Wednesday, May 12, 2010

bp4_part1

Jilid 4. Bakti Binal

“Meski Ok-jin-kok dipandang sebagai daerah maut bagi orang Kangouw, tapi kalau Yan Lam-thian mau menerjang ke sana, memangnya siapa yang mampu merintangi dia? Dulu dia sudah terjebak satu kali, sekarang dia pasti akan bertindak lebih hati-hati,” sinar matanya yang biasanya penuh tipu akal itu kini menampilkan rasa khawatir dan jeri, ia menghela napas panjang, lalu menyambung pula, “Sekali ini kalau dia datang lagi, maka kawanan Ok-jin kami ini mungkin akan berubah menjadi Ok-kui (setan jahat) semuanya ....”

“Apakah engkau yakin ilmu silatnya telah ... telah pulih seluruhnya?” tanya Siau-hi-ji.

Dengan gemas To Kiau-kiau menjawab, “Biarpun ilmu silatnya kini belum pulih, tapi Ban Jun-liu itu tentu sudah berhasil menemukan obat baru yang dapat menyembuhkan lukanya, kalau tidak masakah dia berani membawanya kabur dari Ok-jin-kok?!”

“Betul!” ucap Siau-hi-ji setelah berpikir sejenak. “Sementara ini ilmu silatnya tentu belum pulih, kalau tidak, mungkin sekarang dia sudah mencari kalian untuk membikin perhitungan lama. Dan kalau Ban Jun-liu berani membawanya lari, kukira dia pasti yakin dapat menyembuhkan lukanya.”

“Cuma sukar diketahui bilakah lukanya akan dapat sembuh seluruhnya, bisa jadi tiga tahun atau lima tahun lagi atau mungkin delapan atau sembilan tahun pula, yang kuharap hanya semoga jangka waktu itu akan semakin lama.”

“Akan tetapi bukan mustahil saat ini juga kesehatannya sudah pulih, bukan?” Siau-hi-ji menambahkan dengan perlahan.

Tergetar To Kiau-kiau, ia tatap Siau-hi-ji dengan tajam, katanya, “Kau berharap dia sudah sembuh saat ini juga?”

Siau-hi-ji tenang-tenang saja, jawabnya dengan perlahan, “Meski bukan begitu harapanku, tapi apa pun juga kita harus berpikir dulu ke arah yang buruk.”

To Kiau-kiau terdiam sejenak, katanya kemudian, “Ya, betul juga, bisa jadi saat ini ilmu silatnya sudah pulih dan mungkin pula dia sedang mencari kami ....” pandangannya tiba-tiba menerawang keluar kereta dan tiada minat buat bicara pula.

Kereta kuda itu semakin kencang larinya, cambuk si kusir terdengar menggelegar seakan-akan ingin cepat-cepat sampai di tempat tujuan untuk ikut menonton pertarungan yang sengit dan menarik itu.

Siau-hi-ji juga memandang keluar kereta, gumamnya, “Saat ini Yan Lam-thian entah berada di mana? Sungguh aku sangat ingin tahu ....”

*****

Sebuah lembah kecil dikelilingi lereng dari tiga jurusan, sementara itu di lereng bukit itu sudah penuh berdiri beratus-ratus orang, bahkan di atas pohon juga sudah penuh bertengger penonton tanpa bayar.

Kereta kuda mereka berhenti di luar lembah sehingga Siau-hi-ji tidak dapat melihat suasana di tengah lembah. Hanya terdengar suara ramai orang berbincang, “Suseng (pelajar) yang kelihatan lemah lembut itu apakah betul ahli waris dari Ih-hoa-kiong? Sama sekali tak tertampak dia memiliki ilmu silat yang tinggi.”

“Tapi kabarnya di dunia Kangouw saat ini tiada orang yang lebih lihai daripada ilmu silatnya, bahkan Kang-tayhiap juga sangat kagum padanya, entah kabar ini dapat dipercaya atau tidak?” demikian yang lain menanggapi.

Segera seorang lagi menukas dengan tertawa, “Jika tidak percaya, kenapa kau sendiri tidak mencobanya?”

Orang tadi melelet lidah dan menjawab, “Buset, aku masih ingin hidup lebih lama dengan istriku yang masih muda itu.”

Lalu seorang lagi berkata dengan gegetun, “Usianya masih muda belia, tapi ilmu silatnya sudah nomor satu di dunia, orangnya cakap pula, di dunia ini rasanya tiada orang lain yang dapat melebihi dia.”

Yang lain juga menanggapi dengan kagum, “Ya, ‘Putra kebanggaan Thian’, istilah ini sungguh cocok sekali baginya. Bilamana aku dapat hidup satu hari saja seperti dia, maka puaslah aku.”

Begitulah terdengar puji sanjung di sana sini dan yang dimaksud tentulah Hoa Bu-koat adanya. Keruan kesal hati Siau-hi-ji mendengar semua itu.

“Hatimu tidak enak bukan setelah mendengar percakapan mereka itu?” tanya To Kiau-kiau dengan tersenyum.

“Siapa bilang hatiku tidak enak? Hm, aku justru sangat gembira,” jawab Siau-hi-ji mendelik.

“Ai, dia memang benar-benar ‘Putra kebanggaan Thian’, seakan-akan Thian telah memberkahi dia dengan segala hal yang membuat kagum orang, betul tidak?” kata To Kiau-kiau dengan gegetun.

“Betul tidak?” Siau-hi-ji menirukan logat orang sambil mencibir.

“Hahaha!” To Kiau-kiau tertawa. “Meski dia adalah ‘Putra kebanggaan Thian’, tapi Siau-hi-ji kita juga tidak di bawahnya, dunia Kangouw yang akan datang mungkin adalah dunianya kalian berdua.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji membuka pintu kereta dan berkata, “Aku akan pergi menonton, dan engkau?”

“Pergilah kau,” jawab To Kiau-kiau. “Akan kutunggu di sini, cuma ... kau harus bekerja sesuatu bagiku.”

“Urusan apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Berusahalah membawa kedua Auyang ... kedua Lo bersaudara itu ke dalam kereta ini, sanggupkah kau?”

“Asalkan keretamu muat, biarpun seluruh penonton yang hadir di sini harus kuangkat ke dalam kereta ini juga bukan soal bagiku,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Habis itu ia lantas melompat turun dan melangkah pergi, tiba-tiba ia menoleh memandang si kusir. Dilihatnya kusir itu sedang mengelus-elus berewoknya dan lagi memandangnya dengan tertawa.

Tanpa susah payah dapatlah Siau-hi-ji menyusup ke tengah-tengah orang yang berjubel terus naik ke lereng sana. Ia lihat tempat yang paling baik adalah duduk di atas pohon, dari situ dapat memandang sekelilingnya dengan jelas. Cuma sayang waktu itu semua pohon sudah penuh orang.

Tiba-tiba Siau-hi-ji mendapat akal, ia menggeleng-geleng kepala dan bergumam, “Wah, di dunia ini ternyata banyak juga manusia yang tidak takut mati sehingga berani duduk di atas liang ular berbisa, kalau saja pantatnya kena digigit, wah ....”

Belum habis ucapannya, sebagian besar orang-orang yang nongkrong di atas pohon itu sama melompat turun dengan ketakutan. Setelah kacau balau sejenak, akhirnya diketahui bahwa orang yang bicara tadi kini sudah nongkrong sendiri di atas pohon dengan tenangnya.

Dengan sendirinya orang-orang itu penasaran dan menegur, “He, sahabat itu, kau bilang pohon ini ada liang ular, mengapa kau sendiri bertengger di situ?”

“O, apakah tadi kubilang begitu,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jelas kau yang bicara begitu,” teriak orang-orang itu.

“Tapi aku kan cuma bilang banyak orang yang tidak takut mati dan berani duduk di atas liang ular, aku tidak pernah mengatakan pohon ini ada liang ularnya, mungkin kalian salah dengar,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tentu saja orang-orang itu melenggong dan juga gusar, tapi terdengar Siau-hi-ji lagi bergumam pula, “Kalau Kang-lam-tayhiap dan para nona keluarga Buyung sedang bereskan perkara di sini, bilamana ada orang berani mengacau, maka dia pasti sudah bosan hidup.”

Seketika orang-orang itu saling pandang belaka dan terpaksa menahan perasaan murka belaka, ada sebagian merambat lagi ke atas pohon, sebagian lain tidak dapat tempat di atas, terpaksa mereka anggap sial.

Dengan enak Siau-hi-ji bertengger di atas pohon sehingga segala sesuatu yang terjadi di lembah itu seluruhnya tertangkap oleh pandangannya, ia merasa tempat ini sungguh kelas utama, diam-diam ia merasa geli, pikirnya, “Seorang kalau ingin menduduki tempat yang baik memang perlu main-main sedikit.”

Dilihatnya di tanah lapang di tengah lembah sana terparkir sebuah kereta kuda, Hoa Bu-koat tampak bersandar pada pintu kereta dan seperti lagi mengobrol iseng dengan menumpang di dalam kereta.

Kang Piat-ho tampak duduk di atas batu di sebelah Hoa Bu-koat serta berulang-ulang tegur sapa dengan penonton yang mengelilingi mereka, sedikit pun tidak berlagak sebagai “pendekar besar”.

Siau-hi-ji juga melihat Lo Kiu dan Lo Sam, kedua orang itu tinggi dan gemuk sehingga sangat mencolok berada di tengah-tengah kerumunan orang.

Namun anggota keluarga Buyung belum nampak seorang pun yang datang, diam-diam para kawan Kangouw yang hadir itu sama menggrundel dan menganggap mereka terlalu sombong.

Hoa Bu-koat sendiri tidak nampak gelisah, senyum di wajahnya tetap riang gembira, setiap kali dia memandang ke dalam kereta, sorot matanya yang tajam itu berubah menjadi sangat halus.

Tanpa terasa Siau-hi-ji mengepal, hatinya panas, pikirnya, “Siapa yang berada di dalam kereta? Masa Thi Sim-lan juga dibawanya kemari dan mereka sejengkal pun tak dapat berpisah?”

Sekonyong-konyong terjadi kegaduhan di sebelah sana, dua belas lelaki berbaju hitam dan pakai ikat pinggang berwarna-warni menggotong tiga buah tandu besar berbeludru hijau berlari datang. Pada tiap-tiap tandu besar itu mengikut pula sebuah tandu kecil dengan dua orang pemikul, penumpang ketiga tandu kecil ini adalah tiga pelayan molek.

Setelah tandu berhenti dan diturunkan, segera ketiga pelayan molek itu turun lebih dulu untuk menyingkap tirai pintu tandu besar, kemudian keluarlah tiga wanita cantik yang memesona setiap pengunjung.

Ketiga perempuan cantik ini adalah Buyung Siang, Buyung San dan Siau-sian-li Thio Cing. Ketiganya kini berdandan secara putri keraton, semuanya berpakaian anggun, tampaknya mereka lebih mirip nyonya keluarga bangsawan yang sedang keluar bertamu daripada jago Kangouw yang datang hendak bertempur dengan orang.

Kebanyakan pengunjung itu hanya pernah mendengar nama kesembilan kakak beradik Buyung dan jarang yang kenal wajah asli mereka, sekarang pandangan mereka jadi terbeliak, hampir semuanya melenggong kesima. Bahkan Siau-hi-ji sendiri juga hampir tidak percaya bahwa nona yang berjalan dengan lemah gemulai di bagian belakang itu adalah Siau-sian-li yang pernah malang melintang dan membunuh orang di padang rumput dahulu.

Dandanan Siau-sian-li sekarang juga sangat menarik, dia sudah menanggalkan sepatu botnya dan memakai sandal bertatahkan mutiara, celana yang sempit sudah berganti dengan gaun yang panjang sehingga gaya berjalannya tampak meliak-liuk, tidak lagi terjang sana sini seperti dahulu. Malahan mukanya kini sudah ditambah dengan pupur yang tipis.

“Memang seharusnya begini baru memper seorang perempuan!” diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli. Aneh juga, sehari-hari biasanya ia berpakaian seperti orang yang senantiasa hendak berkelahi, tapi ketika benar-benar hendak bertarung sekarang dia malah berdandan serapi ini, apakah maksud tujuannya? Jangan-jangan dia sengaja hendak membuat Hoa Bu-koat terpesona sehingga lupa daratan dan tidak sanggup berkelahi lagi.”

Pandangan Hoa Bu-koat telah beralih dari dalam kereta ke arah para nona keluarga Buyung ini. Tapi sorot matanya itu daripada dikatakan terpesona akan lebih tepat bila dikatakan terkejut dan tercengang.

Dengan berlenggang Buyung San berjalan paling depan, ia memberi hormat, lalu berkata dengan tertawa, “Maaf bila kedatangan kami ini rada terlambat sehingga Kongcu telah lama menunggu.”

Dia bicara dengan lemah lembut, mana Hoa Bu-koat mau kurang sopan di depan kaum wanita, cepat ia menjura dan menjawab dengan tersenyum, “Ah, kukira bukan nyonya yang datang terlambat, tapi Cayhe yang datang terlalu dini.”

“Kongcu benar-benar ramah, rendah hati dan halus budi, entah putri keluarga siapa yang kelak beruntung mendampingi Kongcu,” ucap Buyung San dengan tertawa.

Kedua orang bicara dengan ramah tamah seperti dua orang kenalan lama yang kebetulan bertemu di tempat pesiar, mana ada tanda-tanda bahwa maksud kedatangan mereka ini sebenarnya hendak berkelahi.

Tentu saja semua orang melongo heran, kalau melihat gelagat begini, apakah mungkin bisa terjadi pertarungan sengit? Demikian mereka sama bertanya-tanya di dalam batin.

Terdengar Hoa Bu-koat lagi berkata, “Lamkiong-kongcu dan Cin-kongcu mungkin sebentar juga akan tiba?”

“Tidak, karena di rumah ada urusan, mereka sudah pulang dulu,” jawab Buyung San.

Hoa Bu-koat melengak, katanya, “Jika mereka tidak datang, lalu cara bagaimana menyelesaikan urusan ini?”

“Urusan ini kan persoalan antara kami kakak beradik dengan Kongcu,” kata Buyung San.

Segera Buyung Siang menyambung, “Urusan keluarga Buyung selamanya tidak memperbolehkan orang luar ikut campur.”

Bu-koat jadi melengak pula, katanya, “Tapi ... tapi mereka kan ....”

“Betul, mereka adalah suami kami, tapi urusan istri sebagian juga tiada sangkut-pautnya dengan suami,” ucap Buyung Siang dengan tertawa, “Kami kakak beradik dari keluarga Buyung masakah mau mendapatkan suami yang suka ikut campur urusan istrinya?”

“Ya, mungkin Kongcu sendiri juga tidak suka mendapatkan istri yang suka ikut campur urusan suami,” sambung Buyung San dengan tertawa.

Begitulah kakak beradik itu bicara sambung menyambung sehingga Hoa Bu-koat berdiri terkesima tak dapat bersuara.

Diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli, pikirnya, “Lelaki yang memperistrikan nona dari keluarga Buyung sungguh beruntung. Sudah jelas Lamkiong Liu dan Cin Kiam sendiri tidak berani bertarung melawan Hoa Bu-koat, tapi oleh istri mereka telah diputar balik seakan-akan suami mereka itu tidak boleh mencampuri urusan sang istri, dengan demikian nama baik mereka tidak rusak sedikit pun, bahkan orang luar akan memuji mereka memang sayang istri.”

Supaya maklum bahwa dengan kedudukan Lamkiong Liu dan Cin Kiam betapa pun mereka tidak boleh kalah bila bertarung dengan orang, tapi menghadapi Hoa Bu-koat mereka menyadari pasti kalah. Oleh sebab itulah mereka sengaja tidak hadir, cara ini benar-benar sangat cerdik.

Tapi kalau mereka mau membiarkan sang istri menghadapi Hoa Bu-koat, tentu mereka pun yakin sang istri akan menang. Hal ini pun membuat Siau-hi-ji heran, diam-diam ia meraba-raba pula tipu daya apa yang tersembunyi di balik persoalan ini.

Kang Piat-ho itu benar-benar bisa menahan perasaan, baru sekarang dia menyela dengan tersenyum. “Jika Lamkiong-kongcu dan Cin-kongcu tidak hadir, bukankah urusan ini menjadi sulit diselesaikan.”

Pandangan Buyung Siang beralih ke arah Kang Piat-ho, senyumnya mendadak lenyap, jawabnya dengan mendelik, “Siapa bilang sulit diselesaikan?”

Hoa Bu-koat berdehem, katanya dengan tersenyum, “Tapi Cayhe masakah boleh bergebrak dengan para nyonya?”

“Kenapa kau tidak boleh bergebrak dengan kami? Memangnya kami ini bukan manusia?” teriak Siau-sian-li.

Dengan tertawa Buyung San juga berkata, “Apabila Kongcu tidak sudi bergebrak dengan kami, maka diharap Kongcu jangan ikut campur urusan kami dengan Kang Piat-ho. Betapa pun Kang Piat-ho juga bukan anak kecil, masa tidak bisa membereskan urusannya sendiri?”

Dia tertawa dengan lembut, tapi ucapannya setajam sembilu. Para pengunjung sama melengak, mereka menduga Kang Piat-ho pasti tidak dapat menerima olok-olok begitu.

Siapa tahu Kang Piat-ho tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan tersenyum, “Setiap kawan Kangouw tahu bahwa selama hidupku tidak suka melukai orang lain, apalagi terhadap para nyonya? Lebih-lebih hanya karena sedikit salah paham saja?”

“Kang Piat-ho,” teriak Buyung Siang, “Coba dengarkan! Pertama, ini sama sekali bukan salah paham segala, kedua, kau pun belum pasti melukai kami, boleh silakan maju saja.”

Kang Piat-ho tersenyum jawabnya, “Salah paham ini sementara ini sukar dibereskan, tapi lama-lama tentu akan jelas duduk perkaranya. Kini Cayhe mana boleh berlaku kasar kepada nyonya, sekalipun nyonya akan membunuh Cayhe juga tetap takkan kubalas menyerang.”

Ucapan ini bertambah gemilang sehingga banyak di antara pengunjung itu sama bersorak memuji, bahkan Siau-hi-ji diam-diam juga gegetun, “Di seluruh dunia ini, mengenai kepandaian menghadapi orang mungkin tiada seorang pun yang mampu menandingi kelicinan Kang Piat-ho, bahkan di lapangan begini terlebih menonjol pula kepandaiannya.”

Dengan gusar Buyung Siang lantas membentak, “Huh, sudah jelas kau tahu Hoa-kongcu takkan tinggal diam membiarkan kami membinasakan kau, makanya kau bicara seenak mulutmu!”

“Jika Cayhe sendiri tidak berani bertanggung jawab, tentu sekarang takkan hadir di sini,” jawab Kang Piat-ho acuh.

Mendadak Siau-sian-li menjengek, “Hm, kalau orang lain, bilamana dia minta perlindungan seseorang tentu dia sendiri akan merasa malu, tapi kau masih mampu bicara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, huh, mukamu yang tebal ini sungguh jarang ada tandingannya.”

“Hahahaha!” Kang Piat-ho bergelak tertawa. “Untunglah para kawan Kangouw tiada yang mau percaya bahwa orang she Kang ini adalah orang yang suka minta perlindungan ....”

“Ya, paling sedikit Kang-tayhiap pasti takkan mengeluyur pulang dan menonjolkan istrinya untuk bertengkar dengan orang!” demikian tiba-tiba seorang berteriak.

Dari tempat nongkrongnya Siau-hi-ji dapat melihat dengan jelas yang berteriak itu ialah Auyang Ting yang berganti nama menjadi Lo Kiu itu, dengan sendirinya Buyung Siang dan lain-lain tak dapat melihat dan juga tak tahu siapa yang berteriak itu.

Terpaksa mereka pura-pura tidak tahu, tapi dalam hati mereka menyadari tidak boleh bicara lebih lama lagi dengan Kang Piat-ho, kalau kekuatan kedua pihak selisih tidak banyak, ada lebih baik mundur teratur saja.

Sebaliknya Hoa Bu-koat tetap tersenyum simpul, teriakan tadi entah didengarnya atau tidak, bila tak perlu bicara dia memang tidak suka buka suara.

Tiba-tiba Siau-sian-li berseru, “Bicara kian kemari sekian lama tetap sukar menentukan salah dan benar, kukira lebih baik turun tangan saja, biarlah aku belajar kenal dulu dengan kepandaian Hoa-kongcu.”

Bu-koat memandang Siau-sian-li dari atas ke bawah, lalu menjawab dengan tersenyum, “Kau pikir aku dapat bergebrak denganmu?”

“Mengapa tidak?” teriak Siau-sian-li dengan mendelik. “Meski dahulu kita pernah bersahabat, tapi sekarang adalah musuh.”

Hoa Bu-koat hanya tersenyum tanpa menjawab.

Segera Buyung San berseru dan tertawa, “Rasanya Hoa-kongcu pasti tidak sudi bergebrak dengan kaum wanita.”

“Bila kurang hati-hati hingga Cayhe membikin kusut dandanan para nyonya, ini saja berdosa, apalagi bergebrak dengan kalian?” ucap Hoa Bu-koat dengan tertawa.

“Habis kalau menurut pendapat Kongcu, cara bagaimana urusan ini akan diselesaikan?” tanya Buyung San.

“Menurut pikiranku,” jawab Bu-koat setelah diam sejenak, “pada hakikatnya urusan ini tidak perlu diselesaikan mengingat pribadi Kang-heng, baik namanya maupun kesanggupannya sudah cukup diketahui orang Kangouw, maka nyonya ....”

“Tidak, urusan ini harus diselesaikan,” teriak Buyung Siang, “Jika Hoa-kongcu tidak punya jalan keluarnya, aku malah punya suatu cara yang baik.”

“Mohon penjelasan,” ucap Hoa Bu-koat.

“Begini, kami akan mengemukakan tiga soal, apabila Kongcu dapat melaksanakannya maka selanjutnya kami takkan mencari setori lagi kepada Kang Piat-ho,” tutur Buyung Siang. “Tapi kalau Kongcu tidak sanggup melakukan tiga soal ini, maka hendaklah Kongcu jangan lagi ikut campur urusan kami dengan Kang Piat-ho.”

Sampai di sini barulah Siau-hi-ji memahami duduknya perkara, rupanya Lamkiong dan Cin Kiam sengaja tidak ikut hadir dan kakak beradik Buyung serta Siau-sian-li sengaja berdandan begitu anggun, tujuan mereka sengaja hendak memojokkan Hoa Bu-koat agar tidak dapat bertarung benar-benar dengan mereka, dengan demikian barulah mereka ada alasan untuk mengemukakan tiga soal itu untuk mempersulit Hoa Bu-koat. Jika Hoa Bu-koat terpancing, maka pertarungan ini baginya berarti sudah kalah.

Namun Hoa Bu-koat juga bukan orang dungu, setelah berpikir sejenak, kemudian ia menjawab dengan tertawa, “Tapi ketiga soal yang akan nyonya sebut nanti bila pada hakikatnya tak dapat dilaksanakan, lalu bagaimana?”

“Masakah kami mempersulit dengan soal yang tidak mungkin dilaksanakan olehmu?” kata Buyung San dengan tertawa.

Mendadak Siau-sian-li menyambung, “Setelah ketiga soal itu dijelaskan dan ternyata tak dapat kau laksanakan, maka kami akan melakukannya sebagai bukti, dengan demikian tentu adil bukan?”

“Tapi kalau nyonya menyuruh kami menyulam, jelas Cayhe tidak sanggup,” kata Bu-koat tertawa.

“Ketiga soal ini dengan sendiri dapat dilakukan oleh siapa pun juga, baik lelaki maupun perempuan, tidak lain kami cuma ingin menguji kemahiran ilmu silat serta kecerdasan Kongcu saja,” ujar Buyung San.

“Dan kalau Hoa-kongcu tidak dapat melakukan ketiga soal itu dan sebaliknya bila kami dapat melaksanakannya, maka terbuktilah ilmu silat dan kecerdasan Kongcu memang lebih rendah daripada kami, dengan demikian Kongcu tentu tidak akan ikut campur lagi dengan urusan kami, begitu bukan?” sambung Buyung Siang.

“Jika betul begitu, maka selanjutnya Cayhe akan mengundurkan diri dari dunia Kangouw dan takkan ikut campur urusan apa pun,” jawab Hoa Bu-koat.

Siau-hi-ji sudah menduga ketiga soal yang akan dikemukakan kakak beradik Buyung itu pasti sangat aneh dan sulit dilaksanakan, maka diam-diam ia menertawakan Hoa Bu-koat, “Wahai Hoa Bu-koat, bilamana kau terima usul mereka, maka terjebaklah kau. Soal yang telah mereka rencanakan dengan matang, bahkan aku pun mungkin sulit melakukannya, apalagi kau!”

Di sebelah lain para pengunjung juga lagi bisik-bisik membicarakan persoalan ini, kata seorang, “Dalam hal Pi-bu (bertanding silat) sejak dulu hingga kini hanya dikenal dua cara, yaitu Bun-pi atau Bu-pi (bertanding cara halus atau bertanding cara kasar). Apa yang diusulkannya sekarang termasuk bertanding cara halus, hanya kakak beradik Buyung itu menggunakan nama baru saja.”

Lalu seorang lagi menanggapi, “Apabila nona Buyung itu menyuruh Hoa-kongcu berjumpalitan beberapa kali, lalu menyuruhnya pula merangkak beberapa lingkaran seperti anjing, apakah mungkin Hoa Bu-koat mau melakukannya mengingat harga dirinya, dan dengan demikian bukankah berarti dia akan kalah?”

Tapi segera ada yang mendebatnya, “Ah, bila begitu, caranya kan seperti bajingan tengik. Padahal keluarga Buyung sangat termasyhur dan terhormat, rasanya mereka takkan berbuat demikian.”

Maklumlah biarpun ucapan Hoa Bu-koat tadi seperti menyepelekan urusannya, tapi janji akan mengundurkan diri dari dunia Kangouw cukup berbobot, sebab namanya sekarang laksana sang surya yang gilang gemilang di tengah cakrawala dan kehidupannya di dunia Kangouw selanjutnya pasti banyak ragam dan gayanya, tapi kalau nanti dia kalah, maka berarti tamatlah riwayatnya.

Sebab itulah, meski Hoa Bu-koat cukup percaya pada dirinya sendiri, tapi bagi para penonton terasa tegang dan berkhawatir baginya.

Dalam pada itu kakak beradik Buyung sedang bisik-bisik berunding sendiri. Lalu Buyung Siang membuka suara dengan tertawa, “Nah, kita mulai dengan soal pertama, yakni Kongcu berdiri dengan gaya ‘Kim-keh-tok-lip’ (ayam emas berdiri dengan kaki satu), lalu orang disuruh mendorong, apabila engkau tidak roboh terdorong, maka anggap Kongcu telah menang.”

“Tapi beberapa orang yang diharuskan mendorong?” tanya Bu-koat tertawa.

“Beberapa orang boleh sesukanya, umpamanya dua ratus orang begitu?” tanya Buyung Siang.

Setelah merenung sejenak, akhirnya Hoa Bu-koat menjawab dengan tersenyum, “Baiklah kuterima.”

Ucapan ini kembali menggemparkan para pengunjung. Betapa besarnya tenaga gabungan dua ratus orang, sekalipun tenaga dua ratus lelaki biasa saja sukar ditahan oleh seorang Hoa Bu-koat, apalagi dia harus berdiri dengan kaki satu dalam gaya ‘Kim-keh-tok-lip’ segala.

Bila ada orang mengira dengan tenaga satu kaki dapat menahan daya dorongan dua ratus orang, maka otak orang itu pasti kurang waras. Padahal Hoa Bu-koat jelas kelihatan bukan orang sinting, mengapa dia justru menerima syarat aneh itu dengan begitu saja.

Begitulah semua orang merasa kejut dan heran pula, diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli melihat sikap orang-orang itu, hampir saja dia berteriak, “Huh, cuma soal begini saja kenapa meski diherankan? Asalkan sedikit saja memeras otak, maka setiap orang pun dapat melakukannya. Asalkan kau berdiri dengan punggung bersandar pada dinding tebing, jangankan dua ratus orang, biarpun didorong dua ribu orang juga takkan terdorong roboh.”

Ia tidak tahu bila soal ini sudah dipecahkan, jadinya memang begitu mudah dan sangat sederhana, tapi dalam keadaan genting begini, otak siapa yang sempat berpikir jelimet sejauh itu?

Ini sama mudahnya dengan telur ayam harus didirikan tegak di atas meja, asalkan telur diketuk salah satu ujungnya dan berdiri tegaklah telur itu, tapi sebelum rahasia ini dibeberkan, mungkin tiada satu orang pun di antara sejuta orang mampu melakukannya.

Siau-hi-ji mengira Hoa Bu-koat juga sudah mempunyai pikiran yang sama dengan dia, di luar dugaan Hoa Bu-koat ternyata tidak berjalan menuju tebing sana, tapi di tanah lapang itu juga dia lantas berdiri dengan kaki satu, lalu berkata dengan tersenyum, “Bila Cayhe berhitung sampai ‘tiga’, maka bolehlah nyonya menyuruh orang mulai mendorongku.”

Buyung Siang dan Buyung San saling mengedip, sorot mata menampilkan rasa girang, serentak mereka menyatakan baik.

Tatkala mana di lembah gunung ini hadir beberapa ratus orang, semuanya termasuk Siau-hi-ji menganggap Hoa Bu-koat pasti akan kalah. Malahan ada sementara orang yang telah menghela napas menyesal. Habis apa mau dikatakan, Hoa Bu-koat berdiri dengan kaki satu tanpa sandaran apa pun, tidak perlu dua ratus orang, cukup dua orang saja sudah dapat menolaknya roboh.

Bicara tentang ilmu silat memang dua ratus orang juga bukan tandingan Hoa Bu-koat, tapi cara dia mengadu tenaga luar begitu sama sekali tak dapat melawan dengan akal, bila didorong dengan tenaga seribu kati, maka kau juga harus melawannya dengan tenaga yang sama kuatnya. Kalau tidak, maka berarti kau pasti akan roboh.

Dalam hati Siau-hi-ji sungguh merasa heran, orang macam Hoa Bu-koat mengapa tidak memahami urusan yang sederhana ini?

Terdengar Hoa Bu-koat mulai menghitung, “Satu ... dua ... tiga ....” dan begitu kata ‘tiga’ terucapkan, sebelah kakinya yang berdiri di tanah itu mendadak ambles setengah dim ke bawah, tanah berbatu yang keras itu di bawah kakinya telah berubah menjadi lunak laksana lumpur.

Keruan Buyung San dan lain-lain terkejut, cepat ia memberi tanda, “Itu dia Hoa-kongcu sudah siap, tunggu apalagi kalian?”

Serentak kedelapan belas penggotong tandu yang kekar itu berlari maju, agaknya mereka sudah terlatih dengan baik, di tengah berlari itu tangan orang kedua segera memegang pundak orang pertama, orang ketiga juga lantas pegang pundak orang kedua dan begitu seterusnya, langkah kedelapan belas orang itu semakin cepat dan mendadak menerjang Hoa Bu-koat terus mendorongnya.

Tenaga dorongan ini tidak cuma himpunan tenaga kedelapan belas orang melulu, bahkan ditambah lagi tenaga terjangan mereka dari tempat jauh, maka betapa dahsyatnya dapatlah dibayangkan.

Seorang jago silat sejati yang mahir tentu tidak gentar pada tenaga kekerasan begini, akan tetapi kini Hoa Bu-koat justru menyambut tenaga tolakan dahsyat itu dengan keras lawan keras. Jangankan dia cuma berdiri dengan satu kaki, sekalipun berdiri dengan dua kaki juga tak mampu menahan dorongan hebat itu. Maka semua orang yakin Hoa Bu-koat pasti kalah.

Di luar dugaan, sekali kedelapan belas orang itu mendorong, Hoa Bu-koat tidak roboh, tergentak mundur pun tidak, malahan tubuhnya seperti ambles beberapa dim lagi ke bawah tanah.

Semakin keras tenaga dorongan kedelapan belas orang itu, semakin cepat pula tubuh Hoa Bu-koat ambles ke bawah, kedelapan belas lelaki itu tampak sudah berkeringat dan telah mengerahkan segenap tenaga mereka.

Akhirnya kaki Hoa Bu-koat itu sudah terpendam sebatas dengkul, biarpun kakinya terbuat dari besi rasanya juga tidak mudah hendak ditancapkan ke dalam tanah berbatu itu, namun wajahnya tetap tersenyum simpul seakan-akan tidak mengeluarkan tenaga sama sekali dan seperti orang yang berdiri di atas pasir belaka.

Para pengunjung seperti menonton permainan sulap saja, semuanya melongo dan mengira pandangan sendiri yang kabur. Tidak terkecuali Siau-hi-ji, ia pun melenggong menyaksikan itu.

Cara yang digunakan Hoa Bu-koat ini meski jauh lebih bodoh daripada cara yang dipikirnya, malahan jauh lebih sulit, tapi cara ini juga jauh lebih mengejutkan dan membuat orang kagum.

Bilamana Hoa Bu-koat berbuat seperti jalan pikiran Siau-hi-ji, yakni dengan berdiri bersandar dinding tebing, sekalipun kakak beradik Buyung itu tiada alasan untuk mencelanya, namun para penonton yang berkerumun itu pasti akan berkurang. Pertandingan yang khidmat dan menarik ini tentu juga akan berubah seperti permainan anak kecil yang dicemoohkan.

Siau-hi-ji berpikir pula, tapi ia menjadi bingung apakah cara yang dipergunakan Hoa Bu-koat terlebih cerdik atau jalan pikirannya sendiri itu yang lebih pintar?

Dilihatnya kaki Hoa Bu-koat yang semakin ambles ke bawah itu mulai lambat, jelas karena tenaga dorongan kedelapan belas lelaki itu pun semakin lemah. Sampai akhirnya kaki Hoa Bu-koat tidak ambles ke bawah lagi, mendadak kedelapan belas lelaki itu terkapar, semuanya lemas kehabisan tenaga dan tidak sanggup bangun kembali.

Nyata Hoa Bu-koat telah menggunakan ilmu “Ih-hoa-ciap-giok”, untuk mengalihkan arah tenaga dorongan mereka, mestinya menuju ke depan, tapi oleh Hoa Bu-koat telah dialihkan ke bawah, sebab itulah kelihatannya mereka sedang mendorong Hoa Bu-koat, tapi sesungguhnya tiada ubahnya mereka lagi menolak permukaan bumi.

Dengan tenaga kedelapan belas lelaki itu untuk menolak bumi, maka sama halnya seperti campung hinggap di pilar, tentu saja mereka kehabisan tenaga dan roboh dengan loyo.

Sudah tentu para penonton tidak tahu letak kehebatan ilmu Hoa Bu-koat itu, yang pasti mereka tambah kagum terhadap kelihaian anak muda itu, maka terdengarlah sorak memuji mereka. Sedangkan kakak beradik Buyung juga melenggong.

“Apakah nyonya perlu menyuruh orang lain mendorong pula?” demikian Hoa Bu-koat bertanya dengan tersenyum. .

“Kepandaian Hoa-kongcu sungguh sukar dibayangkan, kami merasa sangat kagum,” jawab Buyung San dengan tersenyum.

Siau-sian-li merasa penasaran, teriaknya, “Ini baru permulaan, biarpun dapat kau laksanakan dengan baik, boleh coba lagi yang kedua.”

Hoa Bu-koat tersenyum sambil mengangkat sebelah kakinya, kebetulan angin meniup sehingga sebagian kaki celananya bertebaran terbang seperti kupu-kupu. Sorak-sorai penonton masih terus berlangsung, waktu suara sorakan berhenti, terdengar di dalam kereta sana masih bergema suara orang berkeplok tangan. Seketika hati Siau-hi-ji seperti diremas-remas.

Meski dia tak dapat tidak harus mengakui kehebatan ilmu silat Hoa Bu-koat dan memang pantas mendapatkan tepuk tangan si “dia”, tapi bila teringat pada hal ini saja mau tak mau ia bertambah keki.

Dalam pada itu terdengar Hoa Bu-koat sedang menanggapi ucapan Siau-sian-li tadi, “Apakah soal yang kedua itu, mohon petunjuk nyonya?”

Dengan tersenyum Buyung San menjawab, “Di dalam kota Ankhing ada sebuah toko kue yang khusus menjual kudapan, toko itu pakai merek ‘Siau-soh-siu’, entah Kongcu tahu tidak?”

“Ya, beberapa kali Kang-heng pernah mengajak Cayhe jajan ke sana,” jawab Bu-koat.

“Nah, Siau-soh-siu itu memang terkenal menjual kudapan yang enak-enak, antara lain yang paling kugemari adalah Pat-po-pui (nasi berkat), Jian-ceng-ko (kue bolu susun seribu, sejenis roti tar), setahuku panganan ini boleh dikatakan sangat lezat dan tiada bandingannya.”

Dalam keadaan demikian dia masih dapat bicara tentang makanan enak segala, karena tidak tahu apa maksudnya, para penonton menjadi terheran-heran.

Tapi Hoa Bu-koat lantas menjawab, “Meski aku kurang berminat terhadap penganan manis-manis begitu, tapi ada seorang sahabatku memang juga sangat memuji kedua macam makanan yang disebut nyonya tadi.”

Sudah tentu Siau-hi-ji paham siapa “sahabat” yang dimaksud Hoa Bu-koat itu, bila membayangkan betapa kasih mesra ketika Thi Sim-lan makan nasi berkat bersama Hoa Bu-koat, sungguh akan meledak dada Siau-hi-ji dan hampir saja ia terjungkal ke bawah pohon saking gemasnya.

Terdengar Buyung San lagi berkata dengan tertawa gembira, “Bagiku kedua macam makanan itu bukan saja harus dipuji, bahkan selalu terkenang-kenang dan sukar dilupakan. Nah, untuk itulah apakah Kongcu sudi pergi ke Ankhing agar rasa pingin makanku dapatlah terpenuhi.”

Makin bicara makin aneh, malahan sekarang Hoa Bu-koat disuruh membelikan kudapan segala. Apakah mungkin inilah soal kedua yang harus dilaksanakan oleh Hoa Bu-koat. Memangnya nyonya muda ini sedang idam dan mendadak pingin makan makanan kecil khas tadi.

Hal ini rasanya terlalu tidak pantas, tapi juga terlalu mudah apabila harus dilakukan. Dengan sendirinya Hoa Bu-koat juga merasa heran. Tapi terhadap setiap permohonan perempuan selamanya dia tidak suka menolak, maka setelah melengak sekejap, akhirnya ia menjawab dengan tertawa.

“Bila Cayhe dapat bekerja sedikit bagi Nyonya, sungguh suatu kehormatan bagiku.”

“Tapi kedua macam makanan itu harus dimakan selagi masih hangat-hangat, kalau tidak rasanya tidak enak,” kata Buyung San pula.

Setelah berpikir sejenak, lalu Hoa Bu-koat menjawab, “Setelah kubeli dan bawa ke sini, mungkin masih hangat-hangat.”

“Namun kepergian Kongcu ini kaki tidak boleh menempel tanah, entah hal ini dapat dilakukan Kongcu atau tidak?” Buyung San menambahkan dengan tersenyum yang lebih manis.

Setelah mendengar ucapan ini barulah para pengunjung tahu di sinilah letak soal sulit yang dikemukakan pihak Buyung. Bahwa kedua kaki tidak boleh menempel tanah, lalu cara bagaimana orang dapat pergi pulang ke Ankhing untuk membelikan makanan? Padahal jarak Ankhing tidaklah dekat walaupun juga tidak jauh, sekalipun Ginkang Hoa Bu-koat mahatinggi juga dia tidak dapat terbang seperti burung. Akan tetapi tanpa pikir segera Hoa Bu-koat menyanggupi pula.

Tentu saja semua orang melengak heran, soal yang tidak mungkin dilakukan ini apakah betul dia sanggup melaksanakannya?

Namun Siau-hi-ji jadi geli dan ingin tertawa, katanya dalam hati, “Soal yang dikemukakan para nona Buyung ini semakin ngawur tidak keruan, bahwasanya kedua kaki tidak boleh menempel tanah, memangnya dia tidak dapat pergi dengan menumpang kereta atau naik kuda?”

Soal ini juga tipu muslihat yang licik, kalau Hoa Bu-koat tidak sanggup melakukannya dan Buyung San menjelaskan cara bagaimana pelaksanaannya, maka berarti kalahlah Hoa Bu-koat.

Dilihatnya Hoa Bu-koat telah menanggalkan sepatunya sehingga kelihatan kaus kakinya yang putih bersih.

“Apakah kaki Cayhe menempel tanah atau tidak dapat dibuktikan dengan kaus kakiku ini,” katanya kemudian dengan tertawa. Belum lenyap suaranya segera ia melayang ke depan dengan enteng.

Nyata dia tidak numpang kereta dan juga tidak naik kuda, tapi dia melayang ke atas sebatang pohon besar, di situ ia memotes dua potong ranting kayu, begitu ranting kayu itu menutul tanah, secepat terbang ia melayang sejauh tiga-empat tombak ke sana, waktu ranting kayu yang lain menutul tanah pula, tahu-tahu bayangan orang sudah berada belasan tombak jauhnya, terdengar suaranya berkumandang dari jauh, “Silakan Nyonya menunggu sebentar, segera Cayhe akan kembali ke sini.”

Hoa Bu-koat telah perlihatkan Ginkangnya yang sempurna, andaikan orang lain juga dapat menggunakan cara yang sama, tapi mustahil dapat pulang-pergi dalam waktu singkat dalam jarak puluhan li jauhnya.

Semua orang menjadi gempar juga dan ramai membicarakan cara “terbang” Hoa Bu-koat itu, mereka sangsi apakah anak muda itu dapat bertahan dengan cara begitu dalam jarak sedemikian jauhnya. Kakak beradik Buyung juga merasa tegang sehingga senyuman yang senantiasa menghias wajah mereka kini pun lenyap.

Sang waktu berlalu dengan cepat, selagi semua orang masih asyik membicarakan kepandaian Hoa Bu-koat, tertampak berkelebatnya bayangan orang di kejauhan, tahu-tahu Hoa Bu-koat sudah muncul, pada mulutnya terlihat menggigit sesuatu benda.

Sesudah dekat, begitu kedua ranting kayunya menutul tanah, seketika tubuhnya menegak terbalik, kakinya menghadap ke atas, sepasang kaus kakinya ternyata masih putih bersih tanpa berdebu setitik pun.

Serentak semua orang memuji, “Sungguh hebat. Hoa-kongcu benar-benar kaki tanpa menyentuh tanah dan telah pergi-pulang ke Ankhing satu kali.”

Di tengah sorak-sorai orang banyak, Hoa Bu-koat berjumpalitan lagi, kedua kakinya dengan tepat menyusup masuk sepatu yang ditinggalkannya tadi, ranting kayu dibuangnya lalu bungkusan yang digigitnya tadi disodorkan ke hadapan Buyung San, katanya dengan tertawa, “Syukur Cayhe tidak sampai mengecewakan kehendak nyonya, silakan dahar mumpung masih hangat.”

Tersembul senyuman ewa di bibir Buyung San, ia mengucapkan terima kasih dan menerima bungkusan itu. Setelah bungkusan itu dibuka, isinya memang betul nasi berkat dan kue bolu yang masih mengepul, terpaksa ia comot sepotong kue itu dan dimakan.

Meski bolu itu sangat legit dan harum, tapi di mulut Buyung San terasa rada-rada getir.

Ya, Hoa Bu-koat telah menggunakan cara bodoh pula, tapi Siau-hi-ji tidak dapat lagi mencemoohkan dia bodoh, malahan diam-diam ia pun merasa kagum.

Dengan cara “bodoh” yang pertama Hoa Bu-koat telah memperlihatkan tenaga dalam yang mengejutkan, kini dia menggunakan “cara bodoh” yang kedua untuk membuktikan Ginkangnya yang tiada bandingannya. Kalau saja dia tidak menggunakan cara bodoh begini, bisa jadi kini para penonton telah menimpuknya dengan kulit jeruk atau telur busuk disertai caci-maki.

Diam-diam Siau-hi-ji tersenyum kecut, pikirnya, “Agaknya seseorang terkadang lebih baik menjadi orang bodoh saja, kakak beradik Buyung ini justu terlalu pintar sehingga akhirnya mereka sendiri yang kecundang.”

Meski dia bicara tentang kakak beradik Buyung, padahal ia sendiri pun demikian, kalau saja terkadang dia bisa berubah bodoh sedikit tentu hidupnya akan berlangsung lebih gembira.

Dalam pada itu Buyung San sudah menghabiskan sepotong kue bolu, pada hakikatnya tak terbayang olehnya bahwa bolu yang legit dan lezat itu bisa berubah begini rasanya.

Hoa Bu-koat hanya saja, setelah Buyung San menghabiskan sepotong kue itu barulah dengan tertawa, “Dan apalagi soal ketiga itu?”

Siau-sian-li tidak sabar pula, teriaknya, “Ada sebuah pintu tertutup rapat, sekujur badanmu dilarang menyentuh daun pintu dan juga tidak boleh ditumbuk dengan suatu alat atau benda, nah, dapatkah kau masuk ke rumah itu?”

Ini benar-benar suatu soal yang mahasulit pula, para penonton tidak perlu khawatir lagi bagi Hoa Bu-koat, mereka tahu betapa sulitnya sesuatu persoalan pasti dapat dilaksanakan anak muda itu.

Diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli pula, pikirnya, “Soal ketiga ini lebih-lebih ngawur lagi, dia dilarang menyentuh daun pintu, memangnya dia tidak dapat masuk ke rumah melalui jendela?” Tapi kini ia pun tahu Hoa Bu-koat pasti takkan menggunakan cara demikian.

Dilihatnya Hoa Bu-koat berpikir sejenak, katanya kemudian, “Di sini tiada rumah, entah kereta ini ….”

“Kereta juga boleh,” kata Buyung Siang. “Asal saja kau tidak menyentuh pintu kereta dan dapat masuk ke situ, maka anggaplah kau menang.”

“Apakah betul demikan?” tanya Bu-koat sambil berpaling ke arah Buyung San.

Setelah berpikir, dengan tertawa Buyung San menjawab, “Ya, kereta dan rumah juga sama saja.”

“Bilamana Cayhe sudah melaksanakan soal ini, apakah nyonya akan punya soal lain lagi?” tanya Bu-koat dengan tersenyum.

Buyung Siang saling pandang sekejap dengan Buyung San, akhirnya yang tersebut belakangan ini berkata, “Apabila Kongcu dapat melaksanakan soal ketiga ini, segera juga kami akan angkat kaki dari sini.”

Hakikatnya dia tidak tahu lagi cara bagaimana harus mempersulit Hoa Bu-koat, untuk bertempur jelas-jelas juga bukan tandingannya, lalu mau apa lagi jika tidak angkat kaki?

“Jika demikian, silakan nyonya perhatikan ....” sembari berkata Bu-koat lantas melangkah ke arah keretanya.

Diam-diam Siau-hi-ji ragu-ragu, pikirnya, “Apakah dia mahir pukulan jarak jauh sehingga pintu kereta akan pecah tergetar oleh tenaga pukulannya? Ini kan terhitung juga tangannya tidak menyentuh pintu kereta?”

Di luar dugaan, setelah berada di depan keretanya, mendadak Bu-koat berkata, “Silakan buka pintu, nona Thi!”

Terdengar suara tertawa nyaring merdu menjawab di dalam kereta, “Baiklah!”

Semula para penonton tercengang heran, tapi kemudian meledaklah tertawa mereka, sampai-sampai Siau-hi-ji hampir ikut tertawa, tapi demi mendengar suara merdu itu, betapa pun ia tidak sanggup tertawa.

Kedua kakak beradik Buyung juga melenggong demi menyaksikan Hoa Bu-koat melangkah masuk ke keretanya dengan begitu saja.

Terdengar Hoa Bu-koat berkata di dalam kereta, “Sesuai syarat yang ditentukan Nyonya, sekarang Cayhe sudah masuk ke dalam kereta tanpa menyentuh pintu, apakah nyonya setuju bila aku dianggap menang.”

Kakak beradik Buyung sama melongo dan tak dapat menjawab, sedangkan para penonton tertawa terpingkal-pingkal.

Cara yang digunakan Hoa Bu-koat ini ternyata jauh lebih pintar dari pada jalan pikiran kakak beradik Buyung dan Siau-hi-ji, bahkan sukar untuk dibayangkan, tentu saja para penonton bersorak dan menyatakan kemenangan itu pantas diperoleh Hoa Bu-koat.

Wajah kakak beradik Buyung tampak pucat, kembali. Buyung Siang saling pandang dengan Buyung San. Betapa pun Buyung San hendak tersenyum juga terasa sukar lagi. Mendadak ia menggentakkan kaki, lalu membalik ke sana dan naik ke tandunya, segera Buyung San juga menyusul. Siau-sian-li melotot sekejap ke arah Kang Piat-ho, ucapnya dengan benci, “Jangan keburu gembira dulu, kau takkan hidup tenteram seterusnya.”

Kang Piat-ho hanya tersenyum tanpa menjawab. Kedelapan belas lelaki tadi lantas menggotong ketiga joli besar serta tiga joli kecil terus dilarikan keluar lembah.

“Kecerdikan dan ilmu silat Hoa-heng sungguh tiada bandingannya di dunia ini, sungguh Siaute sangat kagum,” ujar Kang Piat-ho dengan tertawa.

Serentak para pengunjung bersorak memuji pula, Hoa Bu-koat membalas hormat dari dalam kereta, lalu kereta dihela pergi di bawah sorak-sorai orang ramai.

Menyaksikan kepergian kereta itu, teringat pada Thi Sim-lan yang berada di dalam kereta, Siau-hi-ji jadi kesima, hatinya serasa dipuntir-puntir. Selang sejenak, mendadak ia berteriak sendiri, “Bilakah kupernah bersikap begini baik padanya? Mengapa aku harus menderita lantaran dia? Huh, persetan!”

Pada waktu Thi Sim-lan berada di sisinya sedikit pun Siau-hi-ji tidak merasakan sesuatu, tapi ketika nona itu berada di sisi orang lain, mendadak ia merasakan Thi Sim-lan jauh lebih penting daripada apa pun juga.

Ia sendiri tidak paham mengapa Thi Sim-lan bisa berubah sedemikian penting baginya, sebelum ini mimpi pun tak pernah terpikir olehnya bahwa dia akan merana lantaran si nona.

Ia merasa dirinya benar-benar tolol, pada hakikatnya sudah gila. Tapi tak diketahuinya bahwa orang gila dan orang tolol seperti dia ini masih banyak di dunia ini.

Manusia memang aneh, jika ada sesuatu yang tidak dapat diperolehnya akan dirasakannya baik, tapi bila sesuatu itu sudah diperolehnya justru tidak tahu cara menyayangi dan menghargainya. Bilamana kehilangan, ia menjadi menyesal pula.

Mungkin sebab itulah manusia selalu lebih banyak menderita daripada bahagia.

Begitulah sampai sekian lamanya Siau-hi-ji termangu-mangu ketika mendadak dilihatnya di tengah-tengah orang banyak itu lewat dua orang tinggi besar dan gemuk, barulah dia ingat janjinya kepada To Kiau-kiau.

Cepat ia lompat turun dari pohon dan menyusup ke sana, perlahan ia tepuk pundak “Lo Kiu” alias Auyang Ting, dengan cepat Auyang Ting menoleh, air mukanya tampak berubah.

Nyata orang gemuk ini senantiasa berjaga jaga terhadap seseorang. Itulah kalau orang berdosa, seperti maling yang khawatir tertangkap, betapa pun hidupnya tidak pernah aman dan tenteram.

Dengan tertawa Siau-hi-ji menegurnya, “Kenapa kau selalu tegang begini, tapi kau tetap gemuk saja dan tidak pernah kurus, sungguh aneh.”

Setelah mengenali Siau-hi-ji barulah Auyang Ting menampilkan senyuman, jawabnya, “Paling sulit mendapatkan kasih sayang si cantik, dan lantaran tidak pernah mendapatkan perhatian si cantik, terpaksa Cayhe mengalihkan perhatian dalam hal makanan, karena makan terus-menerus, dengan sendirinya badanku semakin gemuk.”

“Rupanya kalian sudah tahu bahwa nona itu telah kubawa pergi?” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Selain saudara, memangnya dia mau pergi dengan siapa?” ujar Auyang Ting.

“Cuma tak pernah kuduga bahwa saudara ternyata juga menaruh minat terhadap pelayan dungu itu sehingga membawanya serta,” dengan tertawa Auyang Tong menambahkan.

Kedua Auyang bersaudara ini bernama Ting dan Tong lantaran dalam segala hal mereka selalu main Swipoa sehingga berbunyi “ting-tong-ting-tong”, makanya mereka memakai nama yang berbunyi lantang begitu. Tapi sekali ini Swipoa mereka telah salah hitung, tidak terpikir oleh mereka bahwa si pelayan dungu itu sesungguhnya adalah samaran To Kiau-kiau, mereka mengira hilangnya pelayan itu pun digondol lari oleh Siau-hi-ji.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji tidak mau menjelaskan duduk perkaranya, dengan tertawa ia menjawab, “Lebih baik ada dari pada tidak ada, dua tentunya juga lebih baik daripada cuma satu, betul tidak?”

“Betul, betul,” seru Auyang Ting sambil berkeplok tertawa, “Ucapan saudara ini sungguh tepat dan cengli, setiap orang perlu ingat baik-baik jalan pikiranmu ini.”

Bahwasanya Auyang Ting berjuluk “Mengadu jiwa juga ingin untung”, tentu saja ucapan Siau-hi-ji sangat cocok dengan seleranya.

Begitulah sambil bersenda-gurau mereka terus keluar lembah dan mendekati tempat parkir kereta kuda To Kiau-kiau.

Mendadak Siau-hi-ji berhenti dan berkata, “Silakan kalian melanjutkan perjalanan, sampai berjumpa pula malam nanti.”

“Eh, jangan-jangan saudara hendak menemui si cantik lagi?” dengan tertawa Auyang Ting berseloroh.

Siau-hi-ji tersenyum misterius sambil menjawab, “Mungkin begitu ....” dan seperti tidak sengaja dia melirik sekejap ke arah kereta, lalu menambahkan, “Kenapa kalian tidak meneruskan perjalanan.”

Auyang Ting tertawa, jawabnya “Kami iseng dan menganggur, maka ingin mengobrol dengan saudara.”

Siau-hi-ji pura-pura gelisah, katanya, “Ah, aku masih harus pergi ke tempat lain, kalian ....”

“Haha, kukira saudara hendak pergi ke situ,” seru Auyang Tong. Pada saat itu juga Auyang Ting sudah lari ke arah kereta dan pintu kereta terus ditariknya, serunya sambil tertawa, “Ini dia, dugaanku ternyata tidak meleset, si cantik memang betul berada di sini.”

Dengan tertawa Auyang Tong lantas menambahkan, “Kata peribahasa, ‘Diberi buah Tho, balaslah dengan buah Le, paling tidak saudara kan sudah merasakan Tho manis pemberian kami, kalau sekarang engkau balas memberikan Le yang kecut kepada kami kan juga pantas.”

Bahwa kedua Auyang bersaudara ini yang satu berjuluk “Mengadu jiwa juga ingin cari untung” dan yang lain “Mati-matian juga tidak mau rugi”, sesuai julukan mereka, dengan sendirinya mereka merasa dirugikan ketika si cantik yang mereka temukan dengan susah payah itu dibawa lari orang, maka sedapatnya mereka ingin menarik kembali sedikit keuntungan, kalau tidak rasanya mereka tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Karena itulah tanpa permisi lagi kedua Auyang bersaudara lantas menerobos ke dalam kereta. Malahan Auyang Ting sempat berkata kepada Siau-hi-ji, “Ayolah, silakan saudara pun naik ke sini.”

“Ya, biarpun engkau mengusir juga kami takkan pergi,” kata Auyang Tong dengan tertawa.

Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli, pikirnya, “Kalian yang mati pun tidak mau rugi, tampaknya sebentar lagi pasti akan rugi habis-habisan.”

Tapi dengan lagak dongkol dan serba susah ia pun naik ke atas kereta, katanya dengan menyesal, “Tahu begini, tentu sejak tadi kuhindari kalian. Ya, apa mau dikatakan lagi, salahku sendiri menegur kalian, jadinya .... Ai, aku jadi keblinger sendiri.”

Begitulah kereta kuda itu lantas dilarikan ke depan dengan cepat. Semakin riang tertawa kedua orang gemuk itu, mereka duduk dengan “santai” di atas sok yang empuk, mereka tidak tahu bahwa orang yang duduk berhadapan itu adalah elmaut yang hendak merenggut jiwa mereka.

To Kiau-kiau sengaja duduk dengan menunduk seperti perempuan yang malu-malu kucing, padahal sebenarnya tidak ingin wajah aslinya dikenali kedua saudara kembar gendut itu.

Dengan tertawa Auyang Ting lantas berucap, “Wah, sehari tidak bertemu, tampaknya nona menjadi semakin cantik.”

Auyang Tong lantas menambahkan, “Seperti tanaman yang disiram air, dengan sendirinya kuntum bunga menjadi mekar dan tambah cantik, masakah teori begini saja kau tidak paham?!”

Biasanya kedua orang ini selalu berjaga jaga kalau disergap orang lain, tapi kini mereka duduk di dalam kereta, di belakang mereka adalah dinding kereta, tentunya mereka tidak perlu khawatir.

Walaupun Siau-hi-ji sudah tahu maksud tujuan To Kiau-kiau memancing kedua Auyang bersaudara ke dalam keretanya ini adalah untuk membikin perhitungan dengan mereka, cuma ia tidak tahu cara bagaimana sang “bibi” akan mengerjai mereka. Untuk bisa membekuk mereka harus sekali turun tangan dapat mengatasi mereka, kalau tidak mereka akan lolos, sedangkan kalau To Kiau-kiau hendak membekuk kedua orang itu sekaligus rasanya bukan pekerjaan yang mudah.

Dilihatnya To Kiau-kiau masih duduk dengan malu-malu kucing, tampaknya ia tidak terburu-buru turun tangan dan juga tiada maksud ingin minta bantuan Siau-hi-ji, sikapnya itu lebih mirip dia sudah mengatur sesuatu perangkap yang pasti akan berhasil dengan baik.

Siau-hi-ji merasa apa yang akan ditontonnya sekarang jauh lebih menarik daripada tadi, sungguh ia ingin menyaksikan dengan cara bagaimana To Kiau-kiau akan turun tangan dan cara bagaimana pula kedua Auyang bersaudara akan melawannya.

Kini kereta itu dihela lebih cepat dan sudah jauh meninggalkan khalayak ramai, akhirnya membelok ke tempat sepi.

“He, sarang simpananmu mengapa begini jauh?” tanya Auyang Ting tiba-tiba.

“Jika kau ingin makan buah Le, maka kau harus sabar sedikit,” jawab Siau-hi-ji tertawa.

“Betul, betul!” seru Auyang Tong dengan tertawa “Cuma ....”

Mendadak To Kiau-kiau angkat kepalanya dan berkata dengan genit, “Cuma buah Le ini rasanya terlalu kecut, kukira kalian tidak doyan.”

Serentak kedua Auyang Ting bersaudara melengak, samar-samar mereka sudah merasakan gelagat jelek.

Dengan terkekeh Auyang Ting menanggapi, “He, sejak kapan nona berubah menjadi pintar bicara?”

“O, sudah lama, kira-kira sejak dua puluh tahun yang lalu,” sahut To Kiau-kiau.

Air muka kedua Auyang bersaudara berubah seketika, segera mereka bermaksud melompat keluar kereta.

Diam-diam Siau-hi-ji membatin, “Ai, mengapa bibi To berlaku ceroboh begini, dengan ucapannya ini, kan sama saja seperti menyikap rumput mengejutkan ular?”

Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara “bek”, dari bawah jok kereta yang longgar dan empuk itu mendadak terjulur keluar empat buah tangan.

Mimpi pun kedua Auyang bersaudara tidak mengira akan terjadi begini, kejadian yang tiba-tiba sukar dihadapi, apalagi perubahan ini datangnya dari bawah pantat mereka.

Seketika kedua orang merasa ketiak mereka kesemutan, tahu-tahu lengan mereka sudah dicengkeram oleh keempat tangan itu, begitu kuat cengkeraman itu laksana belenggu sehingga sakitnya merasuk tulang, maka tak dapat berkutiklah mereka.

Sungguh kejut Auyang Ting tidak kepalang, bahkan ia menjadi ketakutan setengah mati, teriaknya dengan gemetar, “He, sau ... saudara mengapa ... mengapa begini ....”

Siau-hi-ji sendiri berkesiap dan geli pula, jawabnya dengan tertawa, “Ini bukan urusanku, jangan kalian tanya padaku.”

Auyang Ting menoleh ke arah To Kiau-kiau, tanyanya, “Apakah ini ke ... kehendak nona!”

“Habis siapa jika bukan aku?” jawab Kiau-kiau dengan tertawa. Bila ditanya orang, selamanya dia tidak menjawab “ya” atau “tidak”, tapi selalu balas bertanya, ini memang ciri pengenalnya.

Tentu saja air muka Auyang bersaudara menjadi pucat demi mendengar nada ucapan itu.

“Se ... sesungguhnya engkau ini siapa?” tanya Auyang Tong.

“Tadi kau tidak kenal padaku, betul, tapi kalau sekarang masih juga tidak kenal aku, ini namanya pura-pura bodoh,” ucap Kiau-kiau dengan tertawa.

“Mana ... mana kami kenal nona?” ujar Auyang Ting.

“Tidak kenal aku, mengapa menjadi ketakutan?” tanya Kiau-kiau.

“Takut?” Auyang Ting berlagak heran. “Memangnya takut siapa ....”

Dengan terkekeh-kekeh Auyang Tong lantas menambahkan, “Sudah tentu kami tahu nona cuma berkelekar saja dengan kami.”

“Ai, Auyang Ting dan Auyang Tong, apa gunanya biarpun kalian berlagak pilon?” ucap To Kiau-kiau.

“Auyang Ting itu siapa?” tanya Auyang Ting.

“Oya, kabarnya Auyang Ting itu kurus seperti cacing, haha ... haha ....” Auyang Tong menukas.

Begitulah dia hendak tertawa pula, tapi kulit mukanya serasa kaku. Dengan dingin To Kiau-kiau menatap mereka tanpa bicara.

Setelah terkekeh beberapa kali pula, mendadak Auyang Tong menatap saudaranya dan berseru, “He, bukankah kau ini Auyang Ting?”

“Sudah tentu aku Auyang Ting dan dengan sendirinya kau ini Auyang Tong,” jawab Auyang Ting. “Haha, lucu, sungguh lucu,” sambung Auyang Tong.

“Haha, kiranya kita ini adalah si Ting dan Tong Auyang bersaudara ....”

“Eh, To-toaci, apakah engkau juga merasa lucu? Si kurus ternyata bisa berubah menjadi si gendut,” tanya Auyang Ting.

“Kukira kalian terlalu banyak minum anggur kolesom,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Betul, betul, rasanya kami memang terlalu banyak minum anggur kolesom, haha !” sahut Auyang Ting.

Mendadak To Kiau-kiau mendelik, katanya dengan ketus, “Sekarang sudah waktunya kalian menumpahkan anggur kolesom yang kalian minum itu, bukan?”

“Ini ... haha ... haha ....”

“Itu ... hehe ... hehe ....”

Begitulah kedua orang terus “haha” dan “hehe” serta ini dan itu, tapi tidak mengucap apa-apa. Diam-diam Siau-hi-ji tahu pasti di dalam hati kedua orang ini sedang merancang akal busuk.

Pada saat itu juga tiba-tiba di bawah jok ada orang berkata dengan tertawa, “Wah, selama dua puluh tahun ini kedua Auyang bersaudara ini selain membesarkan tubuh mereka menjadi putih gemuk, agaknya mereka pun berhasil belajar caramu berhaha-hihi, kukira akan lebih tepat jika kau menerima mereka sebagai murid sekalian.”

Dari suaranya segera Siau-hi-ji dapat mengenalnya sebagai suara Pek Khay-sim.

Segera seorang menanggapi dengan tertawa ngakak, “Haha, jika benar kuterima mereka sebagai murid, wah, bisa jadi celanaku juga akan ditipu mereka dan nasibku bisa telanjang bulat. Haha ... hehe ....”

Dari suara “haha” yang lantang dan keras ini, jelas ialah si Budha tertawa Ha-ha-ji alias si “tertawa sambil menikam”.

Semula si Ting masih memeras otak mencari jalan buat meloloskan diri, tapi demi mendengar yang bicara di bawah jok itu ternyata kedua teman lama mereka maka putuslah harapan mereka untuk kabur. Kedua orang saling pandang sekejap dan segera hendak bangkit.

“Sungguh tak tersangka kami menduduki kedua kakak di bawah pantat, benar-benar berdosa besar,” ucap Auyang Ting sambil menyengir.

“Ah, tidak apa,” kata Pek Khay-sim di bawah jok. “To-toaci telah mengatur segalanya dengan baik, di bawah sini rasanya lebih menyenangkan daripada tidur di ranjang rumah sendiri, bahkan di sini tersedia pula arak dan daging segala ....”

“Tapi bila teringat pantat kalian justru berada di atas, sungguh aku menjadi muak dan tidak doyan makan, haha!” sambung Ha-ha-ji.

“Bila kalian tidak lepas tangan, tentu kami tidak mampu berdiri,” kata Auyang Tong. “Dan bila kami tidak berdiri, terpaksa kalian juga harus berjongkok terus di situ .... Eh, bagaimana baiknya, To-toaci?”

“Kenapa bingung?” jawab To Kiau-kiau tertawa. “Tumpahkan saja kolesom yang kalian makan dan segera mereka akan lepas tangan.”

“Kalau tidak biarlah kami sembelih kalian saja,” sambung Pek Khay-sim.

“Haha, boleh juga gagasan ini!” seru Ha-ha ji dengan tertawa.

Auyang Ting menghela napas, katanya, “Barang titipan To-toaci itu sebenarnya sudah lama akan kami antarkan ke Ok-jin-kok, cuma mendadak ….”

“Hilang, begitu bukan?” jengek To Kiau-kiau.

“Dugaan To-toaci memang tidak keliru,” ucap Auyang Ting dengan wajah seperti mau menangis. “Tahun berikutnya setelah kalian masuk Ok-jin-kok, barang titipan itu dirampas orang seluruhnya, karena khawatir dimarahi To-toaci, terpaksa ... terpaksa ....”

“Terpaksa kami sembunyi,” sambung Auyang Tong dengan menyesal.

Namun To Kiau-kiau sama sekali tidak terpengaruh oleh penuturan yang memelas itu, bahkan berkedip mata pun tidak, katanya dengan tenang, “Alasan ini memang masuk akal, tapi siapakah yang rebut barang itu?”

“Loh Tiong-tat,” jawab Auyang Ting dengan gegetun.

“Yaitu orang yang berjuluk Lam-thian-tayhiap, ialah yang hampir mengutungi kedua tangan Toh-lotoa ketika baru saja Toh-lotoa muncul di Kangouw dulu,” sambung Auyang Tong.

Mendadak To Kiau-kiau terkikih-kikih genit, katanya, “Ha-heng, menurut pendapatmu kebohongan mereka ini bagus atau tidak?”

“Haha, boleh juga,” ujar Ha-ha-ji. “Sudah jelas mereka tahu kita tidak mungkin pergi bertanya kepada Loh Tiong-tat.”

“Ini namanya mati tanpa saksi,” tukas Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Tapi ... tapi apa yang kukatakan itu semuanya benar,” seru Auyang Ting.

“Ya, bila bohong sepatah kata saja, biarlah kami dikutuk oleh langit dan bumi, biar mati tidak enak, pada jelmaan hidup berikutnya akan menitis menjadi babi gemuk dan dijadikan Ang-sio-bak untuk dahar Ha-heng,” sambung Auyang Tong.

Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli melihat cara bersumpah Auyang Tong yang gesit itu, jelas mereka anggap sumpah sebagai pidato dan sehari entah bersumpah berapa kali, kalau tidak masakah dapat bersumpah selancar itu.

Dilihatnya Kiau-kiau sedang menengadah tanpa menggubris ocehan kedua Auyang bersaudara, Ha-ha-ji dan Pek Khay-sim juga tidak bicara lagi di bawah jok, malahan terdengar suara keriat-keriut, agaknya mereka lagi asyik makan minum.

Auyang Ting dan Auyang Tong masih terus omong, tapi meski mulut mereka serasa kering dan butir keringat sebesar kedelai memenuhi dahi mereka tetap To Kiau-kiau tidak menggubris dan anggap tidak mendengar.

Makin menonton makin tertarik Siau-hi-ji, mestinya dia hendak tinggal pergi, tapi sekarang ia urungkan niatnya.

Pada saat itulah mendadak kereta berhenti, menyusul di luar jendela kereta lantas muncul seraut wajah yang putih pucat, begitu pucat sehingga hampir-hampir tembus cahaya.

Melihat muka itu, seketika kedua Auyang bersaudara seperti kena dicambuk sekali, sekujur badan mereka serasa kejang. Dengan suara terputus-putus Auyang Ting berkata, “Kiranya ... kiranya Toh-lotoa juga datang!”

Kalau tadi mereka masih mengoceh macam-macam, sekarang setelah melihat Toh Sat, seketika seperti tikus melihat kucing, bicara saja tidak terang, malahan Auyang Tong tidak sanggup bersuara lagi.

Melihat wajah dingin si tangan berdarah Toh Sat, entah mengapa timbul semacam rasa akrab di dalam hati Siau-hi-ji, segera ia menyapa, “He, paman Toh, baik-baikkah engkau?”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes