Wednesday, May 12, 2010

bgp1_part3

Dipandang dari jauh, baik pagi maupun siang atau petang, tentu saja sekitar sini kelihatan diliputi kabut dengan air yang berhamburan dan menjadikan pemandangan yang indah. Inilah pemandangan indah ciptaan alam dan tidak mungkin dibuat oleh tangan manusia.

Tapi pada saat itu juga, di atas batu raksasa itu terdapat dua perempuan dengan tubuh yang hampir telanjang bulat. Hamburan air terjun itu menggerujuki badan mereka, tenaga jatuhnya air itu jelas sangat keras.

Tampaknya kaki mereka yang panjang putih itu telah mengejang karena siraman air terjun itu, rambut mereka pun kusut masai.

Sampai di sini Siau-hi-ji jadi melenggong. Pemandangan yang mengerikan ini penuh daya tarik yang kotor pula dan cukup membuat wajah setiap lelaki yang memandangnya akan merah, hati pun berdebar-debar dan sukar menguasai perasaannya.

“Perbuatan siapakah ini? Sungguh gila orang “ini!” demikian Siau-hi-ji bergumam sendiri.

Didengarnya kedua perempuan itu sedang berkeluh kesah, agaknya mereka pun tahu ada orang datang, segera mereka menjerit dengan suara gemetar, “To ... tolong ....”

“Apakah kalian tak dapat bergerak?” seru Siau-hi-ji dari kejauhan.

“Tolong ... tolonglah kami ....” demikian perempuan itu memohon pula.

“Siapa yang memperlakukan kalian cara begini? Di mana dia?” tanya Siau-hi-ji.

Perempuan itu seperti sedang bicara, tapi suaranya sangat lemah, sama sekali tak terdengar oleh Siau-hi-ji. Maklum, batu di mana Siau-hi-ji berdiri masih berjarak dua tiga tombak jauhnya dari mereka.

Jarak dua tiga tombak sebenarnya bukan soal bagi Siau-hi-ji, cukup sekali lompat saja dapat dicapainya.

Setiap lelaki yang memiliki Kungfu seperti Siau-hi-ji pasti akan melayang ke sana bila menyaksikan keadaan kedua perempuan itu. Tak peduli lelaki ini orang baik atau jahat pasti takkan tinggal diam. Bilamana lelaki ini orang baik tentu tanpa pikirkan risiko sendiri akan melompat ke sana untuk menolong kedua perempuan itu. Apabila lelaki ini orang jahat, tentu ia pun tidak tahan oleh pemandangan yang menarik itu, tentu dia akan melompat ke sana untuk mencari keuntungan atas diri kedua perempuan itu.

Andaikan lelaki ini adalah seorang yang cuma mementingkan diri sendiri, atau lelaki ini sudah kakek-kakek yang loyo dan sama sekali tidak punya hasrat lagi terhadap perempuan, paling-paling ia pun akan tinggal pergi saja.

Tapi sekarang Siau-hi-ji justru tidak mau menolong orang dan juga tidak mau tinggal pergi. Ia malahan terus duduk di atas batu dan memandang ke sana dengan terbelalak.

Perbuatannya ini benar-benar luar biasa dan di luar akal sehat, selain dia mungkin di dunia ini tiada orang kedua lagi yang dapat bersikap demikian.

Kedua perempuan bugil yang berada di atas batu raksasa itu dengan sendirinya ialah Pek-hujin dan Thi Peng-koh.

Melihat tindakan Siau-hi-ji itu, Pek-hujin jadi tercengang juga.

Padahal setiap muslihat dan perangkap yang telah diaturnya boleh dikatakan sangat rapi, aneh, lain daripada yang lain, sampai-sampai sukar untuk dibayangkan. Apa yang telah dirancangnya selalu membawa daya pikat dan sukar untuk dilawan. Sesungguhnya setiap tipu akalnya selama ini belum pernah gagal.

Sekali ini, bahkan ia telah mengatur tipu muslihatnya dengan lebih rapi karena dia tahu yang akan dijebaknya adalah manusia yang sangat pintar dan cerdik. Ia yakin siapa pun juga bilamana habis tergantung di pohon sekian lamanya tentu sudah kehausan dan pasti ingin minum yang banyak, sebab setiap orang pintar pasti akan membuat tenang dulu pikirannya sebelum mengerjakan sesuatu.

Sedangkan di pegunungan sunyi ini, tempat yang ada air minum hanya di sungai kecil ini.

Menurut perhitungan Pek-hujin, asalkan lelaki, apabila melihat sesuatu benda milik orang perempuan yang hanyut terbawa arus, tentu lelaki itu akan membayangkan di hulu sedang terjadi perkosaan dan pasti akan cepat memburu ke tempat kejadian.

Maka di hulu sungai itulah Pek-hujin menunggu, di situlah dia memperagakan tubuhnya yang masih menggiurkan. Ia yakin tiada seorang lelaki pun di dunia ini yang takkan mendekatinya apabila melihat pemandangan yang menarik ini.

Tapi ia pun rada khawatir kalau-kalau daya pikat tubuh sendiri yang sudah mulai menginjak ketuaan itu kurang menarik, maka dia sengaja mengikutsertakan Thi Peng-koh.

Dia kenal nama “Siau-hi-ji” dari mulut Kang Giok-long, dengan sendirinya ia pun tahu Thi Peng-koh pernah menyelamatkan jiwa anak muda itu. Maklum, waktu Kang Giok-long datang minta perlindungan kepada mereka suami istri, lebih dulu ia lelah menanyai asal usul Giok-long, lebih-lebih keterangan mengenai anak perempuan yang dibawa Giok-long itu. Pada dasarnya dia memang tidak percaya pada siapa pun juga.

Untuk memperoleh kepercayaan Pek-hujin terpaksa Kang Giok-long menceritakan seluk beluk mengenai diri Thi Peng-koh, sudah barang tentu, Kang Giok-long tidak perlu menyimpan rahasia diri orang lain.

Sebab itulah sekarang Pek-hujin yakin Siau-hi-ji pasti akan mendekati mereka. Di luar dugaan anak muda itu hanya duduk termenung saja di kejauhan.

Tetesan air yang terus-menerus dapat melubangi batu, apalagi tenaga air terjun yang deras. Dengan sendirinya batu raksasa itu telah terguyur menjadi licin dan bulat, hanya bagian tengah atas batu itu saja yang mendekuk, sekeliling batu halus licin dan sukar untuk berdiri di situ.

Pek-hujin dan Thi Peng-koh justru berbaring di bagian batu yang dekuk itu, asalkan Siau-hi-ji melompat ke atas batu untuk menolongnya, sekali mendorong perlahan Siau-hi-ji pasti akan tergelincir ke dalam sungai. Padahal saat itu Oh Yok-su sudah menyelam dan menunggu di dasar sungai, ia bernapas dengan menggunakan setangkai gelagah. Apabila Siau-hi-ji jatuh ke sungai, maka itu berarti “ikan masuk jaring”.

Maklum, seorang yang jatuh ke dalam air tentu akan kelabakan dan sekujur badan tidak terjaga, kesempatan itu tentu dapat digunakan Oh Yok-su yang telah siap siaga untuk menyergapnya.

Bahwa Pek-hujin sengaja mengatur dirinya d tempat berbahaya ini justru menurut perhitungannya hasilnya pasti akan “tok-cer”. Siapa tahu Siau-hi-ji justru tidak mudah dijebak, anak muda itu hanya duduk saja di kejauhan, bahkan memandangnya seperti orang yang sedang menonton sandiwara menarik.

Padahal tenaga gerujukan air terjun itu sangat keras, betapa pun kuat tenaga dalam Pek-hujin lama-lama juga tidak tahan.

Dia lihat Siau-hi-ji justru sedang enak-enak duduk di sana, bahkan anak muda itu lantas mencopot sepatu dan mencuci kaki di air sungai, wajahnya tampak berseri gembira seperti orang lagi berpiknik. Malahan tidak lama lagi anak muda itu lantas bernyanyi-nyanyi kecil dengan suara yang tidak tergolong merdu.

Sudah hampir meledak perut Pek-hujin saking dongkolnya. Saking tidak tahan ia memaki, “Keparat, bocah ini benar-benar bukan manusia .... Apakah dia telah mengetahui rencanaku?”

Kalimat yang terakhir itu dengan sendirinya ditujukan kepada Thi Peng-koh. Di tengah suara gemuruh air terjun itu, andaikan suara bicaranya lebih keras sedikit juga cuma didengar oleh Thi Peng-koh saja.

Peng-koh sendiri sebenarnya merasa malu dan gemas juga karena dipaksa ikut telanjang bulat dan dijadikan umpan “ikan”. Kini melihat rencana Pek-hujin tidak berhasil, diam-diam ia pun merasa senang dan geli, maka dia sengaja menjawab, “Ya, kukira dia sudah tahu tipu akalmu.”

“Rencanaku ini boleh dikatakan sangat rapi, dari mana dia bisa tahu,” kata Pek-hujin.

“Banyak orang bilang dia adalah orang pintar nomor satu di dunia, tampaknya kabar itu memang tidak salah,” ujar Thi Peng-koh.

Sebenarnya tenaga dalam Peng-koh jauh lebih lemah daripada Pek-hujin, hampir-hampir saja bernapas pun sukar karena diguyur air terjun sekian lamanya, tapi kini lantaran hatinya lagi senang, bukan saja ia dapat bicara dengan lancar, bahkan suaranya juga cukup nyaring.

“Kenapa kau bicara sekeras itu? Apakah kau ingin didengar olehnya?” jengek Pek-hujin. “Hendaklah jangan lupa, kekasihmu masih tergenggam di tanganku, bilamana perangkapku ini gagal, maka kau adalah calon janda sebelum nikah.”

Disebutnya Kang Giok-long membuat hati Thi Peng-koh tertekan pula, meski dia tidak ingin Siau-hi-ji terjebak, tapi ia pun tidak tega membiarkan Kang Giok-long mati.

Maklum, sekarang biarpun dia jelas-jelas tahu Kang Giok-long adalah telur paling busuk di dunia ini juga tak berdaya lagi, sebab hatinya sudah bukan miliknya lagi, melainkan sudah tertawan oleh Kang Giok-long.

Seorang lelaki kalau dapat menundukkan tubuh seorang perempuan dengan pengaruh uang atau kekerasan, maka tidak nanti dapat menundukkan hatinya. Tapi kalau senjata yang digunakannya adalah bujuk rayu dan kata-kata manis, maka dia pasti akan berhasil menipunya bersama hatinya sekaligus.

Begitulah maka Thi Peng-koh tidak berani buka suara lagi.

Selang sejenak, Pek-hujin bertanya pula, “Kutahu kau pernah menyelamatkan jiwa anak muda itu, bukan?”

“Ehm,” sahut Peng-koh perlahan.

“Sekarang kenapa dia tidak balas menolong kau?”

“Mungkin ... mungkin dia pangling padaku.”

Pek-hujin berpikir sejenak, katanya kemudian, “Betul juga ... lelaki kalau melihat perempuan cantik telanjang bulat, yang dipandang cuma bagian tubuhnya saja dan jarang-jarang memandang wajahnya.”

Muka Thi Peng-koh serasa merah membara, tiba-tiba ia merasa mata Siau-hi-ji sedang melotot padanya, sungguh kalau bisa ia ingin menutupi dadanya, menutupi perutnya, menutup .... Tapi demi Kang Giok-long, terpaksa ia tidak berani bergerak.

Pek-hujin mendengus pula, “Sekarang cepat berpaling ke sana dan berteriak minta tolong .... Teriakanmu jangan terlalu keras, tapi juga jangan terlalu lirih, harus berlagak seperti kehabisan tenaga dan suaramu dibikin serak. Nah, lekas lakukan!”

Terpaksa Thi Peng-koh melaksanakan perintah Pek-hujin, dengan suara parau ia menjerit, “Tol ... tolong ... tolong ....”

Dia cuma sedikit menoleh, segera dilihatnya Siau-hi-ji sudah selesai mencuci kaki, dengan tangan bertopang dagu dan setengah berbaring di atas batu, anak muda itu seperti sudah tertidur.

Dengan sendirinya Pek-hujin juga sudah melihat tingkah Siau-hi-ji, dengan geregetan ia berkata, “Bangsat cilik, licin benar! Sebenarnya apa yang sedang dipikirkannya?”

Tiba-tiba seorang bicara di bawah batu sana, “Betul tidak apa yang kukatakan padamu? Ikan ini sangat sukar dijaring bukan?”

Rupanya Oh Yok-su juga tidak tahan direndam air sekian lamanya, ia telah menongolkan kepalanya ke permukaan air.

“Lekas menyelam, jangan sampai dilihatnya,” seru Pek-hujin.

“Biarpun kepandaiannya setinggi langit juga tidak mungkin pandangannya dapat menikung ke belakang batu sini,” ucap Oh Yok-su dengan tertawa.

Pek-hujin menghela napas, ucapnya, “Menurut pendapatmu, apakah rencana kita ini telah diketahuinya?

“Kau kira demikian?” Oh Yok-su balas tanya.

“Padahal rencana kita ini sangat rapi, mana dapat diketahuinya?” jengek Pek-hujin.

“Habis mengapa dia tidak mau datang kemari?”

“Bisa jadi pembawaan bocah ini memang suka curiga, segala apa pun dicurigainya, makanya dia tidak mau segera kemari dan ingin tahu bagaimana reaksi kita.”

“Tapi yang jelas kita tersiksa di sini, kalau keadaan begini berlangsung lebih lama kan kita sendiri yang celaka.”

“Dia justru ingin tahu apakah kita sanggup bertahan tidak, asalkan kita tidak tahan, maka rencana ini pun gagal total. Kalau usaha kita ini gagal, apakah tidak merasa sayang?”

“Sayang sih sayang, tapi tersiksa begini juga bukan cara yang baik,” ujar Oh Yok-su dengan gegetun.

“Habis mau apalagi?” ujar Pek-hujin. “Bocah ini memang benar-benar lebih licin daripada ikan, jika usaha kita ini diketahuinya, lain kali jangan harap lagi dapat menjaringnya.”

“Dengan kekuatan kita bertiga melawan dia seorang, masa kita tidak berani main kekerasan?”

“Kukira jangan,” ujar Pek-hujin. “Konon ilmu silat bocah ini sangat tinggi meski usianya masih muda belia, bahkan juga sangat licik dan licin, bila gelagat jelek, segera dia kabur. Sampai-sampai Ih-hoa-kiongcu kabarnya juga mati kutu menghadapi dia, lalu kita dapat berbuat apa?”

Oh Yok-su menghela napas panjang, ucapnya, “Jika demikian, tampaknya tiada jalan lain kecuali harus bertahan, tapi kita dapat tahan berapa lama lagi?”

Pek-hujin terdiam sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, “Urusan sudah kadung begini, terpaksa mengikuti keadaan saja.”

Di luar dugaan pada saat itulah mendadak Siau-hi-ji berdiri.

Kejut dan girang Pek-hujin, cepat ia mendesis, “Ssst, lekas selam, mungkin ikannya akan segera akan masuk jaring.”

Tanpa disuruh lagi cepat Oh Yok-su menyelam pula, batang gelagah yang bagian tengahnya geronggang seperti pipa itu kembali menongol di permukaan air, dengan pipa rumput gelagah inilah Oh Yok-su bernapas.

Terdengar Siau-hi-ji bergumam di sana, “Rasanya mereka bukan pura-pura, kalau tidak tentu mereka tidak tahan sekian lama.” Lalu ia menghela napas gegetun dan berucap pula, “Jika tidak pura-pura, maka aku harus segera menolong mereka.”

Sembari bicara ia pun memakai sepatunya, lalu menjulurkan kakinya ke dalam air. Nyata dia khawatir batu yang berlumut ini terlalu licin, maka sepatunya dibasahi dulu.

Pek-hujin tahu anak muda itu segera akan datang, girang hatinya sungguh sukar dilukiskan. Sebaliknya Thi Peng-koh hampir saja menangis.

Kini dia hampir melupakan Kang Giok-long dan hampir berteriak menyuruh Siau-hi-ji jangan mau tertipu. Pikiran ini bukan lantaran dia lebih berat pada Siau-hi-ji daripada Kang Giok-long, tapi pikiran ini timbul dari hati nurani manusia yang murni, yang timbul hanya pada detik antara mati dan hidup, dalam keadaan itu terkadang hati nurani bisa mengalahkan pikiran kerakusan pribadi.

Cuma sayang, tampaknya Pek-hujin juga cukup memahami perasaannya, dengan tandas ia memperingatkan, “Awas, jangan melupakan kekasihmu itu.”

Hati Peng-koh seperti ditusuk satu kali, sekuatnya ia menggigit bibir sendiri hingga kesakitan, meski teriakannya urung disuarakan, namun air mata lantas bercucuran.

Dalam pada itu terdengar Siau-hi-ji lagi berseru, “Jangan khawatir para nona, akan kutolong kalian!” Di tengah teriakannya itu segera tubuhnya melompat ke arah batu raksasa ini.

Melihat gaya lompatan Siau-hi-ji itu tanpa terasa Pek-hujin menjadi rada kecewa.

Kalau melihat cara Siau-hi-ji bersiap-siap hendak melompat Pek-hujin mengira gayanya pasti sangat indah dan gerakan gesit, siapa tahu cara anak muda itu melompat sama sekali tidak indah gayanya, juga gerakannya tidak gesit. Padahal dengan susah payah ia memasang jaring besar dengan harapan akan dapat menangkap seekor ikan besar, ikan kakap, siapa tahu “ikan” yang menjadi sasarannya ini hanya seekor ikan teri.

Begitulah diam-diam Pek-hujin gegetun, pikirnya, “Orang pintar kebanyakan memang kurang giat berlatih, bilamana tahu Kungfunya cuma begini saja, kuat apa aku bersusah payah membuang tenaga percuma.”

Baru terkilas pikirannya itu, “plung”, air muncrat ke mana-mana. Lompatan Siau-hi-ji ternyata tidak dapat mencapai batu ini, tetapi jatuh ke dalam sungai. Terlihat ia mencak-mencak dan kelabakan di dalam air, dengan mati-matian bermaksud memanjat ke atas batu raksasa ini, tapi batu ini terlalu licin, baru saja tangannya meraih, kembali terpeleset jatuh ke bawah lagi.

Menyusul lantas terdengar suara “kruk-kruk beberapa kali, suara orang megap-megap karena kemasukan air, bahkan lantas terdengar teriakannya, “O, mati aku, tolong ... tolong ....”

Sungguh lucu, orang yang mau menolong, sekarang malah berteriak minta tolong.

Pek-hujin menjadi dongkol dan juga geli, tak terpikir olehnya bahwa ilmu silat bocah ini sedemikian rendahnya, juga tidak bisa berenang. Cuma sayang Siau-hi-ji jatuh di sebelah sini, kalau tidak Oh Yok-su pasti sudah melemparkan “ikan” ini ke atas batu.

Kini suara teriakan minta tolong tak terdengar lagi, hanya tampak gelembung air bermunculan ke permukaan air, tampaknya “ikan kecil” ini akan mati tenggelam.

Diam-diam Pek-hujin memaki, “Keparat, jika bukannya aku masih memerlukan kau, mustahil kalau tidak kubiarkan kau mampus kelelep.”

Kini Pek-hujin tidak mengkhawatirkan apa pun, selagi dia hendak berbangkit, tapi tekanan air terjun dari atas terlalu keras, padahal tenaganya sudah hampir terkuras habis karena bertahan sekian lama, baru saja ia bangkit duduk, mendadak ia terguyur roboh lagi oleh gerujukan air terjun.

Sementara itu pipa gelagah tadi telah bergeser dari balik batu sana ke sebelah sini. Melihat Oh Yok-su akan menangkap “ikan”, maka Pek-hujin bolehlah menghemat tenaga.

Air sungai sangat jernih, Oh Yok-su dapat membuka mata dalam air, dilihatnya “ikan kecil” itu kini sudah berubah menjadi seekor ayam yang kecemplung ke kolam, tampaknya sekali pegang saja pasti dapat membekuknya.

Di luar dugaan, entah bagaimana, tahu-tahu Siau-hi-ji meronta sekali, seperti ikan mengeliat, tahu-tahu ia menongol lagi ke permukaan air. Jarinya seperti menyelentik perlahan, satu biji benda kecil dengan tepat masuk ke dalam pipa gelagah.

Padahal saat itu Oh Yok-su sedang menyedot hawa segar, mendadak ia merasakan sesuatu benda kecil tersedot masuk melalui pipa gelagah, ketika mengetahui ada yang tidak beres dan ingin memuntahkannya, namun sudah terlambat, lantaran dia harus bernapas dan menyedot hawa segar, tahu-tahu benda kecil itu pun sudah tersedot masuk perutnya.

Malah. secepat kilat Siau-hi-ji juga lantas menarik gelagah yang tergigit di mulut Oh Yok-su itu. Seketika air pun masuk mulut Oh Yok-su. Ia cuma sempat melihat kedua kaki Siau-hi-ji yang terbenam di dalam air dan tidak tahu keadaan di permukaan air. Maka ia tidak tahu sesungguhnya benda apakah yang telah diminumnya itu.

Yang jelas ia merasa benda kecil itu ya asin, ya busuk, ya manis, ya bacin seperti ikan asin. Sungguh ingin muntah rasanya. Tapi apa daya, benda itu sudah masuk perut dan ditambah minum air dua ceguk. Andaikan yang tertelan itu tai anjing juga jangan harap akan dapat dimuntahkannya kembali.

Apa yang dirasakan oleh Oh Yok-su di dalam air sudah tentu tak terlihat oleh Pek-hujin. Dia cuma mendengar suara “krak-kruk” bunyi air, belum lagi dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu Siau-hi-ji sudah mencabut pipa gelagah dari mulut Oh Yok-su, menyusul Yong-coan-hiat di telapak kaki Pek-hujin yang terletak di tepi batu juga tertutuk.

Waktu Oh Yok-su melompat keluar dari dalam sungai laksana seekor kodok yang diuber ular, sementara itu Pek-hujin sudah roboh seperti kuda mampus, rebah tak bisa bergerak di atas batu, seperti mimpi saja, sama sekali ia tidak tahu apa yang telah terjadi.

Setelah melompat ke atas batu, Oh Yok-su terus batuk-batuk, dengan jari mengorek mulut sendiri agar memuntahkan sesuatu, tapi sampai air mata dan ingus ikut bercucuran tetap tak dapat menumpahkan apa pun.

Waktu ia menoleh ke sana, entah sejak kapan Siau-hi-ji sudah berada di atas batu tadi dan sedang memandangnya dengan tertawa seakan-akan tidak pernah terjadi apa pun.

Baru sekarang Pek-hujin menyadari bahwa pengail ikan telah berbalik kena dikail ikan. Keruan ia terkejut dan murka pula, dengan suara serak ia berteriak, “Le ... lekas buka Hiat-toku!”

Sambil kecek-kucek matanya dan terbatuk-batuk Oh Yok-su menjawab, “Hiat ... Hiat-to apa?”

“Yong-coan-hiat,” jawab Pek-hujin.

Baru saja Oh Yok-su hendak berjongkok, tiba-tiba Siau-hi-ji berseru di sebelah sana, “Bilamana aku menjadi kau pasti takkan kutolong dia.”

Seketika Oh Yok-su menarik kembali tangannya dan bertanya dengan serak, “Sebab apa?”

“Sekarang masa kau sempat menolong orang lain, mestinya lebih dulu harus berdaya upaya untuk menolong dirimu sendiri,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Seketika wajah Oh Yok-su berubah pucat, tanyanya dengan tergagap, “Barang ... barang apakah tadi itu?”

“Masa kau tak dapat menerkanya?”

“Ap ... apakah racun?”

“Kalau bukan racun, memangnya obat kuat?”

Sekujur badan Oh Yok-su serasa lemah lunglai.

Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas berkata pula, “Jika kau menginginkan pertolonganku, paling baik kau berdiam saja di situ dan jangan bergerak

“Jangan percaya dia,” tiba-tiba Pek-hujin berseru dengan suara gemetar. “Paling benar kau buka dulu Hiat-toku, nanti akan kucarikan akal untuk menolongmu.”

“Kau akan menolong dia? Haha, memangnya kau tahu racun apa?” tanya Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa.

“Racun apa pun pasti dapat kutawarkan,” ujar Pek-hujin.

“Haha, ucapanmu ini biarpun digunakan menipu anak umur tiga juga takkan dipercaya,” ejek Siau-hi-ji.

“Apa pun juga, yang penting buka dulu Hiat-toku, nanti kita paksa dia menyerahkan obat penawarnya,” kata Pek-hujin kepada Oh Yok-su.

“Hah, cuma kalian berdua saja biarpun kentutku juga tak dapat kalian keluarkan!” Siau-hi-ji berolok-olok.

Begitulah Siau-hi-ji perang lidah dengan Pek-hujin, sedangkan Oh Yok-su cuma melenggong saja dengan bingung, entah harus menuruti kehendak Pek-hujin atau tunduk kepada perintah Siau-hi-ji.

Thi Peng-koh juga terkesiap dan bergirang menyaksikan kejadian itu, setelah tercengang sekian lama baru tiba-tiba teringat olehnya, “Tunggu kapan lagi kalau sekarang tidak angkat kaki?” segera ia memberosot ke dalam sungai.

Di sebelah sana Pek-hujin sedang mendesak Oh Yok-su, “Ayo, mengapa tidak ... tidak lekas kau kerjakan?”

Oh Yok-su menghela napas, katanya sambil menyengir, “Meski ingin kutolong kau, namun apa pun juga jiwaku lebih penting.”

“Dahulu kau pernah bersumpah di depanku bahwa kau tidak sayang mati bagiku, kenapa sekarang kau lupa?” omel Pek-hujin dengan suara gemetar.

“Lain dulu lain sekarang,” jawab Oh Yok-su dengan menyesal. “Bilamana seorang lelaki sedang memburu seorang perempuan, siapakah yang tidak pernah main sumpah segala. Apabila sumpah demikian dapat dipercaya, maka lelaki di seluruh dunia ini mungkin sudah mampus semua.”

Saking gemasnya Pek-hujin hanya mendelik dan tak sanggup bersuara lagi.

Sebaliknya Siau-hi-ji lantas berkeplok tertawa serunya, “Bagus, bagus! Ucapan ini benar-benar kata-kata mutiara, kata-kata emas, harus dicatat dengan tinta biru, perempuan di seluruh dunia ini harus mendengarkan ucapanmu ini.”

Sementara itu Thi Peng-koh telah berenang k arah Siau-hi-ji, baru saja ia lompat ke atas, tiba-tiba teringat tubuhnya dalam keadaan bugil tanpa busana, mana boleh tubuh mulus begitu diperlihatkan kepada orang lain.

Tapi Siau-hi-ji justru melirik ke arahnya, bahkan tersenyum dan memicingkan sebelah mata.

Tentu saja Thi Peng-koh malu dan ingin membenamkan kepala ke dalam air.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata kepalanya, “Dalam hatimu sekarang tentu mencaci aku ini bukan seorang Kuncu, sebab mata seorang Kuncu sejati tidak nanti memandang secara melirik, begitu bukan?”

Wajah Thi Peng-koh merah, katanya, “Kau ... kau ....”

“Maksudmu supaya aku berpaling ke sana?” tanya Siau-hi-ji.

Cepat Peng-koh mengiakan.

“Baiklah, aku akan berpaling ke sana,” kata Siau-hi-ji. “Tapi ingin kutanya dulu padamu, tadi waktu kau berbaring di sana kan tidak merasa malu, mengapa sekarang tiba-tiba merasa malu?”

“Aku ... aku hanya ....” Thi Peng-koh menjadi gelagapan.

“Ya, kutahu tadi kau hanya ingin menjebak diriku saja, betul tidak? Cuma sayang, yang terjebak justru bukan diriku melainkan orang lain.”

Ucapan ini laksana cambuk yang menyakitkan, muka Thi Peng-koh dari merah menjadi pucat, ucapnya dengan suara gemetar, “Ken ... kenapa kau memfitnah aku?”

“Hm, kufitnah kau?” jengek Siau-hi-ji. “Haha, coba jelaskan. Tadi tubuhmu bisa bergerak, mulutmu dapat bicara, kenapa kau tidak berteriak memperingatkan aku agar jangan sampai masuk perangkap.”

“Sebab ... sebab aku ... aku ....” Thi Peng-koh tidak mampu bicara lagi, sebab ia merasa memang tidak punya alasan yang kuat. Tanpa terasa air matanya bercucuran pula.

“Kau tidak perlu menangis, aku bukan Hoa Bu-koat, hatiku tidak selemah dia, sekalipun air matamu mengalir seperti air sungai ini juga aku tidak pusing,” setelah menghela napas, lalu Siau-hi-ji bergumam lagi, “Sungguh aku tidak paham, mengapa ada sementara orang selalu menganggap setiap lelaki yang berbuat salah adalah bangsat bajingan, tapi kalau perempuan berbuat kesalahan yang sama harus diberi maaf.”

Sekujur badan Thi Peng-koh tampak menggigil, teriaknya parau, “Tapi aku tidak ... tidak minta maaf padamu, aku ... aku pun takkan memohon padamu ....”

“Bagus, aku pun berharap jangan mohon padaku,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Apabila orang lain mengkhianati aku, tak peduli orang itu lelaki atau perempuan, yang jelas aku pasti takkan minta orang lain memaafkan aku.” Sekonyong-konyong ia melotot dan berteriak, “Dan aku masih ingin tanya padamu, mengapa kau mengkhianati aku? Mengapa? Ya, mengapa? ....”

Mendadak Thi Peng-koh meraung-raung, teriaknya dengan parau, “Sebab kau sombong, angkuh, banyak tingkah, hanya memikirkan kepentingan sendiri, kau telur paling busuk di dunia ini. Aku justru berharap dapat menyaksikan kau mampus di tangan orang lain.”

Siau-hi-ji melenggong sejenak, tapi ia lantas tertawa dan berkata, “Ah, semakin keras ucapan seorang perempuan, apa yang dikatakan semakin tak dapat dipercaya. Karena kau bicara cara demikian, aku malah menganggap kau tidak sengaja mencelakai aku. Kau pasti mempunyai kesulitan yang sukar diutarakan, bisa jadi aku benar-benar akan memaafkanmu.”

Thi Peng-koh jadi melenggong bingung, ia merasa ucapan dan tingkah laku anak muda ini benar-benar sukar dipegang ekornya. Betapa pun sulit menerka apa sebenarnya kehendaknya. Bilamana dia dianggap orang paling busuk di dunia ini, maka mendadak dia akan berubah menjadi sangat menarik.

Begitulah dengan perlahan Siau-hi-ji menyambung pula, “Mungkin sekali lantaran seorang yang sangat akrab denganmu terjatuh di tangan mereka, demi menyelamatkan jiwa orang itu, terpaksa kau mengkhianati diriku.” Dia menghela napas gegetun, lalu melanjutkan, “Jika betul demikian, betapa pun tak dapat kusalahkanmu, sebab kutahu, demi orang yang dicintainya, seorang perempuan tidak sayang menjual dirinya sendiri.”

Kata-kata Siau-hi-ji ini benar-benar kena betul di lubuk hati Thi Peng-koh, tanpa terasa air matanya bercucuran pula. Tak terduga olehnya bahwa Siau-hi-ji yang menjengkelkan ini ternyata dapat menyelami isi hati orang sedemikian mendalam, sungguh ia ingin menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu dan menangis sepuasnya untuk mengeluarkan segenap isi hatinya.

Dengan suara halus Siau-hi-ji berkata pula, “Tapi siapakah gerangannya? Apakah dia berharga mendapatkan pengorbananmu ini?”

Peng-koh menjawab dengan menangis, “Kau ... kau pun kenal dia, tapi tak dapat kusebut namanya.”

Meski tak dapat disebut, tapi ucapan Peng-koh itu sama dengan mengatakan segalanya. Bilamana ingin tahu rahasia seorang perempuan, maka teramat mudah diperoleh apabila dia sedang berduka.

Air muka Siau-hi-ji berubah, tapi ia tetap berucap dengan suara lembut, “Yang kau maksudkan apakah Kang Giok-long?”

Sekali ini Thi Peng-koh hanya diam saja. Tapi bungkam sama saja dengan membenarkan secara diam-diam.

Mendadak Siau-hi-ji melonjak gusar, teriaknya, “Bagus, bagus, kiranya kau mengkhianati aku demi anak jadah Kang Giok-long itu. Apakah kau tidak tahu betapa busuknya anak jadah itu, sekalipun kepalanya dipenggal orang seratus kali juga belum cukup untuk melunasi dosanya.”

Kembali Thi Peng-koh terkesiap bingung.

“Jika demi orang lain tentu dapat kumaafkan,” Siau-hi-ji meraung gusar pula, “Tapi kau berbuat baginya ....”

Mendadak Thi Peng-koh juga berteriak, “Siap yang minta kau memaafkan diriku? Seumpama dia bukan orang baik-baik, memangnya kau sendiri ini barang baik macam apa?”

Siau-hi-ji melotot sejenak, tiba-tiba ia berkata sambil menghela napas gegetun, “Ya, sebenarnya tidak dapat menyalahkan kau, mulut anak keparat itu memang manis, jangankan dirimu, sekalipun anak perempuan yang sepuluh kali lebih pintar daripadamu juga akan tertipu olehnya.”

Peng-koh berdiri bingung di dalam air dan serba susah.

Tertampak Siau-hi-ji berubah menjadi ramah tamah, dengan tertawa ia berbangkit dan berkata kepada Oh Yok-su, “Bagus, kau memang pintar, sejak tadi tidak sembarangan bergerak, cuma lelaki pintar seperti kau ini justru punya bini yang suka bugil, betapa pun rasanya kurang pantas.”

“Dia bukan biniku,” kata Oh Yok-su.

“O,” Siau-hi-ji melenggong, segera ia tertawa dan berkata, “Ah, bagus, bagus, jika demikian, tampaknya kau terlebih pintar daripada perkiraanku semula. Cuma perempuan seperti dia bila tidak punya lelaki mustahil kalau tidak menjadi gila. Di manakah lakinya?” Biji matanya berputar, segera ia menyambung pula dengan tertawa, “Aha, tahulah aku, lakinya tentu sedang mengawasi Kang Giok-long, betul tidak?”

“Ya, memang begitu,” terpaksa Oh Yok-su membenarkan.

Mendadak Siau-hi-ji melompat ke batu raksasa itu, sekali ini dia hanya melayang enteng saja lantas hinggap di atas batu dengan tegaknya, tidak mungkin kecemplung lagi ke sungai.

Tentu saja Pek-hujin sangat mendongkol, ia menggigit bibir dengan geregetan sehingga bibir pun berdarah.

Siau-hi-ji memandangnya dengan tertawa, katanya, “Nenek semacam kau ternyata lumayan juga. Tapi katanya kau sudah punya laki dan mustahil tiada punya gendak pula, lalu untuk apa lagi kau mengincar diriku?”

“Engkau kan orang paling pintar, masa tak dapat menerkanya?” ucap Pek-hujin.

Tanpa pikir Siau-hi-ji lantas menjawab, “Ya, sudah tentu lantaran usaha kalian telah mengalami kegagalan. Kalian telah menculik Hoa Bu-koat, tapi dia tidak mau menceritakan rahasia Ih-hoa-ciap-giok, maka sasaran lantas terarah kepadaku. Sebab di antara kalian bertiga pasti ada yang mengintip ketika So Ing kebingungan melayani diriku. Maka kalian ingin memperalat diriku untuk memeras So Ing agar dia menguraikan apa yang tidak dapat kalian peroleh dari Hoa Bu-koat itu.”

Belum habis ucapannya, Pek-hujin lantas melenggong. Meski tadi ia suruh anak muda itu menerkanya, tapi sama sekali tak terduga olehnya bahwa Siau-hi-ji yang sialan ini benar-benar dapat menerkanya dengan jitu.

“Nah, sekarang kau mengaku kalah tidak?” seru Siau-hi-ji dengan tertawa. “sekarang kau harus tahu, barang siapa berani memusuhi aku, maka dia pasti akan telan pil pahit.”

Pek-hujin benar-benar mati kutu dan tidak dapat bersuara lagi.

“Sebenarnya,” demikian Siau-hi-ji menyambung pula, “Seumpama kau hendak menjebak aku, mestinya juga tidak perlu telanjang bulat begini untuk menyiksa dirinya sendiri. Kukira kau memang punya penyakit jiwa dan suka orang lain menonton tubuhmu yang bugil ini. Seperti halnya ada sementara lelaki gila yang punya hobi suka kencing di hadapan perempuan. Mungkin penyakit mereka itu serupa dengan penyakitmu yang suka bugil ini. Penyakit ini namanya ‘penyakit suka pamer’.”

Sampai gemetar bibir Pek-hujin saking gemasnya, ia tak tahan lagi, ia lantas mencaci maki, semua kata-kata kotor di dunia ini hampir seluruhnya dilontarkan ke alamat Siau-hi-ji.

Akan tetapi Siau-hi-ji anggap saja seperti tidak mendengar, bahkan tidak memandangnya barang sekejap.

Di sebelah sana Thi Peng-koh masih berendam di dalam air, ia tidak berani keluar dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, padahal air sungai sangat dingin, mukanya sudah pucat dan bibir pun gemetar, ia menjadi gemas, dongkol, ia bermaksud menumbukkan kepalanya pada batu karang untuk membunuh diri saja.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Siau-hi-ji berteriak kepada Oh Yok-su, “He, tahukah kau nona Thi itu ada sangkut-pautnya apa denganku?”

“Ti ... tidak tahu,” jawab Oh Yok-su.

“Dia adalah penolong jiwaku, juga sahabatku yang baik, tapi sekarang dia terendam di dalam air dan tidak berani keluar. Coba bayangkan, hatiku serba susah tidak?”

Bahwasanya anak muda itu tiba-tiba berucap demikian, Thi Peng-koh menjadi bingung, girang dan heran pula.

Dengan tergagap-gagap Oh Yok-su menjawab. “Kukira ... kukira Tuan tentu merasa susah.”

“Keparat!” damprat Siau-hi-ji dengan gusar. “Jika kau tahu hatiku susah, mengapa tidak lekas tanggalkan bajumu dan diberikan padanya.”

Dengan menyengir Oh Yok-su berucap, “Lantas ... lantas bagaimana dengan diriku?”

“Jika kau sudah mampus apakah perlu pikirkan baju segala?” damprat Siau-hi-ji dengan melotot. “Orang hidup dengan telanjang kan lebih mendingan daripada mayat yang berpakaian, betul tidak?”

Oh Yok-su tidak membantah lagi, terpaksa ia membuka baju luarnya dan dilemparkan kepada Thi Peng-koh.

Setelah menerima baju itu, Thi Peng-koh menjadi bingung lagi, entah harus dipakainya segera atau tidak memakainya?

Terdengar Siau-hi-ji sedang berseru pula, “Bilamana nona sedang berpakaian, jika kau berani mengintipnya, akan kucungkil biji matamu, tahu?”

Dongkol dan geli pula Oh Yok-su, katanya di dalam hati, “Memangnya tadi belum kenyang kulihat tubuhnya? Sekarang biarpun kau suruh aku memandangnya lagi juga hasratku sudah lenyap.”

Didengarnya Siau-hi-ji berseru pula dengan tertawa, “Ya, memang aku pun tahu kau takkan mengintipnya, apabila di dalam perut seorang sudah terisi satu biji racun, biarpun seratus perempuan cantik buka baju serentak di depannya juga tiada hasratnya buat menikmatinya lagi.”

Akhirnya Thi Peng-koh memakai baju itu, katanya kepada dirinya sendiri, “Seumpama harus mati juga perlu berpakaian rapi.”

Tapi setelah berpakaian, tiba-tiba teringat olehnya akan Kang Giok-long, terkenang banyak kejadian yang telah lalu, tiba-tiba ia merasa dirinya tidak perlu mesti mati.

Sorot mata Siau-hi-ji memancarkan rasa senang, ia mafhum betapa bedanya perasaan seorang dalam keadaan bugil dan setelah berpakaian. Dengan mengulum senyum ia bergumam, “Entahlah dia sudah selesai berpakaian atau belum?”

Tanpa terasa Oh Yok-su menanggapi, “Sudah selesai!”

Mendadak Siau-hi-ji mendamprat dengan gusar, “Kurang ajar! Nyatanya kau tetap mengintipnya!”

“O, ti ... tidak,” cepat Oh Yok-su menyangkal.

“Jika tidak mengintip, mengapa kau tahu dia sudah selesai berpakaian?”

“Aku ... Cayhe ....” Oh Yok-su gelagapan.

Siau-hi-ji terbahak-bahak, katanya, “Sebenarnya sejak tadi apa pun sudah kenyang kau lihat, biarpun sekarang kau mengintipnya sekejap juga bukan soal lagi. Kau tidak perlu takut.”

Oh Yok-su memandang Siau-hi-ji dengan terbelalak, dengan penuh rasa pahit dan getir.

Ilmu silatnya tidak rendah, otaknya juga tidak bebal, malahan dia suka anggap dirinya sangat pintar, ia yakin tidak banyak orang Bu-lim yang mampu menandingi kecerdasannya, siapa tahu sekarang dia benar-benar mati kutu dipermainkan seorang anak remaja, sungguh ia sangat mendongkol dan geregetan, ingin dia mengadu jiwa saja dengan Siau-hi-ji

Berkilau sorot mata Siau-hi-ji, tiba-tiba ia tepuk-tepuk pundak Oh Yok-su dan berkata pula dengan tertawa, “Kau jangan sedih, hanya orang tolol yang tidak sayang pada jiwa sendiri. Agar aku mau menyelamatkan jiwamu kau rela tunduk padaku, di sinilah letak kecerdikanmu, orang lain pasti takkan menertawakan kau, bahkan aku kagum padamu. Seorang lelaki sejati harus dapat melihat gelagat dan membedakan arah angin, dengan demikian barulah jiwanya bisa selamat dan hidup panjang umur.”

Oh Yok-su menghela napas, perlahan-lahan ia merasakan pula segi kehebatannya sendiri, ia pikir dirinya mampu mengikuti keadaan untuk mencari selamat, justru inilah yang sukar ditiru orang lain, apanya yang memalukan?

Karena pikiran ini, niatnya hendak mengadu jiwa dengan Siau-hi-ji tadi lantas terbang entah ke mana.

Siau-hi-ji tampak tertawa gembira, katanya pula, “Sekarang, asalkan kau berbuat sesuatu pula bagiku, segera akan kuberikan obat penawarnya.”

“Sekalipun Cayhe tidak percaya obat penawarnya akan kau berikan semudah ini, betapa pun urusan ini kan harus kukerjakan juga, begitu bukan?” kata Oh Yok-su dengan menyengir.

“Ya, kau benar-benar pintar,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jika begitu, ingin kutahu apa kehendakmu?” jawab Oh Yok-su.

“Bawa aku pergi mencari lakinya,” kata Siau-hi-ji sambil melirik Pek-hujin.

Teringat pada Hoa Bu-koat yang masih berada dalam cengkeraman Pek San-kun, dengan alat pemeras itu bukan mustahil Siau-hi-ji akan dapat dipaksa menyerahkan obat penawarnya. Berpikir demikian, seketika sorot matanya menjadi terang, cepat ia menjawab, “Baiklah, kuturut, kuturut perintahmu.”

“Bagus, ayo berangkat sekarang,” kata Siau-hi-ji.

Oh Yok-su memandang Pek-hujin sekejap, ucapnya, “Dan dia, bagaimana?”

“Dia suka mandi dengan telanjang bulat, maka biarkan saja dia mandi sepuas-puasnya di sini,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tidak lama kemudian, rumah batu itu sudah kelihatan dari kejauhan. Angin mendesir, tapi di dalam rumah itu sunyi senyap, tiada terdengar suara apa pun.

Mendadak Siau-hi-ji bertindak, ia telikung tangan Oh Yok-su dan bertanya dengan suara tertahan, “Apakah mereka berada di dalam rumah?”

Oh Yok-su mengiakan.

Siau-hi-ji berkerut kening, katanya, “Tiga orang hidup di dalam rumah, mengapa tiada suara sedikit pun.”

“Biar kumasuk dulu memeriksanya,” seru Peng-koh.

Tapi cepat tangan Siau-hi-ji yang lain telah menarik nona itu, katanya dengan mendongkol, “Sudah sampai di sini, untuk apa kau terburu-buru.”

Peng-koh menoleh dan berkata dengan terputus-putus, “Jika ... jika engkau mengingat kebaikanku pada ... padamu, kumohon engkau jangan membunuh dia.”

Siau-hi-ji melotot dan menjawab, “Tidak membunuh dia? Memangnya supaya dia mencelakai orang lebih banyak lagi?”

Peng-koh menunduk, air matanya lantas bercucuran.

Siau-hi-ji menghela napas, katanya sambil menggeleng, “Tahukah bahwa semakin cepat bocah itu mampus akan semakin baik bagimu, kalau tidak tamatlah hidupmu ini.”

Dengan menangis Thi Peng-koh menjawab, “Hidupku ini memang sudah lama tamat. Bilamana dia kau bunuh, lebih-lebih aku tidak sanggup hidup lagi.”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan gemas, “Tampaknya kau sudah terlalu mendalam tertipu olehnya. Tapi sudah sejak mula kukatakan padamu bahwa diriku ini bukan seorang Kuncu segala, apabila kau mengharapkan balas budi dariku, maka salahlah perhitunganmu.”

Dengan rawan Peng-koh berkata, “Meski kau bicara dengan garang, tapi kutahu hatimu tidaklah demikian, engkau ... engkau takkan membunuh dia, bukan?”

Siau-hi-ji tambah mendongkol, mendadak ia mengentakkan tubuh Oh Yok-su dan membentak bengis, “Suruh mereka keluar, tahu tidak?”

Oh Yok-su berdehem dulu, lalu berteriak, “Pek-toako, Siaute sudah kembali, keluarlah engkau,”

Namun cuma gema suara yang berkumandang di kejauhan, rumah itu sunyi tiada sesuatu jawaban.

“Apakah si jahanam she Pek itu orang tuli?” omel Siau-hi-ji. Setelah berpikir, ia pun berteriak, “Orang she Pek, binimu yang molek itu sudah jatuh dalam tanganku, jika kau tidak lekas keluar, biarlah kujual saja binimu itu.”

Tetap sunyi keadaan rumah itu tanpa jawaban.

Semakin rapat kening Siau-hi-ji berkerut, ucapnya, “Apa barangkali keparat ini menyadari bininya sudah terlalu sering menyeleweng, maka kini dia tidak mau lagi bininya yang sialan itu.”

Gemerdep sinar mata Oh Yok-su, tiba-tiba ia berkata, “Bagaimana kalau Cayhe melihatnya ke dalam sana?”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu menjawab, “Baik, jalanlah di muka, jangan terlalu cepat, kalau berani sembarangan bergerak, segera kupuntir putus tanganmu.”

Oh Yok-su menghela napas, lalu melangkah maju perlahan, setiba di depan pintu, tertampaklah Kang Giok-long meringkuk sendirian di pojok sana dan sedang menggigil sekujur badannya. Sedangkan Pek San-kun dan Hoa Bu-koat tidak kelihatan lagi.

Kejut dan heran Oh Yok-su serta Thi Peng-koh. Tapi Siau-hi-ji lantas naik pitam demi nampak Kang Giok-long, urusan lain tak sempat terpikir lagi.

Dengan sendirinya Kang Giok-long melihat kedatangan mereka ini, cepat ia menyapa, “Aha kiranya Engkoh Hi yang datang, sudah lama kita tak bersua ....”

Tapi Siau-hi-ji lantas mendamprat, “Siapa mengakui kau binatang cilik ini sebagai saudara?”

“Ah, janganlah Hi-heng lupa, jelek-jelek Siaute kan pernah sehidup semati bersamamu dalam perantauan yang banyak suka dukanya itu.”

“Ya, cuma sayang waktu itu kau tidak mati kelelep dalam jamban, kalau tidak masakah Yan-tayhiap bisa tewas di tanganmu?” damprat Siau-hi-ji gusar. Habis bicara ia terus menubruk maju, kepalan lantas menghujani tubuh Giok-long.

Kang Giok-long tiada tenaga sedikit pun buat melawan, saking kesakitan ia berteriak-teriak, “Ampun Hi-heng, ampun! Siaute sedang sakit parah, tidak tahan pukul lagi!”

“Jika takut dipukul, mengapa tidak mengurangi perbuatanmu yang terkutuk itu?” bentak Siau-hi-ji murka sambil menjotos lebih keras.

Thi Peng-koh hanya meneteskan air mata saja dan tidak berani melerai.

Terdengar Kang Giok-long berteriak dengan parau, “Jika berani bolehlah kau tunggu setelah sakitku sembuh baru kita mengadakan pertarungan menentukan, sekarang kau menyatroni seorang sakit, memangnya Enghiong (ksatria) macam apa kau ini?”

“Siapa bilang aku ini Enghiong?” jengek Siau-hi-ji, “Jika aku ini Enghiong, mungkin sudah lama kumati dikerjai olehmu.”

Meski pukulan Siau-hi-ji itu tidak menggunakan tenaga murni, tapi sudah cukup membuat Kang Giok-long babak belur, hidung matang biru dan mata bengkak, namun jotosannya masih terus menghujaninya.

Thi Peng-koh melengos ke sana karena tidak tega menyaksikan kekasihnya dihajar sedemikian rupa, tapi ia pun tahu tiada maksud Siau-hi-ji untuk membunuh Kang Giok-long, kalau tidak, cukup sekali dua pukulan saja sudah pasti akan membinasakan Giok-long. Karena itu, meski rasa pedih perasaannya, tapi diam-diam juga rada bergirang.

Terdengar Giok-long berteriak, “Peng-ji, kenapa, tidak kau lerai dia? Kau pernah menyelamatkan jiwanya, dia pasti akan menurut padamu, masa ... masa kau tega menyaksikan aku dipukul mati cara begini?”

Peng-koh menjadi serba susah, pikirnya, “Bukannya aku tidak mau menolongmu, yang kuharap setelah pelajaran ini dapatlah kau perbaiki kelakuanmu, asalkan kau mau sadar, biarpun aku harus mati bagimu juga aku rela.”

Tapi mendadak Kang Giok-long bergelak tertawa latah malah, teriaknya, “Baiklah, jika memang jantan kau, ayo pukul mati aku, bilamana aku berkerut kening bukanlah seorang laki-laki.”

“Huh, kau masih sok laki-laki segala? Baik biar kupukul lebih keras,” seru Siau-hi-ji.

Tapi Kang Giok-long lantas bergelak tertawa, katanya, “Cuma, kalau betul kau memukul mati aku, maka selama hidupmu ini pun jangan harap akan dapat bertemu pula dengan Hoa Bu-koat.”

Seketika kepalan Siau-hi-ji berhenti di udara baru sekarang teringat olehnya bahwa Pek San-kun dan Hoa Bu-koat yang dicarinya itu seharusnya juga berada di rumah ini.

Keadaan Kang Giok-long sudah kempas-kempis, tapi dia masih tertawa dan berteriak, “Ayolah pukul ... kenapa tidak pukul lagi?”

Tapi Siau-hi-ji lantas menyeretnya bangun dan membentak bengis, “Di mana Hoa Bu-koat?”

“Kau ingin melihatnya?” jawab Kang Giok-long.

“Kau mau mengaku tidak?” Siau-hi-ji meraung.

“Jika kau ingin melihatnya, sepantasnya kau bersikap hormat dan memohon padaku ....”

Kontan Siau-hi-ji menjotos pula dan mendamprat, “Anak jadah, mohon apa katamu?”

“Baik, pukul saja,” jengek Giok-long. “Yang pasti kepalan takkan mendapatkan keterangan apa pun. Umpama kau jadi aku, memangnya kau mau mengaku hanya karena dijotos begini? Bilamana sudah kukatakan, mustahil kau tidak akan memukulku lebih kejam lagi.”

Berputar bola mata Siau-hi-ji, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Kupukul kau? .... Ah, bilakah pernah kupukul kau?” Lalu dia malah memayang bangun Kang Giok-long dan mengebutkan debu kotoran bajunya. Katanya pula dengan tertawa, “Selamat bertemu pula, Kang-heng. Baik-baikkah selama ini?”

Giok-long tertawa terkekeh-kekeh, jawabnya, “Baik, cukup baik, cuma tadi seekor anjing gila telah menggigitku beberapa kali.”

Siau-hi-ji juga bergelak tertawa, katanya, “Anjing gila hanya menggigit anjing gila, kalau Kang-heng tidak gila, juga bukan anjing, dari mana ada anjing gila yang menggigit kau?”

“O, jika begitu mungkin aku yang salah lihat,” ujar Giok-long dengan terbahak.

“Mungkin Kang-heng teramat merindukan diriku, kau menangis hingga matamu bengkak, makanya pandanganmu rada kabur.”

“Betul, senantiasa kupikirkan keadaan Hi-heng, sering khawatir jangan-jangan kakak Hi terhinggap penyakit ayan atau mengidap sakit ambein, sungguh hatiku sedih apabila terkenang padamu.”

“Siaute malah mengira Kang-heng yang sehat walafiat ini pasti takkan terhinggap penyakit apa pun, tapi tadi kulihat Kang-heng berkulai di pojok sana dalam keadaan kelojotan, apakah bukan Kang-heng yang mengidap penyakit ayan?”

Gayung bersambut, kata berjawab. Begitulah kedua orang saling berolok-olok dengan tajam seakan-akan sedang melawak.

Menyaksikan perang lidah itu, Oh Yok-su merasa geli dan juga gegetun, pikirnya, “Pameo yang mengatakan gelombang laut dari belakang mendorong ke depan tampaknya memang tepat. Di kalangan Kangouw dahulu meski juga banyak tokoh-tokoh lihai yang licik dan licin, tapi kalau dibandingkan kedua anak muda ini sungguh masih selisih jauh.”

Diam-diam ia pun heran entah ke mana perginya Pek San-kun dan Hoa Bu-koat. Apabila Pek San-kun membawa pergi Hoa Bu-koat, mengapa Kang Giok-long ditinggalkan sendirian di sini?

Didengarnya Siau-hi-ji sedang berkata pula, “Kang-heng duduk sendirian di pegunungan sunyi ini, apakah tidak takut kedatangan setan pencabut nyawa yang akan menagih janji padamu?”
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes