JILID 21
BERPIKIR sampai disitu, tiba-tiba tubuhnya berkelebat maju ke depan.
Oleh karena dalam sakunya dia membawa batu kemala dingin, maka gelombang panas yang menyengat tubuhnya itu sementara waktu tak berhasil menyerang badannya.
Telapak tangan kirinya segera melancarkan serangan dengan jurus Nuh-siau sam-kang (badai keras melanda sungai), sedangkan toya baja ditangan kanannya menyapu datang ke depan.
Naga raksasa itu segera mengebaskan kepalanya, kemudian sepasang cakarnya yang tajam menyambar tiba untuk mencengkeram toya bajanya itu.
Menghadapi ancaman tersebut, Oh Bu-hong merasakan hatinya tercekat. Sambil melejit, ia mundur kebelakang. Diam-diam peluh dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Meski dia lihay namun dibikin apa boleh buat juga oleh naga raksasa yang berotak cerdas tersebut.
Dengan cepat ia berpaling dan memandang sekejap ke arah kawanan jago, kemudian serunya lantang. “Diantara saudara-saudara sekalian, siapakah yang berniat untuk membantu lohu?”
Semua orang tetap membungkam dan tidak menggubris teriakannya itu. Ternyata para jago hanya berniat untuk menjadi penonton belaka.
Sementara ia sedang merasa terdesak mundur bercampur malu… Mendadak terdengar si Rase Berekor Sembilan Kongsun Po memperdengarkan suara tawa panjang yang memekakkan telinga…
Kemudian sambil berhenti tertawa, dia berkata, “Membantumu tanpa memperoleh kebaikan apa-apa. Siapa yang sudi menyerempet bahaya untuk menjual tenaga buat Thi Eng-pang kalian….”.
Tak bisa disangkal lagi, si Rase Berekor Sembilan Kongsun Po pun sudah mengetahui akan kebaikan serta kegunaan naga api tersebut. Hanya saja lantaran pengetahuannya yang terlampau cetek, sehingga ia belum menduga manfaat serta kemestikaannya pil Lei hwe po wan yang dihasilkan naga tersebut.
Thi-eng siu Oh Bu-hong bukan manusia sembarangan yang berotak bebal. Dia sendiri pun sadar bahwasanya kekuatan Thi-eng pang masih sangat lemah. Mustahil dengan kekuatan yang dimilikinya itu dapat membunuh naga api dan mengambil Lei hwe po wan nya. Oleh sebab itu dia harus mencari lagi beberapa orang pembantu.
Asal ada beberapa orang pembantu yang kosen, dapat menahan naga api itu agar jangan kembali ke dalam gua, maka lama kelamaan naga tersebut pasti akan melemah dan akhirnya mati karena tiada api disekitar sana.
Naga api menggunakan api sebagai bahan makanannya. Selama hidup, bila ia meninggalkan sumber api, maka tubuhnya tak akan tahan menghadapi hembusan angin dingin, serta merta kobaran api ditubuhnya akan makin melemah dan padam. Bila api sudah padam maka kekuatan tubuhnya secara otomatis juga tak sanggup dikerahkan kembali.
Hal ini ibaratnya dengan sepotong besi yang membara karena dipanaskan, jika potongan besi yang membara itu dikeluarkan dari tungku api dan diceburkan ke air maka dia akan menjadi dingin.
Naga api tak dapat meninggalkan api, kejadian tersebut bersumber pula pada teori tersebut.
Ketika Thi-eng Siu Oh Bu-hong menyaksikan Kongsun Po telah angkat bicara, buru-buru dia melayang mundur sejauh beberapa kaki dari tempat semula.
Agaknya naga berapi itupun cukup mengetahui akan titik kelemahannya. Ternyata diapun tidak melakukan pengejaran lebih jauh.
Mengetahui kalau Kongsun Po sudah tertarik, Oh Bu-hong segera tertawa terbahak-bahak, katanya, “Saudara Kongsun, kau adalah seorang yang cerdik. Tentunya kau ketahui bukan bahwa diantara terdapat banyak sekali kebaikan, Naga berapi ini bukan saja telah menghasilkan Lei hwe cu yang langka dan luar biasa berharganya. Sepasang matanya yang berapi pun merupakan mestika yang tak ternilai harganya. Asal saudara Kongsun bersedia untuk membantu lohu, paling tidak satu bagian diantara barang-barang tersebut akan menjadi bagianmu”.
Tertarik juga Kongsun Po oleh kata-katanya itu. Dia lantas bertanya dengan cepat. “Saudara Oh, benarkah naga berapi itu mempunyai begitu banyak kebaikan dan manfaat?”
Oh Bu-hong tertawa terkekeh-kekeh, “Selain daripada itu, masih banyak manfaat lain yang tak bisa kuterangkan satu persatu pada saat ini. Tunggu saja setelah naga berapi itu mati, lohu baru menerangkannya kepada Kongsun-heng”
“Kalau memang terdapat begitu banyak kegunaannya, lebih baik saudara Oh dapatkan sendiri saja” seru Kongsun Po sambil tertawa dingin.
Oh Bu-hong kembali merasa terkesiap. Dia tidak menyangka kalau disaat yang terakhir Kongsun Po kembali mengeluarkan tindakan seperti itu.
Buru-buru katanya lagi sambil tertawa terbahak-bahak, “Haa.. haa.. haa.. ada kesenangan kita nikmati bersama, ada kesulitan kita tanggulangi bersama. Lohu bersedia untuk menikmati bersama hasil yang kita peroleh nanti dengan saudara Kongsun…”.
Perbagai ingatan dengan cepat melintas dalam benak Kongsun Po, ujarnya kemudian, “Saudara Oh, kau memang cukup menarik hati orang, sedikit banyak lohu agak tertarik juga dibuatnya”.
Mendengar ini, diam-diam Oh Bu-hong mencaci maki dihati, sedangkan diluaran katanya dengan cepat, “Lohu bermaksud sungguh-sungguh. Harap saudara Kongsun jangan sampai menyia-nyiakan uluran tanganku ini”.
Dalam pada itu, naga berapi tersebut tidak maju pun tidak mundur. Dengan empat buah matanya yang besar dan aneh ia menatap buas setiap jago yang berada dalam gelanggan tersebut.
Tiba-tiba Giok bin sin ang Say Khi-pit tampil pula ke depan, serunya sambil tertawa dingin, “Saudara Oh, setelah mempunyai kesempatan yang begini baik untuk menjadi kaya raya, mengapa kau tidak mengajak pula diri siaute?”
Diam-diam Oh Bu-hong merasa girang juga oleh keberhasilan siasatnya, segera ia menjawab, “Aaah… mana… mana. Selama ini saudara Say tidak mengemukakan pendapatnya. Lohu mana berani mengganggu ketenanganmu. Bila aku telah berbuat kekeliruan, harap saudara Say suka memakluminya!”.
“Hmm, Mana… Mana..” Say Khi-pit mendengus dingin.
“Apabila saudara Saya bersedia pula untuk memperkuat barisan kami untuk mengepung naga tersebut, kekuatan lohu tentu akan jauh lebih tangguh lagi.
Orang ini memang betul-betul licik sekali. Dia tahu Kakek Sakti Berwajah Pualam Say Khi-pit adalah seorang manusia yang suka diumpak. Asal disanjung-sanjung dengan beberapa patah kata, mungkin nama marga sendiri pun akan dilupakan olehnya.
Siapa tahu Giok bin sin ang Saya Khi-pit yang sekarang jauh berbeda dengan Giok bin sin ang Say Khi-pit yang dulu. Hanya dengan dua tiga patah kata sanjungan tersebut, tentu saja belum sanggup untuk menggerakkan hatinya.
Dengan suara dingin, Say Khi-pit berkata, “Dalam perkumpulan anda oraang pintar bertumpuk-tumpuk, sedangkan kami tak lebih hanya manusia kurcaci yang tak punya kepandaian apa-apa. Mana mungkin kepandaian kami bisa menarik perhatian saudara Oh?”.
“Betul!” timbrung Kongsun Po. “Dihari-hari biasa, saudara Oh selalu meletakkan sepasang matanya di atas kepala. Mana mungkin kau anggap kami dalam pandangan”.
Kata-kata tersebut dengan cepat membuat Oh Bu-hong menjadi tersipu-sipu. Keadaannya berubah menjadi mengenaskan sekali.
Tapi Thi-eng-siu Oh Bu-hong adalah seorang manusia yang berotak tajam. Dia hanya menanggapi kata-kata mereka dengan senyuman dikulum. Meski dihati kecilnya rasa benci tersebut sudah merasuk sampai ke tulang sumsum, tapi dia tak ingin menimbulkan ribut. Dalam suasana begini, maka sambil tertawa terbahak-bahak, katanya. “Saudara berdua mengapa ingin mencari gara-gara dengan lohu? Persoalan semacam ini tak bisa ditunda lagi. Lebih baik tinggalkan dulu perselisihan dimasa lalu untuk bekerjasama dengan loju. Asal Lei hwe po wan berhasil didapatkan, kita semua pasti akan menarik manfaatnya”!.
Si Tiong-pek yang berjiwa muda dan biasanya selalu bertinggi hati, menjadi tak tahan menyaksikan suhunya Oh Bu-hong selalu mengalah kepada orang lain. Sifat kasarnya segera timbul dan rasa tak senangpun muncul di atas wajahnya. Sambil tertawa dingin katanya kemudian, “Suhu! Kenapa sih kau orang tua? Mengapa selalu mengumpak orang saja. Aku tak percaya kalau Thi-eng pang tak sanggup menghadapi seekor naga berapi pun. Jika berita ini sampai tersiar diluaran, apakah orang lain tidak mentertawakan ketidak-becusan kita”
“Tepat sekali… Tepat sekali!” sambung Kongsun Po sambil tertawa terkekeh-kekeh, “Apa yang siaute ucapkan memang betul. Thi-eng pang kan perkumpulan yang paling besar di dunia ini”.
Dengan gusar Oh Bu-hong memandang sekejap ke arah Si Tiong-pek, kemudian katanya, “Pek-ji, kau kiranya punya hak untuk ikut berbicara dalam keadaan seperti ini? Kalau mengambil tindakan saja tidak mampu, tentu lebih banyak kegagalan yang dijumpai daripada keberuntungan. Apa kau sudah lupa dengan masehat suhu dihari-hari biasa? Hmmm…”
Tak terlukiskan rasa gusar Si Tiong-pek setelah ditegur oleh Oh Bu-hong dihadapan orang banyak. Rasa mangkel tersebut sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Tapi diatas wajahnya ia tak berani menunjukkan rasa marah barang sedikitpun juga, dia lantas tertawa getir.
Tiba-tiba sekulum senyuman menghiasi kembali wajah Oh Bu-hong, katanya kemudian. “Saudara Kongsun, saudara Say, orang yang bijaksana tak akan mengingat-ingat kesalahan orang rendah. Muridku masih muda dan tak tahu urusan. Jika sampai berbuat salah, harap kalian berdua suka memakluminya. Aku pun berharap agar kalian berdua bisa cepat-cepat mengambil keputusan tentang persoalan tadi, lohu…”
Belum habis ia berkata, mendadak dilihatnya kobaran api di tubuh naga berapi itu sudah makin mengecil. Diantara aumannya yang keras makhluk raksasa tersebut sudah mengebaskan ekornya sambil menundukkan kepala, tampaknya ia sudah bermaksud untuk kembali ke dalam guanya.
Menyaksikan kejadian tersebut, tubuhnya segera bergerak ke depan dan maju beberaopa langkah. Segenggam jarun beracun Yan-hwi tok ciam dipersiapkan ditangan kirinya untuk bersiap sedia melancarkan serangan atas keempat buah mata naga berapi tersebut.
Say Khi-pit segera berbisik kepada Kongsun Po. “Saudara Kongsun, bagaimana menurut pendapatmu?”.
Dewasa ini, kawanan jago yang berkumpul disini amat banyak jumlahnya” kata Kongsun Po. “Sekalipun kita sekalian berhasil mendapatkan Lei hwe wan tersebut juga belum tentu bisa mengundurkan diri dengan selamat. Apakah tidak kau lihat orang-orang dari perguruan Panah Bercinta sedang mengawasi kemari. Dengan mata melotot? Agaknya mereka sedang menunggu kesempatan baik!”
“Kalau begitu kita tak usah membantu Oh Bu-hong lagi” kata Say Khi-pit setelah memandang sekerjap ke arah para jago dari perguruan Panah Bercinta.
Kongsun Po berpikir sebentar, kemudian katanya, “Maksud tujuan Oh loji masih sukar untuk diduga. Membantu dirinya juga tak menjadi soal. Tapi diapun dapat kita peralat…”
Sementara mereka berdua masih berbisik dengan suara lirih, tiba-tiba dari tengah arena berkumandang suara dengusan tertahan karena kesakitan.
Rupanya si malaikat racun Lo Kay-seng dari See ih sam seng berdiri terlampau dekat dengan naga berapi itu sehingga lengan kirinya kena disembur sampai terluka. Sambil meringis kesakitan, buru-buru dia mengundurkan diri ke belakang.
Malaikat pedang Siang Ban-im yang menyaksikan kejadian itu menjadi gusar sekali, bentaknya, “Binatang, kau berani!”
Sekilas cahaya tajam dengan cepat menyambar ke depan.
Auman keras yang memekakkan telinga berkumandang memenuhi angkasa.
Mendadak naga berapi itu mengangkat tubuhnya ke atas. Cakar mautnya direntangkan dan diayun kemuka, kemudian menyambut datangnya cahaya pedang tersebut.
Melihat kesempatan baik telah berada didepan mata Oh Bu-hong segera membentak keras, “Pek-ji, cepat serang sayap kanannya!”.
Sejak tadi Si Tiong-pek sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, mendengar perintah tersebut, segera sahutnya, “Baik!”
Dengan jurus Kan ku see gi (alam semesta bergeser ke barat), satu jurus pukulan yang tercantun dalam kitab pusaka Ciong hay kun boh, dia melancarkan sebuah pukulan ke depan.
Dibawah kerubutan tiga orang jago tersebut, ternyata naga berapi itu sama sekali tidak takut. Sambil meraung keras, ekornya yang panjang dan besar tiba-tiba disapu keluar dengan menerbitkan deruan angin puyuh yang luar biasa.
“Sin liong pawi (naga sakti mengebaskan ekor)” tiba-tiba Si Tiong-pek teringat kalau diantara jurus-jurus serangan yang tercantum dalam kitab pusaka Ciong bay kun boh terdapat sebuah jurus sin liong pawi yang mirip-mirip dengan gerakan tubuh naga berapi itu. Dia cukup mengeyahui akan kelihayan jurus serangan itu, buru-buru tubuhnya melompat ke udara untuk menghindarkan diri.
“Suhu, cepat mundur!” teriaknya dari tengah udara.
Thi-eng-siu Oh Bu-hong tidak mengetahui akan kelihayan jurus serangan tersebut. Baru saja dia hendak menyongsong datngnya ancaman tersebut dengan toya bajanya, tiba-tiba ia mendengar bentakan dari Si Tiong-pek tersebut, segera sadarlah dia kalau keadaan tidak beres.
Dengan gerakan mendatar tubuhnya meluncur keluar dari situ.
“Blammm!” suatu benturan keras terjadi di udara, tahu-tahu sebuah liang yang amat besar telah muncul di atas permukaan tanah.
Ketika sapuan ekornya gagal melukai orang, naga berapi itu semakin gusar. Sambil meraung keras, kakinya dihentak-hentakkan di atas tanah. Ini mengakibatkan seluruh permukaan tanah bergetae keras.
“Sungguh berbahaya….!” pekik Oh Bu-hong di dalam hati.
Saking kagetnya peluh dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. Untuk sesaat nyalinya menjadi pecah dan ia tak berani untuk menubruk ke depan lagi.
Dalam pada itu, Malaikat Pedang Siang Ban-im juga tak berani melancarkan serangan secara gegabah lagi. Dia hanya mengawasi naga berapi itu dengan mata terbelalak karena kaget. Untuk sesaat lamanya ia termangu-mangu dan tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Mendadak terdengar Kongsun Po tertawa terbahak-bahak, kemudian katanya lantang, “Haa… haa… haa… Saudara Oh, mari biar lohu membantumu!”
“Haa… haa… haa… Bagus sekali. mari kita bekerjasama untuk membekuk naga itu!” jawab Oh Bu-hong sambil tertawa terbahak-bahak pula.
Menyusul di belakang Rase Berekor Sembilan Kongsun Po, si Kakek Sakti Berwajah Pualam Say Khi-pit pun ikut maju ke depam memberikan bantuannya.
Dengan demikian, para jago lihay serentak maju bersama untuk menghampiri naga berapi itu.
Ternyata naga berapi itu cukup cerdik. Kali ini ia bersikap lebih kalem dengan mengawasi orang-orang itu menggunakan sinar matanya yang merah berapi-api. Oleh karena ia memiliki empat buah mata maka gerak-gerik setiap orang tak ada yang lolos dari pengawasannya.
Kongsun Po menjadi amat terperanjat setelah menyaksikan kesemuanya itu. katanya, “Saudara Oh, dimanakah letak titik kelemahan yang mematikan dari makhluk ini?”
“Lohu belum berhasil menemukannya” jawab Oh Bu-hong sambil tertawa seram.
Say Khi-pit segera menggerakkan sepasang telapak tangannya, lalu berkata, “Lohu akan bertarung dari babak yang pertama. Harap saudara sekalian mau melindungi aku dari samping!”.
Kemudian sambil merendahkan tubuhnya, ia melancarkan sebuah pukulan yang sangat kuat ke depan.
Naga raksasa itu mendongakkan kepalanya, sambil meraung keras, menyusul kemudian terjadi benturan yang memekakkan telinga.
Naga berapi itu sama sekali tidak menghentikan tubuhnya, tapi Say Khi-pit telah merasakan separuh lengannya menjadi kaku dan agak tak sanggup untuk diangkat kembali. Ia tidak menyangka kalau tubuh naga berapi itu memiliki daya lenting yang begini kuat.
Dengan hati tercekat ia mundur ke belakang, kemudian serunya, “Saudara Oh, aku lihat makhluk ini luar biasa. Jika tidak diketahui cara untuk menaklukkannya, belum tentu kita bisa menundukkannya hari ini. Untuk membunuh naga harus tahu dulu caranya membunuh. Aku lihat lebih baik kita mencari dulu akal lain!”
“Oh Bu-hong segera mendengus dingin. “Hmmmm….! Kalau aku sudah tahu caranya, tak nanti lohu sampai memohon bantuan orang lain….”
Mendengar ucapan tersebut Say Khi-pit menjadi naik pitam, teriaknya, “Lohu pun tak sudi dengan benda mestika itu!”
Seusai berkata ia lantas putar badan dan berjalan keluar dari gelanggang, seakan-akan ia hendak berlalu dari sana.
Buru-buru Kongsun Po berseru dengan lantang, “Saudara Say, setelah masuk kedalam bukit mestika, masa kita akan pulang dengan tangan hampa”.
Say Khi-pit agak tertegun, kemudian pikirnya, “Ya benar. Jika aku pergi dengan begini saja, pihak Thi-eng pang pasti akan mentertawakan ketidak becusanku. Setelah tahu sulit baru mengundurkan diri. Hmmm….. aku orang she Say tidak boleh pergi dengan begini saja”
Berpikir sampai disitu, buru-buru ia balik lagi ketempat semula dn berdiri berjajar dengan Kongsun Po.
Sambil tertawa terbahak-bahak Kongsun Po lantas berkata, “Saudara Oh hari ini kami dua bersaudara hendak menjual nyawa untuk kalian. Aku harap dikemudian haripun pihak Thi-eng pang bersedia pula memberi muka untuk kami…”
Kata-kata dua bersaudara sengaja diucapkan dengan nada keras, jelas dia berniat untuk menarik Say Khi-pit agar berpihak kepadanya.
Oh Bu-hong yang cerdik, tentu saja dapat menebak pula maksud hatinya. Ia segera tertawa terbahak-bahak. “Haa… haa… haa… tentu saja… tantu saja… Asal saudara bersedia untuk menyumbangkan tenaga, siau loji pantas akan menghadiahkan sepasang mata naga tersebut untuk kalian berdua…”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang menusuk pendengaran berkumandang di angkasa.
Suara tertawa itu dingin, keji dan menggidikkan hati, membuat para jago yang berada dalam gelanggang meraskan hatinya bergetar keras.
Ketika semua orang berpaling maka tampaklah si Malaikat Racun Lo Kay seng sedang memandang ke arahnya dengan pandangan dingin.
“Lo Kay seng, si makhluk beracun tua, Apa yang sedang kau tertawakan….? tegue Oh Bu-hong dengan kening berkerut.
Lo Kay seng tertawa ternahak-bahak. “Kalian anggap pil Lei hwe po wan tersebut benar-benar bisa kalian dapatkan dengan begitu saja?”.
“Kalau kami tak mampu, apakah kau mampu?” jengek Kongsun Po ketus.
Lo Kay seng segera tertawa seram lagi. “Tentu saja, tentu saja. Lohu pasti akan mampu untuk mendapatkan pil Lei hwe po wan tersebut!”.
Oh Bu-hong yang licik dan keji, ketika dilihatnya Jit poh Toan Kwik to berdiri disana, mendadak sebuah akal busuk melintas di dalam benaknya. Ia lantas tertawa seram, kemudian drngan nada menghina katanya, “Saudara Lo jangan lupa kalau orang yang merajai dunia ini dengan ilmu beracunnya bukan cuma kau seorang….”.
Selama ini si Malaikat Beracun Lo Kay seng selalu menganggap ilmu beracunnya merupakan kepandaian yang tiada taranya didunia ini, kontan saja sepasang alis matanya bekernyit setelah mendengar perkataan itu. Selapis hawa nafsu membunuh pun dengan cepat menyelimuti wajahnya. Sekulum senyuman dingin ikut menghiasi pula wajahnya. Ia tertawa angkuh, kemudian ujarnya, “Lohu tidak percaya kalau didunia ini masih terdapat orang lain yang mampu mengalahkan lohu!”
Diam-diam Oh Bu-hong merasa gembira sekali setelah mendengar perkataan itu. Katanya dengan cepat, “Aaaah.. belum tentu demikian…”
“Coba menurut pendapatmu, masih ada siapa lagi yang lihay dalam ilmu beracun” teriak Lo Kay seng dengan gusar.
Oh Bu-hong segera menuding ke arah Jit Poh Toan-hun Kwik To sambil katanya, “Dewasa ini, Kwik heng yang berdiri di hadapanmu juga merupakan seorang ahli racun yang berpengalaman!”
Jelas Oh Bu-hong memang sengaja hendak mengobarkan pertarungan diantara mereka, agar dua orang jago lihay yang tersohor karena ilmu beracunnya itu saling gontok-gontokan sendiri….
Jit Poh toan-hun (tujuh langkah pemutus nyawa) Kwik To cuma tertawa ringan dan sama sekali tak menggubris.
Tok seng (si Malaikat Beracun) Lo Kay seng tidak memiliki kecerdasan seperti Kwik To. Dia pun tak dapat melihat maksud hati Thi-eng siu (Kakek Sakti Elang Baja) Oh Bu-hong yang sebenarnya. Dengan wajah sedingin es ia tertawa dingin tiada hentinya. “hee… hee… heeh… Manusia semacam itu mana mungkin bisa diajak berbicara?”
Saat inilah Jit poh toan-hun Lo Kay seng pasti dapat merasakan atau paling tidak menduga akan siasat keji dari Oh Bu-hong tersebut. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang manusia yang paling tolol di dunia ini.
Sambil tertawa seram, Kwik To berkata. “Wahai Lo Kay seng, kita berdua sama-sama termashur dalam dunia persilatan karena ilmu beracunnya. Soal nama dan tingkat kedudukan bukanlah suatu persoalan yang patut diributkan. Sedang lohu pun tidak akan mengingat-ingat kesalahan yang dibuat orang rendah. Untuk sementara ini kuampuni selembar jiwamu…”
Kemudian sambil berpaling ke arah Oh Bu-hong katanya pula sambil tertawa sinis. “Saudara Oh, kau memang pandai sekali memutar balikkan duduk persoalan. Tampaknya soal hasut-menghasut merupakan modal yang terutama bagimu dalam kariermu selama ini”
Merah padam selembar wajah Oh Bu-hong karena jengah. Cepat-cepat katanya sambil tertawa. “Mana, mana. Kehebatan saudara Kwik sudah merajai kolong langit. Lohu tak lebih hanya memuji seperti apa yang kupikirkan. Siapa yang berani untuk….”
Mendadak…….
Naga api yang selama ini tak berkutik mulai mundur ke belakang. Rupanya binatang itu bersiap-siap hendak mengundurkan dirinya ke dalam istana api….
Menyaksikan itu Oh Bu-hong menjadi sangat terkejut, buru-buru bentaknya keras. “Kekuatan api dari naga berapi itu semakin melemah, harap saudara sekalian bersedia membantu lohu….”
Sembari berkata, tubuhnya bergerak lebih dahulu menerjang ke arah naga berapi terebut.
Begitu ia menggerakkan tubuhnya, Kongsun Po dan Say Khi-pit menggerakkan pula badannya menyusul dari belakang.
Dalam waktu singkat, bayangan manusia saling menyambar. Bayangan naga bergetar-getar. Pasir dan batu dilapisi kobaran api yang menyengat badan segera berhamburan kemana-mana. Naga berapi itu sepanjang tahun hidup di dalam istana api, meninggalkan sumber api baginya berarti kematian.
Semenjak kemunculannya dari istana api tadi, hampir satu jam sudah lewat tanpa terasa. Lambat laun binatang aneh itu mulai tak tahan menghadapi serangan-serangan hawa dingin di luar gua. Tampaknya makhluk inipun tahu bahwa manusia-manusia yang sedang dihadapinya sekarang bukan manusia sembarangan. Karena itu ia tak pernah melangkah keluar dari guanya barang selangkahpun. Selama ini cuma mendekam terus di mulut gua tersebut.
Ji Cin-peng selama ini cuma meonton dari samping arena tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tapi setelah disaksikannya naga berapi itu sama sekali tidak menunjukkan tanda kelelahan meski sudah bertarung sengit sekian lama melawan jago-jago lihay sebanyak itu, hatinya mulai terkesiap.
Kepada nyonya tua berambut putih yang berada disampingnya, ia lantas berkata sambil tertawa. “Nenek, bukankah kau memiliki seutas Wu kim ciu-kou (pancingan sakti benang emas).
Nenek berambut putih itu tertawa terkekeh, lalu menjawab, “Selembar serat tak akan menjadi benang betul. Kaitan emas Wu kim ciu-kou milikku dapat mengkait makhluk besar ini. Tapi kekuatannya terlampau besar seperti bukit. Aku kuatir sampai waktunya bisa jadi kita akan terseret masuk ke dalam istana api. Mencuri ayam gagal, segenggam beras lenyap, bukankah hal ini terlalu rugi…”
Ji Cin-peng berpikir sebentar, kemudian menjawab. “Seandainya kita sumbat mulut istana api, bukankah naga api itu bisa kita tangkap dengan mudah”
Mendengar perkataan itu, nenek berambut putih itu menjadi sangat terkejut. Segera katanya, “Naga berapi ini sudah memiliki akal budi. Sebelum dia dibikin gusar, jangan harap mau meninggalkan gua tersebut barang selangkahpun. Apalagi ingin menangkapnya hidup-hidup. Ketahuilah, benda mestika hanya akan dimiliki oleh mereka yang berjiwa mulia. Lebih baik kita jangan memikirkan soal itu”
Pada saat itulah mendadak terdengar Oh Bu-hong membentak keras. “Saudara sekalian, berusahalah untuk memancingnya keluar…”
Meskipun menghadapi serangan-serangan gencar dari empat lima orang jago lihay, ternyata naga berapi itu tidak bergeser dari tempat semula walau selangkahpun. Malahan sambil mundur ia dapat melindungi badan, sewaktu maju bisa menyerang musuh. Makhluk ini betul-betul seekor makhluk yang luar biasa.
Sembari melancarkan pukulan dahsyat, Kongsun Po berseru, “Ia teramat cerdik, sulit untuk memancingnya keluar!”.
Belum habis perkataannya naga berapi tersebut telah menyemburkan apinya mengarah dia.
Paras muka Kongsun Po berubah hebat. Saking kagetnya, cepat-cepat ia menarik kembali serangannya sambil mundur. Diam-diam peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya saking kaget.
Tiba-tiba… Jit poh lui sim cian Lui Thian seng menyelinap maju ke depan. Sambil tertawa terbahak-bahak, ia berkata, “Haa… haa… haa… Saudara Oh, seandainya lohu sanggup untuk memancingnya keluar dari situ, bagaimana caramu untuk mengucapkan rasa terima kasihmu kepadaku?”.
Oh Bu-hong memutar sepasang biji matanya, lalu berkata, “Asal lohu berhasil mendapatkan pil mestika Lei hwe po wan, aku bersedia untuk memberikan segala sesuatu yang diinginkan kepada diri Lui heng!”
“Haa… haa… haa… Termasuk barang mestiika pembunuh naga?” seru Lui Thian seng lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
Tergetar keras dada Oh Bu-hong sehabis mendengar perkataan itu, serunya tergagap. “Tentang soal ini… Tentang soal ini…”
Untuk sesaat lamanya dia tak tahu bagaimana harus menjawab, karena itu hanya senyuman tersipu-sipu yang menghiasi seluruh wajahnya.
Lui Thian seng mendengus dingin, kembali ia berkata, “Kalau toh saudara Oh tidak mempunyai niat jujur dan bersungguh-sungguh, yaa sudahlah!. Anggap tiada saja ucapanku tadi!”
Seusai berkata ia lantas melangkah mundur dari situ dan balik ketempatnya semula. Pancaran sinar dingin dan sinis mencorong keluar dari balik matanya.
Mimpipun Oh Bu-hong tidak mengira kalau dalam keadaan gawat seperti ini, Jit poh lui sim cian Lui Thian seng bisa mengeluarkan kartu yang mematikan dirinya. Dengan suatu pemikiran yang cepat ia berusaha mengelupas masalah tersebut, kemudian buru-buru katanya lagi sambil tertawa, “Lohu cuma dapat membantu untuk merampasnya, tapi tidak menjamin akan keutuhan serta keamanan benda tersebut”.
Orang ini memang cukup licik. Dia tahu Jit poh lui sim cian Lui Thian seng bisa berkata begitu berarti dia betul-betul memiliki kemampuan untuk memancing kemunculan naga berapi tersebut. tapi pihak Thi-eng pang pun berhasrat besar untuk mendapatkan benda mestika pembunuh naga. Ia merasa agak keberatan untuk menyanggupi permintaan orang.
Sebaliknya kalau tidak disanggupi, terlampau sayang jika pil Lei hwe po wan yang amat langka itu lenyap dengan begitu saja. Dalam keadaan demikian, maka ia mengambil keputusan untuk menyanggupi sementara waktu, padahal secara diam-diam ia telah menyusun suatu siasat keji lainnya.
Lui Thian seng kembali tertawa terbahak-bahak. “Haa… haa… haa… Asal pihak Thi-eng pang bersedia melindungi lohu dari garis arena, itu sudah lebih dari cukup!” demikian ia berseri.
Oh Bu-hong tertawa seram pula. “Kalau memang sudah setuju, harap saudara Lui segera mempersiapkan diri untuk memancing kemunculan naga berapi itu”.
“Hee.. hee… heeeh… Ucapan seorang kuncu bagaikan sebuah cambukan bagi kuda jempolan. Sampai waktunya aku berharap saudara Oh jangan menyesali!”.
Terkesiap Oh Bu-hong sesudah mendengar perkataan itu. Dia tertawa kering dan menjawab, “Aaaah…! Apa maksudmu berkata demikian?. Lohu bukanlah manusia semacam itu!”.
Dengan penuh perasaan bangga Lui Thian seng tertawa tergelak-gelak. kemudian pelan-pelan maju ke tengah arana.
Ketika mencapai lebih kurang lima enam kaki dari naga berapi itu, mendadak ia berpaling seraya berseru, “Saudara Oh, dapatkah kau mengutus seorang untuk menyumbat mulut gua istana api. Jika naga berapi itu sudah pergi meninggalkan guanya nanti….”
Oh Bu-hong belum pernah berpikir sampai kesitu, maka buru-buru jawabnya cepat. “Ooh.. itu maah soal gampang!”
Sambil membalikkan badan ia berseru ke arah para anggota Thi-eng pang nya, “Dimana Wan Kiamciu?”
“Lohu berada disini!” Cian seng khi su Wan Kiamciu segera tampil ke depan sambil menyahut.
Oh Bu-hong tertawa terkeke-kekeh, ujarnya, “Cepat siapkan kayu-kayu besar dan cada sebagai persiapan bilamana perlu nanti”
“Terima perintah!” sahut Wan Kiamciu cepat.
Dengan memimpin puluhan orang jago lihay dari perkumpulan Thi-eng pang, dengan kecepatan luar biasa berangkatlah mereka menuju keluar gua tersebut.
Ketika Jit poh lui sim cian Lui Thian seng menyaksikan semua persiapan telah selesai, buru-buru serunya, “Hadapilah binatang itu dengan berhati-hati. Wahai saudara sekalian, bila sedang marah, naga berapi itu bisa melukai orang!”
Dengan suara lantang Oh Bu-hong segera berseru, “Semua murid perkumpulan Thi-eng pang harap mundur sejauh sepuluh kaki dari posisi masing-masing!”
Dalam waktu singkat bayangan manusia saling berkelebat. Banyak diantara para jago-jago yang merasa kepandaiannya cetek bersama-sama melompat mundur ke belakang.
Para jago dari perguruan panah bercinta juga kuatir kalau mendapat kerugian besar, buru-buru mereka ikut mundur beberapa kaki jauhnya dari posisi semula.
Sementara semua orang sedang bergerak mundur….
“Blaamm…..!” tiba-tiba terjadi suatu ledakan dahsyat yang amat memekakkan telinga.
Cahaya emas memancar ke empat penjuru, tahu-tahu panah inti geledek yang bisa merengut nyawa orang dalam tujuh langkah itu sudah dilepaskan ke arah kepala naga berapi tersebut.
“Cepat mundur…..!” kembali Jit poh lui cim sian Lui Thian seng membentak keras.
Seketika itu juga segenap jago yang hadir di arena bersama-sama melayang mundur dari tempat itu.
“Auuuuumm… Auuummm….!”
Suara pekikan dahsyat yang memekakkan telinga berkumandang dalam ruangan gua itu. Sedemikian kerasnya suara itu sehingga seluruh bumi serasa bergoncang keras. Ini menandakan bahwa naga berapi itu sudah dibuat teramat gusar.
“Aaaah…” serentetan jeritan kaget menggema pula dalam ruangan tersebut.
Tiba-tiba naga berapi itu meluncur ke depan sambil berpekik nyaring. Dengan sinar mata bengis dan wajah buas makhluk raksasa tersebut maju kemuka dan menyergap kawanan jago tersebut.
Cahaya petir kembali membelah angkasa. Tiba-tiba dari tengah udara meluncur datang serentetan cahaya ungu yang menyilaukan mata.
Menyusuk kemudian memancar keluar serentetan cahaya emas yang menyelimuti seluruh angkasa. Seluruh jagad seolah-olah diselimuti oleh jalur api yang bewarana merah keemas-emasan.
Gerak maju naga berapi itu teramat cepat. Setelah merentangkan cakarnya yang tajam, ia menyergap tubuh Jit poh lui cim sian Lui Thian seng dan mencengkeram tubuhnya.
Menghadapi ancaman seperti ini, Jit poh lui cim sian Lui Thian seng merasa terkejut sekeli hingga hatinya bergetar keras, bentaknya penuh kegusaran. “Binatang keparat!”.
Dalam keadaan terdesak, secepat kilat ia menekan tombol di atas tabung anak panahnya.
“Blaaaam…!”
Diiringi suara ledakan dahsyat, kembali hujan anak panah berhamburan ke tubuh makhluk raksasa itu.
Dengan cepat naga berapi itu menggerarkan sisik-sisik diatas badannya seraya miringkan kepala. Begitu terhindar dari hujan anak panah yang gencar, dia mendongakkan kepalanya berpekik nyaring, kemudian bergerak maju lagi kedepan.
oooOOOOooo
SEMENTARA itu Jit poh lui sin cian Lui Thian seng sudah mundur sejauh lima kaki lebih dari tempat semula.
Tak lama kemudian, naga berapi sudah dua kaki lebih meninggalkan mulut guanya.
Saat itulah Oh Bu-hong merasa kesempatan yang sangat baik ini tak boleh disia-siakan, buru-buru bentaknya. “Cepat sumbat mulut gua tersebut!”
Semenjak tadi Cian seng khik su Wan Kiam ciu sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk melaksanakan perintah. Mendengar bentakan itu, dia lantas mengulapkan tangannya seraya berseru. Puluhan orang jago dunia persilatan yang telah mempersiapkan batangan-batangan kayu besar dan batu-batu cadas itu segera menyerbu ke depan mulut gua.
Dalam pada itu, sifat buas dari naga berapi itu sudah berkobar. Hakekatnya ia tak menduga kalau jalan mundurnya bakal dibuntukan. Kemarahannya makin memuncak. sambil meraung-raung kegusaran dia menyambar kesana kemari dengan dahsyatnya.
Kawanan jago persilatan yang berada disekitar situ makin panik dibuatnya. Dengan ketakutan mereka lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri.
“Aduuh…!. Aduuh…! beberapa jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang memecahkan keheningan. Ada dua jago dari perkumpulan Thi-eng pang yang tak sempat menghindarkan diri roboh terkapar di atas tanah.
Oh Bu-hong segera memutar senjata toya bajanya sembari berseru, “Saudara Kongsun, saudara Say, hayo kita cepat bertindak!”
Seketika itu juga para jago yang berada disekitar arena mulai turun tangan. Pertarungan antara manusia melawan binatangpun segera berkobar dengan sengitnya.
Pada saat itulah…. tiba-tiba Ji Cin-peng tertawa merdu, kemudian serunya. “Nenek, mari kita tampil ambil bagian di dalam pertarungan ini!”
“Kau juga berniat untuk turut memperebutkan pil Lei hwe po wan tersebut?” tanya si nenek berambut putih dengan wajah agak sangsi.
Ji Cin-peng mengangguk, “Setiap orang yang berada di dunia selalu berharap bisa mendapatkan benda mestika. Setelah aku tiba disini, sudah sepantasnya bila turun tangan didalam gerakan ini!”.
Nenek berambut putih itu segera tertawa dingin. “Kalau Bengcu memang berminat, sudah barang tentu dengan senang hati aku si nenek akan melaksanakannya”.
Seraya berkata dia menggerarkan tanganny. Sebuah kaitan emas Wi Kim cui kou yang bewarna keemas-emasan dicabut keluar dari balik saku bajunya.
Tiba-tiba… Tok seng (malaikat racun) Lo Kay seng maju ke depan seraya berkata, “Bengcu, bagaimana kalau kita bekerjasama dalam usaha kali ini?”
“Kenapa? Apakah See ih sam seng berniat untuk mengambil bagian dalam persoalan ini?” kata Ji Cin-peng dengan mata melotot besar.
Malaikat Racun Lo Kay seng tertawa seram. “Betul..!” jawabnya. “Lohu memang berniat untuk mengambil bagian dalam persoalan ini!”.
Selesai berkata ia tertawa terkekeh-kekeh lalu dari sakunya mencabut keluar sebuah tabung bambu.
“Bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk menangkap naga berapi. Apakah kau mempunyai suatu akal bagus?” ujar Cin-peng dingin.
Malaikat Racun Lo Kat seng tertawa seram. “Bila dua telapak tangan bertemu, suara tepukan baru kedengaran. Hanya tangan sebelah tak mungkin bisa berkumandang suara tersebut. Kau mempunyai kaitan emas Wi kim ciu kou, aku punya obat pemabuk Thian san liong hiang. Dengan kombinasi dua macam benda ini, sekalipun naga bisa terbang juga tak bakalan lolos dari cengkeraman kita. Cuma terserah kepadamu bersedia untuk bekerja sama atau tidak?”
Dengan cepat Ji Cin-peng berpikir sejenak, lalu jawabnya, “Baiklah, kulihat dulu kehebatannya”.
Malaikat Racun Lo Kay seng segera melepaskan tabung bambunya itu kedepan naga beracun tersebut, katanya, “Kau boleh menyaksikan sendiri kehebatan dari benda milikku ini”
“Blaaaam!”
Tiba-tiba ditengah udara bergema suara ledakan. Selapis kabut bewarna merah yang membawa segulung angin harum dengan cepat menyambar ketengah udara dan menebar kemana-mana. Kabut merah itu pelan-pelan melayang kedepan dan menyelimuti sekeliling badan naga berapi itu.
Rupanya naga berapi itu gemar dengan segala yang berbau harum. Mengendus bau tersebut, tiba-tiba terhenti dan tidak bergerak lagi. Dengan hidungnya yang besar ia mengendus kesana kemari disekeliling udara. Setelah itu berpikir tiada hentinya.
Tak lama kemudian semua bau harum yang tebal sudah terhisap ke dalam perutnya.
“Hey si nenek. cepat lemparkan kaitan emasmu!” Malaikat Racun Lo Kay seng buru-buru berseru.
Nenek berambut putih itu mendengus dingin. “Hmm! Atas dasar apa kau hendak memerintah diriku!” serunya.
Ucapan itu membuat Malaikat Racun Lo Kay seng tertegun, sampai lama sekali dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Terpaksa Ji Cin-peng berkata sambil tertawa “Nenek, silakan turun tangan!”
“Terima perintah”
Dengan penuh rasa hormat si nenek berambut putih itu mengiakan.
“Sreeet..!
Serentetan cahaya putih yang menyilaukan mata meluncur keluar dari balik tangannya. Dengan membawa desingan angin tajam, kaitan emas itu meluncur ditangah udara dan langsung membelenggu ke tubuh naga berapi itu.
Sekujur tubuh naga berapi itu bergetar keras, tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya.
“Kenapa tidak segera kemari!” bentak nenek berambut putih itu dengan suara lantang.
Seraya berkata, tenaga dalamnya segera disalurkan kedalam telapak tangannya untuk membetot.
Sekujur tubuh naga berapi itu bergetar makin keras. Setelah berpekik sedih, pelan-pelan dia mendekati si nenek berambut putih dari perguruan Panah Bercinta.
Meskipun tubuhnya besar, ternyata gerak-geriknya amat lamban, bagaikan seekor kerbau tua yang sedang menarik pedati.
Perlu diketahui, saat itu si naga berapi boleh dibilang telah dikuasai sepenuhnya. Kaitan emas yang tajam dan kuat itu tepat telah mengkait pada bagian yang mematikan diatas tubuhnya. Bila si nenek berambut putih itu menarik keras-keras, maka ia akan meraskan kesakitan hebat. Dalam keadaan demikian terpaksa dia harus mengikuti tarikan itu untuk maju mendekat.
Oh Bu-hong yang menyaksikan kejadian itu menjadi naik pitam. Segera teriaknya keras-keras, “Bagus sekali, rupanya kalian perguruan Panah Bercinta hendak memungut keuntungan yang telah berada didepan mata…”
“Kami berhasil menangkap naga itu dengan mengandalkan kepandaian sejati. Lebih baik kau tak usah banyak cerewet” tukas Ji Cin-peng dngan wajah dingin.
Mendadak paras muka Oh Bu-hong berubah hebat, serunya, “Kami Thi-eng pang telah menjua tenaga, orangpun sudah mati beberapa. Jika kalian perguruan Panah Bercinta hanya ingin memungut hasilnya dengan tanpa bersusah payah, lohu tidak akan setuju!”
“Tidak setuju juga harus setuju. Nonamu tak akan menuruti keinginan hatimu!” kata Ji Cin-peng dingin.
Suaranya dingin, tegas dan tandas. Ini membuat Oh Bu-hong tak mampu berbicara lagi.
Dalam keadaan demikian, terpaksa Oh Bu-hong harus nekad, katanya kemudian, “Jika nona bermaksud demikian, aku kuatir banjir darah dan pembantaian besar-besaran akan berlangsung hari ini…”
“Kau berani menggertak Bengcu kami!” bentak Ji Kiu liong sambil tertawa penuh kegusaran.
Oleh karena selembar jiwanya telah diselamatkan Ji Cin-peng maka tanpa merasa ia telah memasukkan dirinya kedalam bagian dari perguruan Panah Bercinta.
Ji Cin-peng segera mengerling sekejap kearahnya memberi tanda, lalu berkata, “Soal banjir darah mah tak akan terhindar lagi. Itu cuma tergantung soal cepat atau lambatnya saja!”
Pada saat itulah, Si Tiong pek menghunus pedangnya. Sambil melompat kemuka teriaknya, “Kalian orang-orang perguruan Panah Bercinta betul-betul terlalu menghina orang!”
“Kami menghina orang, memangnya kalian juga tidak menghina orang!” balas Jit poh toan bun Kwik To dengan suara yang amat dingin.
Suasana semakin tegang, pertarungan agaknya setiap saat dapat berlangsung.
Tiba-tiba Kongsun Po maju kedepan dan memisahkan mereka kekiri dan ke kanan, lalu katanya, “Jika ada dua harimau berkelahi, maka salah satu pasti akan terluka. Alangkah baiknya jika kalian berdua jangan bentrok lebih dulu hanya lantaran urusan kecil. Lohu yang tak becus bersedia untuk menjadi penengah!”
“Kongsun Po heng bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Oh Bu-hong kemudian dengan penuh kebencian.
Kongsun Po terkekek-kekeh seram. “Jangan ribut, jangan ribut. Lohu sudah menemukan suatu cara yang amat jitu….”
“Cara apa yang berhasil kau dapatkan?” tanya Si Tiong pek rada tertegun.
“Hee… hee… hee… Sebagaimana kita ketahui, naga berapi adalah makhluk tak bertuan. Siapa yang mendapatkan toh sama saja. Menurut pendapat lohu yang bodoh, lebih baik pil Lei hwe po wan diberikan kepada pihak Thi-eng pang sedang naga berapi itu sendiri didapatkan pihak perguruan Panah Bercinta. Bukankan cara ini bagus sekali? Bagaimana pendapat kalian?”
Ji Cin-peng segera tertawa terbahak-bahak, “Haa… haa… haa… Jika benda itu dibagi untuk kami bersua, lantas Saudara Kongsun sendiri mendapat apa….?”
Kongsun Po menjadi tertegun, lalu pikirnya, “Hmmm….! Tak sedikit sudah aku mengeluarkan tenaga, masa aku akan pulang dengan tangan hampa…”
Pada dasarnya ia sudah mempunyai rencana busuk dalam benaknya, maka mendengar perkataan itu, kontan saja tergelaklah dia “Haa… haaa… haa… Tidak susah, tidak susah. Kalian semua telah pulang dengan membawa hasil, sudah barang tentu lohu tak bisa pulang dengan tangan hampa. Begini saja, anggaplah mestika dari To liong pit po sebagai bagian lohu!”.
Baru selesai ia berkata, Say Khi pit serta Lui Thian seng bersama-sama telah melototkan sepasang matanya lebar-lebar, jelas mereka tak senang hati.
Mendadak perempuan tua berambut putih itu membentak keras, “Binatang, kenapa kau tidak menuruti perkataanku?”
Naga api itu kembali berpekik sedih. Tubuhnya segera berbaring diatas tanah dan tidak bergerak lagi, kepalanya digoyang-goyangkan pertanda sudah takluk dan jinak.
Dengan cepat Ji Cin-peng berpaling sambil membentak, “Semua anggota perguruan Panah Bercinta harap membuat persiapan….!”
Bentakan demi bentakan berkumandang dari empat penjuru, tampaklah para jago dari perguruan Panah Bercinta bersama-sama menyebarkan diri membentak sebuah barisan yang tangguh untuk menggelinding si nenek berambut putih serta naga api itu.
Si Tiong pek melayang maju kedepan dengan kecepatan luar biasa. Setelah tertawa seram, serunya, “Selama enam puluh tahun, angin dan air selalu berputar. Tiga puluh tahun air mengalir ke timur, tiga puluh tahun kemudian air mengalir ke barat. Tak nyana perguruan Panah Bercinta berani secara terang-terangan mencaplok pil Lei hwe po wan secara kasar. Hmm…..”.
“Siapapun berhak untuk mendapatkan barang tak bertuan”, kata Ji Cin-peng hambar. “Sekalipun perguruan Panah Bercinta bukan suatu perguruan yang bernama baik, tindakan kami ini masih belum terhitung suatu perbuatan yang kelewatan…..”
“Tepat sekali, tepat sekali!” seru Si Tiong-pek sambil tertawa seram. “Cuma aku lihat bukan suatu persolan yang gampang bagi perguruan kalian jika ingin mengangkangi mestika tersebut seorang diri hari ini”.
Ji Cin-peng segera tertawa dingin. “Pun kuncu tak pernah melakukan pekerjaan yang tidak memberi keyakinan bagiku. Hari ini kami berani menangkap naga tentu saja memiliki kemampuan pula untuk melindunginya. Jika pihak Thi-eng pang kurang percaya, silakan dibuktikan saja dengan kenyataan!”.
Si Tiong pek tertawa terbaha-bahak. “Haa… haa… haa… Tentu saja, tentu saja. Sudah semenjak dulu aku telah menduga bahwa pada suatu ketika antara perguruan Panah Bercinta dengan Thi-eng pang pasti akan menghadapi peristiwa semacam ini. Cuma tak kusangka kalau peristiwa ini bakal terjadi dalam waktu secepat ini….”
Berbicara sampai disitu, dia lantas mengulapkan tangannya memberi tanda. Para jago dari Thi-eng pang yang berada disekitar tempat itu serentak maju bersama. Agaknya suatu pertempuran massal segera akan terjadi.
Si Tiong pek memandang anak buahnya sekejap. Kemudian sambil mendongakkan kepalanya dia berkata dengan sombong. “Toa-buncu, coba kau lihat bagaimana dengan anak buahk?”
Ji Cin-peng agak tertegun, mungkin ia tidak memahami apa yang dimaksudkan, tapi kemudian pula katanya sambil tertawa dingin. “Gerombolan bandit dan pencopet, tak bisa dianggap sebagai suatu kekuatan yang hebat!”
Si Tiong pel naik pitam setelah mendengar perkataan itu, bentaknya penuh rasa gusar. “Kentut busukmu!”
Paras muka Ji Cin-peng berubah, hawa nafsu membunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya, tapi hanya sebentar, karena dengan nada yang datar dan tenang katanya kemudian. “Kalau ditinjau dari perkataanmu yang ngawur dan seenaknya, aku pantas kalau memberi sedikit pelajaran kepadamu, agar kau tahu tingginya langit dan tebalnya bumi. Tapi… memandang pada sumbangan tenaga yang telah kalian berikan ketika menangkap naga tadi, aku bersedia untuk memaafkan kelancanganmu itu….”
Kalau didengar dari suaranya yang lembut dan halus, orang tak akan percaya kalau perempuan ini tak lain adalah seorang iblis perempuan yang paling berkuasa dan paling hebat dalam dunia persilatan dewasa ini.
Ucapan tersebut segera saja menimbilkan rasa cengang dan tertegun bagi semua jago yang berada disekitar situ.
Tapi Si Tiong pek belum juga tahu diri, malah dengan mendongkol ia mendengus, serunya, “Maksud baik nona boar kuterima didalam hati. Sayang persoalan antara kita berdua tak bisa diselesaikan dengan sepatah dua patah kata saja….”
Ji Cin-peng segera tersenyum. “Aku sudah menduga akan jawabanmu itu”, katanya. “Sebelum kami memutuskan untuk menangkap naga itupun, nona telah memikirkan juga akibatnya. Mungkin disebabkan persoalan ini, suatu pertumpahan darah yang mengerikan akan terjadi hari ini…”
“Haa… haa… haa… Nona memang pintar dan betul-betil lain daripada yang lain” kata Oh Bu-hong sambil tertawa terbahak-bahak. “Kalau sudah tahu bahwa kejadian ini bisa berakibat terjadinya pertumpahan darah, sepantasnya kalau kau menarik diri dalam persoalan hari ini”
Ji Cin-peng mencibir sinis, katanya, “Ucapan pangcu memang sangat tepat, sebetulnya siau li memang berhasrat untuk mengundurkan diri dari sini, cuma sebelum siau li meninggalkan gunung tempo hari, suhu siau li pernah berpesan bahwa bagaimanapun juga maka siau li harus…”
“Haa… haa… haa… Nona memang pintar dan luar biasa. Aku rasa suhumu sudah pasti adalah seorang tokoh yang maha sakti dari dunia persilatan!” tukas Oh Bu-hong sambil tertawa terbahak-bahak lagi.
“Aaah…. Tidak, tidak” kata Ji Cin-peng sambil gelengkan kepalanya berulang kali. “Guruku mah cuma seorang manusia biasa yang tak punya kepandaian apa-apa. Jauh dibandingkan dengan kegagahan dan kehebatan Pangcu”
Agak merah wajah Oh Bu-hong karena jengah, ujarnya, “Suhumu pernah berkata apa?”
Ji Cin-peng tertawa ringan, “Kalau anjing menggigit orang, itu bukan berita namanya, tapi kalau orang menggigit anjing, ini baru berita yang luar biasa….”
Paras muka Oh Bu-hong segera berubah hebat. “Kurang ajar, kau berani memaki aku…!” teriaknya.
Jari tangannya segera menyentil ke muka.
“Sreeeet!”
Segulung desingan angin tajam segera meluncur ke muka dan menghajar ke tubuh Ji Cin-peng.
Dengan suatu gerakan yang enteng dan cekatan Ji Cin-peng segera mengigos ke samping.
Si Tiong pek memburu ke muka, serunya sambil tertawa seram. “Suhu, tak ada gunanya banyak berbicara pada saat ini. Hanya banjir darah yang terbentang didepan mata kita sekarang!”
Suara teriakan keras yang memekakkan telinga tiba-tiba berkumandang memecahkan keheningan. Kawanan jago dari perkumpulan Thi-eng pang serentak maju kedepan dan menyerang orang-orang perguruan Panah Bercinta.
Dalam waktu singkatm kekuatan dari kedua belah pihak telah saling bertemu. Suatu bentrokan senjata yang memekakkan telingapun berkumandang memecahkan keheningan…
Jeritan-jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema memenuhi angkasa. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Bentakan keras, jeritan kesakitan dikombinasikan dengan suara deruan angin pukulan serta benturan senjata tajam, membuat suasana dan pemandangan di sekitar itu betul-betul mengerikan.
Berbicara soal jumlah kekuaatan maka anggota perkumpulan yang hadir dari kedua belah pihak boleh dibilang seimbang. Kekuatan merekapun setali tiga uang. Bisa dibayangkan betapa serunya pertarungan yang sedang berlangsung waktu itu.
“Maaf nona, lohu akan bertindak lancang” Oh Bu-hong membentak keras.
Toya bajanya diputar cepat. Hembusan angin dengan gerakan memotong, menyapu, membacok, menebas, menghantam dan memotong, secara beruntun dia lukai delapan orang jago lihay dari perguruan Panah Bercinta, kemudian langsung menyerbu ke depan Ji Cin-peng.
Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan Ji Cin-peng kedepan, bentaknya nyaring. “Kau anggap nona takut kepadamu?”
Kedua orang itu sama-sama adalah seorang ketua dari suatu perguruan besar. Kelihayan tenaga dalam mereka sukar dilukiskan dengan kata-kata. Terlihat angin serangan dari toya baja serta telapak tangan itu menderu-deru kencang. Sekitar beberapa kaki di sekitar mereka berdua boleh dibilang telah dilapisi oleh selapis hawa serangan yang tebal.
Seru dan sengit jalannya pertarungn ketika itu, sedemikian ramainya suasana boleh dibilang jarang ditemui dalam dunia persilatan. Dalam waktu singkat, korban kembali berjatuhan dari kedua belah pihak. Meski orang-orang Thi-eng pang telah berusaha untuk menyerang berulang kali, sayang pertahanan dari orang-orang perguruan Panah Bercinta setangguh batu karang. Usaha mereka selalu mengalami kegagalan total.
Pada saat itulah… mendadak terdengar suatu ledakan keras yang memekakkan telinga berkumandang memecahkan keheningan.
Batu cadas dan kayu-kayu besar segera bermuncratan keempat penjuru. Segulung asap hitam yang amat tebal mengumpal keluar dari balik mulut istana api itu.
Menyusul kemudian muncullah dua sosok bayangan manusia bagaikan sambaran sukma gentayangan. Dengan suatu kecepatan yang luar biasa kedua sosok bayangan itu menerjang keluar dari balik istana api.
“Haa… haa… haa… Tidak kusangka begini banyak sobat yang berkumpul disini!”. Seorang berseru sambil tertawa nyaring.
Berbareng dengan selesainya perkataan itu, tiba-tiba ditengah arena telah melayang turun dua sosok manusia.
Dengan terjadinya ledakan yang berlangsung secara mendadak tadi, serentak pertumpahan darah yang sedang berlangsung disana terhenti sama sekali. Masing-masing pihak mengalihkan perhatian masing-masing untuk mengawasi kedua orang itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ji Cin-peng segera tertawa setelah melihat wajah kedua orang itu. See ih sam seng berdiri tertegun sedangkan Say Khi pit dan Kongsun Po merasa gelisah bercampur panik. Peluh dingin mengucur keluar tiada hentinya membasahi sekujur badannya.
“Saudara Gak, baik-baikkah kau?” teriak Ji Cin-peng dengan wajah berseri.
Gak Lam-kun melirik sekejap si nona baju perak yang berada disisinya, lalu menjawab sambil tertawa. “Berkat doa restu dari nona Bwe, aku berada dalam keadaan sehat wal afiat!”
Tiba-tiba See ih sam seng bersama-sama maju ke depan lalu menghadang jalan pergi Gak Lam-kun.
“Gak Siauhiap” tegur Malaikat Racun Lo Kay seng sambil tertawa seram, “Kemana perginya siocia kami?”
Wajah mereka, rata-rata menunjukkan kecemasan serta kegelisahan. Sementara enam buah mata yang tajam menatap wajah Gak Lam-kun tak berkedip. Mereka berharap bisa memperoleh kabar tentang Thian san soat li dari tubuhnya.
Gak Lam-kun tertegun menghadapi pertanyaan itu.
“Nona yang mana?” dia balik bertanya.
Kontan saja Malaikat Racun Lo Kay seng tertawa dingin sesudah mendengar perkataan itu.
“Aku harap kau tak usah bermain setan dihadapanku” tegurnya. “Hayo jawab saja berterus terang, kau telah apakan dirinya?”
Gak Lam-kun segera memahami apa yang dimaksudkan, ia tertawa terbaha-bahak karena kegelian.
Nona berbaju perak itupun ikut tertawa cekikikan, serunya kemudian. “Hey sam seng. Masa kalian sudah pangling denganku?”
Seperti apa yang diketahui, sukma Ang ih kim cha telah meminjam jasad si nona baju perak itu untuk hidup kembali di dunia. Oleh karena itu ciri-ciri wajah Thian san soat li yang sesungguhnya lambat laun mengalami perubahan secara drastis. Kalau ditanya mirip siapakah wajahnya sekarang maka sembilan puluh persen dia lebih mirip Ang ih kim cha daripada wajah aslinya sendiri. Tak heran kalau See ih sam seng tak dapat mengenalinya kembali.
Seperti orang bodoh, Malaikat Pedang Pek Ban im segera bertanya, “Siocia kenapa kau bisa berubah menjadi begitu rupa?”
Nona baju perak itu tersenyum, “Suratan takdirku memang demikian. Aku harap kalian tak usah banyak bertanya lagi” tukasnya.
Meski pelbagai kecurigaan masih berkecamuk dalam benak See ih sam seng, namun bersua dalam keadaan demikian, terpaksa mereka bertiga harus manggut-manggut juga sambil mengundurkan diri.
Selesai berkata tadi, nona berbaju perak itu segera melangkah ke tengah arena. Sambil menuding si naga berapi katanya, “Lepaskan dia!”
“Tidak bisa!” jawab nenek berambut putih itu ketus.
Pada hakekatnya Ji Cin-peng memang tidak menaruh kesan baik terhadap gadis berbaju perak itu. Mendengar ucapannya tersebut, ia lantas berkata dengan ketus. “Atas dasar apa kau hendak mencampuri urusan perguruan kami?”
Untuk sesaat nona berbaju perak itu terbungkam lalu tertawa jengah. Ia berpaling dan memandang sekejap wajah Gak Lam-kun dengan pandangan mesra. Wajahnya yang memang cantik jelita kian banyak bertambah menawan.
Gak Lam-kun segera tertawa nyaring, katanya kemudian. “Nona Bwe, bersediakah kau untuk memandang diatas wajah siaute…?”
Sampai sekarang dia masih belum tahu kalau Bwe Li pak adalah Ji Cin peng, maka ia selalu menyebutnya sebagai nona Bwe.
Diam-diam Ji Cin-peng menghela napas, titik air mata segera mengembang dalam kelopak matanya.
“Tentu saja kau terkecuali!” katanya sambil tertawa pedih.
Lalu sambil berpaling katanya lagi, “Nenek, lepaskanlah binatang itu!”
Si nenek berambut putih itu tertegun, serunya dengan cepat, “Nona, tidak gampang untuk menangkap makhluk ini, harap kau berpikir tiga kali lagi sebelum mengambil keputusan!”
Ji Cin-peng hanya tahu memburu kesenangan, segera katanya, “Aaaah… Tak usah banyak bicara, pokoknya laksanakan saja kan beres…!”
Nenek berambut putih itu tak berani membangkang, dia lantas menarik kembali kaitan emas Wu tim cui kou miliknya….
“Jangan lepaskan makhluk itu!” tiba-tiba Oh Bu-hong membentak keras.
“Kenapa?” tanya Gak Lam-kun sambil maju ke muka.
Oh Bu-hong tertawa seram, jawabnya. “Naga ini sudah menjadi milikku. Tanpa seiijinku, siapapun dilarang untuk melepaskannya!”
“Kalau aku tetap melepaskannya?” jengek Gak Lam-kun sambil menarik muka.
“Kubunuh dirimu!” dengus Oh Bu-hong dengan nada sinis.
Toya bajanya segera diputar satu lingkaran di udara, lalu dengan disertai desingan angin tajam ia totok dada anak muda itu.
Gak Lam-kun tertawa terbahak-bahak, “Haa… haa… haa… Aku lihat perangai Toa pangcu masih kelewat berangasan”
Sebuah kebasan tangan dilontarkan ke muka. Segulung hawa takanan yang amat kuat seketika mendepak Oh Bu-hong mundur selangkah.
Kebasan itu cukup kuat dan bertenaga luar biasa. Semua jago kembali dibuat tertegun
Lebih-lebih Oh Bu-hong sendiri. Dengan perasaan tercekat, dia lantas berpikir, “Setengah bulan tidak berjumpa, bajingan ini sudah mampu untuk mendesak mundur aku dengan pukulannya. Tenaga dalam sesenpurana ini betul-betul luar biasa. Sekarang tak seorangpun dari para jago yang hadir di arena mampu untuk menghadapinya. Apalagi dikemudian hari. Bukankah dia akan menjadi jagoan nomor wahid dalam dunia persilatan?”
Sebagai orang yang berhati iri dan culas, setelah berpikir sampai kesitu, selapis hawa nafsu membunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya…
Sambil tertawa seram ia lantas berseru, “Bocah muda, tak kusangka ilmu silatmu hebat juga!”
Bagaimanapun juga dia tidak percaya kalau dalam setengah bulan saja tenaga dalam yang dimiliki Gak Lam-kun bisa peroleh kemajuan yang demikian pesatnya.
Bayangan toya bajanya segera dibalik, lalu dengan jurus Nu kang huan lam (ombak sungai mengulung dahsayat), membacok tubuh lawan.
Gak Lam-kun tertawa dingin. Telapak tangan kirinya dikebaskan pelan ke muka. Kebasan itu sungguh kuat sekali. Dalam waktu singkat tahu-tahu sudah mencapai sasaran.
Dalam waktu singkat angin puyuh menderu-deru. Pasir dan batu beterbangan di angkasa. Serentetan cahaya hitam meluncur ke tangah udara.
Dengan perasaan terkesiap Oh Bu-hong mundur ke belakang, serunya, “Kau, adalah malaikat….!”
Waktu itu sepasang tangannya sudah kosong. Toya baja yang sangat berat itu sudah terhajar oleh serangan Gak Lam-kun sehingga mencelat ke tengah udara. Ditengah desingan angin tajam, benda itu meluncur ke arah barat laut dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Dengan wajah sedingin es, Gak Lam-kun berkata, “Aku adalah manusia bukan malaikat. Tapi aku justru adalah musuh tandinganmu!”
Kepandaian maha sakti yang belum pernah dilihat maupun didengar dalam dunia persilatan ini, bukan saja sudah menggetarkan hati setiap orang yang berada dalam arena, sekalipun Gak Lam-kun sendiri juga merasa agak tercengang.
Kongsun Po serta Say Khi pit yang menyaksikan gelagat tidak menguntungkan, segera membalikkan badan dan siap mengambil langkah seribu dari situ.
“Kembali!” bentak Gak lam-kun dengan suara keras.
“Kau hendak membunuh kami?” bisik Saya Khi pit dengan wajah ketakutan hebat.
Gak Lam-kun tertawa sinis. “Itu mah bukan suatu pekerjaan yang tak bisa kulakukan!” sahutnya.
Menghadapi keadaan demikian ini, Kongsun Po segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi dada, lalu berkata. “Sekarang urusan telah menjadi begini rupa, agaknya kami berdua harus beradu jiwa denganmu!”
“Hmmmm! Yang penting, sanggup tidak kalian berdua untuk mengajak aku beradu jiwa!” ejek Gak Lam-kun sambil mendengus.
Perkataan itu sama sekali tidak terdengar sombong atau sengaja membesar-besarkan keadaan. Karena kenyataan telah membuktikan segala sesuatunya.
Kongsun Po berpikir sejenak, lalu berkata, “Berada dalam keadaan ingin hidup tak bisa, ingin mati tak dapat, kami berdua percaya masih mampu untuk melakukan suatu perbuatan yang jauh diluar dugaan kalian semua!”
Jilid : 22
“BAIK!” kata Gak Lam-kun sambil maju dengan langkah lebar, “Ingin kulihat sebetulnya kalian memiliki kekuatan macam apa yang disebut melampaui kemampuan orang itu!”
Dengan Wajah yang hambar dan dingin seperti es, selangkah demi selangkah ia berjalan kedepan Kongsun Po serta Say Khi pit.
Pucat pias selembar wajah Kongsun Po, bisiknya dengan badan menggigil keras, “Kau amat keji…”
Paras muka Gak Lam-kun agak berubah, katanya lagi, “Dalam pandangan orang lain perbuatan ini mungkin dianggap kejam, tapi dalam pandanganku hal ini justru merupakan suatu hal yang lumrah, sebab tindakan yang kalian gunakan untuk menghadapi guruku jauh lebih kejam dan busuk daripada perbuatan sekarang!”
Menyaksikan musuhnya yang maju mendekat bagaikan malaikat dari langit, tanpa terasa Say Khi pit dan Kongsun Po mundur terus berulang kali. Wajahnya memperlihatkan rasa takut bercampur ngeri. Peluh dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba Oh Bu-hong membentak keras, “Harap kalian berdua cepat lari ke tempat lohu sini!”
Gak Lam-kun segera berpaling dan memandang sekejap kearahnya, kemudian katanya, “Bila perkumpulan kalian hendak turut campur persoalan ini, jangan salahkan kalau aku akan menegakkan keadilan dan kebenaran bagi umat manusia!”
Setiap patah katanya tegas dan mantap, dingin seperti angin yang berhembus datang dari gunung es.
“Hey orang she Gak, kau tak usah sombong!” teriak Si Tiong-pek sambil memutar senjatanya.
”Hee… hee… hee… Jangan dianggap setelah memperoleh beberapa jurus ilmu silat rahasia maka kau bisa menjagoi dunia persilatan” ujar Gak Lam-kun sambil tertawa dingin.
Si Tiong-pek tak mau kalah, ia tertawa seram pula. “Yaa, tapi tak akan jauh selisihnya darimu”
Pada saat itulah si nenek berambut putih itu telah menarik kembali kaitan emas Wu kim cui kou nya.
Naga api itu segera barpekik nyaring. Tubuhnya yang amat besar tiba tiba melambung ke udara dan membuat satu lingkaran di angkasa, setelah itu sambil membentangkan cakar raksasanya menerjang orang-orang Thi-eng pang.
Dimana cakar raksasanya menyambar lewat selapis warna merah segera menyelimuti seburuh angkasa.
“Cepat mundur!” buru-curu Oh Bu-hong membentak keras.
Bayangan manusia, segera menyebar ke empat penjuru. Beratus-ratus orang jago dari Thi-eng pang tercerai berai kemana-mana untuk mencari keselamatan sendiri.
Oh Bu-hong sendiri sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam talapak tangan, ia menerjang kearah Gak Lam-kun dengan suatu ge-rakan yang amat ganas, serunya sambil tertawa geram, “Gak Lam-kun, kau berani melukai orang dengan menggunakan kekuatan naga. Tidak takutkah perbuatanmu ini akan dikutuk oleh setiap manusia yang ada didunia ini?”
Bayangan tangan menyambar silih berganti. Secara beruntun dia melancarkan serangkaian pukulan bertubi-tubi yang ditujukan ke sekujur badan Gak Lam-kun.
Dengan gesit dan lincah Gak Lam-kun berkelit kesana kemari, lalu katanya. “Untuk menghadapi manusia bengis semacam kalian ini, kupikir cara ini merupakan suatu cara yang paling cepat”
Siapa tahu baru saja tubuhnya mundur ke belakang tiba-tiba terasa desingan angin tajam menyambar datang dari arah belakang.
Sewaktu dia berpaling, maka dilihatnya Si Tiong pek, Kongsun Po serta Say Khi pit sekalian, dengan kekuatan gabungan dari empat orang sedang menyergap dirinya dengan kecepatan luar biasa.
Lam-kun tertawa terbahak-bahak, katanya, “Haa… haa… haa… Aku menjadi rikuh sendiri kalau tidak memenuhi harapan kalian, setelah kamu semua begitu baik memberi muka kepadaku!”
Dengan suatu gerakan yang amat cepat, tubuhnya berputar kencang. Sepasang telapak tangannya direntangkan keatas bawah dan sekaligus ia sambut datangnya beberapa gulung tenaga pukulan itu.
oooOOOOooo
BEBERAPA orang jago ini semuanya sudah menyaksikan sendiri betapa dahsyatnya tenaga serangan yang dimiliki anak muda tersebut, ketika melihat garangnya pukulan itu masing masing segera mengigos ke samping untuk menghindarkan diri.
Tapi sayang, walaupun mereka menghindar cukup cepat, namun datangnya serangan itu jauh lebih cepat lagi. Ditengah benturan yang memekakkan telinga, empat orang jago lihay itu bersama sama terpental ke belakang dan jatuh terduduk ditanah.
Sepasang mata Oh Bu-hong segera berkaca-kaca. Sambil merangkak bangun dari tanah katanya. “Gak sauhiap, lohu mengaku kalah!”
“Suhu, menang kalah bukan urusan yang penting” seru Si Tiong pek dengan mulut bepelopotan darah, “Dikemudian hari kita masih ada kesempatan untuk menagihnya kembali….”
Dengan wajah yang amat sedih dan air mata bercucuran, Oh Bu-hong hanya menggelengkan kepalanya berulang kali, dia membungkam dalam seribu bahasa
Orang bilang “Seorang enghiong tak akan melelehkan air mata. Jika tidak menghadapi persoalan yang betul betul memedihkan hati Thi-eng siu Oh Bu-hong adalah seorang jago tua yang sudah lama berkecimpungan dalam dunia persilatan, baik nama besar maupun kedudukannya sama sekali tidak berada di bawah siapa pun. Tak heran kalau pukulan batin yang diterimanya kali ini membuat ia begitu sedih sehingga tanpa terasa air matanya jatuh bercucuran.
Gak Lam-kun tak ingin bertindak kebangetan, cepat cepat dia berseru, “Aku betul betul berbuat ceroboh, bila telah kulakukan kesalahan….”
“Tak usah banyak bicara lagi,” tukas Si Tiong pek sambil membentak gusar. “Aku orang she Si pasti akan menuntut balas atas penghinaan yang kuterima hari ini!”
Ketika mengucapkan kata kata itu, matanya membelalak memancarkan sinar buas. Giginya saling gemerutuk menahan emosi. Sedemikian mengerikannya wajah pemuda itu, membuat Gak Lam-kun diam diam merasa amat bergidik.
Tapi Oh Bu-hong segera menggoyangkan tangannya berulang kali, ujarnya lirih. “Pek ji, kau tak usah banyak bicara lagi. Lohu akan segera membuyarkan perkumpulan Thi-eng pang kita!”
“Haah!? Hal ini mana boleh jadi?” teriak Si liong pek dengan perasaan terkesiap.
“Keputusanku telah bulat. Kau tak usah banyak berbicara lagi!” kata Oh Bu-hong tegas.
Sementara itu, dari balik arena berkumandang lagi suara jeritan-jeritan ngeri yang menyayatkan hati. Puluhan orang jago lihay sudah roboh terkapar diatas genangan darah sendiri.
“Gak sauhiap” ujar Oh Bu-hong kemudian dengan wajah sedih, “Lohu sudah menderita kekalahan total, buat apa kau harus menciptakan pembunuhan yang tak berguna”
Gak Lam-kun mengambil keluar Lencana Pembunuh Naga dari sakunya, kemudian menerjang maju menghampiri naga berapi itu.
“Naga keparat, kenapa belum kembali ke sarangmu” bentaknya lantang dari tengah udara.
Rupanya naga api itu tahu kalau orang tersebut adalah tandingannya, sambil mengipat ekor buru-buru makhluk raksasa itu menerobos kembali ke dalam istana api.
Setelah naga itu lenyap dari pandangan, Oh Bu-hong baru memandang sekejap kearah anak buahnya dengan perasaan berat, ujarnya dengan suara sedih, “Saudara sekalian, sampai berjumpa lagi…”
“Suhu, kau hendak kemana?” teriak Si Tiong-pek cemas.
“Setinggi tingginya pohon daun akan gugur kembali kebumi. Dunia persilatan demikian luas tak sulit bagiku untuk mencari tempat pertapaan baru…”
Si Tiong-pek segera menggoyangkan tangannya berulang kali, katanya. “Seenak-enaknya dunia persilatan, di rumah sendiri adalah paling enak. Suhu! Baliklah ke dalam markas!”
Oh Bu-hong menghela napas sedih. “Kenangan lama paling mudah menimbulkan kesedihan. Aku tak ingin kembali ke tempat lama yang penuh kenangan itu, lebih baik pergi jauh dari semua orang!”
“Suhu apakah kau sama sekali tak memperdulikan lagi usaha kita selama ini untuk membangun perkumpulan Thi-eng pang?” keluh Si Tiong pek, wajahnya murung.
“Kenangan lama pasti akan berlalu. Kesemuanya itu sudah tinggal impian belaka. Sejak sekarang dalam dunia persilatan sudah tiada orang yang bersama Thi-eng siu lagi….”
Si Tiong pek menghela napas panjang, kembali ia berkata, “Kekayaan Thi-eng pang tak terhitung dengan jari tangan, apakah suhu tak akan memperdulikannya juga?”
Oh Bu-hong menggeleng. “Nama kedudukan den harta sudah banyak kurasakan. Mulai sekarang aku tidak suka memburu hal-hal itu lagi. Aku hanya ingin mencari ketenangan hidup, melihat burung dihutan, memancing ikan di telaga hidup bebas tanpa pikiran, damai merdeka sentausa selamanya”
Tiba tiba si nenek berambut putih dari perguruan Panah Bercinta itu maju kedepan dan menuju kehadapan Oh Bu-hong sambil membawa kaitan Wu kim cui kou miliknya. Setelah menghela napas, dia berkata, “Untuk kemenangan atas bertobatnya Oh-Pangcu dari semua kesesatan, aku si perempuan tua ingin menyumbangkan sedikit tanda mata ini sebagai kenangan…”
Air mata Oh Bu-hong jatuh bercucuran semakin deras, tiba tiba ia memegang tangan perempuan tua itu dan berbisik, “Si-hun ikutlah aku. Mari kita pergi bersama!”
“Bu-hong, kau masih kenal aku?” bisik nenek berambut putih itu dengan air mata bercucuran.
“Habis gelap terbitlah terang, sudah lama aku mencarimu dalam impian. Tak nyana setelah kita sama sama menjadi tua, akhirnya bisa bersua kembali…. Yaaa, semenjak bertemu denganmu, aku sudah menduga siapakah kau….!”
Perempuan tua itu menggeleng pelan, “Sinar senja menang cantik jelita, sayang selewatnya magrib malam haripun tiba. Kita sudah sama-sama tua renta, tak mungkin lagi untuk berdampingan sepanjang masa…”
“Sepuluh tahan kita berpisah, sembilan tahun aku terlalu tarkanang. Rembulan ada kalanya setengah ada kalanya purnama. Si hun, Walaupan kita berdua sudah tua namun perasaan kita tetap kekal, aku bisa baik-baik marawat dirimu!”
Nenek berambut putih itu tertawa sedih, “Bertemu kembali dengan kekasih, kekasih telah tua. Sepuluh tahun terkenang air matapun mengering. Aku bertanya kepada gunung gunung tak menyahut, aku bertanya kepada telaga telaga tak juga menjawab. Bu-hong aku tak bisa mengikutimu!”
“Kenapa?” seru Oh Bu-hong dengan perasaan gelisah.
“Sepuluh tahun kita berpisah sembilan tahun kau selalu terkenang. Apa yang telah kau lakukan pada setahun yang terakhir?” tanya nenek itu pedih.
“Untuk menemukan kekasih, ujung langit kujelajahi. Sepuluh tempat yang kukunjungi sepuluh tempat kosong. Pada tahun yang terakhir aku betul betul merasa putus asa!”
Saking terharunya air mata jatuh bercucuran membasahi seluruh wajah nenek berambut putih itu .
“Kenangan lama tak akan kembali. Lebih baik kita cari dari kenyataan saja…” bisiknya.
“Jadi kau telah setuju?” seru Oh Bu-hong dengan wajah berseri karena gembira.
Sambil menangis si renek berambut putih itu manggut manggut. “Setelah kudengar pembicaraan kekasih kuketahui hati kekasih. Aku bersedia mengikutimu sampai mati. Bu-hong, Mari kita pergi!”
Ji Cin-peng segera maju ke depan, serunya sambil tertawa, “Siau popo, kuucapkan selamat berbahagia untukmu. Semoga kalian berdua bisa rukun selalu sepanjang masa….”
Dengan terharu nenek itu menjawab. “Sepuluh tahun menunggu derita akhirnya derita menjadi beres. Aku tak berharap bisa hidup sepanjang masa. Asal bisa pulang ke alam baka bersama, sekalipun harus mati di tengah gunung, apa pula yang musti dirisaukan?”
“Orang persilatan ada yang tua ada yang muda, meski ambisi kalian telah lenyap golok mestika belumlah tua moga-moga dikemudian hari kalian berdua masih mau sering-sering berkunjung ke perguruan Panah Bercinta sebagai tamu kehormatanku!”
Oh Bu-hong segera tertawa terbahak bahak, “Kematian melenyapkan budi dan dendam senjata ditukar dengan batu kemala. Walaupun lohu telah pergi semoga Thi-eng pang dan Cian-cing kau bisa hidup damai berdampingan sepanjang masa. Moga-moga kalian jangan bertarung lagi dan bersama-sama membangun dunia persilatan…..”
Agaknya gelak tertawa itu merupakan gelak tertawa yang paling bebas dan gembira selama banyak tahun ini. Selesai tertawa ia merasa hatinya amat lega.
Tapi pada saat itulah tiba-tiba terdengar Si Tiong pek mendengus dingin, kemudian melengos ke arah lain.
Sambil menggelengkan kepalanya Oh Bu-hong menghela rapas panjang, katanya lembut, “Anak Pek kau tak usah merasa tak puas, dikemudian hari….”
Dengan kasar dan marah Si Tioug pek mematahkan pedangnya menjadi dua bagian. Kemudian sambil membantingnya ke atas tanah, ia mundur beberapa langkah ke belakang seraya membentak, “Sekarang kau sudah bukan suhuku lagi, kau sudah bukan guruku yaeg berada dalam bayangan ku. Dulu guruku adalah seorang jago yang gagah perkasa dan menguasahi wilayah utara dan selatan sungai besar, sedang kau? Huuuh…! Kau tak lebih cuma seorang pangemis tua yang berusaha melarikan diri dari kenyataan”.
Oh Bu-hong menghela napas panjang. “Aaai.. Semua kejadian didunia ibaratnya awan di angkasa. Setelah tertembus angin maka semuanya akan buyar, apa gunanya kau mesti menyinggung kembali persoalan itu?”
“Baik!” kata Si Tiong pek kemudian sambil tertawa. Rupanya dia telah mengambil keputusan, “Soal yang tua mundur yang muda muncul memang suatu hal yang umum terjadi dalam dunia persilatan. Kalau kau hendak pergi silahkan pergi. Aku pasti akan membangun duniaku sendiri….”
Seusai berkata dia lantas membalikkan badan dan melangkah pergi.
“Siau-pangcu!” buru-buru Cian seng khi-su Wan Min ciu berseru, “Bagaimana dengan kami?”
Sambil berpaling dan tertawa seram jawab Si Tiong pek, “Kalian semua telah menjadi tua mengikuti berkembangnya usia. Tunggu saja, mungkin suatu hari aku bisa membutuhkan kembali bantuan kalian…”
Oh Bu-hong gelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas, katanya. “Kini murid durhakaku sudah pergi, perkumpulan Thi-eng pang telah buyar. Dalam dunia persilatan sudah tiada nama kami lagi”
Selesai berkata, sambil membimbing si nenek berambut putih itu pelan pelan mereka berjalan menuju ke barat.
“Suhu….!” tiba-tiba Ki Li-soat menjerit sambil menangis, lalu munculkan diri dari kerumunan orang banyak.
Oh Bu-hong berpaling seraya menghela napas panjang, katanya sedih. “Tiada daun didunia ini yang tidak gugur. Inilah saatnya buat kita untuk berpisah”
“Tidak aku hendak mengikuti sahu!” teriak Ki Li-soat sambil menggelengkan kepalanya.
Oh Bu heng tertawa sedih, sambil mengelus jenggotnya ia berkata. “Sekarang masa remajamu lagi mulai. Sedang aku tak lebih cuma tua bangka yang hampir memasuki liang kubur. Terlalu sayang kalau kau harus mengubur masa remajamu itu bersama kami. Anak bodoh, pergilah dari sini dan dampingilah kekasihmu…”
Belum selesai ia berkata bayangan tubuhnya sudah berada puluhan kaki dari tempat semula. Keputusannya untuk pergi betul-betul diluar dugaan siapapun .
“Suhu..! Tunggu aku!” teriak Ki Li-soat sambil menyusul dari belakang.
Terlihat gadis itu makin lama semakin menjauh dan akhirnya ikut lenyap pula dari pandangan mata.
Malam semakin mendekat, waktu senja makin berakhir mengikuti beredarnya sang waktu.
Bubarnya perkumpulan Thi-eng pang jauh diluar dugaan siapupun. Perginya Oh Bu-hong serta nenek berambut putih dan minggatnya Si Tiong Pek dengan membawa dendam akan menjadi topik yang paling ramai dalam kisah selanjutnya.
Ji Cin-peng memandang keadaan cuaca, lalu berkata, “Gak sauhiap kita….”
Sebelum habis ia berkata, tiba tiba terdengar suara pekikan panjang yang memekikkan telinga berkumandang datang dari tempat kejauhan.
Menyusul kemudian sesosok bayangan manusis yang bertubuh ramping, dengan kecepatan luar biasa meluncur datang.
Koogsun Po menjadi amat girang segera teriaknya, “Nona Hong!”
Tampak seorang perempuan setengah umur yang berwajah cantik dengan gerak gerik yang genit masuk ke arena dan melirik sekejap sekeliling tempat itu.
Lalu sambil tertawa terkekeh-kekeh katanya, “Siapakah dlantara kalian yang menjadi muridnya Tok liong Cuncu?”
Gak Lam-kun segera mendengus. “Aku orang she Gak orangnya”
Suara itu sinis dan dingin, seakan-akan tidak memandang sebelah matapun terhadap perempuan itu.
Tiba-tiba paras muka perempuan itu berubah hebat, ia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
Kemudian setelah berhenti tertawa dia berkata “Apakah Tok liong Cuncu masih hidup didunia ini?”
“Kau anggap itu urusanmu?” jengek Gak Lam-kun ketus.
“Manusia yang tak punya pendidikan, apakah suhumu tak pernah menyinggung tentang aku?”
Mendengar makian itu, Gak Lam-kun naik pitam dia langsung menyerbu kedepan sambil membentak. “Kau sendiri yang telur busuk!”.
Dengan suatu gerakan yang enteng dan seenaknya, telapak tangan kirinya ditonjok kemuka dengan jurus kim cian gin seng (jarum emas bintang perak).
Paras muka perempuan itu berubah hebat dengan cepat dia menghindar ke samping, kemudian dengan gerakan yang manis dia maju ke depan dan menotok bawah sikut Gak Lam-kun.
Cepat nian serangan tersebut. Hakekatnya dilakukan pada saat yang hampir bersamaan.
Gak Lam-kun terkesiap cepat dia mundur ke belakang seraya berseru, “Kau adalah Yan Lo-sat (perempuan iblis cantik) Hong Im!”
Jelas dalam satu gebrakan barusan ia telah menduga siapakah lawannya.
Padahal hal ini tak perlu diherankan sebab dalam kitab catatannya Tok liong Cuncu telah menjelaskan secara terperinci ilmu silat andalan dari setiap orang musuh besarnya.
“Kalau kau sudah tahu siapakah aku, mengapa belum juga berlutut untuk minta ampun….” seru Yan Lo-sat Hong Im dengan suara sedingin salju.
Gak Lam-kun segera tertawa terbahak babak. “Haa.. haa… haa… Berlutut dan minta ampun kepadamu? Huuh, jangan mimpi! Justru aku hendak membunuhmu!”
“Kau tak akan mampu!”
Gak Lam-kun gelengkan kepalanya berulang kali. “Dulu mungkin aku tak mampu. Tapi sekarang hanya masalah waktu. Coba kalau aku tidak teringat dengan pesan guruku yang ingin membalas dendam sendiri atas sakit hatinya, hari ini kau tak akan lolos dari tanganku!”
Dengan nada kurang percaya Yan Lo-sat (iblis perempuan cantik) Hong Im berkata, “Bila Tok liong Cuncu dapat muncul sekali lagi, meski aku harus mati, aku akan mati dengan hati pasrah!”
“Baik” jawab Gak Lam-kun sambit tertawa. “Tiga hari mendatang, suhuku pasti akan datang menemuimu”
“Aku rasa hal itu tampaknya suatu yang mustahil, tak mungkin bisa terjadi”
Berada dalam keadaan yang begitu jelas dan nyata, dia tetap tak percaya kalau Tok liong Cuncu masih bisa lolos dari kematiannya walaupun sekujur badannya sudah penuh ditandai dengan puluhan buah bacokan yang dalam.