Wednesday, May 12, 2010

bgp2_part2

“Demi berebut seorang lelaki, memangnya apa pun dapat dilakukan oleh seorang perempuan,” sambung To Kiau-kiau dengan tertawa. “Apalagi demi mendapatkan pemuda seperti Siau-hi-ji, sekalipun kau membunuh orang juga takkan kusalahkan kau.”

“Jika demikian, untuk keperluan apakah kalian datang kemari?” tanya So Ing.

“Kami sengaja mencari kau untuk merundingkan suatu perdagangan,” jawab Li Toa-jui.

“Perdagangan? Perdagangan apa?” tanya So Ing.

“Haha, sudah tentu perdagangan yang saling menguntungkan,” tukas Ha-ha-jai, “Cuma kami tidak tahu apakah kau setuju atau tidak?”

“Jika ada bisnis yang saling menguntungkan, masa aku tidak setuju?” jawab So Ing tertawa.

“Baik, sekarang kutanya padamu, kau ingin menjadi istri Siau-hi-ji bukan?” tanya To Kiau-kiau.

So Ing tertawa, jawabnya tanpa pikir, “Tidak cuma begitu saja, malahan aku sudah bertekad menjadi istrinya.”

“Haha, tampaknya tekadmu sangat besar,” tukas Ha-ha-ji. “Tapi kau harus tahu, bukan urusan mudah jika ingin diperistri oleh Siau-hi-ji.”

“Bilamana urusannya sedemikian mudah, bisa jadi aku malah tidak ingin menjadi istrinya,” jawab So Ing dengan tertawa.

“Tapi apakah kau yakin dan mempunyai pegangan akan dapat menjadi istrinya?” tanya To Kiau-kiau.

“Urusan yang tiada pegangannya dan semakin sulit, tentunya akan semakin menarik untuk dilaksanakan bukan?” jawab So Ing.

“Tapi kalau gagal, kan jadi tidak menarik, bukan?” kata To Kiau-kiau.

So Ing menghela napas, katanya, “Ya, jika begitu memang sangat tidak menarik.”

“Nah, untuk itu, kami dapat membantu terlaksananya cita-citamu, tapi kau juga harus berjanji melakukan sesuatu bagi kami,” kata To Kiau-kiau.

So Ing mengerling manis, katanya dengan tertawa, “Kalian benar-benar yakin dia sudi menikahiku?”

“Sudah tentu kami yakin,” jawab To Kiau-kiau. “Jangan lupa, kami inilah yang membesarkan Siau-hi-ji, masa kami tidak kenal tabiatnya?”

“Jika begitu urusan apa yang harus kukerjakan bagi kalian?” tanya So Ing.

“Kau harus membawanya hidup-hidup ke liang Gui Bu-geh itu, kemudian membawanya keluar pula hidup-hidup,” tutur To Kiau-kiau.

“Sebab apa kalian menghendaki demikian” tanya So Ing.

“Sebab kami ingin menyuruhnya mengambil sesuatu barang,” jawab Kiau-kiau.

So Ing berpikir sejenak, ucapnya kemudian, “Tapi kalau dia tidak mau ke sana, lalu bagaimana?”

“Semula mungkin dia tidak mau, tapi sekarang mau tak mau dia harus pergi ke sana,” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa. “Sebab barusan kau telah membantu mengerjakan sesuatu bagi kami, yaitu, kau telah mengirim Thi Sim-lan ke tempat Gui Bu-geh.”

“Dan kalau aku tidak setuju permintaan kalian?” tanya So Ing dengan tenang-tenang.

“Jika kau tidak mau, nafsu makanku akan segera timbul,” ucap Li Toa-jui dengan terkekeh-kekeh.

“Mungkin kalian tidak tahu bahwa pada waktu kecil aku pernah jatuh dari atas pohon sehingga tubuhku banyak bekas lukanya, maka sulit dagingku menjadi rada kasap,” tutur So Ing dengan tenang. Ia tersenyum, lalu menyambung pula, “Walaupun begitu, kupercaya, diolah dengan cara apa pun juga dagingku tetap sangat lezat. Cuma perlu kuberi nasihat, jangan sekali-kali kau masak dengan direbus, daging yang empuk begini harus digoreng, dengan demikian dagingnya akan terasa tetap segar dan gurih.”

Cara bicaranya ramah tamah seperti halnya sedang bertukar pikiran dengan kawan kursus mengenai resep makanan.

Tentu saja Li Toa-jui dan lain-lain jadi saling pandang dengan melongo.

Setelah berdehem Li Toa-jui berkata pula, “Ah, kau telah mengingatkan aku kelezatan daging manusia goreng kering, rasanya memang benar tiada bandingannya. Ehm, sudah lama juga aku tidak merasakannya.”

“Tapi apakah kau tahu cara makan daging manusia goreng itu pun ada rahasianya,” kata So Ing.

“Oya? Bagaimana?” tanya Li Toa-jui.

“Yakni, sebaiknya kau mengiris dagingku selagi aku masih hidup, pula bumbunya jangan diberi cuka, sebab daging manusia umumnya memang rada masam,” kata So Ing.

“Hehe, terima kasih atas petunjukmu, sudah banyak manusia yang kumakan, tak tersangka kau lebih ahli daripadaku,” kata Li Toa-jui.

Dengan tenang So Ing lantas duduk dan berkata Kula, “Nah, santapan enak sudah tersedia, apalagi yang kau tunggu?”

“Ya, aku memang tidak sabar lagi,” kata Li Toa-jui.

“Jika tidak sabar lagi, mengapa engkau tidak lekas turun tangan?”

“Dengan sendirinya aku akan turun tangan,” kata Li Toa-jui. Dia melangkah dua tiga tindak, dilihatnya So Ing masih tetap duduk tenang-tenang saja, sedikit pun tidak mengunjuk rasa khawatir akan dijadikan santapan orang, malahan lebih mirip orang sedang menunggu antaran makanan.

“Li Toa-jui,” tiba-tiba To Kiau-kiau berseru, “Coba kemari, ingin kubicara denganmu.”

Lalu ia menarik Li Toa-jui ke samping sana dan membisikinya, “Apakah benar-benar kau hendak memakannya?”

“Urusan sudah kadung begini, memangnya dapat kulepaskan dia?” jawab Li Toa-jui dengan terbelalak. “Setelah dia menjadi isi perutku, toh selamanya takkan diketahui Siau-hi-ji.”

“Tapi apakah pernah kau makan orang semacam dia” tanya Kiau-kiau.

Li Toa-jui melirik sekejap So Ing yang masih duduk tenang-tenang di sana, lalu dia mengomel dengan suara tertahan, “Keparat, tampaknya budak ini seakan-akan senang menjadi isi perutku, entah muslihat apa yang telah diaturnya?”

“Coba pikir, jika dia tidak mempunyai sesuatu pegangan, mana dia dapat bersikap setenang ini, ia bahkan khawatir matinya terlalu enak dan menyarankan kau menyayat dagingnya hidup-hidup. Coba pikirkan, masa di dunia ini ada manusia demikian?”

“Betul, budak ini banyak tipu akalnya, jangan-jangan sudah diaturnya perangkap untuk menjebak diriku,” kata Li Toa-jui sambil berkerut kening.

“Asal kau tahu saja,” kata To Kiau-kiau.

Semakin rapat terkerut kening Li Toa-jui, ucapnya, “Tapi cara bagaimana dia akan menjebak diriku? Apakah tubuhnya dilumuri racun agar aku keracunan bilamana kumakan dia, tapi apa pun juga jadinya nanti kan dia sudah menjadi isi perutku?”

“Kau pikir dia akan menggunakan cara segoblok itu?” tanya Kiau-kiau.

“Selain itu, anak perempuan selemah dia masa punya akal lain?” ujar Li Toa-jui.

“Jika akal muslihatnya dapat kau terka semudah itu, tentu orang lain tidak perlu takut padanya,” ujar To Kiau-kiau. “Apalagi, dari mana kau tahu dia lemah? Jelek-jelek dia kesayangan Gui Bu-geh, mustahil tidak diajarkan sejurus dua kepadanya.”

Li Toa-jui termenung sejenak, katanya kemudian, “Apakah maksudmu ....”

“Menurut pendapatku, sudahlah, batalkan niatmu saja,” kata To Kiau-kiau, “Kita dapat hidup sampai sekarang bukanlah hal yang mudah, jangan sampai kapal terbalik di selokan, kalau terjungkal di tangan budak cilik begini kan penasaran?”

“Ya, betul juga ....” Li Toa-jui jadi ragu-ragu.

“He, kenapa tidak lekas kenari,” demikian So Ing sedang menggapai dengan tertawa. “Jika menunggu lebih lama lagi, sebentar dagingku bisa basi.”

“Sudahlah, dagingmu terlampau kecut, aku tidak doyan,” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Belum lagi kau makan, dari mana kau tahu dagingku kecut?” ucap So Ing.

“Pengalamanku cukup luas, tanpa makan, sekali pandang pun kutahu,” kata Li Toa-jui dengan tertawa.

“Wah, tak tersangka dagingku bisa kecut, jangan-jangan karena sehari-hari aku terlalu banyak minum cuka,” ujar So Ing dengan menghela napas gegetun. Perlahan dia berdiri, lalu memberi hormat dan berkata, “Jika Tuan tidak sudi lagi kepadaku, terpaksa kumohon diri saja.”

“Nanti dulu!” mendadak Pek Khay-sim membentak.

“Eh, apa nafsu makan Tuan ini jauh lebih besar daripada Li-siansing ini sehingga tidak takut rasa kecut segala?” tanya So Ing.

Pek Khay-sim tertawa, katanya, “Aku tidak sama dengan dia. Dia gemar makan enak, aku gemar main perempuan. Umumnya orang yang cuma gemar makan bernyali lebih kecil, sebaliknya nyali orang yang gemar main perempuan jauh berbeda ....” sambil bicara, selangkah demi selangkah ia mendekati So Ing, dan menyambung pula dengan tertawa, “Kata orang, besar nyali penggemar perempuan meliputi jagat. Nah, apakah pernah kau dengar peribahasa demikian ini?”

Tanpa terasa So Ing menyurut mundur selangkah, tapi tetap tersenyum simpul, katanya, “Jika Tuan merasa bosan hidup membujang, sekarang juga aku dapat menjadi perantara bagimu.”

“Kau mau menjadi perantara bagiku?” Pek Khay-sim menegas.

“Ya, di sungai sana ada perempuan cantik yang sedang mandi, bukan saja molek menggiurkan dan jauh lebih cantik daripadaku, bahkan genit memesona.”

“Hehe, aku cuma penujui dirimu, orang lain aku tidak mau,” kata Pek Khay-sim sambil terkekeh-kekeh, berbareng ia terus menubruk maju dan menarik So Ing.

Dalam keadaan demikian, biarpun dalam perut So Ing penuh berisi tipu akal juga tak dapat digunakannya, perempuan ketemu gerayak, sungguh mati kutu dan tak berdaya.

Li Toa-jui melotot pada To Kiau-kiau, katanya dengan menyesal, “Wah, mestinya aku tidak perlu menuruti kau, sepotong daging jadinya jatuh ke mulut anjing.”

“Barang yang dia sudah pakai kan masih dapat dimakan?” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Hm, barang yang sudah dipakai bocah busuk ini, anjing saja tidak mau mengendusnya lagi, siapa yang mau memakannya?” jengek Li Toa-jui.

“Bret”, sementara itu baju SoIng sudah terobek sebagian oleh jambretan Pek Khay-sim tadi.

Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar seorang berucap dengan tenang, “Seorang lelaki besar mana boleh menganiaya perempuan lemah?”

Suara orang ini terdengar lemah dan perlahan, tapi datangnya orang ini sungguh secepat kilat, tahu-tahu Pek Khay-sim melihat sesosok bayangan melayang tiba dari udara, ia terkejut, tanpa pikir sebelah datangnya terus menghantam.

Sudah jelas pukulannya itu tepat menuju ke bagian hulu hati pendatang, boleh dikatakan pukulan maut yang cukup lihai. Siapa tahu, baru sampai di tengah jalan pukulannya tahu-tahu berputar balik untuk menampar muka sendiri, menyusul mana rambutnya lantas terasa mengencang, tahu-tahu telah dijambak orang terus dilemparkan ke atas.

Li Toa-jui dan lain-lain hanya melihat berkelebatnya bayangan serta mendengar suara “plak” satu kali, tahu-tahu Pek Khay-sim mencelat ke atas dan tepat tercantol di ranting pohon.

Waktu memandang lagi ke arah So Ing, di sisi nona itu sudah bertambah seorang pemuda cakap, seorang pemuda gagah dan ganteng, meski pakaiannya rada kumal, namun tidak dapat menutupi sikapnya yang agung.

Meski pemuda ini telah berhasil menyelamatkan So Ing, tapi So Ing sendiri lantas pucat demi mengenalnya, serunya terkejut, “He, Hoa Bu-koat!”

Pemuda ini memang betul Hoa Bu-koat adanya. Ia tersenyum hambar, sorot matanya lantas menyapu Li, Toa-jui berempat, katanya perlahan, “Adakah di antara kalian yang ingin turun tangan pula?”

Li Toa-jui dan lain-lain sama melongo kaget. Meski Hoa Bu-koat tidak kenal mereka, tapi mereka kenal Hoa Bu-koat. Mereka pernah menyaksikan Hoa Bu-koat membawa nona Buyung Kiu melayang pergi dengan Ginkangnya yang mahatinggi, kini sekali gebrak saja Pek Khay-sim telah terlempar dan menyangkut di atas pohon. Mereka cukup cerdik, sudah tentu mereka tidak ingin cari penyakit.

Dengan tertawa Li Toa-jui lantas berkata, “Memangnya kami mendongkol terhadap setan ini, kini Kongcu telah memberi hajaran padanya, sungguh kami merasa berterima kasih.”

“Ya, cuma sayang hajaran Kongcu tadi masih terlalu enteng,” dengan tertawa To Kiau-kiau lantas menyambung.

“Haha, apabila Kongcu melemparnya lebih jauh, tentu kami akan lebih bergembira lagi,” seru Ha-ha-ji.

Dalam pada itu Pek Khay-sim lagi meronta-ronta bermaksud melompat turun sambil berteriak-teriak, “Padahal aku cuma merabanya perlahan saja, sebaliknya si mulut besar she Li itu tadi hampir makan dagingnya.”

Muka Li Toa-jui menjadi pucat, cepat ia menyangkal, “Ah, dia lagi kentut, jangan Kongcu percaya padanya.”

“Kau sendiri yang kentut busuk!” teriak Pek Khay-sim. “Bukan saja kau hendak makan dagingnya, bahkan tadi kau merencanakan hendak menggoreng dagingnya, akan mengiris dagingnya selagi si nona masih hidup. Ayo, coba menyangkal lagi!”

Muka Li Toa-jui jadi merah, jawabnya, “Itu ... itu kan diucapkan sendiri oleh si nona ini.”

“Coba dengarkan Kongcu, siapa kiranya yang ngaco-belo?” kata Pek Khay-sim dengan tertawa. “Memangnya nona ini sudah gila, masa menyuruh orang lain mengiris hidup-hidup dagingnya sendiri?”

“Keparat, kau yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri!” teriak Li Toa-jui dengan murka.

Pek Khay-sim juga balas mendamprat, “Kau serigala mulut besar yang makan orang tanpa menumpahkan tulang!”

Mereka tidak bersatu menghadapi musuh dari luar, tapi malah cakar-cakaran sendiri, sungguh Hoa Bu-koat tidak pernah melihat manusia demikian, tanpa terasa ia menghela napas dan berkata, “Ai, mengapa kalian jadi bertengkar antarkawan sendiri ....”

Belum habis ucapannya Li Toa-jui telah meraung sambil menubruk ke arah Pek Khay-sim, tampaknya Pek Khay-sim tidak sempat mengelak sehingga kena digenjot oleh Li Toa-jui hingga mencelat beberapa tombak jauhnya sambil mencaci maki, “Kau bangsat keparat, serigala mulut besar, kau berani memukul orang?!”

“Sudah 20 tahun ingin kupukul mampus kau jahanam ini!” Li Toa-jui meraung pula sambil mengejar ke sana.

Tak terduga sebelah kaki Pek Khay-sim mendadak menjegal sehingga Li Toa-jui jatuh tersungkur, kedua orang terus saling gumul dan menggelinding ke sana, terdengar suara “blak-bluk” beberapa kali, suara saling tonjok disertai caci-maki yang kotor, cara berkelahi mereka pun tiada harganya untuk ditonton.

Semula Hoa Bu-koat mengira mereka ini adalah jago silat kelas tinggi, kini ia menilai cara berkelahi itu tidak lebih seperti kaum gelandangan yang saling jotos berebut sisa makanan di tepi jalan.

Dalam pada itu Ha-ha-ji malah bersorak dan berteriak, “Bagus, perkelahian ramai. Haha, jamak rambutnya, lekas! Nah, begitu! Pukul lagi, tonjok hidungnya! Nah, bagus!”

To Kiau-kiau juga berseru, “Wah, jangan dibiarkan mereka berkelahi lagi, jika terus berlangsung, salah satu mungkin bisa mati dan kita yang harus membelikan peti mati baginya, kan rugi kita? Lekas kita melerai mereka saja.”

Sementara itu Li Toa-jui dan Pek Khay-sim yang bergumul itu sudah menggelinding ke balik pohon sana, keduanya tampak sudah terengah-engah dan babak belur, tapi masih saling jotos.

Cepat To Kiau-kiau dan Ha-ha-ji memburu ke sana sambil berteriak, “He, sudahlah berhenti, jangan berkelahi lagi .... Nanti bisa mati salah satu, kan runyam!” Maka kedua orang itu pun menghilang ke balik pohon seperti hendak memisah perkelahian kawan mereka itu.

Hoa Bu-koat cuma menggeleng kepala sambil tersenyum getir, terhadap orang tak kenal malu begitu dia benar-benar tak berdaya kecuali geleng-geleng kepala belaka.

Tiba-tiba So Ing berkata dengan tersenyum, “Hoa-kongcu, engkau telah tertipu oleh mereka.”

“Tertipu bagaimana?” tanya Bu-koat.

“Apakah kau kira mereka berkelahi benar-benar?”

Bu-koat melengak, katanya, “Memangnya mereka cuma ....”

“Mereka hanya cari alasan untuk kabur,” kata So Ing dengan tertawa. “Meski ilmu silat kedua orang itu tidak tinggi, tapi kalau benar-benar mau berkelahi mati-matian dalam 300 jurus juga sukar menentukan kalah atau menang.”

Cepat Hoa Bu-koat memburu ke sana, betul juga, di balik pohon sana sudah tidak nampak bayangan seorang pun.

Setelah melenggong sejenak, Bu-koat menyengir sendiri dan berucap, “Benar juga aku tertipu, sungguh memalukan.”

“Tipu daya keempat orang ini sungguh jarang terlihat,” kata So Ing dengan tertawa, “Adalah aneh kalau orang jujur seperti Hoa-kongcu tidak tertipu oleh mereka.”

“Orang jujur?” Bu-koat mengulang kata-kata itu dengan tertawa, “Kukira belum tentu ... sebab baru saja ada beberapa orang telah tertipu olehku.”

“Oya? Siapa?” tanya So Ing. Tapi segera ia pun tahu siapa yang dimaksud, ucapnya dengan tertawa. “Ya, betul, yang tertipu olehmu pasti Pek San-kun dan istrinya, betul tidak?”

Bu-koat mengangguk dengan tertawa, jawabnya, “Betul, memang mereka.”

So Ing mengerling, ucapnya, “Meski telah kukuasai dirimu dengan kekuatan obat, tapi obat itu tidak berbahaya bagi manusia, asalkan tertiup angin, dalam waktu tidak lama kekuatan obat itu akan lenyap. Cuma waktu itu mereka telah menutuk pula Hiat-tomu sehingga engkau tidak mampu lolos.” Dia tersenyum, lalu menyambung pula, “Tentunya engkau pura-pura sangat payah keracunan agar mereka tidak berjaga-jaga terhadapmu, tapi diam-diam menggunakan tenaga dalam Ih-hoa-ciap-giok untuk menjebol Hiat-to yang tertutuk dan dapatlah meloloskan diri.”

“Kepintaran dan kecerdasan nona sungguh jarang ada bandingannya,” ucap Bu-koat dengan tertawa.

Berkilat sorot mata So Ing, katanya dengan perlahan, “Menurut pendapatmu aku ini terhitung orang pintar nomor satu di dunia bukan?”

Mendadak lenyap senyum Hoa Bu-koat yang selalu menghiasi wajahnya itu, jawabnya dengan gegetun, “Meski nona memang sangat cerdas dan pintar, tapi masih ada pula seorang kenalanku ... apabila nona bertemu dengan dia, mungkin nona pun akan diakali olehnya.”

So Ing menunduk, ia pun menghela napas, ucapnya dengan rawan, “Perkataanmu memang betul, kutahu siapa yang kau maksudkan, malahan aku sudah pernah diakali olehnya.”

Tanpa terasa wajah Hoa Bu-koat menampilkan rasa heran dan tidak percaya, selagi dia hendak tanya lebih jelas, tiba-tiba So Ing berkata pula dengan tertawa, “Sungguh tidak nyana Hoa-kongcu yang ramah tamah sekarang juga dapat menipu orang dengan akal licik, mungkin caramu ini pun dapat belajar dari orang itu, betul tidak?”

Bu-koat tertawa, katanya, “Ya, rasanya aku memang telah ketularan.”

“Tapi Kuncu kan tetap Kuncu, makanya meski kuperlakukan cara begitu, engkau tidak membalas dendam padaku, sebaliknya malah menyelamatkan aku.”

Mendadak Hoa Bu-koat menarik muka, katanya, “Tapi apakah kau tahu sebab apa kutolong kau?”

Terkejut So Ing melihat perubahan air muka Hoa Bu-koat itu, jawabnya dengan tertawa, “Sudah kukatakan, justru karena engkau adalah seorang Kuncu.”

“Kuncu terkadang juga bisa membunuh orang,” kata Bu-koat.

“Jika engkau bermaksud membunuh tentu tidak perlu menolongku, betul tidak?”

“Tapi harus kuberitahukan tiga hal padamu,” ucap Bu-koat dengan menarik muka, “Pertama, rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok sekali-kali tidak boleh diketahui orang luar, siapa yang mendapat tahu hanya ada satu jalan baginya, yaitu kematian. Inilah hukum Ih-hoa-kiong, siapa pun tiada terkecuali.”

Meski So Ing masih tetap tertawa, namun suara tertawanya sudah tidak senyaring tadi lagi.

“Kedua,” sambung Bu-koat, “Apa pun yang akan dilakukan anak murid Ih-hoa-kiong harus dikerjakan sendiri, orang lain tidak boleh ikut campur dan juga tidak boleh diwakilkan pada orang lain.”

“Dan yang ke ... ketiga?

“Ketiga, aku pun anak murid Ih-hoa-kiong, betapa pun juga aku tidak boleh melanggar peraturan Ih-hoa-kiong.”

So Ing menghela napas, katanya, “Jika demikian, sebabnya engkau menolong aku hanya lantaran kau ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri, begitu?”

Bu-koat berpaling ke sana dan menjawab dengan tegas, “Meski terpaksa, mau tak mau harus kulaksanakan.”

“Jika demikian aku pun ingin ... ingin memberitahukan tiga hal padamu,” kata So Ing. Tanpa menunggu Bu-koat bertanya segera ia menyambung pula, “Pertama, jangan kau lupa bahwa sebenarnya banyak kesempatanku dapat membunuhmu, tapi hal itu tidak kulakukan, jika sekarang kau membunuhku bukankah itu berarti tidak tahu budi?”

Meski tidak menanggapi, tapi Bu-koat menghela napas juga.

So Ing lantas melanjutkan, “Kedua, meski kutahu rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, tapi aku pasti takkan meyakinkan ilmu ini, juga takkan kukatakan kepada siapa pun juga, jika engkau tetap membunuhku, itu berarti tidak bijaksana.”

Mulai terketuk hati nurani Hoa Bu-koat, namun dia tetap tidak bersuara.

“Ketiga, kau pun jangan lupa bahwa aku adalah perempuan yang lemah, seorang lelaki besar menganiaya seorang perempuan lemah, ini namanya tidak sopan, kurang ajar, bahkan boleh dikatakan tidak tahu malu.”

Tanpa terasa Hoa Bu-koat menunduk.

Melihat perubahan sikap orang, berkilat mata So Ing, namun mulutnya tetap menjengek, “Hm, jika kau tetap ingin melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak berbudi, tidak bijaksana dan tidak sopan serta tidak tahu malu, ya, apa boleh buat. Cuma kalau hal ini diketahui Thi Sim-lan, kuyakin dia pasti akan sangat kecewa terhadapmu.”

“Apa katamu? Thi Sim-lan?” mendadak Bu-koat menengadah dan menegas.

Dengan perlahan So Ing menjawab, “Betul, Thi Sim-lan .... Dia senantiasa bilang padaku bahwa engkau adalah lelaki yang paling lemah lembut, paling sopan. Tadinya aku percaya penuh, tapi sekarang ....” dia sengaja menghela napas dan tidak melanjutkan.

Jari Hoa Bu-koat rada gemetar, ia menegas pula, “Kau ... kau kenal Thi Sim-lan?”

“Hubungan kami juga tidak terlalu karib, hanya baru saja kami mengikat sebagai kakak beradik,” jawab So Ing dengan acuh tak acuh.

Mendadak Bu-koat seperti kena dicambuk satu kali, ia melenggong sejenak, lalu berkata sambil menggeleng, “Tidak mungkin ... sekali-kali tidak mungkin.”

“Jika tidak percaya, mengapa kau tidak langsung menanyai dia?” jengek So Ing.

Mendadak Bu-koat mengepal tangannya dan bertanya, “Di mana dia?”

“Seumpama kukatakan sekarang dia berada di mana, kukira kau pun tidak berani mencarinya ke sana.”

Sinar mata Bu-koat berkilat tajam, bentaknya, “Gui Bu-geh, maksudmu telah kau jerumuskan dia ke tempat Gui Bu-geh?”

“Hah, kiranya kau pun seorang pintar,” ucap So Ing dengan tertawa.

“Mengapa kau mencelakai dia?” bentak Bu-koat dengan gusar.

“Mencelakai dia? Dia adalah kakak angkatku, masa kucelakai dia?”

“Tapi ... tapi Gui Bu-geh ....”

“Meski Gui Bu-geh terkenal ganas terhadap orang lain, tapi terhadap kami kakak beradik cukup baik.”

Bu-koat membanting-banting kaki, sekonyong-konyong ia membalik tubuh dan berkata dengan parau, “Rahasia Ih-hoa-ciap-giok sekali-kali tidak boleh kau katakan kepada orang lain.”

“Jika diketahui oleh orang kedua, tatkala mana belum terlambat bila aku kau bunuh.”

“Walaupun tatkala mana sudah terlambat, tapi … tapi aku tetap percaya padamu,” mendadak Bu-koat melayang pergi secepat terbang.

“He, nanti dulu, ingin kutanya sesuatu pula padamu,” cepat So Ing berseru. Ketika dilihatnya Bu-koat menghentikan langkah, segera ia menyambung pula, “Orang yang disekap bersamamu itu bernama Kang Giok-long, kau kenal dia atau tidak?”

Tanpa terasa Bu-koat menghela napas menyesal, ucapnya, “Kuharap lebih baik aku tidak kenal dia.”

“Kau pun muak padanya?” tanya So Ing, sorot matanya berkilau.

“Hm, tidak cuma muak saja,” jawab Bu-koat gemas.

“Telah kau bunuh dia?” tanya So Ing pula.

“Tidak,” jawab Bu-koat.

“Mengapa tidak kau bunuh dia?” ujar So Ing gegetun. “Orang ini dibiarkan hidup di dunia ini, hanya akan banyak mendatangkan bencana melulu.”

“Saat ini dia sedang sakit dan terluka, mana bisa kukerjai dia?” kata Bu-koat.

“Ya, memang inilah penyakit kaum Kuncu,” kata So Ing. “Tapi jika kau tidak punya ciri ini, mungkin juga ....” dilihatnya tubuh Bu-koat telah mulai bergerak pula, segera ia berseru, “Tunggu dulu, masih ingin kukatakan sesuatu padamu.”

Untuk kedua kalinya terpaksa Bu-koat berhenti, tanyanya, “Kata-kata apa?”

So Ing tertawa, ucapnya, “Thi Sim-lan tidak salah menilai dirimu, memang benar engkau lelaki yang lembut dan menyenangkan, kau pun benar sangat baik padanya.”

*****

Di rumah batu sana Siau-hi-ji sudah tidak sabar menunggu lagi. Semua tahu, watak Siau-hi-ji tidak sabaran, maka dia terus mondar-mandir seperti semut di dalam wajan panas, berulang-ulang ia tanya Oh Yok-su, “Apakah kau tahu So Ing pasti akan datang kemari?”

Semula Oh Yok-su merasa pasti dan mengiakan. Tapi lama-lama ia sendiri menjadi cemas, sebab So Ing sebegitu jauh belum nampak bayangannya. Apalagi ia sendiri pun gelisah karena racun yang mengeram di tubuhnya, ia coba bertanya, “Racun yang kuderita ini mungkin ... mungkin sudah hampir bekerja bukan?”

Siau-hi-ji melotot dan menjawab, “Apa kau minta kupunahkan racunmu sekarang juga?”

“Setiap perintah Kongcu pasti kuturuti, asalkan Kongcu ....”

Mendadak Siau-hi-ji berjingkrak gusar, bentaknya, “Persetan kau! Dengarkan yang jelas, apabila So Ing tidak datang kemari, selama itu pula takkan kutawarkan racunmu, tahu?”

“Tapi ... tapi nona So akan datang atau tidak kan tidak ada sangkut-pautnya denganku, apabila … apabila racun mulai bekerja ....”

“Jika racun sudah mulai bekerja, anggap saja kau yang sial,” teriak Siau-hi-ji. “Kau mati pun pantas, habis siapa suruh kau bilang So Ing pasti akan datang kemari?”

Siau-hi-ji benar-benar tidak mau bicara tentang aturan lagi, sebab saking gelisahnya dia sudah hampir-hampir gila.

Sudah tentu Oh Yok-su jauh lebih kelabakan daripada Siau-hi-ji, baju yang baru saja kering kini kembali basah kuyup oleh air keringat.

Hanya Kang Giok-long saja tampaknya tidak gelisah sedikit pun, dengan cengar-cengir dia duduk tenang di sana, So Ing akan datang tidak seolah-olah tiada sangkut-pautnya dengan dia. Maklum, sebab dia merasakan obat yang membuatnya sakit dan lemas kini sudah mulai buyar, badannya kini sudah mulai terasa sehat, perlahan-lahan sudah bertenaga.

Sungguh tidak kepalang gelisah Siau-hi-ji dan bayangan So Ing tetap tidak tertampak, akhirnya dia tidak tahan, serunya, “Berangkat, ayo berangkat. Peduli dia datang atau tidak, biarlah kita pergi mencarinya saja.”

Kang Giok-long menghela napas panjang, katanya, “Kini baru mau pergi mencarinya, kukira sudah agak terlambat.”

Mata Siau-hi-ji melotot sebesar telur ayam, bentaknya bengis, “Terlambat? Terlambat apa maksudmu?”

“Jika sekarang pergi mencari nona So lebih dulu baru kemudian balik lagi menolong Hoa-kongcu, kukira Hoa-kongcu mungkin sudah ....” Giok-long sengaja menghentikan ucapannya.

Benar juga, Siau-hi-ji lantas berjingkrak gusar dan membentak, “Mungkin sudah apa? Katakan lekas!”

Kang Giok-long sengaja berlagak tergegap-gegap, jawabnya, “Ter ... terus terang, tempat yang kugunakan menyimpan Hoa Bu-koat itu tidak ... tidak terlalu enak, malahan kurang tembus hawa, jika ... jika terlalu lama, bukan mustahil dia akan mati sesak napas di sana.”

Segera Siau-hi-ji hendak menubruk maju untuk menghajarnya, tapi baru satu langkah mendadak ia berhenti, air mukanya yang marah lantas berubah tertawa, katanya, “Haha, Kang-heng adalah orang antar, tentunya kau tahu apabila Hoa Bu-koat mati kan juga tiada faedahnya bagimu.”

Kang Giok-long menghela napas, ucapnya, “Tentang ini dengan sendirinya Siaute cukup maklum, cuma ....” dia tatap Siau-hi-ji, lalu menyambung dengan perlahan, “... jika sekarang Siaute menolongnya keluar, lalu apa pula faedahnya bagiku?

Cepat Siau-hi-ji menjawab, “Jika kau menolong dia keluar, kujamin akan minta obat penawar dari So Ing untukmu.”

“Siaute sekarang sudah sadar, kurasa kehidupan ini hanya khayalan belaka, mati atau hidup hanya impian saja, apakah nanti Siaute akan mendapatkan obat penawar atau tidak sudah tak terpikir lagi olehku.”

Bahwa Kang Giok-long mendadak mengucapkan kata-kata yang berbau filsafat orang hidup, ini benar-benar lebih mengejutkan seperti mendadak mendengar Hwesio bicara tentang bacaan porno. Keruan Siau-hi-ji melenggong dan memandangnya dengan terbelalak.

“Kau ... kau ini Kang Giok-long tulen atau bukan?” tanya Siau-hi-ji kemudian.

“Tulen atau palsu, betul atau tidak, satu sama lain tiada bedanya,” ucap Giok-long pula seperti seorang pendeta.

“Hahaha, bagus, bagus!” Siau-hi-ji bergelak tertawa. “Kiranya Kang-heng ini reinkarnasi seorang Hwesio tua,” mendadak ia berhenti tertawa dan berkata pula dengan serius, “Baiklah, jika Kang-heng sudah dapat menyadari artinya orang hidup, maka sekarang kita boleh pergi menolong Hoa Bu-koat.”

Kembali Giok-long menghela napas, ucapnya, “Meski Siaute sudah tidak memikirkan lagi tubuh yang busuk ini, akan tetapi ....” dia berpaling dan memandang Thi Peng-koh sekejap, lalu menyambung dengan muram, “Akan tetapi dia ... cintanya padaku membuat aku tak dapat meninggalkan dia.”

Termangu-mangu Thi Peng-koh memandangi Kang Giok-tong dengan air mata berlinang-linang, entah gembira, entah terkejut, entah percaya atau tidak?

Siau-hi-ji lantas menukas, “Memang betul, persoalan cinta, biarpun nabi atau dewa sekalipun juga sukar menghindarinya, tapi entah maksud Kang-heng apakah ....”

“Setelah mengalami peristiwa ini, Siaute tiada hasrat buat berlomba lagi di dunia Kangouw dengan para saudara, yang kuharap budi dan dendam dapat dibereskan sekaligus, bersama dia, kami akan mengasingkan diri ke tempat yang terpencil, kami akan hidup tenteram dan sejahtera untuk selanjutnya, namun ....” dia menyengir dan menyambung pula, “... namun sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang pernah kulakukan, kutahu Hi-heng pasti juga takkan membiarkan kupergi begini saja, betul tidak?”

Dengan sungguh-sungguh Siau-hi-ji menjawab, “Peribahasa berbunyi ‘taruh golok jagal, seketika menjadi Budha’. Tindakan Kang-heng ini sungguh sangat kukagumi, mana bisa kucari perkara lagi padamu?”

“Tapi ... bukanlah Siaute tidak mempercayai Hi-heng, soalnya ....”

“Soalnya setiap orang tahu Kang Siau-hi bukanlah seorang Kuncu,” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa, “Makanya seumpama kau tidak percaya padaku juga takkan kusalahkan kau. Tapi dengan cara bagaimana kiranya barulah kau dapat percaya padaku?”

Giok-long termenung sejenak, katanya kemudian, “Hi-heng berpengalaman banyak dan berpengetahuan luas, tentunya tahu dalam tetumbuhan jamur ada sejenis yang disebut Li-ji-hong (merah anak perempuan).”

Berubah juga air muka Siau-hi-ji mendengar nama tumbuhan ini, tapi cepat ia menjawab dengan tertawa, “Ah, mana berani kuterima sebutan pengalaman banyak dan pengetahuan luas segala, cuma aku memang dibesarkan di pegunungan, maka secara kebetulan pernah juga mendengar nama Li-ji-hong begitu.”

“Barang apakah Li-ji-hong itu?” tiba-tiba Thi Peng-koh ikut menimbrung.

“Li-ji-hong ini adalah sejenis jamur yang tumbuh di tempat yang lembap,” tutur Siau-hi-ji. “Konon barang siapa memakannya tidak sampai lima hari pasti akan menderita semacam penyakit aneh.”

“O, penyakit aneh apa?” tanya Peng-koh pula.

“Konon penyakit ini pada awalnya tidak memperlihatkan tanda apa-apa, hanya si penderita merasa pening kepala dan ingin tidur melulu. Semangat lesu dan seperti orang sakit rindu,” demikian tutur Siau-hi-ji. “Untuk menyembuhkan penyakit aneh ini, setiap beberapa bulan sekali si penderita harus makan sejenis rumput yang disebut Ok-po-cau, (rumput nenek jahat), dimakan bersama akarnya, kalau tidak, penyakit rindu itu akan bertambah berat dan tidak lebih dari setahun akan tamatlah riwayatnya.”

Siau-hi-ji tertawa, lalu menambahkan pula, “Hanya dengan Ok-po-cau saja dapat mengatasi Li-ji-hong, menarik bukan nama-nama ini? Anehnya, dalam keadaan sekarang tiba-tiba Kang-heng menyinggung jamur Li-ji-hong, apa barangkali Kang-heng ingin membikin diriku sakit rindu?”

Sekali ini Kang Giok-long ternyata tidak berbelit-belit lagi, tapi langsung menjawab dengan terus terang, “Ya, betul.”

Hampir saja Oh Yok-su menyangka Kang Giok-long menjadi gila mendadak sehingga mengemukakan permintaan yang mustahil itu, apabila Siau-hi-ji setuju dan benar-benar makan jamur Li-ji-hong itu, bukankah dia juga sudah sinting?

Namun Siau-hi-ji lantas tertawa, katanya, “Tapi benda yang sukar dicari itu, dalam waktu singkat begini ke mana akan kau dapatkan untukku?”

“Jika kucari ke tempat lain, mungkin setengah tahun juga takkan menemukannya,” ujar Giok-long. “Tapi sungguh kebetulan, di sekitar sini justru ada sebuah Li-ji-hong, asalkan Hi-heng sudah setuju, segera akan kupergi memetiknya untukmu.”

Thi Peng-koh juga tidak tahan akhirnya, serunya, “Apakah kau sudah gila? Masa kau bicara begitu, mana ... mana dia mau terima permintaan ini?”

Tapi Giok-long tidak menggubrisnya, dengan perlahan ia berkata pula, “Tentunya Hi-heng tahu, seperti juga Li-ji-hong, Ok-po-cau pun sangat sukar dicari, akan tetapi rumput ini dapat ditanam dan dirawat oleh tenaga manusia, kebetulan Siaute juga tahu cara menanamnya.”

Bola mata Siau-hi-ji tampak berputar-putar, tapi tidak bicara.

Maka Kang Giok-long lantas menyambung lagi, “Apabila urusan di sini sudah selesai, segera akan kucari sesuatu tempat terpencil untuk mengasingkan diri dan mencurahkan perhatian penuh untuk menanam Ok-po-cau bagi Hi-heng. Jika Hi-heng ingin badan tetap sehat, dengan sendirinya engkau akan melindungi keselamatanmu.”

Baru sekarang Oh Yok-su tahu maksud tujuan Kang Giok-long, rupanya dia telah memakai perhitungan yang rapi dan persoalan ini hendak digunakan sebagai alat pemeras terhadap Siau-hi-ji agar selanjutnya Siau-hi-ji tidak berani lagi mencari perkara padanya.

Tapi jalan pikiran ini bukankah terlalu kekanak-kanakan, memangnya Siau-hi-ji mau terima begitu saja? Sungguh lucu, hampir-hampir saja Oh Yok-su bergelak tertawa.

Dilihatnya Siau-hi-ji berpikir sejenak, kemudian berkata dengan tertawa, “Bahwa kau tidak percaya padaku, sebaliknya cara bagaimana aku dapat percaya padamu? Dari mana pula kutahu kau benar-benar akan menanamkan Ok-po-cau bagiku? Pula cara bagaimana kutahu Ok-po-cau itu pasti dapat kumakan kelak?”

“Jika Hi-heng benar-benar mau mencariku, biarpun Siaute mabur ke langit atau ambles ke bumi juga sukar menyembunyikan diri.”

Orang pintar seperti Siau-hi-ji ternyata dapat mengajukan pertanyaan sebodoh itu, jawaban Kang Giok-long juga lucu, tanya jawab mereka sama saja seperti nol besar.

Tapi sekarang Siau-hi-ji justru seperti mau percaya, ia malah tanya lagi, “Setelah kumakan Li jihong segera akan kau tolong Hoa Bu-koat?”

“Ya, apabila Siaute ingkar janji, setiap saat Hi-heng boleh mencabut nyawaku,” jawab Giok-long.

Siau-hi-ji menghela napas, akhirnya dia berkata, “Baik, aku setuju!”

*****

Benar-benar Siau-hi-ji telah menerima syarat Kang Giok-long itu, urusan yang tidak mungkin diterima oleh siapa pun juga, dia justru setuju dan menerimanya. Urusan yang menurut perhitungan orang lain pasti akan dilakukannya justru tidak dilakukannya, tapi urusan yang menurut perhitungan orang lain pasti tidak mungkin dilakukannya justru disetujui dan akan dilakukannya.

Sungguh aneh, sungguh lucu, sungguh tidak masuk akal. Kecuali Siau-hi-ji mungkin di dunia ini tiada orang kedua yang dapat melakukan hal-hal yang mustahil ini.

Oh Yok-su memandang Siau-hi-ji dengan terkesima, pikirnya, “Gila, benar-benar orang gila. Kiranya orang ini tidak waras, konon orang yang kelewat pintar terkadang bisa berubah menjadi gila, tampaknya cerita ini memang tidak salah.”

Thi Peng-koh juga melongo heran dan terkejut sehingga tidak sanggup bersuara.

Kemudian Kang Giok-long benar-benar berhasil menggali Li-ji-hong yang tampaknya sangat menarik dan Siau-hi-ji juga benar-benar memakannya dengan tertawa.

Setelah mengusap mulut, Siau-hi-ji berkata, “Hebat, sungguh hebat. Tak tersangka Li-ji-hong ini adalah makanan selezat ini, selama hidupku ini belum pernah menikmati barang seenak ini.”

Sampai di sini girang Kang Giok-long benar-benar sukar dilukiskan, dia berlagak menyesal, katanya, “Wanita cantik kebanyakan bibit bencana bagi keruntuhan seorang penguasa atau suatu negara, racun yang mematikan sering kali adalah makanan yang terasa paling enak, hanya obat mujarab saja rasanya pasti pahit.”

“Dan kata-kata yang muluk-muluk kebanyakan hanya dusta belaka,” sambung Siau-hi-ji sambil menarik tangan Kang Giok-long, “Nah, ayolah Kang-heng lekas pergi menolong Hoa Bu-koat!”

*****

Letak rumah batu itu memang sangat terpencil, sekarang Kang Giok-long membawa Siau-hi-ji lebih maju lagi ke tempat yang semakin sepi, jalanan juga semakin menanjak dan curam.

Celakanya penyakit Kang Giok-long seperti kumat lagi, belum berapa jauh dia sudah megap-megap, berapa langkah pula dia lantas jatuh, kedua kakinya gemetar seperti orang sakit malaria.

Siau-hi-ji sangat gelisah dan tidak sabar lagi, segera dia pondong Kang Giok-long, katanya, “Di mana tempat yang kau maksudkan, coba katakan, akan kubawa kau ke sana.”

“Wah, bikin capai Hi-heng, rasanya tidak enak,” ujar Giok-long.

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Tidak jadi soal, tulangmu sangat enteng seperti anak kecil, tidak memerlukan tenaga untuk membopong kau.”

“Apakah tulang Hi-heng sangat besar? Wah, kelak Siaute kan tidak sanggup memondong engkau?” jawab Giok-long dengan tertawa.

Dengan mendongkol Thi Peng-koh lantas menyela, “Sudahlah, maukah kalian berhenti bertengkar mulut?”

“Ah, mana kuberani bertengkar mulut dengan Hi-heng,” ucap Giok-long. “Soalnya ....” sampai di sini mendadak ia menuding ke atas sana dan berseru, “Itu dia, apakah Hi-heng melihat gua di atas sana.”

Siau-hi-ji mengikuti arah aneh yang ditunjuk itu, dilihatnya dinding tebing yang curam dan penuh berlumut itu memang betul ada sebuah lubang gua yang gelap gulita. Di mulut gua menonjol sepotong batu sehingga mirip balkon pada gedung bersusun.

“Apakah kau sembunyikan Hoa Bu-koat di gua itu?” tanya Siau-hi-ji.

“Lumayan bukan tempat ini?” ucap Giok-long.

“Mengapa tidak kau sumbat lubang gua itu dengan batu?” tanya Siau-hi-ji pula.

“Selangkah saja Hoa-kongcu tidak mampu berjalan, masa aku khawatir dia akan melarikan diri?” jawab Giok-long.

Mendadak Siau-hi-ji mendelik, bentaknya, “Jika gua itu tidak tertutup, mengapa kau bilang dia bisa mati sesak napas.”

Kang Giok-long tenang-tenang saja, jawabnya acuh, “Mungkin dia takkan mati sesak napas, tapi gua yang terletak di pegunungan begini bukan mustahil ada binatang buas atau ular berbisa ....” Belum habis ucapannya, Siau-hi-ji sudah meloncat ke atas.

“Lebih baik Hi-heng menurunkan diriku agar lebih jelas keadaan tempat ini,” kata Giok-long.

Batu yang mirip balkon itu pun penuh berlumut dan sangat licin, setelah Siau-hi-ji menurunkan Kang Giok-long, tampaknya berdiri saja dia tidak berani, khawatir terpeleset. Dia merangkak ke mulut gua dan melongok ke dalam, mendadak ia berteriak, “Hoa-kongcu, kami datang menolongmu, apakah kau dengar?”

Suara yang berkumandang balik terdengar mendengung-dengung, tapi tiada terdengar jawaban Hoa Bu-koat.

Giok-long berkerut kening, serunya pula, “Hoa-kongcu, bag ... bagaimana engkau? Meng ... mengapa ....”

Siau-hi-ji menjadi tidak sabar, ia tarik mundur Kang Giok-long, ia sendiri lantas mendekam di mulut gua dan melongok ke dalam, tapi keadaan di dalam gua gelap gulita, apa pun tidak kelihatan.

“Adakah kau lihat Hoa-kongcu, Hi-heng?” tanya Giok-long.

Dengan gusar Siau-hi-ji menjawab, “Keparat, sebenarnya kau main gila apa ....” belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tungkak kakinya didorong oleh tenaga mahakuat, belum sempat Siau-hi-ji menjerit kaget, tahu-tahu tubuhnya sudah terjerumus ke dalam gua.

Kang Giok-long yang tadinya tidak sanggup berjalan itu kini mendadak berubah menjadi gagah perkasa, cepat ia melompat bangun dan berseru ke dalam gua, “Hi-heng ... Siau-hi-ji ....”

Namun tiada jawaban Siau-hi-ji, selang sejenak baru terdengar suara “plung”, nyata gua itu sangat dalam.

Sambil menengadah Kang Giok-long tertawa ngakak, katanya, “Siau-hi-ji, wahai Siau-hi-ji, baru sekarang kau tahu kelihaian Kang Giok-long, akhirnya kau tertipu dan kena kukerjai juga.”

Thi Peng-koh memandang dari bawah ke atas, apa yang terjadi di atas itu tak jelas baginya. Kini mendengar suara tertawa senang Kang Giok-long itulah baru dia terkejut, cepat ia bertanya, “He, engkau telah apakan Siau-hi-ji?”

“Kau lebih memperhatikan dia atau cuma memperhatikan aku?” tanya Giok-long dengan tertawa.

“Tapi ... tapi engkau kan tidak boleh ….”

“Tidak boleh apa?” tanya Giok-long dengan tertawa.

“Kau membunuhnya?” seru Peng-koh parau.

“Tidak kubunuh dia, memangnya harus kutunggu dibunuh olehnya?” kata Giok-long dengan terbahak.

Kejut dan gusar Thi Peng-koh, teriaknya dengan parau, “Bukankah kau ingin hidup tenteram bersamaku, mengapa sekarang engkau ....”

Sambil bicara segera ia bermaksud meloncat ke atas, tapi baru saja dia hendak bergerak, mendadak teringat olehnya bahwa baju yang dipakai olehnya sekarang adalah baju panjang milik Oh Yok-su, bagian dalam kosong melompong tiada memakai apa pun, jika lompat ke atas, yang pasti untung adalah Oh Yok-su yang berdiri di bawah dan akan menikmati tontonan menarik dan gratis. Karena itulah dia urungkan niatnya sambil mengepit bajunya lebih rapat.

Oh Yok-su juga terkejut dan melenggong, sejenak kemudian barulah dia bersuara, “Jika benar Siau-hi-ji telah kena racun Li-ji-hong, selanjutnya kan dapat kau peralat dia agar tunduk kepada segala perintahmu, kalau sekarang juga kau celakai jiwanya, kan sayang?”

“Tak tersangka olehmu bukan?” tanya Giok-long.

“Ya, aku memang rada-rada tidak mengerti?” ujar Oh Yok-su.

“Apa yang tidak dimengerti olehmu juga tak dimengerti oleh Siau-hi-ji, makanya dia tertipu olehku,” ucap Giok-long dengan tertawa. “Li-ji-hong tadi tidak lebih hanya sebagai kail saja. Nah, sekarang kau paham tidak?”

Kembali Oh Yok-su melengak, ia merasa betapa licin tipu akal Kang Giok-long ini dan kejinya sungguh sukar dibayangkan orang.

Lalu Giok-long berkata pula, “Dia selalu sok pintar, selalu menganggap orang lain tidak dapat menipu dia, justru di sinilah letak kelemahannya. Apabila seseorang menganggap dirinya sendiri teramat pintar, terkadang dia akan tertipu juga secara amat bodoh,” ia terbahak-bahak, lalu menyambung, “Siau-hi-ji, wahai Siau-hi-ji, kau senantiasa menganggap dirimu adalah orang pintar nomor satu di dunia, sekarang tentunya kau tahu, orang pintar nomor satu di dunia ini sesungguhnya siapa?”

“Dan Hoa Bu-koat bagaimana? Apakah dia juga sudah dicelakai olehmu?” tiba-tiba Oh Yok-su bertanya.

“Sudah sejak tadi Hoa Bu-koat kabur,” jawab Giok Long.

“Kabur? Dia sudah kabur?” Oh Yok-su menegas dengan terkesiap.

“Memangnya kau kira Hoa Bu-koat orang tolol dan linglung?” tutur Giok-long dengan tertawa. “Supaya kau tahu, dia juga bisa menipu orang. Dia sengaja berlagak linglung agar kalian tidak berjaga-jaga padanya, kesempatan baik itu lantas digunakan untuk kabur.”

Oh Yok-su tertegun sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, “Lalu di mana Pek San-kun?”

“Waktu itu penyakitku lagi kumat, dalam keadaan samar-samar aku pun tidak memperhatikannya, rasanya dia seperti pergi mengejar Hoa Bu-koat,” kata Giok-long.

Oh Yok-su menatapnya lekat-lekat dan bertanya, “Dan sekarang penyakitmu ....”

“Ada sementara obat yang sangat lihai, tapi punahnya juga sangat cepat ....”

Mendadak Oh Yok-su melompat ke atas dan berteriak khawatir, “Wah, celaka, racun yang kuminum belum lagi punah, aku masih harus minta obat penawar padanya.”

“Bagus, silakan mencarinya ke bawah!” jengek Giok-long tiba-tiba. Mendadak sebelah tangannya menghantam.

Padahal Oh Yok-su baru saja melayang ke atas dan belum lagi berdiri tegak, kalau melompat balik ke bawah memang dapat menghindarkan serangan itu, tapi ganti napas saja belum sempat, bila melompat turun ke bawah, andaikan tidak jatuh terluka juga pasti tak dapat berdiri tegak. Bukan mustahil kesempatan itu akan digunakan Kang Giok-long untuk menubruk ke bawah dan menyerangnya lagi, maka pasti sukar untuk mengelak.

Hendaklah diketahui bahwa setiap tokoh “Cap-ji-she-shio” adalah jagoan yang sudah berpengalaman, Oh Yok-su bahkan tergolong salah satu di antaranya paling menonjol, sebab itulah bilamana bergebrak dengan orang selalu digunakan perhitungan yang matang, baik sebelum maupun sesudahnya.

Batu di mulut gua itu sangat licin, menurut perhitungan Oh Yok-su, bagian kaki Kang Giok-long pasti tidak cukup kukuh berdirinya, kalau bagian kaki kurang kuat, daya pukulannya juga pasti tidak keras.

Karena itu pukulan Giok-long itu tidak dihindarkan lagi oleh Oh Yok-su, ia sengaja menerima pukulan itu, tapi kakinya mendadak juga menyapu ke bagian bawah Kang Giok-long.

Serangan ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu, benar-benar satu tipu serangan yang bagus, kalau bukan jago kawakan yang berpengalaman pasti tidak dapat melancarkan serangan berbahaya dan jitu ini.

Tapi Kang Giok-long hanya tertawa terkekeh kekeh saja, katanya, “Boleh juga juragan kelinci kita ini!” Mendadak ia melompat ke atas, berbareng kedua kakinya menendang secara berantai dalam keadaan tubuh terapung.

Sama sekali tak terduga oleh Oh Yok-su bahwa di tempat begini Kang Giok-long berani menggunakan serangan demikian, keruan ia terkejut, hendak berkelit pun tidak keburu lagi. Maklum, ia sendiri baru saja menendangkan sebelah kakinya dan belum sempat ditarik kembali, tentu saja bagian bawah menjadi goyah, sedangkan ujung kaki Kang Giok-long sudah menendang ke tenggorokannya.

Dalam keadaan kepepet terpaksa dia menyambut tendangan Giok-long itu dengan tangan. Sudah tentu tenaga tangan tidak sekuat tenaga kaki, seumpama tendangan itu dapat ditangkis oleh tangannya juga orangnya pasti akan terdepak ke bawah. Sebaliknya kalau kaki Kang Giok-long sampai terpegang olehnya, tentu pula akan ikut terseret jatuh ke bawah, meski cara demikian lebih mirip perkelahian antara kaum gelandangan, tapi dalam keadaan kepepet, hal-hal demikian tak terpikir lagi olehnya.

Di luar dugaan, dalam keadaan tubuh terapung Kang Giok-long masih ada sisa tenaga untuk mengubah gerak serangannya. Mendadak kedua kakinya menendang beberapa kali dalam waktu sekejap saja, jangankan hendak menangkap kakinya, bahkan arah datangnya kaki saja tak jelas bagi Oh Yok-su.

Baru sekarang Oh Yok-su tahu bahwa Kang Giok-long ini bukan cuma licin, keji dan kejam, bahkan tinggi ilmu silatnya juga jauh di luar dugaannya. Ia tahu dirinya tidak mampu melawannya, ia menghela napas dan mendadak menjatuhkan diri ke atas batu yang berlumut itu, menyusul terus menggelinding dan terjun ke dalam gua yang gelap gulita itu.

Tinggal Thi Peng-koh saja yang masih berdiri termangu-mangu di bawah tanpa bergerak, Kang Giok-long sengaja pamer, ia berjumpalitan satu kali di udara lalu dengan enteng seperti seekor kupu-kupu raksasa turun di samping Peng-koh. Namun si nona masih tetap anggap tidak melihatnya.

“Beberapa kali tendangan tadi sudah kau lihat bukan?” dengan cengar-cengir Giok-long bertanya.

Tanpa memandangnya Peng-koh menjawab dengan hambar, “Ya.”

“Itulah kombinasi tendangan dari Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, Siau-lim-pay, dan Go-bi-pay yang telah kugabungkan dan diubah di sana sini sehingga jadilah ilmu tendangan seperti tadi, untuk itu kuberi nama ‘tendang mati orang tidak ganti nyawa’. Coba, bagus tidak nama ini?”

“Bagus,” jawab Peng-koh dengan dingin.

“Nah, kau mempunyai suami yang berkepandaian setinggi ini, masa tidak gembira?” tanya Giok-long dengan tertawa.

Mendadak Thi Peng-koh melengos terus lari ke sana.

Cepat Giok-long memburu maju dan mengadang di depannya, ucapnya dengan tertawa, “Eh, apa-apaan kau ini? Kan sudah lama kita tidak berkumpul, sekarang penyakitku sudah sembuh, inilah kesempatan pertama bagi kita untuk bermesraan, kenapa kau malah tidak gubris padaku?”

“Silakan kau cari dan bermesraan dengan orang lain saja,” jengek Peng-koh, “Orang pintar seperti kamu, ksatria yang berkepandaian tinggi pula, mana kuberani menaksir dirimu.”

“Mencari orang lain? Mencari siapa? Yang kusukai hanya dikau!” rayu Giok-long, berbareng Peng-koh terus dirangkul dan diciumnya.

Karena tak dapat melepaskan diri, Peng-koh hanya meronta-ronta saja sambil berseru, “Kau ... kau ... lepaskan!”

“Tidak, tidak akan kulepaskan, biarpun kau bunuh aku juga takkan kulepaskan,” kata Giok-long dengan memicingkan sebelah mata, tangannya juga mulai menggerayang ke dalam baju Peng-koh yang longgar itu.

Peng-koh masih meronta-ronta, akhirnya ia pun kehabisan tenaga, tanpa terasa ia mencucurkan air mata, ucapnya dengan suara gemetar, “Lepaskan dulu diriku, ingin ... ingin kutanya sesuatu padamu.”

“Tanyalah, kan mulutmu tidak kusumbat?!” jawab Giok-long dengan cengar-cengir, sudah tentu tangannya tidak pernah berhenti “main”.

“Coba jawab, setelah kau celakai Siau-hi-ji, memangnya kau belum puas dan mengapa masih membinasakan Oh Yok-su pula?”

“Masa kau tidak tahu apa sebabnya?”

“Tidak,” jawab Peng-koh.

“Sudah sejak mula kulihat kelinci keparat itu memandangmu dengan matanya yang serupa mata maling, rasa gemasku sudah tak terlukiskan, kalau bisa seketika itu pun akan kubunuh dia, masa perlu kau tanya lagi?”

“Kau ... kau bunuh dia, masa ... masa demi diriku?”

“Bukan demi dirimu, memangnya demi siapa lagi?” ujar Giok-long dengan tertawa. “Entah mengapa, asalkan orang lain memandang sekejap padamu, rasa hatiku lantas panas. Apalagi kelinci keparat itu berniat jahat kepadamu. Hm, kecuali aku sendiri, barang siapa berani menyentuh satu jarimu, mustahil tidak kubinasakan dia.”

Sambil bicara, kerja tangannya juga bertambah aktif sehingga Thi Peng-koh sampai geliang-geliut.

“Sungguh tak tersangka sebesar ini cemburumu,” ucap Peng-koh dengan gegetun.

“Jika aku tidak suka padamu, mana bisa cemburu?” kata Giok-long.

Rasa marah Peng-koh sudah lenyap sejak tadi, kini pipinya malah bersemu merah, bukan saja suaranya rada gemetar, bahkan tubuhnya juga mulai gemetar.

Giok-long menempelkan mulutnya ke tepi telinga si nona dan membisiki dua-tiga kata.

Seketika muka Thi Peng-koh menjadi merah dan meronta, serunya, “Tidak, tidak boleh di sini ….”

“Mengapa tidak boleh?” ucap Giok-long tertawa.

“Bila ... bila dilihat orang ....”

“Setan saja tidak kelihatan di sini, mana ada orang segala?” kata Giok-long. “Ayolah ....”

Belum lanjut ucapnya, entah mengapa, tahu-tahu Thi Peng-koh memberosot lepas dari rangkulannya, terus “terbang” ke atas sambil menjerit kaget.

Tentu saja Kang Giok-long juga berjingkat, tanpa terasa ia memandang ke arah Peng-koh, dilihatnya kedua paha si nona yang putih mulus itu sedang terayun-ayun di udara, tubuhnya mengapung lurus ke atas seperti roket yang baru lepas landas, sekaligus mengapung setinggi beberapa tombak dan anehnya dengan tepat hinggap di atas pohon.

Pohon itu tumbuh mencuat keluar dari celah tebing, baju Thi Peng-koh yang longgar itu persis menyangkut pada ranting pohon, seketika badannya telanjang bulat bergelantungan di udara, persis Swike atau kodok hijau yang habis dibelejeti kulitnya oleh si penjual di pasar.

Sungguh tak terbayangkan oleh Kang Giok-long cara bagaimana Thi Peng-koh bisa bergelantungan begitu di udara, tanpa pikir ia berteriak-teriak, “Lekas lompat turun, lekas! Akan kupegang kau!”

Thi Peng-koh seperti melenggong kaget, bergerak saja tidak bisa lagi, mukanya juga pucat lesi, rasa takutnya yang tak terhingga tertampak dari sorot matanya yang guram itu. Tapi sorot matanya itu tidak memandang ke arah Kang Giok-long.

Dengan sendirinya Giok-long lantas berpaling mengikuti arah pandang si nona, baru sekarang dilihatnya seorang berbaju putih dengan rambut panjang terurai di pundak entah sejak kapan telah berdiri di depannya.

Baju putih orang ini berkibar tertiup angin, tubuhnya kaku seperti patung tanpa bergerak, mukanya juga memakai sebuah topeng ukiran kayu, kelihatannya seperti badan halus yang baru muncul dari bawah tanah.

Jelas sekarang bagi Kang Giok-long, mengapungnya Thi Peng-koh ke atas itu adalah karena dilemparkan oleh orang ini. Hanya sekali lempar saja Thi Peng-koh telah mencelat setinggi beberapa tombak dan menyangkut di ranting pohon, kepandaian ini sungguh sukar untuk dibayangkan.

Sebenarnya Kang Giok-long sangat licik dan licin, pintar melihat gelagat, mahir membedakan arah angin. Kalau kebentur orang yang berkepandaian jauh di atasnya, andaikan dia disuruh makan tahi seketika juga dia tak berani membantah.

Tapi bayangkan, seorang lelaki yang hasratnya sedang menyala-nyala, mendadak kehendaknya itu digagalkan orang, maka betapa rasa murkanya itu sungguh tak terkatakan.

Tentu saja Kang Giok-long menjadi gusar dan lupa segalanya, segera ia membentak, “Apakah kau ini gila? Tanpa hujan tiada angin, mengapa kau cari perkara padaku?”

Si baju putih bertopeng kayu itu tetap berdiri tegak, tidak bergerak juga tidak bersuara.

Kang Giok-long tambah murka, segera ia menubruk maju terus menghantam.

Si baju putih tetap diam saja, hanya lengan bajunya mengebas perlahan, kontan pukulan Kang Giok-long itu entah cara bagaimana mendadak berputar balik dan “plak”, dengan tepat muka sendiri yang terpukul.

Seketika muka Kang Giok-long merah bengap karena pukulan itu, tapi otaknya juga lantas sadar oleh pukulan itu, seketika kakinya terasa lemas, dengan suara gemetar ia tanya, “Apakah ... apakah engkau ini Ih-hoa-kiongcu?”

“Orang macam kau juga berani sembarangan menyebut Ih-hoa-kiongcu?” jengek si baju putih.

Seketika Kang Giok-long menjatuhkan diri dan menyembah, ucapnya dengan suara parau, “Ya, ya, hamba memang tidak sesuai untuk menyebut nama yang keramat itu, hamba pantas dipukul.”

Dia memang pintar, tanpa menunggu si baju putih memukulnya segera ia memukul dirinya sendiri, bahkan cukup keras caranya memukul.

Si baju putih hanya memandangnya dengan dingin tanpa bersuara.

Karena orang tidak bersuara, tangan Kang Giok-long juga tidak berani berhenti, ia terus memukul muka sendiri, mukanya yang putih cakap itu seketika merah bengap seperti ginjal babi yang baru disembelih, darah pun meleleh dari ujung mulutnya.

Remuk redam perasaan Thi Peng-koh menyaksikan cara Kang Giok-long menghajar mukanya sendiri, tanpa terasa ia memohon, “Kiongcu, sudilah engkau mengampuni dia.”

Baru sekarang si Baju putih menengadah, katanya, “Kau mintakan ampun baginya, lalu siapa pula yang akan mintakan ampun bagimu?”

Dengan suara gemetar Peng-koh menjawab, “Hamba tahu dosa hamba teramat besar, sesungguhnya memang tidak berani meminta ampun kepada Kiongcu.”

“Bagus, jika begitu coba jawab ke mana kau bawa Siau-hi-ji?”

“Siau-hi-ji .…” tiba-tiba Peng-koh tidak berani meneruskan, teringat apabila dia bicara terus terang bahwa Siau-hi-ji telah dicelakai Kang Giok-long, bukan mustahil seketika Kang Giok-long akan dicincang hingga hancur lebur oleh Ih-hoa-kiongcu.

“Siau-hi-ji bagaimana? Mengapa tidak kau lanjutkan?” tanya si baju putih.

“Dia ... dia juga berada di sini,” jawab Peng-koh dengan tergagap-gagap, “Mungkin dia berada di … di sebelah sana.”

“Baik,” kata si baju putih, “Sekarang juga akan kucari ke sana, asal saja keteranganmu ini benar.”

Dalam pada itu Kang Giok-long berkelesetan di tanah karena dihajar oleh dirinya sendiri, namun begitu dia belum lagi berani berhenti.

“Sudah, cukup!” bentak si baju putih mendadak.

Seperti baru bebas dari neraka, Kang Giok-long merangkak bangun sambil menyembah, katanya, “Te ... terima kasih Kiongcu.”

“Sekarang kau harus menjaganya di sini, jika dia dicelakai orang lain, segera kucabut nyawamu, bila dia dilarikan orang, jiwamu juga akan kubetot. Nah, tahu tidak?” kata si baju putih.

“Hamba tahu,” jawab Giok-long takut-takut.

“Sedikitnya kau harus tahu, apabila jiwa seseorang sudah kuincar, biarpun dia lari ke ujung langit juga pasti dapat kutemukan dia,” jengek pula si baju putih.

Kembali Giok-long mengiakan sambil munduk-munduk. Waktu dia angkat kepalanya, tahu-tahu si baju putih sudah menghilang seperti badan halus.

Ia menghela napas dan berucap dengan meringis, “Inilah Ih-hoa-kiongcu, kiranya beginilah Ih-hoa-kiongcu, tak tersangka hari ini aku dapat melihatnya, mungkin nasibku lagi mujur.”

“Masa kau anggap mujur?” seru Peng-koh dengan parau.

“Berapa orang Kangouw yang dapat melihat Ih-hoa-kiongcu, apa namanya jika bukan mujur.”

“Untung yang datang ini Kiongcu muda, jika Kiongcu besar yang datang, saat ini jiwa kita mungkin sudah amblas.”

Namun Kang Giok-long sedang memandang jauh ke sana dengan termangu-mangu, entah apa yang lagi dipikirkan.

Dengan kesal Thi Peng-koh berkata pula, “Nanti kalau dia sudah datang lagi, kita tetap tak dapat hidup lebih lama. Kau telah mencelakai Siau-hi-ji, tidak mungkin dia mengampunimu.”

“Sebab apa? Bukankah dia mengharuskan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji?”

“Betul, tapi dia cuma menginginkan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji dengan tangan sendiri, orang lain dilarang mengganggu satu jari pun Siau-hi-ji, bahkan dia sendiri juga pasti tidak akan mencelakai Siau-hi-ji.”

“Aneh, apa sebabnya?” ucap Giok-long dengan heran, “Sungguh aneh, benar-benar aneh?!”

“Aku pun tidak tahu apa sebabnya,” tutur Peng-koh. “Mereka kakak beradik memang manusia aneh. Betapa pun juga sekarang lekas kau tolong aku turun, badanku terasa kesemutan, Hiat-toku tertutuk olehnya.”

“Mana bisa kutolong kau?” kata Giok-long dengan menyengir.

“Habis siapa ... siapa yang akan menolongku jika bukan engkau?” seru Thi Peng-koh.

“Sekalipun kutolong kau juga kita tetap tak dapat lolos dari cengkeramannya,” ucap Giok-long dengan kesal.

“Tapi apa pun kan harus kita coba,” ujar Peng-koh. “Paling-paling hanya mati saja. Jika sekarang juga kita kabur dan bersembunyi, sedikitnya kita masih dapat hidup beberapa hari lagi dengan bahagia.”

Setelah berhenti sejenak, dengan tersenyum pedih kemudian Peng-koh menyambung, “Ya, asalkan aku dapat hidup bersamamu dengan tenteram dan bahagia, biarpun mati juga kurela.”

Kang Giok-long menunduk, tiba-tiba ia menengadah dan berkata, “Tapi kalau tidak kau beritahu bahwa aku yang membunuh Siau-hi-ji, tentu dia takkan membunuhku, betul tidak?”

Thi Peng-koh melengak, jawabnya dengan ragu-ragu, “Ya, mung ... mungkin ....”

“Jika tadi telah kau dustai dia, kenapa tidak berdusta lagi,” ujar Giok-long.

“Tapi ... tapi aku ... aku ....”

“Jika akhirnya kau toh akan mati, untuk apa mesti menghendaki aku mati bersamamu? Bila kau benar-benar cinta padaku, kau harus berani mengorbankan dirimu untuk menolong aku, untuk itu pasti selamanya takkan kulupakan.”

Thi Peng-koh benar-benar melenggong, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa Kang Giok-long bisa bicara demikian?

Pada saat itulah tiba-tiba seorang menanggapi dengan tertawa terkekeh-kekeh, “Bagus, bagus sekali! Sudah lama tak kudengar kata-kata mutiara begini.”

Seorang lagi menambahkan dengan tertawa, “Jika saudara ini perempuan, Siau Mi-mi pasti akan mengaku kalah bila menyaksikan kejadian ini.”

“Hahaha, dua Siau Mi-mi mungkin juga tak dapat menandingi dia seorang,” sambung lagi orang ketiga.

Segera suara orang keempat bergelak tertawa, katanya, “Sejak kedua Auyang bersaudara itu mati, kalian selalu khawatir sukar mencari gantinya, sekarang sudah tersedia seorang calon di sini.”

Di tengah gelak tertawa ramai itulah dari balik lereng sana muncul empat orang. Bentuk keempat orang ini sangat istimewa, yang satu bermulut lebar luar biasa, seorang lagi lelaki bukan perempuan tidak, orang ketiga selalu tersenyum simpul dan orang keempat mirip pengemis dengan memanggul sebuah karung goni.

Karung yang dipanggulnya itu kelihatan bergerak-gerak, malahan terdengar suara keluhan dari dalam karung, suara keluhan itu pun sangat aneh, seperti orang sakit, tapi juga mirip keluhan orang kepuasan dan mengkilik-kilik perasaan orang lain yang mendengarnya.

Sebelah tangan orang yang mirip pengemis itu memegang sepotong kayu dan sebentar-bentar disabetkan ke atas karung goni. Setiap kali dia menyabet, setiap kali pula suara keluhan itu bertambah kenikmatan, malahan terdengar ucapannya yang samar-samar seperti lagi memohon, “Sabetlah yang keras ... kumohon, sabetlah lebih keras lagi ….”

Tapi orang yang mirip pengemis itu justru menurunkan karungnya dan tidak memukul lagi, ia malah berkata pada Kang Giok-long dengan tertawa, “Coba, di dunia ini ada orang yang suka dipukuli, pernah kau lihat atau tidak?”

Kang Giok-long memang benar-benar tak pernah melihat orang sinting demikian, pada hakikatnya mendengar saja tidak pernah. Walaupun biasanya dia pintar putar lidah, kini dia jadi kesima juga.

Dalam pada itu Thi Peng-koh yang masih terkatung-katung di atas pohon itu ya malu ya cemas, akhirnya ia pingsan sendiri.

Keempat pendatang ini jelas bukan lain daripada Li Toa-jui, To Kiau-kiau, Pek Khay-sim dan Ha-ha-ji. Namun siapakah pula yang berada di dalam karung goni dan gemar dipukul itu?

Li Toa-ju mendekati Kang Giok-long, dengan tertawa lebar ia menegur, “Sahabat cilik, siapakah namamu?”

Meski tidak tahu asal usul orang aneh ini, tapi melihat bentuk mereka yang luar biasa, betapa pun Kang Giok-long tidak berani cari gara-gara, lalu menjawab, “Cayhe Ciang Peng, entah tuan-tuan ini siapa pula?”

“Usia saudara masih muda belia, tapi nama Cap-toa-ok-jin kiranya juga pernah kau dengar bukan?” jawab Li Toa-jui dengan tertawa.

Seketika berubah air muka Kang Giok-long, ucapnya, “Cap-toa-ok-jin? Jangan-jangan ... jangan-jangan Tuan ini ....”

“Haha, melihat mulutnya tentunya kau pun tahu siapa dia” seru Ha-ha-ji.

Giok-long mengerling mereka sekejap, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin.

To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya, “Jangan khawatir, saudara cilik, kedatangan kami ini tidak bermaksud jahat padamu.”

Tiba-tiba Giok-long tertawa, jawabnya, “Kalian adalah kaum Cianpwe dunia persilatan, sudah tentu takkan mencari perkara kepada Wanpwe yang tiada terkenal ini, hati Cayhe sungguh sangat lega, bahkan merasa gembira karena dapat melihat wajah asli para Cianpwe.”

“Hihihi, coba lihat, betapa pintar cara bicara anak ini, seperti bermadu saja mulutnya,” ucap To Kiau-kiau dengan mengikik.

“Haha, orang begini, Hwesio seperti diriku juga suka padanya,” tukas Ha-ha ji, “Pantaslah nona di atas pohon itu pun tidak sayang berbuat apa pun baginya.”

Tiba-tiba Giok-long berkata serius, “Nona di atas pohon ini meski kenalan Cayhe, tapi hubungan kami hanya berdasarkan persahabatan saja tanpa ada persoalan asmara, janganlah Cianpwe salah mengerti.”

“Jika benar ada persahabatan, kini orang tergantung di atas pohon dalam keadaan bugil, kenapa kau tidak menolongnya?” tanya To Kiau-kiau.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes