Wednesday, May 12, 2010

bp5_part1

Maka jago tua “Kim-to-bu-tek” Peng Thian-siu yang pertama-tama tidak tahan, segera ia menjengek, “Hm, cara bicara sahabat cilik ini sungguh sukar dipahami.”

“Kau tidak paham bicaraku?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, tidak paham,” jawab Peng Thian-siu.

“Maksudku, jika kau anggap kawan Hoa Bu-koat juga kawanku, maka aku benar-benar sebal dan sial habis-habisan. Meski pribadi Hoa Bu-koat masih boleh juga, tapi kawannya ... he, hehehe!”

“Memangnya bagaimana kawannya?” Peng Thian-siu menegas pula.

“Kawannya itu sungguh manusia berhati binatang, bukan saja melihat bahaya menimpa teman sendiri tidak memberi bantuan, bahkan ....”

“Siapa yang kau maksudkan?” damprat Peng Thian-siu gusar.

“Siapa yang mengaku kawan Hoa Bu-koat, dialah yang kumaksud,” jawab Siau-hi-ji.

“Kang-tayhiap juga kawan karib Hoa-kongcu, memangnya kau maksudkan ....”

“Yang jelas orang yang kumaksudkan pasti bukan kau,” jengek Siau-hi-ji. “Sebab nilaimu untuk menjadi kawan Hoa Bu-koat masih belum cukup, paling-paling kau hanya mahir menjilat pantat Kang Piat-ho saja.”

“Brak”, dengan keras Peng Thian-siu menggebrak meja dan membentak dengan bengis, “Kurang ajar! Apakah kau tahu siapa diriku?”

“Oya, memang aku tidak tahu,” jawab Siau-hi-ji.

Belum lagi Peng Thian-siu membuka suara, di samping sudah ada yang menukas, “Huh, nama ‘golok emas tanpa tandingan’ Peng-loenghiong saja tidak tahu, berdasar apa kau berani berkecimpung di dunia Kangouw?”

“O, kiranya Peng-loenghiong,” kata Siau-hi-ji.

Peng Thian-siu mengira anak muda itu telah kena gertak oleh nama besarnya, dengan tertawa yang dibuat-buat ia menatap Siau-hi-ji.

Tak terduga anak muda itu lantas menyambung pula, “Tapi julukan Peng-loenghiong kukira harus diganti yang lebih mentereng dan tepat.”

“Ganti apa?” tanya Peng Thian-siu.

“Jika julukanmu diganti menjadi ‘penjilat pantat tanpa tandingan’, wah, jadinya tepat dan kena pada sasarannya,” ucap Siau-hi-ji.

Di tengah perjamuan Kang Piat-ho sebenarnya Peng Thian-siu merasa rikuh untuk beraksi, tapi sebegitu jauh tuan rumah itu ternyata tidak mencegah, bahkan seakan-akan tidak mau tahu ada ribut-ribut ini.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kang Piat-ho justru berharap Siau-hi-ji akan mengikat permusuhan sebanyak-banyaknya dan ini berarti akan menguntungkan posisinya, Peng Thian-siu mengira berdiamnya Kang Piat-ho memang sengaja memberi kesempatan padanya untuk menghajar anak muda penyatron itu. Apalagi setelah mendengar istilah “penjilat pantat tanpa tandingan”, tentu saja ia tidak tahan, sambil meraung, dari balik meja sana segera ia menubruk ke arah Siau-hi-ji.

Kedatangan Siau-hi-ji ini memang sengaja hendak mencari perkara, sengaja mengacau, ia hanya tertawa saja menghadapi tubrukan Peng Thian-siu itu, mendadak ia angkat sumpit di depannya dan menutuk perlahan.

Seketika Peng Thian-siu merasa tubuhnya kaku kesemutan dan tak dapat mengeluarkan tenaga. “Blang”, kontan ia jatuh terguling di atas meja, mangkuk piring menjadi berantakan.

Dengan mengikik tawa Siau-hi-ji berseru, “Kang Piat-ho, kenapa kau begini kikir, santapan lezat tidak suruh menghidangkan, memangnya kau gunakan si penjilat pantat ini sebagai hidangan?”

Sudah tentu di antara hadirin itu banyak terdapat kawan Peng Thian-siu, yang duduk berdekatan sudah sama berdiri dan siap turun tangan.

Tenang-tenang saja Hoa Bu-koat memandang Kang Piat-ho, tapi Kang Piat-ho tetap diam saja, sama sekali tiada maksud melerai seakan-akan tiada sangkut-pautnya dengan dia.

Maklumlah, Kang Piat-ho justru berharap agar suasana ini bertambah kacau. Maka terdengarlah suara gemuruh, Peng Thian-siu telah terguling ke bawah dan meja juga terbalik, beberapa orang lantas menerjang maju, tapi semuanya kena dicengkeram kuduknya oleh Siau-hi-ji dan dilempar keluar.

Pelayan restoran itu seketika kelabakan, ia menjerit-jerit sambil mengukuti perabot di meja lain. Loteng restoran itu seketika menjadi kacau balau.

Setelah menyaksikan kelihaian ilmu silat Siau-hi-ji, tampaknya tetamu yang lain menjadi kapok dan tidak berani maju lagi.

Baru sekarang Kang Piat-ho membuka suara dengan berkerut kening, “Hoa-heng, persoalan ini cara bagaimana menyelesaikannya menurut pendapatmu?”

“Entah, aku pun tidak tahu,” jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum hambar.

Sama sekali tak terduga oleh Kang Piat-ho bahwa “kawan karib” yang diandalkan ini bisa mengucapkan kata-kata demikian, ia jadi melenggong.

Dalam pada itu terdengar deru angin menyambar tiba, kepalan Siau-hi-ji menonjok ke arahnya sambil membentak, “Kang Piat-ho, tatkala kau tahu Hoa Bu-koat sedang menghadapi bahaya, diam-diam kau mengeluyur pergi malah, bahkan kau khawatir kusir kereta itu membocorkan kepengecutanmu, maka telah kau bunuh kusir itu untuk melenyapkan saksi hidup. Tujuanku sekarang tiada lain kecuali ingin menghajar adat padamu. Nah, sambutlah pukulanku ini!” Sambil bicara sekaligus dia melancarkan belasan kali pukulan.

Kang Piat-ho tetap berkelit saja tanpa balas menyerang. Setelah Siau-hi-ji berhenti bicara barulah dia mengejek, “Hm, saudara jangan suka memfitnah, betapa pun tiada seorang pun yang mau percaya pada ocehanmu!”

“Hah, barangkali kau sangka sekali ini pun tidak mungkin ada bukti dan saksi lagi?” jengek Siau-hi-ji.

“Mana buktimu?” bentak Kang Piat-ho.

“Supaya kau tahu bahwa kusir kereta itu meski kau tikam, tapi dia belum lagi mati,” teriak Siau-hi-ji.

Tanpa terasa air muka Kang Piat-ho berubah juga.

Mendadak Siau-hi-ji melangkah mundur sembari berseru dan menuding ke belakang Kang Piat-ho, “Lihatlah, dia muncul dari sebelah sana!”

Serentak para tamu menoleh ke arah yang ditunjuk itu. Tapi Kang Piat-ho justru cuma mendengus saja, “Hm, jangan kau tipu aku, dia sudah ….” mendadak ia berhenti berucap lebih lanjut, mukanya menjadi pucat.

“Benar, aku memang tak dapat menipumu,” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa, “Bahwasanya semua orang sama menoleh ke sana, hanya kau saja yang tidak percaya, soalnya kau tahu kusir itu tidak mungkin hidup kembali, begitu bukan?” Tadi dia sengaja mengacau dan membikin suasana menjadi berantakan, pertama dia sengaja hendak menggertak orang lain, berbareng itu supaya hati Kang Piat-ho tidak tenteram, dengan demikian manusia yang licik lagi licin ini dapatlah ditipu.

Kang Piat-ho menyapu pandang hadirin, dilihatnya para tamu itu sama mengunjuk rasa heran dan sangsi padanya, diam-diam ia merasa gelisah, cepat ia melompat ke depan Hoa Bu-koat dan bertanya, “Hoa-heng, kau percaya padanya atau lebih percaya padaku?”

Bu-koat menghela napas, katanya, “Sudahlah, urusan ini tak perlu diungkit lagi ....”

“Diungkit atau tidak urusan ini yang pasti aku ingin berkelahi dengan dia,” seru Siau-hi-ji. “Nah, coba katakan, engkau akan bantu dia atau membantu diriku?”

“Jika kalian memang harus saling gebrak, maka siapa pun tidak boleh ikut campur,” ucap Bu-koat.

Justru ucapan Hoa Bu-koat inilah yang ditunggu-tunggu Siau-hi-ji, segera ia berseru, “Bagus, bilamana ada orang lain berani ikut campur, maka kau yang bertanggung jawab.”

Begitu habis kata-katanya, kontan dia menghantam Kang Piat-ho pula.

Tadi Kang Piat-ho telah dicecar belasan kali pukulan oleh Siau-hi-ji tanpa menyenggol sedikit pun ujung bajunya, maka dia pikir kepandaian anak muda itu paling-paling juga cuma sekian saja, kenapa mesti takut, segera ia menjengek, “Jika saudara berkeras ingin turun tangan, ya, jangan menyalahkan lagi orang she Kang!”

Baru habis ucapannya kembali Siau-hi-ji memberondong empat-lima kali jotosan pula.

Setelah diobrak-abrik tadi, loteng restoran itu sekarang sudah terluang cukup luas, meja kursi sudah sama tersingkir, maka kebetulan dapat digunakan sebagai arena pertarungan mereka.

Begitulah Kang Piat-ho lantas mulai melancarkan pukulan balasan, pukulan yang dahsyat, gerakannya sukar diraba, sama sekali berbeda daripada cara menghantam Siau-hi-ji yang telah berlangsung berpuluh kali tadi.

Setiap menghadapi pukulan Kang Piat-ho tampaknya Siau-hi-ji rada kerepotan dan harus berusaha sebisanya barulah dapat menghindar.

Melihat itu, hadirin lantas bersorak-sorai bagi Kang Piat-ho.

Kang Piat-ho tahu pada umumnya orang-orang Kangouw hanya memandang pihak yang kuat, yang menanglah yang berkuasa, asalkan dirinya dapat menjatuhkan Siau-hi-ji dan membinasakannya kalau bisa, maka urusan membunuh si kusir tadi tentu tiada orang berani mengusut pula.

Berpikir demikian semangatnya lantas terbangkit, segera ia mengejek, “Para kawan Kangouw yang hadir di sini dapat menjadi saksi bahwa kau sendiri yang cari perkara dan bukan aku orang tua menghajar anak kecil.”

Siau-hi-ji masih tekun berkelahi dan menghindar kian kemari dengan kerepotan seakan-akan adu mulut saja tidak sanggup lagi, setelah berlangsung belasan jurus, berulang-ulang ia telah menghadapi serangan berbahaya.

Semula Kang Piat-ho menyangsikan Siau-hi-ji adalah orang yang selalu main gila padanya secara diam-diam itu, maka senantiasa dia berwaspada, tapi kini melihat ilmu silat Siau-hi-ji hanya biasa saja dan tiada sesuatu yang istimewa, rasa curiganya lantas lenyap, daya serangnya menjadi rada kendur pula, dengan tersenyum ia berkata, “Meski kau tidak tahu aturan dan sengaja cari setori, tapi mengingat kau masih muda belia, betapa pun aku tidak tega membikin susah dirimu, asalkan mau mengaku salah dan minta maaf, mengingat kau juga kenal Hoa-heng, bolehlah nanti kuampunimu.”

Cara bicaranya ini sungguh berbudi luhur dan murah hati, bahkan juga menghargai Hoa Bu-koat, benar-benar perilaku seorang “Kang-lam-tayhiap” yang bijaksana.

Siau-hi-ji tidak menjawab, napasnya kelihatan tersengal-sengal seolah-olah bicara saja sukar.

Padahal dia sudah mempunyai perhitungan, di depan orang banyak ia yakin Kang Piat-ho pasti akan berlagak sebagai “pendekar besar”. Ia tahu semakin dirinya pura-pura lemah, Kang Piat-ho semakin tidak mengeluarkan serangan maut, sebabnya mudah dimengerti, dia harus menjaga harga diri sebagai seorang “pendekar besar” dan tidak mungkin menyerang seorang anak muda yang bukan tandingannya.

Benar juga perhitungan Siau-hi-ji, serangan Kang Piat-ho telah mulai kendur.

Segera ada sementara hadirin yang berteriak, “Terhadap pengacau begini, buat apa Kang-tayhiap sungkan padanya?”

“Benar,” segera ada lagi yang menyokong. “Jika Kang-tayhiap tidak menghajar adat padanya, kelak dia akan tambah kurang ajar dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi.”

Sudah barang tentu, orang-orang yang tadi kena dihajar oleh Siau-hi-ji segera pula ikut menghasut.

Kang Piat-ho berlagak, “Usiamu masih muda, sesungguhnya aku tidak tega melukaimu, tapi kalau kau tidak dihajar adat, tampaknya orang lain pun ikut penasaran ....” Tengah bicara kembali Siau-hi-ji dipaksa mundur lagi beberapa tindak.

Tampaknya Siau-hi-ji telah didesak mundur ke pojok yang buntu dan sama sekali tidak sanggup balas menyerang. Dengan tersenyum Kang Piat-ho lantas berkata pula, “Awas, jurus seranganku ini akan menghantam dadamu, paling baik janganlah kau berbelit atau menangkis, sebab bila pukulanku bertambah berat, bisa jadi kau akan celaka.”

“Terima kasih atas peringatanmu,” ucap Siau-hi-ji.

Dilihatnya Kang Piat-ho mengayun tangan kiri ke depan, tapi mendadak tangan kanan menghantam dari samping langsung menuju ke dada Siau-hi-ji. Pukulan ini sebenarnya tiada sesuatu yang aneh, cuma gerak perubahannya sangat cepat, sekalipun sebelumnya dia telah memberitahukan tempat yang akan diserangnya, tapi arah datangnya pukulan itu sama sekali tak tersangka oleh hadirin.

Tampaknya Siau-hi-ji tak mampu menghindarkan lagi pukulan ini, maka hadirin serentak bersorak memuji.

Di tengah sorak-sorai itu mendadak terdengar suara “blang” yang keras, dua tangan telah beradu, sekonyong-konyong Siau-hi-ji mengulur tangan menyambut mentah-mentah pukulan Kang Piat-ho itu.

Seketika Kang Piat-ho merasa suatu arus tenaga mahadahsyat membanjir tiba, segera ia bermaksud mengerahkan tenaga untuk melawan, tapi sudah terlambat, “bluk”, tubuhnya tergetar mencelat ke belakang.

Dendam Siau-hi-ji yang tertahan sekian lamanya akhirnya terlampias pada pukulan ini.

Terlihat tubuh Kang Piat-ho menumbuk kerumunan para penonton, beberapa orang yang berdiri paling depan sama tertumbuk oleh tubuh Kang Piat-ho dan jatuh terjungkal semuanya.

Seketika suara sorak-sorai tadi ‘cep-klakep’, semuanya terdiam dengan melongo. Tertampak Siau-hi-ji bertepuk tangan dan bergelak tertawa, lalu menerobos keluar jendela dan tinggal pergi.

Biarpun belum dapat menghajar Kang Piat-ho dengan sepuas-puasnya, tapi Siau-hi-ji sudah membuatnya kehilangan muka di depan orang banyak, rasa dendamnya kini sudah terlampias, hatinya senang tak terkatakan.

Ia tahu bila perkelahian itu diteruskan, betapa pun dirinya belum tentu dapat mengalahkan Kang Piat-ho, apalagi keadaan sudah begini, rasanya Hoa Bu-koat tidak boleh tinggal diam lagi.

“Tahu batas”, inilah falsafat hidup Siau-hi-ji. Umpama para hadirin itu belum percaya penuh Kang Piat-ho benar-benar manusia munafik, paling sedikit di dalam hati mereka sekarang sudah mulai timbul rasa curiga. Dan asalkan semua orang sudah merasa curiga, itu berarti maksud tujuan Siau-hi-ji sudah tercapai. Ia pun tahu nama baik Kang Piat-ho yang dipupuknya selama ini tidak mungkin dihancurkan olehnya hanya dalam sekejap saja, tapi harus dipapas dari sedikit demi sedikit.

Setelah berkeliling di jalan kota, kemudian dia kembali ke hotelnya, ia istirahat sebentar di kamarnya, ketika di halaman tiada orang, diam-diam ia mengeluyur keluar lagi.

Dilihatnya kamar yang berpenghuni penuh rahasia itu masih tertutup rapat, ada cahaya lampu di dalam kamar, tapi tidak kelihatan bayangan orang.

Setelah melongok kian kemari, kemudian Siau-hi-ji melompat ke atas rumah, diam-diam ia merayap ke emper kamar itu dan mendekam di situ.

Di dalam tiada terdengar sesuatu suara, mungkin tokoh rahasia itu sudah tidur atau telah berangkat pergi. Tapi Kang Piat-ho sudah berjanji akan menemuinya lagi, mana mungkin dia pergi begitu saja? Apalagi di dalam kamar jelas ada cahaya lampu.

Dengan sabar Siau-hi-ji menunggu, ia yakin Kang Piat-ho tidak mungkin tidak datang.

Di langit bintang bertaburan, malam kelam dan hening, tunggu punya tunggu, hampir saja Siau-hi-ji tertidur di situ.

Semula di kamar hotel bagian belakang sana sayup-sayup ada suara alat gesek dan orang bernyanyi, agaknya ada tetamu sedang menanggap tukang nyanyi kelilingan, akhirnya suara nyanyi juga lenyap dan tiada terdengar sesuatu suara pula.

Tiba-tiba seorang pelayan dengan membawa tenglong (lampu berkurudung kertas) serta sebuah poci teh besar memasuki halaman tengah, dilihatnya di kamar ini masih ada cahaya lampu, pelayan itu mendekati dan mengetuk pintu perlahan, katanya, “Apakah tuan tamu perlu air minum?”

Tapi tiada suara jawaban di dalam kamar. Meski pelayan mengulangi lagi pertanyaan dan tetap tiada suara jawaban, akhirnya pelayan itu melangkah pergi sambil menggerundel, “Tuan tamu ini sungguh pelit, tidak makan dan tidak minum, sepanjang hari menutup diri saja di dalam kamar, agaknya sedang puasa atau ingin hemat?”

Siau-hi-ji merasa heran. Tindak tanduk orang itu mengapa sedemikian aneh dan penuh rahasia, apakah khawatir dilihat orang lain? Apa pula yang dirundingkannya dengan Kang Piat-ho.

Tiba-tiba terdengar suara mendesir perlahan, sesosok bayangan orang melayang tiba seenteng asap, betapa tinggi Ginkangnya sungguh tak pernah dilihat oleh Siau-hi-ji, hakikatnya dia tidak jelas bagaimana bentuk tubuh orang itu.

Baru saja ia terkejut, terdengar suara pintu kamar di bawah menguak perlahan, orang itu sudah melangkah masuk. Habis itu di dalam kamar tiada sesuatu suara pula.

Diam-diam Siau-hi-ji berkerut kening. Bayangan yang gesit dan enteng ini, kiranya adalah tokoh penuh rahasia yang tinggal di kamar ini, rupanya ia keluar sejak tadi dan baru sekarang pulang.

Ginkang orang ini ternyata sedemikian tingginya, jangankan Siau-hi-ji sendiri merasa bukan tandingannya, bahkan Hoa Bu-koat juga kalah setingkat dibandingkan dia. Sungguh luar biasa bahwa di dunia persilatan masih ada tokoh selihai ini.

Tokoh selihai ini berkomplot dengan Kang Piat-ho, sungguh sangat menakutkan akibatnya.

Selagi Siau-hi-ji berpikir, tiba-tiba dilihatnya seorang menyelinap masuk ke halaman pula, orang ini mengenakan pakaian hitam, kepala memakai topi anyaman yang besar dan lebar sehingga wajahnya setengah tertutup.

Orang ini celingukan kian kemari dan mendekati kamar di bawah ini, setiba di depan pintu, dia berdehem perlahan, lalu mengetuk pintu.

“Siapa?” segera ada orang bertanya dari dalam dengan suara tertahan.

“Wanpwe,” jawab si baju hitam dengan suara perlahan.

Dari suaranya barulah Siau-hi-ji tahu Kang Piat-ho telah datang. Seketika semangatnya terbangkit.

Sementara itu pintu kamar telah dibuka, Kang Piat-ho terus menyelinap masuk ke dalam, kedua orang bicara beberapa patah kata, tapi tak terdengar jelas oleh Siau-hi-ji.

Tiba-tiba terdengar Kang Piat-ho berkata, “Hari ini Wanpwe melihat sesuatu yang mengejutkan.”

“Hal apa?” tanya orang itu.

“Yan Lam-thian belum mati, malahan sudah muncul kembali!” tutur Kang Piat-ho.

Bagi orang Kangouw, tak peduli siapa pun juga bila mendengar berita ini betapa pun pasti akan terkejut, tapi orang itu ternyata anggap sepi saja, bahkan nada ucapannya acuh tak acuh, “Memangnya kenapa kalau Yan Lam-thian muncul kembali?”

Kang Piat-ho melengak, katanya kemudian dengan mengiring tawa, “Dengan ilmu silat Cianpwe, dengan sendirinya Yan Lam-thian sama sekali tiada artinya.”

“Hm, lebih bagus kalau Yan Lam-thian tidak mati, kalau mati bagiku menjadi kurang menarik malah,” kata orang itu.

Makin heran Siau-hi-ji mendengar kata-kata ini, tampaknya orang ini sedikit pun tidak gentar terhadap Yan Lam-thian, bahkan nadanya seperti ada hasrat ingin perang tanding dengan Yan Lam-thian.

Terdengar Kang Piat-ho berkata pula, “Tapi masih ada kejadian lain yang juga tidak kurang mengejutkan, ilmu silat Kang Siau-hi ternyata juga telah maju pesat.”

Orang tadi seperti tersenyum dan menjawab, “Malahan kukhawatir ilmu silatnya terlalu rendah, jika tambah maju barulah aku senang.”

Tentu saja Siau-hi-ji semakin heran, sama sekali tak terpikir olehnya mengapa orang ini begini memperhatikan dirinya, mungkin tokoh rahasia ini mengenalnya?

Didengarnya orang itu berkata pula, “Pokoknya betapa pun tinggi ilmu silat Kang Siau-hi itu pasti akan dilayani oleh Hoa Bu-koat, kau sendiri tak perlu khawatir.”

“Tapi ... tapi sekarang Hoa Bu-koat seakan-akan bersahabat karib dengan Kang Siau-hi ....”

“Kedua anak muda itu justru dilahirkan untuk menjadi musuh, sebelum salah satu mati belum akan tamat. Umpama bisa menjadi sahabat juga takkan langgeng, untuk ini kau pun tidak perlu khawatir.”

Siau-hi-ji terkejut pula, ia heran mengapa orang ini bisa sedemikian jelas mengetahui seluk-beluk Hoa Bu-koat dengan dirinya? Padahal orang yang tahu urusan ini sesungguhnya tidaklah banyak.

Agaknya Kang Piat-ho tertawa puas, katanya, “Jika demikian, entah Cianpwe ada pesan apa pula kepada Tecu?”

“Aku cuma minta kau ....” tiba-tiba suaranya ditekan rendah sehingga Siau-hi-ji tidak dapat mendengar sama sekali. Hanya terdengar orang itu mengucapkan satu kalimat dan segera Kang Piat-ho mengiakan.

Setelah orang itu bicara lagi barulah terdengar Kang Piat-ho menjawab dengan tertawa, “Beberapa urusan ini pasti akan Wanpwe kerjakan dengan baik.”

“Beberapa urusan ini pun menyangkut kepentinganmu, dengan sendirinya kau harus menurut dan mengerjakannya,” jengek orang itu.

Kang Piat-ho seperti termenung sejenak, lalu berkata pula, “Setiap kali Cianpwe hendak memberi pesan apa-apa segera juga Wanpwe datang kemari, tapi sampai saat ini nama Cianpwe yang mulia belum juga kuketahui.”

“Namaku tidak perlu kau tahu, cukup asal kau tahu bahwa di dunia ini selain aku tiada orang lain yang dapat membantumu, tanpa aku, bukan saja kau tidak berhasil menjadi ‘tayhiap’, bahkan hidup saja menjadi tanda tanya bagimu.”

Kang Piat-ho tertegun sejenak, jawabnya kemudian, “Ya.”

“Nah, sekarang boleh kau pergi, tiba waktunya nanti tentu akan kucari kau.”

Kembali Kang Piat-ho mengiakan.

Lalu orang itu menambahkan, “Beberapa urusan yang kutugaskan padamu itu bila mengalami kegagalan, tatkala mana tidak perlu Yan Lam-thian atau Kang Siau-hi, aku sendiri juga akan membinasakan kau. Nah, tahu tidak?”

Kang Piat-ho mengiakan pula.

Sampai di sini barulah Siau-hi-ji tahu bahwa Kang Piat-ho sendiri pun tidak kenal asal-usul tokoh maharahasia ini, hanya lantaran terpengaruh oleh ilmu silatnya yang mahalihai, maka “pendekar besar” itu terpaksa tunduk kepada segala perintahnya.

Dilihatnya Kang Piat-ho keluar dari kamar dengan tunduk kepala, ia celingukan sejenak dan tiada sesuatu bayangan, segera ia menyelinap cepat keluar halaman sana.

Tiba-tiba Siau-hi-ji mendapat ilham, diam-diam ia pun mengeluyur pergi. Kini telah diketahui ilmu silat orang di dalam kamar itu mahatinggi, maka sedikit pun ia tidak berani gegabah, syukur gerak-geriknya tidak sampai diketahui orang.

Setelah melintas beberapa deret rumah barulah Siau-hi-ji berani melompat turun, dari pintu ujung dia masuk kembali ke halaman dan menuju dapur, dilihatnya api tungku masih belum padam, di atas tungku masih ada cerek dengan airnya yang mendidih.

Ia bawa cerek itu dan balik menuju ke tempat tadi, cahaya lampu kamar itu masih menyala, Siau-hi-ji mendekatinya dan mengetuk pintu, serunya, “Tuan tamu, apakah perlu tambah air minum?”

Yang dituju Siau-hi-ji hanya ingin melihat wajah asli tokoh penuh rahasia ini, maka tanpa menghiraukan bahaya ia berlagak sebagai pelayan, juga tidak terpikir olehnya apakah dirinya takkan dikenali orang?

Tapi ternyata tiada suara jawaban di dalam kamar. Setelah Siau-hi-ji mengulangi lagi dengan suara lebih keras dan tetap tiada reaksi apa-apa. Diam-diam ia berkerut kening, apakah mungkin orang itu sudah pergi lagi?

Ia tabahkan hati dan mendorong daun pintu dengan perlahan. Pintu ternyata tidak dipalang, begitu ditolak segera terbuka.

Dilihatnya di atas meja ada sebuah lampu dan di samping ada sebuah nampan dengan sebuah poci teh serta empat buah cangkir, tapi poci dan cangkir teh itu sama sekali belum terpakai.

Waktu dia mengawasi tempat tidur, bantal selimut komplet, tapi masih terlipat rapi, sedikit pun belum disentuh orang.

Nyata, meski tinggal di kamar ini, tapi orang yang penuh rahasia itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu benda di dalam kamar, jelas dia hanya menggunakan kamar ini sebagai tempat bicara dengan Kang Piat-ho. Bilamana Kang Piat-ho harus datang barulah ia sendiri datang ke sini, kalau Kang Piat-ho pergi segera ia pun berangkat, sampai air teh juga tidak diminumnya barang seceguk pun.

Siau-hi-ji sengaja bergumam, “Mungkin poci ini kosong, biarlah kutambahi agar tuan tamu nanti tidak kehabisan air minum.” Sembari bersuara ia terus melangkah masuk kamar.

Begitu berada di dalam, segera ia mengendus semacam bau harum yang aneh, seperti bau harum anggrek dan seperti mawar pula, rasanya seperti berada di kebun bunga saja yang harum semerbak.

Selama hidup Siau-hi-ji tidak pernah mencium bau wangi semacam ini, seketika ia merasa nikmat sekali dan hampir-hampir mabuk.

Selain bau harum aneh ini tiada terdapat sesuatu tanda yang mencurigakan di dalam kamar ini, kecuali bau harum ini pada hakikatnya kamar ini seperti tidak pernah dihuni orang.

Siau-hi-ji tahu hotel ini cukup besar, tapi kurang perawatan, pelayan juga kurang rajin, hampir di setiap sudut terdapat sawang dan debu kotoran.

Tapi kamar ini tenyata lain daripada yang lain, tersapu bersih, bahkan lantai di kolong tempat tidur juga resik sekali, apalagi meja kursi dan lemari, semuanya seperti habis dicuci dan digosok hingga mengkilap.

Sungguh aneh, padahal orang yang penuh rahasia itu hanya menggunakan kamar ini sebagai tempat bicara dengan Kang Piat-ho dan bukan tempat tinggal, apalagi semua barang di dalam kamar sama sekali tidak disentuhnya, lalu untuk apa dia membersihkan kamar ini sedemikian resiknya, bahkan tersebar pula bau harum seenak ini.

Ia menjadi sangsi jangan-jangan orang aneh itu mempunyai kelainan jiwa, suka kepada sesuatu yang khas.

Tanpa terasa Siau-hi-ji mengernyitkan dahi dan bergumam, “Orang yang suka pada kebersihan begini sungguh jarang ada ....”

“Siapa kau!? Untuk apa masuk ke sini?” tiba-tiba seorang menegurnya dengan nada dingin. Suara ini jelas datang dari belakang Siau-hi-ji.

Keruan kejut Siau-hi-ji tak terperikan, namun dengan mengulum senyum ia menjawab, “O, hamba datang ke sini untuk mengetahui apakah tuan tamu perlu tambah air minum atau tidak.”

“Kau pelayan hotel?” tanya orang itu.

Siau-hi-ji mengiakan.

“Yang datang siang tadi seperti bukan kau.”

“Oya, Ci-lotoa dinas siang dan hamba Ong Sam dinas malam,” jawab Siau-hi-ji.

“Huh, Kang Siau-hi-ji ternyata pintar mengibul dan pandai melihat gelagat, mahir tanya jawab pula,” jengek orang itu mendadak. “Cuma sayang, sejak kau brojol dari rahim ibumu aku sudah kenal kau, maka tiada gunanya kau main sandiwara di depanku.”

Siau-hi-ji terperanjat, “Siapa engkau?”

Tapi orang itu tidak menjawabnya.

Cepat sekali Siau-hi-ji membalik tubuh, tapi kosong, tiada seorang pun terlihat, daun pintu itu masih terpentang dan bergerak tertiup angin. Suasana di luar tetap kelam, mana ada bayangan seorang pun?

Apakah orang itu sudah pergi? Kejut dan heran pula Siau-hi-ji, baru saja ia merasa lega, tahu-tahu di belakangnya ada orang mendengus lagi, “Hm, kau takkan dapat melihat diriku!” Ternyata orang itu sudah berada pula di belakangnya.

Berturut-turut Siau-hi-ji membalik badan beberapa kali, cepatnya sukar dilukiskan lagi, tapi aneh, orang itu selalu bersuara di belakangnya seakan-akan bayangan yang melekat di tubuhnya.

Betapa pun besar nyali Siau-hi-ji, dalam keadaan demikian ia menjadi ngeri juga dan berkeringat dingin. Kalau Ginkang orang ini sedemikian hebatnya, maka ilmu silatnya tidak perlu lagi diceritakan. Siau-hi-ji menyadari dirinya pasti bukan tandingan orang, bahkan ingin kabur pun jangan harap.

Tiba-tiba ia mendapat pikiran, ia sengaja berdiri tegak tanpa bergerak, lalu katanya dengan tertawa, “Jika engkau tidak suka dilihat olehku, baiklah aku takkan melihatmu.”

“Hm, kau memang pintar,” jengek orang itu.

“Tapi bila engkau tidak sudi dilihat olehku, mengapa engkau datang pula kemari?”

“Kau tak dapat mengerti bukan?” tanya orang itu.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya, “Kupikir, apa pun juga engkau pasti takkan membunuh diriku.”

“Dari mana kau tahu aku takkan membunuhmu?”

“Seorang yang akan mati segera, seumpama dapat melihat wajah aslimu kan tidak menjadi soal. Sebab itulah jika engkau berniat membunuhku tentu engkau takkan keberatan memperlihatkan dirimu padaku, betul tidak?”

Orang itu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Dapat juga kau menerka jalan pikiranku.”

“Dahulu aku selalu menganggap diriku sebagai orang pintar nomor satu di dunia, walaupun sekarang aku sudah lebih rendah hati, tapi aku pun tidak berani terlalu meremehkan diriku sendiri dan mengaku bodoh.”

Diam-diam Siau-hi-ji sudah merasakan orang aneh ini memang tiada bermaksud membunuhnya, maka nyalinya menjadi besar, mulutnya bicara, sekonyong-konyong ia melompat ke depan lemari pakaian.

Lemari itu memangnya masih baru, peliturnya masih mengkilap, apalagi habis digosok sehingga berkilau seperti kaca, waktu Siau-hi-ji berjongkok, segera sesosok bayangan putih muncul dengan jelas di lemari itu.

Terlihat orang itu berambut panjang, berbaju putih mulus laksana salju, gayanya seperti badan halus dari alam lain, cuma mukanya memakai topeng perunggu yang kelihatan beringas menakutkan.

Kembali Siau-hi-ji terkejut, tanpa terasa ia berseru, “He, kiranya engkau ini Tong-siansing!”

Mendadak orang itu tidak bersuara lagi.

Siau-hi-ji merasa sorot mata orang sedang menatapnya dengan gemas, sinar mata orang yang memancar ke lemari lalu memantul kembali, tapi masih kelihatan dingin dan menyeramkan.

Sorot mata orang-orang seperti Toh Sat, Im Kiu-yu, Oh-ti-tu dan sebagainya juga dingin menakutkan, tapi di antara sinar mata mereka itu sedikit banyak masih mengandung perasaan. Namun sorot mata “Tong-siansing” atau si tuan bertopeng perunggu ini justru sedingin es, andai kata orang ini pun punya hati maka hatinya pasti sudah lama membeku.

Selang agak lama baru terdengar “Tong-siansing” itu membuka suara, “Ya, dengan sendirinya kau kenal aku, tentunya Oh-ti-tu itu telah bercerita padamu.”

Siau-hi-ji menyengir, katanya, “Tempo hari Oh-ti-tu bercerita, katanya ilmu silatmu sangat tinggi dan macam-macam lagi, aku merasa sangsi, tapi setelah bertemu sekarang barulah kutahu dia tidak membual.”

“Kau tidak perlu menyanjung diriku,” jengek Tong-siansing. “Kalau aku tidak mau membunuhmu, maka untuk selamanya tetap takkan kubunuh kau.”

“Selamanya?” Siau-hi-ji menegas.

“Ehm!” jawab Tong-siansing.

Siau-hi-ji menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, “Setelah melihat kamarmu sebersih ini serta mengeluarkan bau harum, tadinya kukira engkau adalah perempuan. Untunglah engkau ternyata bukan perempuan, kalau tidak, biarpun engkau sudah menyatakan tidak akan membunuhku juga tak dapat kupercaya.”

“Kau tidak percaya pada perempuan?”

“Kata-kata perempuan sama sekali tidak dapat dipercaya. Barang siapa percaya kepada perempuan, maka celakalah dia!”

“Sebab apa?” tanya Tong-siansing pula.

“Meski di kalangan lelaki juga ada orang jahat, tapi pasti tidak seculas dan sekeji perempuan, lelaki yang paling busuk juga pasti lebih baik daripada perempuan yang busuk.”

Mendadak Tong-siansing menjadi gusar, dampratnya, “Apakah ibumu sendiri bukan perempuan?! Mengapa kau menista kaum perempuan umumnya?”

“Perempuan di seluruh jagat ini mana ada yang dapat dibandingkan ibuku?” jawab Siau-hi-ji. “Beliau sedemikian halus budinya, cantik lagi dan ....” Walaupun dia belum pernah melihat wajah ibundanya, tapi di mata setiap anak di kolong langit ini ibunda sendiri pasti dianggapnya sebagai perempuan yang paling cantik dan paling baik di dunia ini. Apalagi anak yang tidak pernah mengenal wajah sang ibu, dalam khayalannya tentu terbayang ibu yang cantik dan hal-hal lain yang muluk-muluk, dengan sendirinya Siau-hi-ji juga tidak terkecuali.

Begitulah omong punya omong tentang ibunya, tanpa terasa Siau-hi-ji lantas memejamkan mata dan berucap menurut khayalannya. Dasar mulutnya memang pintar bicara, maka apa yang dilukiskan menurut bayangannya menjadi lebih muluk-muluk, ibunya dikatakan seolah-olah secantik bidadari dan jarang ada bandingannya di dunia.

Sorot mata Tong-siansing yang dingin itu mendadak seakan-akan membara. Tapi Siau-hi-ji seperti mengigau, “Perempuan lain di dunia ini kalau dibandingkan ibuku, hakikatnya seperti sampah dibanding mutiara, sedikit pun tidak berharga, aku ….”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong lehernya terasa kesakitan, tubuhnya menjadi kaku, tahu-tahu ia telah diangkat ke atas oleh Tong-siansing.

Dengan ilmu silat Siau-hi-ji sekarang ternyata sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.

Dilihatnya sorot mata orang berapi-api, tangannya yang dingin mencengkeram semakin kencang, leher Siau-hi-ji seakan-akan diremasnya hingga remuk.

Keruan anak muda itu ketakutan dan berteriak, “He, engkau sudah bilang selamanya takkan membunuhku, apa yang sudah kau katakan mengapa tidak kau pegang?”

“Sebenarnya aku tidak mau membunuhmu, tapi sekarang pikiranku telah berubah,” teriak Tong-siansing dengan suara parau.

“Se ... sebab apa?”

“Sebab kau mengoceh tak keruan, aku menjadi geregetan.”

“Bilakah pernah kusembarangan omong?”

“Ibumu itu cantik atau jelek, baik atau busuk, pada hakikatnya kau tidak pernah melihatnya, tapi kau sengaja membual setinggi langit baginya, ini bukan sembarangan mengoceh, lalu apa namanya?”

“Dari ... dari mana kau tahu aku tidak pernah melihat ibuku?”

“Hm, kalau aku tidak tahu, siapa lagi yang tahu?” jengek Tong-siansing alias si topeng perunggu.

“Jika begitu, jadi engkau ... engkau pernah melihat ibuku?”

Tong-siansing hanya mendengus saja tanpa menjawab.

“Bagaimana bentuk wajah ibuku?” tanya Siau-hi-ji, betapa pun ia sangat ingin tahu.

“Ibumu adalah perempuan paling jelek di dunia ini, ya bungkuk, ya pincang, ya burik, ia botak, pendek kata, segala cacat manusia di dunia ini terkumpul seluruhnya pada ibumu, setiap perempuan mana pun di dunia ini pasti jauh lebih cantik daripadanya.”

“Kentut, kentut busuk!” damprat Siau-hi-ji dengan gusar. “Kau sendiri yang sembarangan mengoceh, ngaco-belo!”

Belum lenyap ucapannya, “plak-plok”, kontan ia kena gampar dua kali.

Meski dua kali tempelengan ini tidak mengeluarkan seluruh tenaga Tong-siansing, tapi sudah cukup membuat kedua pipi Siau-hi-ji bengkak seperti kue apem, darah lantas mengucur pula dari ujung mulutnya. Namun begitu Siau-hi-ji masih terus mencaci-maki.

Meski dia tidak pernah melihat sang ibu, tapi bilamana dia terkenang kepada ibundanya, dalam hati lantas timbul rasa yang sukar dikatakan, ya sedih dan juga kasih sayang.

Biasanya Siau-hi-ji tidak berani sering-sering mengenangkan sang ibu, sebab kalau sudah mulai terkenang, maka akan berlarut-larut dan tidak berhenti, makanya tadi begitu dia menyebut ibu, dia terus menyinggungnya tanpa berhenti pula.

Biasanya meski ia pun suka mengikuti arah angin dan bisa melihat gelagat, kalau Tong-siansing ini mencaci maki dia dan ia merasa bukan tandingannya, maka pasti dia takkan melawan dan balas memaki. Tapi sekarang yang dicaci maki orang itu adalah ibundanya, maka dia tidak bisa menerimanya.

Begitulah Tong-siansing masih terus menempeleng dan Siau-hi-ji juga tetap mencaci maki tanpa berhenti. Memang beginilah watak Siau-hi-ji, kepala batu, bandel, berani mati, kalau sudah nekat, mati hidup tak dipedulikan lagi.

“Ayo! Maki lagi, bisa kubunuh kau sekalian!” damprat Tong-siansing dengan menggereget.

Mulut Siau-hi-ji sudah penuh darah, dengan suara serak ia berteriak, “Asalkan kau mengakui ibuku adalah perempuan paling cantik, berbudi paling halus, aku lantas tidak memakimu lagi.”

“Asalkan kau mengakui ibumu adalah siluman paling jelek dan busuk di dunia ini dan segera kuampuni kau,” jawab Tong-siansing.

Kembali Siau-hi-ji meraung kalap, makinya pula, “Ibumu sendiri ya bungkuk, ya pincang, ya burik, ya gundul, ya ....”

Tapi mendadak kedua jari Tong-siansing menjepit janggutnya sehingga dagunya terkilir, “Kau benar-benar ingin mampus?” bentaknya.

Siau-hi-ji tak dapat bersuara pula karena engsel dagunya terlepas dari tempatnya, mulutnya menjeplak, tapi tak sanggup bicara, hanya kedua matanya saja tetap melotot murka.

“Boleh kau mengaku dengan mengangguk, lalu akan kuampuni kau, jika menggeleng, segera kubinasakan kau ....”

Belum habis ucapan Tong-siansing, seketika Siau-hi-ji menggeleng kepala seperti orang sakit ayan.

“Mati pun kau tidak mau mengakui ibunya adalah perempuan paling jelek?” tanya Tong-siansing.

Seketika Siau-hi-ji mengangguk-angguk seperti anak ayam menotol nasi.

“Kau ... kau rela mati baginya?” tanya Tong-siansing dengan sorot mata penuh dendam dan benci, tapi suaranya kedengaran rada gemetar.

Siau-hi-ji menyangka orang akan segera turun tangan membunuhnya, tak terduga tangan si topeng perunggu mendadak jadi lemas sehingga Siau-hi-ji terbanting ke lantai, cepat dia geser dagu sendiri sehingga kembali pada kedudukannya yang tepat.

Dilihatnya Tong-siansing berdiri mematung di situ dengan tubuh gemetar, napas Siau-hi-ji terengah-engah, ia coba melirik orang, ia merasa tidak terluka apa-apa, tapi rasanya sudah setengah kapok dan tidak berani sembarangan bertindak pula. Selang sejenak, saking tak tahan ia membuka suara, “Sesungguhnya ada permusuhan apa antara ibuku dengan engkau, mengapa engkau menistanya sedemikian rupa?”

Tong-siansing seolah-olah tidak mendengar sama sekali pertanyaannya.

Tanpa ayal lagi Siau-hi-ji lantas melompat keluar kamar itu, ia coba melirik ke belakang, rupanya Tong-siansing tidak mengejarnya. Meski di dalam hati penuh diliputi tanda tanya, namun tidak sempat terpikir lagi olehnya, cepat ia mengeluarkan gerak tubuhnya yang gesit, ia melayang secepat terbang ke depan, hanya sekejap saja ia sudah berada jauh di luar hotel.

Tiba-tiba di belakang ada orang menjengek, “Kau tetap tidak mengaku?”

Tubuh Siau-hi-ji sedang mengapung, mendengar suara itu, seketika ia jatuh ke bawah. Ia tahu bilamana orang sudah mengejarnya, maka tiada ubahnya seperti bayangan yang selalu lengket pada tubuhnya, lari juga tiada gunanya.

“Jika mampu, ayo bunuhlah aku!” bentak Siau-hi-ji mendadak sambil memutar balik, kedua tangan sekaligus menghantam beberapa kali. Akan tetapi bayangan orang saja tidak kelihatan, tahu-tahu punggungnya kesemutan, “bluk”, kembali ia jatuh tersungkur.

*****

Sementara itu Hoa Bu-koat sedang minum arak di kamarnya. Biasanya anak muda ini tidak suka minum, tapi entah mengapa, malam ini dia minum sendirian di kamarnya, bahkan setiap cawan selalu dihabiskannya, akhirnya ia menjadi mabuk dan menjatuhkan diri di ranjang dan tertidur.

Dalam mimpinya ia merasa ada seorang memotong tangannya dengan sebilah pisau, ia ingin berteriak, tapi dada terasa tertindih benda yang berat sehingga napas pun sesak.

Pada saat itulah di jendela ada orang berseru padanya, “Hoa Bu-koat, bangun!” Meski lirih suara itu, namun setiap katanya dengan tajam dan terang tersiar ke telinga Hoa Bu-koat.

Bu-koat terjaga bangun, ia pandang tangan sendiri, masih baik-baik, tapi keringat dingin sudah membasahi bajunya. Ia merasa mimpi buruk tadi seakan-akan kejadian sesungguhnya.

Kembali di luar jendela berkumandang suara memanggil, “Bu-koat, keluar sini!”

Setelah tenangkan diri, tanpa memakai sepatu lagi Bu-koat lantas membuka jendela, suasana di luar remang-remang, sesosok bayangan putih seperti hantu saja berdiri jauh di sana.

Di bawah cahaya bintang yang redup samar-samar kelihatan wajah orang itu seperti hijau kemilau, setelah diawasi baru diketahui muka orang memakai sebuah topeng perunggu yang menakutkan.

Bu-koat tersiap, serunya, “Apakah Tong ... Tong-siansing?”

Orang itu mengangguk, katanya, “Keluar sini!”

Sekali lompat Bu-koat lantas melayang keluar, ia hanya pakai kaus kaki tanpa sepatu.

Sementara itu Tong-siansing telah melayang ke atas wuwungan rumah sana. Cepat Bu-koat menyusul, ia pun melayang lewat deretan rumah dan melintasi jalanan yang sepi.

Tanpa menoleh tiba-tiba Tong-siansing itu mendengus, “Hm, anak murid Ih-hoa-kiong mengapa jadi suka mabuk dan tidur begitu?”

Bu-koat menyengir, jawabnya, “Karena kesal, Wanpwe jadi ....”

“Anak murid Ih-hoa-kiong, kenapa pula kesal?” jengek Tong-siansing.

Bu-koat melengak, ia tertunduk dan tidak berani menanggapi.

Terlihat dari kepala sampai kaki Tong-siansing itu tidak bergerak sama sekali, tapi cara melayangnya secepat terbang, orang seperti meluncur terbawa angin belaka.

Melihat Ginkang mahatinggi ini, mau tak mau Hoa Bu-koat terkejut.

Didengarnya Tong-siansing berkata pula, “Tentunya kau sudah tahu siapa aku ini?”

“Ketika Wanpwe akan meninggalkan Ih-hoa-kiong, guruku telah memberi pesan, bilamana bertemu dengan Siansing berarti sama saja bertemu dengan guru. Apa pun yang dikatakan Siansing harus Wanpwe turut,” jawab Bu-koat.

“Selain itu Kiongcu pernah memberi pesan apalagi?”

Bu-koat termenung, jawabnya, Ini ....”

“Memangnya tiada pesan lain?” Tong-siansing menegas dengan suara bengis.

Akhirnya Hoa Bu-koat menjawab dengan suara berat, “Guruku mengharuskan Wanpwe membunuh seorang bernama Kang Siau-hi-ji dengan tanganku sendiri.”

“Ehm, bagus!” ucap Tong-siansing, agaknya jawaban ini cukup memuaskannya.

Ia tidak bicara lagi dan selama itu pun tidak pernah berpaling, Bu-koat memandangi bayangan punggung orang dengan sangsi, ia tidak dapat menerka sesungguhnya untuk apakah dirinya disuruh ikut keluar.

Jalan yang dilalui semakin sepi, akhirnya mereka sampai di suatu lereng bukit, di sini ada pohon besar dengan daunnya yang rindang, sekonyong-konyong Tong-siansing melayang ke atas pohon, tapi mulutnya berseru kepada Hoa Bu-koat, “Kau berdiri saja di bawah pohon!”

Habis ucapannya, tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak pohon, di bawah cakrawala yang penuh bertaburan bintang, seorang berbaju putih mulus berdiri di pucuk pohon dengan gayanya yang khas, tampaknya menjadi aneh dan juga menarik.

Bu-koat tidak paham apa kehendak orang, terpaksa ia bersabar dan menunggu.

Tiba-tiba terlihat Tong-siansing menarik keluar satu orang dari dahan pohon yang rindang sana, serunya, “Awas, pegang ini!”

Baru lenyap suaranya sesosok tubuh telah anjlok turun dari pucuk pohon.

Tinggi pohon ini berpuluh tombak, bobot seorang meski cuma seratusan kati saja, tapi terlempar dari atas pohon, bobotmya sedikitnya bertambah tiga kali. Hoa Bu-koat sendiri tidak tahu siapa orang yang dijatuhkan dari atas itu, ia pun tidak yakin apakah dirinya sanggup menangkap tubuh orang ini, seketika itu ia tidak sempat berpikir, segera ia melompat ke atas memapak tubuh yang jatuh ke bawah itu.

Dua sosok bayangan, satu dari atas dan yang lain dari bawah, tampaknya segera akan saling lintas. Pada saat berpapasan itulah sekonyong-konyong Hoa Bu-koat turun tangan, ia sempat meraih pakaian orang itu, “bret”, baju orang itu terobek, Bu-koat sendiri pun ikut terseret ke bawah oleh daya anjlok itu.

Tapi ketika hampir sampai di atas tanah, sementara daya anjlok itu sudah jauh berkurang, sambil membentak, Bu-koat berjumpalitan selagi masih terapung sehingga tubuh orang ini kena dilempar lagi ke atas.

Tapi waktu untuk kedua kalinya orang itu anjlok ke bawah, Bu-koat lantas dapat menangkap tubuhnya dengan enteng. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang tertampak wajah orang yang pucat dengan mata terpejam.

Orang ini ternyata Siau-hi-ji adanya.

Walaupun biasanya Bu-koat sangat tenang dan sabar, tanpa terasa sekarang ia pun menjerit kaget.

Tong-siansing itu masih berdiri di pucuk pohon, jengeknya tiba-tiba, “Siapa dia? Apakah kau mengenalnya?”

“Ken ... kenal,” jawab Bu-koat.

“Apakah dia ini Kang Siau-hi?”

“Betul.”

“Bagus, boleh kau bunuh dia!”

Tergetar hati Bu-koat, ia pandang Siau-hi-ji yang tak sadarkan diri itu, seketika ia sendiri jadi terkesima.

Perlahan-lahan Tong-siansing berkata pula, “Jika kau tidak ingin membunuh seorang yang tidak sanggup melawan, boleh juga kau buka Hiat-tonya.”

Dengan limbung Bu-koat menjulurkan tangannya dan membuka Hiat-to Siau-hi-ji yang tertutuk. Tertampak tubuh Siau-hi-ji mengejang lalu jatuh ke bawah terlepas dari pegangan Hoa Bu-koat.

Waktu membuka mata dan melihat Hoa Bu-koat berdiri di depannya, dengan berseri Siau-hi-ji bertanya, “Apakah engkau yang menyelamatkan aku?”

Bu-koat cuma melenggong saja tanpa bersuara.

“Memang sudah kuduga engkau pasti akan datang menolong aku, kita kan bersahabat?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Entah mengapa, perasaan Bu-koat menjadi pedih, tiba-tiba ia melengos ke sana.

Siau-hi-ji merasa aneh, tanyanya, “He, kenapa kau ....”

Pada saat itulah tiba-tiba seorang menjengek, “Hoa Bu-koat, kenapa kau tidak turun tangan?”

Baru sekarang Siau-hi-ji melihat Tong-siansing yang berdiri di puncak pohon itu, ia menarik napas dingin, ia pandang Hoa Bu-koat dengan terbelalak, katanya, “Kiranya dia menghendaki kau membunuh diriku, begitukah?”

Bu-koat menghela napas panjang.

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian dengan menyengir, “Kutahu engkau tak berani membangkang atas perintahnya .... Baiklah silakan kau turun tangan saja!”

Bu-koat juga termenung sejenak, tiba-tiba ia berucap dengan sekata demi sekata, “Sekarang aku tidak boleh membunuhmu!”

Siau-hi-ji melengak dan bergirang pula. Tong-siansing menjadi gusar, bentaknya, “Apa katamu?”

“Kini, betapa pun aku tak dapat membunuh dia?” seru Bu-koat.

“Apakah kau telah melupakan pesan gurumu?” teriak Tong-siansing gusar.

“Tecu tidak berani melupakannya,” jawab Bu-koat dengan menunduk.

“Jika tidak berani melupakannya, kenapa tidak membunuhnya?”

Kembali Hoa Bu-koat menghela napas panjang, katanya, “Aku sudah mengadakan janji tiga bulan dengan dia, sebelum tiba waktunya aku tak dapat membunuhnya.”

“Bila gurumu mengetahui hal ini, lalu bagaimana jadinya?” bentak Tong-siansing.

Mendadak Hoa Bu-koat mendongak, serunya, “Meski perintah guru tidak boleh dibantah, tapi janji juga harus dipegang teguh. Saat ini sekalipun guruku berada di sini juga pasti takkan menyuruh Wanpwe menjadi manusia ingkar janji.”

Dengan suara keras Siau-hi-ji lantas menyambung, “Apalagi dia kan pasti akan membunuhku, yang menjadi soal hanya waktu saja, ini kan juga bukan membangkang terhadap perintah gurunya.”

“Hoa Bu-koat,” bentak Tong-siansing dengan gusar, “Jangan lupa, melihat aku sama saja seperti melihat gurumu, kau berani membangkang atas perintahku.”

“Apa pun kehendak Siansing pasti akan kulaksanakan, hanya urusan ini saja betapa pun Tecu tidak dapat menurut,” ucap Bu-koat dengan gegetun.

“Demi melaksanakan perintah gurumu, biarpun kau tidak pegang janji juga takkan disalahkan oleh siapa pun,” kata Tong-siansing.

“Maaf Siansing, Tecu ....”

Mendadak Tong-siansing membentak pula, “Kau tidak mau membunuh dia, mungkin bukan lantaran ada janji melainkan ada sebab lainnya, betul tidak?”

Tergetar hati Hoa Bu-koat, sesungguhnya ia pun tidak tahu sebab apa ia pegang teguh takkan membunuh Siau-hi-ji sekarang apakah karena ingin menepati janji atau ada sebab lain.

Tadi ketika tanpa sadar Siau-hi-ji berada dalam pelukannya, tiba-tiba dalam hatinya seolah-olah timbul semacam perasaan yang sukar dilukiskan, ia telah pandang wajah Siau-hi-ji, ia merasa anak muda ini bukanlah musuhnya, tapi seperti seorang sahabat lama yang sangat akrab, meskipun sejak pertemuan pertama dengan Siau-hi-ji hingga kini juga baru dua tahun lamanya.

Ia merasakan pernapasan Siau-hi-ji yang lemah tadi, ia merasakan pula anak muda ini bukanlah orang yang harus dibunuhnya, tapi justru harus dilindunginya. Sampai Siau-hi-ji terlepas dari pondongannya dan jatuh ke tanah, perasaan ajaib masih tetap membekas di dalam sanubarinya.

Kini dilihatnya pula senyuman Siau-hi-ji yang penuh keyakinan dan percaya padanya, mana dia sanggup turun tangan lagi membunuhnya.

Terdengar Tong-siansing sedang berteriak dengan bengis, “Hoa Bu-koat, jangan lupa bahwa dia inilah musuhmu yang paling besar, jika kau bersahabat dengan dia, bukan saja gurumu takkan mengampunimu, kelak bila kau teringat akan kejadian ini juga kau takkan memaafkan dirimu sendiri.”

Bu-koat menghela napas panjang. Meski setiap orang mengatakan dia dan Siau-hi-ji adalah musuh bebuyutan, baru tamat bila salah satu mati, meski kenyataan juga membuktikan Siau-hi-ji memang betul musuhnya. Tapi aneh, dalam hati sedikit pun ia tidak merasakan ada sesuatu permusuhan dengan Siau-hi-ji, ia sendiri pun tidak dapat menjelaskan bilakah perasaan aneh ini mulai timbul.

Perasaan aneh ini seolah-olah sudah lama tersimpan dalam lubuk hatinya dan baru berkobar setelah kulit daging Siau-hi-ji menyentuh kulit dagingnya.

Dia pandang Siau-hi-ji, gumamnya di dalam hati, “O, Kang Siau-hi-ji, apa yang sedang kau pikirkan sekarang? Yang kau pikirkan apakah sama dengan pikiranku?”

Siau-hi-ji memang sedang menatapnya, hatinya memang sedang berpikir.

Tong-siansing memandang dari pucuk pohon. Dilihatnya kedua anak muda yang berdiri berhadapan itu, sorot matanya yang dingin seketika berkobar-kobar pula, bentaknya dengan bengis, “Hoa Bu-koat, tidak perlu kau tunggu lagi tiga bulan, turun tangan sekarang saja!”

Tiba-tiba Siau-hi-ji mendongak dan bergelak tertawa, teriaknya, “Hahaha, mengapa tidak boleh menunggu lagi tiga bulan? Memangnya kau khawatir tiga bulan kemudian dia takkan membunuhku lagi?”

“Apa yang kukhawatirkan?” teriak Tong-siansing dengan parau. “Kalian memang dilahirkan menjadi musuh, nasib kalian sudah ditakdirkan salah seorang harus mati di tangan yang lain.”

“Jika begitu, sekarang mengapa kau paksa dia?” seru Siau-hi-ji. “Jika kau menginginkan kematianku sekarang juga, boleh kau turun tangan sendiri saja, mengapa kau sendiri tidak berani membunuhku?”

Tong-siansing merasa hulu hatinya seakan-akan ditikam orang, ia bersuit nyaring terus melayang turun.

Air muka Hoa Bu-koat menjadi pucat, disangkanya Tong-siansing alias si topeng perunggu itu hendak membunuh Siau-hi-ji, tak tersangka orang lantas menerjang ke hutan sana, sekali angkat tangan, kontan sebatang pohon kena ditonjoknya hingga patah dan ambruk.

Tubuh Tong-siansing masih terus berputar kian kemari, kedua tangannya bekerja susul menyusul, batang pohon sebesar paha hanya sekali dihantamnya lantas patah dan tumbang. Hanya sekejap saja belasan pohon di bukit itu telah ditebang olehnya dengan pukulan yang dahsyat dan menimbulkan suara gemuruh memekak telinga.

Melihat tenaga pukulan luar biasa itu, tanpa terasa Siau-hi-ji berkecak-kecak kagum.

Ia tahu ilmu silat Tong-siansing yang mahasakti ini, kalau dirinya mau dibunuhnya boleh dikatakan semudah menyembelih seekor ayam. Ia pun tahu si Topeng Perunggu ini sudah teramat benci padanya, kalau bisa mungkin tubuhnya akan dicincangnya hingga luluh, namun orang aneh ini justru tidak mau melakukannya dengan tangan sendiri dan lebih suka melampiaskan rasa geregetan itu atas pepohonan. Apakah sebabnya dia berbuat begini? Sungguh sukar dimengerti?

Dalam pada itu tahu-tahu Tong-siansing telah melayang ke depan Hoa Bu-koat dan membentak pula dengan bengis, “Jadi kau sudah pasti akan menunggu tiga bulan lagi baru mau membunuhnya?”

Bu-koat menarik napas dalam-dalam, jawabnya kemudian, “Ya!”

“Kalau sekarang kubunuh dia, lalu bagaimana kau?”

Dengan muka pucat Bu-koat memandang Siau-hi-ji sekejap, lalu menjawab dengan tergagap, “Jika ... jika Siansing membunuhnya sekarang juga, mungkin ... mungkin Tecu ....”

“Memangnya kau berani merintangi aku?” bentak Tong-siansing.

Bu-koat tampak serba sulit, ia menghela napas dan menjawab, “Tecu ... Tecu ....”

Tiba-tiba Tong-siansing bergelak tertawa histeris, serunya, “Jika kau memang sedemikian mengutamakan janji setia, sebagai kaum Cianpwe masakah aku harus membikin susah padamu. Kau ingin menunggu lagi tiga bulan, baiklah, apa alangannya kalau kuberi waktu selama tiga bulan?”

Perubahan sikap ini kembali di luar dugaan kedua anak muda itu.

Dengan girang dan kejut Bu-koat berseru, “Terima kasih atas kebaikan Siansing ....”

“Dan sekarang bolehlah kau pergi saja,” kata Tong-siansing dan berhenti tertawa mendadak.

Kembali Bu-koat memandang Siau-hi-ji sekejap, tanyanya, “Dan dia ....”

“Dia tinggal di sini!” bentak Tong-siansing.

Bu-koat kembali terkejut, katanya, “Apakah Siansing hendak ....”

“Bila kuingin membunuhnya sendiri, memangnya perlu kutunggu sampai sekarang?” jengek Tong-siansing.

Bu-koat berpikir sejenak lalu menunduk dan berkata, “Kalau Siansing tidak akan membunuh dia, kenapa tidak lepaskan dia pergi saja. Janji tiga bulan ini kukira takkan diingkarnya.”

“Apakah dia akan ingkar atau tidak yang pasti selama tiga bulan ini aku pun akan melindungi dia agar seujung rambutnya takkan terganggu oleh siapa pun,” ucap Tong-siansing. “Tiga bulan kemudian, dengan utuh dan bulat akan kuserahkan dia padamu.”

“Agar aku dibunuhnya dengan utuh dan bulat-bulat, begitu bukan?” tiba-tiba Siau-hi-ji menambahkan dengan tertawa.

“Ya, betul!” jengek Tong-siansing.

“Wah, jika begitu engkau harus mengorbankan pikiran dan tenaga untuk melindungi aku, rasanya aku menjadi tidak enak hati,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Hanya melindungi seorang macammu ini masakah perlu banyak makan pikiran dan tenagaku?” dengus Tong-siansing.

“Ah, engkau tentunya mengira diriku ini mudah diawasi?” kata Siau-hi-ji pula dengan mimik wajah jenaka. “Sungguh salah besar jika begitu anggapanmu. Ketahuilah, aku ini tiada punya penyakit lain kecuali suka mencari gara-gara pada orang lain. Lantaran itu, orang Kangouw yang ingin membunuhku sungguh tidak sedikit.”

“Kecuali Hoa Bu-koat, siapa pun tidak boleh membunuhmu!” kata Tong-siansing.

“Betul?” Siau-hi-ji menegas.

“Setiap ucapanku adalah kata-kata emas dan keputusan yang tidak dapat diganggu gugat!” jengek Tong-siansing.

“Jika ucapanmu sudah begini bulat, bilamana dalam tiga bulan ini aku mengalami sesuatu gangguan, wah, entah engkau masih punya muka untuk tampil di depan umum atau tidak?”

“Pokoknya selama tiga bulan ini jika kau mengalami sesuatu gangguan, akulah yang bertanggung jawab,” bentak Tong-siansing.

“Nah, Hoa-heng, engkau juga mendengar dengan jelas ucapannya bukan?” tanya Siau-hi-ji kepada Hoa Bu-koat.

“Ya, jelas,” jawab Bu-koat dengan mengangguk sambil mengulum senyum.

“Engkau juga harus ingat baik-baik janjinya,” kata Siau-hi-ji.

“Sudah tentu kuingat,” kata Hoa Bu-koat.

“Kalau begitu legalah hatiku,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Dalam waktu tiga bulan ini dapatlah aku berbuat sesuatu sekehendak hatiku, toh tiada seorang pun yang berani mengganggu aku.”

“Ya, jangan khawatir, dalam tiga bulan ini, perbuatan apa pun takkan dapat kau lakukan,” jengek Tong-siansing pula.

“Ah, kukira belum tentu ....” Siau-hi-ji berkedip-kedip dengan senyuman penuh teka-teki.

Teringat kepada kebinalan Siau-hi-ji dengan tingkah lakunya yang aneh-aneh dan licin, Bu-koat pikir biarpun ilmu silat Tong-siansing mahatinggi, rasanya juga akan kena dikibuli anak muda itu.

Karena pikiran ini, tanpa terasa Bu-koat tersenyum geli.

Tong-siansing menjadi gusar, bentaknya, “Tidak lekas pergi, untuk apa kau tinggal di sini?”

Seketika lenyaplah senyuman Hoa Bu-koat, katanya kemudian, “Tiga bulan kemudian ....”

“Pergilah, jangan khawatir,” sela Siau-hi-ji, “Tiga bulan kemudian akan kutunggu kau di tempat itu!” Lalu ia berpaling kepada Tong-siansing dan berkata pula dengan tertawa, “Sekarang aku ingin bicara berduaan dengan dia, apakah engkau tidak khawatir?”

“Tiada sesuatu urusan di dunia ini yang dapat membuat aku khawatir,” jengek Tong-siansing.

Siau-hi-ji berkerut-kerut hidung, ucapnya dengan tertawa, “Kepandaianmu memang tinggi, tapi rasanya engkau pun suka membual.”

“Kau berani kurang ajar?” bentak Tong-siansing.

“Mengapa tidak berani? Kan di dalam tiga bulan ini tiada seorang pun yang berani menggangguku?” jawab Siau-hi-ji dengan terbahak-bahak.

Saking dongkolnya Tong-siansing jadi melenggong, ia benar-benar mati kutu menghadapi anak binal ini.

Siau-hi-ji mendekati Hoa Bu-koat, dengan suara lirih ia berkata, “Sayang dia memakai topeng setan begitu, kalau tidak air mukanya sekarang tentu sangat lucu untuk ditonton.”

Meski dia bicara dengan suara tertahan, tapi dia justru sengaja membikin suaranya sedemikian lirih hingga tiba cukup didengar juga oleh Tong-siansing.

Tentu saja Bu-koat merasa geli dan hampir-hampir mengakak, lekas ia pura-pura berdehem, lalu berkata, “Apa yang hendak kau bicarakan padaku?”

“Petang besok, Yan Lam-thian, Yan-tayhiap akan menunggu aku di hutan bunga sana, dapatlah engkau mewakilkan diriku ke sana, beritahukan kepada beliau bahwa aku tidak sempat memenuhi janji menemuianya,” kata Siau-hi-ji. Sekali ini ia benar-benar menahan suaranya sehingga tidak terdengar oleh orang lain.

“Yan Lam-thian? ….” Bu-koat berkerut dahi.

“Kutahu engkau bersengketa dengan dia, karena itu bilamana permintaanku kau tolak juga aku takkan menyalahkanmu,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.

Tiba-tiba Bu-koat tertawa, katanya, “Dalam tiga bulan ini kita adalah sahabat karib bukan?”

“Sudah tentu,” jawab Siau-hi-ji.

“Dan permintaan sahabat dapatkah kutolak?”

Siau-hi-ji tertegun, ia pandang Bu-koat sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, “Ehm, engkau sangat baik, sungguh tidak penasaran aku mempunyai sahabat seperti engkau ini.”

Bu-koat terdiam sekian lama, lalu berkata secara tak acuh, “Cuma sayang, hanya selama tiga bulan saja.” Dia sengaja anggap tak acuh, tapi ternyata kurang mahir berlagak.

Siau-hi-ji merasa pedih, jawabnya dengan tersenyum, “Tiga bulan sama dengan sembilan puluh hari, ini bukan waktu yang singkat.”

“Namun selama kita bersahabat ini kukira takkan berjumpa, apalagi berkumpul. Bilamana kita berjumpa pula nanti, maka kita bukan lagi sahabat melainkan musuh!”

“Banyak kejadian di dunia ini sering kali di luar dugaan, kejadian-kejadian ini setiap hari selalu timbul, bukan mustahil selang dua-tiga hari lagi kita juga akan berjumpa, siapa tahu?”

“Aku tidak percaya akan keajaiban,” kata Bu-koat dengan gegetun.

“Seorang yang malang dan sedang bernasib sial, kalau tidak senantiasa mengharapkan timbulnya keajaiban, pada hakikatnya ia tak mungkin bertahan hidup lama, betul tidak?”

“Kau percaya keajaiban?” Bu-koat balas tanya.

“Jika aku tidak percaya akan keajaiban, memangnya sekarang aku dapat tertawa?”

“Tapi keajaiban pasti takkan terjadi!” tiba-tiba Tong-siansing mendengus di belakang mereka. “Nah, Hoa Bu-koat, pergilah kau!”

*****

Melihat Bu-koat sudah pergi jauh barulah Siau-hi-ji menghela napas dan bergumam, “Sungguh seorang yang menyenangkan, cuma sayang dia dilahirkan di tempat yang keliru.”

“Yang terlahir di tempat yang keliru ialah kau!” jengek Tong-siansing. “Sebab kau pasti akan mati di tangannya.”

Siau-hi-ji termenung, mendadak ia tertawa dan berkata pula, “Seorang kalau harus mati, tentu akan jauh lebih baik mati di tangannya daripada mati di tangan orang lain.”

“Kau tidak dendam padanya?” bentak Tong-siansing.

“Mengapa aku harus dendam padanya?”

“Gurunya yang membunuh ayah-bundamu?”

“Tapi waktu ayah-ibuku meninggal, mungkin dia sendiri belum lagi dilahirkan. Apa yang diperbuat gurunya ada sangkut-paut apa dengan dia, memangnya gurunya yang makan nasi dan Hoa Bu-koat yang harus berak bagi gurunya?”

Bilamana ucapan Siau-hi-ji ini diutarakan di jaman kini tentu seketika akan mendapat sorak puji orang. Akan tetapi pada jaman itu, jalan pikiran manusia tatkala itu tidaklah terbuka seperti sekarang, lebih-lebih soal permusuhan dan bunuh-membunuh di dunia Kangouw, hampir selalu berlangsung turun-temurun dan sukar dilerai.

Sebab itulah ucapan Siau-hi-ji itu membuat Tong-siansing melengak juga. Selang sejenak barulah ia membentak pula dengan bengis, “Tapi dia juga telah berebut gadis yang kau cintai, masa kau tidak dendam padanya?”

“Hati perempuan kalau sudah mau berubah, tenaga apa pun tidak mungkin dapat menahannya, dalam hal ini mana dapat kusalahkan Hoa Bu-koat. Apalagi seorang perempuan kalau hatinya harus berubah dan berubah hatinya itu disebabkan Hoa Bu-koat, maka kukira akan jauh lebih baik daripada perubahan hatinya itu disebabkan orang lain.”

Kembali Tong-siansing tercengang sejenak, kemudian ia membentak pula dengan gusar, “Dendam membunuh orang tua dan sakit hati merebut pacar, hal-hal ini bagi orang lain pasti akan dituntut dengan taruhan nyawa, tapi kau malahan menganggap sepi saja, apakah kau ini bisa dianggap sebagai manusia lagi?”

Siau-hi-ji menatap orang dengan terbelalak, tiba-tiba ia tertawa dan berucap “Ingin kutanyakan padamu, sebab apakah engkau menghendaki aku dendam dan benci padanya?”

“Kau dendam atau tidak padanya memangnya ada sangkut-paut ada dengan diriku?” jawab Tong-siansing gusar.

“Itulah dia, kalau tiada sangkut-pautnya dengan engkau, mengapa dengan susah payah engkau menaruh perhatian sebesar ini?” kata Siau-hi-ji.

Tong-siansing menjadi bungkam.

“Kutahu maksud tujuanmu hanya satu, yakni ingin aku mengadu jiwa dengan dia, engkau terus mengawasi diriku lantaran kau khawatir dalam tiga bulan ini persahabatan kami terpupuk semakin erat, kau khawatir dia tidak mau lagi membunuhku, betul tidak?”

“Masa bodoh jika kau sok pintar dengan macam-macam rekaanmu,” bentak Ton-siansing.

“Bahwa dia harus membunuhku dengan tangannya sendiri dan dia tidak tahu apa sebabnya, semula aku sudah merasa heran, sekarang aku jadi tambah heran,” ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum.

“Meski kau tidak benci padanya, tapi dia benci padamu, makanya ingin membunuhmu, apanya yang perlu diherankan?”

“Kau kira dia benar-benar benci padaku?”

Tubuh Tong-siansing seperti tergetar, hardiknya dengan bengis, “Mau tak mau dia harus benci padamu!”

“Inilah yang kuherankan,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun. “Engkau dan gurunya bisa membunuhku dengan sangat mudah, tapi kalian tidak mau turun tangan sendiri, sebab itulah aku merasa kalian sebenarnya tidak benar-benar menghendaki kematianku, melainkan cuma ingin kumati di tangan Hoa Bu-koat saja, rasanya kalian merasa puas bilamana menyaksikan dia membunuhku dengan tangan sendiri.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes