Wednesday, May 12, 2010

bp4_part2

“Baik?” jawab Toh Sat singkat. Dia hanya memandang Siau-hi-ji sekejap, sorot matanya yang dingin seakan-akan rada cair, tapi ketika ia menatap pula ke arah kedua Auyang bersaudara, hawa dingin tatapannya seketika bertambah tajam. “Cret”, mendadak sebuah kaitan baja menancap di jendela kereta.

Kaitan baja ini adalah “tangan” Toh Sat. Dia tarik pintu kereta tanpa bicara, tangan yang lain terus menggampar beruntun belasan kali di muka Auyang Tong, habis itu barulah berkata dengan ketus, “Hm, kau masih kenal padaku tidak?”

Kontan muka Auyang Tong merah bengkak seperti hati babi yang baru dirogoh keluar dari perut babi, tapi menjengek sedikit saja tidak berani, sebaliknya ia menjawab dengan menyengir, “Mana ... mana Siaute tidak ... tidak kenal lagi pada Toh-lotoa?”

“Hm, bagus juga kau!” jengek Toh Sat. Mendadak telapak tangannya memotong Hiat-to di dengkul Auyang Tong, menyusul dengan cara yang sama ia pun kerjai Auyang Ting, lalu ia membalik tubuh dan membentak dengan suaran begis, “Turun!”

“Tapi ... tapi kaki Siaute tidak dapat bergerak lagi, cara bagaimana bisa turun?” ratap Auyang Tong.

“Kaki tidak bisa bergerak, merangkak turun dengan tangan!” jengek Toh Sat.

Kedua Auyang saling pandang sekejap, benar juga, akhirnya mereka merangkak turun dengan munduk-munduk.

“Hihi, apa pun juga Toh-lotoa memang lebih hebat,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa. “Sampai-sampai kedua saudara Ting-tong kita juga takut padanya seperti tikus melihat kucing.”

“Ya, manusia yang semakin licin dan semakin buas, semakin mahir juga cara Toh-lotoa mengerjainya,” tukas Ha-ha-ji sambil menerobos keluar dari bawah jok kereta.

Kereta kuda itu ternyata berhenti di depan sebuah rumah yang sepi dan tak berpenghuni, kusir kereta tadi tidak kelihatan lagi.

Ha-ha-ji lantas memegangi tangan Siau-hi-ji, tanyanya dengan tertawa, “Hah, selama beberapa tahun berpisah, entah berapa banyak anak perempuan yang terpikat olehmu?”

“Kurang lebih cuma 300,” jawab Siau-hi-ji sambil main mata.

Ha-ha-ji menggablok pundak anak muda itu, serunya sambil terbahak-bahak, “Hahahaha! Belum cukup jumlah sekian, kau harus lebih giat lagi.”

“Tapi kalau kumain pikat terus, bisa jadi aku akan pendek umur,” kata Siau-hi-ji.

Mendadak ia menjulurkan sebelah kakinya sehingga Pek Khay-sim yang datang dari belakang itu kena dijegalnya hingga jatuh tersungkur.

Cepat Pek Khay-sim merangkak bangun, sama sekali ia tidak marah, bahkan berkata dengan tertawa, “Hah, agaknya kau tidak mau rugi dan tetap ingat padaku.”

“Bukan aku yang menjegalmu barusan ini, tapi Kang Piat-ho,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Sudahlah, kukerjai kau satu kali, kau pun pernah mengerjai aku satu kali, ditambah lagi sengkelitan barusan, maka bolehlah kita anggap seri saja?!” kata Pek Khay-sim.

“Hm, memangnya begitu enak? Masih ada lagi rentenya, tunggu saja nanti,” jawab Siau-hi-ji tertawa.

Pek Khay-sim garuk-garuk kepala, ucapnya dengan menyengir, “Begini saja payah bagiku, bila ada lagi, jiwaku bisa melayang?!”

“Haha, kau sendiri yang cari penyakit, orang lain tidak kau kerjai, tapi malah mengerjai dia, akhirnya baru kau tahu rasa,” Ha-ha-ji bergelak tertawa.

Beramai-ramai mereka lantas masuk ke rumah itu, tertampak ruangan tengah yang bobrok itu ada api unggun dan ada sebuah kuali di atas api, entah apa isinya. Selain itu ada pula beberapa mangkuk rusak yang tertaruh serabutan di lantai, seperti berisi rempah-rempah bila orang masak sayur. Seorang berjongkok di tepi api unggun, ternyata ialah si kusir tadi. Hawa sepanas ini, dia berjongkok lagi di dekat api unggun, tapi dahinya tidak tampak bekeringat sedikit pun. Masuknya orang banyak seakan-akan tidak diambil pusing olehnya.

Dengan tertawa To Kiau-kiau lantas berkata, “Siau-hi-ji, lekas menemui paman Li, selama beberapa tahun ini dia senantiasa mengenangkan dirimu, cuma yang dirindukan dia mungkin adalah dagingmu yang empuk untuk dimakannya.”

Siau-hi-ji tertawa dan berkata, “Tampaknya paman Li sedang marah!”

“Tapi dia bukan marah padamu,” ucap Ha-ha-ji. “Soalnya To-toaci menyuruh dia menjadi kusir, sebaliknya membiarkan Pek Khay-sim enak-enak tidur di dalam kereta, saking dongkolnya hampir saja perutnya meledak. Hahaha!”

Siau-hi-ji lantas mendekati Li Toa-jui dan menyapa, “Li-toasiok, janganlah engkau marah benar-benar, kalau marah, dagingnya akan berubah menjadi kecut.”

Li Toa-jui bergelak tawa, tangan Siau-hi-ji dipegangnya dan berkata, “Sungguh tak tersangka kau setan cilik ini masih ingat pada kalimat ini.”

“Kata-kata mutiara begini mana boleh kulupakan?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sementara kedua Auyang bersaudara telah merangkak masuk sambil merintih, tubuh mereka sudah berlepotan debu sehingga persis dua ekor babi gemuk yang habis mandi di kolam lumpur.

“Hahaha, selama dua puluh tahun ini untuk pertama kalinya kita berkumpul sebanyak ini,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa “Sungguh suatu pertemuan yang jarang terjadi, maka kita harus merayakannya dengan baik.”

“Tapi kalau orang-orang Kangouw mengetahui gerombolan kita ini berkumpul lagi di sini, entah bagaimana mereka akan berpikir?” ujar To Kiau-kiau.

“Haha, bisa jadi nyali mereka akan pecah semuanya,” tukas Ha-ha-ji.

“Wah, ingat, nyali (empedu) sekali-kali tidak boleh sampai pecah, kalau pecah dagingnya akan jadi pahit,” ujar Li Toa-jui dengan sungguh-sungguh. Dasar pemakan daging manusia, setiap bicara tidak pernah melupakan hobinya.

Biji mata Siau-hi-ji tampak mengerling kian kemari memandangi tokoh-tokoh Ok-jin-kok ini, terbayang kembali masa kanak-kanaknya dahulu, bagaimana perasaan sekarang sukarlah untuk dijelaskan.

Meski orang-orang ini tergolong Ok-jin atau orang jahat, tapi menurut pandangannya setiap orang ini sedikit banyak juga ada segi yang baik dan menyenangkan, sungguh jauh lebih baik dan menyenangkan daripada Kang Piat-ho yang munafik itu.

Kini, di antara Cap-toa-ok-jin atau sepuluh top penjahat ternyata ada tujuh orang berkumpul di sini, rasanya jarang ada kejadian lain yang lebih asyik dan menarik daripada adegan ini.

Sungguh Siau-hi-ji merasa sangat gembira, tapi bila melihat setiap tokoh ini serupa malaikat elmaut, setelah muncul kembali di dunia Kangouw, entah betapa banyak orang yang akan menjadi korban. Berpikir demikian, diam-diam ia jadi khawatir juga.

Selama beberapa tahun ini jalan pikirannya sudah berubah dibandingkan waktu dia baru meninggalkan Ok-jin-kok, ia merasa kalau orang baik diganggu orang jahat sungguh tidak adil. Betapa pun ia tidak dapat menyaksikan kejadian demikian, ia harus mencari akal untuk mencegahnya.

Terdengar To Kiau-kiau lagi berkata, “Kini kita hanya menunggu Im-lokiu saja, entah ada kejadian apa sehingga sampai saat ini belum muncul?”

“Tindak tanduk orang ini memang suka main sembunyi-sembunyi,” ujar Li Toa-jui. “Bisa jadi dia sudah datang, tapi sengaja sembunyi di sekitar sini dan menonton belaka.”

Auyang Ting merangkak di lantai dan menimbrung, “Dapat berkumpul kembali dengan para saudara, sungguh Siaute merasa sangat gembira.”

Cepat Auyang Tong menambahkan, “Ya, kita harus merayakannya dengan pesta besar.”

“Tapi milik kita sudah habis digelapkan oleh kalian, dari mana ada uang untuk bikin pesta segala?” kata To Kiau-kiau.

“Asalkan To-toaci melepaskan kami, pasti kami akan mencari orang she Loh itu, biarpun mati juga akan kami rampas kembali barang-barang itu,” kata Auyang Ting.

Belum habis ucapannya, mendadak kaitan baja Toh Sat telah menancap di pundaknya terus di angkat ke atas, keruan Auyang Ting menjerit seperti babi hendak disembelih, teriaknya, “Ampun! Toh-lotoa! Siaute bicara jujur, engkau mengampuni kami.”

“Di mana barang-barang itu? Katakan?” jengek Toh Sat.

“Be ... benar-benar telah dirampas Loh Tiong-tat ....”

“Plok”, belum lanjut ucapannya, kontan mulutnya ditonjok oleh kepalan Toh Sat sehingga darah tersembur dari mulutnya, bahkan berikut beberapa biji giginya.

To Kiau-kiau menjepit sepotong arang dengan capitan besi dan perlahan-lahan ditaruh di kuduk Auyang Tong, lalu katanya dengan tertawa genit, “Aku tidak setega Toh-lotoa dan tidak sampai hati memukul kau, tapi kalau kau tetap tidak mengaku, di sini masih banyak arang yang membara.”

Tentu saja Auyang Tong menggelepar di lantai kereta keselomot arang panas itu, dia berguling-guling ke dekat kaki Li Toa-jui dan berseru dengan suara serak, “Apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, Li-toako, sukalah mengingat per ... persaudaraan kita di masa lalu, tolonglah engkau mintakan ampun bagiku.”

“O, apakah To-toaci telah menyakitkan kau?” ucap Li Toa-jui menyesal.

“Ya, sakit ... sakit sekali,” ratap Auyang Tong.

“Mana yang sakit?” tanya Li Toa-jui.

“Sekujur badan sakit semua,” jawab Auyang Tong, “lebih ... lebih-lebih bagian kuduk sini ....”

“O, apakah daging ini?” tanya Li Toa-jui sambil meraba kuduknya.

“Iy ... iya, di situ!” keluh Auyang Tong.

“Baiklah, akan kupotong dagingmu ini, habis itu tentu tidak sakit lagi,” kata Li Toa-jui.

“He, Li-toako … Li ....” teriak Auyang Tong ketakutan.

Tapi Li Toa-jui lantas mengeluarkan sebilah belati dari celah-celah sepatunya, “sret”, kontan ia iris daging di kuduk Auyang Tong, lalu daging itu dipanggangnya di atas api unggun sambil bergumam, “Meski daging panggang tidak selezat daging Ang-sio, tapi kalau diberi sedikit merica dan garam rasanya boleh juga.”

Sembari bicara ia pun mencomot bumbu masak yang disebut itu dari kaleng-kaleng yang tersedia di samping dan ditaburnya di atas daging, lalu dipanggang lagi sejenak, kemudian daging itu benar-benar dimakannya dengan lahap.

Suara mencicit waktu daging itu dipanggang sudah cukup membuat Siau-hi-ji merinding, apa lagi didengar suara mengunyah Li Toa-jui laksana orang makan bistik, sungguh hampir saja ia tumpah. Bahkan Pek Khay-sim, To Kiau-kiau dan lain-lain juga melengos ke arah lain, tak berani melihat cara Li Toa-jui makan daging manusia itu.

“Uwaaak,” mendadak Auyang tong menumpahkan seluruh isi perutnya yang baru saja dimakannya semalam. Bahkan daging sendiri jelas disaksikannya lagi dimakan orang dengan lezatnya, betapa pun perasaannya sungguh sukar dilukiskan.

Sambil mengunyah Li Toa-jui sembari bergumam, “Selama ini tampaknya kungfumu tidak pernah kendur, buktinya dagingmu ini cukup keras dan gurih, jauh lebih enak daripada daging orang gemuk umumnya.”

Wajah Auyang Tong berlepotan debu campur darah, mulutnya melelehkan air kecut yang ditumpahkannya, mukanya sungguh memelas, sambil merangkak di lantai, akhirnya ia menangis tergerung-gerung.

Seorang besar begitu menangis sambil merangkak di lantai, bentuknya sungguh mengharukan bagi yang melihatnya. Tapi Li Toa-jui sama sekali tidak ambil pusing, mendadak ia mendekati Auyang Ting, katanya dengan tertawa, “Apakah badanmu juga kesakitan?”

“O, ti ... tidak, sedikit ... sedikit pun tidak sakit,” jawab Auyang Ting dengan gemetar.

“Kasihan, kau telah diajar Toh-lotoa sedemikian rupa, masa tidak kesakitan?” tanya Li Toa-jui sambil meraba-raba pipi orang.

Mendadak Auyang Ting menjerit ketakutan “Sung ... sungguh tidak sakit ....” tapi mendadak Li Toa-jui menjotosnya satu kali.

“Sekarang sakit tidak?” tanya Li Toa-jui dengan tertawa.

Mulut Auyang Ting jadi penuh darah dan tidak sanggup bersuara pula.

“Kini tentu sangat kesakitan bukan? Biarlah kusembuhkan kau,” kata Li Toa-jui dengan tertawa. “Sreet”, tiba-tiba ia iris juga sepotong daging dari pipi Auyang Ting, lalu dipanggang pula dan dimakan sambil mengomel, “He, aneh, dagingnya tampaknya memang seperti Ti-koa (hati babi), tapi mengapa tiada sedikit pun rasa Ti-koa? Ah, agaknya daging yang bengkak terpukul rasanya menjadi tidak enak. Eh, Siau-hi-ji, hal ini perlu kau ketahui juga.”

Biarpun sudah tahu kedua Auyang bersaudara itu jauh lebih busuk dari pada orang lain, tapi melihat keadaan mereka yang mengenaskan, mau tak mau Siau-hi-ji merasa tidak tega.

Selagi ia bermaksud menolong sekadarnya, tiba-tiba Auyang Ting berteriak, “Baiklah, akan kukatakan, barang itu masih tersimpan dengan baik, pada hakikatnya Loh Tiong-tat tidak pernah menjamahnya, tadi aku sengaja berdusta, harap kalian mengampuni diriku.”

Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, “Jelas kalian tahu akhirnya toh harus mengaku, kenapa tidak sejak tadi kalian katakan saja, tapi kalian lebih suka tersiksa dulu?”

“Memangnya mereka adalah manusia hina, kalau tidak dipaksa dan disiksa tak mau mengaku,” jengek To Kiau-kiau.

“Jika barangnya masih ada, di mana?” bentak Toh Sat.

“Bila ... bila kukatakan, apakah kalian tetap hendak membunuh kami?” tanya Auyang Ting dengan gemetar.

“Haha, kita kan seperti saudara sendiri, masa kami ingin membunuh kalian?” jawab Ha-ha ji.

“Kata-kata ini harus diucapkan Toh-lotoa barulah kami mau percaya,” pinta Auyang Tong.,

Biarpun terkenal kejam dan keji, namun Toh Sat terkenal suka pegang janji, tidak pernah dusta. Hal ini diketahui setiap orang Kangouw.

Maka terdengar Toh Sat menjengek, “Hm, bila kau katakan dengan baik, tentu kami takkan mencelakai jiwa kalian.”

Auyang Ting menghela napas lega, ucapnya, “Barang itu kami sembunyikan di suatu gua yang terletak di puncak Ku-san (bukit kura-kura) ....”

“Untuk itu Siaute bersedia membuatkan sebuah peta,” sambung Auyang Tong.

“Jika sejak tadi kalian menurut begini, tentu aku pun tidak perlu makan daging kalian yang busuk,” kata Li Toa-jui dengan gegetun.

Setelah peta selesai dibuat, semua orang sama bergirang, empat pasang tangan terjulur hendak menerima peta itu, tapi serentetan suara “plak-plok” lantas terdengar, yang ini menampar tangan sana dan yang sana memukul tangan yang ini, segera keempat pasang tangan itu tersurut mundur.

Hanya empat pasang tangan saja yang terjulur sebab tangan Toh Sat selain digunakan untuk membunuh orang tidak mau sembarangan dijulurkan.

Akhirnya Li Toa-jui berteriak, “Peta ini biarlah dipegang Toh-lotoa saja, selain dia tiada orang lain yang dapat kupercayai.”

“Benar, kecuali Toh-lotoa aku pun tidak percaya!” sambung seorang tiba-tiba dengan suaranya yang mengambang dari jauh dan tahu-tahu di luar jendela sudah bertambah sesosok bayangan orang.

“Haha, Im-lokiu memang cerdik, setelah kita berusaha susah payah setengah hari barulah dia muncul untuk ikut ambil bagian,” seru Ha-ha-ji.

“Hm, kalian bersusah payah, memangnya aku tidak?” jengek Im Kiu-yu, si setengah setan setengah manusia.

“Kau susah payah apa? Memangnya kau tergoda oleh setan dan tak dapat melepaskan diri?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Aku memang ketemu setan,” jawab Im Kiu-yu sekata demi sekata.

“Setan apa? Setan kepala besar atau setan gantung?” tanya Ha-ha-ji.

Sinar mata Im Kiu-yu mengerling ke arah Siau-hi-ji, mendadak ia tertawa seram, katanya, “Eh, Siau-hi-ji, coba terka, setan apa?”

“Setan yang dapat membuatmu ketakutan kukira tidak banyak, tapi manusia yang kau takuti kurasa memang ada satu ....” ucap Siau-hi-ji.

Mendadak To Kiau-kiau melonjak dan berteriak, “He, jangan-jangan kau kepergok Yan Lam-thian?!”

Im Kiu-yu menyeringai seram, jawabnya, “Jika aku kepergok, memangnya aku dapat datang ke sini? Aku memang melihat dia menunggang kuda gagah perkasa, tampaknya jauh lebih bersemangat daripada dahulu.”

Girang dan kejut Siau-hi-ji mendengar keterangan ini. Air muka To Kiau-kiau, Ha-ha-ji, Pek Khay-sim dan Li Toa-jui juga berubah semua.

“Sekarang ... sekarang dia menuju ke mana?” teriak To Kiau-kiau sambil memburu maju.

“Dari mana kutahu dia hendak pergi ke mana?” jawab Im Kiu-yu. “Bisa jadi sedang menuju ke sini.”

Kata-kata- ini membuat tokoh-tokoh Cap-toa-ok-jin yang termasyhur di seluruh dunia ini menjadi tidak tenteram. Li Toa-jui yang pertama berdiri, ucapnya, “Di sini memang bukan tempat tinggal yang baik, marilah kita pergi saja.”

“Sudah tentu kita harus pergi, kukagum kepada siapa yang tidak mau pergi,” kata Ha-ha-ji.

“Harap ... harap kalian membawa serta kami,” mohon Auyang Ting dengan suara gemetar. “Kami ... kami juga tidak ingin melihat Yan Lam-thian.”

“Yan Lam-thian, hanya setan yang ingin menemui dia,” tukas Pek Khay-sim.

Nama “Yan Lam-thian” seakan-akan membawa daya pengaruh yang maha besar sehingga tokoh-tokoh yang biasanya tidak kenal apa artinya takut ini juga ngeri mendengar namanya.

Diam-diam Siau-hi-ji bergirang dan terkejut serta kagum pula, pikirnya, “Seorang kalau dapat hidup seperti Yan Lam-thian barulah ada artinya …. Biasanya aku menganggap diriku ini luar biasa, lain daripada yang lain, tapi kalau dibandingkan beliau diriku ini menjadi bukan apa-apa lagi.”

Akan tetapi Yan Lam-thian kan juga manusia, apa yang dapat diperbuat Yan Lam-thian mengapa tak dapat dilakukan Siau-hi-ji? Dalam hal apakah Siau-hi-ji tidak dapat menyamai orang?

Seketika pikiran Siau-hi-ji jadi bergolak dan berontak, tiba-tiba ia merasa putus asa dan patah semangat, tapi mendadak pula darah bergelora dan timbul semangat ksatrianya ....

Mendadak didengarnya jeritan Auyang Ting disertai mengucurnya darah segar, sebelah lengannya dan sebuah pahanya telah ditebas mentah-mentah oleh To Kiau-kiau.

Dengan suara serak Auyang Tong berteriak, “Toh-lotoa, engkau sudah ... sudah berjanji takkan … takkan ….”

“Toh-lotoa hanya berjanji takkan mencabut nyawa kalian, tapi kan tidak pernah berjanji lain-lainnya?” kata Kiau-kiau dengan tertawa, sambil bicara kembali sebelah lengan dan sebuah kaki Auyang Tong ditabasnya pula, habis itu satu kaleng penuh gula pasir terus dituang ke tubuh mereka.

Kedua Auyang bersaudara itu tahu sebentar lagi berjuta-juta semut pasti akan terpancing tiba oleh gula pasir itu, tatkala mana mereka akan beratus kali lebih tersiksa daripada sekarang ini.

Segera Auyang Tong berteriak, “Lebih baik kau bu ... bunuh saja kami!”

Tapi To Kiau-kiau menjawab dengan tertawa “Toh-lotoa sudah berjanji takkan mencabut nyawa kalian, mana boleh kubunuh kalian.”

“Keji benar kau, ke ... kejam amat kau!” teriak Auyang Ting dengan menggereget.

To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya, “Begini caramu bicara, tapi bila aku yang jatuh di tangan kalian, bukan mustahil kalian akan berlaku sepuluh kali lebih kejam daripadaku.” Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa menoleh pula.

Teriakan ngeri kedua Auyang bersaudara itu seakan-seakan tidak didengar oleh siapa pun juga.

Sementara itu sang surya sudah hampir terbenam, Siau-hi-ji berdiri di bawah cahaya senja menyaksikan kepergian rombongan To Kiau-kiau, sebelum berpisah para tokoh Cap-toa-ok-jin itu sama berbicara dengan anak muda itu, tapi apa yang dikatakan mereka tidak diperhatikan sungguh-sungguh oleh Siau-hi-ji, yang diketahui adalah mereka hendak pergi ke Ku-san, Siau-hi-ji tidak di suruh ikut, Siau-hi-ji sendiri juga tidak ingin ikut. Ia cuma ingat pesan mereka, “Awas terhadap Yan Lam-thian, usahakan menumbangkan pengaruh Kang Piat-ho. Terasa kurang leluasa jika kau ikut pergi bersama kami, biarlah kelak kami akan datang mencari kau.”

Siau-hi-ji tidak menaruh perhatian pada pesan mereka itu, soalnya hatinya sedang bimbang, entah sejak kapan pikirannya mendadak penuh diisi oleh nama “Yan Lam-thian”.

“Yan Lam-thian, mengapa aku tidak dapat belajar seperti Yan Lam-thian? tapi malah belajar seperti To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan sebangsanya? Tatkala kubenci pada seseorang, mengapa aku tak dapat meniru Yan Lam-thian, carilah orang itu dan bertempur secara terang-terangan dengan dia, tapi malah meniru caranya To Kiau-kiau dan lain-lain, hanya mengganggu secara diam-diam?!”

Hidup seorang lelaki sejati, seharusnya kalau benci ya benci, suka ya suka, apa yang ingin dilakukan segera lakukan saja, siapa pun tak dapat merintanginya.

Sayup-sayup masih terdengar jeritan ngeri Auyang bersaudara yang terbawa angin lalu.

Mendadak Siau-hi-ji memutar balik menuju ke rumah bobrok yang sepi itu.

Kedua orang gemuk itu masih menggeletak di tengah genangan darah, beribu-ribu dan berjuta-juta semut tampak merubung tiba dari segenap penjuru, penderitaan kedua orang itu sungguh sukar untuk dilukiskan.

Ketika melihat Siau-hi-ji, dengan suara terputus-putus mereka berteriak, “To ... tolong, sudilah engkau mem ... membantuku, bacoklah kami masing-masing satu kali, mati pun kami ... merasa berterima kasih padamu!”

Siau-hi-ji menghela napas, tiba-tiba ia angkat kedua orang itu keluar, ia mendapatkan sebuah sumur, di situlah ia cuci badan mereka dari kerumunan semut.

Sungguh mimpi pun kedua Auyang bersaudara tidak pernah menyangka anak muda itu akan menolong mereka, mereka pandang Siau-hi-ji dengan melenggong, penuh rasa kejut, bingung dan juga terima kasih.

“Kalian tentu heran mengapa mendadak aku berubah welas asih bukan?” gumam Siau-hi-ji. “Meski kutahu kalian ini bukan manusia baik-baik, tapi melihat cara kalian mati tersiksa begini sungguh hatiku tidak tega.”

Auyang Ting menatapnya dengan tajam, katanya kemudian, “Jika engkau suka menyelamatkan kami, tentu ... tentu kami akan membalas budi kebaikanmu ini secara setimpal.”

“Asalkan kalian dapat hidup, tentu akan kutolong tanpa mengharapkan balas jasa apa pun,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Auyang Ting memandangnya dengan sorot mata heran seolah-olah tidak pernah kenal anak muda ini. Mendadak ia berkata, “Harta karun itu sebenarnya tidak tersimpan di Ku-san.”

Ucapan yang tiba-tiba ini membuat Siau-hi-ji tercengang, ia menegas, “Tidak tersimpan di Ku-san katamu?”

Wajah Auyang Ting yang tadinya membuat setiap orang merasa kasihan bila melihatnya itu kini mendadak menggereget. “Ya, ketika kukatakan hal ini tadi tentu tiada seorang pun yang menyangka keteranganku adalah palsu. Nah, justru kuharap mereka akan berpikir demikian, kalau tidak masakah kawanan setan iblis itu dapat tertipu olehku?”

“Paling-paling mereka cuma kembali dengan tangan hampa saja, bukan sesuatu tipuan yang luar biasa?” ujar Siau-hi-ji.

Walaupun Auyang Tong tadi berkelejetan di lantai saking kesakitan, tapi sekarang dia masih dapat bergelak tawa dan berkata, “Hahaha, tipu kami masa cuma membuat mereka pulang-pergi dengan tangan hampa belaka?”

“Hm, sekali ini biarpun mereka dapat pulang dengan hidup, sedikitnya setengah nyawa mereka pun akan kecantol di Ku-san,” tukas Auyang Ting dengan menyeringai.

“Sebab apa?” Siau-hi-ji mengernyit kening.

Auyang Tong terkekeh-kekeh, katanya, “Sebab tempat yang kami katakan itu sebenarnya tiada tersimpan harta karun segala, yang ada cuma seorang iblis jahat, sudah lama sekali iblis itu tidak tampil di muka umum, mimpi pun mereka takkan menyangka iblis itu justru sembunyi di Ku-san sana.”

“Mereka cuma tahu betapa menakutkannya Yan Lam-thian, tapi tidak tahu iblis itu sesungguhnya berpuluh kali lebih menakutkan daripada Yan Lam-thian,” demikian tutur Auyang Ting. “Cap-toa-ok-jin kalau dibandingkan iblis itu boleh diibaratkan anak kecil berbanding orang tua.”

“Mengapa aku tidak tahu di dunia masih ada manusia begitu?” tanya Siau-hi-ji.

“Hal-hal yang tidak kau ketahui masih cukup banyak,” ujar Auyang Tong.

“Umpama kami harus mati, tapi mereka pun tak bisa tenang,” kata Auyang Ting. “Bila ketemu iblis itu, penderitaan mereka mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada kami.”

“Kalau kalian sudah akan mati, untuk apa mesti membikin susah orang lain?” Siau-hi-ji menggeleng seraya tersenyum.

“Soalnya kutahu mereka toh takkan melepaskan kami, biarlah menderita dan bertambah tersiksa juga akan kami seret mereka ke dalam lumpur, aku Auyang Ting biarpun mengadu jiwa juga ingin mendapatkan untung,” kata Auyang Ting dengan tertawa.

“Ya, jiwa kami berdua mendapatkan imbalan lima jiwa mereka, jual beli ini cukup menguntungkan, aku Auyang Tong memang mati pun tidak mau rugi,” tukas Auyang Tong dengan terbahak.

Dalam keadaan menderita dan kesakitan, tapi suara tertawa kedua orang ini entah betapa gembiranya, tidak saja melupakan semua siksaan, bahkan mati dan hidup juga terlupakan seluruhnya.

Siau-hi-ji merinding sendiri melihat cara mereka bergelimpangan menahan sakit di samping tertawa gembira pula, ia menggeleng kepala dan tersenyum getir, katanya, “Manusia macam kalian ini sungguh jarang ada, pada hakikatnya kalian ini bukan lantaran akan mati maka ingin membikin susah orang lain, tapi lebih suka mati demi membikin susah orang lain.”

Dilihatnya kedua bersaudara yang lebih suka membikin susah orang ini mulai lemah suara tertawanya, Auyang Ting menggelinding ke samping Auyang Tong dan bertanya, “Lotoa, apakah kita benar-benar hendak beritahu bocah ini tempat penyimpanan harta karun itu?”

“Pembawaan bocah ini bukanlah orang baik-baik, setelah mendapat harta karun kita itu pasti tidak sedikit orang yang akan dicelakainya. Biar kita sudah mati, tapi harta yang kita tinggalkan masih dapat dimanfaatkan oleh bocah ini, bukanlah ini pun suatu hasil karya kita yang gemilang?” ujar Auyang Ting.

“Betul, betul,” seru Auyang Tong tertawa. “Betapa pun Lotoa memang ... memang lebih pintar daripadaku ....” dia tertawa terus dengan tubuh mengejang, suara bicaranya juga terputus-putus.

“Kata orang, manusia yang akan mati ucapnya tentu juga bajik, tapi ajal kalian sudah dekat, nyatanya tetap tidak mau mengucapkan beberapa patah kata yang baik,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Hidup jadi orang ... jahat, setelah mati juga ... juga akan menjadi setan jahat ....” kata Auyang Tong dengan menyeringai.

“Biarpun kuberitahu, tempat penyimpanan harta karun yang sesungguhnya ialah berada di ... di kota Hankau, di gang Pat-po pada rumah nomor tiga di ujung sebelah kanan yang berpintu warna kuning,” tutur Auyang Tong.

Dengan terkekeh-kekeh Auyang Ting menyambung, “Mereka sama mengira tempat penyembunyian harta karun itu pasti di suatu gua sepi dan jarang didatangi manusia, tapi tak tersangka bahwa kami justru menyimpan harta itu di suatu tempat yang ramai, di tengah kota yang penuh penduduk sehingga mimpi pun tak terduga oleh mereka.”

Suara mereka makin lama makin lemah sehingga hampir tak jelas lagi, luka mereka pun mulai mengering dan tidak mengalirkan darah pula.

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa dan berkata, “Baiklah, sekarang boleh kalian menjadi setan jahat saja, cuma jangan lupa, jadi setan jahat harus masuk neraka, di sana pun kalian akan disiksa, mungkin terlebih menderita daripada sekarang.”

Suara kedua Auyang bersaudara serentak berhenti, seketika terbayang oleh mereka adegan di neraka yang menyeramkan itu, ada bukit bergolok dan wajan minyak mendidih yang sedang menantikan kedatangan mereka.

Sekonyong-konyong tubuh Auyang Tong meringkal jadi satu, teriaknya dengan histeris, “Tidak, aku bukan orang jahat ... aku pun tidak ingin menjadi setan jahat ... aku tidak ... tidak mau masuk neraka.”

Baru saja Auyang Ting masih bergelak tertawa, kini air mata sudah bercucuran, ratapnya, “Ampun, kumohon pertolonganmu, ampunilah kami.”

“Aku pun ingin mengampuni kalian, cuma sayang aku bukan Giam-lo-ong (raja akhirat),” ucap Siau-hi-ji.

“Tolong bantulah kami, gunakanlah harta karun kami itu untuk melakukan sesuatu yang mulia bagi kami,” seru Auyang Tong.

“Betul, sudah terlalu banyak perbuatan busuk yang kami lakukan, sudilah engkau berbuat sesuatu sekadar menebus dosa kami,” sambung Auyang Ting.

“Sungguh aneh, ada sementara orang mengira dengan uangnya yang busuk akan dapat digunakan menebus dosanya, jalan pikiran ini bukankah teramat naif? Sebab kalau benar demikian adanya, bukankah surga akan menjadi milik orang yang beruang dan si miskin harus masuk neraka seluruhnya?”

Mendadak kedua Auyang bersaudara meratap, “Tolonglah, sudikah engkau membantu kami!”

“Kalian sudah takut,” tanya Siau-hi-ji.

Sekujur badan mereka sama gemetar dan tidak sanggup bersuara pula, mereka hanya mengangguk saja sekuatnya.

Siau-hi-ji menggeleng-geleng, katanya, “Bilamana seluruh orang jahat di dunia ini menyaksikan keadaan kalian sekarang ini, mungkin selanjutnya akan banyak berkurang manusia yang berani berbuat jahat.” Setelah menghela napas gegetun, lalu ia menyambung, “Tapi apa pun juga pasti akan kucoba, biarpun kalian menyesal sesudah terlambat, namun toh lebih baik daripada sama sekali tidak mau menyesal. Nah, kalian boleh mangkat dengan hati lega.”

Dalam hidup ini setiap orang kebanyakan mempunyai satu hari yang khusus pantas untuk dikenangkan. Siau-hi-ji juga mempunyai hari kenang-kenangan demikian.

Selama seharian ini mendadak Siau-hi-ji menemukan banyak persoalan yang sebelum ini tidak pernah dipikirkan dengan mendalam walaupun juga tidak asing lagi baginya.

Sehari ini pun berharga untuk dikenang sekalipun bagi Siau-hi-ji yang banyak ragam dan gayanya itu, dalam sehari ini ia telah mengalami rasa duka dan kecewa yang takkan terjadi di kemudian hari, jika sebelum ini dia masih tergolong anak-anak, maka sehari ini telah membuatnya dewasa.

Apa pun juga akhirnya hari ini telah lalu pula, kini Siau-hi-ji telah mencuci bersih mukanya, ia membeli seperangkat pakaian warna biru langit, setelah berdandan dan bercermin, ia merasa cukup puas akan diri sendiri.

Walaupun sudah sehari semalam tidak tidur, tapi selama ini semangat tak pernah sebaik sekarang, hanya perutnya saja yang berkeruyukan minta diisi. Maka ia mencari sebuah rumah makan yang terkenal enak dan dahar sekenyangnya.

Rumah makan yang besar ini ada berpuluh buah meja, semuanya sudah penuh tamu, kebanyakan adalah tokoh-tokoh dunia persilatan, rupanya orang-orang Kangouw yang datang kemari itu belum banyak yang meninggalkan Ankhing.

Orang-orang Kangouw ini paling gemar makan, suka makan enak, berani bayar, cara mereka membuang uang sama seperti uang didapatkan dari mencuri atau merampok. Dan juragan restoran mana pun paling suka pada tetamu yang demikian ini.

Dengan perasaan menikmati tontonan, Siau-hi-ji menyaksikan cara orang-orang Kangouw itu makan dan minum, ia merasa orang-orang yang kelihatan kasar-kasar itu juga ada segi-segi yang menyenangkan.

Didengarnya seorang di meja sebelah sana sedang berkata dengan tertawa, “Wah, malam nanti tentunya Au-heng juga akan hadir di Cong-goan-lau itu.”

Orang yang dipanggil “Au-heng” (saudara Au) itu bergelak tawa dan menjawab, “Ya, syukur Kang-tayhiap menghargai diriku dan juga mengirim sehelai undangan padaku, dengan sendirinya malam nanti Cayhe akan hadir di restoran ini untuk meramaikan suasana.”

Orang she Au ini sengaja bicara dengan suara keras, benar saja sorot mata dari berbagai arah seketika tertumpah kepadanya dengan rasa kagum dan juga iri.

Menyusul ada beberapa orang lain juga mengeluarkan kartu undangan masing-masing untuk pamer, orang yang tidak dapat memperlihatkan kartu undangan menjadi merah mukanya dan juga ada yang pucat. Bahwasanya Kang-lam-tayhiap menjamu tamu dan mereka tidak diundang, tentu saja mereka merasa malu.

Geli dan dongkol juga Siau-hi-ji menyaksikan semua itu. Bahwa Kang Piat-ho masih punya muka untuk pesta pora dan tamu yang diundang justru merasa bangga, ini benar-benar membuat dada Siau-hi-ji hampir meledak.

Tiba-tiba seorang yang duduk dekat jendela sana berkata dengan heran, “He, katanya malam ini Kang-tayhiap menjamu tamu untuk merayakan kemenangan Hoa-kongcu, tapi sekarang mengapa Hoa-kongcu akan pergi? Memangnya dia tidak mau beri muka kepada Kang-tayhiap?”

“Hoa-kongcu dan Kang-tayhiap adalah sahabat sehidup semati, Hoa-kongcu tidak segan berkorban bagi Kang-tayhiap sekalipun harus menghadapi bahaya, masa beliau malah tidak mau memberi muka kepada Kang-tayhiap?” demikian seorang lagi menanggapi.

“Ah, hari ini cuaca cerah dan hawa sejuk, Hoa-kongcu hanya membawa pacarnya melancong keluar kota, masa beliau benar-benar akan pergi begitu saja?” ujar orang ketiga.

Siau-hi-ji juga duduk dekat jendela, tanpa terasa ia pun melongok keluar. Dilihatnya sebuah kereta kuda sedang datang dari timur sana, tirai jendela tersingkap, samar-samar kelihatan bayangan si cantik berambut panjang gombyok.

Tertampak pula Hoa Bu-koat dengan gagahnya naik kuda dengan pelana mengkilat mengiring di samping kereta dan kadang-kadang bersenda gurau dengan penumpang di dalam kereta.

Siau-hi-ji jadi terkesima menyaksikan itu.

Sementara itu tetamu restoran itu sudah sama merubung di depan jendela, maka terdengar pula suara kagum dan takjub di sana-sini, bahkan ada lagi yang menyapa, “Selamat, Hoa-kongcu!”

Hoa Bu-koat mendongak dan membalas dengan senyuman tawar. Setiap orang si atas loteng restoran itu khawatir dirinya tidak terlihat tokoh muda itu, maka semuanya berusaha menjulurkan kepalanya masing-masing. Tapi Siau-hi-ji justru sebaliknya, kepalanya mengkeret ke dalam malah, khawatir dilihat oleh Hoa Bu-koat.

Setelah kereta Hoa Bu-koat itu lewat ke sana dan semua orang kembali ke tempat duduk masing-masing, tapi Siau-hi-ji masih temangu-mangu di tempatnya, tiba-tiba ia bergumam, “Caraku main sembunyi-sembunyi begini menghindari dia entah harus berlangsung sampai kapan? Memangnya selamanya aku harus menghindari dia?” berpikir sampai di sini, mendadak ia berbangkit terus lari ke bawah.

Apabila Siau-hi-ji sudah berpikir harus mengerjakan sesuatu, maka bagaimana akibatnya sama sekali tak terpikir lagi olehnya. Rupanya ini memang sifat keturunan ayah-ibunya.

Maklumlah, bilamana Kang Hong dan Hoa Goat-loh (ayah dan ibu Siau-hi-ji) tidak mempunyai sifat begitu, tentunya dahulu mereka takkan melarikan diri dari Ih-hoa-kiong tanpa memikirkan segala akibatnya! Orang she Kang kalau sudah ingin mengerjakan sesuatu, mati pun pasti akan dilaksanakannya, bila dia sudah mencintai seseorang, mati pun dia tetap mencintainya. Kang Hong itu tampaknya halus dan lemah, tapi wataknya lebih keras daripada baja.

Dalam hal ini Siau-hi-ji ternyata serupa dengan sang ayah. Begitulah dia terus memburu ke arah kereta Hoa Bu-koat.

Hakikatnya Siau-hi-ji tidak peduli bahwa dirinya sedang menjadi sasaran pandangan orang yang berlalu-lalang dengan terheran-heran karena melihat dia berlari-lari sepanjang jalan. Maka hanya sebentar saja dia sudah dapat menyusul kereta kuda Hoa Bu-koat tadi.

Tatkala mana kereta itu sudah hampir ke luar kota, terdengar Hoa Bu-koat lagi berkata dengan tertawa, “Sudah beberapa hari engkau merasa masygul, maka perlu kita melancong keluar kota untuk menghirup hawa segar ....”

Pada saat itulah tiba-tiba seorang berteriak dari belakang, “Berhenti dulu, Hoa Bu-koat!”

Tentu saja Hoa Bu-koat mengernyit kening dan menahan kudanya, baru saja kepala Thi Sim-lan sedikit menongol keluar, dengan cepat Siau-hi-ji sudah melayang tiba.

Munculnya Siau-hi-ji secara mendadak sudah tentu membuat Thi Sim-lan melongo terkejut, bahkan Hoa Bu-koat juga melengak dan hampir-hampir tidak percaya pada mata sendiri.

Sedapatnya Siau-hi-ji menahan perasaannya dan sama sekali tidak memandang sekejap pun ke arah Thi Sim-lan, ia cuma menatap Hoa Bu-koat tanpa berkedip, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, tentunya kau tidak menyangka aku akan mencarimu bukan?”

“Ya, memang tak tersangka,” jawab Bu-koat. Ia seperti mau tertawa, tapi entah mengapa, ternyata tidak dapat tertawa.

“Kau kira kedatanganku ini untuk mengantarkan kematian bukan?” tanya pula Siau-hi-ji.

“Betul,” jawab Bu-koat sambil menghela napas.

“Kau memang orang jujur dan suka terus terang, tapi semua ini lantaran kau menganggap dirimu jagoan dan tidak gentar terhadap siapa pun juga, makanya kau tidak perlu pura-pura, begitu bukan?”

Tampak sinar mata Hoa Bu-koat berkelebat, tapi dia tetap menjawab dengan hambar, “Ya, betul!”

Menghadapi orang demikian, betapa pun Siau-hi-ji tidak sanggup tertawa lagi, teriaknya pula, “Jika kau bertekad akan membunuhku, mengapa kau tidak mencari diriku, tapi malah menunggu aku mencarimu?”

“Aku sendiri sebenarnya tidak ingin membunuhmu,” jawab Hoa Bu-koat dengan tenang, “sebab itulah aku tidak terburu-buru mencarimu. Tapi sekarang setelah kulihat dirimu, mau tak mau aku harus membunuhmu.”

Pada saat ini juga Thi Sim-lan baru tersadar dari kagetnya tadi, mendadak ia membuka pintu kereta dan menerobos keluar serta mengadang di depan Siau-hi-ji sambil berseru, “Sekali ini dia sendiri yang datang mencarimu, adalah tidak layak bila engkau membunuhnya.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji mendorong dengan kuat sehingga Thi Sim-lan tertolak ke sana dan hampir menumbuk pada pintu kereta.

Air muka Hoa Bu-koat tampak berubah, tapi ia tetap bisa menahan diri dan tidak mau membuka suara.

Sambil menatap Siau-hi-ji, Thi Sim-lan berseru dengan suara gemetar, “Meng ... mengapa engkau bersikap demikian padaku?”

Tapi sama sekali Siau-hi-ji tidak memandang nona itu, ia melototi Hoa Bu-koat dan mendengus, “Hm, kabarnya nona Thi ini adalah bakal istrimu, mengapa dia sengaja ikut campur urusanku? Padahal sama sekali aku tidak kenal siapa dia?”

Thi Sim-lan menggigit bibir dengan kuat, meski bibirnya sampai berdarah, meski air mata sudah meleleh, tapi dia tetap berdiri di situ.

Bagaimanapun Siau-hi-ji berbuat kasar terhadapnya, asal dia melihat anak muda itu, mau tak mau ia ingin mendekatinya, biarpun Siau-hi-ji menghalaunya dengan cambuk juga sukar mengusirnya.

Pedih hati Hoa Bu-koat, sedapatnya ia tidak memandang Thi Sim-lan, katanya dengan hambar kepada Siau-hi-ji, “Apakah sekali ini kau tidak perlu bantuan orang lain lagi?”

Siau-hi-ji menengadah dan bergelak tertawa, jawabnya, “Jika kuperlu bantuan orang mengapa kudatang mencarimu?” mendadak ia berhenti tertawa dan berteriak, “Kau sendiri juga tahu, orang macam diriku ini tidaklah mungkin datang untuk mengantar kematian belaka, lantas untuk apakah kudatang kemari? Soal ini tentu membuatmu heran bukan?”

“Ya, aku memang heran,” ucap Bu-koat.

“Bahwa kau bertekad ingin membunuhku, tapi selalu gagal, sampai-sampai aku pun merasa cemas bagimu. Apalagi yang kau pikir hanya ingin membunuhku saja, mungkin kau tidak tahu bahwa aku pun ingin membinasakan kau.”

“Kau takkan mampu membunuhku,” kata Bu-koat.

”Kau anggap aku tidak mampu membunuhmu, tapi aku pun yakin kau tidak dapat membunuhku, jika keadaan begitu terus berlarut-larut, setelah dua ratus tahun lagi entah akhirnya kau yang benar atau aku yang tepat. Bahwa hatiku gelisah, mungkin kau terlebih gelisah daripadaku. Sebab itulah sekarang kudatang ke sini, tujuanku adalah untuk mengadakan pemberesan denganmu.”

“Kau ingin membereskannya dengan cara bagaimana?” tanya Bu-koat dengan tersenyum.

“Asalkan kau menentukan suatu tempat, tiga bulan kemudian kupasti menemui kau di sana untuk mengadakan pertarungan menentukan, sebelum salah satu pihak kalah atau mati, siapa pun tidak boleh lari.”

“Tentunya kau tahu tidak mungkin aku lari,” ucap Bu-koat dengan tersenyum tawar.

“Jadi kau setuju?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, setuju,” jawab Bu-koat.

Siau-hi-ji menghela napas lega, katanya pula, “Tapi sebelum janji waktu tiga bulan tiba, biarpun bertemu dengan aku juga kau harus pura-pura tidak tahu, lebih-lebih tidak boleh menyatroni aku lebih dulu.”

Bu-koat termenung tanpa menjawab.

Dengan suara keras Siau-hi-ji lantas menyambung, “Jika aku tidak datang mencari kau, selama tiga bulan ini jelas kau pun tak dapat menemukan diriku. Jadi syarat yang kukemukakan ini tidak merugikanmu, mengapa kau tidak berani menerimanya?”

“Di balik syaratmu ini kupikir pasti ada tipu muslihat lain,” kata Hoa Bu-koat perlahan.

“Jadi kau tidak ... tidak setuju?” Siau-hi-ji menegas dengan melotot.

Mendadak Hoa Bu-koat memutar kudanya dan berkata, “Baik, tiga bulan kemudian aku akan berada di Bu-han, di sana kau pasti dapat menjumpaiku.”

“Bagus, sedemikian kupercaya padaku, aku pasti takkan mengecewakanmu” seru Siau-hi-ji, habis berkata segera ia pun membalik tubuh dan bertindak pergi dengan langkah lebar.

Thi Sim-lan berharap anak muda itu akan menoleh dan memandangnya sekejap, tapi Siau-hi-ji tetap tidak berpaling sama sekali, sampai bayangan anak muda itu sudah lenyap di kejauhan, Thi Sim-lan masih berdiri termangu-mangu di situ.

Dengan tenang Hoa Bu-koat menunggu di atas kudanya tanpa mengusiknya. Di samping mereka orang berlalu lalang, setiap orang sama memandang mereka dengan heran karena penunggang kuda dan penumpang kereta berhenti di situ. Sudah tentu tiada yang tahu bahwa meski mereka berhenti di situ, namun hati mereka telah melayang jauh ke sana.

Entah berselang berapa lama lagi, kemudian perlahan-lahan Thi Sim-lan naik ke atas keretanya, pintu kereta ditariknya, dilihatnya Bu-koat masih tetap bertengger di atas kudanya, bagaimana perasaannya sungguh sukar dilukiskan.

Si kusir kereta tidak tahu kedua muda-mudi itu sedang bertengkar urusan apa, setelah menunggu sekian lama dan akhirnya si nona masuk lagi ke dalam kereta, segera ia bersuit dan menghela keretanya keluar kota.

Maksud tujuan Hoa Bu-koat mengajak Thi Sim-lan pesiar keluar kota adalah untuk menghibur si nona, tapi kini setelah keluar kota perasaan kedua orang menjadi kusut dan sukar dipecahkan.

Berulang-ulang Thi Sim-lan menggulung tirai kereta, lalu diturunkan lagi, meski pemandangan alam di luar kota seindah lukisan, namun tiada minatnya lagi buat menikmatinya.

Sais kereta itu merasa serba susah oleh suasana dingin itu, ia bertanya mengiring senyum, “Nona dan Kongcu hendak ke mana?”

Hoa Bu-koat tidak bersuara, sekenanya ia angkat cambuk menuding ke depan.

Di depan sana tampak semak-semak bunga beraneka warna sedang mekar semerbak, sebuah sungai kecil mengalir di samping pepohonan berbunga, air sungai tampak berkilauan di bawah cahaya sang surya menjelang musim rontok.

Di kejauhan sana ada seorang lelaki rudin sedang berjemur sambil berbaring di tepi sungai, kicau burung dengan harum bunga, rumput hijau menyelimuti bumi laksana permadani.

Bu-koat lompat turun dari kudanya dan berdiri termangu-mangu di bawah pohon yang berbunga, angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya yang cakap itu, pakaiannya yang serba putih melambai perlahan tertiup angin, mengapa dia tidak melanjutkan perjalanan?

Perlahan-lahan Thi Sim-lan membuka pintu kereta dan turun, ia berjalan di atas tanah berumput halus dan memandangi bayangan punggung Hoa Bu-koat, ia pun termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia berucap, “Sudah jelas tahu di balik usulnya itu pasti ada tipu muslihatnya, tapi mengapa engkau menerimanya?”

Hoa Bu-koat seperti menghela napas, tapi tidak menoleh dan juga tidak mau menjawab.

“Apakah karena aku?” tanya Sim-lan dengan lirih.

Hoa Bu-koat menggeleng, seperti mau bicara sesuatu tapi urung.

Thi Sim-lan melangkah lewat samping Hoa Bu-koat, ia petik setangkai bunga dari ranting pohon yang melambai rendah, bunga yang tak diketahui apa namanya itu diremasnya hingga hancur, mendadak ia berpaling menghadapi anak muda itu dan berkata, “Mengapa engkau tidak bicara?”

“Bungkam bukankah terkadang lebih baik daripada bicara?” akhirnya Bu-koat berucap dengan tersenyum hambar.

Thi Sim-lan menunduk, katanya, “Tapi kutahu dalam hatimu banyak yang hendak kau katakan, bila kau katakan rasanya hatiku akan lega malah.”

“Apa yang hendak kukatakan bukankah sudah kau ketahui seluruhnya?” kata Bu-koat.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan memutar tubuh ke samping, katanya, “Selama dua tahun ini engkau senantiasa menjaga diriku, jika tiada engkau tentu sejak dulu aku telah mati, selama hidupku tiada orang sebaik ini terhadap diriku seperti engkau.”

Bu-koat memandangi rambut di belakang leher si nona yang bergerak-gerak terusap angin itu tanpa menjawab.

Si nona menghela napas perlahan, lalu berkata pula, “Selama hidupku ini juga tiada orang sebusuk padaku seperti dia itu, tapi ... tapi entah mengapa, bila melihat dia pikiranku menjadi kusut dan tak berdaya.”

Bu-koat memejamkan mata, katanya, “Kata-kata ini sebenarnya tidak perlu kau katakan padaku.”

Bahu Thi Sim-lan rada gemetar, ucapnya, “Aku pun tidak tahu apakah kata-kata ini pantas kukatakan atau tidak, tapi bila tidak kukatakan terus terang, hatiku terasa susah dan merasa berdosa padamu.”

“Mana dapat aku menyalahkan engkau? Mana pula engkau berdosa padaku?” ucap Bu-koat dengan suara halus.

“Mengapa ... mengapa engkau tidak marah padaku? Mengapa engkau tetap begini baik padaku? Kau ... kau ....” mendadak Thi Sim-lan mendekap batang pohon dan menangis terisak-isak.

Akhirnya Hoa Bu-koat mementang matanya dan mendekati si nona, seperti ingin membelai rambutnya, tapi tangan baru terjulur segera ditarik kembali, ia menengadah melihat cuaca, setelah menghela napas perlahan, lalu berkata, “Hari sudah petang, marilah kita pulang saja.”

Di kejauhan sana si lelaki rudin tadi tampak menggeliat kemalas-malasan, tiba-tiba ia menggerundel, “Masih muda belia, hanya sedikit soal kecil lantas susah dan merasa tersiksa, bila kalian sudah dewasa, tentu akan tahu di dunia ini masih banyak urusan lain yang jauh lebih menderita.”

Sebenarnya Hoa Bu-koat tidak menaruh perhatian padanya, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa percakapannya dengan suara lirih di sini dapat didengar orang itu dari jarak sejauh itu.

Malahan Thi Sim-lan juga melengak, ia berhenti menangis dan berpaling ke sana.

Tampak lelaki rudin itu menguap dan mendadak melompat bangun.

Mendingan kalau dia tetap berbaring di situ, begitu dia berdiri, seketika Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan terkejut.

Sungguh tak tersangka orang yang berbaring seperti kelaparan itu setelah berbangkit ternyata begini gagah dan tangkas, biji matanya memancarkan sinar tajam, kedipannya seakan-akan kilat berkelebat.

Jelas kelihatan mukanya yang halus, alis tebal dan wajah kotor mengkilap kehijau-hijauan, sekilas pandang sukar juga untuk diketahui berapa usianya.

Sejak tampil di Kangouw, ksatria mana pun di dunia ini hampir tiada yang terpandang oleh Hoa Bu-koat, tapi entah mengapa, lelaki rudin yang kelamas-malasan ini seakan-akan memiliki daya tarik yang sukar dilukiskan, meski perawakannya tidak terlalu tinggi besar, tapi siapa pun yang berhadapan dengan dia tentu akan merasa dirinya sendiri teramat kecil. Sinar matanya yang gemerdep juga membuat orang tak berani menatapnya.

Ketika melihat Hoa Bu-koat, agaknya lelaki itu pun terkesiap, ia bergumam perlahan, “Jangan-jangan dia inilah? Kalau tidak masa begini mirip? Urusan orang lain boleh kubiarkan, tapi dia ... mana boleh kutinggal diam dan tidak membantu melaksanakan keinginannya.”

Bu-koat dan Sim-lan tidak mendengar apa yang digumamkannya, dalam pada itu lelaki itu pun melangkah ke sini dengan lamban, jalannya juga kemalas-malasan dan sangat lambat. Tapi aneh, hanya kelihatan dia melangkah beberapa tindak saja tahu-tahu ia sudah berada di depan Hoa Bu-koat.

Baru sekarang Bu-koat dapat melihatnya dengan jelas. Ternyata pakaian yang dipakainya semula berwarna hitam tapi sudah luntur sehingga lebih tepat dikatakan berwarna kelabu. Kaki memakai kasut rumput buntut, tangannya besar-besar dengan otot yang tampak merongkol, sedemikian panjang tangannya, sehingga hampir melampaui dengkul. Pinggang terikat seutas tali rumput, tapi pada tali pinggang itu terselip sebatang pedang yang sudah karatan.

Lelaki itu pun mengawasi Hoa Bu-koat dengan teliti, dari kepala ke kaki, lalu dari bawah ke atas, tiba-tiba ia tertawa dan bertanya, “Apakah hatimu sangat menyukai nona ini?”

Sudah tentu Hoa Bu-koat tidak pernah menyangka akan ditanya demikian, ia jadi melengak dan tergegap, “Aku ... aku ....”

“Kalau suka ya bilang suka, tidak suka katakan tidak suka, seorang lelaki sejati kenapa kata-kata demikian saja tidak berani diucapkan?” bentak lelaki itu dengan berkerut kening.

Sejak kecil hingga sebesar ini belum pernah ada orang bicara sekasar ini kepada Hoa Bu-koat, maka ia jadi melengak pula dan tidak menjawab. Dahi orang itu terkerut lebih kencang, katanya, “Hm, kau bilang diam lebih baik daripada bicara segala, semuanya itu kentut belaka. Coba jawab, bilamana kau tidak bicara, dari mana orang akan tahu kau menyukai dia?”

Mau tak mau muka Hoa Bu-koat menjadi merah dan lebih-lebih tidak sanggup bersuara. Bila orang lain bicara demikian padanya tentu akan dianggapnya sebagai kurang sopan, tapi entah mengapa, kata-kata yang diucapkan lelaki ini baginya terasa membawa semangat jantan dan menyentuh kalbunya.

Muka Thi Sim-lan juga merah mendengar kata-kata lelaki itu, tiba-tiba ia menimbrung, “Ada sementara kata-kata yang tidak perlu diucapkannya, tapi kutahu isi hatinya.”

Orang itu terbahak-bahak sambil menatap Thi Sim-lan dengan sorot matanya yang tajam, katanya, “Bagus, bagus sekali, tak tersangka kau lebih terus terang daripada dia, anak perempuan macam begini, jangankan dia, bahkan aku pun rada-rada suka.”

Jika orang lain berkata demikian di hadapannya, bukan mustahil akan dipersen beberapa kali gamparan kontan oleh Thi Sim-lan. Tapi kini si nona hanya menunduk saja, sedikit pun tidak marah.

Dengan tertawa lelaki itu berkata pula, “Jika demikian, jadi kau memang tahu dia menyukaimu?”

“Ya, kutahu,” jawab Sim-lan dengan tabahkan hati.

“Dan kau sendiri menyukai dia atau tidak?”

“Aku bukan ....” Sim-lan merandek dan memandang Hoa Bu-koat sekejap, lalu menunduk dan melanjutkan, “... bukannya aku tidak suka, cuma ....”

Tanpa menunggu habis ucapan si nona, kembali orang itu bergelak tertawa dan berkata, “Jika bukannya tidak suka, itu artinya suka. Dan kalau kalian sama-sama suka maka biarlah aku yang ‘Coem-lang’ (perantara) dan sekarang juga kalian boleh menikah di sini.”

Sudah tentu ucapan ini membuat Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan terkejut.

“He, apakah tuan ini berkelakar?” seru Hoa Bu-koat dengan muka merah.

Tapi orang itu jadi mendelik, teriaknya, “Masa urusan begini boleh dibuat berkelakar? Lihatlah tempat seindah ini, burung berkicau merdu dan bunga mekar semerbak, angin meniup sejuk dan cuaca cerah, jika kalian kawin sekarang juga di sini bukankah jauh lebih baik daripada di tempat lain?”

Makin omong makin gembira orang itu, kembali ia terbahak-bahak, lalu menyambung pula, “Cahaya lilin mana bisa menandingi gemilangnya sinar sang surya, permadani apa pun di dunia ini masa dapat melebihi rumput halus menghijau begini, kalian boleh segera menyembah kepada langit dan bumi di bawah cahaya matahari dan di atas tanah berumput ini, sungguh merupakan peristiwa bahagia bagi orang hidup, bahkan aku pun ikut merasa sangat gembira.”

Bu-koat hanya mendengarkan ocehan orang itu, ia sendiri menjadi bimbang dan entah harus girang atau mesti marah. Thi Sim-lan juga berdiri melenggong dan serba kikuk. Meski dia hendak menolak, tapi merasa tidak tega melukai hati Hoa Bu-koat.

Melihat sikap si nona, tiba-tiba Bu-koat berkata, “Walaupun Tuan bermaksud baik, namun sayang kami tidak dapat menurut.”

Mendadak orang itu berhenti tertawa, katanya dengan melotot, “Kau tidak mau menurut?”

“Ya,” jawab Bu-koat sambil menarik napas panjang.

Orang itu menjadi marah, dampratnya, “Jika kau suka padanya, mengapa kau tidak mau menikahi dia?”

“Soalnya ... Cayhe ....”

“Aha, tahulah aku,” mendadak orang itu bergelak tertawa pula, “Yang benar bukan tidak mau, soalnya kau khawatir dia yang tidak mau. Tapi dia kan tidak berkata apa-apa, mengapa kau khawatir?”

Hoa Bu-koat berpikir sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Ada juga kata-kata yang tidak perlu kuutarakan.”

Orang itu menghela napas, katanya, “Sudah jelas kau sangat suka padanya, tapi demi dia, kau lebih suka keraskan hatimu dan tidak mau menurut usulku. Lelaki yang berperasaan begini sungguh tiada malu sebagai putranya ayahmu.”

Bu-koat tidak paham apa arti ucapannya ini, sedangkan orang itu lantas melototi Thi Sim-lan dan berkata pula, “Lelaki seperti dia tidak kau nikahi memangnya kau pilih lelaki mana?”

Sim-lan menunduk, jawabnya, “Aku ... bukan ... cuma ....”

“Kalian masih muda belia, mengapa cara kerja kalian sekonyol ini dan membuat kumarah saja,” bentak orang itu dengan gusar. “Pokoknya kau harus menurut, aku tak peduli bagaimana pikiran kalian, yang pasti lekas kalian berlutut dan menikah di hadapanku, jika ada yang berani ‘tidak mau’ segera kubunuh kalian berdua agar kelak kalian tidak perlu hidup tersiksa.”

Walaupun tahu sikap kasar orang itu timbul dari maksud baiknya, tapi Hoa Bu-koat menjadi gusar juga, jengeknya, “Hm, sudah banyak orang aneh yang kujumpai, tapi belum pernah ada yang memaksa orang menikah cara begini.”

“Kau berkata demikian, mungkin kau kira aku tidak mampu membunuhmu bukan?” tanya orang itu.

Baru saja habis ucapannya, sekonyong-konyong ia lolos pedang di pinggang terus membabat ke batang pohon di sebelahnya. Pedangnya kelihatan karatan dan lebih mirip besi rongsokan, jangankan buat menabas pohon, buat memotong sayur saja rasanya kurang tajam.

Siapa tahu, begitu pedangnya menyambar lewat, “cret”, tahu-tahu batang pohon sepelukan manusia itu putus menjadi dua dan roboh bergemuruh.

Meski sudah tahu ilmu silat orang ini pasti sangat tinggi, tapi sama sekali tak terpikir oleh Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat bahwa kekuatan pedang orang itu bisa sedahsyat ini.

“Nah, kalian sudah lihat,” jengek orang itu sambil melirik hina. “Pedang ini meski berkarat, tapi untuk membunuh dua bocah yang tidak menurut kata kiranya tidaklah sukar. Nah, sekarang kalian mau menurut tidak?”

Thi Sim-lan menjadi khawatir kalau-kalau Hoa Bu-koat mengucapkan kata yang menyinggung perasaan orang pula, maklumlah ilmu silat orang aneh ini sukar diukur, betapa pun Hoa Bu-koat pasti juga bukan tandingannya.

Pada dasarnya hati Thi Sim-lan memang bajik dan mulia, meski dia tidak ingin Siau-hi-ji dilukai Hoa Bu-koat, tapi ia pun tidak suka melihat orang lain melukai Hoa Bu-koat. Maka sebelum Bu-koat buka suara, cepat ia mendahului berkata, “Baiklah, aku menurut.”

Orang aneh itu terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, memang seharusnya demikian. Kalian yang satu cakap dan yang lain ayu, memang satu pasangan yang setimpal. Biarpun sekarang kalian habis bertengkar, tapi setelah kawin tentu kalian akan saling cinta-mencintai, tatkala mana kalian pasti akan berterima kasih padaku.”

“Tapi aku tidak mau,” tiba-tiba Bu-koat berucap.

“Aneh, dia sendiri sudah menurut, kenapa kau malah tidak mau?” tanya orang itu heran.

Bu-koat tahu kemauan Thi Sim-lan tidak sukarela, karena itu semakin merasuk cintanya terhadap Thi Sim-lan, dia tidak mau memaksa kehendak si nona.

Tapi selamanya dia tidak suka mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan, makin berpikir di dalam hati, makin dingin pula lahirnya, padahal di dalam darahnya tersembunyi cinta yang membara, tapi setitik pun tak diperlihatkannya.

Maklumlah, soalnya dia adalah keturunan orang yang berperasaan paling hangat di dunia ini, tapi dibesarkan di samping manusia yang berperasaan paling dingin di dunia ini.

Begitulah Hoa Bu-koat lantas menjawab pula dengan dingin, “Kalau aku tidak mau ya tetap tidak mau, jika engkau ingin membunuhku boleh silakan turun tangan saja.”

“Apakah ... apakah kau tidak suka padaku?” tiba-tiba Thi Sim-lan berseru.

Hoa Bu-koat tidak mau memandang lagi pada si nona biarpun sekejap saja. Tampaknya dia tiada persamaan sedikit pun dengan Siau-hi-ji, tapi kalau sudah gondok, nyatanya kedua anak muda itu serupa benar.

Dengan melotot orang itu bertanya pula, “Jadi kau lebih suka menderita selama hidup dan tetap tidak mau menurut.”

“Ya, pasti tidak,” jawab Hoa Bu-koat tegas.

“Baik!” bentak orang itu. “Daripada hidupmu kelak merana, lebih baik sekarang juga kubunuh kau.” Begitu pedang berkelebat, kontan dia tusuk dada Hoa Bu-koat.

Dengan sendirinya serangannya tidak menggunakan seluruh tenaganya, tapi betapa cepat dan kuatnya, rasanya tiada seorang pun di dunia persilatan ini sanggup memadainya.

Thi Sim-lan berdiri jauh di sebelah sana, tapi merasakan napas sesak oleh getaran hawa pedang yang kuat itu, apalagi Hoa Bu-koat yang harus menghadapi serangannya.

Terdengarlah suara “cret” sekali, meski Bu-koat sempat mengelakkan serangan itu, namun kopiah yang mengikat rambutnya itu telah putus tergetar oleh hawa pedang, seketika rambutnya terurai serabutan.

Betapa hebat daya tusukan pedang itu, sungguh tak terperikan. Keruan Thi Sim-lan menjerit kaget, “He, berhenti dulu, Cianpwe. Sebabnya dia tidak mau menurut adalah demi diriku karena dalam batin sesungguhnya aku memang tidak mau. Jika Cianpwe hendak membunuh, harap aku saja yang kau bunuh!”

Dalam kaget dan khawatirnya tanpa terasa Thi Sim-lan telah membeberkan isi hatinya yang sesungguhnya. Seketika hati Hoa Bu-koat terasa sakit, sekonyong-konyong ia melancarkan tiga kali serangan, tanpa pikir akibatnya dia terus menerjang ke tengah sinar pedang lawan.

Tak terduga orang itu berbalik menarik kembali pedangnya, katanya dengan tertawa, “Orang she Kang memang rata-rata berwatak seperti kerbau, cuma kau terlebih bodoh daripada ayahmu. Coba pikir, bilamana dia tidak mau menurut dan memang tidak suka padamu, masa dia sudi mati bagimu?”

Hoa Bu-koat melengak dan menegas, “Siapa yang she Kang?”

“Kau tidak she Kang?” orang itu pun melenggong.

Thi Sim-lan juga tercengang, katanya, “Dengan sendirinya dia tidak she Kang, dia bernama Hoa Bu-koat.”

Orang itu garuk-garuk kepala dengan penuh rasa heran, gumamnya, “Jadi kau tidak she Kang? Ini benar-benar sangat aneh, pada hakikatnya dari kepala sampai kaki kau mirip benar seorang she Kang, sungguh kau dan dia seperti pinang dibelah menjadi dua.”

Hoa Bu-koat jadi lupa menyerang lagi, ia merasa orang aneh ini barangkali berpenyakit syaraf.

Tiba-tiba orang itu menghela napas, katanya sambil menyengir, “Karena kau tidak she Kang, maka kalian mau menikah atau tidak bukan urusanku lagi, bila kalian mau pergi juga bolehlah silakan.”

Habis berkata ia benar-benar tidak ikut campur apa-apa lagi terus membalik ke sana sambil menggerutu.

Bu-koat saling pandang dengan Thi Sim-lan, mereka menjadi bingung.

Terdengar orang aneh itu sedang mengomel sendirian, “Anak muda itu ternyata bukan Kang Siau-hi, sungguh aneh bin heran ....”

Kejut dan girang Thi Sim-lan, tanpa terasa ia berseru, “He, apakah Cianpwe mengira dia ini Kang Siau-hi, maka engkau memaksa kami menikah?”

Orang itu menjawab dengan acuh tak acuh, “Walaupun aku tidak tega melihat kalian tersiksa karena urusan cinta, tapi kalau bukan lantaran kusangka dia ini Siau-hi-ji, sesungguhnya aku pun tidak mau ikut campur urusan orang lain.”

Thi Sim-lan jadi tertawa geli, sebenarnya ia ingin berkata, “Tahukah bahwa justru lantaran Kang Siau-hi, makanya aku tidak mau menikah dengan dia.” Tapi dia pandang Hoa Bu-koat sekejap, dan kata-kata itu tidak jadi diucapkannya.

Hoa Bu-koat berdiri mematung dan entah bagaimana perasaannya.

Tiba-tiba orang tadi menoleh, ia pandang Thi Sim-lan, lalu pandang Hoa Bu-koat pula, mendadak ia tertawa dan berkata, “Haha, tahulah aku, ya tahulah aku sekarang. Kiranya orang paling busuk yang kusebut itu ialah Kang Siau-hi. Sebenarnya kalian berdua bisa jadi suami istri, tapi lantaran Kang Siau-hi, urusan jadinya begini.”

Thi Sim-lan menghela napas perlahan dan menunduk.

Orang itu ketuk-ketuk kepala sendiri dengan perlahan, ucapnya dengan tertawa, “Sebenarnya maksudku hanya ingin membantu, siapa tahu berbalik membikin urusan ini tambah runyam ....”

Maklumlah, selama hidupnya cuma tekun meyakinkan ilmu pedang, ditambah lagi sepanjang tahun terus-menerus berkecimpung kian kemari di dunia Kangouw, selamanya tak pernah memahami bagaimana rasanya cinta kasih antar muda-mudi.

Dia pernah malang melintang di dunia ini, betapa hebat dan tinggi ilmu silat apa pun bila berada di depannya akan berubah menjadi sangat sederhana, sekali pandang saja segera ia sanggup memecahkannya. Tapi ia tidak tahu tentang “cinta” yang jauh lebih ruwet daripada ilmu pedang yang paling tinggi di dunia ini dan tidak mungkin dipecahkannya dengan sekali pandang saja.

Hoa Bu-koat menjadi gusar dan pedih demi mendengar suara tertawa orang aneh itu, mendadak ia berteriak, “Memangnya kau ingin pergi begitu saja?”

“Kalau tidak pergi, lalu aku bisa berbuat apa?” kata orang itu gegetun.

“Aku masih ingin belajar kenal silatmu,” kata Bu-koat ketus.

“Ya, kutahu perasaanmu tidak enak, biarlah kau pukul dua kali diriku supaya rasa marahmu terlampias,” ujar orang itu dengan tertawa.

“Sekalipun ilmu silatmu tiada tandingannya di kolong langit ini juga tidak mungkin dapat menahan pukulanku, jika engkau tidak menangkis, itu berarti engkau mencari mati sendiri!” jengek Bu-koat sambil melontarkan pukulannya.

Meski pukulannya ini tampaknya halus, tapi tempat yang diarah ternyata sangat keji, mending tenaga pukulannya tidak dikerahkan, tapi sekali dikerahkan terasa sukar ditahan lagi.

Tajam juga pandangan orang itu, serunya tertarik, “Hebat, benar-benar pukulan lihai!”

Pembawaan orang aneh itu memang gemar ilmu silat, kini mendadak ketemu jago muda sehebat ini, mau tak mau timbul hasratnya untuk menjajal kekuatan pihak lawan, maka tangan kirinya lantas memapak ke depan.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong gaya pukulan Hoa Bu-koat berubah, pukulan yang lurus ke depan tadi mendadak berputar ke kanan dengan cara yang sangat menakjubkan dan sukar dibayangkan.

Gerakan pukulan itu adalah ‘Ih-hoa-ciap-giok’, ilmu pukulan khas dari Ih-hoa-kiong yang termasyhur. Dengan gerakan ini Hoa Bu-koat yakin tangan lawan pasti akan memukul pada badan sendiri.

Tak terduga orang itu mendadak berputar dengan cepat sehingga ilmu pukulan Ih-hoa-ciap-giok yang tidak pernah ditandingi orang itu kini dapat dipatahkannya dengan enteng.

Baru sekarang Hoa Bu-koat benar-benar terkejut, serunya, “Siapa engkau sebenarnya?”

Untuk sekali lagi orang itu berhadapan dengan Hoa Bu-koat, air mukanya juga berubah, bentaknya, “Jadi kau ini anak murid Ih-hoa-kiong?”

“Betul!” jawab Bu-koat.

Sekonyong-konyong orang itu menengadah dan terbahak-bahak, katanya, “Selama hidupku terasa menyesal karena belum sempat menjajal ilmu silat dari Ih-hoa-kiong, tak tersangka sekarang dapat bertemu dengan murid Ih-hoa-kiong di sini ....” suara tertawanya yang nyaring itu menggema di angkasa sehingga daun pohon dan kelopak bunga sama rontok tergetar.

“Jangan-jangan Cianpwe ada sengketa apa-apa dengan Ih-hoa-kiong?” tanya Thi Sim-lan dengan khawatir.

Mendadak orang tadi berhenti tertawa dan membentak, “Permusuhanku dengan Ih-hoa-kiong memang sedalam lautan, berpuluh tahun kuyakinkan ilmu pedang justru bertujuan hendak membunuh habis setiap orang Ih-hoa-kiong.”

Tanpa terasa Thi Sim-lan merinding oleh nada ucapan orang.

Tiba-tiba Bu-koat berseru, “Yan Lam-thian! He, engkau Yan Lam-thian!”

Musuh Ih-hoa-kiong yang paling besar ialah Yan Lam-thian, di kolong langit ini kecuali Yan Lam-thian memang tiada orang lain yang berani bermusuhan dengan Ih-hoa-kiong. Hal ini teringat oleh Hoa Bu-koat, Thi Sim-lan juga lantas ingat.

Selagi kedua muda-mudi itu melenggong bingung, terlihat sinar mata orang itu mencorong terang dan berkata, “Betul, aku memang Yan Lam-thian!”

Telinga Thi Sim-lan serasa mendenging, darah sekujur badan serasa membanjir ke kepalanya, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa nama seseorang ternyata mempunyai pengaruh sebesar ini.

Sejenak Hoa Bu-koat terdiam, tiba-tiba ia menanggalkan pakaian luar dengan perlahan, dengan cermat ia melipatnya, lalu mendekati Thi Sim-lan dan menyodorkan bajunya kepada si nona.

Caranya membuka pakaian dan melipatnya, setiap gerakannya sedemikian hati-hati dan lambat seakan-akan baju itu adalah benda mestika yang sangat berharga. Padahal dengan gerakan lambat itu dia sengaja hendak menenangkan perasannya yang bergolak itu. Maklumlah, menghadapi pedang sakti Yan Lam-thian jarang ada orang yang mampu bersikap tenang dan wajar.

Dengan sendirinya Thi Sim-lan juga paham meski yang diserahkan Hoa Bu-koat kepadanya itu cuma sepotong baju, tapi di dalamnya entah mengandung arti betapa berat dan ruwetnya persoalan.

Terdengar Bu-koat berkata, “Kumohon engkau suka menjaga baik-baik pakaian ini, atau kalau bisa tolong antarkan ke Ih-hoa-kiong!”

Dari ucapan ini Thi Sim-lan tahu Hoa Bu-koat telah bertekad bila perlu akan korbankan jiwanya. Tanpa terasa air matanya terus meleleh, katanya, “Apakah engkau ben ... benar-benar hendak menempurnya?”

“Dapat bertempur melawan Yan Lam-thian adalah cita-cita setiap insan yang belajar ilmu silat, sekalipun anak murid Ih-hoa-kiong juga merasa bangga dapat perang tanding dengan Yan Lam-thian,” kata Bu-koat. Walaupun dia bicara dengan tenang, namun mukanya yang pucat tampak menampilkan semu merah karena bersemangat, napasnya juga kelihatan rada memburu.

Dengan suara tertahan Thi Sim-lan berkata, “Apakah ... apakah engkau tak dapat pergi saja? Biar kutahan dia, kuyakin dia pasti takkan membunuhku.”

Bu-koat tersenyum, ucapnya, “Pertarungan ini bukanlah demi diriku, tapi demi Ih-hoa-kiong ....” mendadak ia berhenti berucap sehingga terasa betapa berat kata-kata yang belum lagi diutarakannya itu.

Perlahan ia berputar ke sana, tiba-tiba ia menoleh dan menambahkan, “Perlu kau ketahui pula, sebabnya aku ingin membunuh Kang Siau-hi juga bukan demi diriku, tapi demi Ih-hoa-kiong. Tiga bulan lagi bila berjumpa dengan dia bolehlah kau beritahukan padanya bahwa meski aku berniat hendak membunuhnya, tapi terhadap pribadinya sejak awal hingga akhir tak pernah aku merasa dendam dan benci, maka kuharap ia pun jangan ... jangan dendam padaku.”

Air mata Thi Sim-lan bercucuran, jawabnya dengan parau, “Mengapa engkau selalu berbuat bagi orang lain? Memangnya hidupmu ini melulu demi orang lain saja? Apakah engkau tak dapat berbuat ... berbuat sesuatu bagi dirimu sendiri?”

Hoa Bu-koat telah membalik ke sana lagi, ia mendongak dan mendadak tertawa, katanya, “Demi diriku? ... Tapi siapakah diriku ini? ....”

Untuk pertama kalinya inilah dia memperlihatkan rasa sedihnya di depan umum, meski ucapannya itu cuma dua kalimat yang sederhana, tapi kepedihan di dalam kata itu tak terperikan beratnya.

Thi Sim-lan memandang dan berkata dengan meneteskan air mata, “Orang lain sama bilang engkau adalah pemuda yang paling sempurna, paling beruntung dan paling mengagumkan, tapi siapa yang tahu akan rasa dukamu? Orang lain sama mengatakan engkau sangat tenang, sangat pendiam, tapi siapa yang tahu bahwa engkau ternyata kehilangan dirinya sendiri. Orang lain sama ingin hidup bahagia seperti dirimu, tapi siapa pula yang tahu engkau hanya hidup bagi orang lain?”

Yan Lam-thian berdiri diam memandangi kedua muda-mudi itu, tiba-tiba dia bergelak tertawa dan berkata, “Hoa Bu-koat, kau memang tidak malu sebagai murid Ih-hoa-kiong. Tak peduli pertarungan ini akan berakhir dengan menang atau kalah bagimu, yang pasti nama Ih-hoa-kiong akan tetap terjunjung tinggi abadi.”

“Terima kasih,” jawab Bu-koat.

“Tapi aku pun ingin kau tahu bahwa selain kau, di dunia ini juga masih banyak orang yang berbuat sesuatu juga tidak untuk dirinya sendiri. Manusia yang cuma hidup bagi dirinya sendiri itu belum tentu hidup bahagia, bahkan bisa jadi hidupnya jauh lebih sedih dan merana daripadamu.”

Bu-koat menatap tajam orang itu, tanyanya kemudian dengan perlahan, “Sebabnya engkau hendak membunuhku apakah juga demi orang lain?”

Yan Lam-thian terdiam sejenak, mendadak ia menengadah dan bersiul panjang, suara siulan melengking tajam seakan-akan penuh mengandung rasa pedih dan penasaran yang tak terlampiaskan dan sukar dibeberkan kepada orang lain.

Bu-koat menghela napas, tiba-tiba ia keluarkan sebatang pedang perak, katanya, “Umpama sebentar berhasil kubunuh engkau juga bukan untuk kepentinganku sendiri.”

Thi Sim-lan sudah beberapa kali melihat Hoa Bu-koat bergebrak dengan orang, tetapi tak pernah melihat dia menggunakan senjata sehingga dia hampir berkesimpulan anak murid Ih-hoa-kiong memang tiada yang memakai senjata.

Dilihatnya pedang perak yang dipegang Hoa Bu-koat itu berbadan sempit, tampaknya cuma selebar jari kelingking, tapi panjangnya lebih satu meter, dari ujung sampai pangkal tampak mengkilat seakan-akan setiap saat bisa terbang terlepas dari cekalan.

Senjata ini meski namanya pedang, tapi bisa keras dan bisa lemas, tampaknya keras seperti lembing, tapi juga lemas seperti ruyung, nyata semacam senjata dapat digunakan dan dimainkan berbagai gerakan senjata. Yang menakutkan justru senjata ini dapat mengeluarkan beberapa macam jurus serangan aneh? Inilah yang tidak diketahui siapa pun juga dan di dunia ini memang tiada yang tahu, bahkan tiada seorang pun yang pernah melihatnya.

Sinar mata Yan Lam-thian tampak gemerlap, secara acuh dia cuma pandang sekejap senjata dia tangan Hoa Bu-koat itu, lalu membentak, “Setelah mengeluarkan senjata mengapa kau tidak lekas turun tangan?”

Perlahan Hoa Bu-koat menjentik batang pedangnya dengan jari kiri sehingga menerbitkan suara mendering nyaring. Belum lenyap suara mendering itu, segera pedangnya juga menyerang.

Mata Thi Sim-lan hampir tak dapat terpentang karena silau oleh sinar pedang yang kemilau, baginya mungkin akan kalah sebelum bertempur bila bertemu senjata seaneh ini. Sebab dia sama sekali tidak jelas dari mana datangnya serangan dan cara bagaimana pula harus menghindar atau menangkis.

Akan tetapi Yan Lam-thian ternyata tenang-tenang saja, ia berdiri tegak kuat dengan pedang terhunus, ketika pedang Hoa Bu-koat menyambar tiba, dia tetap tidak bergerak sama sekali, hanya kelihatan sinar pedang berputar dan serangan pedang Hoa Bu-koat mendadak berganti arah.

Kiranya serangan Bu-koat itu hanya pancingan belaka, di luar dugaannya lawan tenyata dapat menghadapinya dengan tenang dan tak mau terpancing.

Meski Thi Sim-lan tidak dapat melihat jelas perubahan serangan itu, tapi dari suaranya dapatlah ia mendengar tujuh kali serangan Hoa Bu-koat telah dilontarkan, namun Yan Lam-thian masih tetap tanpa menggeser sedikit pun.

Berturut-turut Hoa Bu-koat melontarkan tujuh kali serangan pancingan, asalkan lawan bergerak sedikit saja segera daya serangannya akan terpencar dengan dahsyat sehingga segenap jalan mundur lawan akan tertutup.

Dengan gerakan pancingan untuk mengatasi lawan, inilah intisari ilmu silat Ih-hoa-kiong, sama sekali berbeda dengan ilmu pedang dari aliran-aliran ternama lainnya. Namun Yan Lam-thian ternyata tidak terpengaruh sedikit pun oleh sinar pedang yang kemilau, kemukjizatan ketujuh kali serangan pancingan Hoa Bu-koat itu ternyata tiada berguna sama sekali di hadapan Yan Lam-thian.

Dan begitu serangan ketujuh kalinya baru dilontarkan Hoa Bu-koat, segera pula pedang karatan Yan Lam-thian menusuk lurus ke depan menembus cahaya pedang lawan dan mengincar dada Hoa Bu-koat.

Serangan yang lugu dan biasa, tanpa sesuatu variasi apa-apa, namun gerakannya cepat dan tenaganya dahsyat, inilah kegaiban dan kenaifan, kehebatan dan kekuatan asli.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes