Tuesday, May 3, 2011

pendekar mabuk eps 01 part 1

PARA penduduk mulai cemas mendengar suara gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabu- abuan.

Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap. Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi.

"Celaka! Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki setengah umur.

"Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau meletus! Cepat!" teriak tetangganya.

"Apa?! Gunung meletus? Siapa suruh?" tanya istrinya.
"Mana aku tahu?! Aku tidak pernah menyuruhnya! Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"

"ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang tidak bisa dibawa berusaha dibawanya pula.

"Kumpulkan anak kita!"

"Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung. Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang juga panik. Mereka saling teriak.

"Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi, hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari sini!"

Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke mana, Mak?!"
"Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak kemasi barang!""Barangku ada di mana, Mak?!"
"Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga barangnya Emak itu, Tong!"
"Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"

Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah berguncang makin jelas. Gayung di cantelan sempat jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di pojokan rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil. Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan berang melihat kepala anaknya bocor dan berdarah.

"Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin perkara saja!"

Para penduduk menghambur keluar dari rumah. Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu. Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada yang saling tabrak dan saling caci sendiri.

Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar kambing bandot.

Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang kuda. Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping kuda merah kecoklatan.

"Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!" seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak itu.

"Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!"
"Kencangkan talinya!" sambil si paman masih berlari-lari di samping kuda. "Lekas kencangkan talinya!"

"Baik, baik... ! Baik, Paman!" Anak itu agak cemas, Ia buru-buru mengencangkan tali celananya. Paman Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"

"O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tanda- tanda gunung akan meletus.

"Paman! Bagaimana ini?!"
"Kendorkan talinya!"
"Sudah."
"Tarik lagi jangan disentak."

Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia jatuh.

"Aaauuuh...!" teriaknya kesakitan. Paman Dubang segera menolongnya sambil menggerutu.

"Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh. Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo, bangun! Lekas bangun."

"Baik, Paman!"
"Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai kuda yang menunggang kamu!"
"Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."

"Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke punggung kuda."

Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...! Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"

"Bantu aku naik, Paman!"

Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menjadi takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil meringkik. Suto nyaris jatuh lagi.

"Paman, Paman...! Awas...!"
"Pegang tali kekangnya!" sentak Paman Dubang dengan jengkel.

Suto memegang tali kekang dengan kaki belum sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan berlari dalam sentakan awal.

"Hati-hati, Paman!" Suto segera berseru.

"Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret- seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang tertindih pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"

"Habis aku duduk di mana?"
"Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas. Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"
"Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda. Hentikanlah, Paman!"

"Susah, Tolol!" sentak lelaki gemuk pendek itu. Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik- ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin. Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap mengungsi. "Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik begini!" kata Paman Dubang.

"Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke mana-mana. Memandang tiap orang dengan kesibukannya masing-masing.

Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi. Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu. Sang nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.

"Burung apa itu tadi?!" gumamnya dengan bingung. Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu gumaman sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.

Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang ketakutan dan berteriak keras-keras.

"Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda ini...!"

Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada yang datang menolong. Semua panik dengan upaya menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di sebuah tempat tinggi dan berseru.

"Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!"

Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah kedai yang telah kosong penghuninya.

Bruss...! Braaak... !

Semua mata jadi memandang ke arah kedai bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru.

"Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda- kudaan!"

Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut di tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan.
Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas menolong bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto menolak, kakinya menjejak-jejak.

"Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri."
Suto pun melompat turun. Huuhp...!

Braak... ! ,

"Aaauh...!" teriak Paman Dubang. Suto jatuh di meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang kembali menyentak.

"Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah terbahak-bahak!"
"Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit!" bantah Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli.

Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh berkata,

"Saudara-saudara, warga Desa Kilangan, kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus. Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Gunung itu tidak akan meletus!"

"Tapi kok mengeluarkan semburan api?"
"Dan juga bergemuruh, Pak Tua!"
"Betul. Sudah tiga kali kami mendengar gemuruhnya."

"Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam," jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.

"Masa begitu?"

"Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang mengguncangkan bumi, tiga kali."

"Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?" tanya seseorang.

"Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada. Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik- baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi sesuatu secara tiba-tiba!"

Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung. Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman Dubang untuk melangkah mencari kudanya. Toh gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak menyemburkan asap dan api lagi. Tidak terasa ada guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati masyarakat desa pun jadi lapang.

Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling pandang dalam keheranan. Suara gemuruh itu disimak baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak gunung. Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!"

"Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."
"Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."

Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...! Kita sedang menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah bergemuruh sendiri!"

"Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.
"Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"
Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh menunda...!"

Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak samar-samar sesuatu yang bergerombol bergerak maju. Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka. Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas, menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka ada tiga belas orang. Semua menunggang kuda. Semua bersenjata. Sepertinya siap tempur.

Salah seorang yang menjadi ketua mereka mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti. Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak jauh dari rombongan anak buahnya. Mata orang itu menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan mendekati rombongan. Sambil begitu, orang tersebut berseru kepada penduduk yang melongok dari pintu rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah dinding papan, atau yang bersembunyi di balik batang pohon, termasuk kepada anak kecil yang bersembunyi di balik sarung bapaknya.

"Mana Ronggo Wiseso...?!" teriak orang berbadan kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung hantu.

"Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru orang yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding dengan ukuran lengannya yang besar pula.

Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut, selain buka baju karena kegerahan, maka orang tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan mata liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang memandangnya.

Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya, ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus, dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.

"Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau kugorok batang lehermu! Lekas...!" bentaknya bagai tak sabar.

"Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat, Paman!"

"Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!"

"Ba... baik.. , baik, Tuan!"

"Nah, begitu!" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia kembali bertanya meyakinkan.

"Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok sana?!"
"Benar, Tuan Kombang Hitam."

"Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah bersalaman dengan pemuda kurus itu sambil mengucapkan kata terima kasih lagi.

"Serang rumah itu!" teriak Kombang Hitam kepada anak buahnya. "Bantai semua penghuninya! Jangan ada yang tersisa!"

Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan jutaan debu menyirat ke mana-mana. Kombang Hitam sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada di depan rombongan.

'' "Untung kamu selamat, Nang...!" kata seorang perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi. Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.

"Mak... aku... lemas... aku...."
"Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat? Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...? Anakku...?!"

"Mak...!" suaranya pelan sekali. Matanya meredup. Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan. Brukkkk...!

"Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi. Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya menjadi biru kehitaman.

"Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang mangerumun.
"Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara salaman sama Kombang Hitam itu!"

"Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun dan berbahaya!"

"Edan! Jahat sekali orang itu."
"Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu melawannya!"

"Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat kadipaten?!"RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten. Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan hukuman terakhir.

Tapi karena waktu itu Ronggo Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso. Tetapi penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah hukum kadipaten, sehingga masih sering minta pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap menerima upah perbulannya.

Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah. Serombongan orang berkuda itu segera mengepung rumah tersebut sampai di bagian belakang.

Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk- batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram. Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa heran.

"Siapa kau?"

"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati, bukan?"

"Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris membunuh sang Adipati. Kenapa?""Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya, keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"

"Tunggu dulu...!"

Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anak- anak, bantai habis mereka!"

"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai suasana di alam neraka.

Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun berjalan dengan santainya.

Suto yang masih berusia delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar, melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan Paman Dubang.

"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"
"Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik kuda sendiri."
"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang kuda sendiri."
"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"
"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"
"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.

Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga orang itu menegang dan napas mereka tampak tak teratur.

"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh- jauh. Jangan pulang ke rumah!" kata salah seorang.
"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"
"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.
"Di sini mana ada penginapan?!" sentak Dubang.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?" tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.
"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal Utara!"

"Apa...?!" Dubang memekik kaget. Suto segera turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"

"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh. Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga diperkosa dan dibunuh, dan ......"

"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu. "Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"

"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak. Sebaiknya ..... "
"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu itu!"

"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya," sambil Dubang memandang celananya yang basah bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu besar.

"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.
Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka berseru, "Lho, di mana Suto tadi?!"

"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah rumahnya!"
"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat kita kejar dia!"

Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin melihat kebenaran cerita itu.

Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping kudanya.

"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai mati!" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati siapa saja yang melihat pertarungan itu.

Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk menangkis pukulan yang datang secara bersamaan. Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk... !

"Hegh...?!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang, lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari
mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.

Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.

Bleg... ! Bleg... !

"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo merasakan ada hawa panas yang membakar rongga dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar api.

Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.

Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya, terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja, sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri, tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.

Bleg... ! Bleg... !

"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan memenggal itu seperti dua batang balok yang dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...! Saat itu, Suto menjerit dari balik persembunyiannya.

"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang sekarat.

"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia
menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.

Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu dan melemparkan.

Plak, pletak!

Batu itu mengenai wajah dan kepala penghadangnya.

"Wadow...!" seru mereka serempak.

Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.

"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk di jalanan sempit itu.

"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!"

Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang diambil Suto.

Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit, Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa menjerit.

"Pamaaan...!"

"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman jagung milik tetangga itu.

"Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata Dubang yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua tangannya. Dubang membawanya lari tunggang- langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan tertekan.

"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas Dubang sulit dikendalikan.

"Ke mana mereka?!" teriak Kombang Hitam kepada kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan anak itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"

"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung, Ketua!"
"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya bengong saja?!"

Maka kedua orang tersebut segera menerabas masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.

"Wah... bajuku robek, Paman!"

"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya sudah tidak tentu arah lagi.

"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"
"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan Suto. Maka mereka lari berdua.

Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar, mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan liar menuju kaki bukit.

"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan ngos-ngosan juga.
"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau putus, Suto."
"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman. Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi, Paman...!"

"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus lari tanpa berhenti, mana bisa?!"

Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang mulai cemas.

"Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka. Paman selamatkan diri saja."
"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil! Ayo, lari lagi."

Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah- celah batang pohon. Menerabas semak berduri.

Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak dengan kemarahannya.

"Kalian lagi! Huh...!"
"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang, Ketua!"
"Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"

Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia menuding sambil berteriak keras.

"Itu dia!"

"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam meringkik dan melonjak kaget karena suara keras tersebut.

"Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"
"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"

"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda. Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih cepat bergerak di kerimbunan semak.

Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya. Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menjadi tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.

"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita jurang yang sangat dalam, Paman."

"Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan kelelahan begitu.

Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun, sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke depan. Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.

"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus kalian sekarang, hah...?!"

Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan Dubang.

Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang. Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.

"Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"

Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto. Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon. Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati. Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"

"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu menolong Dubang agar bisa naik.
"Cepat lariii !" teriak Dubang dengan gemasnya.
"Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"

Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas. Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah ingusan...! Ha, ha, ha...!"

Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu, Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.

Susah payah ia menarik dirinya dengan berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka menemukan Dubang dalam keadaan kritis.

"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang satu berkata pula.
"Habisi saja dia!"

Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...! Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"

"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang satu. Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"

Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya. Orang yang memegang golok itu segera menebas ke depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan jerit yang menggema mengerikan.

"Aaaa...!"

Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu, kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.

Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.

"Penggal kepala bocah itul Penggal!"JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan. Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.

"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot. Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan membentak keras.

"Penggaaal...!"

Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher bocah telanjang dada itu.

Trangng... !

Orang yang menggenggam golok itu mendelik melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya sambil matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang telah mematahkan golok itu dengan menggunakan sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda.

Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke sekelilingnya.

Namun yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak ada tempat yang mencurigakan.Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin geram dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya yang masih mempunyai golok di pinggang.

"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"

Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan coba- coba menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.

Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.

Trangng... !

Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu menjadi semakin panas. Matanya semakin buas memandang sekeliling.

"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu- abu. Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa lega, bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.

Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?! Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?! Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari persembunyianmu! Keluar...!"

Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini, ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka dan Suto.

"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik kita," ia berkata kepada anak buahnya.
"Jangan-jangan anak itu punya kesaktian tersembunyi?"

Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap itu mendengus benci, dan memalingkan kepala. Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip. Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.

"Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun. Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak- gerak yang mencurigakan."

"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami, Ketua?"

"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"

Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto. Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik sambil terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri. Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam menjadi tertegun bengong tak berkedip.

"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali. Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut dan kaki.

"Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!" geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa. Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak yang ada! Cepaaat...!"

Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak. "Hai, mau ke mana kamu, hah?"

"Membakar semak!"

"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau masih ingin selamat!"

Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak tidak takut sedikit pun.
Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto berkasak-kusuk.

"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon? Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"

"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari telapak tangan kita, seperti Ketua."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.

"Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya. Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini. Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita menemukan dia, kita mati lebih dulu."

"Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."

"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara diam-diam?"

"Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo, lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita bisa mati konyol!",

"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"

Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat. Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang menghentikan langkah temannya.

"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada kagum.

Temannya memandang menurut arah telunjuk. Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang, sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua anak buah Kombang Hitam itu.

"Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"
"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang meriap. Berdirinya begitu tegar."

Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan, terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas. Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya apa pun juga."

"Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu kerikil?"

"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang jurang lebar itu, kan?"

"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang memperhatikan sang ketua kita?"

"Apa iya begitu, ya...?!" gumam yang satunya bingung sendiri.

"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui kita lari!"

Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu. Orang tersebut berada di arah samping mereka, jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah Kombang Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.

"Siapa orang itu?"
"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."
"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi tidakkah kau sadari pakaiannya?"

"O, iya...?!" orang itu terkejut. "Dia memakai pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik. Apakah dia orang yang ada di atas...."

Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi, belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciri- ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.

"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah orang yang ada di atas batu sana?"

"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang jagung dan...," orang itu menengok ke belakang. Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu sudah tidak kelihatan lagi.

"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang berjalan mendaki?"

"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"

Mereka berlari menerabas pepohonan jagung. Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut dan berhenti seketika, sehingga yang belakang menabraknya dalam satu sentakan yang membuat mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan kulit tebal yang diikat sampai betis.

Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh. Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat, bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah berusia lewat dari sembilan puluh tahun.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes