Wednesday, May 12, 2010

bp5_part2

“Menghendaki dia membunuhmu berarti menghendaki kematianmu, kan tidak ada bedanya?”

“Ada, ada bedanya, bahkan sangat menarik. Kutahu di dalam hal ini tentu ada sesuatu sebab yang aneh, cuma sayang saat ini belum dapat kupecahkan.”

Tong-siansing berdiam sejenak pula, jengeknya kemudian, “Seumpama di dalam hal ini ada sebabnya juga takkan kau ketahui selamanya.”

“Oya? Apa betul?” Siau-hi-ji tersenyum.

“Di dunia ini hanya ada dua orang yang tahu rahasia ini dan mereka tidak mungkin memberitahukannya padamu.”

Gemerdep mata Siau-hi-ji, ia merenung dan berkata, “Dengan sendirinya Ih-hoa-kiongcu mengetahui ....”

“Ya, sudah tentu,” ucap Tong-siansing.

“Padahal Ih-hoa-kiongcu terdiri dari kakak beradik berdua,” teriak Siau-hi-ji, “Jika engkau mengatakan di dunia ini hanya dua orang saja yang mengetahui rahasia ini, lalu dari mana pula engkau mengetahuinya?”

Tubuh Tong-siansing seperti bergetar, bentaknya gusar, “Kau sudah terlalu banyak bicara, sekarang tutup saja mulutmu!”

Mendadak ia tutuk Hiat-to anak muda itu. Siau-hi-ji hanya merasakan bayangan putih berkelebat, sampai bentuk tangan orang saja tak terlihat jelas dan tahu-tahu dirinya sudah tak bisa berkutik dan bersuara.

Nyata “Tong-siansing” yang penuh rahasia ini bukan saja wajah aslinya disembunyikan, bahkan tangannya juga tak suka diperlihatkan kepada orang.

*****

Sementara Hoa Bu-koat telah berada di kamarnya, dalam benaknya juga penuh diliputi berbagai tanda tanya, cuma isi hatinya tidak dapat dibeberkan kepada orang lain, ia sendiri pun tidak suka berbincang dengan siapa pun.

Esok paginya, dalam keadaan layap-layap karena semalam banyak minum arak, tiba-tiba ia terjaga bangun oleh berisik di halaman luar. Ia mengenakan baju dan membuka pintu kamar, baru saja ia melongok keluar lantas dilihatnya Kang Piat-ho berdiri di bawah pohon sana, begitu melihat Hoa Bu-koat sudah bangun, dengan tersenyum ia lantas mendekatinya dan menyapa, “Semalam kakak ada janji dengan orang, terpaksa pergi keluar, pulangnya baru tahu adik sendirian telah banyak minum arak sehingga mabuk.”

Sama sekali dia tidak mengungkap kejadian di restoran itu semalam, bahkan sebutannya juga telah berubah menjadi ‘kakak’ dan ‘adik’ seakan-akan semua kejadian timbul karena hasutan adu domba orang lain sehingga tiada harganya untuk disebut-sebut lagi.

Bu-koat juga lantas tertawa dan berkata, “Baru sekarang Siaute mengetahui penyakit mabuk sesungguhnya jauh lebih tersiksa daripada penyakit apa pun di dunia ini.”

Ia memandang sekitar sana, tertampak kaum budak keluarga Toan lebih sibuk daripada biasanya, keluar masuk bergantian tanpa berhenti dan air muka setiap orang tampak cemas dan berduka.

Ia menjadi heran apakah keluarga hartawan ini mengalami sesuatu kejadian apa-apa. Maka ia lantas bertanya, “Ada urusan apakah ini?”

Dengan perlahan Kang Piat-ho menghela napas, ucapnya, “Putri Toan Hap-pui telah bunuh diri.”

“Hah, orang yang berpikiran terbuka begitu juga bisa bunuh diri?!” seru Bu-koat terkejut.

“Hiante jangan lupa, betapa pun dia adalah perempuan” ujar Kang Piat-ho dengan menyengir, “Kebanyakan perempuan memang anggap bunuh diri adalah jalan paling baik untuk memecahkan sesuatu kesulitan.”

“Sebab apakah dia membunuh diri?” tanya Bu-koat.

“Tiada seorang pun yang tahu sebab-sebabnya,” tutur Kang Piat-ho, “Hanya terdengar dia mengigau dalam keadaan tidak sadar, katanya, ‘Aku bersalah padanya, dia tidak mengubris diriku lagi’ ....”

“Dia? Siapa maksudnya?” tanya Bu-koat.

“Rahasia hati kaum gadis, siapa yang tahu?”

“Jika nona Toan masih dapat bicara, tentunya dia tidak sampai meninggal.”

“Membunuh orang sulit, membunuh diri juga tidak gampang. Setahuku, perempuan yang benar-benar berhasil membunuh diri jumlahnya sangat sedikit.”

Tersenyum juga Hoa Bu-koat, katanya, “Lelaki yang berhasil membunuh diri memangnya berjumlah banyak?”

“Hahaha!” Kang Piat-ho tergelak-gelak, “Hiante benar-benar pelindung kaum wanita di dunia ini, di mana dan kapan pun engkau selalu bicara membela mereka.”

Tiba-tiba Bu-koat bertanya, “Eh, tampaknya hari sudah siang.”

“Sudah lewat lohor,” ucap Kang Piat-ho.

“Ai, rupanya aku bangun terlalu lambat ….” seru Bu-koat, cepat-cepat ia masuk kamar untuk cuci muka.

Kang Piat-ho juga ikut masuk dan berusaha memancing sesuatu keterangan, “Tidur akibat mabuk minum memang rada sukar mendusin, jalan paling baik harus disadarkan dengan arak pula, apakah adik suka kalau kakak mengiringi minum barang dua cawan?”

Selesai membersihkan mukanya, Bu-koat berkata dengan tertawa, “Jangankan minum arak, mendengar kata-kata ‘arak’ saja kepalaku lantas pusing sekarang.”

“Wah, jika begitu bagaimana kalau ... kalau kakak mengiringi adik pesiar keluar?”

“Siaute sudah tinggal sekian lama di kota ini, memangnya Kang-heng masih khawatir diriku akan kesasar?”

Setelah berdiri tertegun sejenak di dekat pintu, akhirnya Kang Piat-ho berkata, “Baiklah, jika demikian biar kutengok nona Toan di depan sana.”

Dia seperti sudah tahu Hoa Bu-koat merahasiakan sesuatu padanya, walaupun mulut tidak menyinggungnya, tapi di dalam hati sudah waswas. Maka setiba di pekarangan sana ia lantas bisik-bisik memberi pesan kepada dua anak buahnya.

Kedua lelaki itu mengiakan dengan hormat kalau berlari keluar.

Sesudah anak buahnya pergi, tersembul senyuman sinis pada ujung mulut Kang Piat-ho, gumamnya, “Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat, meski dengan sesungguh hati ingin bersahabat denganmu, tapi kalau kau berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, maka janganlah kau menyalahkan aku jika aku pun melakukan sesuatu tindakan padamu.”

Dia seakan-akan tidak mau tahu bahwa setiap orang tentu mempunyai sesuatu yang tak dapat diceritakan kepada orang lain, dia menghendaki setiap orang harus berterus terang padanya tanpa menyembunyikan sesuatu, kalau tidak lantas dianggapnya berdosa padanya.

Memang begitulah sejak dulu kala hingga kini, setiap tokoh penguasa yang lalim memang suka memiliki penyakit ‘rasa curiga’ yang jauh melebihi orang biasa, dan ciri ini terkadang juga merupakan penyakit fatal baginya.

*****

Pada setiap ujung kota ini sudah terpasang jaring pengintai yang ketat, orang-orang ini ada yang pura-pura sedang minum, ada yang belanja dan ada pula yang sedang jalan-jalan iseng.

Hoa Bu-koat sendiri juga sedang iseng saja. Dia berhenti di depan sebuah toko penjual burung, di situ dia berhenti cukup lama untuk mendengarkan kicauan bermacam jenis burung yang menarik. Kemudian dia masuk ke sebuah warung makan, dia minum dua cangkir teh dan satu potong kue.

Segera ada pengintai berlari pulang memberi lapor kepada Kang Piat-ho.

“Minum teh? ....” Kang Piat-ho merasa heran. “Untuk apa dia minum di sana? Apakah dia menemui seseorang di situ?”

Tapi pengintai itu menjawab, “Hoa-kongcu duduk cukup lama di warung minum itu dan tiada nampak bicara dengan siapa pun juga.”

“Oo? ....” Kang Piat-ho tetap tidak mengerti.

Selang tak lama, kembali seorang pulang melapor, “Hoa-kongcu sudah meninggalkan warung minum itu.” Menyusul datang lagi laporan, “Hoa-kongcu kini sedang menonton akrobat Ong Thi-pi di pojok jalan sana.”

“Buset!” Kang Piat-ho mengernyitkan dahi, “Permainan anak kecil begitu masa juga ditonton .... Apakah kalian tidak melihat di antara kerumunan orang ramai itu ada yang bicara dengan dia?”

“Tidak,” jawab pelapor.

“Siapa yang mengawasi dia sekarang?” tanya Kang Piat-ho.

“Jalan itu adalah bagian Song Sam dan Li Acu ….” belum habis si pelapor menutur, tiba-tiba Song Sam yang disebut itu tampak muncul dengan gelisah, dia menyembah di depan Kang Piat-ho dan melapor, “Hoa-kongcu mendadak menghilang!”

Kang Piat-ho menjadi murka, bentaknya dengan menggebrak meja, “Keparat! Memangnya kalian ini orang buta semua? Siang bolong dan terang benderang begitu, di tengah jalanan yang ramai tidak mungkin dia kabur dengan menggunakan Ginkangnya, mengapa mendadak bisa menghilang?”

“Waktu itu giliran anak gadis Ong Thi-pi bermain Liu-sing-tui (senjata dengan kedua ujung berbola besi dan diberi bertali), mendadak rantai Liu-sing-tui putus, bola besi sebesar semangka kecil itu mencelat ke udara, tentu saja para penonton menjadi khawatir kepalanya ketiban bola besi itu dan sama berlari simpang-siur, arena pertunjukan seketika menjadi kacau ....”

“Kau sendiri pun lari bukan?” tanya Kang Piat-ho.

“Hamba ... hamba sebenarnya berdiri di kejauhan, begitu keadaan kacau, hamba lantas mengawasi dengan lebih teliti,” tutur si Song Sam dengan takut-takut. “Tapi ketika bola besi itu jatuh kembali ke bawah dan Ong Thi-pi menabuh tambur dan mengulang pertunjukan lagi, namun Hoa-kongcu sudah tidak kelihatan.”

“Mengapa rantai Liu-sing-tui bisa putus mendadak?” tanya Kang Piat-ho.

“Hamba tidak tahu,” jawab Song Sam.

“Hm, kukira matamu menjadi kabur dan lupa daratan menyaksikan permainan anak gadis Ong Thi-pi itu,” jengek Kang Piat-ho.

“Ham ... hamba tidak berani,” berulang-ulang Song Sam menyembah.

“Jika kedua matamu toh tiada gunanya, lalu untuk apa dibiarkan begini?” bentak Kang Piat-ho dengan bengis.

Baru habis ucapannya, serentak dua lelaki kekar melangkah maju dan menyeret keluar Song Sam. Wajah Song Sam tampak pucat, saking ketakutan sehingga tidak sanggup minta ampun sama sekali.

Selang tak lama, dari belakang berkumandang suara jeritan ngeri.

Tapi Kang Piat-ho seakan-akan tidak mendengarnya, ia bergumam sendiri, “Ke mana perginya Hoa Bu-koat? Mengapa dia menghindari aku? Jangan-jangan mereka ada janji dengan Kang Siau-hi untuk merancang sesuatu terhadap diriku? Apabila kedua anak muda itu berserikat, lalu apa yang harus kulakukan?”

Dia bergumam dengan sangat lirih, sorot matanya tampak beringas, kemudian ia mendengus, “Hm, lebih baik aku mengingkari semua orang dan jagat ini dari pada ada seorang di dunia ini mengkhianati aku .... O, Kang Piat-ho, hendaklah camkan benar-benar kata-kata ini!”

*****

Sementara itu Hoa Bu-koat sudah berada di luar kota dengan tersenyum puas. Kalau sekarang ada orang bertanya padanya apa sebabnya Liu-sing-tui mendadak putus rantainya tentu dia akan tertawa terbahak-bahak. Rantai Liu-sing-tui itu dapat ditimpuk putus dengan sebutir batu kecil, betapa pun ia merasa bangga pada tenaga jarinya sendiri.

Dan kalau sekarang ada orang bertanya, padanya, “Mengapa kau berbuat begitu?” Maka pasti dia akan menjawabnya dengan tertawa, “Selama ini aku pun berhasil belajar cara bagaimana menggunakan otak dan memakai akal serta mengenal sedikit kelicikan orang hidup. Akhirnya aku pun mulai merasakan bahwa setiap orang di dunia tidak selalu dapat dipercaya sebagaimana kubayangkan dahulu.”

Setiba di hutan bunga sana, terlihat pemandangan yang indah itu sudah hampir seluruhnya rusak oleh pertarungan pedang kemarin. Sinar matahari teraling awan tebal, terasa tiupan angin rada dingin.

Teringat harus berhadapan pula dengan Yan Lam-thian, senyuman yang selalu menghiasi bibirnya seketika tak tertampak lagi. Tapi meski tahu perjalanan ini cukup berbahaya baginya, namun mau tak mau ia harus datang sesuai janjinya kepada Siau-hi-ji.

Bu-koat masuk ke hutan itu dengan menyusur daun bunga yang rontok. Yan Lam-thian tidak ada di situ, hanya terlihat seorang perempuan berbaju putih mulus dengan kepala tertunduk bersandar di pohon sana.

Karena orang berdiri membelakangi Bu-koat, maka anak muda ini hanya dapat melihat potongan tubuhnya yang ramping serta rambutnya hitam panjang terurai di pundak.

Meski tidak nampak wajahnya, tapi sekali pandang saja Bu-koat tahu siapa dia, yaitu Thi Sim-lan. sungguh aneh, mengapa Thi Sim-lan berada di sini?

Di bawah bunga yang bertaburan, Bu-koat berdiri melenggong di situ. Sama sekali tak terduga olehnya akan bertemu dengan Thi Sim-lan di sini. Ia pun tidak tahu apakah dirinya harus menegurnya? Yang jelas hatinya terasa pedih dan getir.

Thi Sim-lan juga tidak menoleh dan tidak bergerak! Pikiran si nona seperti sedang melayang sehingga sama sekali tidak tahu datangnya Hoa Bu-koat. Angin meniup sejuk mengusap rambutnya yang halus itu.

Lama dan lama sekali baru terdengar nona itu menghela napas panjang dan bergumam, “Bunga mekar bunga rontok, kemudian menjadi tanah dalam waktu singkat, bukanlah kehidupan manusia juga demikian?”

Suara yang hampa itu penuh rasa kesal dan mencela dirinya sendiri, gadis yang biasa berhati riang itu mengapa bisa berubah gundah-gulana?

Sebenarnya Bu-koat tidak ingin mengejutkan si nona, mestinya ia ingin mengeluyur pergi secara diam-diam, tapi kini tanpa terasa ia pun menghela napas perlahan.

Seperti terkejut dan seperti girang, sekonyong-konyong Thi Sim-lan menoleh dan berseru “Kau ….” tapi cuma satu kata ini saja, dilihatnya yang berada di depannya ialah Hoa Bu-koat, seketika ia melengak.

Biarpun pikirannya diliputi berbagai persoalan, tapi air muka Hoa Bu-koat tetap tenang-tenang saja, katanya dengan tertawa, “Baik-baikkah engkau?”

Sekejap itu sesungguhnya ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Begitu pula Thi Sim-lan seakan-akan juga tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya. Ia hanya mengangguk perlahan.

Selang sejenak baru Bu-koat berkata pula dengan tersenyum, “Tentunya kau tidak menyangka kedatanganku, bukan?”

Sim-lan menunduk, katanya dengan lirih, “Kau tidak terluka apa-apa, aku sangat senang.”

Suara si nona hampir tak terdengar sendiri, tapi Hoa Bu-koat dapat mendengar dengan jelas, hatinya terasa sakit, tanpa terasa ia menunduk dan berkata, “Terima kasih.”

“Kemarin ... kemarin kulari pergi begitu saja, engkau tidak marah padaku?” tanya Thi Sim-lan dengan menggigit bibir.

“Kenapa kumarah padamu?” ujar Bu-koat dengan tertawa. Sedapatnya ia ingin memperlihatkan tertawa yang wajar, tapi jelas dia telah gagal. Untung Thi Sim-lan tidak memperhatikan wajah tertawanya.

Thi Sim-lan seperti tidak berani memandangnya.

Selang sejenak pula, sambil menghela napas perlahan baru si nona berkata, “Sebenarnya banyak omongan ingin kukatakan padamu, tapi tak tahu cara bagaimana harus kuucapkan.”

“Tanpa kau ucapkan juga aku sudah tahu?”

“Kau ... kau tahu?”

Tambah sepat dan getir senyuman Bu-koat, katanya dengan suara halus, “Ada sementara orang sangat sulit dilupakan orang, terkadang meski engkau sendiri mengira sudah melupakan dia, tapi bila melihatnya, maka setiap senyumannya, setiap suaranya, semuanya seakan-akan bersarang pula di lubuk hatimu ....”

“Dapatkah engkau memaafkan aku?” tanya Thi Sim-lan. Mendadak ia tatap Bu-koat, air matanya ternyata berlinang-linang.

Bu-koat tidak berani memandangnya, ia menunduk dan berkata dengan tertawa, “Hakikatnya tiada persoalan yang perlu kau mintakan maaf, jika aku menjadi dirimu mungkin juga akan bertindak demikian.”

“Tapi ... tapi sungguh aku bersalah padamu, mengapa ... mengapa engkau tidak marah padaku, tidak mencaci diriku? Dengan begitu hatiku akan merasa lega malah, tapi rasa simpatimu, kebesaran jiwamu, hanya akan menambah penderitanku.” Makin bicara makin terangsang perasaannya sehingga akhirnya ia pun menangis.

Bu-koat diam saja, tiba-tiba ia menengadah dan menghela napas, katanya, “Sama sekali aku tidak marah padamu, takkan dendam padamu, selamanya takkan dendam padamu, sekalipun aku tidak dapat ... tidak dapat berada bersamamu, tapi selama hidupku ini akan kuanggap kau sebagai adikku.”

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan berhenti menangis, ia mendongak dan menegas, “Sungguh?”

“Bilakah pernah kudustaimu?” jawab Bu-koat. Ia tertawa, lalu menyambung pula, “Selain itu, ingin kukatakan padamu bahwa bukan saja aku tidak dendam padamu, tapi ia pun sahabatku yang sejati selama hidupku ini. Engkau dapat ... dapat berada bersama dia, sungguh aku pun sangat gembira ... sangat bahagia.”

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan menjerit, “O, Toako .... Betapa terima kasihku padamu, sungguh aku sangat berterima kasih,” Dia bicara dengan tertawa dan juga mengalirkan air mata, entah suka entah duka.

Bu-koat sendiri juga tidak tahu apakah suka atau duka. Katanya, “Banyak persoalan di dunia ini terjadi secara terpaksa, maka kau tak dapat disalahkan dan juga tak dapat menyalahkan siapa pun juga, untuk apa pula engkau mesti menyiksa dirinya sendiri?”

“Tapi ... tapi engkau ... masa engkau tidak ….” kata Thi Sim-lan dengan tersendat-sendat.

“Di dunia ini tiada penderitaan yang tak dapat disembuhkan, lama-lama, apa pun juga, tentu akan terlupakan dengan perlahan-lahan, maka kau tidak perlu khawatir bagiku.”

“O, mengapa engkau begini ... begini baik hati? Mengapa engkau tidak ... tidak seperti orang lain dan berubah sedikit kejam?” ratap Thi Sim-lan, ia menangis, tiba-tiba ia berkata pula, “Tapi kutahu meski di mulut kau bilang begitu, tapi di dalam hati engkau tetap benci padaku, ini ... inilah yang tak dapat kutahan.”

Bu-koat tahu setelah Thi Sim-lan memanggil ‘Toako’ padanya, maka lenyaplah harapannya yang dipupuk selama dua tahun ini. Walaupun panggilan ‘Toako’ ini masih terasa sangat hangat dan dekat, tapi juga terasa sedemikian jauh.

Sambil menengadah Bu-koat menghela napas panjang, akhirnya ia berkata, “Semoga dia tidak mengingkari kau ....”

Itu hanya semacam doa dan harapan saja, tapi juga semacam sumpah setia, semacam pengimpasan perasaan sendiri. Sudah tentu betapa ruwet perasaan yang terkandung dalam ucapannya itu sukar dipahami oleh orang lain.

Namun apa pun juga perasaan mereka sekarang sudah jauh lebih lapang, sebutan ‘Toako’ itu merupakan suatu penghalang sehingga membuat perasaan mereka tidak sampai meluap.

Akhirnya Thi Sim-lan tersenyum dan berkata, “Toako, mengapa engkau datang pula ke sini?”

“Atas permintaan orang kudatang ke sini untuk mencari orang lain,” jawab Bu-koat setelah berpikir sejenak. Ia ragu-ragu apakah mesti memberitahukan jejak Siau-hi-ji kepada Thi Sim-lan atau tidak, dengan sendirinya karena tidak ingin si nona berkhawatir bagi anak muda itu.

Segera Thi Sim-lan bertanya pula, “Jangan-jangan engkau hendak mencari Yan-tayhiap?”

Terpaksa Bu-koat mengiakan dan mengangguk.

Terbelik mata Thi Sim-lan, ucapnya, “Jangan-jangan dia yang minta kau datang ke sini?”

Kembali Bu-koat mengiakan.

“Mengapa dia tidak datang sendiri saja?”

Bu-koat tidak menjawab, sebaliknya ia balas tanya, “Mengapa Yan-tayhiap tidak kelihatan dan kau malah berada di sini?”

Sim-lan tertunduk, katanya, “Semalam Yan-tayhiap telah bertemu denganku dan telah banyak bicara padaku, aku disuruh menunggunya di sini. Kau tahu, apa yang dikatakan Yan-tayhiap tidak mungkin ditolak oleh siapa pun juga.”

“Apa yang dia bicarakan denganmu?”

Muka Sim-lan menjadi merah, ia menggigit bibir, lalu menjawab, “Kata Yan-tayhiap, aku disuruh meng ... mengobrol dulu dengan beliau, kemudian ....”

Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang berseru dengan tertawa di luar hutan sana, “Haha, kalian berdua bocah ini bicara dengan asyik benar, kedatanganku ini mungkin terlalu dini!”

Cepat Bu-koat berpaling, dilihatnya Yan Lam-thian sedang mendatang dengan langkah lebar.

Melihat Bu-koat, seketika suara tertawa Yan Lam-thian berhenti, sambil menarik muka ia membentak bengis, “Mengapa kau berada di sini? Untuk apa kau datang kemari?”

Belum lagi Hoa Bu-koat menjawab, sorot matanya yang tajam melirik ke arah Thi Sim-lan dan bertanya pula, “Mana Siau-hi-ji?”

Kembali si nona menunduk dan menjawab, “Entahlah, katanya ....”

Segera Bu-koat menyambung, “Siau-hi-ji minta kusampaikan kepada Yan-tayhiap, katanya mungkin dia tidak dapat datang menepati janji.”

“Mengapa dia tidak dapat datang?” bentak Yan Lam-thian gusar.

Bu-koat menghela napas, katanya “Dia telah ditahan seseorang, melangkah saja mungkin sulit ....” Ia tahu keterangannya ini pasti akan menimbulkan akibat yang sukar dibayangkan.

Benar juga, belum habis ucapannya, tertampak Thi Sim-lan menjadi pucat, Yan Lam-thian juga lantas membentak, “Siapa yang berani menahan dia?”

Bu-koat ragu-ragu, akhirnya ia menjawab, “Seorang Bu-lim-cianpwe (angkatan tua dunia persilatan) yang disebut Tong-siansing!”

“Tong-siansing?” Yan Lam-thian menegas dengan murka, “Selama berpuluh tahun aku malang melintang di dunia Kangouw dan tidak pernah mendengar di dunia Kangouw ada seorang Tong-siansing, jangan-jangan kau sendiri yang membuat-buat nama palsu ini.” Ia melompat ke depan Hoa Bu-koat dan membentak pula, “Bisa jadi kau telah mencelakai Siau-hi-ji dan sekarang pura-pura menjadi orang baik untuk mengelabui aku?!”

“Cayhe diminta menyampaikan berita ini, aku harus melakukan tugasku dengan baik, sebab itu setiap pertanyaan Yan-tayhiap akan kujawab dengan jelas, tapi kalah Yan-tayhiap mencurigai kepribadianku, betapa pun aku ....”

“Memangnya kau berani apa?”

“Biarpun Cayhe bukan tandingan Yan-tayhiap, betapa pun aku hendak mengukur kepandaian pula denganmu,” jawab Bu-koat tegas.

Yan Lam-thian tergelak-gelak, katanya, “Kau masih berani berkata demikian? Sungguh besar nyalimu.”

“Biarpun nyaliku tidak besar, tapi aku pun bukannya pengecut yang tamak hidup dan takut mati.”

“Jika tidak takut mati baiklah sekarang juga kupenuhi kehendakmu!” bentak Yan Lam-thian.

Mendadak Thi Sim-lan menerjang maju, serunya, “Yan-tayhiap, aku cukup kenal dia, betapa pun dia bukanlah orang yang suka berdusta.”

“Siau-hi-ji sudah jatuh di tangan orang, kau masih bicara baginya?” bentak Yan Lam-thian bengis. “Pantas Siau-hi-ji tidak mau gubris padamu lagi, kiranya kau ini perempuan yang cepat berubah pikiran.”

Air mata Thi Sim-lan bercucuran, ucapnya dengan setengah meratap, “Bilamana Kang Siau-hi mengalami bahaya, biarpun mengadu jiwa juga Wanpwe akan menyelamatkan dia. Tapi Yan-tayhiap menuduh Hoa ... Hoa-kongcu berdusta, mati pun Wanpwe tidak percaya.”

“Hm, sungguh aneh,” jengek Yan Lam-thian, “Kau berani mengadu jiwa demi Siau-hi-ji dan juga bersedia mati baginya, memangnya jiwamu rangkap berapa biji?”

“Cara bagaimana Yan-tayhiap akan memaki diriku boleh terserahlah,” ucap Thi Sim-lan dengan menangis. “Sekalipun Yan-tayhiap menganggap diriku ini perempuan yang bejat juga takkan kubantah ....” mendadak ia menubruk ke bawah kaki Yan Lam-thian dan meratap pula, “Wanpwe cuma memohon Yan-tayhiap suka melepaskan Hoa Bu-koat, bilamana kelak Yan-tayhiap membuktikan dia memang berdusta, maka tubuh Wanpwe rela dihancurleburkan.”

“Bagus, kau ternyata berani menjamin dia dengan jiwamu,” teriak Yan Lam-thian. “Namun perempuan yang tak beriman seperti kau ini, memangnya jiwamu berharga berapa duit?”

Watak pendekar besar ini memang sangat keras, kini karena mengkhawatirkan keselamatan Siau-hi-ji, saking gusarnya cara bicaranya menjadi sukar ditahan.

Bu-koat menjadi penasaran, serunya, “Yan Lam-thian, kuhormati dirimu sebagai seorang Enghiong (ksatria) sejati dan selama ini aku suka mengalah padamu, sungguh tidak nyana kau sampai hati bicara sekasar ini terhadap seorang anak perempuan yang tak berdaya. Hehe, Enghiong macam begini bernilai berapa duit pula satu kati?”

“Engkau pun jangan bicara seperti ini,” seru Thi Sim-lan. “Yan-tayhiap pasti tiada maksud menghina diriku, dia cuma tidak memahami aku, pula dia merasa cemas bagi keselamatan Siau-hi-ji ....”

Meski dia berteriak dengan suara serak, namun tiada yang mendengarkan lagi seruannya, dengan murka Yan Lam-thian melontarkan satu pukulan dahsyat, tanpa pikir Hoa Bu-koat juga menyambut serangan itu.

Thi Sim-lan tahu bilamana kedua orang itu sudah mulai bergebrak, mungkin di dunia ini tiada orang yang mampu melerai mereka.

Teringat tiada seorang pun yang dapat memahami pengorbanannya bagi Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, teringat jerih payahnya itu akhirnya malah dicaci-maki orang sebagai perempuan yang tak beriman .... Saking pedih dan tak tahan, akhirnya Thi Sim-lan menangis tergerung-gerung.

Apakah Hoa Bu-koat tidak mendengar suara tangis Thi Sim-lan?

Angin pukulan yang dahsyat membuat bunga layu rontok bertebaran.

Inilah duel antara dua jago tertinggi dari angkatan tua dan angkatan muda dunia Kangouw, benar-benar pertarungan yang paling mendebarkan hati yang hampir tidak pernah terjadi di dunia persilatan.

Kalau pertempuran sebelumnya mereka menggunakan pedang, sekali ini mereka mengadu pukulan, namun dahsyatnya dan tegangnya boleh dikatakan melebihi yang dahulu.

Seperti juga ilmu pedangnya, pukulan Yan Lam-thian juga kuat dan dahsyat dan jarang ada bandingannya.

Ilmu silat Ih-hoa-kiong sebenarnya mengutamakan ‘kelunakan mengatasi kekerasan’, watak Hoa Bu-koat yang pendiam dan sabar itu memang juga ada sangkut-pautnya dengan dasar ilmu silat yang dilatihnya sejak kecil. Tapi kini gaya permainan silatnya ternyata sudah berubah sama sekali. Dia juga telah mengeluarkan permainan yang keras dan berebut menyerang lebih dulu. Rasanya kalau tidak menggunakan permainan keras demikian tidak cukup untuk melampiaskan perasaan pedih dan gusarnya.

Pertempuran maut ini bukan lagi demi jiwanya sendiri melainkan demi membela kehormatan orang yang paling dikasihinya.

Meski dia sebenarnya adalah anak muda yang berbudi halus dan tenang, tapi suara tangis Thi Sim-lan yang penuh duka merana itu telah menimbulkan semangat jantan yang mengalir di darahnya.

Sebenarnya dia sangat menyayangi jiwanya sendiri, tapi kini pergolakan darahnya telah membuatnya lupa daratan, ia merasa jiwanya tidak perlu disayangkan lagi, mati pun tidak perlu ditakuti.

Jiwanya yang nekat diperoleh dari keturunan ibunya. Ibunda yang dihormatinya itu pernah menghadapi maut dengan mengulum senyum tanpa gentar sedikit pun demi cinta.

Tanpa cadangan sang ibunda telah menurunkan jiwanya yang nekat dan darah panas serta demi cinta itu kepada kedua putranya. Meski pendidikan Ih-hoa-kiong yang serba dingin dan kaku itu telah membuat darah Hoa Bu-koat lambat-laun membeku, tapi kini api asmara telah membuatnya mendidih kembali. Tiba-tiba ia merasakan soal mati dan hidup tidak begitu penting lagi baginya. Yang penting, dia harus bertempur mati-matian dengan Yan Lam-thian, dengan darahnya ia ingin mencuci bersih fitnah terhadap dirinya.

Begitulah angin pukulan yang dahsyatnya seakan-akan mengguncang langit dan bumi. Cuaca tambah gelap dan seakan-akan turun hujan.

Hoa Bu-koat tidak manda diserang, ia justru berebut menyerang mati-matian, namun angin pukulan Yan Lam-thian justru menyerupai dinding besi, sejauh ini pukulan Hoa Bu-koat sama sekali tak dapat menembus pertahanan lawan.

Rambut Bu-koat sudah kusut dan sebagian melambai pada jidatnya yang pucat itu, namun pipinya justru bersemu merah oleh rangsangan jiwanya yang bergolak itu.

Bu-koat telah merasakan Yan Lam-thian memang mahasakti, barang siapa ingin melawan pendekar besar itu dengan serangan keras lawan keras berarti orang itu sudah bosan hidup dan mencari mampus sendiri.

Ia yakin setiap pukulan sendiri sangat dahsyat dan tajam seperti paku, tapi daya pukulan Yan Lam-thian justru keras seperti palu yang tidak kenal ampun, palu yang tidak kenal kasihan dan terus menghantam ke arahnya.

Lambat laun ia merasa paku itu hampir terpalu masuk ke tanah. Napasnya mulai sesak, tapi pukulan godam Yan Lam-thian masih terus mendesak, makin lama makin dahsyat ....

Ia menyadari keadaan yang gawat, ia tahu sekali ini Yan Lam-thian pasti tidak kenal ampun lagi padanya, tapi ia pun tidak putus asa, ia tidak kenal menyerah, asalkan dia masih tetap bernapas, betapa pun ia harus bertempur sampai detik penghabisan, sebelum ajal dia pantang mundur.

Di luar dugaan, pada detik yang menentukan mati-hidupnya itulah, sekonyong-konyong Yan Lam-thian malah melompat mundur sambil membentak, “Berhenti!”

Padahal dengan sekali dua kali pukulan lagi Hoa Bu-koat dapat dibinasakan, tapi Yan Lam-thian mendadak malah berhenti menyerang. Tentu saja Bu-koat melengak.

“Mengapa kau minta berhenti?” tanyanya dengan napas terengah-engah.

Dengan sorot mata yang tajam Yan Lam-thian menatapnya dan menjawab dengan sekata demi sekata, “Meski selama ini belum pernah kudengar nama ‘Tong-siansing’ dan juga tidak percaya di dunia ini terdapat orang demikian, tapi kini kupercaya apa yang kau katakan memang tidak berdusta.”

“Oo? ....” Bu-koat bersuara perlahan.

“Tentunya kau heran mengapa mendadak aku percaya kau tidak berdusta?”

“Ya, memang rada heran.”

“Sebab kalau kau berdusta tentu hatimu gelisah. Seorang yang berhati gelisah tidak mungkin sanggup melancarkan daya serangan sedahsyat ini.”

Bu-koat terdiam sejenak, tiba-tiba ia menengadah dan tertawa, katanya, “Baru sekarang kau bilang percaya padaku, apakah tidak merasa terlambat?”

“Jika kau merasa ucapanku tadi merupakan penghinaan padamu, baiklah di sini kunyatakan penyesalanku,” ucap Yan Lam-thian dengan suara berat.

Kembali Bu-koat terdiam sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Kalau salah berani mengaku salah tanpa sangsi, Yan Lam-thian benar-benar seorang ksatria sejati, benar-benar sukar disamai orang lain. Sekalipun Cayhe ada hasrat mengadu jiwa denganmu kini mau tak mau harus kubatalkan.”

“Tapi ini tidak berarti kuberhenti sampai di sini saja!” bentak Yan Lam-thian.

Bu-koat melengak, tanyanya, “Mengapa?”

“Biarpun kau tidak berdusta, namun tetap tak dapat kulepaskan pergi, aku tetap hendak menahan kau!”

“Sebab apa?” tanya Bu-koat.

“Peduli siapa dia ‘Tong-siansing’ yang kau sebut itu, yang pasti dia ada hubungannya denganmu bukan?”

“Ya,” jawab Bu-koat setelah berpikir.

“Dia menahan Kang Siau-hi, bukankah demi kau?”

“Aku tidak pernah minta dia bertindak begitu, tapi memang begitulah maksud tujuannya!”

“Itu dia!” bentak Yan- Lam-thian. “Lantaran dia menahan Kang Siau-hi, maka aku pun hendak menahan kau. Setiap saat ia membebaskan Kang Siau-hi, pada saat itu juga akan kubebaskan kau.” Ia melangkah maju dan berteriak dengan beringas, “Dan bila Kang Siau-hi dibunuhnya, segera pula kau kubunuh!”

Air muka Bu-koat tampak berubah, tapi ia menghela napas pula dan berkata, “Ya, ucapanmu ini memang juga adil.”

“Tindak tanduk orang she Yan selamanya adil,” seru Yan Lam-thian.

“Tapi ucapanmu terhadap nona Thi teramat tidak adil,” jengek Bu-koat. “Dia ... dia kan ....” sampai di sini mendadak diketahuinya si nona sudah tidak kelihatan lagi bayangannya, nona yang hatinya telah remuk redam itu entah sejak kapan sudah pergi.

“Kau mau tinggal di sini dengan sukarela atau harus kupaksa?” bentak Yan Lam-thian.

Air muka Bu-koat tampak pucat menghijau, ucapnya tegas, “Sekalipun sekarang kau suruh aku pergi juga aku takkan pergi.”

Yan Lam-thian jadi melengak malah, tanyanya, “Sebab apa?”

“Sebab kalau terjadi apa-apa atas diri Thi Sim-lan, maka meski kau dapat membiarkan diriku juga aku takkan melepaskanmu?”

“Hahaha, bagus, bagus!” Yan Lam-thian bergelak tertawa, “Jadi sebelum kutemukan Thi Sim-lan dan Kang Siau-hi, agaknya kita berdua tidak boleh berpisah, begitu?”

“Ya,” jawab Bu-koat.

*****

Di tempat lain saat itu Tong-siansing telah membawa Siau-hi-ji melayang pula ke atas pohon.

Pohon itu rada lebat dengan dedaunan, pucuk ternyata cukup ulet dan memegas sehingga kuat untuk menahan bobot satu-dua orang.

Tong-siansing menaruh Siau-hi-ji di pucuk pohon situ, dedaunan pohon yang lebat hanya tertekan dan ambles sedikit ke bawah, tubuh anak muda itu lantas seperti terbungkus oleh selimut daun, kecuali burung yang terbang di udara rasanya sukar ditemukan orang meskipun dipandang dari sudut mana pun juga.

Meski badan tak dapat bergerak, tapi wajah Siau-hi-ji masih tersenyum-senyum, katanya, “Sungguh suatu tempat sembunyi yang sangat baik. Memangnya sudah beberapa hari aku kurang tidur, tampaknya sebentar aku dapat tidur dengan enak dan nyaman.”

“Paling baik kalau kau tidur dengan jujur,” jengek Tong-siansing.

“Apakah engkau akan pergi?” tanya Siau-hi-ji.

Tong-siansing hanya mendengus saja.

“Engkau ini sungguh nyentrik dan juga gemar kebersihan, kutahu engkau tak mungkin selalu menjaga diriku,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Tapi kau pun jangan harap kabur,” jengek Tong-siansing. “Setiap hari akan kutengok kau ke sini, bila urusan di sini sudah kubereskan, akan kubawa kau ke suatu tempat yang lebih aman.”

“Satu jari saja tak dapat bergerak, sekalipun kau taruh diriku di tengah jalan juga aku tak dapat kabur,” ujar Siau-hi-ji.

“Hm, asal tahu saja,” jengek Tong-siansing.

Bola mata Siau-hi-ji berputar, katanya pula, “Tapi kalau mendadak hujan, wah, lalu bagaimana? Sedangkan badanku biasanya kurang sehat, bila kena air hujan akan segera jatuh sakit. Sakit saja tidak jadi soal, celakalah jika kesehatanku jadi rusak, tentu hal ini akan merusak nama baikmu pula. Padahal kau sudah berjanji takkan membiarkan aku terganggu seujung rambut pun, ingat tidak?”

“Sakit apa pun yang menghinggapi dirimu pasti akan kusembuhkan,” ucap Tong-siansing.

Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu berkata pula, “Tapi bobot tubuhku lebih berat daripada kerbau, bila dahan pohon ini tidak kuat dan mendadak patah, tentu aku akan terbanting ke bawah. Kalau lenganku patah atau pahaku retak umpamanya, apakah kau pun sanggup menyambung dan menyembuhkannya?”

“Sekalipun dahan pohon ini patah satu-dua batang juga kau takkan terjatuh ke bawah,” ujar Tong-siansing.

Mata Siau-hi-ji terbelalak lebar, katanya, “Tapi kalau ada burung besar sebangsa elang dan sebagainya kebetulan terbang di atas kepalaku atau hinggap di pohon ini, lalu biji mataku disangkanya sebagai telur burung terus dipatuknya, nah, apakah kau sanggup mengganti mataku?”

“Persetan! Mengapa kau begini cerewet dan suka membikin sebal?”

“Hihi, aku memang tidak punya kepandaian lain kecuali membikin sebal orang. Jika merasa sebal, kenapa tidak kau bunuh saja diriku, orang mati tentu tak bisa cerewet dan bikin sebal padamu.”

Selama hidup Tong-siansing memang tidak pernah ketemu orang yang begini menjemukan, bila orang lain tentu sejak tadi sudah disembelihnya. Tapi Siau-hi-ji justru adalah orang yang tidak mungkin dibunuhnya, bisa jadi satu-satunya orang yang tidak boleh dibunuh olehnya.

Maka tantangan Siau-hi-ji tadi membuat Tong-siansing bertambah gemas, saking kekinya sampai tubuhnya gemetar, terpaksa ia keluarkan sepotong sapu tangan dan ditutupkan pada muka Siau-hi-ji, katanya dengan bengis, “Nah, begini saja bagaimana.”

Siau-hi-ji mengisap napas kenyang-kenyang, katanya dengan tertawa, “Ehmm, alangkah harumnya sapu tanganmu ini, jangan-jangan benda tanda mata pemberian seseorang nona cantik?”

“Kenapa tidak tutup mulutmu?” bentak Tong-siansing dengan gusar.

“Jika kau tutuk Hiat-to bisuku, kan segera aku tak bisa bicara lagi? Tapi tentunya kau pun tahu bahwa Hiat-to bisu tidak boleh ditutup hingga lebih tiga jam, kalau tidak orangnya bisa mati kaku. Andaikan kau tutuk aku hingga bisu, maka setiap tiga jam engkau harus datang ke sini untuk menyegarkan diriku, dan ini rasanya akan membuatmu bertambah sebal.”

“Tidak sedikit juga kau ketahui,” ucap Tong-siansing dengan gemas.

“Selain itu, ada pula suatu cara yang tidak begitu menyebalkan,” Siau-hi-ji sengaja merandek sejenak, lalu menyambung, “Yaitu, jalan paling baik adalah pergi. Begitu engkau tinggal pergi, maka apa pun yang kukatakan tentu tak terdengar lagi, kan cara ini paling baik bagimu?”

Tanpa menunggu lagi segera Tong-siansing melayang turun ke bawah.

Siau-hi-ji sengaja menghela napas dan bergumam pula, “Akhirnya pergi juga dia, mudah-mudahan saudara baik hati itu tidak cepat-cepat datang agar aku dapat tidur sebentar di sini.”

Belum habis ucapannya, tahu-tahu Tong-siansing sudah melompat lagi ke atas dan menarik sapu tangan yang menutupi muka Siau-hi-ji itu, bentaknya dengan bengis, “Siapa saudara baik hati yang kau maksudkan itu?”

“Wah, apa yang kukatakan telah kau dengar?” Siau-hi-ji berlagak kaget.

“Dalam jarak ratusan tombak biarpun suara daun jatuh juga tak dapat mengelabui mata telingaku,” jengek Tong-siansing.

“Kau sembunyikan diriku di tempat selebat ini, siapa pun tak dapat melihat aku, mana ada orang yang mampu menolongku? Tadi aku cuma omong iseng saja.”

Tong-siansing juga tidak percaya ada orang akan menolongnya, tapi jawaban Siau-hi-ji ini membuatnya curiga pula, segera ia menghardik, “Ayo, mau bicara tidak?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip jawabnya, “Kau ingin aku bicara apa?”

“Kau bilang siapa akan datang menolongmu?”

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, “Masa engkau sendiri tidak tahu?”

Tong-siansing termenung sejenak, katanya kemudian, “Ya, betul, bisa jadi Hoa Bu-koat akan datang ke sini.”

Tanpa bicara lagi segera ia angkat Siau-hi-ji terus melayang turun. Ia mengira dirinya cukup cerdik, tak tahunya diam-diam Siau-hi-ji sedang tersenyum geli.

Hakikatnya Siau-hi-ji tidak pernah berharap akan datang orang untuk menolongnya, dia hanya tidak suka ditinggalkan di atas pohon, sebab ia tahu bilamana tertinggal di situ, maka kesempatan buat kabur boleh dikatakan nihil, terpaksa ia berusaha menggoda Tong-siansing hingga merasa kesal dan meleng, maka kesempatan kabur baginya tentu akan terbuka.

Bicara tentang ilmu silat jelas Siau-hi-ji bukan tandingan Tong-siansing, tapi kalau soal mengadu akal, biarpun dua orang Tong-siansing juga bukan lawan Siau-hi-ji.

Maklumlah, Tong-siansing ini sudah biasa memerintah dan dipuja, pada hakikatnya tiada seorang pun yang berani cari perkara padanya, maka dalam urusan tipu akal begitu sama sekali tak pernah dipelajarinya.

Maka ia menjadi ragu-ragu pula setelah membawa Siau-hi-ji ke bawah.

“Aku hendak kau bawa ke mana?” tanya Siau-hi-ji.

“Hm!” Tong-siansing hanya mendengus saja.

“Betapa pun engkau kan tidak dapat berdiri saja di sini dengan memondong diriku?”

“Hm!” kembali Tong-siansing mendengus.

“Sudah beberapa hari aku tidak mandi, apakah bau badanku tidak kecut?”

Belum habis ucapan Siau-hi-ji, mendadak Tong-siansing mengendurkan tangannya. “Bluk”, kontan Siau-hi-ji terbanting ke tanah.

“Aduhhh! Wah, celaka, tulangku patah!” jerit Siau-hi-ji sengaja.

Mendadak sebelah kaki Tong-siansing menendang tulang paha anak muda itu sehingga setengah badan bagian bawah dapat bergebrak, bentaknya segera, “Ayo berdiri, berjalan ikut aku!”

Siau-hi-ji merasa kedua kakinya sudah dapat bergerak, tapi ia sengaja merintih, “Aduh, sakitnya! Tulangku patah, mana bisa berdiri lagi? Wah, tampaknya engkau harus memondong aku lagi.”

“Memangnya tulangmu terbuat dari apa? Sekali jatuh lantas patah?” damprat Tong-siansing dengan gusar.

“Seumpama tidak patah lantaran jatuh, kena tendanganmu tadi pasti patah .... Aduhhh, sakit sekali!” begitulah Siau-hi-ji sengaja menjerit jerit.

Sinar mata Tong-siansing tampak gemerdep, akhirnya ia bertanya, “Apakah benar-benar patah?”

“Jika tidak percaya boleh engkau merabanya sendiri, aduhhh!” rintih Siau-hi-ji.

Tong-siansing jadi ragu-ragu, tapi akhirnya ia berjongkok hendak memeriksa tulang betis anak muda itu.

“Salah, bukan di situ,” ucap Siau-hi-ji.

“Habis mana?”

“Sini, bagian atas!”

Tong-siansing lantas meraba bagian pahanya.

Tapi Siau-hi-ji berucap pula. “Bukan, bukan situ, naik lagi ke atas sedikit!”

Sekonyong-konyong tangan Tong-siansing ditarik kembali seakan-akan kena dipagut ular. Tertampak dia berdiri mematung di situ dengan dada berombak.

“Hihi, mengapa meraba saja tidak berani, memangnya engkau ini perempuan?” Siau-hi-ji nyap-nyap dengan tertawa.

“Tutup mulutmu!” bentak Tong-siansing.

Siau-hi-ji melelet lidah, ucapnya dengan tertawa, “Engkau menghendaki aku tutup mulut, umpama engkau tidak suka menutuk Hiat-to bisuku, kan dapat kau sumbat mulutku dengan kain.”

Tong-siansing jadi melengak, ia pikir memang betul juga ucapan anak muda itu. Tapi lantaran hal itu lebih dulu dikatakan sendiri oleh Siau-hi-ji, jika dia turut melakukannya, kan malu?

Terpaksa Tong-siansing hanya mendengus saja, katanya, “Hm, untuk apa kusumbat mulutmu? Aku justru ingin mendengar ocehanmu.”

Siau-hi-ji mengikik tawa, katanya, “Hihi, tak tersangka ocehanku sedemikian merdu sehingga menarik perhatianmu. Jika kau suka mendengarkan, kenapa tidak duduk saja agar kita dapat mengobrol lebih asyik.”

Tong-siansing menatap anak muda itu dengan mendelik, ia benar-benar mati kutu. Biasanya ia merasa tiada sesuatu urusan di dunia ini yang tak dapat dibereskan olehnya, tapi kini dia justru menghadapi suatu urusan pelik.

Tadinya ia merasa tiada seorang pun di dunia ini yang tak dapat dilayani olehnya, siapa tahu justru ada seorang Kang Siau-hi yang membuatnya kepala pusing. Untuk pertama kali selama hidupnya dia merasa sakit kepala.

*****

Sementara itu Yan Lam-thian dan Hoa Bu-koat telah meninggalkan hutan bunga itu. Dia tidak menutuk Hiat-to anak muda itu, dia tidak perlu sangsi, ia tahu sekali Bu-koat menyatakan tidak akan pergi, maka pasti juga takkan pergi.

“Ke manakah perginya Thi Sim-lan?” tiba-tiba Bu-koat bertanya. “Apakah engkau tidak melihatnya?”

“Tidak,” jawab Yan Lam-thian.

Bu-koat mendongak dan menghela napas perlahan, katanya, “Saat ini Kang Siau-hi entah berada di mana?

“Bilakah dia terjatuh di tangan ‘Tong-siansing’ itu?”

“Semalam.”

“Jadi sudah seharian dia berada dalam cengkeramannya ....”

“Yan-tayhiap jangan khawatir, Tong-siansing pasti takkan melukai dia.”

“Dari mana kau tahu?”

“Ada ucapan sementara orang, tidak perlu pakai alasan apa pun, tapi cukup dapat dipercaya.”

Yan Lam-thian termenung sejenak dan mengangguk perlahan, katanya kemudian, “Tapi di dunia Kangouw ini mana ada seorang ‘Tong-siansing’ segala? Orang yang berkepandaian setinggi itu, mengapa selama ini tak pernah kudengar? Apakah ... apakah kau tahu asal-usulnya?”

“Cayhe cuma tahu ilmu silatnya sangat tinggi, tapi juga tidak tahu asal-usulnya.”

“Hm, jika tidak keliru dugaanku, dia pasti penyamaran orang lain.”

“Tapi siapakah gerangan di dunia ini yang memiliki ilmu silat setinggi itu?”

“Umpamanya Ih-hoa-kiongcu ....”

Bu-koat tersenyum tak acuh, ucapnya, “Untuk apa guruku menyamar sebagai orang lain? Untuk apa pula guruku mengelabui diriku? Apa manfaatnya bagi beliau? Memangnya Yan-tayhiap dapat mengemukakan sesuatu alasannya?”

“Ya, memang tidak ....” Yan Lam-thian menghela napas panjang, sejenak kemudian ia menyambung pula, “Eh, dapatkah kau perkirakan ke mana ‘Tong-siansing’ itu akan membawa Siau-hi-ji?”

Bu-koat juga menghela napas panjang, kemudian menjawab, “Cayhe juga tidak dapat memperkirakannya.”

*****

Saat itu Siau-hi-ji sudah tertidur.

Tong-siansing telah membawa Siau-hi-ji ke kamarnya di hotel itu. Selain tempat ini ke mana lagi dia harus membawa anak muda itu?

Berbaring di tempat tidur yang nikmat, Siau-hi-ji sedang ngorok dengan nyenyaknya, Tong-siansing terpaksa menunggunya dengan duduk di kursi dan berdiam seperti patung. Selain ini sesungguhnya dia memang tidak tahu apakah ada cara yang lebih baik.

Dilihatnya pernapasan anak muda itu sangat teratur, tampaknya tidur dengan sangat tenang dan amat nyenyak laksana seorang anak kecil yang tidur di sisi sang ibu, ujung mulutnya tampak mengulum senyum pula.

Di waktu sadar wajahnya penuh daya pikat dan penuh sifat yang cerdik dan binal. Kini dalam keadaan tidur, mukanya telah berubah menjadi polos dan suci seperti anak bayi.

Memandangi wajah yang cakap dan polos itu, memandangi bekas luka yang selamanya tak dapat dihapuskan di mukanya itu, mendadak sekujur badan Tong-siansing jadi gemetar.

Begitu kencang tangannya mencengkeram sandaran kursinya, sorot matanya yang dingin tadi mendadak berubah membara, seperti penuh rasa derita dan juga seperti penuh rasa dendam dan benci.

“Prak”, mendadak sandaran kursi yang terbuat dari kayu jati itu kena diremasnya hingga hancur.

Siau-hi-ji terjaga bangun, ia membuka mata perlahan-lahan, sambil mengucek matanya ia tertawa kepada Tong-siansing, tanyanya, “Lamakah tidurku?”

Tong-siansing menarik napas dalam-dalam, jawabnya kemudian, “Ya, cukup ... cukup lama?” Sedapatnya dia membuat suara sendiri sewajarnya, tapi terasa rada gemetar.

“Apakah engkau duduk menjaga diriku sejak tadi?”

“Hm!” Tong -siansing mendengus.

Meski tubuh Siau-hi-ji tak dapat bergerak, tapi kaki bisa bebas berjalan, sekali melejit ia lantas melompat turun tempat tidur, katanya dengan tertawa, “Wah, kukangkangi tempat tidurmu, sehingga engkau tidak dapat tidur, sungguh aku sangat menyesal.”

Tong-siansing menatap kaki anak muda itu dan bertanya dengan bengis, “Kakimu tidak cedera?”

Siau-hi-ji hanya angkat pundak tanpa menjawab, lalu hendak melangkah keluar.

“Hendak ke mana kau?” bentak Tong-siansing.

Siau-hi-ji menyengir, jawabnya, “Ada suatu kebiasaanku, begitu bangun tidur harus ... harus ke kakus.”

“Tidak boleh pergi!” bentak Tong-siansing.

“Wah, payah!” keluh Siau-hi-ji. “Kalau telanjur keluar di celana, kan bau?”

“Kau ... kau berani?” teriak Tong-siansing, hampir-hampir saja ia berjingkrak.

Dengan tenang Siau-hi-ji menjawab, “Betapa pun lihai dan betapa pun buasnya seseorang, sekalipun dia sanggup membunuh orang dan membakar rumah, tapi apa mampu membuat orang agar tidak berak?”

Mendelik mata Tong-siansing seakan-akan berapi, saking dongkolnya.

Tapi Siau-hi-ji tetap acuh tak acuh, katanya dengan tertawa, “Jika engkau melarang aku berak, kukira cuma ada satu jalan, yaitu segera bunuh diriku. Kalau tidak ... wah, aku tidak tahan lagi perut ini ....” sambil bicara sembari memegangi perut dan segera hendak berjongkok di situ.

Keruan Tong-siansing serba salah, cepat ia berteriak, “Tidak ... tidak boleh di situ!”

“Jadi aku boleh keluar?” tanya Siau-hi-ji.

Tong-siansing membanting kaki dan berteriak, “Ya, gelinding keluar sana!”

Tanpa disuruh lagi Siau-hi-ji terus berlari-lari kecil keluar dengan setengah berjongkok. Serunya dengan tertawa, “Jika engkau tetap sangsi, silakan menunggui aku di luar kakus.”

Tong-siansing memang benar tidak percaya, padanya, ia benar-benar berjaga di luar kakus.

Sebenarnya ‘Tong-siansing’ ini mempunyai sifat istimewa, sifat nyentrik, yaitu suka pada kebersihan. Benda yang pernah disentuh orang lain pasti tidak sudi dijamahnya dengan jari sekalipun. Selama hidupnya juga belum pernah bersantap satu meja dengan orang lain. Di rumahnya, siapa pun yang melihat dia pasti munduk-munduk penuh hormat, bahkan bernapas pun tidak berani keras-keras.

Sungguh mimpi pun tak pernah terpikir olehnya bahwa hidupnya ini ternyata bisa juga berdiri di luar kakus, menunggui orang berak.

Tunggu punya tunggu, sampai agak lama barulah Siau-hi-ji keluar sambil menggosok-gosok perutnya.

Manusia mana pun juga, bilamana habis menunaikan tugas dari kakus, tentu rasanya menjadi enteng dan lega. Begitu pula Siau-hi-ji, ia tersenyum-senyum puas.

Namun Tong-siansing hampir gila saking kekinya, bentaknya murka, “Apa kau mampus di dalam?”

“Jangan marah-marah dulu, dengarkan penjelasanku,” jawab Siau-hi-ji dengan cengar-cengir. “Maklumlah, simpanan selama beberapa hari, kalau dikuras sekaligus kan perlu waktu cukup lama?”

Saking gusarnya sehingga Tong-siansing hanya geleng-geleng kepala dan tidak sanggup bicara lagi, terpaksa ia melengos ke arah lain.

“Dan setelah perutku dikuras, simpanan lama sudah bersih, kini perlu diberi persediaan baru lagi, ayolah kita pergi makan!” ajak Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Ap ... apa katamu?” teriak Tong-siansing dengan gusar.

“Makan dan berak kan urusan yang jamak, kenapa mesti heran?” ucap Siau-hi-ji tertawa. “Memangnya engkau tidak pernah mendengar bahwa setiap orang harus makan nasi?”

Setelah terdiam sejenak, mendadak Tong-siansing mendengus, “Tidak, meski aku tak dapat melarang kau masuk ... masuk kakus, tapi dapat kularang kau makan.”

“Aku tidak boleh makan?” tanya Siau-hi-ji.

“Bila kuberi makan baru boleh kau makan, kalau tidak kau harus tutup mulut, paham tidak?” bentak Tong-siansing dengan bengis.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Tapi mulut tumbuh di mukaku sini, bukan?”

“Hm!” dengus Tong-siansing.

“Sebab itulah, bilamana aku ingin makan dan engkau harus memberi makan, kalau tidak, selamanya juga aku takkan makan. Apabila kumati kelaparan, maka rencanamu jadi berantakan. Nah, engkau paham tidak?”

Mendadak Tong-siansing melompat maju, ia cengkeram leher baju Siau-hi-ji dan berteriak, “Kau ... kau berani bicara cara begini padaku?”

Siau-hi-ji nyekikik, ucapnya, “Meski aku bukan tandinganmu bila berkelahi, tapi untuk membikin diri sendiri mati kelaparan memangnya kau dapat melarangku?”

Untuk sejenak Tong-siansing melenggong, akhirnya ia menggentakkan tubuh anak muda itu sambil membanting kaki sendiri, katanya, “Ikut sini!”

“Bukan aku yang ikut padamu, tapi engkau yang ikut padaku,” ucap Siau-hi-ji tertawa. “Apa pun yang ingin kumakan terpaksa harus kau bayar, kalau tidak, aku akan mogok makan saja.”

Saking dongkolnya sampai badan Tong-siansing terasa gemetar, terpaksa ia pura-pura tidak mendengar ocehan anak muda itu.

*****

Di tempat lain, dengan sendirinya Yan Lam-thian dan Hoa Bu-koat tidak dapat menemukan Thi Sim-lan dan lebih-lebih tidak dapat menemukan Siau-hi-ji.

Setelah berkeliling kian kemari tanpa tujuan, mendadak Yan Lam-thian berkata, “Kau minum arak tidak?”

“Boleh juga,” jawab Bu-koat tersenyum.

“Marilah kita minum beberapa cawan!” ajak Yan Lam-thian.

Mereka lantas masuk ke kota.

“Banyak juga restoran di kota ini,” ucap Yan Lam-thian. “Masakan daerah Kangsoh dan Ciatkang mengutamakan manis, masakan utara hambar, lebih baik masakan Sujwan yang beraneka ragam cita-rasanya, ya asin, ya gurih, ya pedas, itu baru cocok bagi selera seorang lelaki sejati. Bagaimana pikiranmu?”

“Untuk itu, di sebelah sana ada sebuah restoran Yangcukang, konon ada koki ternama dengan berbagai masakan yang terkenal,” kata Bu-koat.

Sementara itu pasar malam belum lagi bubar, orang berlalu lalang masih cukup ramai, restoran Yangcukang itu juga penuh dengan tetamu.

Kang Piat-ho sedang minum arak sendirian di situ.

Kejadian yang membuatnya kesal selama dua hari ini sesungguhnya terlalu banyak, urusan Siau-hi-ji, persoalan Hoa Bu-koat dan ... tentang anaknya, yaitu Kang Giok-long, sampai saat ini ternyata belum pulang.

Tiba-tiba seorang lelaki berlari ke atas loteng restoran itu, begitu tergesa-gesa sehingga dua kursi ditumbuknya hingga terguling, tampaknya dia begitu cemas, setiba di depan Kang Piat-ho lelaki itu lantas berbisik, “Hoa-kongcu datang!”

“Di mana?” tanya Kang Piat-ho.

“Di bawah, tampaknya juga akan naik ke sini,” lapor orang itu.

“Sendirian?”

“Bersama seorang lelaki rada jangkung dengan pakaian yang rombeng, tampaknya seperti ....”

Belum habis penuturan orang itu, air muka Kang Piat-ho tampak berubah pucat. Mendadak ia berbangkit, katanya dengan suara gemetar, “Lekas ... lekas berusaha mengalangi mereka sejenak.”

Namun pada saat itu Hoa Bu-koat dan Yan Lam-thian sudah muncul di atas loteng, bahkan sudah dapat melihatnya. Dengan tersenyum Hoa Bu-koat lantas mendekati Kang Piat-ho.

Sambil memegangi meja, hampir saja Kang Piat-ho tidak sanggup berdiri tegak saking kejutnya.

“Tak tersangka Kang-heng juga berada di sini,” terdengar Bu-koat menyapa.

“Ya ... iya ....” jawab Kang Piat-ho tergagap. Matanya menatap lurus ke arah Yan Lam-thian, kerongkongan terasa kering dan kaki terasa lemas, saking takutnya nyalinya seakan-akan pecah.

Yan Lam-thian juga memandangnya beberapa kejap, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, “Barangkali inilah ‘Kang-lam-tayhiap’ Kang Piat-ho yang termasyhur di dunia Kangouw akhir-akhir ini?”

“Ah, ti ... tidak berani,” jawab Kang Piat-ho.

“Baiklah, kita duduk bersama dan minum beberapa cawan,” ucap Yan Lam-thian. Segera ia menarik sebuah kursi dan duduk. Tapi terasa mangkuk dan cangkir di atas meja sama bergetar tiada berhenti, kiranya sekujur badan Kang Piat-ho masih terus gemetar.

“Mengapa Kang-heng tidak duduk?” tanya Yan Lam-thian.

Segera Kang Piat-ho duduk dengan tegak kaku.

“Meski orang she Yan sudah lama tidak menjelajah Kangouw, tapi sudah lama pula kudengar nama harum Kang-heng, sekarang harus kita habiskan tiga cawan bersama,” kata Yan Lam-thian dengan tertawa.

Cepat Kang Piat-ho menuang tiga cawan dan berkata, “Biarlah Wanpwe menyuguh satu cawan kepada Yan-tayhiap.”

Kang Piat-ho sengaja mengalingi mukanya dengan cawan, dalam hati ia bertambah waswas. Pikirnya, “Agaknya Kang Siau-hi belum memberitahukan padanya mengenai diriku, tapi mengapa dia tidak ... tidak kenal aku lagi? Padahal selama dua puluh tahun wajahku kan tidak berubah banyak?” Dari balik cawan dia mencoba mengintip muka Yan Lam-thian, lalu membatin pula, “Tapi wajahnya ternyata sudah banyak berubah, sungguh aneh, jangan-jangan ... jangan-jangan ....”

“Mengapa Kang-heng tidak habiskan isi cawanmu?” tiba-tiba terdengar Yan Lam-thian menegur.

Lekas-lekas Kang Piat-ho menenggaknya hingga habis, lalu berkata dengan terbahak-bahak, “Wanpwe juga sudah lama mengagumi nama kebesaran Yan-tayhiap, tidak nyana sekarang dapat bertemu, sungguh sangat beruntung.”

“Betul, kita baru bertemu pertama kali dan harus minum sepuas-sepuasnya,” ucap Yan Lam-thian dengan tertawa.

Kata ‘baru pertama kali’, membuat Kang Piat-ho bertambah heran, diam-diam ia pun menghela napas lega. Serunya dengan terbahak-bahak, “Haha, memang harus minum sepuas-puasnya, sebelum mabuk takkan berhenti.”

“Bagus, sebelum mabuk takkan berhenti!” tukas Yan Lam-thian sambil tertawa. “Hai, pelayan bawakan arak tiga puluh kati lagi!”

*****

Sementara itu Tong-siansing terpaksa harus mengiringi Siau-hi-ji keluar hotel lagi untuk makan. Malam sudah larut, jalanan sudah sepi, toko-toko di kedua sisi jalan hampir seluruhnya sudah tutup.

Seperti pelancongan saja Siau-hi-ji berjalan kian kemari dengan gembira. Ucapnya dengan tertawa, “Jangan khawatir, biarpun rumah makan tutup semua, asalkan kau berani membuang uang, setan saja dapat disogok, apalagi rumah makan, mustahil takkan membuka pintu.”

“Di sini juga ada rumah makan. Nah, gedorlah pintunya,” kata Tong-siansing dengan menahan rasa dongkolnya.

“Rumah makan ini pakai merek ‘Sam-ho-lau’, khusus menjual masakan Kangsoh dan Ciatkang, tidak cocok bagiku .... Eh, ada lagi sebuah rumah makan di situ, pakai merek Cia-pak-peng, (Peking asli) yang dijual pasti masakan Peking, aku pun tidak cocok.”

“Mengapa tidak cocok?” omel Tong-siansing dengan gusar.

“Soalnya masakan Kangsoh dan Ciatkang mengutamakan hidangan laut, masakan sebangsa udang dan kepiting tentunya tidak segar lagi kalau sudah larut malam begini,” tutur Siau-hi-ji. “Sedangkan masakan utara banyak memakai bawang brambang, aku pun tidak suka.”

“Habis apa ... apa yang hendak kau makan?” tanya Tong-siansing dengan geregetan.

“Kukira masakan Sujwan paling cocok bagiku, ya asin, ya pedas, jika makan sampai mandi keringat, nah, itulah baru namanya makan enak.”

“Apakah kau tidak dapat makan seadanya?” bentak Tong-siansing gemas.

“Tidak, tidak bisa,” ucap Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh. “Seorang boleh disebut kurang baik terhadap teman, tapi jangan sekali-kali membikin susah perut sendiri. Sebab, di waktu engkau sedang sial, maka teman-teman itu akan lari semua dan menjauhimu, sedangkan perut pasti takkan berbuat demikian, selamanya dia akan ikut bersamamu.”

Dengan gemas Tong-siansing melototi anak muda itu, selang sejenak baru berkata dengan perlahan, “Setiap orang di dunia ini sama takut, padaku, mengapa ... mengapa kau tidak takut?”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes