Friday, June 25, 2010

lpn_25_27a

Jilid 25
SUDAH berhari hari lamanya Gak Lam-kun melakukan perjalanan, dia tahu kalau dirinya masih berada ditengah pegunungan tersebut, padahal Ji Cin-peng telah di bekuk Tiang pek sam him dengan tidak di ketahui bagaimana nasibnya. Menolong orang bagaikan menolong api, ia memang sangat membutuhkan seseorang sebagai petunjuk jalan untuk menolong Ji Cin-peng.
Maka setelah berpikir sejenak, sambil menghela napas Gak Lam-kun berkata, “Bila nona Ki bersedia membantu kami, budi kebaikan ini tak akan aku orang she Gak lupakan untuk selamanya!”
Sesudah berhenti sejenak, kembali ia berkata lebih jauh, “Aaai… kali ini aku datang kebukit Tiang-pek san adalah bermaksud untuk menolong istriku. Ia sudah ditawan oleh Tiang pek san him dan mati hidupnya tidak diketahui. Itulah sebabnya sedikit terlambat ditolong bisa mengakibatkan keadaan yang fatal”
Mendengar perkataan itu, Ki Li-soat merasa amat terkejut mimpipun ia tak menyangka kalau Gak Lam-kun sudah beristri. Bukankah itu berarti setitik harapan yang masih tersisa dalam hatinya ikut lenyap pula kini.
Tak terlukiskan rasa sedih Ki-li Soat setelah mendengar perkataan itu, tapi ia masih berupaya keras untuk mengendalikan perasaannya dengan pedih katanya, “Gak siangkong, dapatkah kau memberitahukan siapa nama istrimu itu?”
“Dia?” Gak Lam-kun segera menghela napas panjang, “kau tak akan kenal……”
Tiba-tiba terdengar suara dari Jit Kiu liong berkumandang datang dangan nyaring, “Dia adalah kakakku, Ji Cin-peng!”
Ternyata Ji Kiu-liong telah mendaki naik ke puncak tebing tersebut dari dasar lembah
Ki Li-soat menjerit kaget serunya, “Sudah kenalkan aku dangan orangnya? Siapakah dia?”
Dangan wajah murung jawab Gak Lam-kun lirih, “Kalau dibicarakan sesungguhnya panjang sekali, dia bukan lain adalah ketua perguruan panah bercinta Bwe Li pek adanya!”
Mendengar perkataan itu, Ki Li-soat segera tersenyum katanya, “Ooooh….. rupanya kalian sudah menikah selamat, selamat!.
Gak Lam-kun tahu bahwa dia salah paham maka ujarnya kembali. “Nona Ki, kami sudah menikah hampir dua tahun lamanya, malah sudah berputra seorang”
“Sungguh?” seru Ki li-Soat dengan kening berkerut.
“Sesungguhnya kejadian ini tak bisa diceritakan dengan sepatah dua patah kata saja. Aaaai….! Sebenarnya aku sendiripun mengira ia sudah berpulang kealam baka, karena itu aku tidak me-nyangka kalau Bwe Li pek sebetulnya tak lain adalah istriku sendiri yang telah tiada selama dua tahun itu”
Ketika dilihatnya Ki Li-soat makin kebingungan, pemuda iia segera berkata kembali, “Nona Ki, jika kau tidak keberatan akan kukisahkan jalannya peristiwa ini pelan-pelan”
Ki Li-soat segera manggut-manggut.
“Duduklah dulu dalam batu disebelah sana, akan kusiapkan dulu sedikit makanan kemudian kita berangkat ke Ngo kok koan”
Ki Li-soat, Gak Lam-kun dan Ji Kiu-liong segera berangkat menuruni tebing batu karang ter-sebut.
Ki Li-soat membawa Gak Lam-kun menuju ke tebing bawah bukit itu, lalu sambil menunjuk sebuah gua batu didepan sana, katanya sambil tertawa, “Gua batu ini adalah tempat yaag dipakai mendiang guruku untuk melatih diri. Selama satu bulan belakangan ini, aku berdiam dalam gua ini dengan siang malam berlatih pedang, bila diwaktu senggang seringkali aku membaca kitab kuno untuk menambah pengetahuan”
Ketika mengucapkan kata kata tersebut nada suaranya kedengaran amat sedih sekali membuat Gak Lam-kun merasa amat simpatik, dia ikut kasihan kepadanya. Ia merasa begini cantiknya gadis itu, jika harus memendam masa remajanya diatas bukit yang terpencil, sesungguhnya, hal ini merupakan sesuatu kejadian yang tragis.
Diam-diam Gak Lam-kun mengamati gua batu itu. Dilihatnya dalam gua kurang lebih empat kaki dengan lebar satu kaki. Suasana dalam ruangan gua sangat bersih dan nyaman.
Setelah masuk kedalam gua, disudut kanan terdapat sebuah ruangan batu, mungkin disitulah Ki Li-soat berdiam selama ini.
Empat penjuru dinding ruang batu licin dan putih bersih seperti kemala, empat buah kursi batu yang indah dengan sebuah batu besar yang terbuat dari batu granit menghiasi ruangan tengah. Disudut ruangan sebelah belakang terdapat sebuah tempat pembaringan. Meskipun amat sederhana perabotnya tapi tampak rapi dan bersih.
Diam diam Gak Lam-kun harus memuji kehebatan Ki Li-soat. Yaa… Remaja manakah didunia ini yang bersedia hidup sengsara dan sederhana diatas bukit macam ini, apalagi bila ia memiliki wajah yang cantik.
Begitulah menggunakan sedikit waktu senggang yang tersedia itu, Gak Lam-kun dengan perasaan yang paling pedih menceritakan kisah hubungannya dengan Ji Cin-peng dimasa lalu……
Selesai mendengar penuturan tersebut, Ki Li-soat menghela nafas sedih, katanya. “Untung saja tak lama kemudian kalian akan berkumpul kembali. Semoga kalian bisa hidup bahagia sepanjang masa dan menikmati senangnya kehidupan sebagai manusia”.
Diam diam Gak Lam-kun menghela napas sedih dan pelan-pelan keluar dari gua itu. Ia sedang berpikir dalam hatinya, “Aku telah menanam bibit cinta dengan Yo Ping, entah bagaimanakah penyelesaiannya atas persoalan ini?”
Sementara itu matahari telah tenggelam di langit barat, senjapun menjelang tiba….
Gak Lam-kun mendongakkan kepalanya memandang bianglala diujung langit dimana terhias oleh cahaya matahari senja yang sedang tenggelam ke balik bukit.
Perasaannya waktu itu bagaikan matahari yang sedang tenggelam tersebut, suasananya amat mengenaskan sekali. Memandang cahaya keemasan yang makin memudar itu, lama-lama sekali ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Mendadak…..
Dari kejauhan sana, diantara rentetan pegunungan yang menjulang ke angkasa, berkumandang beberapa kali pekikan yang amat nyaring……
Pekikan tersebut berkumandang saling bersambung dan tiada hentinya. Mungkin lantaran jaraknya terlampau jauh, sehingga suaranya kedengaran amat lirih.
Agaknya Ki Li-soat juga mendengar suara pekikan tersebut, buru-baru dia lari keluar sambil berkata. “Mungkin di sekitar tempat itu ada orang yang telah berjumpa muka dengan orang- orang Ngo kok koan dari bukit Tiang pek-san’“
Mendengar perkaitaan itu, dengan kening yang berkerut Gak Lam-kun segara bertanya, “Apakah suara pekikan itu berasal dari Ngo kok koan?”
“Benar, urusan tak bisa ditunda lagi. Mumpung ada kesempatan baik, mari sekarang juga kita berangkat ke Ngo kok koan”
Selesai berkata, Ki Li-soat segera masuk kedalam untuk tukar pakaian ringkas, kemudian dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, berangkatlah mereka menuju ke arah timur laut.
Cuaca makin lama semakin gelap, ditengah pegunungangn hampir tak ada penghuninya ini boleh di bilang hampir tiada jalan yang bisa dilalui sepanjang jalan. Kalau bukan jurang yang terbentang lebar, bukit-bukit karanglah yang menjulang tinggi ke angkasa serta batu-batu cadas terjal dan curam. Sulit rasanya untuk melanjutkan perjalanan itu.
Untung saja Ki Li-soat hapal dengan jalan disitu. Dengan kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimiliknya, perjalanan bisa dilanjutkan dengan cepat.
Hanya Ji Kiu-liong seorang yang bertenaga dalam agak cetek. Setelah melalui beberapa buah bukit, tubuhnya sudah basah kuyup dengan keringat.
Tapi demi menyelamatkan jiwa kakaknya, dia harus menggigit bibirnya menahan derita. Dengan memaksakan diri dia berlarian terus menelusuri jalan yang sulit.
Gak Lam-kun tahu kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya kurang sempurna. Bila dilanjutkan terus akhirnya pemuda itu bakal mati karena kecapaian, maka dia sambar lengan kanan pemuda itu dengan tangan kirinya dan ditarik untuk maju ke depan.
Setelah lengan kanannya dipegang Gak Lam-kun, Ji Kiu-liong segera merasakan tubuhnya enteng seperti burung walet. Angin tajam seperti berdesiran di sisi telinga. Pemandangan disekelilingnya terasa mundur ke belakang dengan cepat. Dia merasa dirinya seolah-olah sedang terbang di angkasa.
Ketika Ki Li-soat menyaksikan Gak Lam-kun yang musti menarik seseorang ternyata masih bisa bergerak cepat seperti burung elang, bahkan sama sekali tidak kepayahan, diam-diam ia merasa amat terperanjat, pikirnya. “Sungguh tidak kusangka ilmu silat yang dimilikinya telah peroleh kemajuan yang begini pesatnya. Bila keadaan seperti ini berlangsung teras, aku yakin tak lama kemudian dia akan menjagoi seluruh dunia persilatan”
Beberapa saat kembali sudah lewat….
Ditengah perjalanan, tiba-tiba terdengar suara pekikan aneh yang keras dan memekikkan telinga berkumandang kembali di udara.
Suara itu bukan cuma keras dan melengking bahkan tak sedap didengar, persis seperti jeritan setan atau lolongan serigala.
Walaupun begitu, suaranya menurut irama. Ada suitan yang panjang ada pula suitan pendek, tampaknya memang dipancarkan oleh seseorang menurut irama yang telah ditentukan.
Gak Lam-kun dan Ki Li-soat segera menghentikan gerakan tubuh mereka dan memperhatikannya dengan seksama.
Agaknya Ji Kiu-liong merasa agak takut, dengan suara lirih ia lantas berbisik, “Gak toako, sebenarnya suara itu suara manusia atau jeritan setan…?”
Gak Lam-kun tidak menjawab, cuma pikirnya dalam hati, “Jeritan aneh yang sama sekali berbeda dengan suara-suara pada umumnya ini memang kedengaran sangat menyeramkan sekali…. tapi suara apakah itu?”
Ternyata untuk sesaat lamanya diapun tak bisa menebak suara apakah itu.
Terdengar Ki Li-soat tertawa ringan, kemudian katanya, “Liong siaute, suara itu bukan jeritan setan”
Sesudah berhenti sejenak dia berkata lebih jauh, “Suara itu adalah suatu sistem mengirim beri-ta yang biasa dipergunakan oleh orang-orang Liok- lim, cuma suitan setan dari Ngo kok koan ini sedikit berbeda dibandingkan dengan cara yang biasa dipakai oleh orang orang Liok lim. Diantara irama panjang dan pendek yang tersiar tersebut sesungguhnya mengandung arti kode-kode rahasia yang cuma diketahui oleh pihak mereka sendiri. Orang lain hanya bisa rnendengar irama suitan yang memanjang dan memendek, tapi tidak dapat memahami berita apakah yang sesungguhnya telah mereka kirimkan”
“Sumpritan itu ada yang terbuat dari panca logam, ada pula yang terbuat dari besi biasa. Ditengah keheningan malam bisa tersiar sejauh beberapa puluh li. Coba kita dengarkan lebih jauh, sebentar pasti ada suara sempritan setan lain yang menyahut irama tadi”’
Betul juga, tak lama kemudian terdengar suara sumpritan aneh itu berkumandang lagi saling sahut menyahut. Selisih waktu antara yang satu dengan lainnya tidak terlalu lama, tapi sesaat kemudian suara sumpritan lain yang jauh lebih aneh berkumandang kembali, cuma kali ini suara tersebut berasal dari tempat yang agak jauh.
Mendadak……
“Sreeet…..! Sreet….! Sreeet…..”
Beberapa kali desingan angin tajam berkumandang memecahkan keheningan malam, menyusul kemudian dari balik kegelapan muncul tiga titik cahaya tajam yang secepat kilat menyambar ketubuh Gak Lam-kun, Ki Li-soat serta Ji Kiu-liong .
Gak Lam-kun tertawa dingin, tangan kanannya segera diayunkan kemuka, segulung desingan angin tajam yang memekikkan telinga dengan cepat menggulung kemuka dan mementalkan ketiga titik cahaya tajam tersebut.
Tiba-tiba terdengar gelak tertawa aneh berkumandang kembali diudara sekilas cahaya tajam di iringi suara desingan angin tajam secepat kilat menyergap datang.
Sementara itu Ji Kiu-liong telah meloloskan pedangnya dengan gusar ia membentak. “Bangsat, kalian berani main sergap!”
Dengan jurus Im wu kim kong (Cahaya emas dibalik kabut) pedangnya dengan menciptakan segpulung cahaya keperak-perakan menyongsong kemuka.
“Traang….!”
Serentetan bunyi bentrokan yang amat nyaring berkumandang memecahkan keheningan, perakan bunga api berpancaran ke empat penjuru.
Akibat dari bentrokan itu, Ji Kiu-liong merasakan pergelangan tangannya menjadi kesemutan lengan kanannya kaku nyaris pedangnya terlepas dari genggaman.
Ketika dia mengamati kembali musuhnya maka tampaklah lebih kurang lima depa dihadapannya berdiri seorang tocu berbaju blacu yang aneh dandanannya dan berperawakan tinggi besar, ditangannya memegang sebilah pedan bewarna perak.
Waktu itu diapun berdiri dengan wajah terperanjat, agaknya merasa tercengang karena Ji Kiu-liong sanggup menahan sebuah serangannya.
Setelah mengamati sekejap Gak Lam-kun dan Ki Li-soat dengan dingin ia bertanya. “Kalian datang darimana? Apakah rombongan yang baru masuk tadi adalah rekan-rekan kalian?”
Mendengar teguran tersebut Gak Lam-kun segera berpikir. “Barusan ada serombongan manusia datang kemari? Siapakah mereka…? Mungkinkah Han Hu hoa dan Kwik To dari perguruan Panah Bercinta yang sengaja datang kemari untuk menolong Cin peng……?”
Gak Lam-kun merasa kecuali kedua orang itu rasanya tak mungkin ada orang lain yang bakal datang kemari untuk mencari gara-gara dengan pihak Ngo kok koan.
Belum sempat Gak Lam-kun menjawab Ji Kiu-liong telah menyahut sambil tertawa dingin. “Kalau betul mau apa kau?”
Sementara tanya jawab itu sedang berlangsung kembali ada bayangan manusia yang berkelebat datang dari empat penjuru. Dalam waktu singkat ada dua belas orang tosu yang memakai baju pendeta dari kain blacu telah mengambil posisi mengepung disekeliling tiga orang itu.
Pelan-pelan Ji Kiu-liong berjalan kesisi Gak Lam-kun, Kemudian sambil membungkukkan badannya, dengan jurus Giok li to sou (gadis cantiK. menisik jarum) secepat kilat pedangnya menyerang ketubuh tosu tersebut.
Serangan kilat yang dilancarkan secara tiba-tiba ini sama sekali diluar dugaan tosu berbaju blacu itu, sewaktu menjumpai ia berjalan ke samping Gak Lam-kun tadi, dikiranya dia hendak menyampaikan sesuatu kepada rekannya, atau mungkin merasa sudah merasakan kelihayannya dalam bentrokam tadi, maka ia mundur sendiri dari arena pertarungan.
Siapa tahu dengan suatu gerakan yang nama sekali tak terduga, ternyata dia melancarkan sebuah tusukan lagi.
Sesungguhnya, dalam jarak yang begitu dekat apalagi melancarkan serangan tiba-tiba, sulit bagi tosu untuk menghindarkan diri.
Tapi, tosu berbaju blacu itu merupakan pemimpin dari kedua belas orang tosu yang tiba, sudah barang tentu dia memiliki ilmu silat yang luar biasa.
Begitu serangan dari Ji Kiu-liong dilancarkan, untuk menangkispun ia tak sempat lagi.
Tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar itu mengikuti gerakan dari pedang tersebut menjatuhkan diri kebelakang, kemudian sepasang kakinya menjejak dengan sekuat tenaga menggunakan gerakkan ikan leihi meletik, tahu-tahu ia sudah melompat mundur sejauh satu kaki tiga depa lebih.
Melihat serangannya tidak berhasil mengenai sasarannya, dia segera menekuk pinggang sambil memutar tangan, dengan gerakan yang tidak berubah, secepat bayangan dia menusuk lawan.
Serangan dan kelitan yang dilakukan ke dua orang itu sama-sama dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat. Sekalipun para tosu disekitar tempat itu ingin turun tangan mencegahpun tak sempat lagi.
Ketika tosu baju blacu itu menyaksikan dirinya secara beruntun didesak mundur terus oleh seorang bacah cilik yang belum hilang bau teteknya ini, dari malu ia menjadi naik darah!
Sewaktu serangan kedua dari Ji Kiu-liong itu meluncur tiba, dia segera mengembangkan lengannya untuk menyongsong datangnya ancaman itu. Belum lagi tubuhnya berdiri tegak, pedang ditangan kanannya sudah menyapu ke depan, diantara titik kilatan cahaya yang menyilaukan mata, dengan keras lawan keras dia sambut datangnya serangan dari Ji Kiu-liong tersebut.
Rupanya Ji Kiu-liong sudah tahu kalau ilmu silat yang dimiliki tosu itu tidak lemah. Jika tidak melancarkan serangan mematikan, tiada harapan baginya untuk merebut kemenangan.
Pergelangan tangannya segera menekan kebawah, pedangnya berputar dengan jurus Kim ciam teng-hay (paku emas memantek samudra ). Begitu terhindar dari tangkisan pedang lawan, tiba-tiba mata pedang yang semula menusuk ke bawah itu berubah arah dan langsung menyambar ke atas dadanya.
Untuk menggunakan jurus serangan itu Ji Kiu-liong telah melakukan suatu tindakan yang menyerempet bahaya, pedangnya dengan cepat menyambar diatas bajunya, nyaris tosu itu terluka di ujung pedangnya tersebut.
Tosu berbaju blaco itu tidak menyangka kalau Ji Kiu-liong begitu berani menyerangnya dengan menyerempet bahaya. Sebenarnya dia ingin menangkis dulu pedangnya agar serangan lawan terbendung, kemudian baru memperbaiki posisinya.
Tapi dengan demikian dia malah dipaksa mau tak mau tak harus menghindarkan diri lebih dulu dari serangan lawan.
Dia segera menarik napas panjang. Gerakan melompatnya yang baru dilakukan tiba-tiba ditarik ditengah jalan, kemudian mengikuti gerakan pedang lawan, tubuhnya menjatuhkan diri ke tanah dengan punggung menempel diatas permukaan tanah tiba-tiba ia menggelinding ke samping meloloskan diri serangan mematikan dari Ji Kiu-liong tersebut.
Pada saat inilah kedua belas orang tosu berbaju blacu warna hitam disekeliling tempat itu telah meloloskan pedangnya dan mendesak maju ke depan.
Gak Lam-kun segera tertawa dingin, katanya, “Jika kalian tetap berdiam disitu untuk menantikan keputusanku, mungkin masih ada setitik harapan hidup buat kalian. Tapi jika berani maju lebih ke depan, maka kamu semua akan mati dalam keadaan yang mengerikan”
Ucapan tersebut diucapkan dengan nada dingin dan menyeramkan, membuat ke sebelas orang tosu itu tanpa terasa sama sama menghentikan gerakan tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar salah seorang tosu yang berada disamping itu berkata sambil tertawa dingin. “Apakah kau tidak merasa bahwa ucapan mu itu terlampau tekebur? Semenjak dulu sampai sekarang, belum pernah ada jego persilatan yang berani mencari gara-gara dalam lembab Ngo Kok koan bisa lolos dari sini dalam keadaan hidup. Sambut dulu sebuah tusukan pedangku ini”
Ditengah bentakan keras, dari sisi arena tiba tiba ia melepaskan sebuah tusukan ke depan.
Tanpa berpaling Gak Lam-kun menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis datangnya tusukan tersebut.
Ketika para tosu lainnya menyakslkan Gak Lam-kun begitu sombong dan tekebur, mereka semua lantas menganggap pemuda itu sedang mencari kematian untuk diri sendiri.
Siapa tahu, pada saat itulah dengan kedua jari tangannya Gak Lam-kun telah menjepit pedang itu lalu membetotnya ke kiri.
Pedang ditangan tosu itu segera terlepas sementara tubuhnya seperti sebuah bola terlempar sejauh tujuh-delapan kaki dari tempat semula.
Serentetan suara jerit kesakitan yang memilukan hati segera berkumandang memecahkan keheningan, tubuh sitojin itu mencelat ke udara dan menumbuk di atas sebuah batu karang besar. Batok kepalanya segera hancur berantakan dan isi perutnya hingga tercecer bersama genangan darah. Ke empat anggota badannya patah, keadaannya mengenaskan sekali.
Demontrasi kepandaian maha sakti yang diperlihatkan ini sungguh membuat kawanan tosu itu menjadi kaget dan ketakutan. Untuk beberapa saat lamanya mereka hanya bisa berdiri tertegun tanpa mengetahui apa yang musti dilakukan.
Setelah menggunakan kepandaiannya yang maha dahsyat untuk menggetarkan perasaan kawanan tosu itu, Gak Lam-kun membalikkan badannya. Saat itn dia baru menjumpai bahwa pertarungan antara Ji Kiu-liong melawan tojin berbaju blaco itu sudah mencapai puncak ketegangan yang paling berbahaya.
Kedua balah pihak telah mengembangkan jurus-jurus serangan yang tercepat dan terdahsyat untuk mengalahkan musuhnya. Jurus-jurus serangan yang digunakan tojin itu bagaikan bunga salju yang beterbangan diudara, hembusan angin serangannya membawa hawa dingin yang merasuk tulang. Sebaliknya pedang Ji Kiu-liong berkelebat bagaikan halilintar, dan menari kian kemari bagaikan seekor naga sakti.
Ki Li-soat yang bermata tajam, dalam sekilas pandangan saja dapat menangkap bahwa permainan pedang tojin berbaju blacu itu mempunyai kemantapan dibalik kecepatan, agaknya ia telah berhasil menguasahi keadaan. Betul Ji Kiu-liong masih belum menunjukkan tanda-tanda akan kalah, tapi bila pertarungan ini dilanjutkan lebih jauh, sudah pasti dia tak akan menerima keuntungan apa apa.
Baru saja dia bersiap-siap untuk turun tangan membantu, tiba-tiba terdengar Gak Lam-kun te-lah berbisik. “Nona Ki jangan kuatir, Kiu liong tak bakal kalah”
Baru selesai dia berkata, tiba-tiba terdengar Ji Kiu-liong membentak lengking. Tiba-tiba permainan pedangnya berubah, cahaya pedang dengan membawa badai hawa dingin menyambar-nyambar di udara. Dalam waktu singkat hawa pedang tersebut membubung semakin besar, cahaya tajam berkelebat kiam kemari, dalam waktu singkat ia telah melepaskan delapan buah serangan berantai.
Ke delapan buah serangan itu ibaratnya gelombang dahsyat yang menghantam bendungan di pantai. Benar juga, tojin berbaju blacu ini segera tak tahan dan keteter hebat sehingga mundur sejauh tujuh-delapan depa lebih dari posisi semula.
“Kau masih akan berkeras kepala?” jengek Ji Kiu-liong sambil tertawa dingin.
Pedangnya berkelebat ke muka secepat sambaran petir dan langsung menusuk ke lambung tojin itu.
Tojin berbaju belacu itu meraung keras, bahu kirinya tertusuk telak dan darah segar bercucuran membasahi tubuhnya. Tapi ia sempat merentangkan sepasang lengannya dan melejit keudara. Dari situ badannya yang tinggi besar menukik ke bawah bagaikan burung walet yang menyambar ombak, dan secara beruntun dia lancarkan tiga buah serangan berantai.
Ketiga buah serangan tersebut betul-betul tangguh dan luar biasa. kali ini Ji Kiu-liong yang terdesak hingga gelagapan dan terjerumus dalam keadaan yang berbahaya sekali.
Pada saat itulah, bahu kiri si tojin berbaju belacu yang terluka itu diangkat.
“Sreet. ….!”
Setitik cahaya kilat yang tajam segera menyambar ke dada Ji Kiu-liong, selisih jarak mereka tidak lebih cuma tiga depa belaka.
Gak Lam-kun sangat terkejut, ia tahu untuk menolong tak sempat lagi.
“Criing…..!”
Pedang ditangannya segera disambit ke depan.
“Sreet….!”
Dengan menciptakan sekilas cahaya bianglala putih yang menyilaukan mata, senjata itu segera meluncur kedepan dengan kecepatan luar biasa.
“Criing! Criing…..!”
Ditengah dentingan nyaring yang memekikkan telinga, pedang yang disambit kedepan itu segera menghajar rontok titik cahaya tajam yang telah berada lima inci dari depan dada Ji Kiu-liong itu. Kemudian dengan sisa kekuatan yang ada, pedang itu mencelat sejauh enam tujuh kaki lagi sebelum jatuh ke tanah.
Tapi gerakan serangan si tojin berbaju belacu itu tak sampai di situ saja. Sambil melompat ke depan pedangnya diayunkan dengan jurus Liong heng it si (satu jurus gerakan naga), tubuh berikut pedangnya bersama sama menubruk kemuka secara garang.
Tubuhnya belum sampai tiba disasaran, pedangnya telah berganti jurus, kali ini dia keluarkan jurus Ban hong jut ciau (selaksa lebah keluar dari sarang), ujung pedangnya bergetar keras. Bagaikan terciptanya segumpal hujan cahaya perak, dengan membawa hembusan angin dingin segera menerpa wajahnya dan menimbulkan pandangan mata yang sangat menyilaukan mata.
Semenjak jiwanya terancam bahaya tadi, Ji Kiu-liong sudah dibikin tertegun. Dalam keadaan pikiran yang bercabang, mana mungkin baginya untuk menghindarkan diri dari sergapan pedang si tojin berbaju belacu ini?. Tampaknya dia akan segera terluka di ujung pedang lawan.
Sejak pertama kali tadi, Gak Lam-kun telah menduga bahwa tojin berbaju belacu itu bakal melakukan gerakan tersebut. Tubuhnya segera berkelebat kedepan menghadang dimuka Ji Kiu-liong. Kemudian dengan lima jari tangan kanannya yang dipentangkan lebar-lebar dia sentil pedang yang sedang menusuk tiba itu.
“Criing….! Criing…! Criing…!”
Secara beruntun terdengar enam kali dentingan nyaring.
Tertekan oleh sentilan yang sangat keras itu, pedang ditangan tojin berbaju blaco itu, sudah mencelat dan tergetar patah menjadi lima bagian oleh sentilan jari tangan Gak Lam-kun.
Demontrasi tenaga dalam yang demikian mengerikan itu, sekali lagi membuat tojin berbaju blacu itu lekas untuk mundur ke belakang. Untuk sesaat lamanya dia hanya berdiri termangu-mangu ditempat.
Gak Lam-kun tertawa dingin, tangan kirinya segera menekan kedepan menghajar dadanya.
Segulung tenaga pukulan yang kuat dan dahsyat dengan cepat menekan kearah dadanya.
Seperti baru sadar dari impian tojin berbaju belacu itu tersentak kaget dari lamunannya, tapi sayang untuk berkelit sudah tak sempat lagi.
Ia segera merasakan dadanya menjadi sakit sekali. Hawa darah dalam rongga tubuhnya bergolak keras. Matanya berkunang-kungan dan kepalanya berat sekali. Begitu mendengus tertahan, seluruh nadi penting ditubuhnya telah tergetar patah menjadi beberapa bagian. Tak ampun lagi dia tewas secara mengerikan diujung telapak tangan Gak Lam-kun.
Sepuluh orang tojin yang mengepung diluar arena serentak membentuk keras. Sambil memutar pedangnya, serentak mereka menyerbu kemuka bagaikan harimau terluka.
Gak Lam-kun tertawa dingin, ia bergerak pula menerjang kedepan. tangan kirinya menyambar ke sana kemari, secara mudah ia berhasil merampas sebilah pedang ditangan seorang tojin.
Ketika tojin itu merasakah pedangnya kena di rampas, berbareng itu juga ia merasa ada segulung tenaga hisapan yang kuat menghisap badannya sehingga pada akhirnya dia tak mampu mempertahankan diri dan badannya segera menubruk ketubuh Gak Lam-kun.
Si anak muda itu segera mengangkat kaki kirinya melepaskan tendangan maut….
“Duuuk!”
Tendangan itu dengan telak menghajar dada tojin itu. Dengusan tertahan bergema memecahkan keheningan. Dengan seluruh tulang dadanya patah dan remuk, tojin itupun tewas seketika.
Gak Lam-kun bergerak ke depan jauh-jauh. Tubuhnya bergerak kian kemari bagaikan hembusan angin puyuh, tubuhnya seperti bayangan setan menyambar pedang di kiri, membabat pedang di kanan…
Ditengah kegelapan yang mencekam seluruh jagad, hanya terdengar jeritan demi jeritan ngeri berkumandang saling susul menyusul. Suara itu tajam menekakkan telinga. Belum habis jeritan pertama, dengan tertahan jeritan berikutnya sudah kedengaran….
Tak lama kemudian, sepuluh tojin itu secara beruntun sudah terluka semua diujung pedangnya.
Mayata terkapar dimana-mana. Dengan darah berceceran di tanah membuat suasana betul betul mengerikan.
Ketika Ki Li-soat menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh Gak Lam-kun itu diam-diam ia menghela napas pikirnya, “Ilmu silat yang dimilikinya begitu tinggi dan dahsyat. Sejak kini entah ada berapa banyak jago persilatan lagi yang bakal tewas diujung telapak tangannya?”
Mendadak terdengar suara pekikkan panjang yang memekikkan telinga berkumandang dari kejauhan.
Suara pekikan tersebut bermula dari suatu tempat yang sepuluh kaki jauhnya dari situ, tapi dalam wattu singkat tahu tahu sudah mendekati mereka bertiga. Segulung angin kencang yang amat dahsyat segera menyambar ke tubuh Ji Kiu-liong yang berdiri paling dekat dengannya.
Waktu itu kebetulan Ki Li-soat juga berada tiga depa disamping Ji Kiu-liong , untuk menolong tak sempat lagi baginya untuk meloloskan pedang, maka sambil membalikkan badan dia lepaskan sebuah pukulan tangan kosong dengan jurus Im liong peng wu (naga sakti menyembur kabut), sebab dia tahu ilmu silat yang dimiliki orang itu tak mungkin bisa dilawan oleh Ji Kiu-liong .
Ilmu silat yang dimiliki Ki Li-soat juga lihay sekali. Meskipun serangan yang dilepaskan itu dilakukan dalam Keadaan tak siap2 namun enam bagian tenaga dalam yang di sertakan itu segera menimbulkan suatu daya kekuatan yang maha dahsyat. Siapa tahu, ilmu silat yang dimiliki pendatang itu sunggah luar biasa sekali. Telapak tangan kirinya dengan jurus Gi san tian hay (memindah bukit membendung samudra) menyumbat serangan dari Ki ki Soat tersebut dengan keras lawan keras, sementara tangan kirinya menyambar keatas bahu Ji Kiu-liong .
Orang itu rupanya terlalu memandang enteng kekuatan daya serangan Ki Li-soat, baru saja tangan kanannya menempel diatas bahu Ji Kiu-liong , «segulung tenaga pantulan yang kuat telah menggetarkan tubuhnya sehingga mundur sejauh tiga langkah.
Ki Li-soat sendiri, kendatipun dengan pukulannya itu dia berhasil memukul mundur musuhnya, tapi hawa darah dalam tubuhnya juga mengalami pergolakan keras. Dari sini menunjukkan kalau ilmu silat yang dimiliki lawan suagguh luar biasa sekali.
Pada detik itu juga Ki Li-soat dengan gerakan yang amat cepat telah meloloskan pedangnya.
Ia tidak memberi peluang buat musuhnya untuk mengatur napas. Pedangnya secara beruntun melancarkan tiga buah serangan dahsyat deagan jurus jurus Hay si ciau lo (Pandangan semu di tengah gurun) Ya pan hong yan (asap putih ditengah malam) serta Thian hia lo ciok (burung gereja dari ujung langit), pedangnya dengan menciptakan segulung cahaya bianglala bewarna perak langsung menyerang ke depan.
Bersamaan itu juga, Ji Kiu-liong telah mengembangkan permainan pedangnya dengan jurus Cuan im ci gwat (menembusi awan memetik rembulan) untuk menusuk tenggorokan orang.
Sipendatang itu adalah seorang kakek berbaju merah, ketika dirasakan datangnya ancaman pedang itu sangat dahsyat, sambi tertawa terbaha-bahak tubuhnya mundur secara tiba tiba.
Dalam waktu yang amat singkat itulah, si kakek tersebut dengan serangkaian serangan kilat yang aneh dan sakti untuk meneter Ki Li-soat serta Ji Kiu-liong . Begitu ke empat buah serangan mereka berhasil dipatahkan, serangan balasan segera dilepaskan
Dalam waktu singkat bayangan telapak tangan menggulung-gulung ditengah udara, deruan angin tajam menyambar kian kemari, sungguh hebat sekali pertarungan jarak dekat yang sedang berlangsung ini.
Ji Kiu-liong segera melejit ke udara, lalu dengan jurus Jut pit hong mong (menutup rapat bianglala pagi) dengan ganas dia bacok batok kepala bagian belakang dari kakek itu.
Bersamaan waktunya, pedang Ki Li-soat juga menusuk tenggorokan musuh dengan jurus Liong li kencui (putri naga mengiris mutiara).
Tiba-tiba kakek berbaju merah itu merendahkan tubuhnya, kemudian dengan jurus Hong hong liu ciang (burung hong membuat sarang Hud to seng thian (Buddha suci naik sorga), Siang go pa cu (Siang go mencabut tusuk konde) yang digunakan secepat kilat dia menghindarkan diri dari kejaran cahaya pedang Ki Li-soat. Setelah itu kelima jari tangannya direntangkan dan mencengkeram pedang Ji Kiu-liong .
Ki Li-soat merasa amat terperanjat, segera bentaknya, “Adik Liong, cepat menghindar!”
Dengan jurus Thian lo hud tim (nenek langit mengebaskan kebutan) ia melancarkan sergapan dari samping.
Pada saat yang bersamaan ketika si kakek berbaju merah itu membatalkan ilmu Ki na jiu hoat nya. Pedang Ji Kiu-liong berkelebat membentuk gerak lingkaran busur berwarna perak, lalu dengan ilmu meringankan tubuh Hui tok Thian cay (melayang lewat benteng langit) dia segera mengundkan diri keluar arena.
Kakek berbaju merah itu mendengus dingin, dengan pukulannya yang sempurna, dia lancarkan serangkaian serangan berantai yang sangat dahsyat untuk meneter Ki li Ooat.
Gak Lam-kun dan Ji Kiu-liong yang menyaksikan Ki Li-soat bisa bertarung leluasa melawan musuhnya, merekapun lantas mengundurkan diri dan cuma menonton dari sisi arena tetapi, kesiap siagaan dilakukan penuh untuk menjaga segala kemungkinan yarg tidak diinginkan.
Gaya serangan yang digunakan si kakek berbaju merah untuk merebut pedang lawan itu dilakukan seperti sergapan seekor burung elang berwarna merah. Ditengah lingkaran cahaya pedang yang menggulung dia menghindar, menempel, menubruk, membalik, mendaki dan melentik dengan pelbagai gaya yang dahsyat.
Pasir serta debu segera mengepul ke angkasa dan menutupi pemandangan. Dalam keadaan demikian sulitlah untuk membedakan mana yang manusia, mana yang pedang dan mana yang telapak tangan.
Ki Li-soat pada mulanya masih berusaha bermain perang gerilya untuk membendung serangan lawan, tapi lama kelamaan habis sudah kesabarannya, ia bertekad untuk menyelesaikan pertarungan itu dengan suatu pertempuran kilat.
Angin serangannya segera diperketat. Dengan jurus Sin tiok ing hong (bambu baru menyambut angin) dia membuka serangannya dengan jurus sakti perguruannya… .
Dengan cepat kakek berbaju merah itu menyusut mundur sejauh beberapa kaki, kemudian sambil mendengus katanya dengan suara menyeramkan, “Lohu kira siapa, kiranya nona Ki murid kesayangan dari Tiok yap thian po (nenek langit daun bambu)!”
Mendengar teguran tersebut, Ki Li-soat segera mengamati wajah orang itu dengan lebih seksama lagi, sekarang hatinya baru terkesiap.
Ternyata kakek berbaju merah ini bukan lain adalah pemimpin dari Ang ma jit tin (tujuh tosu berjubah merah) yang dalam urutan Ngo kok koan memiliki ilmu silat sedikit di bawah Thian pek sam him. Orang menyebutnya sebagai Thian jit ang ma.
Setelah berhenti sejenak, Thian jit ang ma berkata kembali, “Dimasa lalu, gurumu telah mengadakan perjanjian dengan kuil kami untuk tidak saling ganggu mengganggu. Sungguh tak disangka nona Li begitu berani melewati perbatasan wilayah kita untuk membunuh anak murid kuil kami. Hmm! Nona Ki, lebih baik turut saja dengan Lohu kembali ke kuil Ngo kok koan serta menunggu keputusan dari Kongcu kami”
Perlu diketahui, dimasa lalu guru Ki Li-soat yakni Tiok yap thian po pernah mengadakan perjanjian dengan pihak Ngo kok koan untuk tidak saling melanggar tapal batas masing-masing. Sebagai orang persilatan tentu saja ucapan tersebut mempunyai arti yang penting.
Kini Ki Li-soat telah ditegur secara terang terangan, hal mana membuat gadis itu menjadi gelagapan dan untuk sesaat lamanya tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Gak Lam-kun yang berada disisinya segera tertawa dingin, katanya, “Kami memang sedang berniat untuk mengunjungi kuil Ngo tok koan. Bila kau bersedia menjadi petunjuk jalan kami, hal mana sudah barang tentu akan lebih baik lagi!”
Mendengar perkataan itu, dengan sinar mata yang tajam Thian jit ang mi memperhatikan Gak Lam-kun dari atas sampai kebawah. Ia merasa pemuda itu masih terasa asing sekali bagi pandangan matanya.
Maka dengan suara dingin ia menegur. “Siapakah gurumu? Ada urusan apa hendak berkunjung ke kuil Ngo kok koan kami?”
“Hmm! Kau belum pantas untuk mengetahui nama guruku”, jawab Gak Lam-kun ketus. “Soal kunjunganku ke Ngo kok Koan mah… pertama hendak menuntut kepada gurumu untuk mengembalikan seseorang kepada kami, kedua akan kuratakan kuil Ngo kok koan kalian ini dengan tanah…!”
Nama besar maupun kedudukan Thian jit ang ma diwilayah luar perbatasan boleh di bilang hanya kalah setingkat bila dibandingkan dengan Thian pek sam him. Kesombongannya dihari-hari biasa sudah meresap menjadi watak hidupnya. Jangankan orang lain sekalipun Thian pek san him sendiripun tak berani memperlakukan dirinya secara begitu menghina.
Tak heran kalau ia naik pitam sesudah mendengar perkataan dari Gak Lam-kun tersebut. Saking mendongkol dan gusarnya dia malahan tertawa dingin tiada hentinya. “Kuil kami memang berhasil menangkap seorang lelaki dan seorang wanita. Hee… hee… hee… cuma dengan mengandalkan kemampuanmu itu, jangan harap kau mampu melangkah naik ke dalam kuil Ngo kok koan kami”
Mendengar perkataan itu, Gak Lam-kun segera berpikir pula: ”Seorang lelaki dan seorang perempuan? Siapa gerangan orang lelaki itu? Mungkinkah Kwik To atau Sangkoan Ik?”
Sementara dia masih melamun, dengan suara dingin menyeramkan Ki Li-soat telah mendamprat, “Selama ini, kalian Ngo kok koan hanya malang melintang disekitar daerah luar perbatasan untuk melakukan kejahatan. Tak nyana keberanianmu belakangan ini menjadi bertambah besar, sampai orang di daratan Tionggoan pun berani dibunuh semuanya”
Sekulum senyuman dingin yang menyeramkan segera tersungging di ujung bibir Thian jit ang ma, katanya, “Nona Ki semasa gurumu masih hidup didunia pun tak berani memandang hina kuil Ngo kok koan kami. Sungguh tak disangka saat ini kau malah berani membawa orang untuk datang membunuh orang kuil kami. Hmm…..! Jika kau masib berani ribut melulu, jangan harap kalau kau bisa meninggalkan tempat ini dengan selamat!”
ooooOoooo
MENDENGAR ucapan tersebut, Ki Li-soat segera mengernyitkan alis matanya dengan gusar, bentaknya, “Tempo hari, sebenarnya guruku hendak memberi hukuman yang setimpal buat kalian semua. Tapi oleh karena dia orang tua masih memandang pada belas kasihan dan berharap kalian bisa menyesali perbuatan kalian, maka sampai sekarang beliau tak sampai turun tangan untuk membunuh kamu semua!”
Thian jit ang ma tertawa terkekeh-kekeh, lalu ujarnya, “Nona, mengapa tidak kau katakan kalau Tiok yap popo merasa tidak berkemampuan untuk menyerang kuil Ngo kok koan seorang diri?”
Mendengar pihak lawan berani mencemooh gurunya, Ki Li-soat kontan saja naik darah, bentaknya, “Hari ini, nonamu justru akan membuat gara-gara dengan kalian orang orang Ngo kok koan!”
“Kalau memang demikian, hayolah kita coba saja!”
Kemarahan Ki Li-soat sudah tak terbendung lagi, segera bentaknya dengan suara nyaring, “Lihat pedang!”
Ditengah bentakan tersebut pedangnya segera berkelebat melancarkan serangan dengan jurus-jurus Tiok yap kiam hoat.
Tampak cahaya tajam berkilauan bagaikan halilintar diantara perpaduan cahaya dan deruan angin tajam, dalam waktu singkat ia telah melepaskan tujuh buah serangan berantai.
Sebenarnya pedang yang dipergunakan Ki Li-soat adalah sebilah pedang bambu, tapi semenjak perkumpulan Thi eng pang dibubarkan, dia tahu kalau ilmu silat yang dimilikinya masih belum mencapai taraf untuk mempergunakan pedang bambu, maka sekembalinya kebukit Tiang pek-san dia lantas berganti mempergunakan sebilah pedang lemas yang tajam dan khusus ditinggalkan gurunya untuknya.
Ilmu silat yang dimiliki Thian jit ang ma benar-benar lihay sekali. Dengan mengandalkan sepasang telapak tangan kosong ia bertarung melawan pedang lemas dari Ki Li-soat tersebut, dimana sepasang telapak tangannya menyambar lewat, segulung tenaga pukulan yang kuat segera mementalkan pedang Ki Li-soat kesamping.
Sejak bertarung melawan musuhnya tadi Ki Li-soat telah sadar bahwa tenaga dalam yang di-miliki musuhnya jauh lebih tinggi daripada apa yang dimilikinya. Jika tidak diserang dengan jurus jurus pedang yang sakti, pasti sulit untuk memenangkan dirinya.
Thian jit ang ma sendiri juga cukup menyadari keadaan yang sedang dihadapinya. Betul tenaga dalam yang dimiliki gadis itu agak rendah dibandingkan dengan tenaga dalamnya, tapi itupun tidak selisih terlalu banyak. Terutama sekali jurus pedangnya yang sakti dengan daya kekuatan yang luar biasa itu, pada hakekatnya bisa menutupi kelemahannya dibidang tenaga dalam.
Oleh karena itu, meski pertempuran telah berlangsung belasan gebrakan menang kalah masih susah diketahui.
Gak Lam-kun yang mengikuti jalannya pertandingan dari sisi arena, segera menunjukkan rasa kesal dan murung sehabis menyaksikan ilmu silat yang dimiliki Thian jit ang ma
Kalau seorang anak buah dari Tiang pek sam him memiliki ilmu silat yang sedemikian lihaynya, maka bisa dibayangkan bagaimana hebatnya ilmu silat dari Tiang pek sam him sendiri? Ini berarti tak bisa disangkal lagi Ji Cin-peng beserta perguruan Panah Bercintanya pasti sudah menderita kekalahan yang mengenaskan
Kini dia harus seorang diri berkunjung kekuil Ngo kok koan dan bertarung sendiri melawan Thian pek sam him, sesungguhnya dalam hal kekuatan masih ketinggalan jauh sekali. Terbayang sampai kesana,tak terasa lag timbul rasa kesal dan sedih dldalam hati kecilnya.
Dalam pada itu. Ki Li-soat telah mengeluarkan ilmu pedang Tiok yap kiam hong nya sambil melancarkan tiga buah serangan berantai. Jurus-jurus serangan yang digunakan adalah Ki tiong teng ciau (burung hong terbang naga melingkar), Soh hong wong tiau (angin puyuh menderu deru) serta Wucian im siu (kabut buyar awan terbang).
Begitu ketiga buah serangan berantai tersebut dilancarkan, sekeliling arena segera terbungkus di balik deruan angin puyuh yang amat memekikkan telinga. Dalam waktu singkat Thian jit ang-mi telah didesak muudur sejauh enam tujuh depa dari posisi semula.
Begitu berhasil dengan ketiga buah serangannya buru buru Ki Li-soat melancarkan kembali serangkaian serangan berantai, pedangnya berganti jurus menjadi gerakan Ban hong jut ciau (selaksa lebah keluar sarang). Jurus serangan ini merupakan sebuah jurus serangan yang dahsyat dan amat tangguh. Kehebatannya sangat mengejutkan hati orang.
Tampaklah diantara kilatan cahaya yang menyilaukan mata, tercipta serentetan cahaya bintang bewarna perak tersebar ke seluruh angkasa.
Thian jit ang ma yang berulang kali kena didesak mundur oleh tiga jurus serangan berantai dari Ki Li-soat itu, hatinya mulai merasa terkejut bercampur keheranan. Ia tak berani memandang enteng lawannya lagi. Sepasang tangannya segera merogoh ke saku, kemudian bersamaan waktunya tangan kanan mengelurkan sebuah kencrengan tembaga, sementara tangan kirinya mengeluarkan sebuah senjata pit baja.
Baru saja sepasang senjata itu dipegang dalam tangan, pedang Ki Li-soat dengan membawa desingan angin serangan yang lamat-lamat disertai juga dengan suara guntur dan halilintar telah menyergap tiba dengan kecepatan luar biasa.
Thian jit ang ma bertambah terkejut, ia dapat merasakan bagaimana serangan yang dilancarkan oleh Ki Li-soat itu jauh lebih aneh dan sukar diduga. Seakan akan ada seribu batang pedang yang menyerang datang dari empat arah delapan penjuru, membuat orang pada hakekatnya sukar untuk menangkisnya.
Perasaan hatinya segera bergetar keras, kencrengan tembaga dan pit bajanya segera diputar, menciptkan selapis cahaya emas untuk melindungi badan, kemudian dengan jurus Hong liong liam tau (burung hong mengangguk) ia lepaskan sebuah serangan balasan.
Beberapa kali benturan nyaring yang memekikkan telinga segera berkumandang memecahkan keheningan…..
Kencrengan tembaga dari Thian jit ang ma secara beruntun membendung ketiga buah serangan berantai dari Ki Li-soat, kemudian menggunakan kesempatan itu, senjata pit bajanya langsung mendesak kedepan dan mengancam jalan darah Hian ki hiat didepan dada gadis tersebut.
Terkesiap Ki Li-soat ketika dilihatnya putaran kencrengan tembaga dari musuhnya yang menciptakan selapis cahaya emas yang melindungi badan itu berhasil mematahkan jurus serangan Ban hong juit ciau (selaksa lebah keluar sarang) yang tangguh itu. Apalagi ketika menyaksikan senjata pit ditangan kirinya menerobos pertahanan menyerang datang.
Buru-buru ia mundur tiga depa ke belakang lalu pedangnya diputar sedemikian rupa menangkis serangan pit bajanya dengan jurus im wu kim kong (Awan kabut cahaya emas).
Jurus jurus serangan yang dipergunakan kedua orang itu selama berlangsungnya pertarungan merupakan jurus-jurus tangguh yang sama cepatnya dan sama berbahayanya. Kedua belah pihak tampaknya telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk saling menyerang dan siapa pun enggan untuk mengalah.
Ki Li-soat tahu, setelah lewatnya suasana agak tenang dalam beberapa saat ini, suatu pertempuran yang lebih seru dan ganas segera akan menusul datang. Dengan cepat dia mengatur pernafasannya untuk menghimpun tenaga, kemudian dengan cepat dia lepaskan kembali serangkaian serangan berantai.
Dengan serangannya inilah gadis itu telah mempertaruhkan mati hidupnya. Maka begitu turun tangan dia lantas melepaskan serangan untuk merebut kemenangan. Semua jurus tangguh dan ilmu pedang Tiok yap kiam hoat ajaran gurunya digunakan semua untuk mengancam bagian mematikan dari lawannya sambil melepaskan serangan-serangan yang keji.
Sekalipun demikian Thian jit ang ma adalah seorang jago tangguh nomor empat dalam kuil Ngo kok koan, sudah barang tentu permainan kencrengan tembaga serta pit bajanya mempunyai kesempurnaan yang luar biasa.
Baik dalam menangkis, mematahkan maupun melancarkan serangan balasan, semuanya ia pergunakan sesempurna mungkin dengan senjata pit menyerang musuh. Kencrengan tembaga melindungi badan, setiap jurus setiap gerakan yang digunakan hampir seluruhnya di pakai dengan jitu dan tetap.
Dalam keadaan demikian, jurus-jurus Ki Li-soat yang tangguh itu seperti kehilangan daya kekuatan, ia gagal untuk melukai lawan itu.
Ketika pertarungan sengit telah berlangsung seperempat jam lamanya, tiba tiba kencrengan tembaga dari Thian jit ang ma diputar semakin kencang menciptakan selapis cahaya emas untuk melindungi badan, sementara pif bajanya dengan gerakan memagut, menotok, memukul, secara beruntun melancarkan tiga jurus serangan dahsyat.
Berhedapan dengan tiga jurus serangan yang cepat bagaikan sambaran kilat itu, mau tak mau Ki Li-soat harus mengambil prakarsa untuk melindungi diri lebih dulu tapi dikala pedangnya ditarik untuk menangkis senjata lawan, tiba tiba Thian jit ang ma mempergunakan kesempatan itu untuk melompat mundur sejauh delapan depa lebih dari posisi semula…
Mendadak, pada saat itulah terdengar beberapa kali pekikkan nyaring berkumandang datang…..
Enam sosok bayangan manusia, bagaikan burung elang meluncur datang dan melayang masuk ke tengah arena.
Ki Li-soat mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, ia menyaksikan diseputar arena tahu-tahu sudah bertambah lagi dengan enam orang tojin aneh yang semuanya mengenangkan jubah panjang berwarna merah.
Hatinya bergetar keras, pikirnya, “Waah… Urusan menjadi agak berabe sekarang, kini Ang ma jit tin telah berdatangan semua”
Yang dimaksudkan dengan Ang ma jit tin (tujuh pendeta berbaju merah) adalah pasukan yang paling tangguh dalam kuil Ngo kok koan, baik ilmu silat maupun kecerdasan otaknya mereka semua boleh dibilang luar biasa sekali.
Begitu mereka menampakkan diri dan menyaksikan mayat berserakan dimana-mana, dengan cepat orang-orang ini menyadari bahwa musuh yang sedang dihadapinya adalah jago tangguh yang belum pernah dijumpainya selama ini.
Oleb karena itu, setelah menampilkan diri, keenam orang tosu itu serentak merogoh sakunya den setiap orang mengeluarkan sebuah senjata pit dan sebuah kencrengan tembaga untuk mempersiapkan diri, kemudian mereka menyebarkan diri keseputar tempat itu sambil mengepung Gak Lam-kun ditengah arena.
Tiba tiba satu ingatan cerdas melintas dalam benak Gak Lam-kun, dia sadar apabila ingin lancar didalam serbuannya kedalam kuil Ngo kok koan pada hari ini, maka satu-satunya cara yang bisa di umpan adalah membasmi kekuatan inti musuh secepat-cepatnya dan sebanyak banyaknya.
Berpikir demikian, hawa napsu membunuh dengan cepat menyelimuti seluruh wajahnya dari atas tanah, dia pungut sebilah pedang, lalu pelan-pelan berjalan kesisi Ki Li-soat tanyanya dengan lirih… “Nona Ki apakah tujuh orang yang kita hadapi sekarang adalah kekuatan inti dari kuil Ngo kok koan?”.
Ki Li-soat manggut-manggut, “Benar” sahutnya. “Mereka adalah Ang ma jit tin suatu kelompok kekuatan sedikit dibawah kepandaian silat Tiang pek san him”
Sementara itu, Ang ma jit tin dibuat termangu-mangu keheranan menyaksikan gerak-gerik dari Gak Lam-kun tersebut. Mereka tidak habis mengerti apa maksud yang sebenarnya dari anak muda tersebut mengajukan pertanyaan semacam itu kepada si nona.
Sekulum senyuman yang menggidikkan segera tersungging di bibir Gak Lam-kun, katanya, “Nona Ki, harap kau mundur untuk sementara waktu dan beristirahatlah. Biar aku seorang diri yang memberi hajaran kepada ketujuh orang cecunguk ini”.
Sekalipun Ki Li-soat juga tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki Gak Lam-kun telah peroleh kemajuan yang pesat, tapi dia tidak yakin kalau Gak Lam-kun sanggup untuk menghadapi serangan gabungan dari Ang ma jit tin tersebut. Dengan suara lirih dia lantas berbisik, “Ang ma jit tin berbahaya das sangat ganas”
“Aku mengerti!” sahut Gak Lam-kun sambil tersenyum, “tak akan kubiarkan seorang pun diantara mereka tetap hidup di dunia ini”
Mendengar ejekan tersebut, Ang ma jit tin menjadi naik pitam, dengan mata merah membara mereka memelototi musuhnya tajam-tajam.
Kamudian terdengar Thian jit ang ma membentak keras, pedang bajanya segera diputar melepaskan sebuah serangan lebih dahulu.
Gak Lam-kun segera memutar pedangnya untuk menangkis ancaman itu, kemudian……
“Sreet! Sreet” secara beruntun dia lancarkan dua buah serangan berantai yang memaksa Thian jit ang ma harus mundur ke belakang dengan gelagapan.
Dalam saat yang bersamaan itulah, Thian gwat ang ma, Thian seng ang ma, Thian sin angma, Thian khi ang ma, Thian leng ang ma, dan Thian kin ang ma bersama sama memperkecil lingkaran kepungan mereka menjadi hanya dua kaki luasnya. Dangan kencrengan tembaga melindungi badan, senjata pit bajanya dipersiapkan untuk menghadapi lawan.
Gak Lam-kun segera mendongakkan kepalanya tertawa panjang, suaranya keras memekakkan telinga. Dimana pedangnya digerakkan, berkuntum-kuntum bunga pedang segera memenuhi angkasa, lalu cahaya tajam tampak berkelebat lewat, sebuah tusukan kilat telah dilancarkan ke arah tubuh Thian jit ang ma.
Menghadapi ancaman tersebut Thian jit ang ma segera menggunakan senjata kencrengan emasnya untuk mematahkan serangan, kemudian senjata pit bajanya dengan jurus Im liong liau ka (naga mega menggetarkan sisik) melancarkan sebuah tusukan.
Gak Lam-kun miringkan badan sambil mengegos, pedangnya diputar dengan jurus To san kim che (membuyarkan benang emas) menusuk dari belakang punggung, desingan tajam menderu-deru.
Pada saat ini, hawa napsu membunuhnya telah berkobar-kobar, setiap jurus serangan yang dilancarkan hampir semuanya merupakan ancaman yang mematikan.
Akan tetapi, Ang ma jit tin adalah inti kekuatan dari kuil Ngo kok koan. Mereka semua hampir memiliki ilmu silat yang sangat tangguh.
Sekalipun Gak Lam-kun membalikkan pedang sambil menyerang dengan tangguh dan hebat, akan tetapi pertahanan ketiga orang tosu itupan memiliki kerja sama yang kuat.
Thian gwat dan Thian seng ang ma segera memutar senjata kencrengan tembaga untuk menangkis.
“Criing……!”
Diiringi suara dentingan nyaring, tangkisan mereka atas bacokan pedang lawan menghasilkan letupan bunga api yang memancar ke empat penjuru.
Bersamaan waktunya kedua batang senjata pit baja mereka dengan jarus Han hoa toh lui (Bu-nga salju memetik putik) serentak menusuk jalan darah pay sim hiat dipunggung Gak Lam-kun.
Ketika pedangnya terkunci tadi, Gak Lam-kun sudah menyadari akan datangnya bahaya. Menggunakan gerakan itu badannya melompat maju ke arah ke muka. Selagi badannya melayang turun di atas tanah, cahaya tajam bagaikan sambaran kilat telah menyongsong datang dari depan mata. Sedangkan kedua batang senjata pit baja dari Thian sin dan Thian khi ang am juga telah mengancam tiba.
Gak Lam-kun tertawa dingin, tangan kirinya tiba-tiba memainkan jurus Ci jiu poh liong (membelenggu naga dengan tangan telanjang). Kelima jari tangannya dilancarkan bersama mengancam pergelangan tangan Thian sin-ang ma, sementara gagang pedang ditangan kanannya dengan gerak melintang menotok pena baja ditangan Thian khi ang ma.
Jurus serangan ini boleh dibilang aneh sekali. Dalam jurus serangan suatu ilmu, hampir tak pernah dijumpai ada jurus serangan yang menotok dengan gagang pedang, maka pena baja dari Thian khi ang ma segera kena tertotok hingga terpental kesamping.
Thian sin ang ma yang menyaksikan tangan kiri Gak Lam-kun yang sedang menyambar datang itu membawa segulung desingan angin tajam yang menyayat badan, hatinya menjadi amat terkesiap. Buru-buru la tarik napas sambil merendahkan badan kemudian sambil membuyarkan jurus serangan melompat kebelakang.
Akan tetapi justru dengan gerakan tersebut, dia malah menyongsong datangnya jurus serangan dari Gak Lam-kun. Tanpa merubah gerak ceugkeraman tangan kirinya, dalam sekali balikan tangan secara telak dia berhasil mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan kiri Thian khi ang ma.
Mimpipun Thian khi ang ma tidak menyangka kalau cengkeraman yang tertuju pada Thian sin ang ma cuma tipuan belaka sedang cengkeraman kearahnya baru merupakan cengkeraman yang sesungguhnya. Ia segera merasakan peredaran darahnya tersumbat, otomatis separuh badannya menjadi kaku, lima jarinya mengendor dan pit besinya terlepas dari genggaman.
Tampaknya sisa enam orang rekan lainnya tidak menyangka sama sekali kalau serangan pedang dan Ki na jiu hoat yang di gunakan Gak Lam-kun sedemikian lihaynya. Kedahsyatan dari jurus Ci jiu poh liong (membelenggu naga dengan tangan kosong) ini betul betul membuat mereka semua terperangah.
Menanti mereka bersiap-siap akan turun tangan menolong, Gak Lam-kun telah bertindak lebih lanjut. Pedang ditangan kanannya segera membacok ke bawah dan tahu-tahu batok kepala Thian khi ang ma sudah mencelat ketengah udara.
Darah segar segera memancar keluar seperti pancuran, tubuhnya terkapar ditanah dan tak bernyawa lagi.
Padahal pertarungan baru berlangsung tiga empat gebrakan, tapi dari Ang ma jin tin kini sudah tewas seorang. Enam orang sisanya menjadi terkejut, ngeri dan tak terlukiskan sedihnya.
Gak Lam-kun tertawa dingin, katanya lagi. “Sekarang sudah seorang yang mampus. Haa… haa… haa…”
Ditengah gelak tertawanya yang amat keras tubuhnya segera menerobos maju ke depan. Pedangnya kembali diputar menusuk ke tubuh Thian leng ang ma yang berdiri di sudut barat.
Tenaga serangan yang dimiliki Gak Lam-kun lihay dan kuat. Angin serangan yang menyertai tusukan pedangnya itu benar-benar mengerikan.
Dalam sedihnya yang luar biasa, Ang ma lak tin mendongakkan kepalanya dan bersama-sama tertawa seram, senjata pena mereka diauyunkan bersama, terdengar benturan nyaring yang memekakkan telinga, tahu-tahu serangan pedang itu sudah ditangkis oleh keenam batang pena baja itu secara bersama sama.
Gak Lam-kun segera menggetarkan pergelangan tangannya sambil menarik kembali pedangnya. Jurus kedua belum sempat dilancarkan, sepasang pena baja yang datang dari kiri dan kanan telah menyerang datang hampir bersamaan waktunya dengan membawa desingan tajam serangan itu memancar dahsyat kemari.
Gak Lam-kun segera menghimpun tenaga dalamnya dan menyalurkan kekuatan tersebut ke ujung pedang. Dengan jurus Ciau liong ing hong (menunggang naga memancing burung hong) dia punahkan kedua serangan itu deugan daya memental.
Kemudian sambil membentak keras pedangnya segera mengembang serangan lagi.
Dalam waktu singkat cahaya tajam berkilauan diangkasa, angin pedang menderu-deru bagaikan roda.
Tenaga dalam yang dimilikinya cukup sempurna, makin dia melancarkan serangan makin dah-syat daya kekuatan yang dipancarkan.
Ki Li-soat yang menonton jalannya pertarungan disisi kalangan, pada mulanya masih gelisah dan cemas, akan tetapi setelah melihat gerakan tubuh Gak Lam-kun yang bergerak bagaikan seekor naga sakti dan menerobos kesana kemari ditengah kurungan ke enam batang pena baja dan kencrengan tembaga lawan tiada hentinya melancarkan gerakan, menotok, menusuk, membacok dan menghadang yang lincah, hatinya lambat laun menjadi lega.
Dengan begitu, rasa percaya Ki Li-soat pada kemampuan Gak Lam-kun pun bertambah besar. Ia merasa betapa sakti dan anehnya ilmu silat yang dimiliki Gak Lam-kun tapi setelah diamati lebih seksama dia baru menyadari bahwa jurus pedang yang dipakai olehnya untuk membacok, menusuk, menotok dan menyerang itu hampir seluruhnya merupakan jurus sederhana yang biasa, hal mana segera menimbulkan rasa cengangnya.
Maka dia pun memusatkan segenap perhatiannya untuk mengikuti gerak perubahan sambil mencoba meresapi makna dari gerakan itu. Tanpa disadari, dengan pemusatan pikiran ini ia telah berhasil membawa kepandaian silat yang dimilikinya maju ketingkatan yang lebih dalam.
Hawa pedang Gak Lam-kun malang melintang kemana-mana. Secara beruntun dia sudah melancarkan puluhan jurus serangan, tapi selalu gagal untuk mendesak mundur keenam orang lawannya walau selangkahpun. Sebaliknya jurus serangan dan tenaga pukulan yang terpancar dari keenam orang itu kian lama kian terasa berat dan mantap.
Ke enam orang itu masing masing bertahan disuatu sudut tertentu, baik dikala melancarkan serangan maupun disaat menahan gempuran. Mereka dapat melakukannya dengan suatu kerja sama yang sangat rapat.
Haruslah diketahui, pertarungan antara jago lihay sering hanya berselisih kecil sekali. Bila tenaga dalam yang dimiliki keenam orang itu digabungkan menjadi satu, sudah barang tentu kekuatan mereka jauh lebih unggul dari pada kepandaian Gak Lam-kun.
Itulah sebabnya ditengah kepungan enam orang jago yang gencar dan rapat, untuk sesaat lamanya Gak Lam-kun tak mampu meraih kemenangan apa-apa.
Tiga puluh gebrakan kemudian, Gak Lam-kun mulai merasa gelisah. Apalagi setelah menyaksikan kesempurnaan tenaga dalam yangdimiiiki keenam orang itu, dimana makin bertarung mereka semakin mantap. Rasa gelisah itu boleh dibilang lak terlukiskan dengan kata-kata.
Padahal saat itu musuh utamanya belum turun tangan. Itu berarti dia harus menyimpan sedikit tenaga untuk menghadapi pertarungan tersebut. Andaikata ia tidak mengambil keputusan untuk melangsungkan pertarungan kilat dikuatirkan ia tak akan berhasil dalam waktu singkat.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes