Wednesday, May 12, 2010

bgp2_part3

Giok-long menghela napas, jawabnya, “Meski ada maksudku untuk menolongnya, tapi ... tapi ada pembatasan antara lelaki dan perempuan, sekarang dia dihina dan dianiaya orang cara begitu, rasanya tidak bebas bagiku untuk menolongnya.”

“Wah, jika demikian, kau ini seorang lelaki sejati, seorang ksatria tulen,” To Kiau-kiau berseloroh.

“Meski Cayhe sudah menjelajah Kangouw, tapi tidak berani melupakan kesopanan dan keluhuran budi,” kata Giok-long.

Mendadak To Kiau-kiau tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya sambil menuding hidung Kang Giok-long, “Coba lihat kalian, bukankah dia ini memang punya sejurus dua simpanan. Jangankan Siau Mi-mi, sekalipun kedua Auyang bersaudara juga mesti mengangkat guru padanya.”

“Haha, memang benar,” sambung Ha-ha-ji, “Cara bicara kedua Auyang bersaudara yang dapat dipercaya kira-kira hanya satu kalimat di antara tiga kalimat, tapi bocah ini seluruhnya cuma bicara empat kalimat dan ternyata tiada satu pun yang dapat dipercaya.”

“Ah, kembali Cianpwe berkelakar, di depan para Cianpwe masa Wanpwe berani berdusta?” ucap Giok-long.

“Kau tidak berani berdusta? Haha, kembali kau berdusta lagi!” seru Ha-ha ji sambil ngakak.

Giok-long menghela napas, katanya, “Yang kukatakan semuanya adalah sejujurnya, kalau Cianpwe toh tidak percaya, sungguh Cayhe ....”

“Kau bicara sejujurnya?” potong To Kiau-kiau dengan tertawa genit. “Jika begitu ingin kutanya padamu. Kau mengaku bernama Ciang Peng, lalu si telur busuk kecil yang bernama Kang Giok-long itu siapa pula dia?”

Di dunia ini memang banyak pendusta, tapi di antara sepuluh ribu pendusta mungkin cuma satu-dua orang saja yang air mukanya tidak berubah bilamana kebohongannya terbongkar di depan umum. Dan Kang Giok-long inilah benar-benar pilihan di antara satu-dua orang pendusta itu. Mukanya tidak merah, sikapnya tidak kikuk, sebaliknya malah tertawa.

To Kiau-kiau memandangnya lekat-lekat seakan-akan makin lama makin tertarik, dengan tertawa ia tanya, “Apa yang kau tertawakan?”

“Sebab mendadak Cayhe merasa geli terhadap diriku sendiri,” jawab Kang Giok-long.

“Oo,” To Kiau-kiau jadi melongo.

“Soalnya Wanpwe menyadari kalau berdusta di depan para Cianpwe, hakikatnya seperti main kapak di depan tukang kayu, sungguh tidak tahu diri, kan lucu?”

“Haha, bagus, tepat!” Ha-ha ji berkeplok tertawa. “Caramu menjilat pantat sungguh menyenangkan dan kena, aku menjadi suka padamu.”

“Sebelum para Cianpwe bicara denganku, bisa jadi seluk-beluk mengenai diriku sudah kalian selidiki dengan jelas,” kata Giok-long.

“Betul, kami tahu kau ini bernama Kang Giok-long, putra kesayangan Kang-lam-tayhiap segala, kami juga tahu nona cilik ini adalah anak murid Ih-hoa-kiong,” tutur Kiau-kiau.

“Sungguh tidak nyana Cayhe bisa mendapatkan perhatian para Cianpwe, terima kasih.”

“Apakah kau tahu sebab apa kami menaruh perhatian padamu?” tanya To Kiau-kiau.

Giok-long tersenyum, tanyanya, “Barangkali Cianpwe hendak menjadi comblang bagiku?”

“Buset!” Kiau-kiau tertawa. “Andaikan aku punya anak perempuan, lebih baik kuberikan pada Li Toa-jui daripada diberikan padamu. Sedikitnya Li Toa jui takkan makan kepalanya, tapi kau, haha, mungkin akan kau lalap seluruhnya bersama tulang-tulangnya.”

“Ah, Cianpwe terlalu memuji, masa Cayhe dapat dibandingkan dengan Li-locianpwe,” ujar Giok-long dengan tertawa.

“Ah, tidak perlu rendah hati kau,” ucap Li Toa jui. “Caraku makan orang paling-paling cuma satu-satu, tapi caramu makan justru main lalap sebaris demi sebaris. Bukankah orang-orang dari Siang-say-piaukiok itu telah kau telan seluruhnya hanya dalam semalam saja?”

Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa, “Sebenarnya apa sebabnya para Cianpwe menyelidiki diriku sejelas ini?”

“Mungkin kau tidak tahu bahwa setelah kedua saudara Auyang bersaudara mati, kini Cap-toa-ok-jin hanya tersisa sembilan orang saja,” ucap To Kiau-kiau.

“Aneh, sepuluh dikurangi dua kan seharusnya tersisa delapan?” tanya Giok-long.

“Haha, caramu berhitung sungguh cermat,” seru Ha-ha-ji dengan tertawa, “Jika aku membuka pabrik, pasti kupakai tenagamu sebagai pemegang buku.”

“Tapi kau tidak tahu bahwa kedua Auyang Ting Tong itu terlalu suka cari untung kecil, orang yang cuma suka cari untung kecil tidak dapat dianggap Toa-ok-jin (penjahat besar) melainkan cuma telur busuk kecil saja. Sebab itulah gabungan mereka berdua baru sekadarnya dapat dianggap seorang Ok-jin.”

“Jika demikian, untuk menjadi Toa-ok-jin harus mengesampingkan soal keuntungan kecil ... ya, kata-kata emas ini pasti akan kuingat selalu,” ucap Giok-long dengan tertawa.

“Selain kedua Auyang bersaudara sudah mati, akhir-akhir ini, Ok-tu-kui kayak-kayaknya juga mau kembali ke jalan yang baik, sedangkan penyakit Ong-say Thi Cian juga semakin pasrah, bilamana tiada orang yang bisa diajak berkelahi, terkadang dia suka menghajar dirinya sendiri. Sedangkan Siau Mi-mi si ahli pikat itu entah sembunyi di gua mana, maka munculnya kami sekali ini tiba-tiba terasakan nama Cap-toa-ok-jin sudah tidak begitu tenar lagi di dunia Kangouw.”

Dengan sendirinya Kang Giok-long tahu di mana beradanya Siau Mi-mi.

Sebagaimana diketahui Siau Mi-mi telah terkurung di istana bawah tanah oleh Kang Giok-long dan Siau-hi-ji dahulu, mungkin selama hidupnya takkan muncul lagi.

Namun Giok-long hanya tersenyum tak acuh, katanya, “Jangan-jangan maksud para Cianpwe ingin mencari seorang pengganti Auyang bersaudara.”

“Betul, jika kami ingin membangkitkan nama kebesaran Cap-toa-ok-jin, maka kami harus mencari tenaga baru,” kata To Kiau-kiau.

Berkilau sinar mata Kang Giok-long, katanya dengan tertawa, “Tapi orang demikian memang sangat sukar dicari, setahuku, tokoh Kangouw yang dapat disejajarkan dengan para Cianpwe mungkin dapat dihitung dengan jari.”

“Jauh di ujung langit, dekat di depan mata, sekarang juga sudah tersedia satu orang di sini,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa sambil menatap Kang Giok-long.

“Ah, mana Cayhe sanggup,” cepat Giok-long menjawab.

“Hahaha, kau tidak perlu sungkan,” ujar Ha-ha-ji, “Usiamu memang muda belia, tapi hasil karyamu sukar dinilai. Lewat dua tahun lagi mungkin kami pun tidak dapat menandingimu.”

“Tidak perlu dua tahun lagi, sekarang pun kita sudah tak dapat melebihi dia,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.

Kang Giok-long seperti rada-rada kikuk, katanya, “Ah, mana kuberani, sedemikian tinggi para Cianpwe menghargai diriku, sungguh Cayhe tidak tahu cara bagaimana harus membalas kebaikan ini.”

“Hah, menarik, caramu bicara ini sungguh menarik, tidak percuma aku memujimu, “seru Li Toa-jui dengan tertawa.

Mendadak Pek Khay-sim menyela, “Tapi, anak muda, jangan kau tertipu oleh mereka. Bahwa mereka menarik kau masuk komplotan, tujuan mereka cuma ingin menyuruhmu bekerja sesuatu bagi mereka.”

Dasar “merugikan orang lain tidak perlu menguntungkan diri sendiri”, sejak tadi Pek Khay-sim diam saja, sekali buka mulut dia lantas mengacau.

Dengan tertawa Ti Kiau-kiau mengomel, “Anjing memang tidak lupa makan najis, mana bisa mulut anjing tumbuh gading. Jangan kau percaya pada ocehannya.”

“Justru yang kukatakan adalah sejujurnya,” seru Pek Khay-sim dengan mendelik, “Jika kau tidak turut nasihatku, maka kau sendiri pasti bakal celaka.”

“Maksud baik Cianpwe sudah tentu kuterima,” ujar Giok-long dengan tersenyum. “Tapi jika Cayhe ada kesempatan bekerja bagi para Cianpwe, ini kan suatu penghargaan bagiku. Nah, ada petunjuk apakah, silakan para Cianpwe katakan saja.”

Dengan tersenyum To Kiau-kiau lantas berkata, “Ada seorang tokoh persilatan yang maha lihai, namanya Gui Bu-geh, di pegunungan inilah tempat tinggalnya, kukira kau pun tahu hal ini. Tapi apakah kau tahu di liang tikusnya itu sekarang telah kedatangan seorang tamu agung?”

Seketika lenyap air muka Kang Giok-long yang tersenyum-senyum tadi demi mendengar yang dipersoalkan adalah Gui Bu-geh. Ia berdehem-dehem beberapa kali, lalu menjawab, “Jika di dunia ini ada orang yang tidak ingin kukenal, maka orang itu ialah Gui Bu-geh. Biarpun manusia di dunia sudah mampus seluruhnya juga Cayhe tidak mau bergaul dengan dia. Apakah liangnya sekarang kedatangan tamu agung atau tidak, sama sekali aku tidak mau tahu dan juga tidak ingin tahu.”

“Cuma sayang, tamu agungnya itu justru kau kenal,” tukas Kiau-kiau.

Melengak juga Kang Giok-long, ia menegas, “Kukenal? Mana bisa kukenal dia?”

“Selama hidup Gui Bu-geh tidak mempunyai kawan, sekalipun sesama anggota Cap-ji-she-shio mereka juga sama takut padanya, asal melihat dia tentu lekas-lekas menghindarinya,” tutur Kiau-kiau.

“Ya, kan ada pemeo yang mengatakan, ‘tikus lalu di jalan, setiap orang ingin memukulnya’. Pernah juga Cayhe melihat orang yang suka bergaul dengan kawanan ular atau binatang buas, tapi orang yang suka berkawan dengan tikus mungkin tiada seorang pun,” kata Giok-long dengan tertawa.

“Kau salah,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa, “Orang yang berkawan dengan tikus juga ada satu.”

“Oya?!” Giok-long melenggong.

“Sebenarnya tidak mengherankan kalau orang itu suka berkawan dengan Gui Bu-geh, yang aneh adalah dia dapat membikin Gui Bu-geh berkawan dengan dia.”

“Ya, malahan dia berhasil membujuk Gui Bu-geh sehingga mau menuruti segala kehendaknya, padahal selama hidup Gui Bu-geh tidak pernah sebaik ini terhadap orang lain,” sambung Li Toa-jui.

“Wah, jika demikian, kepandaian saudara ini sungguh luar biasa,” ujar Giok-long dengan tertawa.

“Apakah kau tahu siapa gerangan orang itu?” tanya To Kiau-kiau.

Berputar biji mata Kang Giok-long, jawabnya, “Memangnya orang itu ada sangkut-pautnya dengan diriku?”

“Bukan saja ada sangkut-pautnya, bahkan sangat erat hubunganmu dengan dia,” tukas Kiau-kiau.

Akhirnya tertampil juga rasa kejut dan heran pada wajah Kang Giok-long, katanya, “Sungguh Cayhe tidak ingat bilakah punya sahabat yang berkepandaian sehebat itu.”

“Hihi, siapa bilang dia itu sahabatmu?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa. “Kau memang tidak mempunyai sahabat yang berkepandaian tinggi, tapi kau mempunyai bapak yang berkepandaian mahasakti, masa kau lupa?”

Baru sekarang Kang Giok-long benar-benar melengak, ia menegas, “Jadi kau maksudkan ayahku?”

“Betul,” jawab Kiau-kiau, “Tamu agung Gui Bu-geh itu ialah Kang-lam-tayhiap Kang Piat-ho.”

Giok-long melenggong sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, “Sungguh tak tersangka ayahku bisa bersahabat dengan Gui Bu-geh.” Meski dia berucap dengan rasa menyesal tapi sorot matanya jelas menampilkan rasa senang.

“Memangnya apa jeleknya kalau bersahabat dengan Gui Bu-geh?” kata To Kiau-kiau, “Mempunyai sandaran sekuat Gui Bu-geh, sekali pun Ih-hoa-kiongcu hendak mencari perkara padanya juga tidak perlu takut lagi.”

Saking senangnya hampir saja Giok-long tertawa, ia coba bertanya pula, “Jika demikian, lalu para Cianpwe bermaksud menyuruh Cayhe mengerjakan apa?”

“Karena ayahmu adalah tamu agung Gui Bu-geh, jika kau pun hadir ke sana, dengan sendirinya kau pun akan dilayani sebagai tamu terhormat,” tutur Kiau-kiau. “Sebab itulah, kami ingin kepergianmu ke liang tikus itu untuk melakukan sesuatu bagi kami.”

“Asalkan tenaga Cayhe sanggup menyelesaikannya, silakan saja Cianpwe memberi petunjuk,” kata Giok-long tanpa pikir.

“Begini,” ucap Li Toa-jui setelah saling pandang sekejap dengan To Kiau-kiau, “Jika kau telah menjadi tamu terhormat di tempat Gui Bu-geh, dengan sendirinya kau boleh bebas bergerak di liangnya sana ....”

“O, apakah Cianpwe menghendaki kucari tahu sesuatu urusan?” sela Giok-long.

“Betul,” kata Li Toa-jui sambil berkeplok tertawa. “Bicara dengan orang-orang yang berotak encer seperti kau ini sungguh sangat menyenangkan.”

“Lantas urusan apakah itu?” tanya Giok-long.

Kembali Li Toa-jui saling pandang sekejap dengan To Kiau-kiau, lalu To Kiau-kiau menyambung, “Sebenarnya juga bukan sesuatu urusan yang penting, soalnya kami mempunyai beberapa buah peti yang konon jatuh di tangan Gui Bu-geh, maka kami ingin kau memeriksa tempatnya itu apakah peti kami betul berada di sana atau tidak? Jika memang betul di sana, disimpan di mana? Kemudian kami akan berusaha mengeluarkan peti-peti itu.”

Sinar mata Kang Giok-long tampak berkilat-kilat, nyata dia sangat tertarik oleh urusan ini, namun wajahnya berlagak tidak begitu mengacuhkan persoalan ini, katanya dengan hambar, “Bagaimanakah bentuk beberapa buah peti itu? Apa isinya?”

“Haha, hanya beberapa buah peti rongsokan saja,” tukas Ha-ha-ji, “Warnanya hitam, tampaknya besar dan berat, namun peti yang besar dan berat begitu pasti tidak dimiliki orang lain. Sebab itulah sekali pandang segera kau akan mengenalnya.”

“Apakah kosong peti-peti itu?” tanya Giok-long.

“Semula peti-peti itu berisi benda berharga. Tapi bisa jadi isinya sudah lama diambil oleh Gui Bu-geh,” tutur Kiau-kiau.

“Jika peti sudah kosong, untuk apa para Cianpwe mencarinya lagi dengan susah payah?”

Kiau-kiau menghela napas menyesal, ucapnya, “Bagi orang lain mungkin cuma beberapa buah peti rongsokan saja, tapi bagi kami peti-peti itu adalah mestika yang sukar dinilai.”

Semakin mencorong sinar mata Kang Giok-long, ia menegas, “Mestika yang sukar dinilai?”

“Haha, namun mestika yang sukar dinilai ini justru sukar dijual biarpun diobral,” sambung Ha-ha-ji dengan tertawa. “Soalnya semua peti itu ada kelainan pada catnya, makanya bagi penilaian kami menjadi mestika yang sukar dicari.”

“Catnya ada kelainan? Memangnya di mana letak keistimewaannya yang sukar dinilai harganya?” tanya Giok-long.

“Apakah kau tahu cat peti-peti itu dibuat dari apa?” tanya Kiau-kiau, sebelum Giok-long menjawab segera ia menyambung pula, “Yaitu campuran dari darah manusia, cat peti-peti itu dicampur dengan darah musuh kami. Cap-toa-ok-jin kini sudah cukup tua sehingga semangat jantan di masa lampau sudah mulai luntur, hanya beberapa buah peti itu saja masih dapat mengingatkan kami kepada masa jaya di waktu yang lalu. Sebab itulah, apa pun juga peti-peti itu tidak boleh jatuh di tangan orang lain.”

“Ya, bilamana kami ingin menegakkan kembali nama Cap-toa-ok-jin, maka beberapa peti itu harus kami temukan kembali,” seru Li Toa-jui dengan kereng.

Kang Giok-long seperti terkesima dan tidak bersuara.

“Apabila cuma benda mestika biasa, betapa pun banyaknya tentu takkan kami pikirkan, apalagi sudah jatuh di tangan Gui Bu-geh,” ujar To Kiau-kiau. “Untuk apa kami mesti mengganggu si tikus, umpama perlu uang, apa susahnya jika kami mau merampok?”

“Namun bila peti-peti itu hilang, maka tamat pula riwayat Cap-toa-ok-jin,” seru Li Toa-jui dengan bersemangat. “Makanya, saudara cilik, apa pun juga kau harus membantu kami, jasamu pasti takkan kami lupakan.”

Giok-long menunduk tanpa bicara, ia memandang tangan sendiri seakan-akan selama hidup tak pernah melihat tangannya ini.

“Adik cilik, masa kau tidak percaya keterangan kami ini?” tanya Li Toa jui.

Baru sekarang Kang Giok-long tertawa, jawabnya, “Ucapan Cianpwe sedemikian sungguh-sungguh, Cayhe sangat terharu, masa tidak percaya, hanya saja ....”

“Hanya apa?” tanya Li Toa-jui.

“Jika beberapa peti itu toh tidak bernilai bagi orang lain, tentu juga Gui Bu-geh tidak menghiraukannya, kalau harta bendanya sudah diambilnya, bisa jadi peti-peti itu sudah dibuang olehnya.”

“Kami pun pernah memikirkan hal ini,” ucap To Kiau-kiau. “Makanya, apabila betul Gui Bu-geh telah membuang peti-peti itu maka hendaklah adik cilik menyelidikinya ke mana peti-peti itu telah dibuangnya.” Ia tertawa, lalu menyambung pula, “Sekarang kita sudah orang sendiri, tentunya kami takkan membikin adik cilik berjerih payah percuma, asalkan usahamu berhasil, kami pasti akan memberi hadiah berlaksa tahil emas serta beberapa perempuan cantik bagimu, bahkan kami tanggung akan menjaga rahasia bagimu.”

Air muka Giok-long tampak sangat senang, katanya, “Apakah Cianpwe menghendaki sekarang juga kupergi?”

“Sudah tentu, makin cepat makin baik,” kata Kiau-kiau dengan tertawa.

“Lalu dia ....” Kang Giok-long melirik ke atas pohon.

“Apakah kau sangat cinta padanya?” tanya Kiau-kiau dengan tertawa.

“Tentunya Cianpwe tahu, Cayhe bukanlah seorang yang mudah jatuh cinta, soalnya dia ....”

“Dia murid Ih-hoa-kiong, makanya kau merasa bangga karena dapat berpacaran dengan dia, bisa jadi kelak kau akan dapat memperalat dia untuk mengadakan hubungan baik dengan Ih-hoa-kiong, begitu bukan?” setelah tertawa genit, lalu To Kiau-kiau menyambung lagi, “Lantaran inilah, maka kau merasa berat untuk meninggalkan dia?”

“Kalau Cianpwe sudah berkata demikian, tiada gunanya lagi sekalipun Cayhe menyangkalnya,” kata Giok-long dengan tertawa.

“Tapi sekarang tentunya kau tahu berada bersama dia hanya akan mendatangkan kesukaran saja dan tiada faedahnya.”

Giok-long menghela napas, katanya, “Seumpama ada faedahnya juga tidak sebanyak kesukarannya.”

“Ya, asal tahu saja,” ucap Kiau-kiau tertawa. “Apalagi, biarpun dia cukup cantik dan menggiurkan, tapi setelah usahamu berhasil, kujamin akan mencarikan bagimu sepuluh gadis yang jauh lebih memikat daripada dia.”

Lalu dia berbisik-bisik di tepi telinga Kang Giok-long dengan tertawa ngikik, “Malahan sebelumnya akan kuajari mereka beberapa resep cara bagaimana akan membikin senang padamu di tempat tidur.”

Tak terkatakan gembira Kang Giok-long, katanya dengan tertawa, “Jika demikian, baiklah sekarang juga Cayhe lantas berangkat. Cuma, setelah urusan berhasil, cara bagaimana akan kuadakan kontak dengan para Cianpwe?”

“Pokoknya, berhasil atau tidak usahamu, tiga hari lagi boleh kau perlihatkan dirimu di mulut gua, dengan sendirinya kami akan mencari akal untuk bicara denganmu,” kata Kiau-kiau.

“Baiklah, kita putuskan demikian, sampai berjumpa,” habis berkata, secepat terbang Kang Giok-long lantas lari pergi tanpa memandang lagi kepada Thi Peng-koh.

Setelah anak muda itu pergi jauh, dengan berkerut kening Li Toa-jui berkata, “Begitu cepat cara pergi bocah itu, kukira rada-rada tidak beres.”

“Haha, dia kan takut kalau Ih-hoa-kiongcu datang lagi membikin perhitungan dengan dia, makanya cepat-cepat hendak bersembunyi ke liang tikus sana,” kata Ha-ha-ji.

“Hm, mimpilah kalian jika kalian mengira dia percaya penuh pada apa yang kita katakan dan dia benar-benar mau berusaha menemukan peti-peti kosong itu,” jengek Pek Khay-sim.

“Apa yang kukatakan kan masuk di akal dan beralasan, masa dia tidak percaya,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa. Apalagi bocah itu selain tamak harta juga kemaruk perempuan, berlaksa tahil emas dan sepuluh gadis cantik masa tidak dapat menggoyahkan pikirannya?”

“Seumpama dia berhasil menemukan peti itu juga belum tentu mau menyerahkannya kepada kalian,” ucap Khay-sim.

“Tidak diserahkan pada kita, apa gunanya peti-peti kosong itu baginya?” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

“Betul, haha,” sambung Ha-ha-ji, “Bocah ini cukup pintar, peti kosong ditukar dengan emas dan gadis cantik, masa dia tidak mau?”

Tertawa juga akhirnya Pek Khay-sim, katanya, “Tapi setelah tukar-menukar, pasti akan kukatakan padanya apa gunanya peti-peti kosong itu, akan kulihat bagaimana air mukanya waktu itu.”

“Hahaha, waktu itu air mukanya pasti akan lebih buruk daripada pantatmu,” tukas Ha-ha-ji.

Menyinggung pantat, segera pandangan Pek Khay-sim beralih ke atas pohon, katanya sambil tertawa, “Hei, nona cilik, angin di atas sana cukup kencang, apakah kau tidak takut masuk angin?”

Namun Thi Peng-koh belum lagi siuman, maka dia tidak menjawab.

Li Toa-jui berkerut kening dan berkata, “Di punggungmu sekarang terpanggul satu, memangnya kau mengincar lagi yang lain?”

“Nona cilik ini sebatang kara, sial lagi ketemu kekasih yang berbudi rendah, sungguh kasihan, siapa lagi yang akan menghiburnya jika bukan aku?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Bagus, boleh lekas kau menghiburnya,” tukas To Kiau-kiau. “Tapi bila Ih-hoa-kiongcu datang jangan kau salahkan kami tidak mau membantumu.”

Pek Khay-sim berdehem, ucapnya kemudian, “Bicara terus terang, gadis menderita seperti dia sukar juga bagiku untuk menghiburnya. Apalagi di karung goni yang kupanggul ini sudah ada satu, meski usianya agak lanjut, tapi jahe kan selalu lebih pedas yang tua dan juga lebih keras.”

“Hihi, rupanya baru sekarang kau paham seluk-beluk lelaki dan perempuan,” kata Kiau-kiau dengan tertawa genit, “Cuma sayang, lelaki justru harus lebih baik yang muda dan kuat, kalau tidak ….”

“Untung usiaku sudah agak lanjut, kalau tidak bila sampai dipenujui kau, wah, bisa repot,” tukas Pek Khay-sim dengan tergelak.

“Repot apa?” To Kiau-kiau menegas dengan mendelik.

“Kerepotan lain sih tidak ada, cuma sukar membedakan dalam hari-hari apa kau adalah lelaki dan hari apa kau jadi perempuan, jika salah waktu kan berbahaya,” jawab Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Bagus, bagus, tak tersangka orang bodoh macam kau juga dapat mengutarakan pikiran sebagus ini,” seru Li Toa-jui sambil berkeplok tertawa. “Apa mungkin akhir-akhir ini kau telah terpengaruh oleh ajaranku?”

“Ya, mungkin akhir-akhir ini Siaute selalu berkumpul bersama Li-heng, kata peribahasa, dekat dengan gincu bisa ketularan merah. Mungkin karena itulah cara berpikirku lantas meniru gaya Li-heng,” kata Pek Khay-sim dengan tertawa.

Padahal antara Pek Khay-sim dan Li Toa-jui adalah musuh bebuyutan, meski keduanya sama-sama terhitung anggota Cap-toa-ok-jin, tapi jarang mereka bertemu, jika bertemu kalau tidak ribut mulut tentu juga berkelahi.

Musuh Pek Khay-sim di dunia Kangouw juga cukup banyak, lantaran Li Toa-jui, dia lebih suka kian kemari seperti anjing geladak daripada menyingkir ke Ok-jin-kok. Kini dia bicara demikian, Li Toa-jui jadi melengak malah.

Dengan tertawa Pek Khay-sim berkata pula, “Akhir-akhir ini, bukan saja cara bicaraku telah kena terpengaruhnya Li-heng, bahkan nafsu makanku juga mulai berubah, ikan daging bagiku terasa tidak dapat memuaskan, Hi-sit (sirip ikan) dan Yan-oh (sarang burung) juga terasa hambar, sedikit pun tidak dapat memuaskan seleraku. Sebab itulah Siaute jadi kepingin mencicipi daging manusia.”

“Tampaknya kau tidak cuma paham seluk beluk antara lelaki dan perempuan, malahan soal makan juga sudah mulai paham, ujar Li Toa-jui.

“Tapi Siaute juga tahu cara makan daging manusia tidak sederhana seperti makan daging babi, banyak cara dan ragamnya, kalau tidak, lebih baik tidak memakannya, betul tidak?”

Menyinggung urusan makan daging manusia, seketika semangat Li Toa-jui terbangkit, serunya, “Betul, memang banyak ragamnya cara makan daging manusia. Pertama orang yang akan kau makan juga harus orang yang gemar makan enak, dengan demikian baru dagingnya terasa lezat. Kedua, lebih baik lagi kalau dia juga berlatih ilmu silat, sebab orang yang berlatih silat dagingnya lebih keras dan gurih, ketiga ....” Tiba-tiba ia menghela napas, lalu menyambung dengan menggeleng, “Sebenarnya tidak perlu lagi kuuraikan yang ketiga, perubahan jaman sekarang sudah semakin jauh, untuk mencari orang yang dapat memenuhi kedua, syarat tadi rasanya sudah tidak banyak lagi.”

“Tapi di atas kan tersedia satu, bagaimana pendapat Li-heng?” ucap Pek Khay-sim dengan tertawa.

Li Toa-jui memandang ke atas dua-tiga kejap, tanpa terasa ia menelan air liur, katanya dengan tertawa, “Tidak perlu lain, melulu kedua pahanya saja, sedikitnya sudah beberapa tahun tak pernah kurasakan paha sebagus ini.”

“Maukah kita berdua membawanya ke suatu tempat yang baik, kita iris daging pahanya yang padat ini dan digoreng, jika dia sudah kita makan ke dalam perut, biarpun Ih-hoa-kiongcu mempunyai ilmu kepandaian setinggi langit juga tak dapat menemukannya lagi, betul tidak?” kata Pek Khay-sim.

“Ya, pikiran baik, usul bagus!” jawab Li Toa jui dengan tertawa. Di tengah bergelaknya itu mendadak “plok”, Pek Khay-sim kena ditempelengnya.

Keruan Pek Khay-sim berjingkrak kaget, teriaknya murka, “Keparat, bicara baik-baik, mengapa kau memukul orang?”

“Kau ini bicara dengan baik-baik?” ujar Li Toa-jui dengan tertawa. “Sudah kuketahui, bila caramu bicara enak didengar, hatimu tentu timbul pikiran busuk. Kau ingin menipu aku, tak begitu mudah.”

“Kau keparat, siapa yang ingin menipumu?” Pek Khay-sim meraung pula.

“Bukankah kau hendak menipuku?” kata Li Toa-jui. “Coba, setelah kumakan anak murid Ih-hoa-kiong, selanjutnya apakah aku bisa hidup tenteram? Sekalipun air liurku mengalir memenuhi tanah juga takkan kuganggu dia biarpun cuma satu jari saja.”

“Setelah kau makan ke dalam perut, lenyaplah segala buktinya, dari mana Ih-hoa-kiongcu bisa tahu?” kata Pek Khay-sim.

“Ada sebuah mulut busuk yang suka merugikan orang lain macam kau ini mustahil dia takkan tahu?” jengek Li Toa-jui.

Pek Khay-sim melengak sejenak, ia menghela napas dan berkata dengan menyengir, “Ah, tampaknya aku tak dapat menipumu, kau memang jauh lebih kuat daripada aku.” Sambil bicara mendadak sebelah tangannya lantas membalik, “plak” ia pun menampar Li Toa-jui satu kali.

Saat itu Li Toa-jui sedang tertawa senang, tentu saja ia tidak sempat berkelit, dengan gusar ia berteriak, “Keparat, kau berani memukul aku, nanti kucabut nyawamu!”

Tapi kedua orang lantas saling melotot saja, tiada seorang pun yang mulai menyerang lagi.

Maklum, mereka sudah cukup berpengalaman, entah sudah berapa kali mereka berkelahi dan masing-masing maklum tak bisa mengalahkan lawan, kecuali salah satu pihak tidak berjaga-jaga, kalau tidak jelas tidak mampu memukulnya dengan telak.

To Kiau-kiau tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Kalian berdua bangsat ini sudah cukup ribut belum? Kalau sudah cukup, ayolah lekas kembali ke sana.”

“Betul, Toh-lotoa mungkin sudah tak sabar menunggu lagi,” sambung Ha-ha-ji. “Haha, kalian tentunya tahu, tidak boleh dibuat mainan apabila Toh-lotoa marah.”

Lekas-lekas Pek Khay-sim menuruti arah angin, cepat ia menjawab, “Baiklah, mengingat Toh-lotoa, biarlah kuampuni kau serigala bermulut besar ini.”

“Hm, jika tidak khawatir Toh-lotoa menunggu terlalu lama, mustahil kalau tidak kubunuh kau keparat ini,” sambut Li Toa-jui dengan gusar.

Meski keduanya masih saling mencaci maki, tapi kesempatan ini lantas digunakan mereka untuk “gencatan senjata”.

Tiba-tiba To Kiau-kiau berkata pula, “Padahal kalian masih boleh juga berkelahi lagi, yang ditunggu Toh-lotoa kan bukan kalian.”

Pek Khay-sim anggap tidak paham ucapan adu domba To Kiau-kiau itu, ia menghela napas dan berkata, “Sungguh tak tersangka Toh-lotoa yang selalu bersikap dingin itu bisa sebaik ini terhadap Siau-hi-ji, dia khawatir tak dapat menemukan Siau-hi-ji, maka dia berkeras tinggal di sana untuk menunggunya. Jika ia tahu Siau-hi-ji takkan datang lagi untuk selamanya, dia pasti akan sangat berduka. Marilah kita lekas kembali ke sana untuk menghiburnya.”

“Kau kira Siau-hi-ji benar-benar telah mati dikerjai Kang Giok-long itu?” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Memangnya kau tidak mendengar tadi?” jawab Pek Khay-sim dengan mendelik.

“Jangan khawatir, jika Kang Giok-long benar-benar bisa membunuh Siau-hi-ji, maka dia bukan lagi telur busuk kecil melainkan malaikat dewata hidup,” ujar Li Toa-jui.

“Haha, mungkin malaikat dewata juga tidak mampu mencelakai Siau-hi-ji. Hahaha, aku orang pertama yang percaya penuh kepada kemampuan anak muda itu,” kata Ha-ha-ji.

“Bila betul Siau-hi-ji sudah mati, sedikitnya aku pun akan meneteskan beberapa titik air mata, masa aku segembira ini? ujar To Kiau-kiau.

“Kau akan meneteskan air mata baginya?” Pek Khay-sim menegas.

“Mengapa tidak, anak yang menyenangkan begitu kalau mati, siapa yang tidak berduka?” jawab Kiau-kiau. “Apalagi, sejak kecil kita inilah yang membesarkan dia, waktu kecilnya dia sering mengompol dalam pangkuan kita.”

“Jika demikian, mengapa kalian juga hendak mencelakai dia?” tanya Pek Khay-sim.” Kalian sengaja meninggalkan tanda-tanda penunjuk jalan dan menipunya ke liang tikus itu, bukankah kalian berniat menjadikan dia mangsa si tikus besar itu?”

“Soalnya menurut perhitungan kami, sekalipun tikus besar itu pun tak mampu mematikan dia,” jawab Kiau-kiau dengan tertawa.

“Huh, kukira hatimu tidak sebaik ini,” jengek Pek Khay-sim. “Kau cuma khawatir dia akan bersekongkol dengan Yan Lam-thian dan membikin susah kalian, makanya kalian sengaja menjerumuskan dia ke liang tikus sana, meminjam golok untuk membunuh orang.”

“Mulut anjingmu ini kenapa tidak dapat mengucapkan kata-kata manusia?” damprat Li Toa-jui gusar.

“Memangnya kau berani menyangkal apa yang kukatakan?” jawab Pek Khay-sim dengan murka.

“Sudahlah, sekalipun kita mengakui kebenaran ucapanmu juga bukan soal,” ujar To Kiau-kiau dengan mengikik. “Tapi ingin kukatakan padamu, seumpama kita yang mengakibatkan kematiannya, aku tetap akan mencucurkan air mata baginya ....”

Pada saat itu juga benar-benar ada air mata menetes dari atas pohon, syukurlah gembong-gembong Cap-toa-ok-jin sudah pergi meninggalkan hutan sehingga tiada yang memperhatikan.

Thi Peng-koh tidak pingsan sungguh, maklumlah, dalam keadaan pedih seperti dia sekarang ini, kecuali pura-pura pingsan saja kiranya tiada cara lain yang lebih baik.

Jadi semua percakapan gembong-gembong Cap-toa-ok-jin itu telah dapat didengarnya. Tak tersangka olehnya bahwa cinta Kang Giok-long padanya ternyata pura-pura belaka, lebih-lebih tak terduga Kang Giok-long akan meninggalkannya dengan begitu saja.

Remuk redam hati Thi Peng-koh setelah semua orang sudah pergi, saking tak tahan lagi ia menangis tergerung-gerung, sungguh kalau bisa ia ingin mati sekarang juga. Namun apa dayanya, dalam keadaan sekarang, ingin mati pun tidak dapat.

Tiada seorang anak perempuan di dunia ini yang dapat menahan malu seperti keadaannya sekarang, tergantung telanjang bulat di atas pohon. Sungguh ia benci pada mata lelaki, butalah mata semua lelaki di dunia ini.

Waktu di Ih-hoa-kiong ia mendambakan kebebasan, ia ingin melarikan diri dan berharap akan menemukan lelaki idamannya. Memang inilah angan-angan setiap anak gadis umumnya, tapi pengalamannya benar-benar malang, lelaki yang ditemukannya ini ternyata bukan manusia, bahkan lebih kejam daripada binatang, lebih keji daripada ular berbisa.

Ia sendiri pun tidak tahu mengapa dirinya bisa mencintai binatang kecil demikian? Mungkin dia sudah terlalu lama terkekang di Ih-hoa-kiong, sudah terlalu lama kesepian, perasaan yang tertekan terlalu lama apabila sekali tempo meledak tentu sukar dikendalikan lagi.

Tadinya ia tak tahu bagaimana rasanya orang menangis, tapi sekarang air matanya terus bercucuran tiada hentinya.

Entah lewat berapa lama lagi, tiba-tiba ia mengetahui ada sepasang mata sedang memandangnya tanpa berkedip, tapi sorot mata ini tidak rakus dan membencikan seperti mata gembong-gembong Cap-toa-ok-jin tadi.

Sepasang mata ini bahkan sangat elok dan terang seperti gemilapnya bintang di langit dan membuat setiap orang yang melihatnya merasa tunduk dan ingin menyembah padanya. Selamanya Thi Peng-koh tidak pernah melihat mata yang menggiurkan demikian.

Sekarang pemilik mata yang elok itu sedang tertawa. Meski kini bukan musim semi, tapi tertawanya itu seperti angin sejuk mengembus bumi di musim semi.

“Siapakah namamu, nona?” demikian si cantik menyapa.

“Aku she Thi,” jawab Peng-koh.

“She Thi?” nona itu tertawa. “Sungguh sangat kebetulan, ada seorang kakakku juga she Thi, tampaknya memang aku ada jodoh dengan orang she Thi, entah engkau sudi berkawan denganku atau tidak.”

Melihat gaya si nona yang lain daripada yang lain, melihat dandanannya yang indah dan anggun, Peng-koh lantas teringat kepada keadaannya sendiri yang mengenaskan, tanpa terasa ia memejamkan mata dan meneteskan air mata pula.

“Kutahu, engkau pasti tidak ingin menemuiku dalam keadaan begini,” ucap pula si nona cantik dengan lembut, “Tapi kau pun jangan berduka, orang jahat di dunia ini memang teramat banyak, anak perempuan seperti kita ini tak terhindar akan dianiaya oleh mereka. Asalkan kau tahu bahwa orang yang bernasib malang di dunia ini masih sangat banyak, bahkan jauh lebih menderita daripadamu, maka engkau pasti akan terhibur dan tidak terlalu berduka lagi.”

“Masa … masa di dunia ini masih ada orang yang lebih malang daripadaku?” Peng-koh menegas.

“Mengapa tidak ada, bahkan banyak sekali,” jawab si nona. “Di mana-mana, di setiap pelosok dunia ini, tentu ada anak perempuan yang perlu dikasihani, mereka sedang tersiksa dan dirusak oleh orang yang tak mereka kenal, bahkan orang-orang yang mereka benci, namun mereka tidak dapat menangis seperti engkau, sebaliknya mereka harus memperlihatkan senyuman untuk minta belas kasihan orang-orang yang menyiksa mereka itu.”

Betapa pun malangnya seseorang, apabila diketahuinya ada orang lain yang lebih malang lagi daripadanya, maka akan terasa lebih ringan perasaannya yang tertekan. Hal ini sama saja seperti seorang penjudi, betapa pun banyak kekalahannya, apabila ia lihat ada orang lain yang lebih banyak kalahnya daripada dia, maka terhiburlah hatinya.

Lebih-lebih anak perempuan, jika kau ingin menghibur seorang anak perempuan, paling baik ialah ceritakan bahwa di dunia ini masih ada orang lain yang jauh lebih menderita daripadanya, dengan demikian dia akan melupakan penderitaan sendiri dan malahan akan menghibur orang lain.

Thi Peng-koh tidak menangis lagi, selang sejenak, berkatalah dia, “Dapatkah engkau menolong aku turun dari sini? Aku ... aku pasti sangat berterima kasih padamu.”

Nona itu menghela napas, jawabnya, “Kau tidak perlu berterima kasih padaku, aku sendiri sangat ingin menolongmu, cuma sayang, naik tangga ke atas saja aku tidak sanggup, pohon setinggi ini, pada hakikatnya membuat kepalaku pusing.”

“Masa ... masa engkau tidak mahir ilmu silat?” tanya Peng-koh.

“Kau sangat heran, bukan?” ucap si nona dengan tertawa. “Padahal orang yang tidak paham ilmu silat di dunia ini jauh lebih banyak daripada orang mahir ilmu silat, kebanyakan orang yang normal tidak belajar ilmu silat.”

Thi Peng-koh menghela napas menyesal, katanya dengan muram, “Jika ... jika demikian, lekas pergi saja kau.”

“Tapi paling tidak kan dapat kukerjakan sesuatu bagimu? Kau dingin tidak, maukah kubuatkan api unggun di bawah sini?”

Karena merasa malu, berduka dan juga takut, maka Peng-koh melupakan rasa dingin, baru sekarang ia merasa sekujur badannya menggigil kedinginan, angin pegunungan yang mengusap tubuhnya terasa seperti sayatan pisau saja.

Dilihatnya si nona tadi benar-benar mengumpulkan seonggok kayu kering terus mengeluarkan sebuah ketikan api yang indah, onggokan kayu kering itu lantas dibakarnya.

“Engkau sungguh orang yang berhati mulia,” ucap Peng-koh dengan tersenyum pedih.

“Meski kau memuji hatiku mulia, tapi lebih banyak orang yang bilang hatiku sekeji ular,” ucap nona itu dengan tertawa.

“Sia ... siapakah namamu? Sudikah engkau memberitahukan padaku agar dapat kuingat padamu selalu,” kata Peng-koh.

Si nona tertawa, jawabnya, “Namaku So Ing.”

“So Ing? Jadi kau inilah So Ing?” Peng-koh terkejut dan berseru tanpa terasa.

“Kau pun tahu namaku?” ucap So Ing tertawa.

Peng-koh terdiam sejenak, katanya pula dengan parau, “Kedatanganmu ini apakah ingin ... ingin mencari seseorang?”

Tampaknya So Ing juga terkejut, jawabnya, “Dari mana kau tahu? Masa ... masa kau pun kenal orang yang kucari itu?”

“Betul, kukenal dia,” jawab Peng-koh rawan.

So Ing menghela napas, katanya sambil tersenyum getir, “Setiap anak perempuan cantik di dunia ini seolah-olah semuanya kenal dia, aneh! Agaknya sainganku kini tambah satu orang lagi.”

“Aku takkan bersaing denganmu, bahkan selanjutnya mungkin tiada orang akan bersaing lagi denganmu,” ucap Thi Peng-koh, baru habis bicara kembali air matanya berderai pula.

Berubah pucat air muka So Ing, serunya, “Apa ... apa artinya ucapanmu ini?”

“Dia ... dia sudah mati dicelakai orang!” jawab Peng-koh dengan tergagap.

Seketika aliran darah di seluruh tubuh So Ing serasa membeku. Ia melenggong sejenak, katanya kemudian, “Yang kau maksudkan itu mungkin ... mungkin bukan Siau-hi-ji, kuyakin pasti bukan dia.”

“Tapi yang kumaksudkan memang Siau-hi-ji adanya,” kata Peng-koh.

Tiba-tiba So Ing tertawa pula, tertawa keras, katanya, “Hahaha, kau pasti salah lihat. Mana bisa Siau-hi-ji mati dikerjai orang? Siapakah di dunia ini yang mampu membunuhnya? Kalau dia tidak mengerjai orang lain sudah untung.”

“Semula aku pun yakin di dunia ini tiada orang lain yang sanggup mengerjai dia, tapi sekali ini mau tak mau aku harus percaya, sebab dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan kejadian ini,” tutur Peng-koh dengan sedih.

Gemetar seluruh tubuh So Ing, tanyanya dengan suara terputus “Kau ... kau menyaksikan sendiri? Siapa ... siapa yang membunuhnya?”

“Orang itu bernama Kang Giok-long, dia telah mendorong Siau-hi-ji ke dalam dinding tebing itu, gua itu dalamnya tak terkira, apa lagi Siau-hi-ji dalam keadaan keracunan ....”

Belum habis ucapan Thi Peng-koh, tahu-tahu So Ing berlari ke tebing sana.

Dinding tebing itu berdiri tegak beratus kaki tingginya dan sangat curam, gua itu pun berada belasan tombak tingginya, di antaranya memang ada tempat yang dapat digunakan memanjat, tapi orang yang memiliki Ginkang rendah saja jangan harap akan dapat naik ke atas sana, apalagi So Ing yang sama sekali tidak paham ilmu silat.

Air mata So Ing bercucuran, ucapnya sambil membanting kaki gegetun, “Kenapa tidak sejak dulu-dulu kubelajar silat? Nyatanya ilmu silat juga banyak gunanya ....”

“Nona So,” terdengar Thi Peng-koh berseru di sana, “Kau jangan berduka, seumpama kau dapat naik ke sana juga tiada gunanya, Siau-hi-ji pasti ... pasti takkan hidup sampai saat ini.” Dia seperti sudah melupakan penderitaan dan kemalangan sendiri, sekarang dia malah menghibur So Ing.

“Seumpama dia sudah mati juga aku harus melihatnya sekali lagi, apalagi, bukan mustahil dia masih hidup dengan segar bugar!” sahut So Ing dengan suara serak.

“Tapi apakah kau sanggup naik ke atas?”

“Betapa pun juga akan kucari akal untuk naik ke sana, aku pasti ada akal!” nada So Ing penuh rasa yakin, habis berkata ia lantas mengusap air mata dan tidak menangis lagi.

Andaikan dia masih mau menangis juga akan menunggu lagi kelak, sebab ia tahu air mata tidak dapat membantunya menyelesaikan persoalan.

Thi Peng-koh dapat melihat perubahan sikap So Ing itu dan dapat pula melihat tekadnya yang bulat itu, diam-diam ia menghela napas gegetun. Pikirnya, “Tak tersangka anak perempuan yang lemah lembut ini mempunyai tekad sebesar ini dan penuh kepercayaan pada diri sendiri. Sedangkan aku? ....” Mendadak ia menyadari apabila seseorang mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, maka nilainya jauh lebih berharga daripada ilmu silatnya yang tiada tandingannya atau kekayaan benda mestika yang sukar ditakar.

Ada cendikia yang bilang, “Hidup perempuan bukan untuk dipahami, tapi untuk dicintai!” Ucapan ini memang sangat bagus, tapi juga tidak terlalu tepat.

Hakikatnya tidak cuma perempuan saja yang demikian, ada sementara lelaki juga begitu. Mereka dilahirkan bukan untuk dipahami orang melainkan untuk dibenci dan disukai orang.

Dan tidak perlu disangsikan lagi, Siau-hi-ji adalah salah satu lelaki begitu.

Tidaklah sedikit manusia di dunia ini yang suka pada Siau-hi-ji, tapi yang membencinya bahkan lebih banyak. Namun orang yang mutlak benar-benar memahami Siau-hi-ji justru satu pun tidak ada.

Cuma saja ada beberapa orang yang taraf memahami Siau-hi-ji jauh lebih banyak daripada yang lain, beberapa orang ini jelas ialah To Kiau-kiau, Li Toa-jui, Ha-ha-ji dan Toh Sat. Sedikitnya merek tahu Siau-hi-ji bukanlah orang yang mudah dicelakai orang. Anak muda ini sering kali dapat lolos dari lubang jarum pada detik yang paling berbahaya.

Barang tentu, semua ini bukan seluruhnya karena kecerdasan Siau-hi-ji, terkadang juga memerlukan kemujuran atau nasib baik, atau istilah yang populer, hok-khi. Barang siapa kalau meremehkan “hok-khi”, sering kali dia sendiri akan mengalami nasib sial.

Contohnya, dua orang hampir bersamaan waktunya jatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi, yang seorang jatuh di tanah dan mengakibatkan patah tulang leher, tapi yang seorang lagi jatuh ke dalam air dan tidak cedera apa pun.

Nah, apa namanya kejadian demikian kalau bukan kemujuran atau nasib baik atau hok-khi?

Yang mengalami nasib baik di antaranya adalah Oh Yok-su.

Dia didorong terjerumus ke dalam gua oleh Kang Giok-long, gua itu sangat dalam melebihi apa yang pernah dibayangkannya. Di bagian luar tinggi gua itu paling-paling cuma belasan tombak, tapi di bagian dalam ternyata tidak kurang lima kali lipat lebih dalam.

Bayangkan, kalau seorang terjatuh dari ketinggian lima puluhan tombak, sekalipun Ginkang orang ini tiada bandingnya di dunia juga sukar terhindar dari nasib hancur lebur terbanting.

Oh Yok-su sendiri pun mengira dirinya pasti akan mampus. Belum lagi sempat dia berpikir lain, tahu-tahu terdengar suara “blung” yang keras, tubuhnya jatuh ke dalam air, dasar gua yang dalam itu kiranya adalah sebuah kolam berair.

Kalau orang biasa terjatuh dari tempat setinggi itu, sekali pun jatuh ke dalam air, sukar juga terhindar dari jatuh pingsan. Tapi Ginkang Oh Yok-su memang tidak rendah, ia cuma merasakan badannya bergetar keras, seperti kena hantaman keras, mata pun terasa berkunang-kunang, habis itu lantas didengarnya suara tertawa ngikik seseorang.

Semula Oh Yok-su terkejut, tapi rasa kejut itu segera berubah menjadi girang. Kalau dia tidak terbanting mati, dengan sendirinya Siau-hi-ji lebih-lebih tidak bisa mati.

Ia ingin melompat keluar dari dalam air, tapi kolam itu ternyata tidak cetek, karena daya jatuhnya itu sangat keras, dia terus terjungkal ke dalam air dan sempat minum dua ceguk air yang asin lagi bau busuk, ia menjadi gelagapan dan hampir-hampir semaput. Syukur segera ia dapat mengapungkan diri ke permukaan kolam.

Terdengar Siau-hi-ji lagi berkata dengan tertawa, “Memangnya aku lagi kesepian, sekarang ada teman jatuh dari langit, sungguh sangat menggembirakan. Cuma sayang di sini tidak ada arak, terpaksa kusuguh kau dua ceguk air busuk.”

Walaupun sangat gelap di dasar gua ini, tapi ada sedikit cahaya remang-remang yang tembus dari atas sana.

Setelah kucek-kucek matanya, akhirnya Oh Yok-su dapat melihat Siau-hi-ji. Terlihat anak muda itu nongkrong di atas batu padas sana, meski perutnya sudah terisi Li-ji-hong yang tiada obat penawarnya serta didorong orang ke dalam gua yang jelas tiada jalan keluarnya, namun air muka anak muda itu tetap berseri-seri, sedikit pun tidak sedih, bahkan tampaknya sangat gembira malah.

Oh Yok-su lantas merangkak naik ke atas batu itu, ia coba bertanya, “Apakah engkau menemukan jalan keluarnya?”

“Kau lihat, gua ini mirip sebuah guci raksasa, perutnya sangat besar, bagian mulut sangat sempit, sekali pun cecak juga sukar merambat ke atas, dari mana ada jalan keluar?”

Oh Yok-su melengak, katanya pula, “Jika demikian, mengapa engkau bergembira?”

“Memangnya aku harus bersedih?”

“Kau ... kau tidak sedih?”

“Apakah sedih dapat membantuku keluar dari sini? Jika dapat tentu sejak tadi-tadi aku bersedih.”

Oh Yok-su terdiam sejenak, tanyanya kemudian dengan ragu-ragu, “Obat penawar itu tentu sudah terendam basah, apa masih dapat digunakan?”

“Jangan khawatir, obat penawar kusimpan dengan baik, air tak dapat menembusnya,” jawab Siau-hi-ji.

Oh Yok-su berdehem dua kali, katanya pula dengan menyengir, “Kini Cayhe dan Hi-heng adalah senasib, kita sama-sama dirundung malang, mestinya sekarang Hi-heng dapat memberikan obat penawar itu.”

“Tidak boleh,” jawab Siau-hi-ji.

“Se ... sebab apa?” tanya Oh Yok-su.

“Selama obat penawarnya belum kuberikan padamu, tentu kau akan tunduk kepada perintahku, andaikan anakku sendiri mungkin takkan penurut seperti kau sekarang. Nah, kan menyenangkan bila selalu didampingi seorang yang penurut, untuk apa kuberikan obat penawarnya padamu?”

“Tapi ... tapi Cayhe ....”

“Jangan khawatir, untuk sementara ini racun yang mengeram di tubuhmu takkan bekerja.”

Sudah barang tentu suara percakapan mereka sangat lirih, sebab suara di dalam gua yang geronggang begini mudah berkumandang keluar, apa lagi di dalam gua itu ada airnya, suara yang agak keras akan segera didengar orang yang berada di luar sana.

Tapi mereka pun tidak menyangka bahwa suara percakapan orang yang berada di luar sana dapat didengar dengan jelas di dalam gua. Gua ini memang mirip sebuah kotak kosong, setitik suara yang menyalur ke sini segera akan menimbulkan kumandang suara yang keras. Sudah tentu teori demikian belum dipahami orang di jaman dahulu.

Orang yang berada di atas sana karena mengira sekelilingnya tiada bayangan seorang pun, dengan sendirinya cara bicara mereka pun tidak pantang didengar orang, sama sekali tak terduga bahwa di balik dinding masih ada telinga.

Maka ketika mendengar Kang Giok-long membujuk rayu Thi Peng-koh dengan kata-kata manis, Siau-hi-ji hanya menggeleng kepala saja sambil menghela napas. Beberapa kali Oh Yok-su ingin bicara selalu distop olehnya.

“Ada sesuatu yang meragukan diriku dan tidak kupahami, ingin kuminta petunjuk padamu,” demikian Oh Yok-su berbisik.

Tapi Siau-hi-ji lantas mencegahnya bicara lebih lanjut, “Ssst, masih banyak waktu bagi kita untuk bicara, ada urusan apa boleh dirundingkan nanti saja. Sekarang coba kau dengarkan, betapa busuk keparat Kang Giok-long itu, nona Thi benar-benar sial sebel punya pacar begitu.”

Lalu mendadak terdengar suara jerit kaget Thi Peng-koh, selagi Siau-hi-ji heran apa yang terjadi atas nona itu, menyusul lantas terdengar pula seruan terkejut Kang Giok-long. Habis itu didengarnya percakapan antara Ih-hoa-kiongcu dan Kang Giok-long.

Oh Yok-su tidak tahu apa yang menyebabkan Siau-hi-ji melenggong, tapi ia pun tidak berani bertanya.

Selang sejenak, Siau-hi-ji bergumam sendiri, “Kiranya Thi Peng-koh adalah murid Ih-hoa-kiong, pantas tempo hari ketika bertemu dengan Hoa Bu-koat diam-diam ia lantas mengeluyur pergi. Kalau ia murid Ih-hoa-kiong, maka ‘Tong-siansing’ dan ‘Bok-hujin’ itu pastilah samaran Ih-hoa-kiongcu, pantas juga Ih-hoa-kiongcu menyuruh Hoa Bu-koat harus tunduk kepada apa yang dikehendaki Tong-siansing dan Bok-hujin. Tapi Ih-hoa-kiongcu yang cukup disegani itu mengapa perlu menyamar sebagai orang lain?”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes