Friday, May 6, 2011

pendekar mabuk eps 1 part 2A

"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh- kekeh melihat raut wajah yang salah tingkah.

"Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"
"Ka... kami... kami takut, Kek."
"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"

"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih tebal itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh. Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian, baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."

Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning melangkah melintasi mereka.

Tiba-tiba tubuh mereka rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak ditimpa tubuh mereka berdua.

"Kenapa kamu mendorongku?!" sentak yang belakang.

"Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang mendorongnya dengan kuat sekali!"

"O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu mendorong tubuhmu."

"Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau rasanya."

"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi sekali!"

"Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu berdiri."
"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak bertindak kurang sopan padanya."
"Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah orangnya yang membuat senjata kita patah."

"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu, pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang ketua. Iya, kan?"

"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena patah, jika memang bukan dia pelakunya?"

"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau pengkhianat, biar sajalah...!"

Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada tegang.

"Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?"

Mereka memandang ke tanah ladang.

"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!" kata yang satunya dengan kagum sekali.

Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...! bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga. Ck, ck, ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.

"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku jadi kepingin menjadi muridnya."
"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."

Temannya memandang dengan dahi semakin berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.

"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti jagung yang baru saja dibakar!"

"Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?!

Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar- benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.

"Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh, kepalaku jadi menggeliyang begini?"

Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak temannya. Temannya menjadi heran bercampur tegang.

"Hai, kenapa kau? Kenapa?"

Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"

Mata temannya semakin bundar melebar. Ia melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang teman. Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas. Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi dingin dan kian dingin.

"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek berjubah kuning itu. Bertahanlah.

Bertahan sebentar, nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa menawarkan racun dan sudah mulai menguasai pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"

"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin. Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat. Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak mendengarkan.

"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan sedikit langsung dicaplok saja," gerutu temannya. Ia kembali menatap ke belakang sebentar sambil istirahat.

"Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua. Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka lakukan terhadap bocah itu?!"

***

KOMBANG Hitam semakin jengkel setelah memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Cemas juga hatinya. Ia menyangka anak buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang tersembunyi.

"Rupanya aku perlu unjuk diri biar orang itu tahu siapa aku!" gumam Kombang Hitam.

Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat. Ia memusatkan tenaganya di tangan kiri itu. Tangan yang menggenggam itu ditekuk naik sampai di batas dada. Lalu, dengan kaki sedikit merendah tangan itu dihentakkan membuka ke arah depan. Huup... !
Dueerr... !

Sebuah ledakan terjadi. Tangan itu mengeluarkan cahaya biru kehijauan. Cahaya tersebut meluncur cepat dan menghantam sebuah pohon besar. Pohon tersebut meledak, akarnya terangkat naik. Tumbang dalam keadaan hangus. Napas Kombang Hitam pun ditarik panjang. Ditahan dalam dadanya. Kemudian dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang sedikit ternganga.

Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan. Ia sangat ketakutan mendengar suara ledakan begitu kerasnya, ia merasa ngeri melihat pohon sebesar gajah tumbang bersama akar-akarnya.

Kakinya gemetaran bagai tak mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya masih mencuri pandang ke arah Kombang Hitam, karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang berwajah sangar itu.

Dueer...! Dueer...!Dua pohon besar berjarak jauh kembali tumbang oleh sentakan tenaga dalam Kombang Hitam. Matanya tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena hal itu ia lakukan dengan harapan orang yang bersembunyi segera menampakkan diri. Tetapi yang ada hanya sepi tanpa bunyi. Bau hangus tercium. Itulah bau pohon yang terbakar karena sinar biru kehijauan dari telapak tangan Kombang Hitam.

"Keluar kau, pengecut!" bentak Kombang Hitam. Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekati Kombang Hitam dengan penuh perasaan takut. Memelas wajahnya.

"Hei, kenapa kau mendekat? Kenapa berdiri dari jongkokmu?"
"Bukankah kau menyuruhku keluar?"

"Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari persembunyiannya!"

Suto tersenyum sinis bernada mengejek.

"Tetaplah di tempatmu! Kau akan kubunuh setelah penyerang gelap itu kubereskan!"

"Coba saja!" jawab Suto dengan makin menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan berjongkok sambil siap-siap memegangi kedua telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya.

"Anak bodoh!" geram Kombang Hitam lagi sambil mendengus kesal. "Belum-belum sudah tutup telinga!"

Rupanya Kombang Hitam sengaja membiarkan suasana hening beberapa jurus. Ia menunggu kemunculan penyerang tersembunyi. Ia memandangi kudanya yang sekarat. Mati tidak, namun tak punya kemampuan untuk berdiri lagi. Semakin jengkel hati Kombang Hitam jika melihat keadaan kudanya yang menderita.

"Tak seberapa tinggi sebenarnya ilmu orang yang bersembunyi itu," pikirnya. "Sayang aku tidak bisa mengetahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun segera memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang geIapnya itu ada di atas pohon. Ternyata tidak ada apa- apa di sana. Penasaran sekali hati Kombang Hitam jadinya.

Setelah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman, maka Kombang Hitam pun segera mendekati Suto. Pandangan matanya penuh selera untuk membunuh sisa keturunan Ronggo Wiseso itu. Suto menjadi sedikit ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas. Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit.

Wusss... !

Angin berhembus begitu cepatnya. Kombang Hitam terkesiap sebentar. Pandangan matanya terarah ke kanan bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja melintas di depannya. Ketika pandangan matanya kembali ke arah Suto, mata itu pun terbelalak lebar. Napasnya bagai tersentak berhenti.

Bocah telanjang dada itu sudah tidak ada. Lenyap. Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh kemarahan. Matanya menjadi liar memandang sekeliling.

"Babi buntung! Siapa yang berani mengganggu sasaranku itu!" geramnya dengan langkah mundur berkeliling, matanya mencari-cari seseorang yang diduganya telah melenyapkan Suto. Sikapnya telah menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis apa pun. Tangan keduanya selalu mengencang walau tidak mengepak kuat. Urat-uratnya menegang. Setiap langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah dirobohkan sewaktu-waktu.

"Hi, hi, hi...!"

Terdengar suara tawa mengikik bagai suara peri. Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka segeralah kepala Kombang Hitam mendongak ke atas.

"Jabang bayi...!" gumamnya penuh geram. Ia menatap tak berkedip. Ia tak menyangka di atas sana ada seorang perempuan berambut panjang terurai. Wajah nya cantik dengan potongan tubuh yang membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu muda. Ia menggendong Suto yang rupanya dalam keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan darahnya.

Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita selesaikan apa kemauanmu!"

"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"

Kombang Hitam mundur dua langkah ketika perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.

Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik daun yang tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya, tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum, namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut dan bagian tubuh lainnya.

Jlig... !

Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak lari pergi.

"Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari si rakus, Begal Utara itu!"

Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu, dalam hati perempuan berjubah ungu berkata, "Ada yang telah melepaskan totokanku pada Suto. Hmm... siapa orangnya? Apakah Kombang Hitam itu yang melepaskan totokanku dari jarak jauh? Kurasa tak mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti nanti akan muncul!"

Mata Kombang Hitam tidak bisa berkedip melihat kecantikan terpapar di depannya. Kemarahannya tertunda sejenak.

Hatinya berdebar-debar indah. Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum. Tetapi, Kombang Hitam tetap waspada. Ia tahu perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan. Dari gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa merasakan hembusan tenaga dari dalam gerakan tersebut. Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan bukti, dan membuat Kombang Hitam sempat memuji dalam hati.

"Kenapa kau terbengong saja, Kombang Hitam?"
"Kau tahu namaku, rupanya?"
"Aku lebih tahu namamu daripada rupamu. Kau Ketua Begal Utara yang lebih banyak memperkosa daripada mengeruk harta. Benar, bukan?" perempuan itu tersenyum. Cantiknya bukan main.

Kombang Hitam kian berdebar-debar. Biasanya, ia tidak bisa diam jika melihat perempuan mulus sedikit. Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan, Kombang Hitam dan anak buahnya langsung menjadikan perempuan itu sebagai sarana pesta cinta. Tapi agaknya kali ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah, tidak berani bertindak sembarangan. Bahkan tiap langkah nya pun diperhitungkan.

"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?"

"Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"

"Tepat sekali. Baru sekarang kita bertemu. Jadi, sebutkan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai ubun-ubun lagi."

Perempuan itu tertawa sinis, "Jangan coba-coba mengancamku, Kombang Hitam. Riwayatmu akan segera habis kalau tidak lekas-lekas meminta maaf padaku."

"Mungkin harus kugunakan permintaan maaf dengan ciuman atau pelukan mesra. He he he...!" Kemudian kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit. Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan itu bergerak pelan dengan urat-urat mengencang, bertonjolan dari lengan sampai ke jari-jarinya.

"Aku jadi penasaran mendengar nyalimu sebesar gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya sebesar upil!"

Perempuan itu tetap diam dengan kaki sedikit merenggang tegak. Dagunya sedikit terangkat menampakkan keangkuhannya. Matanya bergerak mengikuti langkah kaki Kombang Hitam yang mencari kesempatan baik untuk menyerang. Makin lama gerakan kakinya semakin dekat dengan perempuan itu. Sampai satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh, dan dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.

"Hiaaat...!"
Tap...! Tuk...!

Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya menyentil mata kaki Kombang Hitam. Seketika itu Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak keras.

"Waddoow...!"
Brukkk!

Tubuh Kombang Hitam berguling-guling di tanah. Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor banteng, juga kakinya seperti dihantam dengan batang kayu yang amat keras. Sakitnya bukan main.

Tetapi Kombang Hitam segera menarik napas untuk mengurangi rasa sakitnya. Kalau bukan Kombang Hitam, pasti mata kaki itu sudah pecah. Setidaknya akan memar membiru, atau bengkak.

"Boleh juga mainanmu!" geram Kombang Hitam masih penasaran. Ia bersiap menyerang kembali. Kali ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki terlipat ke depan, mirip seekor rajawali hendak menerjang lawannya. Perempuan itu masih diam tak bergerak. Namun ketika Kombang Hitam melancarkan pukulan jarak jauhnya yang tingkat menengah, tiba- tiba tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang dan membentur batang pohon besar. Bukkk...!

"Hegghh...!" Matanya mendelik, mulutnya ternganga. Untung saja pedangnya tidak patah akibat benturan kuat itu.

Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak. Itu pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak. Untung saja Kombang Hitam mempunyai kekuatan yang cukup besar, sehingga tubuhnya tidak lecet dan tulangnya tidak ada yang patah.

"Edan! Tenaga dalamku dikembalikan begitu saja tanpa ada gerakan sedikit pun?!" pikir Kombang Hitam dengan terheran-heran.

Rupanya ia masih penasaran. Ia segera bangkit dan menggeram. Kini sekujur tubuhnya mengeras, hingga semua otot tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas lagi. Tangannya mengembang dengan kedua telapak tangan mengeraskan jemari, bagai cakar garuda yang kokoh. Wajah bengisnya pun semakin terlihat jelas. Amat menyeramkan bagi orang lain.

"Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, Jahanam! Hiaaat...!" Kedua telapak tangan dengan jari-jari yang mengeras itu mulai mengepulkan asap. Ujung-ujung jarinya membara bagaikan besi terpanggang api. Jelas akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh jemari 'Cakar Kumbang Mesra' itu.

Kombang Hitam menggerakkan tangannya dengan cepat dan kuat. Dihantamkan dulu pada batang pohon besar. Crak, crak, crak...!

Di balik pohon tempatnya bersembunyi, Suto membelalakkan mata melihat pohon yang terkena cakaran Kombang Hitam itu hangus di beberapa tempat. Membekas hitam dan masih mengepulkan asap. Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya berkata, "Hebat sekali ilmunya. Tapi suatu saat aku harus bisa menandingi ilmu seperti itu!"

Kombang Hitam menggeram, matanya tertuju pada perempuan tersebut. Lalu katanya, "Lihat pohon itul Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika sampai terkena 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, hah?!"

Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu menjawab, "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar Bebek'. Karena pohon itu tidak mengalami perubahan apa-apa."

Fuih...! Perempuan itu meniupkan napasnya dengan pelan. Tapi membuat rambut Kombang Hitam tersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang. Ia segera menatap ke arah pohon yang tadi habis dicakarnya tiga kali itu. Dan matanya menjadi terbelalak kaget, karena bekas hitam yang mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak ada. Lenyap sama sekali. Tanpa bekas sedikit pun. Keadaan pohon menjadi utuh seperti sediakala.

Terperanjat lagi Kombang Hitam begitu mengetahui ujung-ujung jarinya yang tadi merah membara itu sekarang dalam keadaan padam. Bahkan mengandung bintik-bintik putih seperti busa. Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata busa-busa salju.

"Gila!" sentak hati Kombang Hitam. "Dia bisa memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin membeku. Setan mana perempuan ini sebenarnya?"

Kombang Hitam masih membelalakkan mata dengan rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan jemarinya ke baju sambil memandang tajam pada perempuan berjubah ungu itu. Hati Kombang Hitam kembali berkata-kata.

"Kalau kulanjutkan, matilah aku! Perempuan ini ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku. Pedangku pun tak akan mampu melawan!"

Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar hatinya. Dan ia pun bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya?!"

"Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan Bidadari Jalang?"
Terperanjat wajah Kombang Hitam seketika itu. Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas.
"Bidadari Jalang...?!"
"Itulah aku!" jawab perempuan berjubah ungu. Tegas dalam senyum yang angkuh.

Wajah keras dan bengis itu menjadi lunak. Mulai ada keraguan di wajah itu. Kombang Hitam mundur satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu adalah Bidadari Jalang. Nama itu sangat dikenal di rimba persilatan. Bukan hanya dikenal banyak orang, melainkan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti oleh beberapa kalangan persilatan.

"Pantas tenaga dalamnya begitu hebat, dan sentilan jarinya seberat itu," pikir Kombang Hitam saat itu, lalu pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai Muara Tungkai. Ia hanya mendengar kisah itu, di mana Bidadari Jalang mengalahkan pendekar-pendekar dari dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan tanah Jawa. Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal sakti dan berilmu tinggi-tinggi. Jika tiga pendekar Tibet saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi dirinya sendiri?

Berpikir juga Kombang Hitam ingin menghadapi Bidadari Jalang. Dia tahu, perempuan itu dikenal pula sebagai bidadari yang bisa kejam, bisa romantis. Dan kalau kekejamannya tiba, tak pernah mengenal kata ampun dan hidup. Pasti lawannya dibuat hancur tanpa bisa dimakamkan jenazahnya.

"Kau sudah menjadi patung, Kombang Hitam?" sindir Bidadari Jalang. Kombang Hitam segera melepaskan diri dari renungannya.

"Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku tidak punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik urusan pribadiku?"

"Bukankah kau ingin membunuh anak ini?"

"Ya. Karena dia keturunan Ronggo Wiseso. Aku punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan harus membunuh anak itu!"

"Itu berarti kau punya urusan denganku."
"Mengapa begitu, Bidadari Jalang?"
"Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup," jawabnya dengan kalem.

Senyum pun kembali mekar, manis namun angkuh.

Bingung juga Ketua Begal Utara itu. Untuk merebut Suto jelas sesuatu yang tak mungkin. Bisa-bisa nyawanya melayang tanpa arah yang pasti. Untuk membujuk Bidadari Jalang, agak sulit juga menurutnya. Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.

"Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari Jalang?"
"Aku ada di pihakku sendiri."
"Lalu, mengapa kau menghendaki anak itu tetap hidup?"
"Itu urusanku. Apakah kau ingin merebutnya dari tanganku?"

Kombang Hitam menarik napas. Tampak gelisah, ia pun berkata, "Jangan sampai kita saling bermusuhan, Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah satu pengagum kehebatanmu. Tak mungkin aku melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba persilatan ini. Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku meminta kepadamu agar Suto kau serahkan padaku. Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso."

"Aku keberatan," jawabnya bernada ketus.
"Kuharap kau tidak berkata demikian, Bidadari Jalang."

"Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa pun. Lupakanlah tentang anak ini. Anggap saja ia tidak lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"

"Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh anak itu."
"Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?" tantang si cantik bermata indah itu.

Hal itu membuat Kombang Hitam menjadi semakin lesu. Wajah bengisnya benar-benar surut bagaikan pelita kekurangan minyak. Sinar matanya yang semula berapi-api penuh nafsu membunuh, sekarang justru penuh ungkapan mengiba, mohon dibelaskasihani. Tetapi agaknya Bidadari Jalang tetap pada pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada Kombang Hitam.

"Kurasa aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di sini," kata Bidadari Jalang.
"Tunggu sebentar," sergah Kombang Hitam ketika Bidadari Jalang mau pergi membawa Suto. Ia buru-buru berbalik dan memandang dengan sorot mata yang tajam.

"Mau apa lagi kau? Haruskah aku menghancurkan tubuhmu yang seperti badak itu?!"
"Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku, tapi ..... "
"Aku tidak punya waktu lagi."

Bidadari Jalang berkata kepada Suto yang sejak tadi berada di balik pohon, bersembunyi. "Bocah bagus, kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari, kemarilah ...... "

Tiba-tiba tubuh Suto terangkat naik. Melayang- layang di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah. Bidadari Jalang terperanjat, demikian pula Kombang Hitam. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Suto mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu sempurnanya, sehingga bisa melayang terbang menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang Hitam.

"Edan! Rupanya bocah itu punya ilmu juga?!" gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.

"Hiaaat...!" Bidadari Jalang melompat dan bersalto di udara dua kali, lalu rambutnya berkelebat mengikat ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu tertarik ke tubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu. Kakinya kembali memijak tanah dalam keadaan memeluk Suto. Sementara itu, wajah Suto sendiri tampak terperangah dan terheran-heran dengan apa yang terjadi saat itu.

Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya tiba-tiba tubuh Suto meluncur naik, licin bagaikan belut dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto tiga kali putaran.

"Woaaaw...!" teriak Suto kebingungan karena merasa terbang tak tentu arah.
Tappp... !

Tubuh bocah itu jatuh dalam pelukan lelaki tua. Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat tubuh Suto melayang lepas dari pelukan Bidadari Jalang. Sekarang keheranannya kembali bertambah begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih dengan jubah kuning. Mata Kombang Hitam kian terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat kayu hitam itu.

"Si Gila Tuak..?!" sebut Kombang Hitam tak sadar. Kakek itu tersenyum tawar. Kombang Hitam melangkah
mundur lagi.

Buat Kombang Hitam, kemunculan si Gila Tuak memang menggetarkan hati, sebab ia tahu siapa Gila Tuak. Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri di rimba persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri pertarungan Gila Tuak dan Penguasa Tanah Neraka yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa. Pada waktu itu, Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba persilatan di separo tanah Jawa sebelah timur. Tapi tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di ujung tongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa Nyawa itu adalah Ketua Rampok Wetan, di mana dulu Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.

Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti Kombang Hitam. Bidadari Jalang hanya tersenyum sinis dan berkata, "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan kali ini kau mencampuri urusanku lagi."

"Nyai Nawang Tresni," panggil si Gila Tuak menyebut nama asli Bidadari Jalang, "Jangan sangka hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun membutuhkannya."

"O, begitu?" kata Nyai Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, ia cukup tenang dan kalem. Kombang Hitam semakin waswas. Ketika si Gila Tuak berkata, "Rupanya kau punya murid baru, ya?" sambil melirik Kombang Hitam, lelaki yang dilirik itu menjadi semakin berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.

"Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku. Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku mohon diri dari hadapan kalian!"

Tanpa mengulang kata-katanya lagi, Kombang Hitam segera kabur. Melompat ke semak belukar menghilang dengan kecepatan tinggi. Agaknya Kumbang Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi. Bertemu dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan liang kubur. Kombang Hitam lebih memilih mengalah, membiarkan bocah ingusan itu menjadi bahan rebutan mereka.

Tetapi dalam hati Kombang Hitam sempat bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang banyak ditakuti lawan itu memperebutkan keturunan Ronggo Wiseso? Apa kehebatan Suto sehingga diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu? Dan jika terjadi pertarungan antara Bidadari Jalang dengan si Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi itu, atau sebaliknya?
*
* *BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila Tuak.

"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."
"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan orang lain."

Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"

"Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini, Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan. Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan tenang."

"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali. Jluuk... !

Wuuss... !Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk digendongan seorang ibu.

Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang diperkuat.

"Setan betina!" umpat Gila Tuak. Baru saja Gila Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu. Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh yang menggendong Suto itu sudah berada di atas sebuah pohon berdahan kekar.

"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan matanya setelah menyadari berada di sebuah ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu menjadi kecil.

"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak. Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin. Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah tujuannya.

Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari Jalang. Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon lainnya ikut runtuh daunnya.
"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri girang.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes