Friday, May 6, 2011

pendekar mabuk eps 1 part 2B

Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana. Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam membawanya lari membuat Suto bagai melayang dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya, dan hal itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat bawah.

Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar. Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat. JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.

Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit berbatu-batu hitam. Ia berhenti sebentar karena harus membujuk Suto. Sebab dalam pelariannya tadi, Bidadari Jalang telah berusaha menotok jalan darah Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga tidak berisik suaranya. Namun, anak itu justru menjerit makin keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang. Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi. Dan Bidadari Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah melepaskan totokan pada diri Suto. Kini justru Gila Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal totokan siapa pun. Itulah sebabnya Bidadari Jalang perlu membujuk Suto.

Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu sebelahnya telah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di mulutnya. Tongkatnya tergenggam di tangan kanan dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki. Sosok tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi matahari senja. Bayangan sosok Gila Tuak membuat hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat. Tak sangka Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ketimbang dirinya.

"Hebat juga kau, Gila Tuak!" gumam Bidadari Jalang. "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!"

"Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"

"Kalau kau mampu, lakukanlah!" tantang perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda setiap lelaki. Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh senyuman birahi Bidadari Jalang.

Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran kepadanya. Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya karena merasa dibuat nikmat dengan memandang senyuman iblis itu.

Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia telah menutup jiwanya sehingga tidak pernah punya rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.

"Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu terhadapnya?"

"Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi. Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang pria.

Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah inilah satu-satunya jalan untuk membuat kekuatanku
pulih kembali dan racun menjadi tawar."

"Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan belum bisa mengeluarkan hawa murni!" sentak Gila Tuak.
"Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya termasuk guru cinta. Hi hi hi...."

"Guru sesat!" geram si Gila Tuak lagi. "Jangan kau racuni masa depan anak itu dengan persoalan cinta birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu- ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, entah di tangan siapa saja!"

"Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak sepeot kamu. Hi hi hi..."

"Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan umurku!"

"Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila Tuak?"

"Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu. Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing- masing. Persoalan kita adalah Suto!"

"Rebutlah kalau kau merasa mampu!"
"Hiaah...!" si Gila Tuak melompat sambil mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.

Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke kanan. Sodokan tongkat itu membentur batu yang semula ada di belakang Bidadari Jalang. Batu itu pun segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan dihantam palu godam yang sangat besar.

Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera melarikan diri. Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak dalam keadaan kurang kekuatan. Siapa tahu si Gila Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba persilatan selama tujuh tahun. Bisa-bisa jurus dan ilmu barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan Bidadari Jalang yang tersisa itu.

Melarikan diri adalah hal terbaik. Menghindari pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah langkah yang tepat. Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau melepaskan Bidadari Jalang begitu saja. Ia pun segera mengejarnya. Mereka menuruni bukit dengan kecepatan tinggi. Suara jeritan Suto yang dibawa lari secepat itu, membuat jejak tersendiri bagi Gila Tuak.

"Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!" teriak Gila Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya. Matanya menyipit memandang kilasan angin merah yang berkelebat di depannya. Serta-merta tongkatnya dilemparkan dengan tangan kiri.

Sekalipun memakai tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak panah yang tak dapat dilihat mata telanjang. Dan tiba- tiba terdengar suara orang memekik.

"Aaahg...!"

Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu. Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu menjerit ketakutan.

"Waaaooow...!"
Wusssh...! Taaap...!

Gila Tuak berkelebat cepat. Tubuh Suto tertangkap olehnya. Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas lega.

Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah. Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk bertengger burung rajawali. Namun nyatanya bisa dipakai bertengger Bidadari Jalang. Jika bukan ilmu peringan tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang mampu berdiri di sana.

Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.

"Jahanam kau, Gila Tuak!" geram Bidadari Jalang.

Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit naik.

"Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng, Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" ,

Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah karena pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala Suto.

"Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara kau bawa lari sana-sini!"
"Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini. Hiaat...!"

Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang. Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna kuning. Arahnya ke wajah si Gila Tuak. Tapi, dengan cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah. Wusss... !

Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.

Pohon itu hanya terguncang sedikit. Daunnya rontok sebagian. Tapi masih berdiri tegak. Sedangkan Gila Tuak sudah sampai di bawah. Suto semakin muntah dibawa terjun begitu cepat.

"Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek. Puyeng...!" ucap Suto lemah sekali. Gila Tuak iba melihat anak itu.

Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari. Kasihan Suto. Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap garuda. Rambutnya pun meriap terbang dengan membentuk keindahan tersendiri.

Maka, mau tak mau Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata, "Kapan saja kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak marah terkena muntahanmu, Suto!"

"Sabawana!" teriak Bidadari Jalang. "Ke mana pun kau lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur hidupmu! Jahanam kau!"

Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati puncaknya. Sebab, biasanya jika perempuan itu marah sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila Tuak, yaitu Ki Sabawana.

Bidadari Jalang berteriak lengking. Nyaring dan keras sekali. Suara teriakannya menyerupai sebuah seruling. Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan menjadi kalang kabut. Burung beterbangan sambil mencicit bagaikan ketakutan. Ular-ular yang bersembunyi di sarangnya melesat keluar. Seakan semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu menjadi panik dan salah tingkah.

Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap membawanya lari. Kalau saja tangan Sabawana tidak mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu akan mengalir darah segar. Gendang telinga akan pecah. Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang. Sementara itu, Gila Tuak tidak perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga, melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan Peri' tersebut.

Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus mengejar dengan penasaran. Sampai akhirnya mereka tiba di pesisir utara. Tanah yang sepi di pinggiran laut itu mempunyai warna yang putih. Tempatnya lega, karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.

Gila Tuak ingin segera membawa Suto menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air asalkan ada alasnya. Tetapi, langkah itu terpaksa harus terhenti. Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi sambil merengek.

"Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."

Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan. Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan sentakan suara kemarahannya.

"Mau lari ke mana kau, Sabawana!"

Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya sebentar sambil dalam posisi setengah jongkok, karena harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah tanpa cairan lagi itu.

"Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?! Perhatikanlah gambar pada layarnya."

Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga melingkar di tengahnya.

"Iblis Pulau Bangkai!" geram Bidadari Jalang setelah mengenali simbul pada layar perahu tersebut.

"Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau tak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus menyelamatkannya dan menyembunyikannya."

"Tidak bisa!" sentak Bidadari Jalang.

"Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nanti kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni. Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!"

Bidadari Jalang diam mematung. Matanya menatap laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati arah pantai. Ia berpikir beberapa saat. Ia mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan datang itu. Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup berbahaya. Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai dalam keadaan belum terkena Racun Birahi. Tapi sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa? Jika menurut perhitungannya. Ia tidak akan unggul, apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?!SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa. Dulu, ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai, hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya. Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa, yang pada waktu itu belum menjadi tandingan Bidadari Jalang.

Lelaki berhidung mancung dengan mata indah memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan Bidadari Jalang. Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.

Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai. Kemudian ia bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya kencan. Tetapi pemuda itu telah lebih dulu menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak. Tetapi desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering terbayang dan mengganggu batinnya.

Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk mengalahkan Nagadipa nanti. Dengan senyumannya ia bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk asmara. Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda juga birahinya. Padahal setiap birahinya muncul, maka kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya akan rusak, hilang. Karenanya, sudah sekian lama Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris habis.

Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.

Tetapi sekarang ia harus berhadapan denganNagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah seberang. Mampukah ia menahan serangan luar dalam dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja Bidadari Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa, apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari ketampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan itu?

Agaknya kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap oleh indera keenam si Gila Tuak. Karenanya, sebelum kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.

"Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu, Bidadari Jalang!"
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir sinis. "Kau pikir aku gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban kemarahan Nagadipa."

"Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"
Dia akan menyangka Suto adalah anakku."

"He he he...," si Gila Tuak terkekeh. "Mana mungkin dia menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."

Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar, tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang, "Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah, selamat bertarung.

Tunjukkan kehebatanmu di depanku jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak ini menjadi muridku."

Weesss...! Angin cepat bertiup. Rambut Bidadari Jalang tertiup dan berkibar sejenak. Itulah angin kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang. Tetapi sebentar kemudian, wuuss

Angin cepat datang lagi. Gila Tuak terkekeh. Ia lupa membawa Suto saat pergi tadi. Kini Suto digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi, Suto buru-buru berkata, "Jangan ajak aku terbang, Kek. Aku sudah sangat puyeng."

"He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..," karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu, akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu tinggi. Dari sana masih dapat ia melihat keadaan Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu kedatangan lawannya.

Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi. Tetapi anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu. Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika sewaktu-waktu muncul. Tetapi sampai sekian lama ia menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi. Tak sabar hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap kakinya di buritan perahu.

Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.

Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya, semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh, tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air, di bawah perahunya itu?

"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang. Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul serangan dariI bawah sana.

"Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!"

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari Jalang.

"Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan. Kalem.

Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan semakin mempesona dipandang mata.

"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya. Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu. Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun Birain akan segera bekerja kembali merongrong kekuatannya "Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkata begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi, Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di belakang Bidadari Jalang.

Perempuan itu manggut-manggut sambil memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja. Bahkan memamerkan senyumannya.
Oh, hati Bidadari Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu. Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.

"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?" ketusnya.
"Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari Jalang."
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.
"Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun yang lalu, bukan?"
"Benar."
"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku sudah siap."

Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang. Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke arah cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku membunuhmu sebelum puas aku mengagumi kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai. Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi, aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu demi membalas dendam kematian guruku, atau membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"

"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu, Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu semakin mengguncangkan hatinya, semakin menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya sendiri.

Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin mendayu-dayukan rayuannya.

"Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja. Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu, menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung karang...."

"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan mata mendelik.
"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"

Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari Jalang dengan penuh kelembutan.

Senyumnya mekar tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem, sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.

"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu, Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi wajahmu dengan penuh kelembutan."

"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan, Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.
"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak muncul kapan saja dan di mana saja."

Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap. Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.

"Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.

Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak hatiku menerima tatapan matamu yang begitu menggoda hati... "

Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena napasnya tertahan berat.

"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku... aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk. Bidadari Jalang kian gusar hatinya.

Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari terlipat.

Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke kiri. Duubb...! Wuuug...!

Kraaak... !

Gundukan batu karang yang berjarak lima belas tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang beradu itu.

Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu,Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan sorot pandangan matanya yang lembut.

la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"

"Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam gumam.
"Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya? Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan rayuanku?"
"Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari Jalang?"
"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"

Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya, mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss... !

Nagadipa menahan dengan kedua tangan disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam posisi siap menerima serangan lagi.

Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam. Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa, melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah itu.

Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki bidadari Jalang segera menendangnya dengan
tendangan miring.

"Hiattt...!"

Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.

"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari kitab peninggalan gurumu itu!"

"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."

"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa. Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.

Prasss...!

Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir- desir mendengar rayuan Nagadipa.

Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak sambil bersuara.

"Huugh...!"

Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam hatinya.

"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."

Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum. Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental. Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak ada orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.

Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan balasan dari Nagadipa.

Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan ke depan, ke arah Bidadari Jalang.

Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng kain jubah ungu.

Traap... ! Traas... ! Traas... !

Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum. Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.

"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"
Wuung...! Blaamm...!

Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut. Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada, sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung, dan telinganya mengeluarkan darah.

Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati Bidadari Jalang sambil ia berteriak.

"Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru, Hiaaat...!"NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba- tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.

Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya. Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.

"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram. "Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"

"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari Jalang tak mau kalah sesumbar.

Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut makanan, hanya menuntut pulang."Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"

"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah mu?"

Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi. Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian Kombang Hitam.

Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada suara memelas.

"Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."
"Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan kepadamu, Suto."
"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"
"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela kebenaran."
"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi berjubah ungu itu, ya?"
"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."
"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama aku bisa sinting lagi!"

Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto di- usap-usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar bergelar Pendekar Cepat Muntah."

Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata, "Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu Suto Sinting."
Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.

Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa, Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena pukulan."

"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada dan tidak melatih gerakan lincah."
"Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"
"O, iya! Malah kamu bisa menyerang."

Anak itu tersenyum bangga membayangkan kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa kusampaikan karena Bibi itu sibuk."

"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali, Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."

"Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani, ya Kek?"
"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga harus lebih berani daripada Bibi Nawang."
"Nawang itu apa namanya, Kek"
"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari Jalang."
"Jalang itu apa, Kek?"

Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."

"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang bidadari dari kayangan?"

"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip kecantikan bidadari."

"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi mempunyai guru yang sama?"

"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing- masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya sendiri."

"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya ilmu tinggi!"

"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah hilang akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga membisu sambil termenung memandang kesana. Namun tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila Tuak menjadi heran.

"Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila
Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.
"Tidak ada apa-apa kok, Kek."
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes