Wednesday, May 12, 2010

bgp3_part1

Sungguh teka-teki ini sukar dipecahkan olehnya. Ia coba mengingat-ingat kembali semua kejadian dari awal hingga akhir, sampai kepala pusing tetap sukar dimengerti, malah semakin ruwet.

Teringat olehnya Ih-hoa-kiongcu yang ditakuti orang itu kena diperdayainya hingga kelabakan, bahkan rela menunggui dia berak, saking geli ia jadi tertawa sendiri.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Oh Yok-su berkata dengan tertawa, “Bagus sekali, baru saja Ih-hoa-kiongcu pergi, kini datang pula beberapa gembong anggota Cap-toa-ok-jin, tampaknya keparat Kang Giok-long itu pun tak bisa hidup tenteram lagi selanjutnya.”

Karena itu barulah Siau-hi-ji sadar dari lamunannya, ia pasang kuping sejenak, lalu berkata, “Yang datang itu memang Put-lam-put-li (bukan lelaki tidak perempuan) To Kiau-kiau, Put-sip-jin-thau (tidak makan kepala manusia) Li Toa-jui, Siau-li-cong-to (di balik tertawanya tersembunyi belati) Ha-ha-ji dan Sun-jin-put-li-ki (merugikan orang lain tidak menguntungkan diri sendiri) Pek Khay-sim.”

“Tampaknya kau kenal baik mereka?”

“Memang, mungkin di dunia ini tiada orang lain yang lebih akrab dengan mereka kecuali aku.”

Semangat Oh Yok-su terbangkit seketika, katanya, “Jika demikian mengapa tidak lekas kau minta pertolongan mereka?”

“Tunggu dulu,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Aku ingin mendengarkan permainan apa yang akan mereka lakukan.”

Kemudian Siau-hi-ji kembali terkejut demi mendengar mereka menyebut Kang Piat-ho sebagai tamu agung Gui Bu-geh. Baru diketahuinya sekarang tamu yang berkunjung ke tempat Gui Bu-geh tatkala dia terluka di sana itu ialah Kang Piat-ho. Andai kata Kang Piat-ho tidak datang, mungkin So Ing belum dapat membantunya melarikan diri. Teringat hal ini, tanpa terasa Siau-hi-ji tertawa pula.

Didengarnya Oh Yok-su lagi berkata, “Sungguh aneh, untuk apakah mereka sedemikian mementingkan beberapa peti itu?”

“Tidak perlu heran, orang muda pantang berkelahi, orang tua pantang tamak, soalnya seorang kalau sudah berusia lanjut, sering-sering terlalu memandang berat soal harta benda, seakan-akan sudah lupa bahwa orang mati toh tidak dapat membawa uang sepeser pun.”

“Tapi yang mereka persoalkan adalah peti kosong,” kata Oh Yok-su.

Siau-hi-ji hanya tertawa dan tidak berkata pula, namun sorot matanya mencorong terang. Selang tak lama lantas terdengar To Kiau-kiau dan lain-lain membicarakan dia.

Baru diketahuinya bahwa tanda-tanda petunjuk jalan yang ditinggalkan mereka itu memang betul-betul adalah perangkap yang sengaja dipasang untuk menjerumuskan dia, mau tak mau air muka Siau-hi-ji berubah juga.

Setelah termenung sejenak, kemudian ia berkata sambil menggeleng, “Tak tersangka dugaan So Ing ternyata tepat, sampai-sampai kalian juga menghendaki jiwaku. Tapi apakah kalian tahu bahwa sudah lama kutahu rahasianya Yan-tayhiap dan aku pun tidak berniat mencelakai kalian.” Dia menghela napas, tiba-tiba ia bergembira pula, ucapnya, “Seorang kalau meninggal dan bisa membikin To Kiau-kiau meneteskan air mata, maka tidak percumalah kematiannya.”

Kepandaian Siau-hi-ji yang terbesar adalah dalam keadaan betapa buruknya dia tetap dapat membuat dirinya bergembira.

Sudah tentu Oh Yok-su tidak mempunyai kepandaian begitu, sekarang ia pun sudah tahu Siau-hi-ji tidak nanti mau berseru minta tolong kepada To Kiau-kiau dan lain-lain.

Maklum, apabila gembong-gembong Cap-toa-ok-jin itu tahu Siau-hi-ji berada di dalam sumur ini, bukannya mereka menolongnya, bisa jadi malah akan menimpakan beberapa potong batu besar. Dengan sendirinya Siau-hi-ji tidak mau mengambil risiko ini.

Oh Yok-su jadi melengak muram dan tidak bersemangat lagi. Sebaliknya Siau-hi-ji lantas tepuk-tepuk bahunya, katanya sambil tertawa, “Jangan khawatir, biarpun mereka tidak menolong kita, nanti juga ada orang lain yang akan menolongku.”

“Siapa?” tanya Oh Yok-su.

“Rahasia alam tidak boleh dibocorkan, kalau sudah tiba waktunya tentu kau akan tahu sendiri,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa dan berfilsafat.

Oh Yok-su ingin tanya pula, tapi pada waktu itu juga di luar sana telah berkumandang suara So Ing.

Setelah mengikuti percakapan antara So Ing dengan Thi Peng-koh, mau tak mau Oh Yok-su menghela napas gegetun, katanya, “Nona So benar-benar sangat mendalam cintanya kepada Hi-heng, sungguh amat besar rezeki Hi-heng mendapatkan pacar secantik itu.”

Siau-hi-ji juga menghela napas, jawabnya, “Jika kau merasakan hal ini adalah rezeki, maka bolehlah kuoperkan dia padamu saja.”

Oh Yok-su hanya tertawa, selang sejenak baru ia berkata pula, “Kau kira nona So dapat memanjat ke atas tidak?”

“Jika dia bilang ada akal, tentu dia sanggup memanjat ke atas,” kata Siau-hi-ji.

“Tapi Cayhe tidak dapat membayangkan akal apa yang dipunyai olehnya,” ujar Oh Yok-su.

“Jika kau bisa membayangkan akalnya, tentu kau takkan tertimpa malang seperti sekarang ini,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Thi Peng-koh sedang berteriak, “He, nona So, dinding tebing itu sangat licin, engkau takkan sanggup merambat ke atas sana.”

Benar juga menyusul lantas terdengar jeritan kaget So Ing, mungkin dia baru saja merambat ke atas dan segera terperosot ke bawah lagi.

Selang sejenak, terdengar Thi Peng-koh berkata pula, “Nona So, buat apa engkau nekat begitu? Batu di atas sana setajam pisau, bila engkau telanjang kaki tentu akan lebih mudah terluka lagi.”

Dari nadanya tampaknya dia sangat khawatir bagi So Ing, suatu tanda pula bahwa cara merambat So Ing tentu sangat payah.

Tanpa terasa Siau-hi-ji juga gegetun, ucapnya, “Ya, kakinya pasti putih dan halus, jika sampai terluka kan sayang.”

Oh Yok-su juga gegetun, katanya, “Melihat bentuknya sih lemah lembut, tak tersangka dia mempunyai tekad sebesar itu.”

“Tapi nona pintar seperti dia ternyata memakai cara sebodoh ini, sungguh sangat mengecewakan aku,” kata Siau-hi-ji

“Semakin bodoh cara yang dipakainya, semakin jelas pula cintanya padamu,” ujar Oh Yok-su. “Hi-heng, mestinya engkau berseru memanggilnya untuk memberi semangat padanya.”

“Untuk apa mesti kuberi semangat padanya? Kan dia sendiri yang susah,” kata Siau-hi-ji dengan melotot. “Anak perempuan yang nekat seperti dia ini hanya membikin pusing kepalaku saja. Apalagi, seumpama dia dapat merambat ke atas kan juga tidak mampu menolong kita.”

Oh Yok-su terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Jadi Hi-heng sengaja bersikap demikian lantaran tidak ingin membikin susah nona So?”

“Hehe, rasanya kau terlalu tinggi menilai hati nuraniku,” ucap Siau-hi-ji sambil tertawa.

“Ah, meski kasar cara bicara Hi-heng, yang benar kutahu hatimu sangat baik,” ujar Oh Yok-su.

Dalam pada itu sama sekali tidak terdengar lagi suara So Ing di luar sana, hanya Thi Peng-koh yang terkadang mengeluarkan jeritan khawatir, suatu tanda So Ing berulang-ulang mengalami rintangan dan mungkin setiap saat terperosot ke bawah.

Siau-hi-ji berkerut kening, katanya, “Dia dan aku kan juga tiada hubungan yang erat, pula tidak pernah ada sumpah setia apa segala, mengapa dia harus bersusah payah ingin mencariku?”

Oh Yok-su tersenyum, ucapnya, “Seorang perempuan bila sudah mencintai seorang lelaki, hakikatnya dia tidak memerlukan alasan. Pula, alasan perempuan pada hakikatnya juga takkan dipahami lelaki.”

“Betul, asalkan kebentur perempuan, terpaksa kuanggap diriku lagi sial,” kata Siau-hi-ji dengan menyesal.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara sorak gembira Thi Peng-koh.

Lalu terdengar seruan So Ing, “Siau-hi-ji, inilah aku datang mencarimu, apakah kau dengar suaraku?”

Suara itu tersiar dari mulut gua di atas, karena kumandang suara di gua yang geronggang itu, bukan saja Siau-hi-ji dapat mendengarnya dengan jelas, bahkan anak telinganya hampir pekak karena getaran suara yang mendengung itu.

Nyata, So Ing benar-benar telah berhasil memanjat ke atas.

Karena Siau-hi-ji hanya diam saja, segera Oh Yok-su bermaksud bersuara, tapi cepat Siau-hi-ji mendekap mulutnya sambil berbisik, “Jangan sekali-kali menjawabnya, kalau tidak, bisa jadi dia akan terjun kemari.”

Rupanya Siau-hi-ji telah kenal watak So Ing yang keras, apabila nona itu sudah bertekad akan berbuat sesuatu, biarpun dia harus terjun ke lautan api juga dia pantang mundur.

Terlihat wajah So Ing sudah menongol di mulut gua, cuma gua sumur terlalu dalam, cahaya remang-remang di bagian atas tidak cukup menerangi bagian bawah, sebab itulah Siau-hi-ji dapat melihat So Ing dengan cukup jelas, sebaliknya So Ing tidak dapat melihat anak muda itu.

Samar-samar malahan Siau-hi-ji sudah dapat melihat wajah So Ing yang basah dan lecet, entah air keringat entah air mata.

“Siau-hi-ji,” terdengar suara So Ing yang setengah meratap, “Mengapa engkau tidak menjawab? Apakah engkau benar-benar telah meninggal? Masa kau ... sedemikian tak becus, sampai-sampai binatang kecil semacam Kang Giok-long juga bisa membunuhmu? Sungguh memalukan dan membikin penasaran.”

Dengan tertawa Siau-hi-ji membisiki Oh Yok-su, “Dia sengaja memancing agar aku bersuara, tapi aku justru tidak mau tertipu olehnya.”

Terdengar So Ing lagi berseru pula, “Siau-hi-ji, dengan susah payah telah kuselamatkan kau, tapi kau justru mati konyol di sini, kau sungguh mengecewakan harapanku.”

Namun Siau-hi-ji tetap diam saja.

Sekali ini So Ing tidak bicara lagi, tapi mendadak menangis keras-keras.

Sungguh tak tersangka oleh Oh Yok-su bahwa nona yang biasanya lemah lembut dan anggun, menghadapi persoalan apa pun selalu tenang, kini mendadak bisa menangis tergerung-gerung seperti anak kecil begitu.

Terdengar Thi Peng-koh lagi berseru, “Nona So, orang mati kan tidak dapat hidup kembali, untuk apa nona menangis sedemikian sedihnya?”

Dia seakan-akan lupa bahwa dia sendiri tadi juga menangis. Selang sejenak kembali ia berkata, “Tadi kau sendiri bilang padaku bahwa di dunia ini masih banyak orang yang bernasib jauh lebih malang daripada kita, sekarang aku tidak menangis lagi, mengapa kau malah menangis sendiri?”

“Jangan khawatir, aku cuma menangis satu kali saja dan selanjutnya takkan menangis lagi,” jawab So Ing sambil tersedu-sedu. “Sebab itulah sekali ini aku harus menangis sepuas-puasnya dan hendaklah jangan kau cegah tangisku ini.”

“Hm, kau dengar tidak, dia cuma mau menangis satu kali saja ... hehe, hanya menangis satu kali saja,” demikian jengek Siau-hi-ji dengan suara tertahan.

“Tapi kalau ada seorang nona cilik begitu mau menangis satu kali bagiku, maka puaslah hidupku ini,” ujar Oh Yok-su dengan gegetun.

Entah selang berapa lama, tangis So Ing bukan saja tidak berhenti, bahkan semakin berduka cara menangisnya seakan-akan air matanya hendak dikuras keluar semua.

Dengan suara serak Thi Peng-koh berseru pula, “Kumohon dengan sangat, janganlah menangis lagi. Jika ... jika kau menangis terus, aku ... aku pun ….” Belum habis ucapannya, benar juga, ia sendiri lantas ikut menangis.

Tapi mendadak So Ing berhenti menangis, ucapnya, “Aku pun ingin memohon sesuatu padamu.”

“Urusan ... urusan apa?” tanya Peng-koh.

“Kita berkenalan secara kebetulan, tapi ternyata cukup cocok, maka kuharap engkau suka berdaya menyumbat gua ini dengan batu agar kami tidak diganggu orang lain lagi.”

“Mengganggu kalian? Memangnya kau pun akan ... akan ....” Peng-koh bersuara khawatir dan tergegap.

“Ya,” sahut So Ing singkat.

“Mana ... mana boleh kau mati? Setahuku, kau dan Siau-hi-ji kan tiada sumpah setia segala, mengapa kau mau mati baginya?”

“Aku tidak merasakan mati baginya, aku cuma merasa hidup ini tiada artinya lagi.”

“Nah, kau dengar tidak, Hi-heng?” demikian bisik Oh Yok-su di dasar sumur. “Sampai begini, masa engkau tidak mau bersuara?”

“Apakah kau kira dia benar-benar akan mati? Dia cuma menakut-nakuti orang saja,” ujar Siau-hi-ji. “Masa kau tidak tahu senjata rahasia simpanan kaum perempuan, yakni menangis, mogok makan dan bunuh diri?”

“Tapi dia ... dia ....”

“Dia kenapa? Jika dia benar-benar membunuh diri biar aku ....”

Belum habis ucapan Siau-hi-ji, mendadak terdengar jeritan Thi Peng-koh. Waktu mereka mendongak, So Ing benar-benar terjun ke bawah.

Baru sekarang Siau-hi-ji benar-benar terkejut. Cepat ia bertindak, sekuat tenaga ia lompat ke atas, selagi masih terapung di udara sempat ia rangkul tubuh So Ing.

Namun daya anjlok So Ing teramat keras, sekalipun ilmu silat Siau-hi-ji sekarang sudah lain daripada dulu, namun tetap tidak mampu menahannya, terdengarlah suara “plung” yang keras, kedua orang sama-sama tercebur ke dalam kolam.

Air kolam bergolak, selang sejenak barulah terlihat Siau-hi-ji menongol ke permukaan air dengan basah kuyup sambil merangkul So Ing, lalu dibawa melompat ke atas batu.

“Dia tidak cuma menakut-nakuti orang saja, bukan?” demikian Oh Yok-su berolok-olok dengan tersenyum.

Siau-hi-ji menyengir, ucapnya, “Budak ini ternyata berbeda daripada perempuan lain. Wah, aku menjadi mulai sangsi apakah dia ini perempuan tulen atau bukan?”

Dia mengira So Ing pasti sudah pingsan karena terjun dari ketinggian begitu dan kecebur pula ke kolam.

Tak terduga “budak” yang bertubuh lemah itu ternyata mempunyai saraf yang lebih kuat daripada baja. Bukan saja dia tidak pingsan, sebaliknya malah kelihatan sangat enak, sangat senang atas kejadian ini. Matanya terbelalak memandangi Siau-hi-ji tanpa berkedip.

Siau-hi-ji melengak, tiba-tiba ia kendurkan pegangannya sehingga tubuh So Ing terlempar ke atas batu, dengan penasaran ia berteriak, “Ingin kutanya padamu, apa artinya semua ini? Hakikatnya kau dan aku tiada hubungan kentut sekalipun, untuk apa kau mati bagiku? Memangnya kau sengaja hendak membikin aku berterima kasih padamu dan selama hidupku ini akan diperbudak olehmu?”

“Aku tidak ingin memperbudak dirimu, aku cuma berharap kau akan menjadi suamiku,” jawab So Ing dengan perlahan.

Kembali Siau-hi-ji melengak, katanya kepada Oh Yok-su sambil menuding So Ing, “Kau dengar tidak? Apa yang diucapkan budak ini kau dengar tidak?”

“Dengar, kudengar dengan jelas,” jawab Oh Yok-su sambil mengulum senyum.

“Perempuan yang bermuka tebal begini tentunya tak pernah kau lihat bukan?” tanya Siau-hi-ji pula.

“Tapi apa pun juga kan sudah dilihatnya sekarang,” ujar So Ing dengan tertawa.

Terbelalak mata Siau-hi-ji memandangi So Ing sekian lamanya, tiba-tiba ia menghela napas, ucapnya sambil menggeleng, “Aneh, sungguh aneh!”

“Aneh apa?” tanya So Ing sambil membetulkan rambutnya dengan jarinya yang lentik.

“Ingin kutanya padamu,” kata Siau-hi-ji. “Demi seorang lelaki kau rela membunuh diri, tapi sang lelaki merasa kepala pusing apabila melihatmu, masa hal ini sama sekali tak merisaukan kau?”

“Mengapa aku harus risau?” jawab So Ing. “Kutahu, meski di mulut kau bilang kepala pusing, tapi di dalam hati senang tidak kepalang. Jika sedikit pun kau tidak menaruh perhatian padaku, mengapa tadi kau loncat ke atas untuk menyelamatkan diriku?”

“Biarpun seekor anjing yang jatuh dari atas juga akan kuselamatkan,” ucap Siau-hi-ji dengan ketus.

“Kutahu kau sengaja mengucapkan kata-kata keji dan menusuk perasaan ini, kau sengaja berlagak dingin dan kejam, soalnya hatimu takut, makanya aku pun takkan marah padamu,” kata So Ing dengan tertawa.

“Apa, aku takut?” teriak Siau-hi-ji dengan mendelik. “Apa yang kutakuti?”

“Kau takut selanjutnya akan kalah pengaruh daripadaku, juga takut kelak kau akan keranjingan mencintai aku, makanya kau sengaja bersikap demikian untuk membela diri,” tutur So Ing dengan kalem. Ia tersenyum, lalu menyambung pula, “Jika orang macam Kang Giok-long itu, tentu dia takkan bersikap seperti dirimu. Betul tidak?”

Siau-hi-ji tertawa, ucapnya sambil memiringkan kepala, “Jika begitu, ingin kutanya pula padamu, mengapa aku mesti bersikap demikian, apakah sikap demikian cukup membanggakan?”

“Soalnya terlalu besar emosimu, seorang yang besar emosinya sering kali akan merugikan dirinya sendiri, makanya kau berdaya upaya sedapatnya untuk melindungi kelemahannya sendiri.”

“Hahaha, logika yang janggal begini, selama hidup ini belum pernah kudengar,” seru Siau-hi-ji sambil tertawa.

“Seorang kalau mendengar orang lain membongkar isi hatinya dengan tepat, biasanya memang tidak mau mengaku dengan terus terang.”

Seketika Siau-hi-ji berjingkrak sambil berteriak, “Kentut, kentut busuk!”

“Kalau isi hati seseorang kena dibongkar orang, biasanya dia pasti akan marah,” ucap So Ing dengan tertawa. “Meski kau mencaci maki juga aku tidak menyalahkanmu.”

Untuk sekian lamanya Siau-hi-ji terbelalak memandangi si nona, gumamnya kemudian, “Oh Thian, mengapa engkau mempertemukan aku dengan perempuan begini?!”

Mendadak ia lompat ke dalam kolam, teriaknya sambil mengetuk kepala sendiri, “Celaka, tamatlah riwayatku! Seorang lelaki kalau bertemu dengan perempuan yang sok pintar begini terpaksa ia harus potong rambut dan jadi Hwesio saja.”

“Wah, jika demikian, di dunia bakal bertambah lagi seorang Hwesio sontoloyo dan seorang Nikoh (biksuni), tentu juga Nikoh sontoloyo,” ucap So Ing dengan tertawa.

Siau-hi-ji jadi melengak, tanyanya, “Nikoh sontoloyo apa maksudmu?”

“Habis, kalau kau menjadi Hwesio, terpaksa aku akan menjadi Nikoh, tentulah Nikoh sontoloyo, memangnya cuma ada Hwesio sontoloyo dan tidak ada Nikoh sontoloyo, kan tidak adil?”

Sungguh dongkol Siau-hi-ji tak terkatakan, saking gemasnya ia terus menyelam ke dalam air.

Hampir meledak perut Oh Yok-su saking gelinya menyaksikan perang mulut kedua muda-mudi itu, pikirnya, “Biasanya ucapan Siau-hi-ji selalu membikin gemas orang lain, tak tersangka hari dia ketemu batunya. Tampaknya nona So Ing ini memang pintar dan cerdik, rupanya sudah dalam perhitungannya apabila seorang perempuan ingin menaklukkan lelaki macam Siau-hi-ji, dia harus berani menggunakan cara ‘dengan racun menyerang racun’.”

Terlihat Siau-hi-ji masih membenamkan kepalanya di dalam air, rupanya dia lebih suka mati tenggelam daripada mati mendongkol oleh kata-kata So Ing.

Tapi So Ing tidak ambil pusing, ia malah tanya kepada Oh Yok-su, “Nah, sekarang tentunya kau tahu, dia menyukai aku bukan?”

Terpaksa Oh Yok-su mengiakan dengan samar-samar.

“Coba pikir, jika dia tidak suka padaku, mengapa dia membenamkan kepalanya di dalam air pencuci kakiku tanpa peduli bau busuk?” kata So Ing dengan tertawa.

Belum habis ucapannya, secepat kodok tahu-tahu Siau-hi-ji melompat keluar dari kolam.

Dalam pada itu pasang naik air kolam bertambah tinggi, kini hanya permukaan batu karang itu saja yang masih menongol dan So Ing justru duduk di tengah-tengah batu itu, kalau Siau-hi-ji tidak mau duduk di sampingnya terpaksa dia harus terjun lagi ke dalam kolam.

Dengan mengikik tawa So Ing berkata, “Duduklah baik-baik di sebelahku sini, masih ada urusan lain ingin kutanya padamu.”

Terpaksa Siau-hi-ji duduk, ucapnya dengan melotot, “Kau ingin tanya apalagi?”

“Katanya kau ini orang pintar nomor satu di dunia, mengapa sampai tertipu oleh Kang Giok-long?” tanya So Ing dengan tertawa.

“Aku senang, aku suka tertipu olehnya, peduli apa denganmu?” jawab Siau-hi-ji mengada-ada.

“Kutahu kau pasti tak dapat ditipu olehnya, kau hanya ingin menggodanya saja, betul tidak?”

So Ing cukup cerdik, ia tahu Siau-hi-ji sudah cukup dibuatnya keki, kalau tidak tahu batas, dari malu anak muda itu bisa jadi gusar, jika sudah begini, maka urusan bisa runyam. Sebab itulah cepat ia ganti haluan, ucapan yang terakhir itu berubah menjadi lembut.

Lelaki memang tidak terlalu suka kepada anak perempuan yang terlampau lembut dan terlalu penurut, terkadang lelaki juga memerlukan selingan, suka dibikin keki oleh anak perempuan. Cuma sayang, kebanyakan anak perempuan di dunia ini tidak tahu membedakan waktu yang tepat, tidak tahu bilamana dapat menggoda dan membuat keki lelaki dan bilamana harus berhenti, jika setiap anak perempuan di dunia ini sama pintarnya seperti So Ing, maka tidak perlu diragukan lagi pasti sudah lama kaum lelaki menjadi budak kaum perempuan.

Maka Siau-hi-ji balas menjengek, “Hm, kau tidak perlu menjilat pantatku. Sekali ini aku memang tertipu olehnya. Ya, kan bukan apa-apa bila seorang terkadang juga tertipu sekali dua kali.”

So Ing tahu rasa keki anak muda itu sudah buyar, tapi akan lebih baik kalau sekarang jangan lagi diganggu. Dengan suara lembut ia lantas berkata, “Ya, sudah tentu bukan apa-apa. Aku cuma rada heran, orang macam Kang Giok-long itu mengapa bisa membikin Siau-hi-ji kita tertipu?” Tanpa menunggu jawaban si anak muda segera ia berpaling kepada Oh Yok-su dan bertanya, “Kejadiannya tentu kau lihat juga, coba kau saja bercerita.”

Oh Yok-su berdehem satu-dua kali, lalu bertutur, “Peristiwa ini harus dimulai dari Hoa Bu-koat, dia ....”

Ketika bercerita sampai urusan “Li-ji-hong”, yaitu jamur racun yang dimakan Siau-hi-ji, seketika So Ing menyelutuk, “He, apakah benar-benar dia telah makan Li-ji-hong itu?”

“Benar-benar telah dimakannya,” tutur Oh Yok-su. “Justru lantaran jamur beracun yang dimakannya itulah maka dia mengira Kang Giok-long pasti takkan mencelakai dia lagi sehingga dia lena dan kena didorong masuk ke sumur ini.”

“Kiranya lantaran ingin menolong Hoa Bu-koat, maka dia menjadi begini. Demi menolong kawan dia rela mengorbankan dirinya sendiri, keluhuran budi ini sungguh hebat ....” sekonyong-konyong tubuh So Ing menggigil, ucapnya pula dengan parau, “Tapi apakah tak terpikir olehmu bahwa mungkin Hoa Bu-koat sudah pergi dan Kang Giok-long sengaja berdusta untuk memeras kau?”

“Dengan sendirinya sudah kupikirkan,” jawab Siau-hi-ji.

“Kalau sudah kau pikir mengapa ... mengapa kau makan Li-ji-hong itu? Apa tidak dapat kau tunggu lagi?” So Ing menjadi cemas sendiri sehingga kehilangan akal.

Siau-hi-ji menjadi senang melihat kegelisahan si nona, dengan tertawa ia malah berkata, “Li-ji-hong itu kelihatan sangat enak, sebab itulah aku menjadi kepingin mencicipinya. Kan tidak setiap orang mampu makan barang demikian, betul tidak? Kesempatan baik begitu mana boleh kulewatkan?”

“Tapi apakah kau tahu bilamana racun Li-ji-hong itu sudah bekerja, maka kau akan lebih suka mati daripada tersiksa?” kata So Ing dengan serak.

“Selama ini hidupku selalu menyenangkan, kalau ada orang yang bisa membikin aku menderita, kan boleh juga?” ucap Siau-hi-ji dengan tenang.

Mata So Ing melotot, teriaknya, “Kau sendiri tidak cemas sama sekali?”

“Kalau kau sudah cemas begitu, untuk apa pula aku sendiri harus cemas?”

So Ing melenggong sejenak, ucapnya kemudian dengan gegetun, “Apabila orang mengira kau akan tertipu, kau justru tidak tertipu. Bilamana orang yakin kau takkan tertipu, tapi kau malah tertipu. Sungguh terkadang aku pun bingung, sukar untuk menerka bagaimana jalan pikiranmu yang sebenarnya.”

“Jalan pikiranku ialah supaya orang lain tak dapat menebaknya,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Jika apa yang hendak kukerjakan sudah dapat kau duga, lalu apa artinya lagi? Kan hidup ini tiada bedanya seperti mati?”

“Betul, bila kau mati, pasti banyak orang akan terkejut. Cuma sayang, waktu itu kau sendiri pun tidak mengetahuinya,” So Ing berseloroh.

“Belum tentu,” ujar Siau-hi-ji sambil menyengir, “Bisa jadi waktu itu aku akan mengintip dari dalam peti mati.”

*****

Waktu So Ing terjun ke dalam sumur, saat itu juga Thi Peng-koh jatuh pingsan. Selama beberapa hari terakhir ini dia benar-benar sangat menderita, jiwa raganya benar-benar tersiksa dan tidak tahan lagi mengalami pukulan apa pun.

Dalam keadaan sadar tak sadar ia seperti mendengar suara percakapan orang di dalam gua itu, tapi ia tak berani memastikannya, kini ia telah kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.

Semakin dingin angin pegunungan meniup tiada hentinya, sampai akhirnya angin yang mengusap tubuhnya itu serasa sayatan pisau, kulitnya yang halus itu seolah-olah merekah tertiup angin.

Tiba-tiba teringat olehnya dongeng yang pernah didengarnya waktu kecil, konon ada seorang gadis suci, lantaran tidak sudi dinodai atau diperkosa orang jahat, maka dengan nekat membunuh diri dengan cara menggigit putus pangkal lidahnya sendiri.

Sudah lama juga Thi Peng-koh ingin mati, cuma dalam keadaan demikian ingin mati pun tidak bisa. Kini tiba-tiba teringat ada cara mati semudah itu, seketika dia bersemangat dan ingin mencobanya.

Mati adalah jalan terakhir bagi orang yang putus asa, namun betapa pun juga jiwa seseorang tidaklah mudah dibuang begitu saja. Pada waktu keinginan matinya tidak terkabul, tekadnya lantas goyah. Maklum, seseorang yang mendekati ajalnya tentu akan teringat pada kejadian-kejadian di masa lampau yang biasanya tidak berani dipikirkannya.

Teringat olehnya waktu berada di Ih-hoa-kiong, pada masa hidupnya yang hampa dan kesepian itu, akan tetapi kini .... Meski ia berharap melewatkan sehari saja kehidupan seperti itu pun sukar terkabul lagi.

Terkenang pula olehnya ketika bersembunyi dua hari di dalam gua bersama Siau-hi-ji.

Kedua hari itu boleh dikatakan paling susah selama hidupnya, di dalam gua yang gelap gulita, tidak makan dan tidak minum, bahkan tiada harapan lagi untuk bisa keluar. Setiap saat, setiap detik selalu diintip maut.

Tapi meski jasmaninya mengalami siksa derita yang tak terperikan waktu itu, namun jiwanya terasa segar dan gembira, asalkan Siau-hi-ji memegang tangannya, maka segala penderitaan lantas berubah menjadi manisnya madu.

Sudah barang tentu, ia pun terkenang kepada Kang Giok-long.

Biarpun jahat dan menggemaskan, tapi Kang Giok-long juga ada saat-saat yang menyenangkan. Yang lebih-lebih sukar dilupakan adalah kemahirannya merayu, kata-katanya yang memikat, belaian dan rabaannya yang menggetarkan sukma ....

Adanya suka dan duka sebanyak itu menggeluti relung hatinya, tentulah tidak mudah baginya untuk mati.

Wajah Thi Peng-koh penuh bekas air mata dan tak dapat kering meski ditiup angin pegunungan sekian lama.

Dari jauh ia memandangi gua yang diterjuni So Ing itu, gumamnya dengan perasaan sedih, “Mengapa dia dapat mati dengan begitu mudah dan aku tidak? Mengapa aku tidak mempunyai tekad sekeras itu? Bukankah dia jauh lebih beralasan untuk hidup terus daripadaku?”

Perlahan-lahan Thi Peng-koh menjulurkan lidahnya, sekuatnya ia menggigit.

Namun antara mati dan hidup sesungguhnya tidak begitu sederhana sebagaimana yang dibayangkannya.

Ada setengah orang yang tidak ingin mati, tapi mendadak mati dengan mudah. Tapi ada sementara orang yang benar-benar ingin mati, terkadang malah tetap hidup secara aneh.

Meski di dunia ini setiap hari tidak sedikit orang yang mati, tapi yang mati itu sendiri kebanyakan justru tidak ingin mati, orang lain pun tidak menghendaki kematiannya. Sebaliknya orang yang ingin mati dan pantas mati justru tidak mati malah.

Ini benar-benar sesuatu yang ajaib, sesuatu yang sukar dijelaskan dan juga sesuatu yang menyedihkan.

Thi Peng-koh juga tidak mati meski dia ingin mati. Dia cuma pingsan saja. Waktu dia siuman kembali, pandangan pertama lantas dilihatnya topeng perunggu hijau yang menakutkan itu.

Tong-siansing alias Kiau-goat Kiongcu juga sedang menatapnya dengan tajam, sorot matanya yang dingin itu sungguh lebih menakutkan daripada topengnya yang beringas itu. Tapi yang lebih menakutkan lagi adalah ucapannya.

“Lakimu itu sudah pergi?” demikian Kiau-goat Kiongcu bertanya.

Peng-koh mengiakan sambil menunduk.

“Tadi dia tidak menolong kau?” kata Kiau-goat Kiongcu pula.

Ucapan ini sungguh seperti anak panah yang menembus jantung hati Thi Peng-koh. Meski selamanya ia tidak ingin mengungkit lagi kejadian ini, tapi ia pun tidak berani menjawabnya. Terpaksa ia menjawab dengan menahan air mata, “Dia ... dia tidak berani menolong aku.”

“Hm, kalau dia berani melarikan diri, mengapa dia tidak berani menolongmu?”

Akhirnya air mata Thi Peng-koh bercucuran.

“Tidak perlu kau menangis,” kata Kiau-goat Kiongcu, “Ini adalah hasil perbuatanmu sendiri. Sejak dulu-dulu seharusnya kau tahu tiada seorang lelaki pun berhati baik, mengapa kau mau tertipu olehnya?”

Mendadak Thi Peng-koh menjawab dengan suara keras, “Tidak semua lelaki berhati busuk, ada di antaranya meski aneh tindak tanduknya, tapi hatinya sebenarnya sangat baik dan bijaksana.”

“Siapa yang kau maksudkan?” tanya Kiau-goat.

“Kang Siau-hi,” jawab Peng-koh.

Sorot mata Kiau-goat Kiongcu yang dingin itu mendadak merah membara, bentaknya dengan bengis, “Memangnya yang kau sukai bukan Kang Giok-long melainkan Kang Siau-hi?”

“Kalau aku tidak menyukai dia, masa aku selamatkan dia dari sana tanpa menghiraukan akibatnya?”

“Plak”, kontan Kiau-goat Kiongcu menampar muka Thi Peng-koh, bentaknya dengan parau, “Kau tahu orang she Kang tiada satu pun yang baik, lebih-lebih Kang Siau-hi, dia sama seperti ayah-bundanya yang sudah mampus itu.”

“Aku cuma tahu dia baik hati, bajik menyenangkan ....”

“Berani kau singgung dia lagi satu kata, segera kubinasakan kau!” bentak Kiau-goat dengan gusar.

“Engkau boleh menyumbat mulutku agar tidak bisa bicara, tapi engkau tak dapat melarang aku memikirkan dia. Kini dia sudah mati, jika kau bunuh aku malah kebetulan bagiku, aku dapat menemuinya dengan segera di alam baka, hal ini pun tidak dapat kau cegah.”

Mendadak tubuh Kiau-goat Kiongcu bergetar. Rupanya dia teringat pada kejadian 20 tahun yang lalu, waktu Kang Hong dan Hoa Goat-loh menghadapi ajalnya. Apa yang diucapkan Hoa Goat-loh sebelum mati itu pun persis seperti apa yang dikatakan Thi Peng-koh sekarang.

Sudah tentu ia tidak tahu apa yang diucapkan Thi Peng-koh tidak lebih cuma ingin membikin marah padanya. Dengan sendirinya Thi Peng-koh tahu akan apa hukuman Ih-hoa-kiong bagi muridnya yang khianat, sejak larinya Hoa Goat-loh, yaitu ibu kandung Siau-hi-ji, hati Kiau-goat Kiongcu sudah berubah jauh lebih kejam dan ganas daripada siapa pun juga.

Yang diharapkan Thi Peng-koh hanyalah lekas mati saja, ia tidak gentar menerima akibatnya.

Yang lebih membuat murka Kiau-goat Kiongcu adalah Siau-hi-ji, anak muda itu ternyata sudah mati di tangan orang lain, jadi jerih payahnya selama belasan tahun ini hanya sia-sia belaka.

Meski sudah hampir 20 tahun, namun dendamnya tidak menjadi tawar terhanyut oleh lalunya waktu, sebaliknya dendamnya bertambah keras, semakin merasuk.

Maklumlah, selama 20 tahun ini apa yang pernah diucapkan Hoa Goat-loh serta sikap Kang Hong sebelum ajal masih tetap terang benderang laksana kobaran api yang senantiasa membakar sanubarinya.

Tekanan batin ini sungguh hampir membuatnya gila, tapi sedapatnya ia bertahan, ia tahu pada suatu hari kelak, kedua putra kembar Kang Hong itu pasti akan mengalami nasib tragis yang telah direkayasanya.

Entah sudah berapa kali dia mengkhayalkan adegan Hoa Bu-koat akan membunuh Siau-hi-ji, hanya bila dia membayangkan kejadian ini barulah jiwanya yang menderita itu rada berkurang.

Akan tetapi sekarang Siau-hi-ji telah mati di tangan orang lain, impian dan khayalan selama 20 tahun ini telah buyar dalam sekejap saja, pukulan ini sungguh berat dan tidak dapat ditahan oleh siapa pun juga. Seketika Kiau-goat Kiongcu merasa lemas lunglai dan hampir-hampir ambruk.

Meski Thi Peng-koh tidak dapat melihat perubahan perasaan Kiau-goat Kiongcu, tapi selama ini tak pernah dilihatnya sorot mata sang junjungan ini bisa berubah begini menakutkan.

Dilihatnya Kiau-goat Kiongcu bersandar di pohon dengan lemas, selang sejenak, matanya tampak berkaca-kaca, itulah air mata putus asa. Sungguh sukar dipercaya, Ih-hoa-kiongcu yang tiada bandingannya di dunia ini bisa mencucurkan air mata. Apakah sebabnya? Mimpi pun Thi Peng-koh tak pernah membayangkannya.

Lewat sejenak pula, dengan perlahan Kiau-goat Kiongcu bertanya, “Apakah benar Siau-hi-ji sudah mati?”

Thi Peng-koh mengangguk dan berkata, “Dia sudah mati, sungguh tak terduga engkau pun berduka baginya.”

“Ya, aku sangat berduka,” kata Kiau-goat Kiongcu. “Padahal, sekalipun semua orang di dunia ini mampus seluruhnya juga aku takkan berduka. Sekarang apa pun juga aku pasti akan menuntut batas baginya.”

Sorot mata Kiau-goat Kiongcu yang tajam itu tiba-tiba menatap Thi Peng-koh, tanpa terasa Peng-koh merinding, katanya, “Tapi ... tapi orang yang membunuhnya itu bukanlah aku.”

“Betul, bukan kau yang membunuhnya. Tapi kalau kau tidak membawanya lari, mana bisa dia terbunuh di tangan orang lain?”

“Ya, aku mengaku salah, boleh kau bunuh saja diriku,” ucap Peng-koh dengan parau.

“Bunuh kau? Bisa kubunuh kau begini saja?”

“Memangnya apa ... apa pula kehendakmu!” tanya Peng-koh dengan gemetar.

Dengan sekata demi sekata Kiau-goat berucap, “Aku menghendaki kau pun menderita selama 20 tahun. Selanjutnya, setiap hari kusayat dagingmu sepotong demi sepotong, sekarang juga akan kucungkil dulu biji matamu agar kau tidak dapat melihat apa pun, lalu kupotong lidahmu, supaya kau tak dapat bicara lagi.”

Thi Peng-koh tahu apa yang dikatakan Kiau-goat Kiongcu ini bukan cuma gertakan belaka, jika Ih-hoa-kiongcu sudah menyatakan akan membikin seseorang menderita 20 tahun, maka satu hari pun tak dapat ditawar.

Mendadak pada saat itu juga, seluruh lembah pegunungan ini berkumandang suara gelak tertawa orang. Lalu seorang berseru, “Hahahaha! Tak tersangka sedemikian hebat kepandaian Siau-hi-ji. Sesudah mati dia masih membuat Ih-hoa-kiongcu berduka cita baginya.”

Suara tertawa itu menggema dari berbagai penjuru, sampai-sampai Kiau-goat Kiongcu tidak dapat membedakan dari arah mana datangnya suara itu. Tapi dia lantas menenangkan diri, bentaknya, “Siapa itu berani sembarangan mengoceh di sini?” Meski tidak keras suaranya, tapi Lwekangnya sangat tinggi, ucapannya itu seketika berkumandang jauh dan terdengar dengan jelas.

Tapi orang itu masih tergelak-gelak, katanya, “Hahaha, masa suaraku tidak kau kenal lagi? Apakah kau sudah lupa waktu aku berak kan pernah kau tunggu di luar kakus, masa kau telah melupakan bau sedap itu?”

Bergetar tubuh Kiau-goat Kiongcu, serunya, “Siau-hi-ji? Jadi kau Siau-hi-ji? Kau tidak mati?”

“Orang macan diriku ini masa bisa mati begitu saja?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Kata-kata ini membuat Thi Peng-koh terkejut dan juga kegirangan, walaupun begitu toh kejutnya tidak sehebat Kiau-goat Kiongcu, saking terharunya sampai dia tidak bersuara. Sesudah menarik napas panjang-panjang beberapa kali, akhirnya ia tanya dengan suara parau, “Kau berada di mana?”

“Tepat berada di depanmu, apakah kau tidak melihatku?”

Sorot mata Kiau-goat mengerling, serunya pula, “Apakah kau berada di perut bukit ini?”

“Betul,” jawab Siau-hi-ji, setelah terbahak-bahak ia menyambung pula, “Baru sekarang kutahu Tong-siansing yang serba misterius itu kiranya ialah Ih-hoa-kiongcu, di seluruh dunia ini mungkin tiada orang lain yang lebih beruntung daripadaku.”

Kembali Kiau-goat dibuat gemas tak terkatakan sehingga tubuhnya gemetar pula.

“Sekarang janjiku dengan Hoa Bu-koat sudah tiba waktunya,” demikian Siau-hi-ji berseru pula. “Nah, tentunya kau tidak menghendaki aku mati begini saja bukan?”

“Ya, apa kehendakmu, coba katakan?” tanya Kiau-goat Kiongcu.

“Yang jelas, nona Thi itu ....”

“Baik, akan kulepaskan dia, takkan kuganggu seujung rambutnya pun,” kata Kiau-goat dengan mendongkol.

“Tapi meski telah kau bebaskan dia, setiap waktu kau masih dapat mencabut nyawanya?”

“Habis apa kehendakmu?” tanya Kiau-goat.

“Bila kau membunuhnya setelah aku mati, tentunya aku pun tak berdaya, tapi selama aku masih hidup, aku masih ingin melihat dia hidup senang dan bahagia.”

“Sesungguhnya apa keinginanmu?”

“Gua ini meski sangat dalam, tapi di bawah sini penuh air, siapa pun kalau terjun ke sini pasti takkan mati terbanting.”

Belum habis ucapan Siau-hi-ji, segera Kiau-goat mengangkat Thi Peng-koh terus dilemparkan ke sana.

Dia hanya melempar seenaknya, seketika tubuh Peng-koh terus terlempar belasan tombak jauhnya. Anehnya, dengan tepat dan persis terlempar masuk ke lubang gua itu, tampaknya seperti anak kecil main lempar keranjang saja.

Selang sejenak, terdengar suara “plung” yang keras, suara benda berat tercebur ke dalam air.

Lalu Siau-hi-ji bergelak dan berseru pula, “Bagus, bagus, tak tersangka Ih-hoa-kiongcu yang malang melintang ditakuti orang ternyata juga seorang tolol. Setelah kau serahkan dia padaku, bukankah aku tidak perlu lagi tunduk pada kehendakmu?”

Gemas dan gusar Kiau-goat Kiongcu, saking geregetan jadi tak dapat bersuara.

Dengan tertawa Siau-hi-ji menyambung pula, “Tapi kau pun jangan khawatir, hidupku ini terasa sangat senang, aku tidak ingin mati, pasti akan kuberi kesempatan padamu untuk menolong aku keluar dari sini.”

Sungguh dunia terbalik, sungguh lagaknya seperti memberi pahala kepada orang lain. Di dunia ini mungkin tiada kedua lagi yang serupa dia dan mungkin juga takkan terjadi peristiwa kedua seperti ini.

Dengan menahan rasa gusar terpaksa Kiau-goat Kiongcu bertanya, “Apakah sekarang kau belum mau keluar?”

“Sekarang Hoa Bu-koat juga tidak berada di sini, andaikan aku keluar, lalu apa gunanya? Bila melihat aku kau lantas marah, aku pun kikuk jika melihatmu. Nah, kan lebih baik tetap kutinggal di sini saja.”

“Tapi janji tiga bulan kini sudah tiba waktunya,” kata Kiau-goat.

“Benar waktunya sudah tiba menurut perjanjian, maka lekas kau pergi mencari Hoa Bu-koat dan mengajaknya ke sini, akan kutunggu di sini?”

“Kau ... kau benar-benar menunggu di sini?”

“Gua ini mirip sebuah guci arak raksasa, sekalipun kau yang jatuh ke sini juga jangan harap bisa keluar lagi. Masa kau khawatir aku melarikan diri?” Siau-hi-ji bergelak tertawa, lalu menyambung pula, “Apalagi, biarpun kau sangsi juga tak berdaya. Saat ini akulah yang kuasa dan menentukan persoalannya, jika aku tak mau keluar, sekali pun muncul sepuluh orang Ih-hoa-kiongcu juga tak mampu mengusik diriku?”

Secara akal sehat, seorang kalau sudah terjatuh ke gua sumur yang dalamnya tak terkira dan tak dapat lari keluar, maka nasibnya boleh dikatakan konyol, sial habis-habisan.

Siapa tahu hal apa pun yang konyol bila sudah berada di tangan Siau-hi-ji, maka kekonyolan itu akan segera berubah, bukan saja dia tidak merasa konyol, sebaliknya kejadian ini malah dapat diperalatnya untuk memeras Ih-hoa-kiongcu.

Dalam keadaan demikian, Ih-hoa-kiongcu benar-benar tak berdaya, mati kutu. Selang sejenak barulah dia bertanya, “Apakah Hoa Bu-koat juga berada di sekitar sini?”

“Betul, dia juga berada di sekitar sini,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa, “Cuma di pegunungan ini banyak sekali liang tikusnya, dalam waktu singkat kukira kau tak dapat menemukan dia. Jika waktu pencarianmu terlalu lama, bisa jadi aku akan mati kelaparan di sini. Sebab itulah, paling baik kalau kau berusaha dulu membawakan makanan bagiku. Selera perutku kan sudah kau kenal, bukan?”

“Ya, kutahu,” kata Kiau-goat Kiongcu. Saking geregetan, “krak”, mendadak tangannya menabas ke samping, kontan sebatang pohon menjadi sasaran pelampiasan dongkolnya.

Sementara itu pasang naik air dalam gua semakin tinggi, permukaan batu karang yang menongol di atas air tinggal sebesar meja bundar saja. Siau-hi-ji, Oh Yok-su, So Ing dan Thi Peng-koh sama berjubel di atas batu.

Thi Peng-koh basah kuyup dan menggigil kedinginan. Sedapatnya dia ingin membungkus tubuhnya yang bugil itu dengan baju panjang yang basah itu, tapi baju bekas milik Oh Yok-su yang tipis itu kini telah basah dan lengket di kulit, jadinya seperti tembus pandang saja.

Meski dia tidak ingin duduk di sebelah Oh Yok-su, tapi So Ing seperti tidak sengaja memisahkan dia dari Siau-hi-ji, terpaksa dia mengkeretkan tubuhnya seringkas-ringkasnya.

Untung sejauh itu Oh Yok-su tetap duduk bersimpuh dengan sopan tanpa sembarangan bergerak. Akan tetapi, tidak lama kemudian, terdengarlah jantung Oh Yok-su mulai berdetak-detak keras.

Jika jantung seseorang tidak berdetak keras mana kala di sebelahnya duduk seorang gadis cantik lagi menggiurkan, maka dia pasti bukan lelaki atau orang yang mempunyai penyakit tertentu.

Setelah pohon di luar sana ditebas roboh oleh pukulan Kiau-goat Kiongcu, tawa Siau-hi-ji bertambah riang. Tapi kecuali dia, orang lain sama tertekan perasaannya dan tiada yang dapat tertawa.

Jantung Oh Yok-su berdebar semakin keras, Thi Peng-koh semakin menunduk dengan menggigit bibir. Tiba-tiba ia melihat paha sendiri menongol di luar baju yang basah itu. Kulitnya yang putih mulus itu masih ada butiran air serupa embun di atas bunga teratai putih.

Biji mata Oh Yok-su tampak melotot seakan-akan melompat keluar dari rongga matanya. Tentu saja Thi Peng-koh tambah risi, tidak cuma mukanya saja merah, sampai telinganya pun terasa panas. Sungguh ia ingin menceburkan Oh Yok-su ke kolam saking dongkolnya. Ia berusaha menarik ujung baju untuk menutupi paha yang kelihatan itu. Tapi ditarik sini, di sana menongol lagi.

So Ing mengikik geli, katanya kemudian, “Bagaimana kalau lelaki berdiri saja?”

Tanpa tawar Oh Yok-su terus berbangkit. Tapi entah sebab apa, dia tidak berani berdiri tegak, dengan setengah berjongkok ia berlagak garuk-garuk kakinya.

So Ing meraba tangan Thi Peng-koh, katanya dengan tersenyum, “Semua lelaki bermata keranjang. Asalkan kau anggap mereka orang mampus saja kan beres.”

Peng-koh menunduk, jawabnya, “Terima kasih ....” tiba-tiba ia angkat kepala dan berkata pula, “Apa yang kukatakan di luar tadi seluruhnya cuma karangan belaka, jangan ... jangan engkau pikirkan.”

“Apa sih yang kau katakan tadi?” tanya So Ing.

Setelah melirik Siau-hi-ji sekejap baru Peng-koh menjawab dengan tergegap, “Kubilang kepada Kiongcu bahwa aku ... aku menyukai dia, padahal maksudnya hanya untuk membikin marah Kiongcu saja, yang benar ....”

“Sudahlah, tidak perlu lagi penjelasanmu,” ujar So Ing dengan tertawa. “Aku kan bukan botol cuka. Apalagi, orang yang menyukai Siau-hi-ji juga tidak cuma kau saja, seumpama kau memang menyukai dia juga bukan soal, malahan aku merasa bangga.”

Meski di mulut ia bilang “bukan soal”, tapi rasa kecut ucapannya itu dapat tercium oleh siapa pun juga.

Siau-hi-ji berkedip-kedip dan tertawa, katanya, “Kau suka padaku, kan aku juga tidak buruk padamu. Coba, kalau bukan lantaran dirimu, sedikit banyak sekarang aku pasti dapat mengorek rahasianya Ih-hoa-kiongcu.”

Muka Thi Peng-koh menjadi merah, ia menunduk lagi.

So Ing merasa tidak tega, ia coba menyimpangkan pembicaraan, “Ih-hoa-kiongcu ada rahasia apa?”

“Kuingin tahu sesungguhnya ada dendam apa antara dia dengan keluarga kami,” tutur Siau-hi-ji. “Bahwa dia sedemikian benci pada orang she Kang, tapi mengapa dia tidak mau turun tangan sendiri, malahan ia sengaja menyamar sebagai Tong-siansing segala dan menyuruh Hoa Bu-koat membunuh diriku. Bukan saja dia sengaja mengelabui aku, bahkan juga main sembunyi-sembunyi terhadap muridnya sendiri. Sampai saat ini mungkin sama sekali Hoa Bu-koat belum lagi mengetahui Tong-siansing adalah samaran gurunya.”

So Ing berpikir sejenak, ucapnya kemudian, “Ya, persoalan ini memang sangat aneh, bahkan tidak masuk akal.”

Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya, “Sebab musabab persoalan ini hanya diketahui Ih-hoa-kiongcu kakak beradik saja. Tampaknya, selama aku masih hidup, mereka tidak mau menjelaskannya.”

“Sebab itulah, bila tadi kau tidak bersuara sehingga dia mengira kau benar-benar sudah mati, maka bukan mustahil dia akan memecahkan rahasia ini, begitu maksudmu?”

“Betul, tapi bagaimana aku sampai hati membiarkan dia mencolok biji mata nona Thi?” ucap Siau-hi-ji.

“Nona Thi,” kata So Ing dengan tertawa, “Jangan kau percaya pada ocehannya, ucapannya ini hanya sengaja membikin marah Ih-hoa-kiongcu. Padahal kutahu dalam hatimu cuma ada Kang Giok-long dan dalam hatinya juga ....”

Dia sengaja melirik Siau-hi-ji sekejap, habis itu lantas berhenti berucap.

“Hahaha, memangnya di dalam hatiku cuma ada kau? Wah aku bisa mati dongkol oleh ucapanmu ini,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jika kau sangat marah, mengapa tertawamu begini riang. Semula kukira kau benar-benar tertipu oleh Kang Giok-long, baru sekarang kutahu kau sengaja ditipu olehnya.”

“Aku sengaja ditipu olehnya?” Siau-hi-ji menegas dengan berkedip-kedip. “Memangnya kenapa aku sengaja membiarkan diriku ditipu orang?”

“Bisa jadi, kau ingin Ih-hoa-kiongcu mengira kau telah mati, maka sengaja membiarkan dirimu didorong masuk ke sini oleh Kang Giok-long. Mungkin pula sebelumnya kau tahu di dalam gua ini ada airnya dan takkan mati terbanting.”

“Dari mana kutahu di dalam gua ini ada airnya?”

“Waktu itu matahari belum terbenam, bisa jadi cahaya matahari telah menyorot masuk ke sini dan memantulkan bayangan air kolam.”

“Seumpama betul demikian kan aku harus tahu berapa dalamnya sumur ini, sekali jatuh ke sini tak bisa keluar lagi.”

“Dengan sendirinya kau punya akal, malahan cukup banyak jalannya, tidak cuma satu saja.”

“Haha, tidakkah teramat tinggi kau menilai kepintaranku?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Kau memang tidak bodoh,” kata So Ing.

Mendengar sampai di sini, agaknya Oh Yok-su jadi lupa pada si cantik yang berada di sampingnya, ia tanya Siau-hi-ji, “Hi-heng, apakah betul engkau sengaja membiarkan dirimu didorong ke sini oleh Kang Giok-long dan benar-benar ada akal untuk keluar?”

“Bisa jadi benar, mungkin pula tidak benar,” jawab Siau-hi-ji seakan-akan main teka-teki. “Tampaknya nona So ini seperti cacing pita di dalam perutku, kenapa tidak kau tanya dia saja. Mungkin dia lebih tahu isi hatiku daripada diriku sendiri.”

So Ing tertawa, katanya, “Di dalam gua sini dapat mendengar dengan jelas suara di luar, maka siapa-siapa yang lalu di luar sana tentu akan diketahui olehnya. Nah, dia kan tidak bisu, tentunya dia dapat berteriak minta tolong.”

Oh Yok-su melenggong sejenak, katanya kemudian, “Tapi ... tapi waktu itu dia juga belum tahu kalau gua ini bisa mengumandangkan suara.”

“Mungkin kau tidak tahu bahwa dia dibesarkan di lembah pegunungan, tentu situasi pegunungan dipahaminya dengan baik,” tutur So Ing.

“O, jika demikian, rupanya pengetahuan Cayhe yang terlalu cetek,” kata Oh Yok-su gegetun.

“Namun cara ini pun ada kelemahannya,” kata So Ing pula.

“Kelemahannya apa?” tanya Oh Yok-su.

“Lembah pegunungan ini sangat terpencil, apabila tiada orang lalu di sini, bukankah dia akan mati terkurung di sini? Apalagi kalau kebetulan ada orang lewat di sini, tapi bukan kawannya melainkan musuhnya, lalu apakah dia berani berteriak minta tolong?” setelah tertawa, lalu So Ing menyambung pula, “Kau tahu, musuhnya kan jauh lebih banyak daripada kawannya?”

“Betul juga, bila orang yang lalu di sini semuanya ialah musuhnya, lalu bagaimana?” Oh Yok-su mengulang pertanyaan ini sambil garuk-garuk kepala.

“Makanya dia masih ada jalan kedua,” tukas So Ing.

“Jalan kedua?” Oh Yok-su menegas dengan terbelalak. “Jalan pertama saja sukar dipecahkan, jika ada jalan kedua yang dapat ditempuhnya, sungguh Cayhe tak percaya.”

“Coba jawab dulu, mengapa di perut gunung ini ada air?” tanya So Ing.

Oh Yok-su terdiam dan berpikir sambil berkerut kening, jawabnya kemudian dengan ragu-ragu, “Bisa jadi ... bisa jadi lantaran air hujan merembes masuk ke sini.”

“Gua ini geronggang sebesar ini, sedangkan lubang gua di atas begitu kecil, andaikan air dapat masuk ke sini juga takkan tertimbun sebanyak ini, betul tidak?”

Oh Yok-su membenarkan sambil mengangguk.

“Apalagi, air di sini jelas pasang naik terus, setelah bertahun-tahun bukankah gua ini akan tergenang seluruhnya?”

“Betul, jika air pasang naik begini terus-menerus, tidak sampai sebulan juga gua ini akan terbenam,” seru Oh Yok-su, “Tapi sekarang ....”

“Sekarang air pasang ini belum ada sepesepuluhnya tinggi gua ini, apa sebabnya?” sela So Ing.

“Mungkin ... mungkin sebelumnya di sini tidak ada air, baru dua-tiga hari ini keluar airnya.”

“Jika semula di sini tidak ada air, mengapa batu kuning ini sedemikian bersih, masa tanpa kena air bisa berlumut?”

“Betul juga,” ucap Oh Yok-su dengan tertawa. “Jika di atas ada lubang gua, dengan sendirinya ada debu pasir yang tertiup masuk ke sini, setelah bertahun-tahun, seharusnya di sini penuh tertimbun debu kotoran.”

“Nah, kan sederhana jadinya persoalan ini,” ujar So Ing. “Sebenarnya air di sini masih terus pasang naik, tapi tidak lama kemudian akan surut pula, jadi air pasang kadang naik dan kadang surut, dengan sendirinya debu kotoran yang tertimbun di sini akan tercuci bersih.”

“Tapi ... tapi air di dalam gua ini mengapa bisa pasang naik dan surut? Dari mana datangnya pula air ini” ucap Oh Yok-su.

“Jangan kau lupa, pegunungan ini terletak di muara Tiangkang (sungai Panjang atau Yangzekiang), air di gua ini tentunya juga air sungai. Lantaran air Tiangkang setiap hari pasang naik turun pada waktu tertentu, maka waktu pasang naik air di sini juga ikut naik, waktu pasang turun, air di sini juga lantas surut.”

Oh Yok-su termenung dengan mata melotot, ucapnya kemudian sambil menyengir, “Memang betul, teori ini sekarang pun dapat kupahami.”

“Jika kau dapat memahami persoalan ini, tentunya kau pun dapat memahami persoalan kedua,” kata So Ing.

“Wah, Cayhe ... mana ....” Oh Yok-su jadi ragu-ragu.

“Kalau air sungai dapat mengalir ke sini, maka di tempat ini pasti ada jalan keluar yang menembus ke Tiangkang, asalkan nanti air menyurut, tentu jalan keluar itu akan dapat ditemukan ....” So Ing tersenyum, lalu menyambung pula, “Teori ini pun sangat sederhana, seharusnya kau pun dapat memikirkannya, betul tidak?”

Oh Yok-su termangu-mangu sejenak, katanya kemudian, “Sebenarnya Cayhe bukan orang bodoh, tapi kalau dibandingkan kalian berdua, Cayhe menjadi tolol mendadak.”

So Ing tersenyum, lalu ia berpaling ke arah Siau-hi ji dan bertanya, “Nah, betul tidak apa yang kukatakan?”

“Hm, jangan sok pintar,” jengek Siau-hi-ji, “Perempuan yang benar-benar pintar tentu tahu bahwa apa yang diketahuinya betapa pun tetap kalah sedikit daripada lelaki. Nah, penyakitmu justru terlalu banyak pengetahuan, terhadap perempuan yang terlalu pintar begini, kebanyakan lelaki tidak berani mendekatinya.”

“Tapi kau pun bukan lelaki kebanyakan, orang seperti kau ini hanya ada satu di dunia ....” jawab So Ing. “Apalagi, jelas kau pun paham benar apa yang kukatakan tadi, bahkan apa yang kupahami tidak lebih banyak daripadamu.”

Siau-hi-ji terbahak-bahak, setelah tertawa, ia menghela napas, katanya, “Wah, naga-naganya, lambat atau cepat, pada suatu hari pasti aku akan terpikat oleh budak ini.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari atas jatuh pula sesuatu barang. Oh Yok-su dan Thi Peng-koh sama terkejut, tapi Siau-hi-ji lantas berseru dengan tertawa, “Haha, Ih-hoa-kiongcu ternyata sangat penurut, dia telah mengantarkan makan malam bagi kita.”

Memang betul, barang yang jatuh dari atas itu adalah makanan yang diminta Siau-hi-ji tadi.

Antaran Ih-hoa-kiongcu ini tidak sedikit, satu pak besar. Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka lantas makan sekenyangnya.

Sambil makan Siau-hi-ji juga memperhatikan air kolam yang mulai menyurut. Belum lagi air itu habis menyurut, segera Oh Yok-su melompat ke bawah untuk mencari jalan keluarnya. Sebaliknya Siau-hi-ji terus merebahkan diri di atas batu, ia benar-benar tidur dengan nyenyaknya.

Oh Yok-su telah menyalakan geretan api, cahaya yang berkelip-kelip menyinari wajah Siau-hi-ji, anak muda ini pulas seperti anak kecil.

Perlahan So Ing membelai rambut Siau-hi-ji yang hitam gilap itu, ucapnya dengan rawan, “Dia benar-benar teramat lelah, selama beberapa hari ini memang banyak sekali pengalaman pahit yang dirasakannya.” Dia berpaling dan tersenyum kepada Thi Peng-koh, katanya, “Jika orang lain yang mengalami pukulan berat ini, andaikan tidak patah semangat dan putus asa, sedikitnya juga akan berkeluh-kesah, tapi coba kau lihat, dia sama sekali tidak peduli dan dapat tidur dengan nyenyaknya. Lelaki demikian, apakah salah kalau aku menyukainya?”

Peng-koh tersenyum, air matanya hampir menetes saking terharunya. So Ing berbangga demi lelaki yang dicintainya, akan tetapi bagaimana dengan dirinya? Apa yang diterimanya dari Kang Giok-long hanya hina dan dusta serta kemalangan belaka.

Apakah ini salahnya? Mengapa harus terjadi demikian? Dunia ini mengapa tidak adil?

Peng-koh berpaling ke sana, ia tidak ingin orang lain melihat air matanya, ia berusaha tertawa dan menjawab, “Ya, dia sangat baik, engkau juga baik, kalian adalah pasangan yang setimpal.”

“Terima kasih ....” ucap So Ing dengan senang. Selang sejenak, tiba-tiba ia tanya pula, “Kau kenal Thi Sim-lan tidak?”

“Kutahu dia juga sangat baik terhadap Siau-hi-ji, namun ....”

“Namun selain Siau-hi-ji dia juga masih menyukai orang lain,” sela So Ing. “Sebaliknya bagiku, selain Siau-hi-ji aku tak dapat menyukai lagi siapa pun juga, sebab itulah tak dapat kubiarkan dia merampas Siau-hi-ji dariku, dengan cara apa pun pasti akan ku ....” dia tertawa dan tidak meneruskan, tapi berganti ucapan, “Kalau dia dapat menyukai lagi lelaki lain, sepantasnya dia tidak boleh berebut Siau-hi-ji denganku, demikian barulah adil, betul tidak katamu?”

Thi Peng-koh tidak menjawabnya, tapi membatin dalam hati, “Untuk apa kau berkata demikian padaku? Memangnya kau masih khawatir Siau-hi-ji akan kurebut darimu? Seumpama aku memang menyukai dia, kini juga sudah terlambat.”

Pada saat itulah mendadak terdengar Oh Yok-su berteriak girang di bawah, “Aha, di sini, inilah jalannya, sudah kutemukan!”

Memang benar, di perut gunung ini ada sebuah lubang tembus ke sungai Tiangkang, tampaknya terowongan di bawah tanah ini berliku-liku tapi cukup untuk dilalui tubuh seorang yang tidak terlalu gemuk.

Cepat So Ing membangunkan Siau-hi-ji, serunya dengan tertawa, “Lekas bangun. Jalan keluarnya sudah ditemukan.”

Tapi Siau-hi-ji hanya menggeliat kemalas-malasan dan membalik tubuh, lalu pulas pula.

“He, he, bangunlah, kalau sudah keluar nanti boleh kau tidur sepuasmu, sekarang kita harus pergi dari sini!” So Ing menggoyang-goyang pula tubuh Siau-hi-ji.

Anak muda itu kucek-kucek matanya, katanya, “Kalian mau pergi boleh silakan, aku ingin tidur lagi di sini.”

“Kau tidak pergi?” So Ing menegas dengan melengak.

“Untuk apa pergi? Tidakkah kau dengar bahwa aku akan menunggu Hoa Bu-koat di sini?”

“Kau ... benar-benar menunggu dia?”

“Sudah tentu benar. Mana boleh aku mengingkari janji? Janji ini sudah kami tetapkan tiga bulan yang lalu.”

“Tapi ... tapi kalau dia datang, tentu Ih-hoa-kiongcu akan memaksa dia berkelahi denganmu.”

“Istilah berkelahi tidak tepat, pertarungan tokoh kelas tinggi seperti kami ini harus disebut ‘pi-bu’ (bertanding silat).”

“Tapi kalian kan bukan ‘pi-bu’ melainkan hendak mengadu jiwa,” ucap So Ing dengan khawatir.

Siau-hi-ji membalik tubuh pula dan menutupi matanya dengan tangan, katanya, “Terserah, jika kau berkeras mau bilang mengadu jiwa juga masa bodoh. Selamanya aku tidak suka ribut mulut dengan perempuan.”

So Ing menarik balik lagi tubuh anak muda itu dan berseru dengan mendongkol, “Tapi kau ... kau bukan tandingannya, kutahu betapa saktinya Ih-hoa-ciap-giok itu ....”

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa, ucapnya dengan tak acuh, “Tapi tahukah kau bahwa di kolong langit ini hanya aku saja seorang yang tahu cara bagaimana mematahkan ilmu silat Ih-hoa-kiong?”

“Kau ... kau benar tahu?”

“Dengan sendirinya ada orang yang mengajarkan padaku,” jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. “Rahasia ilmu silat Ih-hoa-kiong memang tiada orang lain yang tahu terlebih jelas daripada dia.”

“Siapa dia?” tanya So Ing.

“Tong-siansing?” jawab Siau-hi-ji.

“Tong-siansing? Bukankah Tong-siansing sama dengan Ih-hoa-kiongcu?”

“Ehm,” sahut Siau-hi-ji.

“Mengapa Ih-hoa-kiongcu mau mengajarkan cara mematahkan ilmu silat kebanggaannya sendiri padamu? Memangnya dia sudah gila?”

Siau-hi-ji menguap ngantuk, ucapnya dengan kemalas-malasan, “Mungkin dia sudah gila, bisa jadi pula ada alasan lain. Jalan pikiran perempuan memang sukar dipahami, maka aku pun malas untuk menerkanya.”

So Ing tercengang sejenak, katanya kemudian, “Tapi seumpama kau dapat mematahkan ilmu silat Ih-hoa-kiong tetap kau tak dapat membunuh Hoa Bu-koat, begitu bukan?”

“Dapat kubunuh dia atau tidak, apa sangkut-pautnya dengan kau?” ujar Siau-hi-ji.

“Sudah tentu ada sangkut-pautnya,” jawab So Ing. “Kau tidak membunuh dia berarti dia akan membunuhmu, jika kau tinggal di sini berarti ....”

“Sudahlah, siapa di antara kalian mau pergi boleh silakan pergi, yang jelas aku tetap menunggu di sini,” Siau-hi-ji meraung sambil melompat bangun.

Sejak tadi Oh Yok-su sudah siap berdiri di tepi lorong yang menembus keluar sana, yang diharap-harapkannya adalah sekeluarnya dari gua ini akan diperoleh pula obat penawar dari Siau-hi-ji. Kini mendengar anak muda itu tidak mau keluar, bahkan marah-marah dan mengusir mereka, tentu saja ia ikut lemas dan cemas. Sambil memegangi dinding kolam dia memandang Siau-hi-ji dengan napas terengah-engah, tiba-tiba ia berseru dengan suara serak, “Wah, Cayhe ... rasanya tidak ... tidak tahan lagi.”

“Apamu yang tidak tahan?” tanya So Ing.

Oh Yok-su memegangi tenggorokan sendiri, katanya, “Mungkin ... mungkin racun sudah mulai bekerja.”

“Kau pun keracunan?” So Ing menegas, “Racun apa yang kau minum?”

Sambil melirik Siau-hi-ji sekejap, Oh Yok-su menjawab, “Cayhe sendiri tidak tahu.”

“O, dia yang meracuni kau?” tanya So Ing.

Berulang-ulang Oh Yok-su mengangguk.

“Bagaimana rasanya racun itu?” tanya So Ing pula.

“Rada asin, lunak dan ... dan rada-rada bau,” tutur Oh Yok-su dengan menyengir.

Tiba-tiba So Ing mengikik tawa, ucapnya, “Baiklah, jika kau ingin pergi, silakan pergi saja, jangan khawatir.”

“Tapi ... tapi obat penawar ....”

“Tidak perlu obat penawar segala, dia cuma menakut-nakuti kau saja,” kata So Ing, “Yang kau rasakan itu pasti bukan racun, barusan kau rasakan racun sudah mulai bekerja, itu hanya sugesti, kukira pikiranmu sendiri saja yang mengacau.”

“Habis apa kalau bukan racun?” tanya Oh Yok-su.

“Aku pun tidak tahu apa, bisa jadi cuma segelintir upil yang dia korek dari hidungnya,” kata So Ing dengan tertawa.

Muka Oh Yok-su menjadi merah, ia pandang Siau-hi-ji dan bertanya, “Ap ... apakah betul begitu?”

Siau-hi-ji menghela napas gegetun, jawabnya, “Kan sudah kukatakan sejak tadi bahwa budak ini adalah cacing pita dalam perutku, masa kau lupa?”

Muka Oh Yok-su sebentar merah sebentar pucat, mendadak ia membalik tubuh, seperti anjing geladak yang mendadak digebuk orang, tanpa omong lagi terus ngacir menerobos terowongan yang ditemukannya itu.

Selama hidup ini dia berharap jangan lagi bertemu dengan Siau-hi-ji, dia lebih suka kepergok seratus setan iblis daripada bertemu dengan anak muda itu.

Pandangan So Ing lantas beralih pada diri Thi Peng-koh, tanyanya, “Apa kau tidak ingin pergi?”

Peng-koh menunduk bingung karena tidak tahu apa yang harus diucapkan.

Dia maklum, apabila dirinya tetap tinggal di sini, tentu So Ing akan sangsi dan mengira dia merasa berat meninggalkan Siau-hi-ji. Akan tetapi kalau pergi, lalu mesti pergi ke mana? Dunia seluas ini seolah-olah tiada tempat bernaung baginya.

“Apakah kau tidak ingin menemui Kang Giok-long?” tanya So Ing.

“Aku ... aku ....” sukar bagi Peng-koh untuk menjawabnya. Sebenarnya dia mengira dirinya pasti akan menjawab dengan tegas tidak mau bertemu lagi dengan pemuda tak berbudi itu, tapi entah mengapa, kata-kata itu sukar diucapkannya.

Bila teringat kepada macam-macam tindak tanduk Kang Giok-long yang menggemaskan tapi juga menyenangkan, mana bisa dia dapat putus dengan anak muda itu?

So Ing dapat meraba hatinya, dengan tersenyum ia berkata pula, “Kutahu kau pasti ingin menemuinya, sebab, seumpama kau tidak lagi menyukai dia, masa kau tidak ingin menuntut balas padanya?”

“Tapi ... tapi aku tidak tahu cara bagaimana harus menuntut balas,” kata Peng-koh dengan menghela napas. Kata-kata ini mestinya tidak ingin diucapkannya, tapi entah mengapa, akhirnya tercetus juga dari mulutnya.

“Aku mempunyai akal,” kata So Ing.

“Akal apa?” tanya Peng-koh.

“Tahukah sebab apa sekarang kau merasa susah? Soalnya kau merasa dia telah meninggalkanmu, kau merasa dirimu sama sekali tidak diperhatikan olehnya, makanya hatimu remuk redam, betul tidak?”

Peng-koh menunduk sedih dan tidak menjawab, sebab apa yang dikatakan So Ing itu memang kena benar di lubuk hatinya.

“Nah, jika ingin menuntut balas,” demikian kata So Ing pula, “Maka kau harus membikin dia merasa kau sama sekali tidak memikirkan dia, jika sudah begini, kujamin dia pasti akan mengesot di bawah kakimu dan goyang-goyang ekor untuk memohon belas kasihan.”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes