Thursday, July 1, 2010

lpn_21_24b2

Daya penghancur dari ilmu Tok liong ci jiau ini benar-benar luar biasa hebatnya.
Dimana desingan angin tajam menyambar lewat, jerit kesakitan segera berkumandang memecahkan keheningan
Kakek baju abu-abu yang menjaga diposisi Pia hwee itu seperti memperoleh suatu pukulan berat yang dahsyat sekali, mendadak tubuhnya mencelat keudara dan terbanting sejauh dua kaki lebih dari posisi semula.
hawa napsu membunuh telah berkobar dalam tubuh Gak Lam-kun. Begitu berhasil dengan serangannya, tidak menunggu barisan lawan melakukan perubahan lagi untuk kedua kalinya dia menghimpun tenaga dan menyerang lagi dengan ilmu Tok liong ci jiau.
Segulung angin desingan tajam yang luar biasa langsung menyerang keposisi Ih boh.
Dengusan tertahan bergema memecahkan keheningan. Kembali ada seorang kakek barbaju abu-abu yang terhajar sampai terpental jauh dari tempat semula.
Hebat sekali akibat dari serangan Gak Lam-kun dengan ilmu sakti Tok liong ci jiau ini. Dalam waktu singkat dia mengenyahkan dua dari lima orang jago pedang itu bukan saja seluruh barisan Tay-khek ngo heng kiam tin itu terhambat gerak-geriknya bahkah boleh dibilang sudah tidak berwujud sebagai barisan lagi.
Menyaksikan dua orang anggota perguruannya mengalami nasib buruk, dan barisan Tay khek ngo heng kiam tin yang ditekuni dan dibina selama delapan belas tahun ternyata mengalami kemusnahan dan berantakan, tak terlukiskan rasa sedih dan kesal dalam hati Yan Lo-sat Hong Im.
Tiba tiba ia berpekik dengan suara yang amat nyaring.
Dalam gelisah dan gusarnya, dia lupa akan kelihayan orang. Sambil mendesak maju pedangnya langsung diputar melancarkan serangkaian serangan secara gencar.
Gak Lam-kun tertawa dingin, dia putar pedang dan menangkis datangnya ancaman tersebut.
Sementara tiga orang kakek berbaju abu-abu lainnya sedang dibikin gusar lantaran rekan mereka dipecundangi, sambil membentak keras, mereka maju bersama sambil melepaskan serangkaian serangan yang amat dahsyat.
Serangan gabungan dari beberapa orang jago Tay khek bun ini sungguh luar biasa hebatnya, apalagi dengan tenaga dalam mereka yang terhitung tidak lemah.
Cuma, kalau tadi mereka mengandalkan kelihayan dan barisan Tay khek ngo heng kiam tin untuk mengepung musuhnya dalam barisan maka sekarang mereka bertarung dengan mengandalkan kepandaian silat yang sesungguhnya.
Dalam waktu singkat, bunga-bunga pedang beterbangan memenuhi angkasa. Cahaya padang saling menyambar menyilaukan mata, keadaannya mengerikan sekali.
Gak Lam-kun segera berkata dengan dingin katanya. “Hong Im, kau mencari mampus buat dirimu sendiri, jangan salahkan kalau aku Gak Lam-kun akan bertindak keji kepadamu”
Padang pendeknya masih dimainkan dengan tangan kiri, sedangkan tenaga dalamnya disalurkan kedalam telapak tangan kanan untuk mempergunakan ilmu sakti Tok liong ci jiau.
Tiba tiba ia membentak keras dan melepaskan sebuah serangan dahsyat kearah seorang kakek kurus yang ada disebelah kiri.
Tenaga dalam yang dimiliki Gak Lam-kun pada saat ini telah peroleh kemajuan yang pesat sekali. Tenaga serangan yang disertakan dalam pukulan ini betul-betul ibaratnya bukit karang yang ambrol.
Sekalipun kakek kurus itu terhitung salah seorang jago tangguh dari perguruan Tay Khek bun, darimana mungkin ia mampu menyambut serangan dari Gak Lam-kun ini.
Terdengar dengusan tertahan berkamandang memecahkan keheningan. Kakek kurus itu berikut pedangnya sudah terpental sejauh tujuh delapan depa dari tempat semula.
Dikala ia menggetarkan tubuh si kakek itu dengan ilmu sakti Tok liong ci jiau itu, berbareng pada saat yang sama jurus pedang yang dipakai untuk menyergap Hong Im itu tiba tiba berubah menjadi jurus Ciong eng hui jiau (cakar sakti burung elang).
Pedang pendek Giok sang kiam dengan membawa serentetan suara desingan tajam langsung menyongsong datangbya pedang si kakek cebol yang berada dihadapannya.
“Traaang……!”
Benturan nyaring yang disertai percikan bunga api terjadi ditengah udara. Si kakek cebol segera merasakan telapak tangannya menjadi pecah dan sakit sekali. Tahu-tahu pedangnya terlepas dari genggaman, dengan membawa serentetan cahaya perak langsung meluncur ke udara dan mencelat sejauh tujuh delapan kaki dari tempat itu.
Diantara pergantian napas, Gak Lam-kun sekali lagi melancarkan sebuah tusukan untuk membendung jurus serangan dari Yan Lo-sat. Bersamaan waktunya telapak tangan kiri itu melepaskan juga sebuah pukulan dahsyat yang langsung menghajar si kakek yang lain.
Agaknya kakek berbaju abu-abu itu sudah tahu kalau tenaga pukulan dari Gak Lam-kun lihay sekali. Ia tak berani menyambut dengan kekerasan, sambil bertekuk pinggang dan menggeserkan badan, dia berkelit tiga langkah ke samping untuk meloloskan diri dari serangan tersebut.
Dalam waktu singkat, Gak Lam-kun berhasil merobohkan dua orang, mendesak mundur seorang dan membuat seorang lagi kehilangan senjatanya. Menyaksikan kesemuanya itu, sadarlah Yan Lo-sat Hong Im bahwa nama baik perguruan Tay khek bun bakal musnah akibat dari hasil pertarungan hari ini.
Rasa sedih yang amat sangat membuat parah panas dalam dadanya bergolak keras. Wajahnya berubah menjadi pucat kehijau-hijauhan. Dengan termangu-mangu dia berdiri ditempat tanpa berkutik barang sedikitpun juga. Tanpa disadari beberapa titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Kemudian ditatapnya wajah Gak Lam-kun lekat-lekat dengan sorot mata penuh rasa benci dan dendam.
Ini menunjukkan kalau Yan Lo-sat telah dibuat sedih sekali sehingga untuk sesaat lamanya tak tahu apa yang musti dilakukan olehnya.
Sesungguhnya telapak tangan kanan Gak Lam-kun sudah diangkat ke tengah udara dan siap dihantamkan ke atas tubuhnya. Akan tetapi setelah menyaksikan penderitaan yang diperlihatkan pada wajahnya, pelan-pelan telapak tangan itu diturunkan kembali.
Mendadak Yan Lo-sat Hong Im mendonggakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak dengan seramnya.
Tiba-tiba ia membuang pedangnya ke atas tanah, lalu membalikkan badan dan menjatuhkan diri berlutut dihadapan gadis berbaju perak itu, mohonnya dengan setengah merengek, “Susiok mohon pengampunan dari kau orang tua atas dosa dan kesalahan yang telah aku lakukan barusan”
“Hee… hee… hee… kau tak usah mengaco belo tak karuan” kata sinona berbaju perak itu sambil tertawa dingin, “Apa-apaan kamu ini? Sudah begitu tua, masih juga berlutut dihadapan orang. Apa kau anggap perbuatanmu itu bagus?”
Yan Lo-sat Hong Im masih belum bangkit juga, malah rengeknya lebih jauh, “Susiok kalau kau orang tua tidak bersedia pulang ke perguruan Tay khek bun, tecu akan berlutut terus disini”
Mendengar ucapan tersebut, si nona berbaju perak itu segera mengernyitkan alis matanya, lalu tertawa dingin. “Hmm, kenapa sih kau begitu tak tahu diri?. Berulang kali toh sudah kuterangkan bahwa aku bukan Hong ih kim cha Gui Bok eng, kenapa kau masih saja tidak percaya? Baik! Kalau kau ingin berlutut, silahkan berlutut terus sampai tua ditempat ini”
ooOOOoo
SEUSAI berkata gadis itu lantas tersenyum seraya berpaling ke arah Gak Lam-kun, katanya, “Engkoh Gak, mari kita berangkat!”
Gak Lam-kun mengiakan, pelan-pelan dia berjalan kehadapan Ji Cin peng, setelah menghela napas panjang, katanya, “Nona Bwe, berulang kali cayhe mendapat bantuanmu. Budi kebaikan tersebut akan ku ingat terus didalam hati kecilku. Hingga kini ada suatu persoalan yang masih membingungkan hatiku ingin sekali kumohon petunjuk dari nona Bwe, bersediakah kau memberi petunjuk kepada diriku ini?”
Mendengar ucapan itu, Ji Cin-peng tertawa paksa, katanya kemudian setelah termenung sejenak, “Entah persoalan apa yang membingungkan hati Gak siangkong? Aku bersedia membantumu untuk menghilangkan kerisauan tersebut apabila tenagaku mampu untuk melakukannya”
Gak Lam-kun segera manggut-manggut. “Baiklah!” dia berkata, “Pada malam bulan purnama nanti, akan kunantikan kedatangan nona Bwe dalam bangunan mungil di gedung sebelah barat daya”
Ji Cin-peng tersenyum. “Menjelang kentongan pertama bulan purnama, aku pasti akan menunggu kedatanganmu disana, pergilah!”
Kiranya pada waktu itu si nona baju perak dengan penuh raia cemburu dan jengkel telah melengos ke arah lain dan berlalu seorang diri dari situ.
Gak Lam-kun menyerahkan kembali pedang pendek itu ke tangan Ji Cin peng, katanya lagi, “Semoga kau suka menjaga pula adik Liong ku itu!”
Selesai berkata, dia baru membalikkan badan dan menyusul gadis berbaju perak itu.
Menyaksikan kekasihnya pergi bersama seorang gadis yang lain, Ji Cin-peng tak dapat melukiskan bagaimana perasaannya saat ini. Titik-titik air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipinya.
Dia tahu Gak Lim kun masih amat mencintainya. Dia yakin didasar hati kecil Gak Lam-kun sudah tertera nyata bayangan tubuhnya dan bayangan tersebut tak akan lenyap untuk selamanya. “Jika dia tahu kalau aku adalah Ji Cin-peng rasa cintanya kepadaku pasti akan jauh lebih dalam daripada rasa cintanya kepada gadis berbaju perak itu. Tapi, aku… bagaimana mungkin aku bisa munculkan diri dengan wajah asliku… Dendam berdarah dari orang tuaku belum dituntut balas…..”
Antara dendam kesumat dan cinta ia merasa tak sanggup untuk memilih salah satu diantaranya….
Hanya penderitaan dan tekanan batin yang selalu menghantui lubuk hatinya.
Titik titik air mata jatuh bercucuran membasahi di pipinya.
Ditengah keheningan yang mencekam seluruh angkasa, pelan-pelan Han Hu hoa menghampirinya dan berbisik dengan suara lirih. “Buncu, aaaai…”
Padahal dia sendiripun tak tahu harus menggunakan kata-kata apa untuk menghibur hatinya.
“Enci Bwe” Ji Kiu-liong segera berseru dengan suara lirih, “kau tak usah berduka. Gak toako tak akan mencintai perempuan macam gadis berbaju perak itu. Kalau dia sampai kesemsem kepada perempuan itu, aku pasti tak akan membiarkan Gak toako terbuai terus menerus…..”
Mendengar perkataan itu merah padam selembar wajah Ji Cin-peng lantaran jengah, dengan gusar serunya, “Adik Liong kau jangan sembarangan berbicara, aku bukan…. aku bukan…..”
Ketika menatap wajah anak muda itu tiba-tiba gadis tersebut menghela napas sedih, katanya lagi. “Adik Liong, Gak toako adalah seorang yang baik sekali, lain kali kau harus mendengarkan perkataannya”
Sementara itu sepasang mata Ji Kiu-liong sedang menatap wajahnya tanpa berkedip. Sepatah katapun ia tidak berbicara, seakan-akan ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, dia merasa gadis ini terlalu mirip dengan orang itu.
Tiba-tiba beberapa titik air mata jatuh berlinang membasahi wajah Ji Kiu liong, bisiknya, “Enci Bwe, kau terlalu mirip dengan dia!”
Mendengar perkataan itu, Ji Cin-peng merasakan hatinya bergetar keras, dengan cepat dia berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Dengan lemah lembut dia berjalan menghampirinya, lalu membelai rambut Ji Kiu-liong dengan penuh kasih sayang. “Adik Liong, kau mengatakan aku mirip siapa?” tanyanya dengan suara lirih.
Sambil menahan isak tangisnya, jawab Ji Kiu liong. “Kau terlalu mirip dengan enciku. Pada hakekatnya kau menyerupai enciku yang hidup kembali, baik dalam potongan badan, logat berbicara, watak serta gerak gerik”
Merdengar perkataannya itu, Ji Cin-peng merasa hatinya sangat sedih, tanpa terasa gumamnya seorang diri, “Adik Liong.. wahai adik Liong, akulah enci kandungmu, kau maafkanlah aku. Aku tak bisa melakukan kewajibanku sebagai seorang kakak yang baik untuk membesarkan dirimu akupun malu terhadap ayah dan ibu di alam baka. “Tapi… tapi… masih ada seorang bocah lagi yang jauh lebih mengenaskan keadaannya daripadamu. Dia bakal hidup sebatang kara tanpa ayah dan ibu. Bocah itu tak lain adalah….”
Ji Kiu-liong yang menyaksikan perempuan itu bergumam seperti orang mengigau, berusaha untuk memperhatikan kata-katanya, tapi lantaran suara ucapannya terlalu rendah maka dia hanya sempat mendengar sedikit saja.
Maka dengan perasaan heran dan tidak habis mengerti, diapun bertanya, “Siapakah bocah itu?”
Mendengar pertanyaan itu, dengan terkejut Ji Cin-peng buru-buru menutup mulut dan mengalihkan sorot matanya kewajah Ji Kiu-liong, dalam hati kecilnya tak terlukiskan rasa sedih yang timbul dengan segera, tak tahu apakah dia harus berterus terang kepada adiknya atau tidak….
Akhirnya sambil menghela napas panjang, Ji Cin-peng berkata, “Adik Liong, bocah itu adalah anakku!”
Mendengar perkataan itu dengan terkejut Ji Kiu-liong segera bertanya, “Kau sudah… pernah kawin?”
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, wajahnya menunjukkan perasaan kecewa yang amat tebal.
Tentu saja Ji Cin-peng dapat menangkap perubahan mimik wajahnya itu, ia segera menganggguk, “Yaa, aku sudah mempunyai suami?” jawabnya.
Dengan sedih dan kecewa Ji Kiu-liong menghela napas panjang, gumamnya kemudian, “Aaai… Kalau begitu kau dengan engkoh Gak tak mungkin bisa…. tak mungkin bisa….”
Dengan hati sedih Ji Cin-peng mengangguk. “Adik Liong aku mempunyai banyak persoalan yang hendak dibicarakan denganmu”
“Kau mempunyai kesulitan apa katakan secara terus terang. aku pasti akan berusaha untuk membantumu menyelesaikan persoalan-persoalan itu…”
Ketika mengucapkan kata-kata itu, dia menunjukkan sikap seperti orang yang sudah tahu urusan, seperti pemuda yang sudah meningkat kedewasaannya.
Melihat itu Ji Cin-peng merasa agak lega. Ia merasa selama dua tahun belakangan ini adik liongnya sudah jauh lebih dewasa.
Pelan-pelan Ji Cin-peng membalikkan badannya dan berjalan menuju ke arah barat.
Ji Kiu-liong dengan perasaan penuh tanda tanya, mengikuti terus dibelakangnya.
Ketika tiba di bawah sebatang pohon siong, Ji Cin-peng berhenti seraya berpaling, panggilnya dengan lembut, “Adik Liong…”
Ji Kiu-liong merasa panggilan ‘adik Liong’ tersebut begitu dikenal olehnya, membuat pemuda itu hampir saja tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
Mungkinkah didunia ini masih terdapat orang lain yang bisa memiliki suara maupun wajah yang begitu mirip dengan encinya?
“Atau mungkin dia adalah enciku Ji Cin peng?. Tidak… tidak… hal ini tak mungkin? Jika dia adalah enci ku, mengapa dia bisa tak kenal dengan toako Gak? Aku rasa enci tak bisa hidup tanpa engkoh Gak”
“Adik Liong!” ujar Ji Cin-peng lagi dengan suara yang amat pedih, ”tahukah kau bahwa da-lam hati kecilku tersimpan suatu kejadian amat sedih yang pernah kualami dimasa lampau?”
Ji Kiu-liong manggut-manggut, “Aku tahu!”
Tiba tiba Ji Cin-peng bertanya lagi. “Aku ingin bertanya kepadamu, bila kau mempunyai dendam sakit hati. apakah kau bertekad untuk membalasnya?”
Sambil melototkan sepasang matanya bulat-bulat, Ji Kiu-liong segera menjawab, “Tentu saja harus dibalas, kalau ada dendam kesumat, mengapa kita tidak menuntutnya?”
Ucapan terserut sangat menggetarkan perasaan Ji Cin peng, segera pikirnya dihati, “Harus dibalas! Harus dibalas! Tentu saja harus dibalas! tentu saja harus dibalas!”
Setelah berhenti sejenak Ji Cin-peng menghela nafas sedih, kembali ia berkata, “Adik Liong, aku memiliki suatu dendam kesumat keluarga yang lebih dalam dari samudra, namun dendam sakit hati itu justru tak bisa kutuntut balas”.
“Kenapa?” tanya Ji Kiu-liong keheranan, “apakah ilmu silatmu tak sanggup untuk menandinginya?”
“Benar ilmu silatku sungat jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan kepandaiannya” Ji Cin-peng berkata.
Mendengar itu Ji Kiu-liong menjadi amat terkejut bercampur tercengang serunya, “Ilmu silat yang enci miliki sekarang boleh dibilang tiada bandingannya didunia ini. Siapa yang mampu mengalahkan dirimu dalam dunia persilatan sekarang? Aku Tidak percaya dengan perkataaanmu itu, siapakah sih musuh besar enci itu?”
Ji Cin-peng tidak menjawab pertanyaannya tapi berkata kembali lebih jauh, “Bila menggunakan ilmu silat sudah barang tentu aku tak dapat menangkan dia. Tapi jika aku ingin membalas dendam, ia pasti akan membiarkan diriku melaksanakan keinginanku itu…..”
Semakin mendengar Ji Kui liong merasa semakin keheranan. Dia tahu dendam kusumat yang terjalin diantara mereka pasti suatu jalinan hubungan yang sangat pelik.
Ji Cin-peng kembali menghela nafas panjang, katanya lagi. “Tapi selama ini aku tak berani mencarinya untuk membalas dendam, karena dia adalah kekasihku sendiri. Aku dengan dia sudah menjalin hubungan cinta yang amat mendalam, bahkan telah menmbuahkan hasil ketu-runan. Jika kubalas dendam sakit hati ini, maka anakku yang patut dikasihani itu akan kehilangan ayah dan ibunya bersama. Dia akan hidup sebatang kara sepanjang masa. Ooooh…. Betapa mengenaskan nasibnya itu”
“Enci Bwe, seandainya kau bunuh kekasihmu itu, apakah kau sendiri juga enggan untuk hidup lagi didunia ini?” tiba-tiba Ji Kiu-liong bertanya dengan suara lembut.
Ji Cin-peng menggelengkan kepalanya berulang kali, “Adik Liong!” katanya “jika ada seorang perempuan telah membunuh sendiri suaminya, apakah dia mungkin akan hidup seorang diri di dunia ini?”
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, “Itulah…. itulah sebabnya…. antara cinta dan dendam… aku…. aku sendiripun tak tahu harus memilih yang mana. Adik Liong hari ini aku telah mengungkapkan semua rahasia hatiku kepadamu, tujuanku tak lain adalah ingin mohon bantuanmu untuk menyelesaikan kesulitan yang sedang kuhadapi ini”
Setelah mendengar kisah dendam dan cinta yang serba pelik ini. Ji Kiu-liong sendiripun merasa sedih bercampur serba salah, setelah termenung sebentar dia lantas bertanya. “Apakah suamimu mengetahui akan persoalan ini?”.
“Tidak tahu, lagi pula dia telah menganggap aku sudah mati”
Ji Kiu-liong menghela napas panjang, “Kalau memang begitu, kau tak usah membalas lagi dendam sakit hati itu. Lenyapkan saja semua kenangan lama yang serba pahit dan getir itu dari dalam benakmu sehingga kalian suami istri dan anak bisa berkumpul dengan rukun kembali serta selamanya melewatkan penghidupan yang senang, gembira dan bahagia”
“Adik Liong, seandainya kau adalah sipemegang peranan didalam peristiwa semacam itu, apakah kaupun akan berbuat demikian?”
“Yaa, kalau tidak apakah masih ada cara lain yang lebih baik iagi? Andaikata kita memilih jalan untuk menuntut balas, sekalipun dendam tersebut dapat dituntut balas, namun akibatnya malah justru jauh lebih mengenaskan”
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, “Tak bisa disangkal lagi bahwa kau tidak tega untuk membunuh suamimu, itu berarti bibit atau benih dendamnya dalam hatimu sesungguhnya telah terhapus sama sekali. Kuanjurkan kepadamu lebih baik lupakan saja tragedi yang mengerikan itu!”
Setelah mendengar ucapan dari Ji Kiu-liong ini, bagaikan genta kuil di pagi hari, Ji Cin-peng segera tersadar kembali dalam lelapan impian yang buruk dan sudah mencekam hatinya selama banyak tahun.
Perasaan hatinya sekarang adalah begitu terharu begitu gembira sehingga hampir saja melupakan keadaan. “Oooh adik Liong!” pekiknya dengan gembira “Aku… aku… amat menyukai dirimu”
Dipeluknya kepala Ji Kiu-liong erat erat, sementara air matanya tak bisa ditahan lagi jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Dia Ingin menangis, dia ingin menggunakan tangisannya untuk memperlihatkan luapan rasa gembira yang sedang berkecamuk dalam hatinya.
Agaknya Ji Kiu-liong merasa agak terkejut dengan sikap perempuan itu, serunya dengan nada kaget, “Kau…. Kau…. Enci Bwe…”
“Oooh….” Ji Cin-peng mengeluh pedih, “adik Liong, aku adalah… enci Peng… Aku adalah enci Peng….”
“Apa?” Ji Kiu-liong amat terkejut dan segera meronta untuk melepaskan diri dari rangkulan Ji Cin peng, kemudian dengan terkejut serunya, “Kau… Kau… kau benar-benar adalah enci Peng? Enci Peng yang telah meninggal?”
Ji Cin-peng manggut manggut, “Benar, adik Liong! Aku … aku belum mati”
Paras muka Ji Kiu-liong segera berubah, hebat, serunya, “Kalau begitu….. engkoh Gak adalah….”
Ji Cin-peng segera tertawa getir. “Adik Liong, kita tak usah menyinggung kembali peristiwa yang penuh kesedihan itu” bisiknya.
‘“Oooh….. cici, kau betul-betul sangat mulia!”
“Adik Liong…..”
Ji Kiu-liong yang polos tak dapat menguasai diri lagi. Ia menubruk kedalam rangkulan Ji Cin-peng dan menangis tersedu-sedu karena kegirangan, lalu serunya tersendat sendat. “Enci Peng, dimanakah keponakanku itu? Aku terlalu gembira….”
“Dia berada di Lam-hay, ditempat guruku”
“Enci Peng, hayo kita susul Gak toako, biar aku yang akan menuturkan hal ini kepadanya!”
Tapi sebelum mereka sempat beranjak pergi, tiba tiba dari arah belakang berkumandang suara tertawa seram yang amat mengerikan. “Hee… hee… hee… jangan harap kalian bisa pergi menjumpai orang she Gak itu lagi”
Dengan cepat Ji Cin-peng dan Ji Kiu-liong membalikkan tubuhnya. Empat buah mata yang bersinar tajam segera menyapu sekeliling tempat itu.
Lebih kurang tujuh delapan kaki dihadapannya sana berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi besar yang mengenakan baju berwarna putih, orang itu tak lain adalah Mao Tam dari Tiang pek-san.
Dibelakangnya mengikuti tiga orang kakek berbentuk aneh sekali. Waktu itu ketua Thian san pay, Bu-seng sianseng Tang Bu kong sedang bercakap-cakap dengan tiga orang kakek itu.
Sementara itu dalam arena tinggal jago jago dari perguruan panah bercinta, sedang See ih sam seng dan orang orang Tay khek bun entah sudah kemana perginya.
Jit poh-toan-hun Kwik To yang menyaksikan kemunculan Mao Tam sekalian, segera merasakan bahwa suatu pertarungan berdarah segera akan berlangsung, tanpa terasa mereka maju bersama melakukan pengepungan.
Delapan belas orang pemanah dari perguruan panah bercinta segera mempersiapkan gendewa masing masing dan mengerahkan arah panahnya ke arah Mao Tam sekalian di tengah kepungan.
Tiga orang kakek aneh yang bertubuh tinggi, pendek serta gemuk itu sama sekali tidak menggerakkan biji matanya untuk memandang sekitar arena, jelas kepandaian mereka sangat lihay sehingga kepungan tersebut sama sekali tidak menggetarkan hati mereka bertiga.
Sesungguhnya ketiga orang kakek aneh itu adalah jago jago yang amat termashur namanya dalam dunia persilatan. Orang menyebut mereka sebagai Tiang pek sam hi (tiga ekor beruang dari Tiang pek san).
Si kakek aneh bertubuh jangkung seperti bambu dengan mata yang sebesar gundu serta sekujur badannya penuh dengan bulu putih itu adalah pemimpin dari tiga beruang, Ngo kok bim cun (Malaikat beruang dari lima lembah) Leng Han tang. Disebelah kirinya yang bertubuh pendek lagi ceking dan berambut emas macam monyet itu bernama Has thian bu im kim si him (beruang bulu emas yang terbang tanpa bayangan) Hoo Ki Seng. Sedangkan si kakek yang gemuk bagaikan dewa Mi lek bud tapi sedikit berbeda karena tak pernah tersenyum ini bukan lain adalah beruang yang terganas di antara kadua orang rekan lainnya. Dia bernama Im yang bim (si beruang banci) Pit Gi.
Begitu berjumpa dengan ketiga orang kakek aneh itu, Ji Cin-peng segera tahu kalau si pendatang itu bukan lain adalah Tiang Pek sam him (tiga beruang dari Tiang Pek san) tapi dasar perempuan ini memang bernyali apalagi ilmu silatnya memang lihay, ia sama sekail tidak merasa gentar untuk berhadapan dengan mereka.
Tiba tiba Im yang him Pit Gi mengalihkan sinar matanya ke tubuh Ji Cin-peng kemudian sekulum senyuman cabul tersungging diujung bibirnya.
Ji Cin-peng yang dipandang secara begitu tengik menjadi naik pitam, ia segera mendengus berulang kali.
Ji Kiu-liong tak tahan melihat ketengikan orang, kontan saja ia mencaci maki kalang kabut, “Tiga orang itu tujuh bagian mirip setan, tiga bagian mirip manusia, entah siluman siluman darimana?”
Mao Tam yang mendengar Ji Kiu-liong memaki suhu dan susioknya menjadi naik darah pula bentaknya, “Setan cilik rupanya kau sudah bosan hidup!”
Sambil membentak dia menerjang maju kedepan.
Ji Kiu-liong tertawa dingin, ia tak mau memperlihatkan kelemahannya, segera anak muda inipun bersiap-siap untuk menyongsong kedatangannya.
Tiba tiba Ji Cin-peng menarik tangannya sembari berbisik, “Adik liong, jangan gegabah, ilmu silat yang dimiliki orang ini aneh sekali”
Mao Tam sudah pernah merasakan kerugian ditangan Ji Cin peng. Ketika dilihatnya Ji Cin-peng berdiri disampingnya, ia tak berani menerjang ke muka lebih jauh, hanya ditatapnya wajah pemuda Itu dengan penuh kegusaran.
Jit poh-toan hun Kwik To segera tertawa terbahak bahak, sambil melangkah ke depan, serunya, “Saudara, apakah kau ingin berkelahi?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, diam-diam Jit poh toan-hun Kwik To telah menghimpun tenaga dalamnya, tiba tiba sebuah pukulan dahsyat dilontarkan ke depan.
Segulung angin pukulan yang maha dahsyat segera meluncur ke muka dan menghajar telak diatas lambung Mao Tam.
“Blaaaam……!”
Terjadi benturan yang amat keras sekali. Mao Tam menjerit kesakitan sekujur badannya terasa sakit seperti dililit pisau tak ampun ia terpental ke belakang dan muntah darah segar.
Sergapan yang dilancarkan Kwik To ini sama sekali diluar dugaan Tiang pek sam him, agaknya mereka tidak menyangka kalau ada orang berani menghajar muridnya dihadapan mereka.
Hui thian bu im Kim si him segera berkelebat kedepan dan tahu-tahu sudah berdiri disamping Mao Tam.
Demontrasi ilmu meringankan tubuh yang dilakukan oleh si beruang berbulu emas yang terbang tanpa bayangan ini segera mengejutkan semua jago dari perguruan panah bercinta. Sepasang alis Ji Cin-peng juga ikut berkerut kencang. Ia lalu menyadari bahwa mereka telah berhadapan dengan musuh tangguh yang belum pernah dijumpainya sebelum ini.
Setelah mengalami sergapan sehingga mengakibatkan luka dalam isi perutnya tadi, sifat buas Mao Tam segera berkobar kembali. Sambil menjerit aneh tiba-tiba ia melejit ke udara lalu menerjang kedepan dengan kecepatan luar biasa.
Tapi dengusan tertahan tiba-tiba berkumandang tahu-tahu Mao Tam sudah roboh kembali dari tengah udara.
Sambil tertawa dingin Jit poh toan hun Kwik To segera berkata, “Kau sudah terhajar oleh ilmu pukulan Jian-si-tok-ciang yang amat beracun. Bila tidak berusaha mencegah menjalarnya racun didalam tubuhmu luka itu segera akan bekerja dan mengakibatkan keadaan yang lebih fatal.
Tiang pek sam bin tidak percaya dengan ancaman itu, sekalipun Mao Tam sendiri juga tidak tahu kalau ia sudah kena di pecundangi orang, baru saja dia bersiap-siap turun tangan lagi…..
Bu Seng sian-seng Tong Bu kong pelan-pelan tampil kedepan kemudian katanya, “Saudara Mao memang benar benar sudah dipecundangi orang cepat mundur kemari. Untung saja suhumu hadir disini. Ilmu pukulan beracun semacam itu mah masih belum cukup untuk melukai orang”
Walaupun Mao Tam adalah seorang kasar yang tak pakai, otak namun ia tak berani bergurau dengan nyawa sendiri, buru-buru dia menghimpun tenaganya siap disalurkan ke dalam badan.
“Jangan menyalurkan tenaga dalam!” tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram urat nadinya.
Mao Tam berpaling, ketika dilihatnya orang itu adalah Hui thian bit im kim si him, tanpa terasa bisiknya: ”Susiok aku sudah keracunan…”
“Cepat salurkan hawa murninya secara terbalik untuk menyerang jalan darah Hian kwan!” jerit Hui thian bit im Kim si him dengan suara tinggi melengking.
Sementara itu Ngo kok bim cun Leng Han-tang serta Im yang bim Pit Gi entah menggunakan gerakan apa, tahu-tahu sudah menghampiri Jit poh toan hun Kwik To dan berhenti kurang lebih empat kaki dihadapannya.
Ketua Thian san pay Bu seng sian-seng Tang Bu kong segera mengelas jenggotnya sambil tertawa dingin, katanya, “Delapan belas tahun berselang, dengan sekujur tubuh penuh dengan bisa Kwik heng menjagoi dunia persilatan. Tak seorang manusiapun yang tidak memberi muka kepadamu. Setelah bersembunyi selama delapan belas tahun sambil mendalami pelbagai ilmu beracun, tentunya kepandaianmu saat ini setingkat lebih hebat. Sudah lama siaute mengagumi namamu. Sungguh beruntung hari ini mendapat kesempatan sebaik ini untuk bertemu muka. Mumpung lagi ketemu, aku ingin mohon beberapa petunjuk darimu”
Jit poh toan hun Kwik To Cukup mengetahui akan kelihayan Tong Bu kong dalam ilmu pedang lagi pula sudah memiliki Sian thian kang khi yang berat, dia bersikap sangat berhati hati. “Mana, mana” katanya sambil tersenyum “kalau memang kau berniat demikian dengan pertaruhkan nyawa, aku orang she Kwik bersedia untuk mengiringi keinginanmu itu”
Tong Bu kong segera meloloskan pedangnya, lalu berkata, “Saudara Kwik silahkan meloloskan senjatamu”
”Biar aku orang she Kwik melayanimu dengan tangan kosong saja”
Tong Bu kong segera tertawa dingin, “Pedang itu tak bermata kau tidak kuatir kalau sampai terluka?” ejeknya.
“Walaupun lohu tidak menggunakan senjata tapi dalam menghadapi serangan musuh aku seringkali akan melayani juga memakai benda-benda beracun yang mematikan. Mungkin juga benda itu jauh lebih menakutkan dari pada senjata. Aku harap Tong-heng suka berhati hati didalam hal ini”
“Jikalau suatu pertarungan sudah terjadi, berarti posisi kita ibaratnya api dan air. Jika saudara Kwik memiliki ilmu beracun yang lain, silahkan saja untuk digunakan semua”
Jit poh toan hun Kwik To segera tertawa berbahak-bahak, “Haa… haa… haa… perkataan saudara Tong memang tepat sekali, sungguh membuat aku merasa kagum sekali. Harap Tong heng melancarkan serangan lebih dahulu!”
“Jika saudara Kwik memang berniat mengalah, baiklah. Daripada menolak lebih baik kuturuti saja keinginanmu itu”
Pedangnya didorong ke muka dan segera melancarkan sebuah bacokan ketubuh Kwik To.
Serangan yang dilancarkan jago kenamaan memang selalu hebat dan indah. Semua serangan pedang yang dilancarkan Tong Bu kong selalu mirip bacokan atau totokan membuat orarg sulit untuk menduga semua perubahan dalam permainan pedangnya.
Jit poh toan hun Kwik To segera terdesak sehingga harus mundur tiga langkah ke belakang
Diam diam terkesiap juga hatinya menghadapi kelihayan lawan. Sekalipun serangan dari Tang Bu kong itu tampaknya sederhana tanpa sesuatu yang aneh, sesungguhnya inilah suatu jurus pedang yang luar biasa lihaynya dengan kombinasi yang mengagumkan.
Justru dalam ilmu pedang jenis ini keistimewaannya terletak dalam kesederhanaannya, membuat siapapun akan merasa bahwa jurus tersebut merupakan suatu serangan tipuan, tapi justru tidak mudah untuk mengetahui perubahannya.
Begitu berhasil mendesak mundur Jit poh toan hun Kwik To dengan serangan kilatnya tiba tiba ketua dari Thian san pay ini, Bu Seng sian-seng Tong Bu kong maju selangkah ke depan. Pedangnya diputar secepat angin dan mengembangkan suatu serangan kilat.
Dalam waktu singkat bayangan pedang memenuhi angkasa. Deruan angin bercampur guntur menderu-deru amit memekakkan telinga.
Thian san kiam hoat yang digunakan Tong Bu kong ini sungguh luar biasa sekali kekuatannya. Sekali salah perhitungkan polisi Jit poh-toan hun Kwik To segera terjepit dibawah angin.
Dihawah serangkaian serangan kilat dari Tong Bu kong yang berbasil merebut posisi di atas angin itu, dia dipaksa hingga tak sanggup untuk melancarkan serangan balasan.
Walaupun ia sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menangkis dan berkelit, namun selalu gagal untuk meloloskan diri dari kurungan cahaya pedang lawan.
Sangkoan Im yang menyaksikan kejadian itu segera berbisik kepada Ji Cin peng, “Ilmu pedang Thian san kiam hoat dari Tong Bu kong amat ganas, jahat dan lihay. Aku kuatir kalau saudara Kwik tak sanggup untuk memperbaiki kembali posisinya”
“Tenaga dalam yang dimiliki Kwik To sangat lihay, aku pikir tak usah terlalu mencemaskan keselamatannya”
Sementara mereka berdua sedang berbicara situasi dalam tengah arena kembali telah terjadi perubahan besar.
Secara beruntun Tong Bu kong telah melancarkan tiga buah serangan berantai dengan jurus yang tangguh. Cahaya pedang yang selalu melayang amat rapat itu tiba-tiba terjadi gelombang amat besar, kemudian menciptakan selapis bayangan pedang yang segera mengurung seluruh badan Jit pon toan hun.
Sesudah didesak dan diteter terus oleh permainan pedang lawan yang gencar dan beruntun, lama kelamaan dari malunya Jit-poh toan hun Kwik To menjadi naik pitam. Hawa murninya dikipatkan ke belakang, kemudian melepaskan sebuah tenaga lembut yang memaksa pedang Tong Bu kong tergeser ke ramping
Menggunakan kesempatan itu, cepat-cepat telapak tangan kanannya diayunkan ke depan menghantam dada lawan,
Perubahan ini sama sekati diluar dugaan siapapun, sebab dalam suatu pertarungan yang seimbang, bukan suatu perbuatan yang gampang untuk menggeserkan senjata lawan dengan mengandalkan tenaga dalam.
Karena itu, dalam terkejutnya tahu-tahu pedang Tong Bu kong sudah kena digeser sejauh beberapa inci.
Pada saat itulah, tenaga pukulan yang di lancarkan Kwik To dengan disertai suara gemuruh yang keras telah manerjang tiba dengan kecepatan luar biasa.
Tong Bu kong kuatir di balik serangan yang dilancarkan Kwik To itu mengandung racun jahat, buru buru dia menghimpun tenaga khi kang nya untuk melindungi badan, terutama jalan darah kematian disekitar dada
Setelah itu, menggunakan kesempatan tadi, pedangnya diputar kesamping berbalik membacok iga kiri Kwik To.
Belum lagi ujung pedangnya menyentuh di atas iga lawan, serangan yang dilancarkan Kwik To telah bersarang telak diatas dadanya.
Terdengar dua orang itu sama sama mendengus dingin kemudian mundur tiga langkah ke belakang.
Kiranya serangan yang barusan digunakan Kwik To itu adalah ilmu pukulan Kiam goan-cing yang disertai dengan segenap tenaga dalam yang dimilikinya. Betul Tong Bu kong memiliki tenaga khikang pelindung badan namun dia toh tak tahan juga untuk membendung datangnya serangan yang dilancarkan secepat kilat itu.
Dadanya terasa bagaikan dihantam dengan martil berat, kontan hawa didalam dadanya bergolak keras. Kuda-kudanya tergempur dan tanpa terasa tubuhnya mundar beberapa langkah dengan sempoyongan.
Nyaris pukulan dari Kwik To ini membuyarkan seluruh hawa khikang pelindung badan yang dimilikinya.
Sekalipun begitu Kwik To sendiri juga kena digetarkan oleh tenaga khikang pelindung badan dari Tong Bu kong sehingga tangan kanannya menjadi kaku dan kesemutan seluruh tulang pergelangan tangannya terasa amat sakit bagaikan mau retak. Sambil mendengus dingin, dia ikut pula mundur dua langkah.
Setelah terjadi bentrokan secara kekerasan, dalam hati masing-masing pihakpun sudah mempunyai gambaran atas kekuatan lawan, diam-diam mereka mengagumi kekuatan masing-masing pihak.
Tapi apapun diantara mereka berdua tak mau menunjukkan kelemahannya dengan begitu saja, setelah mengatur pernapasan sebentar, sekali lagi mereka menerjang maju ke depan.
Tadi, KwiK To sudah merasakan pahit getirnya orang yang kehilangan posisi, sekarang kewaspadaannya dipertingkat, ia tak berani gegabah lagi menghadapi musuhnya yang tangguh itu.
Begitu turun tangan, dia lantas menggunakan ilmu pukulan Kiam goan ciang yang sudah dilatihnya selama puluhan tahun itu untuk menghadapi lawan.
Dalam waktu singkat bayangan telapak tangan yang melakukan gerakan seperti menotok, membacok, seperti juga membabat atau menusuk.
Sesungguhnya ilmu pukulan yang sangat aneh ini merupakan ilmu yang paling diandalkan olehnya sepanjang hidup. Bilamana keadaan tidak terlalu mendesak, dia enggan untuk melakukannya secara sembarangan.
Tong Bu kong masih tetap memberikan perlawanannya dengan memainkan ilmu pedang Thian san kiam hoat.
Rangkaian ilmu pedang ini sungguh luar biasa hebatnya, semakin digunakan semakin banyak gerakan aneh yang membuat orang keheranan dan tidak habis mengerti kearah mana tujuannya.
Tiga puluh gebrakan kemudian, angin serangan makin memekikkan telinga, daya kekuatan yang tergencar dari lingkaran pedang pun tiada hentinya mengembang semakin meluas, ternyata Kwik To kembali sudah dikurung oleb lapisan cahaya pedangnya itu.
Namun Kwik To sama sekali tidak menjadi gugup atau gelagapan oleh karena kekuatan hawa pedang lawan. Sepasang telapak tangannya masih menyapu dan menyambar tiada hentinya bagaikan dua bilah pedang tajam, semua serangannya ditujukan ke jalan darah kematian disekujur badan Tong Bu kong.
Perlu diketahui ilmu pukulan Kiam goan ciang miliknya ini bukan saja sukar diduga perubahannya, lagipula dari setiap serangan yang dilancarkan tentu tercipta bayangan tangan ibaratnya beribu-ribu batang pedang yang menyerang bersama bukan cuma membuat mata orang menjadi silau, pun membuat orang tak habis mengerti ke arah mana saja sasarannya tertuju.
Rupanya kedua belah pihak telah menggunakan segenap ilmu silat andalannya untuk bertarung. Hal mana membuat para jago yang mengikuti jalannya pertarungan itu harus menahan napas dengan perasaan tegang, suasana menjadi sepi dan tak kedengaran sedikit suara pun.
Ditengah pertarungan yang sedang berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar Jit poh toan hun Kwik To tertawa dingin…
Tangan kirinya diayunkan ke muka, puluhan buah titik cahaya biru yang amat lembut, tanpa menimbulkan sedikit suarapun mendadak meluncur ke tubuh Tong Bu kong.
Tempo dulu, Kwik To dengan mengandalkan senjata rahasianya yang lembut, kecil beracun ini, Hu hoat ciam (jarum rambut) pernah menjagoi dunia persilatan. Entah berapa banyak jago persilatan yang sudah tewas terkena jarum lembut bagaikan rambut yang sangat beracun mi.
Walaupun Tong Bu kong mempunyai hawa khikang pelindung badan, rupanya ia agak keder juga menghadapi senjata rahasia lembut yang sangat beracun ini. Ia kuatir kalau hawa khikang pelindung badannya itu tidak mampu untuk membendung kelembutan senjata rahasia lawan.
Sambil membentak keras, buru-buru ia mundur tiga langkah ke belakang. Dalam waktu yang amat singkat inilah dia telah menyalurkan segenap hawa murni yang dimilikinya ke dalam tubuh pedang, lalu menciptakan berkuntum-kuntum bunga pedang serta gelombang hawa pedang yang kuat untuk merontokkan puluhan batang jarum yang lembut itu. Kwik To segera tertawa dingin, jengeknya, “Sanggupkah kau untuk menahan ke dua ratus enam puluh batang jarum rambut yang kulepaskan?”
Seraya berkata, lengan kirinya diayunkan sebanyak tiga kali, tiga gelombang jarum beracun segara beruntun segera melancar ke tengah udara….
Dibawah cahaya matahari, tampak kilatan cahaya biru yang menggidikkan hati beterbangan di angkasa.
ooOOOoo
RUPANYA ilmu melepaskan senjata rahasia yang ia miliki benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan. Dalam tiga gelombang serangan jarum rambut yang dilancarkan itu, hampir beratus ratus batang senjata meluncur bersama, begitu rapatnya serangan tersebut hingga mirip dengan datangnya hujan gerimis. Sungguh membuat orang merasa susah untuk menghindarinya.
Retapa terkesiapnya Tong Bu kong ketika dilihatnya pihak lawan secara beruntun melancarkan tiga gelombang senjata rahasia, segera pikirnya dalam hati, “Entah masih ada betapa banyak senjata rahasia beracun yang dimilikinya? Jika serangan ini di lancarkan secara beruntun dalam beberapa gelombang, sekalipun tak sampai terluka oleh jarum beracun itu, paling tidak aku akan kehilangan banyak sekali tenaga dalam jika pertarungan kemudian dilanjutkan. Sudah pasti akulah yang menderita kerugian besar. Aaaai….. daripada kehilangan banyak tenaga dalam lebih baik aku beradu jiwa saja dengan mencoba pedang terbang yang baru kuyakini itu…..”
Berpikir sampai disini, dia lantas menarik napas panjang panjang.
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes