Friday, May 6, 2011

pendekar mabuk eps 1 part 3A

"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"

"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"

"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih kecil sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah besar nanti, ya?"

"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."

"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan- bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih dalam tentang perempuan."

Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan tampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"

"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalah beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan kalau tak terlalu banyak."

Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"

"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah

Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak tangannya.
"Cuih, cuih...," Suto meludah.

"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya dalam waktu-waktu tertentu."

"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"

"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku, akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak diminum untukmu."

"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi Nawang kok jadi berputar, Kek?"

"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya berputar."
"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"

"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila Tuak menepuk dadanya sendiri.

"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."
"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak dalam tongkatku!"
"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus membawa apa, ya Kek?"
"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah jadi pendekar?"
"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar saja."
"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.
"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat julukan si Singkong Setan!"
"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he he...!"

Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus. Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali terpusat pada pertarungan di sana.

Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke sana-sini.

"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar. Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"

Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata, "Birahi itu apa toh, Kek?"

"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.

Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"

"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."
"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"

"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."

"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?" tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala- galanya begitu besar.

"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari sudut mana kita memandang."

"Kenapa begitu?"

"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan- jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh diri kita baik sadar maupun tak sadar."

Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila Tuak duduk dengan santai.

Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran pukulan tenaga dalam mereka berdua.

Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah dari tempatnya.

Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.

Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan. Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa memuntahkan darah?

Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru, sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa. Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air pada tubuh Nagadipa.

Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya pakaiannya terbakar menjadi padam.

Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya dalam melawan Nagadipa.

"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan kelengahan."

Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih puyeng saja?"

"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja. Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."

"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu, Kek?"
"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana dulu."

Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto digandengnya, dan langkah mereka tampak santai sekali. Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak membantu Bibi?"

"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab, dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita harus sudah siap menanggung akibat buruknya."

Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang. Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak, "Jangan ikut campur urusanku!"

"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang bersamanya ke padepokanku."

Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang Hitam."

Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.

Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi sasaran hawa panas itu.

"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.

Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya di depan Suto, dan hawa panas yang mampu melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi berbalik arah menuju ke pengirimnya. Nagadipa kaget mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis' itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.

"Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat, apalagi bisa mengembalikan?"
*
* *"GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh penonton!" Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.

"Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara dengannya ....... "

Nagadipa baru percaya betul dengan pesan almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan 'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga. Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak, nyalinya jadi ciut. Dan pada waktu Bidadari Jalang berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat menyusuri tepian pantai.

"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya menjadi ketakutan.

"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"

"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai, seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang."Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"

Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.

"Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu bantuanmu!"
"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu, kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam tubuhmu!"

Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia menjadi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di tangan Nagadipa.

Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila Tuak pun berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."

Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat. Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.

"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut. Ia pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam saja, yang menatap aneh padanya.

Sementara itu, Gila Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam bagaikan patung. Matanya menatap lurus kepada Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.

"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata Bidadari Jalang kepada Suto.

Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan agak ke depan dari Gila Tuak.

"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu, hah?!"

Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila Tuak maupun Bidadari Jalang.

"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"
"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan suara datar.

"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke tempat lain."
"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."

Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit ketus.

"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan main-main denganku, Gila Tuak!"
Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya, "Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."
"Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera bergerak untuk pergi?"

"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya. Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan dari hidung Gila Tuak.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang berkesan tegang di dalam hatinya.
"Seseorang telah menahan inti ragaku."
"Apa...?!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak harus berucap kata dengan keras.
"Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata dengan suara bisik yang amat pelan.

Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun tak bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang memegangi dari dalam tanah.

Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan Gila Tuak. Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser dari tempatnya berpijak.

Gila Tuak akhirnya menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua Gila Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.

"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling, penuh kecurigaan.

"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"

"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat dari tempat ini."

"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan kekuatan ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam yang kupakai tertahan kuat-kuat."

Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.

Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.

"Haiaai..!"
Buukk...!

"Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena terkena tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan
keras.

"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa kau menyerangku, hah?!"
"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."
"Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"

Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat menahan tendangan tadi.

"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata telanjang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir pasir yang masuk ke mulutnya.

"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan. "Cuih, cuih...I"

Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar semak pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan jubahnya melambai-lambai tertiup angin.

"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.

Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas. Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.

"Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?"

Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas. Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang bergelayutan di salah satu dahan pohon.

"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat tubuh.

"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang. Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.

"Waoow...!"

Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan ilmu Gila Tuak.

"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku. Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada Bidadari Jalang.

"Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel tanahnya."
Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.

"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas. Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil. Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser sedikit pun.

Mereka saling menghempas napas dengan mata beradu pandang. Angin malam masih berhembus mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu. Rembulan di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.
Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang, "Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari Suto ke mana saja."

Belum sempat Bidadari Jalang melangkah mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah menghamburkan kata.

"Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian melalui tongkatku ini."

Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena hembusan angin itu berkata-kata sendirian.

"Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya. Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya. Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto, tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku untuk menculik si Suto."

"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi. Jangan diam saja!"
"Baiklah...!"

Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba di luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat mata si Gila Tuak terbelalak seketika.

Buru-buru ia menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.

"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan! Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila Tuak.

Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki, "Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau menyerangku, hah?!"

Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya. "Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"

Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu hati Bidadari Jalang. Begg... !

"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.

"Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."

Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak menghantam tangan itu. Plokk...!

"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan. Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat pukulan tongkat itu.
Padahal Gila Tuak menghantamkan tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur jika pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu kali. Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak. Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.
"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"
"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan suara rendah.
"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila Tuak!"
"Itu bukan kekuatannya."

Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah, namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan ia siap menunggu serangan lagi.

Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan, "Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat. Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah mengendalikan bocah itu sebenarnya?"

Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara pelan juga.

"Bagaimana kalau kupancing dengan serangan, supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang dipakai oleh Suto."
"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit karena seranganmu."

"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.

Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap siap menyerang atau bertahan.

"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari Jalang. Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal. Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal begitu. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.

"Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami tahu, kau bukan Suto!"BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu, Gila Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab ia ingin mengetahui gerakan jurus yang digunakan Suto nanti. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti datang dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila Tuak menggerutu sendiri.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes