu dan langsung masuk Jiau-yau-hiatmu, biarpun kau akan bertindak dengan hati-hati juga takkan melangkah lebih jauh daripada lima puluh tindak.”

Bu-koat berhenti dan balik tubuh perlahan, dengan tenang ia tatap orang, sampai lama sekali barulah ia menghela napas panjang, ucapnya dengan tersenyum getir sambil menggeleng kepala, “Tindak tanduk kalian suami istri sungguh sukar dimengerti. Bahwa istrimu tidak suka jadi kuda, sedangkan engkau ....”

“Bilamana sahabat merasakan ada sesuatu yang sukar dimengerti atas diriku, silakan bicara terus terang, pasti akan kujelaskan,” ucap Pek San-kun dengan tertawa.

“Tadinya kukira engkau pasti turun tangan membunuh diriku, tak tahunya engkau malah menolongku, bahkan tanpa tedeng aling-aling engkau membeberkan rahasia pribadi istrimu padaku. Kini, setelah kupandang engkau sebagai sahabat, engkau malah turun tangan keji mengerjai diriku. Kejadian demikian, bila tidak kualami sendiri, sungguh sukar untuk dipercaya.”

Akhirnya Pek San-kun tertawa terpingkal-pingkal, katanya kemudian dengan napas memburu, “Karena sahabat ingin tahu, terpaksa harus kukatakan terus terang. Apa yang kulakukan ini hanya ada suatu sebab.”

“Mohon memberi penjelasan,” pinta Bu-koat.

“Bilamana sahabat adalah orang lain, bukan saja engkau takkan kubikin susah, bahkan pasti akan kuantar pergi dengan hormat. Tapi setelah diketahui sahabat adalah anak murid Ih-hoa-kiong, maka persoalannya menjadi lain.”

“Mengapa menjadi lain?” tanya Bu-koat.

Pek San-kun menatapnya lekat-lekat sejenak, kemudian baru berkata pula, “Apakah betul sampai saat ini kau belum mengetahui siapa diriku ini?”

“Memang pengalamanku terlalu dangkal,” jawab Bu-koat.

“O, maklum juga, anak murid Ih-hoa-kiong dengan sendirinya takkan memperhatikan gerak-gerik orang Kangouw,” ujar Pek San-kun dengan tertawa. “Tapi nama ‘Cap ji-she-shio’ masakah tak pernah kau dengar?”

“Aha, memang betul,” seru Bu-koat, baru sekarang ia menyadari duduk perkaranya, “Hou (harimau) alias San-kun, pantas engkau menamakan dirinya sendiri harimau serta memelihara harimau sebagai penjaga. Be (kuda) adalah istri harimau, pantas pula istrimu tidak mau menjadi manusia dan lebih suka menjadi kuda.”

“Hah, meski pengalamanmu tidak luas, tapi pengetahuanmu cukup banyak juga,” ujar Pek San-kun dengan tertawa. Mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung pula dengan menarik muka, “Sekarang setelah kau tahu siapa diriku, tentunya kau tahu pula aku ini salah seorang dari Cap-ji-she-shio dan merupakan musuh bebuyutan Ih-hoa-kiong. Kini kau jatuh dalam cengkeramanku, masa kau tidak takut?”

Namun Bu-koat tetap tenang saja, jawabnya acuh, “Bilamana engkau mau membunuh diriku, tentu engkau tadi takkan menolong aku, jika tadi engkau menolong aku, kuyakin engkau pasti mengharapkan sesuatu dariku. Kalau engkau mengharapkan sesuatu dariku, lalu apa yang perlu kutakuti pula?”

Kembali Pek San-kun bergelak tertawa, katanya, “Sungguh tak tersangka mendadak kau menjadi begini pintar.” Habis tertawa, mendadak ia menarik muka dan berkata pula, “Memang betul juga, aku memang mengharapkan sesuatu darimu, yakni asalkan kau menerangkan rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, maka segera akan kubebaskanmu, bahkan apa yang kau pinta pasti akan kupenuhi.”

Mendadak Hoa Bu-koat juga bergelak tertawa, ucapnya, “Apabila engkau mengira rahasia Ih-hoa-ciap-giok dapat diperoleh dengan semudah ini, maka jelas engkau pasti akan kecewa.”

Pek San-kun jadi kurang senang, katanya, “Memangnya kau berani menolak?”

“Untuk membuat orang membuka mulut memang banyak caranya di dunia ini,” ujar Bu-koat dengan tenang-tenang saja. “Ada yang mengancamnya dengan kematian, ada yang memaksa pengakuannya dengan penyiksaan, ada pula memancingnya dengan harta atau perempuan. Nah, boleh engkau mencobanya saja, lihat nanti apakah Cayhe akan buka mulut atau tidak.”

Pek San-kun terdiam sejenak. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Kutahu cara-cara ini tak dapat membuka mulutmu, apabila mengenai rahasia lain, bisa jadi dapat kubikin kau mengaku, tapi Ih-hoa-ciap-giok adalah ilmu perguruanmu yang khas, umpama kau membeberkannya dan kulepaskan kau, mungkin juga kau sendiri takkan hidup lama lagi, betul tidak?”

Ucapan yang sama sekali berbeda daripada maksudnya semula ini membuat Hoa Bu-koat menjadi heran. “Jika demikian, lalu bagaimana kehendakmu?” tanyanya.

“Karena aku tak berdaya, maka aku pun tidak ingin membuang tenaga percuma,” ujar Pek San-kun dengan tertawa. “Tampaknya terpaksa aku harus pergi saja dan habis perkara. Jika kau ingin tetap tinggal di sini, ya silakan tinggal saja. Bila ingin pergi, boleh juga, takkan kularang. Bila kau memerlukan aku, cukup kau berteriak saja dan segera aku akan datang.”

Habis berkata, dia benar-benar melangkah pergi begitu saja.

Tentu hal ini di luar dugaan Bu-koat, seketika ia menjadi bingung malah.

Dilihatnya ketika sampai di ambang pintu, tiba-tiba Pek San-kun menoleh dan berkata pula dengan tertawa, “Tapi kau pun jangan lupa, jangan sekali-kali kau melangkah lebih dari 50 tindak, kalau tidak, mati dengan tertawa kukira tidak enak rasanya, bahkan jauh lebih tersiksa daripada mati dengan cara lain.”

Rumah yang tidak besar dan juga tidak kecil ini hanya ada sebuah pintu. Bu-koat menyaksikan Pek San-kun keluar melalui pintu satu-satunya ini. Mestinya dia dapat ikut keluar, tapi dia hanya melenggong di situ saja tanpa bergerak.

Ia tahu apa yang diucapkan Pek San-kun bukan gertakan belaka, meski dia dapat keluar, tapi ia pun tidak berani bertaruh dengan jiwanya sendiri, yakni bertaruh apakah dirinya mampu melangkah lebih jauh daripada 50 tindak.

Bukannya takut mati, dia cuma merasa hidupnya jauh lebih berguna daripada mati konyol, kalau keadaan belum perlu mengorbankan kematiannya, untuk apa dia harus bertaruh dengan jiwanya sendiri.

Dalam keadaan begini, kalau bisa berusaha hidup terus barulah orang yang benar-benar punya keberanian, sebaliknya jika ingin mati dan habis perkara, maka orang demikian adalah bodoh, pengecut.

Maklum, hidup terkadang memang jauh lebih sulit daripada mati, orang hidup harus berjuang, harus mempunyai tekad dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk itu diperlukan keberanian penuh.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang keras dan berjangkitnya angin berbau amis, sinar lampu bergoyang-goyang seakan padam. Saat lain tertampaklah harimau loreng itu telah muncul di ruangan situ. Harimau itu kini sudah kembali pada kegarangannya semula. Langkahnya kelihatan lambat-lambat, tapi membawa perbawa sebagai raja hutan yang menakutkan.

Dengan ilmu silat Hoa Bu-koat tentunya harimau bukan soal baginya, andaikan tidak dapat sekali hantam membinasakan raja hutan itu, tapi biarpun sepuluh ekor harimau muncul sekaligus juga belum tentu dapat menyenggol ujung bajunya.

Namun sekarang dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam, ia dalam keadaan lemas lunglai, tenaga untuk menyembelih ayam saja tidak ada apalagi tenaga untuk membunuh macan.

Kini harimau sudah muncul dan makin mendekat, terpaksa setindak demi setindak ia melangkah mundur. Ruangan itu tidak terlalu luas, hanya belasan tindak saja sudah mundur sampai di pojok.

Harimau sudah berada di depannya, ekor harimau menegak seperti tiang bendera, menyusul raja hutan ini pasti akan menerkam, jika sudah demikian mana Hoa Bu-koat mampu melawannya?

Keringat dingin telah berketes-ketes di jidat Bu-koat. Dalam keadaan demikian, tampaknya kalau dia tak berteriak minta tolong kepada Pek San-kun, jelas badannya akan segera terkoyak-koyak di bawah cakar harimau.

Meski dia tidak rela mati dan menilai tinggi jiwanya, tapi orang seperti dia masa sudi berteriak memohon pertolongan orang?

Terdengar harimau meraung pula. Pot bunga di meja sana tergetar jatuh dan “trang”, pecah berantakan ....

*****

Di tempat lain Kang Giok-long sedang melangkah ke luar sambil tertawa latah. Kaki dan tangan Thi Sim-lan serasa beku demi mendengar suara tertawanya yang gembira itu.

Sim-lan tahu, meski keji amat hati Kang Giok-long, tapi nyalinya kecil, bilamana dia tidak yakin benar akan dapat mengatasi Hoa Bu-koat, saat ini dia takkan segembira itu.

Sedangkan Hoa Bu-koat, di manakah dia?

Hampir saja Thi Sim-lan menjerit, hati seperti hancur berkeping-keping. Dia tidak khawatir bagi dirinya sendiri, tapi Hoa Bu-koat .... Ya, Hoa Bu-koat .... Maka bercucuranlah air matanya.

Mendadak terdengar Oh-ti-tu menjengek, “Hm, perempuan, dasar perempuan. Hm, paling-paling mati saja, kenapa mesti menangis seduka itu.”

“Kau ... kau kira aku berduka bagi diriku sendiri?” jawab Thi Sim-lan sambil menggigit bibir.

“Bukan untuk dirimu, memangnya untuk siapa?”

“Kau tidak tahu ... kau tak mungkin tahu,” Sim-lan menggeleng sambil menangis.

Mendadak Oh-ti-tu melotot, tanyanya, “Memangnya tangismu ini demi bocah she Hoa itu?”

Thi Sim-lan menunduk, sahutnya perlahan, “Ehm.”

“Jika Siau-hi-ji yang mati, apakah kau pun seduka ini?” teriak Oh-ti-tu.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan mengangkat kepalanya dan menatap si hitam ini sekian lamanya, tiba-tiba ia tersenyum pedih, katnya, “Jika dia mati, kau kira aku dapat hidup terus?”

“Jika begitu, mengapa kau berduka pula bagi orang lain?” teriak Oh-ti-tu dengan gusar. “Seorang perempuan hanya boleh berduka bagi seorang lelaki. Tentang lelaki lain akan mati atau hidup tidak seharusnya dipikirkan lagi.”

Sim-lan menghela napas panjang, jawabnya dengan sedih, “Isi hatiku tidak mungkin dipahami olehmu, selamanya, ya, selamanya takkan kau pahami, siapa pun takkan paham.”

Dengan melotot Oh-ti-tu memandangi si nona sekian lama, tiba-tiba ia pun menghela napas dan berkata, “Ya, betul juga, mungkin hati perempuan memang lebih lemah daripada lelaki, apabila aku ....”

Tiba-tiba Thi Sim-lan menyela, “Jangankan Hoa Bu-koat, sekalipun kau yang mati juga aku akan berduka.”

“Sebab apa?” tanya Oh-ti-tu.

“Sudah tentu lantaran kau adalah sahabat Siau-hi-ji.”

Tiba-tiba Oh-ti-tu mendelik dan berseru, “Apakah betul kedatanganmu ini adalah untuk menolong diriku?”

“Sudah tentu betul,” jawab Sim-lan.

Oh-ti-tu terbelalak pula sekian lama, katanya kemudian sekata demi sekata, “Apabila tanganku ini dapat bergerak, sungguh ingin kubeset kau secuil demi secuil.”

Thi Sim-lan juga terbelalak heran, tanyanya, “Sebab apa? Kudatang menolongmu, masa kau malah dendam padaku?”

“Orang she Oh ini selama hidupnya tidak pernah menerima budi orang setitik pun,” ucap Oh-ti-tu dengan gemas. “Kini aku hampir mati, bilamana kuterima budi kebaikanmu ini, menjadi setan pun rasanya tidak tenteram.”

Thi Sim-lan melengak, ucapnya kemudian, “Ya, aku sangat memahami perasaanmu, engkau adalah seorang lelaki sejati.”

“Hmk!” Oh-ti-tu hanya mendengus saja.

Thi Sim-lan berpaling memandang Buyung Kiu. Nona itu tampak berdiri mematung di sana, satu jari saja tidak bergerak seakan-akan memang tak dapat bergerak lagi selamanya.

“Tapi kau pun jangan lupa, kedatanganmu ini bukankah juga hendak menolong orang?” kata Thi Sim-lan dengan tersenyum pedih.

“Betul, kedatanganku memang untuk menolong dia!” teriak Oh-ti-tu. “Tapi aku memang sukarela mati baginya. Selain dia, perempuan lain biarpun mati di depanku juga belum tentu sudi kujulurkan sebelah tanganku.”

Ucapan ini benar-benar membuat Thi Sim-lan melenggong. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa manusia aneh yang berwatak angkuh dan dingin ini pun mempunyai perasaan tulus ikhlas, lebih-lebih tak tersangka bahwa dia bisa jatuh cinta kepada seorang nona yang linglung.

Oh-ti-tu berteriak pula dengan gusar, “Hm, kau merasa heran bukan? Kau kira dia tiada harganya untuk dicintai lelaki bukan? .... Ketahuilah bahwa meski dia telah berubah begini, dia tetap berpuluh kali lebih berharga dan lebih menyenangkan daripada perempuan mana pun juga.”

Thi Sim-lan menatapnya tajam-tajam dan berkata dengan rawan, “Tapi betapa pun juga cintamu padanya, dia kan tidak tahu.”

Oh-ti-tu hanya mendengus saja.

Maka Thi Sim-lan menyambung pula, “Sudah tahu begitu, kau tetap sangat baik padanya dan tetap mencintai dia?”

Dengan melotot gusar Oh-ti-tu menjawab tegas, “Ketahuilah bahwa perasaanku terhadap dia tidak perlu diketahui olehnya, juga dia tidak perlu membalas dengan sikap yang sama. Aku hanya cinta kepadanya, cinta padanya tanpa syarat.”

“Sekalipun kelak dia tidak suka padamu, bahkan pada hakikatnya tidak gubris dirimu, apakah kau tetap mencintai dia?” tanya Sim-lan.

“Betul,” teriak Oh-ti-tu. “Kucinta dia bukan karena dia harus menjadi istriku, asalkan dia dapat hidup dengan baik, andaikan aku mati juga tidak menjadi soal.”

Thi Sim-lan terdiam sejenak, kembali ia mencucurkan air mata, ucapnya dengan terharu, “Selama hidup seorang perempuan apabila bisa mendapatkan limpahan perasaan setulus ini, andaikan mati pun bukan soal apa-apa lagi, dalam hal ini bolehlah dia merasa bahagia ....” waktu dia menoleh, tiba-tiba dilihatnya Buyung Kiu juga sedang mencucurkan air mata.

Kejut dan girang Thi Sim-lan, serunya, “He, engkau sudah dapat mengikuti percakapan kami? Kau dapat memahami maksudnya?”

Meski air mata masih terus menetes, namun sorot mata Buyung Kiu tetap buram. Air muka Oh-ti-tu mestinya sudah bercahaya saking senangnya, kini cahaya itu kembali pudar.

Dengan suara halus Thi Sim-lan menghiburnya, “Engkau jangan sedih, meski pikirannya belum lagi jernih, tapi cintamu yang suci murni telah dapat dirasakannya. Asalkan cintamu tidak pernah berubah pada suatu hari kelak pasti akan diterima sepenuhnya olehnya.”

“Suatu hari kelak? ... Hahaha!” tiba-tiba seorang menukas dengan terkekeh-kekeh. “Mungkin hari yang begitu takkan tiba untuk selamanya.”

Ternyata Kang Giok-long telah muncul pula. Tapi dia cuma sendirian, Thi Peng-koh tidak nampak ikut di belakangnya.

“Kau? Untuk apalagi kau datang kemari?” tanya Sim-lan khawatir.

“Dengan sendirinya karena ingin menjengukmu,” jawab Giok-long cengar-cengir sambil mendekati, si nona, dicolek pipinya, lalu menyambung pula, “Kata orang, sehari tak bertemu laksana berpisah tiga tahun. Bagiku hanya sebentar tidak melihatmu, rinduku sudah seperti beberapa tahun.”

Tentu saja Thi Sim-lan ketakutan, teriaknya, “Kau ... kau jangan lupa pada nona ... nona berbaju putih itu ....”

“Sudah tentu aku tidak melupakan dia,” jawab Giok-long dengan bergelak tertawa. “Makanya sudah kuberi minum obat penenang, sekarang dia sedang tidur dengan nyenyaknya, sekalipun kau berteriak-teriak di sampingnya hingga tenggorokanmu pecah juga takkan terdengar olehnya.”

Seketika tubuh Thi Sim-lan menjadi gemetar, serunya, “Jika kau berani menyentuh satu jariku, pasti akan ... akan kukatakan padanya.”

“Tidak, kau takkan memberitahukan dia, kujamin setelah dia mendusin kau pasti tak dapat bicara lagi,” kata Giok-long dengan terkekeh-kekeh. Tangannya mulai main lagi, dari pundak terus menggerayangi dada si nona.

Darah Thi Sim-lan serasa membeku, dengan suara gemetar ia memohon, “O, jang ... jangan ... kumohon jangan ... jangan berbuat begini ... kumohon engkau membunuh saja diriku.”

“Membunuh kau?” Giok-long terkekeh-kekeh. “Untuk apa kubunuh kau sekarang? Kekasih Kang Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat memang lain daripada yang lain, jika tidak kunikmati sepuas-puasnya kan berarti aku tidak menghormati mereka?”

Sambil terbahak-bahak ia terus mengangkat Thi Sim-lan, dengan menyeringai ia berkata pula, “Bicara terus terang, dengan segala daya upaya aku ingin mendapatkan kau, maksudku sesungguhnya tidak penujui dirimu, aku hanya ingin membuat Hoa Bu-koat dan Kang Siau-hi ....”

Namun Thi Sim-lan tidak dapat mendengar ucapannya lagi, ia telah pingsan.

Gigi Oh-ti-tu sampai berkeriutan saking geregetannya tapi apa daya, terpaksa begitu saja ia saksikan Thi Sim-lan dibawa keluar oleh Kang Giok-long untuk dinodai ....

Kini di seluruh dunia, siapa yang dapat menolongnya?

*****

Di ruang sana Hoa Bu-koat sedang didekati harimau loreng, raja hutan itu tampaknya akan segera menerkamnya.

Pada saat itulah tiba-tiba Bu-koat melihat sebuah lukisan yang bergantung di dinding itu menempel rapat di dinding, bingkai lukisan bagian bawah juga terbenam erat di dalam dinding. Tanpa pikir lagi Bu-koat menarik bingkai lukisan itu, pikirnya hendak digunakan sebagai senjata.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong seluruh lukisan itu terus bergeser ke belakang sehingga terlihat ada sebuah pintu, seketika Bu-koat menyelinap ke sana. Harimau itu meraung dan menubruk maju, namun Bu-koat sempat merapatkan lebih dulu pintu rahasia itu.

Bu-koat menghela napas panjang, lama sekali barulah dia bisa tenang kembali. Dilihatnya di bawah sana ada undak-undakan batu dengan sebuah jalan lorong, belasan tindak lagi ada pula sebuah pintu, di balik pintu sana ada cahaya lampu.

Meski dia ingin tahu keadaan di balik pintu sana, tapi sesungguhnya ia pun tidak berani sembarangan berjalan lagi. Maklum, setiap dia melangkah satu tindak, bukan mustahil langkah selanjutnya adalah langkah kematian baginya.

Akan tetapi pada saat itu juga dari balik pintu sana ada suara jeritan orang ketakutan, “O, jangan ... kumohon jangan ... jangan begini ... kumohon engkau membunuh saja diriku.”

Jelas itulah suara Thi Sim-lan, seketika darah Bu-koat tersirap, tanpa pikirkan risiko apa pun segera ia menerjang ke sana.

Saat itu dengan tertawa senang Kang Giok-long hendak membawa keluar Thi Sim-lan, tapi tiba-tiba dilihatnya seorang berdiri di ambang pintu merintangi jalan keluarnya.

Di bawah cahaya lampu terlihat air muka pengadang ini pucat pasi dengan penuh rasa gusar, namun begitu tidak mengurangi wajahnya yang cakap. Ternyata Hoa Bu-koat adanya. Hoa Bu-koat benar-benar telah muncul di situ. Sedangkan Pek San-kun dan Pek-hujin tidak tertampak bayangannya.

Keruan kaget Kang Giok-long tak terlukiskan, ia seperti kena dicambuk satu kali, cepat ia melangkah mundur dengan tergopoh-gopoh.

Dengan melotot Bu-koat memandangi Kang Giok-long. Saat ini apabila dia dapat mengerahkan tenaga, pasti dia takkan mengampuni manusia kotor dan rendah itu.

Untung saja Kang Giok-long tidak tahu keadaan Hoa Bu-koat, umpama dia mempunyai nyali dobel juga tidak berani sembarangan melabrak Hoa Bu-koat.

Diam-diam Hoa Bu-koat menghela napas panjang, katanya kemudian dengan tenang, “Tidak lekas kau lepaskan dia?!”

Dengan meringis takut Kang Giok-long mengiakan, berbareng ia menaruh Thi Sim-lan di atas kursi dengan sangat hati-hati.

“Aku tidak sudi membunuhmu, lekas ... lekas enyah saja kau!” kata Bu-koat.

Keruan Kang Giok-long seperti orang hukuman yang mendapat pengampunan umum, tanpa pikir lagi ia terus lari pergi sambil berucap, “Siaute men .... menurut!”

Oh-ti-tu menggerung murka, teriaknya, “Orang she Hoa, apa artinya tindakanmu ini? Manusia rendah begitu kenapa tidak kau bunuh?”

“Membunuhnya cuma membikin kotor tangan, biarlah lepaskan dia saja,” ujar Bu-koat dengan tersenyum getir. Ia khawatir jangan-jangan Kang Giok-long mengintip di sana, dengan sendirinya ia tidak mau menjelaskan sebab musababnya.

Dengan gusar Oh-ti-tu berteriak pula, “Kau khawatir membikin kotor tanganmu yang berharga itu, tapi aku tidak takut tanganku menjadi kotor, lekas kau buka Hiat-toku, akan kubekuk bocah keparat itu.”

Bu-koat melenggong, mana dia ada tenaga sedikit pun untuk membuka hiat-to orang? Terpaksa ia berlagak tidak mendengar saja.

Kembali Oh-ti-tu berteriak pula dengan gusar, “Memangnya tanganmu juga akan kotor bila menyentuh tubuhku? Kau tidak sudi membuka Hiat-toku?”

“Ah, kenapa saudara mesti terburu-buru? Sabarlah sebentar,” ujar Bu-koat dengan menyengir.

“Dalam keadaan begini kau suruh aku bersabar?” teriak Oh-ti-tu pula.

Tapi Hoa Bu-koat malah menunduk dan melangkah ke arah Thi Sim-lan. Belasan tindak barulah dia berada di sebelah si nona, ia merasa jarak sedekat ini terasa teramat jauh baginya dan sangat menakutkan.

“Hm, bagus, bagus sekali, kiranya kau adalah manusia begini, sungguh aku salah menilai kau,” jengek Oh-ti-tu. “Tapi, hm, tangan manusia seperti kau ini bila menyentuh diriku malah akan membuat muak padaku.”

Diam-diam Bu-koat hanya menghela napas dan tidak menanggapi.

Selama hidupnya belum pernah dicaci maki dan dinista orang secara begini, tapi sekarang terpaksa ia menerimanya, sebab kalau saat ini dia menjelaskan duduk perkaranya, apabila sampai didengar oleh Kang Giok-long, maka tiada seorang pun di antara mereka yang bisa hidup lagi. Padahal sekarang yang paling ditakuti Kang Giok-long adalah dia, sedangkan dia juga waswas terhadap segala kemungkinan yang datang dari Kang Giok-long.

Sementara itu perlahan-lahan Thi Sim-lan telah siuman, begitu melihat Hoa Bu-koat, seketika matanya bercahaya, serunya kegirangan, “Ah, engkau telah datang! Engkau benar-benar telah datang, memang kuyakin tiada seorang pun yang mampu mencelakaimu. Sudah sejak semula kuyakin engkau pasti akan datang menolong kami.”

“Hm, daripada ditolong orang macam begini, akan lebih baik mati saja,” jengek Oh-ti-tu.

Thi Sim-lan jadi heran, tanyanya, “Meng ... mengapa kau berkata demikian padanya?”

“Mengapa tidak kau tanya dia?” jawab Oh-ti-tu.

Dengan terbelalak heran Thi Sim-lan memandang Hoa Bu-koat, ucapnya, “Sesungguhnya apa pula yang terjadi di sini?”

Bu-koat menengadah dan menghela napas panjang, katanya kemudian dengan tersenyum getir, “Ah, tidak ada apa-apa.”

“Apa pun juga, asalkan kau berada di sini, maka bereslah segalanya,” ujar Thi Sim-lan dengan berseri-seri. “Lekaslah engkau menolong kami keluar dari sarang iblis ini .... He, mengapa engkau berdiri diam saja?”

“Aku ... aku .…” Bu-koat tidak sanggup melanjutkan pula, dahinya penuh berkeringat dingin.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes