Wednesday, May 12, 2010

bgp5_part1

Selang sekian lama baru terdengar suara Siau-hi-ji berkumandang dari lubang di atas sana, “Keluarkan kau? Haha, supaya aku dapat kau bunuh?”

Dengan menggereget Kiau-goat menjawab, “Aku ... aku berjanji takkan membunuhmu.”

Selama hidupnya bilakah pernah mengucapkan kata-kata yang bersifat kompromis begini? Tapi kini toh dia harus merendah diri dan berucap demikian, keruan serasa hancur hatinya. Namun apa daya, mau tak mau dia harus berucap demikian. Sebab ia pun tahu setelah pintu keluar tertutup, ruangan ini tiada ubahnya seperti sebuah guci yang tersumbat dan tiada jalan keluar lagi.

Meski tahu dirinya tetap tak terhindar dari kematian, tapi betapa pun ia tidak sudi mati di sini, tidak sudi mati di samping Gui Bu-geh, lebih-lebih tidak sudi kematiannya diintip oleh Siau-hi-ji.

Dalam pada itu terdengar Siau-hi-ji berkata pula di atas, “Sekalipun kau tidak membunuhku juga tak dapat kukeluarkan kau, sebab, biarpun kau tidak membunuhku, sebaliknya aku yang akan membunuhmu. Jangan lupa, permusuhan antara kita bukan urusan kecil.”

Tergetar hati Kiau-goat Kiongcu, ia tidak dapat bicara lagi.

“Supaya kau tahu, mestinya tadi jangan kau beri kesempatan padaku untuk bicara dengan So Ing,” terdengar Siau-hi-ji berkata pula.

Kiau-goat tidak mau gubris padanya, tapi timbul juga rasa ingin tahunya, segera ia tanya, “Sebab apa?”

“Tahukah apa yang kukatakan pada So Ing tadi?” tanya Siau-hi-ji, ia terbahak-bahak, lalu menyambung, “Waktu itu kukatakan padanya agar dia mengorek botol arak dari atas sini, lalu kusuruh berjaga di samping pesawat rahasia, begitu aku keluar segera dia menutup pintunya. Kalau tidak, selagi aku bertempur mengadu jiwa denganmu masa dia rela menyingkir pergi?”

Tubuh Kiau-goat agak gemetar, katanya “Tapi dia ... dia ....”

“Jangan kau lupa, dia dibesarkan di sini, semua pesawat rahasia di sini, kecuali Gui Bu-geh, tentu saja dia yang paling jelas.”

Kiau-goat melenggong sekian lamanya, sekujur badan serasa lemas lunglai, ia bergumam, “Ya, aku terlalu gegabah, sungguh aku terlalu gegabah ....”

“Apa gunanya baru sekarang kau menyesal? Apakah ada orang yang akan menolongmu sekarang?” Setelah terbahak-bahak Siau-hi-ji melanjutkan, “Maka sebaiknya kau menunggu kematian saja dengan tenang. Meski tempat ini agak bau, paling tidak kan cukup tenteram, tiada lalat tiada nyamuk, apalagi, kau pun tidak sendirian, kan ada Gui Bu-geh yang menemanimu?!”

“Tu ... tutup mulut!” teriak Kiau-goat dengan suara seram.

Tapi Siau-hi-ji bahkan berseru pula dengan tertawa, “Gui Bu-geh, wahai Gui Bu-geh! Sewaktu hidupmu tidak dapat tidur seranjang dan sebantal dengan orang yang kau cintai, setelah mati kau malah dapat bersatu liang kubur dengan dia, betapa pun kau masih mujur. Tapi kau pun jangan lupa, akulah yang membantumu, jadi setan juga kau mesti membalas budi kebaikanku ini.”

Kiau-goat murka, dengan kalap ia menubruk ke depan mayat Gui Bu-geh, tangan terangkat dan segera hendak menghantamnya.

“He, apa yang hendak kau lakukan?” seru Siau-hi-ji tiba-tiba. “Haha, Ih-hoa-kiongcu yang gilang-gemilang masa menganiaya mayat yang sudah tak bisa berkutik?”

Seketika tangan Kiau-goat terhenti di atas dan berdiri mematung.

Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas dan berucap, “Padahal aku pun dapat memahami perasaanmu. Memang tiada seorang pun rela mati di tempat yang kotor dan menjijikkan seperti ini, apalagi di samping mayat yang sangat menjijikkan pula, lebih-lebih dirimu. Meski engkau berjiwa sempit dan juga bersikap dingin kepada siapa pun, namun, bicara sejujurnya, engkau bukankah orang yang kotor dan menjijikkan.”

Perlahan Kiau-goat menurunkan tangannya.

Maka Siau-hi-ji berkata pula, “Terkadang, engkau memang terasa menakutkan, tapi terkadang aku pun merasa kasihan padamu. Selama hidupmu sedemikian hampa, sedemikian kesepian, hakikatnya tiada mempunyai seorang kawan pun. Jika perempuan lain mungkin akan berubah terlebih nyentrik dan lebih keji daripadamu. Sebab aku pun tahu tiada sesuatu di dunia ini yang lebih menakutkan daripada kesepian.”

Mendengar sampai di sini, kepala Kiau-goat Kiongcu hampir tertunduk seluruhnya.

“Sebab itulah aku pun tidak sungguh-sungguh menghendaki kematianmu secara mengenaskan begini, asalkan kau mau berjanji sesuatu hal padaku, segera juga kulepaskanmu dari sini.”

“Urusan apa?” tanya Kiau-goat tanpa pikir. Tapi setelah diucapkan segera ia tahu urusan apa yang dimaksudkan Siau-hi-ji.

Benar juga, Siau-hi-ji lantas berkata, “Asalkan kau beberkan rahasia itu, segera kulepaskan kau.”

“Kau ... kau jangan harap ....” jawab Kiau-goat dengan menyesal.

“Masa kau lebih suka mati bersama Gui Bu-geh di sini? Bila kelak, ada orang berkunjung kemari dan melihat kalian mati di dalam suatu liang lahat, lalu bagaimanakah mereka akan berpikir?” Setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Ya, tentu orang lain akan bilang, ‘Meski tampaknya Ih-hoa-kiongcu selalu bersikap dingin dan anggun, tapi nyatanya dia juga mempunyai kekasih gelap, buktinya mereka mengadakan pertemuan rahasia di sini dan akhirnya’ ....” Dia tertawa dan mendadak menghentikan ucapannya, ia sengaja tidak mau melanjutkan.

Maka gemetarlah tubuh Kiau-goat karena emosinya.

“Coba kau pertimbangkan lagi, kapan kau mau bicara, kapan pula akan kubebaskan kau. Toh setelah mendengar rahasia ini aku pun takkan hidup lebih lama lagi,” kata Siau-hi-ji.

Kiau-goat tidak menanggapinya. Ya, paling tidak sekarang dia tetap menolaknya dengan tegas.

So Ing yang selalu mendampingi Siau-hi-ji itu menghela napas gegetun, katanya, “Sudah telanjur begitu, mengapa kau berkeras memaksa dia menceritakan rahasia itu? Jika sudah dia ceritakan kan juga tiada faedahnya bagimu, bahkan akan menambah kemasygulan saja.”

Siau-hi-ji tidak menjawabnya, sebaliknya bahkan tanya kembali, “Tentunya kau tahu, antara aku dan Hoa Bu-koat harus mati salah satu, kalau dia tidak membunuhku tentu akulah yang membunuh dia.”

“Tapi aku pun tahu dia tidak sungguh-sungguh ingin membunuhmu dan kau pun lebih-lebih tidak ingin membunuh dia.”

“Namun nasib kami berdua tampaknya sudah ditakdirkan demikian dan sukar berubah lagi, meski aku sudah berdaya dan sedapatnya mengulur waktu, tapi pada suatu hari kelak toh peristiwa ini harus terjadi.”

So Ing mengangguk dengan pedih.

Siau-hi-ji menyambung pula, “Tapi aku pun tidak percaya bahwa di dunia ini ada urusan yang ditakdirkan, aku pasti berusaha mengubahnya, sebab itulah terpaksa harus kudesak dia agar menceritakan rahasia ini, jika sudah kuketahui apa sebabnya dia menghendaki kami mengadu jiwa, maka urusan ini pasti dapat kuselesaikan dengan baik.”

“Namun ... namun nasib kalian bukankah sudah berubah?” ujar So Ing.

“Siapa bilang sudah berubah?” kata Siau-hi-ji.

Dengan muram So Ing menjawab, “Sekarang jelas engkau tidak ... tidak mampu membunuhnya, dan dia lebih-lebih tidak dapat membunuhmu, sebab ... sebab engkau toh pasti akan mati di sini.”

“Siapa bilang aku pasti akan mati di sini?” tanya Siau-hi-ji.

Seketika So Ing tersentak kaget dan bergirang pula, serunya, “He, jadi engkau mempunyai akal untuk keluar dari sini?”

Dengan santai Siau-hi-ji menjawab, “Rasanya aku ini mempunyai Hok-khi yang besar, bahwa apa pun yang kuhadapi pada saatnya selalu berubah menjadi selamat. Maka sekarang aku pun berani bertaruh denganmu, pasti ada orang akan datang kemari untuk menolongku.”

“Kau kira ... siapa yang akan menolongmu?” tanya So Ing.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, sahutnya kemudian, “Coba kau terka.”

So Ing berpikir sejenak, katanya, “Sebenarnya Hoa Bu-koat pasti akan berdaya untuk menolongmu, tapi sekarang, entah peristiwa apa yang telah dialaminya, kalau tidak, tentu dia takkan berhenti menggali dan masuk ke sini.”

“Memangnya peristiwa tak terduga apa yang dialaminya?”

So Ing berpikir pula agak lama, tiba-tiba ia berkata, “Menurut pendapatku, bisa jadi usaha Hoa Bu-koat telah dirintangi oleh Cap-toa-ok-jin?”

“Haha, betul!” ujar Siau-hi-ji dengan berkeplok tertawa, “Besar kemungkinan, orang yang ditemuinya adalah Li Toa-jui serta kawan-kawannya, sebab mereka memang ada janji bertemu di sini, dalam dua hari ini mereka pasti datang kemari.”

“Tentunya mereka tahu tujuan Hoa Bu-koat menggali terowongan adalah untuk menolong kita. Makanya mereka merintanginya, betul tidak?”

“Ehm,” jawab Siau-hi-ji.

“Jika demikian, kau kira mereka pun akan berusaha masuk ke sini untuk menolong kau?”

“Tentu tidak, sebab sekarang aku pun tahu mereka mengira aku akan bersekongkol dengan orang lain untuk menghadapi mereka, maka mereka pun berharap akan kematianku.”

“Jika begitu, mungkinkah mereka akan kemari untuk menolong Ih-hoa-kiongcu?” tanya So Ing.

“Lebih-lebih tidak mungkin,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa, “Kalau Ih-hoa-kiongcu mati di sini, inilah yang diharapkan mereka.”

“Jika sekarang mereka menghalangi Hoa Bu-koat masuk ke sini, apakah nanti mereka sendiri juga akan berusaha masuk kemari.”

“Ya, mereka akan masuk kemari.”

“Untuk apa?” Tanya So Ing.

“Sebab mereka pun ingin tahu keadaan di sini.”

“Dari mana kau tahu?”

“Mereka mengira ada satu partai harta karun disembunyikan Gui Bu-geh di sini, kalau tempat ini tidak diperiksanya mereka tidak rela.”

“Seumpama mereka akan masuk ke sini, tentu juga akan menunggu setelah kita mati semuanya.”

“Betul, tapi cara bagaimana mereka mengetahui bahwa Gui Bu-geh ternyata tidak terburu-buru menghendaki kematian kita?”

Terbeliak mata So Ing, serunya, “Betul juga, setelah dihitung dan ditimbang, tentu mereka pun tak menyangka bahwa kita masih belum mati, mereka pasti mengira kita sudah mati sesak napas atau mati kelaparan.”

“Ya, makanya kuyakin tidak sampai lebih dari satu-dua hari mereka pasti akan masuk kemari.”

“Dapatkah mereka masuk kemari?”

“Dengan kepandaian mereka beramai-ramai, sekalipun tempat ini adalah gunung baja dan tembok besi juga mereka mampu masuk ke sini.”

Akhirnya So Ing berseri tertawa, katanya, “Kuharap dugaanmu sekali ini tidak meleset.”

Belum habis ucapannya, benar saja, tiba-tiba terdengar lagi suara “trang-tring” di luar, suara orang menggali.

“Betul tidak?” seru Siau-hi-ji sambil bertepuk tertawa. “Sekarang kau percaya akan kehebatanku bukan.”

“Ya, seumpama Khong Beng belum meninggal, paling-paling dia juga cuma begini saja,” ujar So Ing.

Tapi setelah mengikuti sejenak suara ‘trang-tring’ itu, kedengaran tidak sekeras permulaan tadi, daya getarnya juga tidak sekuat tadi, mau tak mau So Ing berkerut kening, katanya, “Apakah orang-orang yang menggali ini belum makan nasi? Mengapa tiada tenaga sedikit pun.”

“Ini bukan tanda mereka tak bertenaga, tapi justru menandakan alat penggali mereka teramat tajam,” ujar Siau-hi-ji. “Karena alat penggalinya tajam, maka suara sentuhan menjadi kecil. Coba bayangkan, bilamana kau memotong tahu, bukankah tiada menimbulkan suara apa pun?”

So Ing tertawa riang, ucapnya, “Berada bersamamu hakikatnya aku telah berubah menjadi tolol.”

“Tidak, aku justru merasakan kau semakin pintar,” kata Siau-hi-ji.

“O, ya?” ucap So Ing sambil berkedip-kedip.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, “Kan sudah kukatakan sejak dulu, semakin pintar seorang perempuan semakin bisa berlagak bodoh di depan lelaki. Sekarang pun kau sudah pintar berlagak bodoh di depanku, tampaknya lambat atau cepat aku pasti akan kena dikail olehmu.”

So Ing menggigit bibir dan tertawa, ucapnya, “Jangan khawatir, pasti takkan kukail dirimu.”

“Oo!” Siau-hi-ji melenggong.

So Ing memandangnya dengan mesra, ucapnya dengan lembut, “Masa tidak dapat kau lihat, kan sudah lama aku yang terkail?”

Perasaan Kiau-goat Kiongcu yang bergolak hebat sudah mulai tenang kembali, dia sedang duduk bersemadi, lambat-laun telah memasuki keadaan yang hampa segalanya.

So Ing menghela napas, katanya, “Tampaknya ia sudah bertekad takkan menceritakan rahasia itu.”

“Tadinya kukira pikiran perempuan setiap saat pasti bisa berubah, tak tersangka dia ternyata harus dikecualikan.”

“Kuharap orang yang menggali di luar itu takkan terlalu cepat masuk ke sini, dengan demikian kita dapat menyumbat seluruhnya tempat ini lebih dahulu agar dia mati sesak napas di dalam situ. Sedangkan Lian-sing Kiongcu saat ini memang tiada ubahnya seperti orang mati ....”

“Tapi sebelum mereka membeberkan rahasia itu, takkan kubiarkan mereka mati,” sela Siau-hi-ji.

“Namun kalau tidak kau bunuh mereka sekarang juga, apabila Hoa Bu-koat sempat masuk ke sini, tentu dia akan menyuruh kalian mengadu jiwa pula.”

“Tapi kau pun jangan lupa, mereka masih harus mencarikan dulu obat penawar racun bagiku, untuk ini sedikitnya diperlukan waktu satu-dua tahun dan di dalam satu-dua tahun ini pasti kudapatkan akal bagus.”

Kembali So Ing menghela napas, ucapnya, “Hakikatnya engkau tidak keracunan, untuk apa mereka harus mencarikan dulu obat penawar bagimu?”

Siau-hi-ji melengak, katanya sambil melotot, “Siapa bilang aku tidak keracunan, sedikitnya ada tiga orang saksi hidup yang melihat kutelan jamur beracun jitu.”

“Apa sukarnya bagimu, asalkan kau sedikit main, jangankan tiga orang, biarpun tiga puluh orang juga dapat kau kelabui. Kutahu caramu main pasti jauh lebih cepat daripada penglihatan mereka.”

Siau-hi-ji termenung sejenak, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Masa kau anggap aku main sulap?”

“Main sulap atau tidak, yang pasti kau sengaja membikin orang mengira benar telah kau makan jamur beracun itu, lalu sengaja terjerumus pula ke gua sumur itu, tujuanmu adalah supaya mereka tidak dapat memaksa kau mengadu jiwa dengan Hoa Bu-koat. Caramu ini sebenarnya sangat bagus, cuma sayang pada saat tegang kau lupa melanjutkan sandiwara ini.”

“Apa yang kulupakan?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau bilang tidak dapat bertempur dengan Hoa Bu-koat lantaran keracunan, tapi mengapa kau dapat bergebrak dengan Kiau-goat Kiongcu?”

“Bekerjanya racun Li-ji-hong memang tidak menentu, kalau tidak bekerja, rasanya tiada ubahnya seperti tiada keracunan apa-apa.”

“Tapi kau lupa, orang yang keracunan Li-ji-hong pasti akan kambuh apabila minum arak.”

Kembali Siau-hi-ji melengak, sejenak kemudian baru dia berkata pula sambil menyengir, “Meski aku berlagak bodoh toh tetap tidak persis.”

So Ing tertawa, katanya, “Asalkan kau selamat, biarpun engkau tidak suka padaku juga bukan soal bagiku.”

Mendadak Siau-hi-ji menarik si nona dan memeluknya, katanya dengan lembut, “Apakah kau kira aku bisa menyukai orang bodoh?”

So Ing merangkul erat-erat pinggang Siau-hi-ji dan membenamkan kepalanya di pangkuan anak muda itu, selang agak lama barulah ia berkata pula dengan gegetun, “Aku pun tahu tiada maksudmu hendak membunuh mereka, tapi sekarang hanya jalan ini saja yang dapat kau tempuh.”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian, “Meski kau dapat mengetahui aku tidak keracunan, mereka belum pasti tahu.”

“Jangan kau nilai rendah mereka,” ujar So Ing. “Mungkin mereka tidak banyak mengetahui seluk beluk kehidupan bermasyarakat, sebab selama ini mereka selalu tinggi di atas, terlalu sedikit kontak dengan khalayak ramai, tapi selain ini, terhadap urusan lain mereka tidak kurang lihainya, kecerdasan mereka tidak di bawah kita, kalau tidak masakah mereka mampu meyakinkan ilmu silat setinggi ini.”

Siau-hi-ji termenung sejenak, lalu bergumam, “Tampaknya sekarang harus kukatakan padanya bahwa Hoa Bu-koat selekasnya akan masuk kemari.”

So Ing berkerut kening, ucapnya, “Jika dia tahu bakal ada orang akan menolongnya, bukankah rahasia itu lebih-lebih takkan diceritakan padamu?”

“Ini pun belum tentu, justru lantaran dia sudah putus asa, maka dia lebih suka mati daripada membeberkan rahasia itu. Tapi kalau dia mengetahui ada harapan untuk hidup, bisa jadi pikirannya akan berubah.”

Terbeliak mata So Ing, katanya, “Betul, lebih dulu kita beritahukan padanya bahwa Hoa Bu-koat sudah hampir masuk ke sini. Lalu kita katakan bilamana dia tak mau menceritakan rahasia itu, maka tempat ini akan kita bikin buntu. Aku yakin sekalipun dia sangat memandang penting rahasia itu pasti juga takkan lebih penting daripada jiwanya sendiri.”

Belum lenyap suaranya, mendadak di belakangnya bergema suara seorang, terdengarlah Lian-sing Kiongcu sedang berkata, “Kau salah, dia justru memandang rahasia itu jauh lebih penting daripada jiwanya sendiri.”

Meski suara Lian-sing ini sangat perlahan dan halus, tapi bagi pendengaran Siau-hi-ji dan So Ing serasa seperti bunyi guntur di tepi telinga.

Di bawah sinar lampu kelihatan wajah Lian-sing Kiongcu yang pucat pasi.

Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya sambil menyengir, “Rupanya Gui Bu-geh adalah makhluk paling pelit, ingin membuat mabuk orang tapi tidak rela menggunakan arak yang paling baik.”

Pandangan Lian-sing tampak sayu, biji matanya seolah-olah telah menjadi kelabu, seperti tidak tahu siapa yang berdiri di depannya dan seakan-akan tidak mendengar perkataannya.

Terpaksa Siau-hi-ji melanjutkan, “Arak yang berkualitas tinggi biasanya menimbulkan rangsangan kemudian. Kalau arak yang diberikan Gui Bu-geh tadi benar-benar arak bagus, sedikitnya orang akan mabuk setengah hari dan tidak mungkin sadar secepat ini.”

Lian-sing juga menyambung, “Mungkin akan lebih baik apabila aku tidak sadar untuk selamanya.” Dia bicara seperti orang linglung, seolah-olah tidak menyadari apa yang diucapkannya.

Siau-hi-ji tertawa, katanya pula, “Tampaknya kau seperti sangat menderita, padahal, mabuk arak juga bukan sesuatu yang memalukan. Di dunia ini setiap hari sedikitnya berjuta-juta orang jatuh mabuk, kenapa engkau mesti merasa susah?”

Lian-sing menggeleng, katanya, “Tadi aku ... aku ....”

“Meski engkau tak pernah minum arak, tapi adatmu minum arak jauh lebih baik daripada orang lain,” ujar Siau-hi-ji. “Kebanyakan orang, apabila sudah mabuk tentu akan mengoceh tak keruan, tapi engkau ternyata sangat tenang dan prihatin.”

“Masa aku tidak ... tidak melakukan sesuatu?” tanya Lian-sing.

“Memangnya kau kira dirimu telah berbuat sesuatu?” jawab Siau-hi-ji. “Setelah mabuk tadi engkau lantas terpulas, engkau cuma mengigau beberapa kata saja seperti sedang mimpi.”

Lian-sing Kiongcu menghela napas lega, perlahan-lahan matanya mulai bercahaya, wajahnya yang pucat juga mulai bersemu merah, gumamnya, “Benar, aku memang bermimpi, impian yang sangat aneh.”

“Orang hidup kalau terkadang bisa bermimpi yang aneh-aneh kukira kehidupan demikian pasti akan sangat menyenangkan,” ujar Siau-hi-ji.

So Ing memandang anak muda itu, sorot matanya penuh rasa mesra, rasa kagum dan memuji seperti sangat bangga baginya. Maklum, setiap anak perempuan tentu berharap kekasihnya berjiwa luhur, simpatik dan welas asih.

Siau-hi-ji, jika dalam keadaan kepepet, pada detik menentukan antara hidup dan mati, pada saat yang oleh seorang pujangga diistilahkan “to be or not to be”, berbuat atau tidak, dibunuh atau terbunuh. Dalam keadaan begitu, terkadang ia pun bisa bertindak tanpa mengenal cara, tujuan menghalalkan perbuatan, kata orang. Akan tetapi pada dasarnya Siau-hi-ji mempunyai sebuah hati yang baik, hati yang welas asih, hati yang cinta kepada sesamanya.

Begitulah, selang sejenak dengan perlahan Lian-sing berkata pula, “Sekarang dia tak dapat lagi membunuh kau, boleh kau bebaskan dia saja.”

Nada bicaranya ini sangat aneh, rasanya sedikit pun tidak memaksa, bahkan seperti seorang di luar garis yang membujuknya.

Siau-hi-ji memandangnya dua kejap, tanpa bicara apa pun ia lantas menarik So Ing dan diajak menuju ke tempat yang ada tombol pengendali pesawat rahasia itu. Lian-sing Kiongcu ternyata tidak ikut ke situ.

Kecuali alat buka-tutup ruangan di bawah itu, alat-alat lain ternyata sudah dihancurkan seluruhnya. Sambil memandangi tangkai putaran pintu yang mengkilat karena seringnya sentuhan tangan, tiba-tiba Siau-hi-ji berkata dengan tertawa, “Aneh, Lian-sing Kiongcu seolah-olah berubah percaya penuh padaku, masa dia tidak khawatir kalau alat pesawat ini pun kurusak?”

So Ing tersenyum, katanya, “Ya, sebab lambat laun dia merasa kau ini sesungguhnya seorang yang baik.”

“Mengapa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kebanyakan perempuan memang mempunyai jalan pikiran yang aneh, biarpun kau telah beribu kali berbuat busuk padanya, asalkan kau berbuat baik padanya satu kali, maka dia akan merasakan kau sungguh orang baik dan akan sangat berterima kasih padamu.”

“Mengapa dia berterima kasih padaku?”

“Memangnya kau kira dia sama sekali tidak mengetahui perbuatanmu setelah mabuk? Soalnya karena kau telah menjaga martabatnya, telah menutupi tindakannya yang memalukan itu, kalau dia dapat mengelakkan kenyataan ini, maka ia pun boleh sekadar membohongi dirinya sendiri dan pura-pura tidak tahu.”

Membohongi dirinya sendiri, inilah kepandaian khas umat manusia. Misalnya seseorang tidak berhasil makan anggur, padahal kepingin setengah mati hingga keluar air liur, untuk menghibur dirinya yang gagal makan anggur itu ia lantas bilang: “Ah, anggur rasanya kecut, tidak enak.” Dengan demikian hatinya akan terhibur.

Manusia kalau tidak pintar membohongi dirinya sendiri, mungkin banyak yang tidak sanggup hidup lagi, sebab membohongi dirinya sendiri pada hakikatnya adalah semacam ‘obat penawar’ bagi manusia yang merasa kecewa, yang merasa gagal memperoleh sesuatu.

Sebab itu pula, bilamana seorang patah hati lantaran kehilangan pacar, paling baik kalau dia menghibur dirinya sendiri dengan cara demikian: “Ah, hakikatnya aku toh tidak menyukai dia. Apalagi di dunia kan masih banyak anak perempuan yang jauh lebih baik daripada dia”.

Jika dia tidak membohongi dirinya sendiri secara demikian, mungkin dia akan runtuh benar-benar dan bisa jadi bunuh diri.

Begitulah Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala sambil menatap So Ing, gumamnya kemudian, “Tampaknya pikiran perempuan hanya bisa dipahami oleh kaum perempuan sendiri.”

Sembari bicara ia terus memegang putaran pesawat rahasia itu.

“He, kau benar-benar akan membebaskan Kiau-goat Kiongcu?” seru So Ing heran.

“Sudah tentu, masa tidak benar,” kata Siau-hi-ji.

“Akan ... akan tetapi, apabila pesawat rahasia itu kau rusak saja, kan urusannya menjadi lebih sederhana?” ujar So Ing.

“Betul, jika Kiau-goat kukurung di sini, menghadapi Lian-sing seorang tentu saja urusannya jadi lebih mudah, tapi aku tak dapat bertindak demikian.”

“Sebab apa?” tanya So Ing.

“Kan dia sudah percaya padaku, maka tidak boleh lagi kutipu dia,” tutur Siau-hi-ji. “Jika orang lain sama sekali tidak percaya padaku, maka bukan soal bagiku untuk menipu dan membohongi dia, biarpun seribu kali juga aku tidak sungkan,” Dia tertawa, lalu menyambung, “Mungkin di sinilah letak perbedaan lelaki dan perempuan. Perempuan selalu akan membohongi orang yang percaya padanya, jika kau tidak mempercayai dia, dia berbalik tak berdaya apa-apa padamu.”

“Hah, dari nadamu ini, tampaknya seakan-akan engkau sudah pernah tertipu beratus kali oleh perempuan,” ucap So Ing dengan tertawa.

“Keliru,” kata Siau-hi-ji. “Justru orang yang tidak pernah ditipu perempuan, makin jelas baginya mengenai seluk beluk perempuan, kalau benar aku pernah tertipu beratus kali oleh perempuan, aku bahkan tidak berani mengaku sangat memahami perempuan.”

So Ing menghela napas gegetun, ucapnya, “Tampaknya jalan pikiran lelaki juga cuma dipahami oleh kaum lelaki sendiri.”

Sementara itu pintu ruangan di bawah tanah sana sudah terbuka, seharusnya Kiau-goat Kiongcu sudah keluar sejak tadi-tadi, tapi sampai sekian lamanya masih belum nampak bayangannya.

“Aneh, mengapa Kiau-goat Kiongcu belum datang mencarimu?” ucap So Ing dengan ragu-ragu.

“Sekarang dia sudah tahu bakal datang penolong dari luar, dengan sendirinya dia tidak perlu membunuhku lagi,” ujar Siau-hi-ji.

“Menurut wataknya, seumpama dia tidak ingin lagi membunuhmu, sedikitnya ia kan mencari perkara padamu.”

“Bisa jadi mendadak ia merasa sangat enak di sana dan tidak ingin keluar lagi,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Akhirnya mereka ingin tahu juga apa yang terjadi, tapi sama sekali tak terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa Kiau-goat Kiongcu benar-benar masih berada di kamar batu sana, bahkan sekarang Ih-hoa-kiongcu mahaagung itu telah duduk bersandar dinding.

Terlihat Lian-sing Kiongcu juga berdiri di samping sana dan sedang memandangi sang kakak dengan terkesima, air mukanya tampak mengunjuk rasa kejut dan heran, juga merasa kagum serta iri.

Tentu saja Siau-hi-ji heran, sikap Lian-sing Kiongcu itu tampak aneh, air muka Kiau-goat Kiongcu juga tidak kurang anehnya. Air mukanya kelihatan tidak putih, juga tidak merah, akan tetapi di antara putih kemerah-merahan itu tampaknya seakan-akan bening tembus cahaya.

Di bawah cahaya lampu kelihatan jelas setiap urat dan setiap tulang di bawah kulit daging raut wajahnya yang mahacantik itu kini telah berubah menjadi aneh dan misterius.

“Apa-apaan ini?” ucap So Ing dengan bingung. “Barangkali dia mengalami Cau-hwe-jip-mo (salah latihan hingga mengalami kelumpuhan)?”

Siau-hi-ji menggeleng, belum lagi bicara, Lian-sing Kiongcu telah muncul keluar dengan perlahan tapi tetap berdiri melenggong di situ, entah apa yang sedang direnungkan. Padahal Siau-hi-ji dan So Ing berdiri tepat di depannya, tapi Lian-sing seperti tidak melihat mereka.

Karena ingin tahu terpaksa Siau-hi-ji membuka suara, “Sungguh jarang terlihat wajah seorang bisa berubah menjadi bening tembus cahaya begini, apakah ini termasuk Kungfu yang kalian latih?”

Melihat Lian-sing dalam keadaan seperti orang linglung, sebenarnya Siau-hi-ji mengira orang pasti takkan menjawab pertanyaannya. Tak terduga meski Lian-sing tidak memandangnya barang sekejap, tapi toh berkata dengan perlahan, “Ya, betul memang beginilah gejalanya jika ‘Beng-giok-kang’ sudah terlatih sampai tingkatan terakhir.”

“Beng-giok-kang (ilmu kemala bening)? Ilmu apakah ini? Belum pernah kudengar selama ini?” kata Siau-hi-ji.

“Sedikitnya sudah ratusan tahun Kungfu ini menghilang di dunia persilatan dengan sendirinya tak pernah kau dengar,” ucap Lian-sing.

“Wah, jika begitu, Kungfu ini pasti sangat lihai?” Siau-hi-ji coba memancing pula.

“Kungfu ini terbagi sembilan tingkat,” tutur Lian-sing. “Tapi asalkan berhasil melatihnya hingga tingkat keenam, maka Kungfunya sudah dapat disejajarkan dengan tokoh utama persilatan jaman ini. Bila berlatih sampai tingkat kedelapan, maka dapatlah menjagoi dunia tanpa tandingan.”

“Jika demikian, kalian kakak beradik sudah berlatih hingga tingkat ke berapa?” tanya Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.

“Kedelapan,” jawab Lian-sing sambil menghela napas perlahan, tanpa menunggu komentar Siau-hi-ji segera ia menyambung pula, “Pada dua puluh tahun yang lalu kami sudah berhasil melatihnya hingga tingkat kedelapan, sebenarnya untuk mencapai tingkat kedelapan ini sedikitnya diperlukan ketekunan latihan selama tiga puluh dua tahun, tapi kami hanya berlatih selama dua puluh empat tahun saja, kemajuan kami ini boleh dikatakan telah melampaui kebiasaan dan merupakan rekor yang belum pernah dicapai orang lain. Tadinya kami mengira empat atau lima tahun lagi kami pasti dapat mencapai puncaknya yang tertinggi.”

Siau-hi-ji tahu selera bicara Lian-sing sudah terpancing keluar, maka ia tidak bersuara lagi melainkan menunggu cerita lebih lanjut.

Selang sejenak, benar juga Lian-sing Kiongcu lantas menyambung setelah menghela napas gegetun, “Siapa tahu, selama dua puluh tahun terakhir ini latihan kami tiada kemajuan sama sekali, seolah-olah cuma sampai di sini saja dan tidak mungkin naik lebih tinggi lagi.”

Tanpa tertahan So Ing bertanya, “Apakah sebelum ini tiada yang pernah mencapai tingkatan kesembilan?”

“Beng-giok-kang adalah ilmu sakti rahasia yang tak diajarkan, boleh dikatakan Kungfu yang diimpi-impikan oleh setiap orang persilatan,” tutur Lian-sing Kiongcu. “Sebab, tak peduli siapa dia, asalkan bisa memperoleh kunci dasar melatih ilmu ini, maka pasti akan berhasil meyakinkannya. Dan asalkan berhasil melatihnya, maka tiada tandingannya lagi di dunia ini. Biarpun orang yang tak berbakat, asalkan melatihnya dengan tekun dan tekad penuh, lambat atau cepat akhirnya pasti akan berhasil!”

“Jika demikian seorang bodoh juga dapat meyakinkan ilmu silat ini?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Ya, hanya makan waktu lebih lama saja,” kata Lian-sing.

“Kira-kira memerlukan waktu berapa lama,” tanya Siau-hi-ji.

“Untuk ini perlu diketahui dulu dia orang tolol macam apa, tololnya setengah-setengah atau sudah kelewatan,” jawab Lian-sing.

“Jika setolol Gui Bu-geh, umpamanya?”

“Gui Bu-geh bukan orang tolol, tapi kalau dia ingin meyakinkan Kungfu sakti ini hingga berhasil, sedikitnya juga perlu waktu 80-90 tahun,” tutur Lian-sing.

“Hah, begitu lama?” seru Siau-hi-ji dengan tertawa dan geli. “Wah, andaikan dia mulai berlatih pada usia sepuluh tahun, sampai berhasil dilatihnya mungkin dia sudah dipanggil menghadap Giam-lo-ong (raja akhirat) lebih dulu.”

“Memang,” ujar Lian-sing. “Makanya untuk meyakinkan ilmu silat ini harus dimulai selagi kanak-kanak, bahkan taraf kemajuannya harus cepat, dengan demikian baru berguna hasil latihannya, kalau tidak ....”

“Kalau tidak orang itu harus berumur panjang seperti kita, begitu bukan?” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.

Lian-sing Kiongcu menarik muka, tapi tetap menjawab, “Betul, cuma orang yang dapat meyakinkan ilmu sakti ini hingga puncaknya juga harus orang yang berbakat, selama ini, dari dulu hingga kini, paling-paling juga cuma enam orang saja yang berhasil dengan baik.”

“Hanya enam orang? Wah, siapa saja mereka itu?” tanya So Ing.

“Selain kami kakak beradik, ada juga Jit-hou (permaisuri sang Surya) yang tinggal di Kong-beng-to di lautan selatan, lalu Siau-ong-sun di lembah Te-ong-kok, putra mahkota Jit-sik-cun (kapal tujuh warna) yang selalu malang-melintang di samudera serta tokoh ajaib dunia persilatan Sim Long.

Mendengar nama-nama itu, mau tak mau Siau-hi-ji menarik napas dingin juga. Maklum, tokoh-tokoh yang disebut itu sudah lama wafat, tapi nama kebesaran mereka tidak pernah pudar dari dunia persilatan, tapi cemerlang dan terukir dengan abadi.

Dengan menyesal kemudian Lian-sing menyambung pula, “Kecuali kami berdua, keempat orang yang lain itu sudah berhasil meyakinkan Kungfu ini dengan sempurna.”

“Ya, begitu kudengar nama mereka, segera kutahu mereka pasti berhasil meyakinkannya,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Dan kalian, mengapa, mengapa kalian tidak berhasil mencapai puncaknya?” tanya So Ing.

“Orang Kangouw umumnya tahu Sim-long, Sim-locianpwe adalah tokoh ajaib berbakat dunia persilatan, tapi setahuku ia pun memerlukan 24 tahun baru berhasil mencapai tingkatan kedelapan, enam tahun lagi barulah mencapai puncaknya. tapi nyatanya usaha kami selalu gagal, kami pun tidak tahu apa sebabnya tak dapat mencapai tingkatan terakhir itu.”

“Apakah kemudian kalian berhasil menyelami sebab-sebabnya?” tanya So Ing.

“Ya,” jawab Lian-sing.

“Bagaimana?” tertarik juga Siau-hi-ji.

Lian-sing menatapnya lekat-lekat hingga lama seperti lagi menimbang apakah harus menjawab pertanyaannya atau tidak. Terpaksa Siau-hi-ji juga berdiam menunggu.

Selang agak lama, akhirnya Lian-sing menghela napas panjang dan bertutur dengan perlahan, “Maklumlah, pada dua puluh empat tahun permulaan, cara berlatih kami sangat tekun tanpa terusik oleh pikiran lain, tapi dua puluh tahun berikutnya, kami juga seperti khalayak umumnya, kami pun mempunyai suka duka, tidak lagi khusuk seperti sebelumnya dan berlatih dengan sepenuh hati.”

Siau-hi-ji termenung sejenak, gumamnya kemudian, “Dua puluh tahun ... dua puluh tahun yang lalu ....”

Ia tidak melanjutkan, sedangkan wajah Lian-sing Kiongcu perlahan-lahan berubah pucat pula, sebab ia merasa anak muda itu pasti sudah dapat menerka apa yang menyebabkan suka-duka Ih-hoa-kiongcu pada dua puluh tahun yang lalu. Ya, dua puluh tahun yang lalu, bukankah itulah waktu untuk pertama kalinya mereka bertemu dengan Kang Hong, ayah Siau-hi-ji?

“Dan sekarang ... sekarang apakah Kiau-goat Kiongcu sudah berhasil meyakinkannya hingga tingkat kesembilan, tingkat tertinggi?” tanya So Ing.

“Ya, betul,” jawab Lian-sing, kembali sorot matanya menampilkan rasa kagum dan iri, ucapnya pula dengan rawan, “Sungguh tak terduga olehku setelah selama dua puluh tahun, dalam keadaan demikian dan tempat begini dia justru berhasil mencapainya, sungguh aku ... aku ikut bergirang baginya.”

Siau-hi-ji menggigit bibir, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Mungkin disebabkan akulah yang telah membantunya.”

“Ya, mungkin begitu,” ucap Lian-sing gegetun. “Sebab dia terkurung olehmu di tempat begini, ia benar-benar putus harapan untuk hidup, dalam keadaan demikian pikiran manusia sering kali mengalami perubahan yang tak tersangka, bisa jadi dalam sekejap itu pikirannya menjadi ‘plong’, mungkin ia sendiri pun tidak menyangka akan mencapai hasil yang tak terduga ini.”

“Padahal setelah berlatih sampai tingkat kedelapan kan sudah tiada tandingannya, andaikan tidak mencapai tingkat kesembilan juga tidak soal lagi, bisa berhasil mencapainya memang lebih bagus, kalau tidak berhasil juga tidak perlu sedih,” ujar Siau-hi-ji.

Ucapan ini sebenarnya bermaksud menghiburnya, siapa tahu air muka Lian-sing Kiongcu bahkan berubah lebih murung, setelah termenung-menang sejenak dengan perlahan ia berkata, “Kalau bisa mencapai tingkat kedelapan memang sukar lagi ditandingi orang, tapi bila ketemu tokoh mahalihai seperti Yan Lam-thian, rasanya belum pasti menang.”

“Kalau ilmu silat kalian sudah mencapai tingkatan tiada tandingannya, mengapa dikatakan belum pasti menang?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Sebabnya, meski kekuatan kami lebih tinggi sedikit daripada Yan Lam-thian, namun selisihnya tidak jauh,” tutur Lian-sing. “Pula pertarungan antara jago kelas top, selain kuat dan lemahnya ilmu silat, keadaan fisik masing-masing pada waktu itu, tempat dan waktu serta cuaca, unsur ini pun ikut menentukan kalah-menangnya.”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian, “Setelah dia berhasil mencapai tingkatan kesembilan, apakah Yan Lam-thian lantas tak dapat mengalahkan dia?”

“Ya, setitik harapan pun tidak ada,” jawab Lian-sing tegas.

Siau-hi-ji tidak bicara lagi, sebab ia tahu bilamana Lian-sing Kiongcu berani omong begini, maka pasti bukan bualan belaka, lalu apa yang perlu dikomentarinya?

Tiba-tiba Lian-sing berkata pula, “Menurut cerita kuno, bilamana Beng-giok-kang sudah terlatih sampai tingkat kesembilan, selain ilmu sakti ini tiada tandingannya di kolong langit, orang yang berhasil meyakinkannya juga akan awet muda dan panjang umur, konon ‘Permaisuri Surya’ mencapai umur seratus lima puluh tahun, ketika meninggal wajahnya tetap cantik dan segar seperti perawan likuran tahun.”

Selagi Siau-hi-ji asyik mendengarkan cerita Lian-sing Kiongcu itu, terdengar suara galian di luar sana masih terus berlangsung.

Sambil mengikuti suara “trang-tring” galian itu perasaan Siau-hi-ji sendiri sukar untuk dilukiskan. Ia pikir kalau benar ilmu silat Kiau-goat Kiongcu sudah tiada tandingannya di kolong langit ini, setelah bebas dari sini, maka entah apa pula yang akan terjadi atas dirinya.

Pada saat lain, mendadak suara galian di atas sana berhenti pula secara mendadak.

Tentu saja So Ing dan Lian-sing Kiongcu menjadi cemas, mereka coba menunggu lagi dengan sabar dengan harapan suara galian itu akan timbul lagi.

Tapi mereka benar-benar kecewa. Sampai seharian suasana tetap sunyi, tiada apa pun yang terdengar di luar. Satu hari ini bagi mereka rasanya seperti seribu tahun lamanya.

So Ing coba tanya Siau-hi-ji, “Sekali ini mendadak mereka berhenti menggali? Apakah mereka dirintangi lagi oleh seseorang? Dan siapakah gerangannya yang mampu menghentikan pekerjaan mereka?”

Siau-hi-ji hanya menggeleng saja, sekali ini ia tidak sanggup menerkanya. Maklumlah, memang tidak banyak orang yang sanggup menundukkan Cap-toa-ok-jin dan menghentikan pekerjaan mereka.

“Mungkinkah perbuatan Kang Piat-ho?” So Ing coba bertanya pula.

“Kang Piat-ho sudah jatuh di tangan Yan-tayhiap, sekalipun kepandaiannya setinggi langit, juga jangan harap bisa lolos,” kata Siau-hi-ji.

“Habis siapa, mungkinkah Yan-tayhiap sendiri?” tanya pula So Ing.

“Tidak mungkin,” jawab Siau-hi-ji. “Jika beliau mengetahui ada orang terkurung di sini, sekalipun orang ini musuhnya pasti juga dia akan menyelamatkan dulu orang ini dan urusan lain adalah soal belakang.”

“Mungkinkah ….” tapi So Ing tak dapat melanjutkan lagi, sebab meski sudah dipikirkan toh sukar teringat siapa di dunia ini yang mampu mencegah pekerjaan Cap-toa-ok-jin.

Semakin tak dapat memecahkannya, semakin diketahuinya urusan pasti tidak sederhana. Apalagi, seumpama sekarang ada orang hendak menolong mereka tentu juga sudah terlambat.

Hanya Kiau-goat Kiongcu saja, air mukanya sekarang tidak kelihatan bening tembus cahaya yang aneh, jelas ilmu saktinya telah berhasil dengan sempurna.

So Ing memandang Kiau-goat lekat-lekat, tiba-tiba ia mengikik tawa.

Siau-hi-ji bergumam, “Jika kau teringat kepada sesuatu lelucon yang menggelikan, kenapa tidak kau ceritakan mumpung sekarang aku masih bisa ikut tertawa.”

Dengan tenang So Ing berkata, “Baru sekarang kutahu bahwa di dunia ini memang ada banyak hal-hal yang menarik.”

“O, hal-hal menarik?” Siau-hi-ji menegas.

“Ya, umpamanya mati, biasanya yang paling kutakuti ialah mati, dan cita-citaku yang paling besar adalah hidup bersamamu. Tapi sekarang, meski Gui Bu-geh hampir berhasil membunuhku, tapi kalau dia tidak mengurung kita di sini cara bagaimana aku dapat selalu mendampingimu seperti ini? Nah, coba katakan, sesungguhnya aku harus berterima kasih atau benci padanya?”

“Baik kau akan berterima kasih atau akan benci padanya, yang pasti sekarang semua itu tiada sangkut-pautnya dengan dia,” kata Siau-hi-ji.

“Mati, memang kejadian yang paling menyedihkan,” ujar So Ing pula. “Meski sekarang aku akan mati, tapi kurasakan pula selama hidupku tidak pernah segembira sekarang ini.”

Siau-hi-ji menggerutu, “Ya, menarik, sungguh menarik hal ini, sebenarnya aku pun ingin tertawa, cuma sayang aku tidak sanggup tertawa lagi.”

Dengan rawan So Ing berkata pula, “Aku pun tidak benar-benar merasa hal ini sangat menarik dan lucu, hanya kurasakan banyak kejadian di dunia ini satu sama lain saling bertentangan, penuh sindiran, antara suka dan duka juga tiada pembatasan yang nyata, apalagi duka terkadang juga mendatangkan suka, sebaliknya suka juga sering mendatangkan duka.”

Siau-hi-ji hanya mendengar saja tanpa bersuara.

Yang dirasakannya sekarang hanya keletihan, maka apa pun tak ingin diucapkannya dan apa pun tak mau dipikirkannya, bahkan rasa takut pun tak dirasakannya lagi. Ia seakan-akan sudah berubah pati rasa.

Padahal orang keras tekadnya seperti Siau-hi-ji, sekalipun pada saat sudah putus asa juga tidak mungkin tinggal diam dan pasrah nasib. Namun kalau sudah ada setitik sinar harapan untuk kemudian terjadi lagi putus harapan untuk kedua kalinya, maka biarpun manusia paling teguh imannya juga tidak tahan pukulan-pukulan begini.

Saraf manusia memang bersifat elastis, bisa mulur dan mengkeret, bisa kencang dan kendur, apabila sudah mengencang terus mengendur, habis mengendur terus ditarik kencang lagi, maka akhirnya daya elastis akan lenyap. Dan begitu pula keadaan Siau-hi-ji, setelah mengalami berbagai kejadian, kini pada hakikatnya dia sudah putus asa.

Meski luar biasa pintar dan cerdasnya Siau-hi-ji, betapa pun ia bukan superman yang memiliki mata telinga ajaib, ia pun tidak dapat menujum apa yang belum terjadi, apa yang diterkanya juga tidak selalu tepat.

Kejadian di dunia ini dengan perubahan-perubahan yang aneh terkadang ajaib daripada yang pernah dibayangkan orang. Perkembangan sesuatu urusan terkadang juga bisa melampaui apa yang diperkirakan orang.

Begitu pula apa yang terjadi dengan Hoa Bu-koat, dia tidak berhasil menemukan Thi Sim-lan ketika dia meninggalkan gua tempat tinggal Gui Bu-geh itu. Secara misterius Thi-Sim-lan telah menghilang.

Padahal dengan Ginkang Hoa Bu-koat, ke mana pun perginya Thi Sim-lan pasti dapat disusulnya. Namun seluruh pelosok Ku-san itu sudah dijelajahinya dan bayangan Thi Sim-lan tetap tak terlihat.

Setelah putus asa dan ingin kembali ke gua sana, namun gua tikus Gui Bu-geh itu sudah tertutup rapat.

Perubahan ini membuat Hoa Bu-koat terkejut dan kebingungan, dia menjerit dan berteriak-teriak, namun tiada suara jawaban. Jelas Ih-hoa-kiongcu dan Siau-hi-ji telah terkurung di dalam gua itu, kalau tidak masakan mereka tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Ketika kemudian dia dapat meminjam cangkul dari seorang petani di lereng bukit, sementara itu hari sudah mendekati senja, lereng bukit sudah mulai berkabut.

Dengan segenap tenaganya dia mulai menggali. Waktu permulaan ia merasa tanah pegunungan itu dengan mudah dapat dicangkulnya, tapi makin lama terasa semakin keras dan makin berat, akhirnya terasa keras seperti besi.

Ia tahu tenaga sendiri sudah tidak tahan namun dia pantang berhenti, ia pun tidak tahu apa yang terjadi di dalam gua, sungguh hampir gila dia memikirkannya.

Sementara itu remang-remang malam sudah tiba. Di tengah suasana yang remang-remang itulah tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang, dari garis tubuhnya jelas itulah bayangan orang perempuan. Tanpa bicara bayangan itu cuma berdiri di situ, memandang Hoa Bu-koat dengan terkesima.

Meski Bu-koat tidak mendengar suaranya, tapi nalurinya sudah merasakan sesuatu, perlahan ia berhenti mencangkul dan cepat berpaling. Lalu, seperti bayangan orang itu, ia pun melenggong tak bergerak.

Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa orang yang berdiri di depannya sekarang adalah orang yang telah dicarinya dengan susah payah dan tidak bertemu, yaitu Thi Sim-lan.

Waktu dia mencari nona itu di segenap pelosok lereng bukit, pikirannya bergolak seperti langkahnya yang tidak pernah berhenti. Teringat banyak persoalan yang hendak dibicarakannya dengan Thi Sim-lan. Akan tetapi sekarang, setelah dia berhadapan dengan si nona, berbalik ia tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Thi Sim-lan juga tidak bicara apa-apa, bahkan tidak berani beradu pandang dengan Bu-koat, tapi perlahan-lahan ia menunduk dan memainkan ujung baju yang tersingkap tertiup angin.

Dia berdiri seperti patung, meski tampaknya begitu tenang, namun hatinya jauh lebih kusut daripada rambutnya yang semrawut.

Dengan sendirinya perasaan Bu-koat juga tidak tenang seperti lahirnya, selang agak lama barulah dia menghela napas panjang dan berucap, “Ta ... tadi ke manakah kau?”

“Aku ... aku tidak pergi ke mana-mana, sejak tadi aku berada di sini,” jawab Sim-lan sambil menunduk.

Ujung mulut Bu-koat bergerak seperti ingin tertawa tapi urung. Akhirnya ia pun menunduk, katanya, “Kiranya kau tidak pergi ke mana-mana, pantas tak dapat kutemukan kau.”

“Engkau mencari aku?” tanya Sim-lan.

“Ya, sudah kucari ke mana-mana, cuma tak tersangka engkau masih di sini?”

“Aku pun melihat engkau keluar dari situ, tak tersangka engkau akan mencariku.”

Bu-koat angkat kepala memandangnya sekejap, lalu menunduk pula.

“Jika engkau tidak menyangka aku masih berada di sini, mengapa engkau kembali lagi ke sini?”

“Aku ... aku bukan ....”

“Kembalimu ke sini bukan untuk mencari aku? Habis untuk apa kau kembali lagi ke sini? Mereka kan sudah pergi semua, mengapa engkau tidak ikut pergi bersama mereka?”

Cepat Bu-koat mengangkat kepalanya dan berseru, “Sia ... siapa yang kau maksudkan sudah pergi semua?”

“Yang kumaksudkan sudah tentu gurumu dan ... dan So Ing mereka.”

Hampir saja Bu-koat melonjak maju dan memegang tangan si nona, dengan suara terputus-putus ia tanya pula, “Kau ... kau benar-benar melihat mereka sudah pergi semua?”

Kepala Thi Sim-lan menunduk hampir terbenam sampai di dada sendiri, jawabnya lirih, “Ya, benar, masa engkau tidak melihat mereka?”

Terkejut dan bergirang pula Bu-koat, ia tertawa dan berseru, “O, langit, O, bumi, tadinya kukira mereka terkurung di dalam situ.”

“Kau kira siapa yang dapat mengurung mereka di dalam situ?” tanya Sim-lan.

“Dengan sendirinya kusangka Gui Bu-geh.”

“Tadi engkau bertemu dengan Gui Bu-geh?” tanya Sim-lan sambil berkedip-kedip.

“Tidak,” jawab Bu-koat. “Di dalam situ tiada terdapat seorang pun, tadi kukira Gui Bu-geh pasti bersembunyi, pada waktu mereka tidak berjaga-jaga lalu menutup pintu dan membuat buntu jalan keluarnya.”

Sim-lan tertawa menunduk, ucapnya, “Tampaknya rasa curigamu juga tidak kecil.”

Tanpa terasa Bu-koat juga menunduk dan tertawa, baru sekarang ia tahu tangan si nona telah digenggamnya, jantungnya berdebar keras dan segera hendak melepas tangannya.

Siapa tahu, seperti sengaja dan tidak sengaja, tahu-tahu Thi Sim-lan juga memegang tangannya dan berkata, “Gua ini di buntu oleh gurumu, agaknya dia tidak ingin orang lain masuk lagi ke situ, aku menjadi menyesal mengapa ... mengapa tadi aku tidak masuk ke sana.”

Jantung Bu-koat berdetak keras, ia menarik napas panjang-panjang, ucapnya dengan tertawa, “Sebenarnya di dalam sana juga tiada sesuatu yang baik untuk dilihat.”

“Konon selama hidup Gui Bu-geh sangat suka mengumpulkan benda mestika, banyak barang koleksinya adalah benda yang sukar dicari di dunia ini, masa engkau tidak melihatnya?”

“Tidak, aku tidak melihat apa-apa, bisa jadi ia pergi dengan membawa semua barangnya.”

“Mungkin engkau tidak menaruh perhatian.”

“Ya, bisa jadi,” Bu-koat mengangguk. “Tapi tahukah mereka menuju ke arah mana?”

Seenaknya Thi Sim-lan menuding ke arah rembulan dan menjawab, “Ke sana.”

“Aneh, mengapa aku tidak menemukan mereka?” ucap Bu-koat sambil berkerut kening, “Mengapa mereka tidak menunggu aku?”

“Mereka berangkat dengan tergesa-gesa, seperti mendadak menemukan sesuatu,” kata Thi Sim-lan.

“Sudah berapa lama mereka pergi?” tanya Bu-koat.

“Baru saja mereka berangkat, lalu engkau datang kembali”

“Jika demikian, lekas kita menyusulnya, mungkin masih keburu.”

“Tidak, aku tidak mau ikut,” kata Thi Sim-lan.

“Kau harus ikut,” bujuk Bu-koat dengan suara lembut. “Sebab ....”

“Tidak, aku tidak mau, kau pun jangan pergi,” sela Thi Sim-lan.

“Sebab apa?” melengak juga Bu-koat.

Thi Sim-lan menengadah dan memandang anak muda itu, katanya perlahan, “Sebab aku tidak mungkin menemui mereka dan juga tidak ingin engkau bertemu lagi dengan mereka.”

Mestinya Bu-koat hendak bicara pula, tapi mendadak dilihatnya sorot mata si nona berubah sangat aneh.

Mata Thi Sim-lan sebenarnya bersih dan bening, cuma akhir-akhir ini dia banyak duka merana sehingga matanya sayu dan mengharukan. Tapi sekarang sorot matanya berubah sedemikian tajam, bahkan kerlingannya tampak licik dan membawa rasa seram.

Dipandang dalam kegelapan, perawakan dan potongan tubuhnya, wajahnya dan gerak-geriknya memang sama seperti Thi Sim-lan, hanya sepasang matanya saja .... Ya, betapa pun juga matanya ini jelas bukan milik Thi Sim-lan.

Begitu merasa gelagat tidak baik, segera Bu-koat bermaksud mundur.

Akan tetapi sudah terlambat, tiba-tiba Bu-koat merasa tangannya kesemutan, menyusul seluruh anggota badannya lantas kaku.

Dengan tenaga yang masih dapat dikerahkan, sekuatnya ia menabas dengan sebelah tangan, akan tetapi “Thi Sim-lan” sempat melompat mundur dengan cepat. Waktu Bu-koat ingin mengejar, namun kaki tangan sudah tak bisa bergerak lagi.

Terdengar “Thi Sim-lan” tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, “Wahai Hoa Bu-koat, tampaknya kau terlalu jauh dibandingkan Siau-hi-ji. Apabila Siau-hi-ji, hahaha, tidak sampai tiga kalimat kubicara tentu sudah dikenali olehnya.”

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Bu-koat dengan gemas.

“Masa gurumu tidak pernah memberitahukan padamu, siapa di dunia ini yang paling mahir menyamar?” kata nona yang mengaku sebagai Thi Sim-lan itu.

Dengan gegetun Bu-koat berteriak, “Manusia rendah dan tidak tahu malu seperti kalian ini tidak mungkin disebut-sebut oleh guruku.”

“Hahaha, jika begitu sekarang juga dapat kukatakan padamu, di kolong langit ini hanya nenekmu she To inilah yang paling ahli dalam hal menyamar dan tiada bandingannya.”

Tergerak pikiran Hoa Bu-koat, segera teringat olehnya nama To Kiau-kiau, salah satu dari Cap-toa-ok-jin yang terkenal dengan julukan ‘tidak lelaki tidak perempuan’ itu. Namun sekarang ia merasa lemas dan tidak sanggup berdiri tegak, belum lagi ia bersuara pula, tahu-tahu lantas roboh terjungkal.

Segera terdengar seorang lagi menjengek, “Hm, kau pun tak perlu terlalu gembira, menurut pandanganku, sedikit kepandaianmu menyamar ini juga bukan sesuatu yang luar biasa, bukankah akhirnya penyamaranmu juga diketahui olehnya?”

“Betul, akhirnya memang dapat dilihat olehnya,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa. “Tapi ini pun disebabkan aku tidak cukup waktu untuk mempelajari gerak-gerik Thi Sim-lan, total jenderal aku hanya mendapat waktu setengah jam untuk menirunya. Coba, bila aku diberi tempo setengah hari, sekalipun di siang hari juga bocah ini dapat kukelabui.”

Orang tadi menjengek pula, katanya, “Huh, selama beberapa tahun ini, kepandaianmu yang lain jelas tiada kemajuan apa-apa, hanya kepandaiamu membual memang maju pesat, mungkin ini hasil pelajaranmu dari serigala mulut lebar itu (maksudnya Li Toa-jui).”

Yang mengejek sejak tadi jelas ialah Pek Khay-sim, si ‘tukang buat rugi orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri’.

Dengan sendirinya Toh Sat, Ha-ha-ji dan Li Toa-jui juga ikut muncul seluruhnya. Hanya Im Kiu-yu saja si setengah manusia setengah setan itu seolah-olah tidak berani memperlihatkan diri di depan umum dan selalu main sembunyi-sembunyi, tapi rasanya setiap waktu ia pun bisa menongol.

Diam-diam Bu-koat sudah dapat menerka siapa gerangan orang-orang ini. Ia menyadari bagaimana nasibnya sendiri setelah jatuh di tangan orang ini, hakikatnya seperti kambing berada di rumah pemotongan.

Namun dia tidak khawatir bagi keadaan sendiri, sebab ia tahu keadaan Ih-hoa-kiongcu dan Thi Sim-lan sekarang pasti jauh lebih berbahagia daripadanya.

Terlihat Ha-ha-ji mendekatinya dengan berlenggang, lebih dulu ia memberi hormat, lalu tertawa ngakak dan berkata, “Haha, Hoa-kongcu, maaf seribu maaf. Sebenarnya Cayhe dan kawan-kawan tidak berani berlaku tidak sopan padamu, namun ilmu silat Kongcu sesungguhnya teramat tinggi, terpaksa kami menggunakan cara demikian.”

“Hehe, mulut si gendut ini berlumur madu, padahal hatinya lebih busuk daripada siapa pun juga,” demikian Pek Khay-sim berolok-olok. “Maka apa pun yang dikatanya paling baik kau anggap saja seperti kentut, kalau tidak kau sendiri bisa celaka.”

“Hahaha, kalau kentutnya sih kentut manusia, sebaliknya kentutmu justru kentut anjing,” sambung Li Toa-jui dengan terbahak.

Sembari tertawa ia pun mendekati Hoa Bu-koat, ia pandang anak muda itu dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, mungkin bapak mertua yang lagi meneliti calon menantu juga tidak secermat dia. Setelah mengamat-amati sekian lama, mulutnya berkecak-kecak memuji dan bergumam, “Ehmm, bagus, bagus sekali. Daging sebagus ini sungguh sukar dicari, di antara seribu orang sukar ditemukan satu. Hanya kurusan sedikit, jika dimasak Ang-sio kurang berminyak.”

Sambil bicara air liurnya seakan-akan menetes, jakunnya naik turun, malahan sebelah tangannya terus mencolek perut Bu-koat, mirip seorang nenek lagi memilih ayam sembelihan di pasar.

Cemas dan gemas pula Bu-koat, tapi apa daya, hendak melawan juga tidak mampu.

Syukur pada saat itu Toh Sat lantas membentak, “Berhenti!”

Segera Li Toa-jui menarik kembali tangannya katanya dengan tertawa, “Aku kan tidak hendak menyembelih dia sekarang, hanya mencoleknya sekali kan boleh?”

“Betapa pun orang ini adalah seorang pilihan,” jengek Toh Sat. “Meski aku tak dapat mengalahkan dia dengan ilmu silat, sedikitnya harus kuhormati dia secara sopan. Kau boleh membunuh dia, tapi tidak boleh menghinanya.”

Baru sekarang Hoa Bu-koat mendengar ucapan manusia sejati, tanpa terasa ia menghela napas lega, katanya, “Terima kasih!”

“Kau tahu yang kuhormati bukanlah pribadimu, bukan kedudukanmu, yang kuhormati adalah ilmu silatmu saja, kau patut dihormati.”

Bu-koat terdiam sejenak, ucapnya kemudian, “Cayhe sudah jatuh di tangan kalian, mati hidup tak terpikir lagi olehku, lebih-lebih tak pernah kuharapkan akan kau hormati segala, hanya saja Thi Sim-lan ....” dia tatap Toh Sat dengan tajam lalu menyambung dengan sekata demi sekata, “Apakah Thi Sim-lan juga jatuh di tangan kalian?”

Dia tidak tanya orang lain, tapi tanya kepada Toh Sat, sebab ia tahu di antara kelima orang ini hanya orang berwajah dingin inilah yang tidak suka omong kosong.

Benar juga, Toh Sat lantas menjawab, “Ya, betul.”

Dengan mendongkol Bu-koat berkata, “Lelaki gagah seperti Saudara, tentunya takkan membikin susah seorang gadis lemah.”

“Gadis lemah? Hahahaha, kau kira dia gadis lemah?” To Kiau-kiau bergelak tertawa. “Kulihat dia jauh lebih kuat daripada sementara lelaki di dunia ini. Tapi kau pun jangan khawatir, kami pasti takkan membikin susah dia.”

Bu-koat tidak pedulikan orang lain dan tetap menatap Toh Sat, katanya pula, “Jika Saudara sudi membebaskan dia, mati pun Cayhe takkan menyesal.”

“Membebaskan dia tidak boleh, tapi kami pasti takkan mengganggu seujung rambutnya.”

“Betul?” Bu-koat menegas.

“Ya, terus terang, ayahnya adalah saudara angkat kami, mana bisa kubuat susah dia,” kata Toh Sat.

“Hah, ayahnya ....” Bu-koat melenggong.

“Hahahaha, memangnya kau kira dia berasal dari keluarga terpelajar atau bangsawan? Bicara terus terang, ayahnya juga serupa kami, bukan manusia baik-baik,” seru Pek Khay-sim dengan tertawa.

“Sia ... siapakah ayahnya?” tanya Bu-koat dengan suara parau.

“Ayahnya bernama Thi Cian dan terkenal dengan julukan ‘Ong Say’ (si singa gila), ia pun tergolong manusia rendah yang tidak pernah disebut oleh gurumu, tentu saja kau tidak pernah dengar namanya,” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Meski Thi Cian termasuk Cap-toa-ok-jin, tapi selain wataknya yang keras dan angkuh, jika bicara tentang tindak tanduknya serta jiwanya yang teguh, rasa-rasanya dia pasti tidak di bawah orang yang sok mengaku sebagai golongan pendekar berbudi segala,” ucap Toh Sat dengan suara bengis.

Bu-koat menghela napas panjang, katanya, “Jika demikian, legalah hatiku, sekarang aku cuma ingin minta petunjuk sesuatu padamu.”

“Bicara!” ucap Toh Sat singkat.

“Guruku ....”

Belum lanjut ucapan Bu-koat, dengan tertawa To Kiau-kiau telah memotong, “Soal ini kau pun tidak perlu khawatir. Mereka memang terkurung di dalam gua ini oleh Gui Bu-geh, kecuali bisa memperoleh peralatan besar untuk menggali bukit ini, kalau tidak, selama hidup mereka jangan harap akan bisa keluar lagi.”

“Apa ... apa betul?” Bu-koat menegas, sekujur badan serasa lemas.

“Sebegitu jauh tidak kulihat mereka keluar lagi,” ujar Toh Sat.

Bu-koat memejamkan mata dan tidak bicara pula.

Li Toa-jui tertawa sambil memandang Bu-koat, ucapnya, “Paling sedikit bocah ini ada satu segi baiknya.”

“Baik dalam hal apa?” tanya To Kiau-kiau.

“Sedikitnya dia tahu bilakah dia harus tutup mulut,” kata Li Toa-jui.

“Haha, betul!” timbrung Ha-ha-ji sambil berkeplok. “Meski ia dibesarkan di tengah kerumunan perempuan, tapi dia tahu kapan harus tutup mulut, hal ini sungguh harus dipuji.”

“Dalam hal ini jelas kalian tidak paham,” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa “Orang yang hidup di lingkungan yang cuma orang perempuan melulu justru tidak suka banyak omong.”

“Sebab apa?” tanya Li Toa-jui.

“Coba pikir,” tutur To Kiau-kiau dengan sungguh-sungguh. “Dia hidup di tengah-tengah perempuan sebanyak itu, mana dia ada kesempatan untuk bicara?”

“Haha, betul,” seru Li Toa-jui sambil bertepuk tertawa. “Selama hidupmu ini mungkin ucapanmu inilah yang paling bagus dan paling tepat.”

Lalu To Kiau-kiau mendekati Hoa Bu-koat, katanya dengan perlahan, “Kini satu-satunya ahli waris Ih-hoa-kiongcu sudah meringkuk di sini, kedua kakak beradik Ih-hoa-kiongcu juga tak dapat keluar lagi, Ih-hoa-kiongcu yang gilang gemilang selama ini selanjutnya akan pudar dan sirna. Nah, semua ini jasa siapakah? Apakah kalian sudah tahu jelas?”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes