Monday, June 27, 2011

walet besi part4

"Aku tidak yakin aku kuat mengikutimu lari kesana"
Tu Liong menimbang-nimbang keadaan ini. setelah
beberapa lama, Tu Liong berkata padanya, "Paman Tan,
sebaiknya kau pergi mencari kereta kuda untuk
mengantarkanmu ke kediaman Leng Taiya dan menunggu Wie
Kie-hong. Setidaknya paman aman berada disana. nanti kita
akan bertemu lagi. aku hanya khawatir Cu Siau-thian diamdiam
sudah mengutus seseorang mengikuti anda. Kalau
demikian, rasanya anda malah lebih celaka"
Tan Po-hai memang orang yang sungguh besar hati. dia
hanya berkata singkat
"Hidup mati sudah ada jodohnya. Kaya miskin juga sudah
diatur langit. Kalau memang aku sudah ditakdirkan mati,
bgaimanapun juga aku tidak dapat melarikan diri, aku
khawatir masalah di dalam rumah Bu Tiat-cui bisa menjadi
runyam. Kalau aku berada disisimu, aku khawatir aku hanya
akan menyusahkan kalian."
"Paman Tan, kau harus berhati-hati. setelah nanti sampai
ke kediaman Leng Taiya, jangan pergi kemana-mana lagi."
Akhirnya mereka berdua menghentikan sebuah kereta kuda
yang lewat, Tu Liong mengantar Tan Po-hai naik kereta, dan
memandang kereta pergi menjauh.
Setelah kereta hilang dari pandangan, Tu Liong
melanjutkan larinya ke gang San-poa.
Angin malam berdesir lembut, cahaya rembulan yang
tertutup awan perlahan-lahan kembali menyinari jalan yang
sedang ditempuhnya.
Mendadak dari kejauhan dia melihat bayangan berwarna
putih.
Pertama dia pikir dia sudah salah melihat. Apakah dia
sedang melihat hantu?
Tu Liong menegadah melihat langit.
Memang bulan sedang purnama.
Dia pernah mendengar, katanya ketika sedang bulan
purnama atau bulan sedang gelap, banyak kejadian kejadian
mistis yang sering terjadi.
Tapi dia yakin dia tidak sedang salah lihat, dia terus berlari
mendekati bayangan putih itu.
Dalam hatinya dia merasa sedikit seram juga, namun
setelah sangat dekat, hatinya kembali merasa tenang.
Ternyata memang bukan sosok hantu.
Itu adalah seorang calon nikoh berkepala gundul.
Memang Hai Ceng yang biasa dikenakan para calon nikoh
selalu berwarna putih atau hitam.
Tu Liong bersyukur nikoh ini tidak mengena-kan yang
berwarna hitam.
Melihat Tu Liong berlari mendekat, dia menempelkan kedua
telapak tangan dan membungkuk menyapa dengan ramah.
"Omitohud..."
Tu Liong merasa kikuk juga. Namun dia tahu tata krama
untuk menyapa para nikoh seperti ini.
Dia mengikuti apa yang dikerjakan nikoh itu.
"Omitohud... nikoh datang jauh-jauh ketempat seperti ini
ditengah malam begini ada urusan apa?"
"Apakah Tuan muda tahu dimana aku bisa menjumpai Cu
Siau-thian?"
0-0-0
Dalam gelap malam, Wie Kie-hong terus berlari bagaikan
orang kesurupan. Didalam kepalanya berseliweran berbagai
macam pikiran, dugaan dan pertanyaan.
Air mata terus berderai turun.
Dia sudah jenuh merasa bingung dengan semua
pertanyaan dan tipuan. Tampaknya tidak ada satupun urusan
yang sungguh masuk logikanya.
Mendadak dia mendapat satu ingatan.
Orang yang ditemui di dalam kediaman Bu Tiat-cui, yang
bersuara serak dan beralis putih... apakah orang itu adalah
ayahnya?
Rasanya dia sudah beberapa kali mendengar suara
seraknya.
Rasanya dia adalah orang yang berbisik pada dirinya
didalam kamarnya ketika jendela kamar tidur mendiang ayah
tirinya didongkel orang.
Suara yang sama yang sudah menyapanya didalam
perjalanannya menyerahkan payung kertas pada nona Thiatyan.
Mengapa dia tidak memikirkan hal ini ketika dia sedang
berhadapan dengannya?
"Mana mungkin aku bisa terpikirkan kalau ayahnya
mendadak muncul dihadapannya?" katanya pada diri sendiri.
UGH! Kalau memang demikian, dia sudah melewatkan
sebuah kesempatan besar.
Kesempatan besar yang menjadi sebuah tragedi besar.
Memikirkan bahwa ayahnya sekarang mungkin sudah tiada
karena kebodohannya, Wie Kie-hong semakin menggila. Dia
mempercepat larinya sampai pinggangnya terasa linu.
Dia tidak memperdulikan nafasnya yang memburu. Tujuan
larinya tidak lain adalah kediaman Bu Tiat-cui.
Malam semakin larut, suasana pun sangat sunyi. Suasana
dalam gang San-poa juga sama heningnya dengan tempattempat
lainnya. Tidak terasa hawa pembunuhan sama sekali.
Pintu masuk depan taman Bu Tiat-cui setengah terbuka.
Tapi didalamnya tidak terdengar suara apa-apa. Wie Kie-hong
menunggu sampai nafasnya kembali normal. Barulah dia
berani melangkahkan kaki masuk kedalam.
Lampu-lampu didalam rumah sudah dinya-lakan, namun
dia tidak menjumpai seorang pun.
Tirai yang menutup pintu masuk ruang samping separuh
tersibak membuka. Mayat Bu Tiat-cui masih terbujur kaku di
tempat dia meninggalkannya tadi.
Ternyata selain mayat itu masih ada orang lain yang
sedang duduk di bangku yang biasa diduduki oleh Bu Tiat-cui.
Dia duduk bersandar, kepalanya tertegadah kebelakang.
Tangan kanannya memegang dada. Darah segar belepotan
membasahi tangannya.
Wie Kie-hong berusaha melihatnya dengan lebih teliti.
Ternyata orang ini masih bernafas walau sangat perlahanlahan.
Wie Kie-hong ingin segera masuk. Namun dia tiba-tiba
teringat Tu toako. Dia selalu berhati hati. kalau misalnya dia
sedang ada bersamanya, dia pasti akan menarik bahunya. Dia
akan memperingatkannya agar lebih waspada. Karena itu Wie
Kie-hong meneliti ke empat penjuru ruangan sampai jelas,
setelah itu dia segera berjalan mendekati orang yang terluka
ini.
Kepala Wie Kie-hong sudah terasa sangat panas. Dia
bagaikan semut didalam kuali. Dia mempelajari raut muka
orang yang terluka ini. Alisnya berwarna putih, namun
matanya tertutup rapat, ternyata dia adalah orang yang tadi
sudah menyuruhnya untuk segera pergi.
Tiba-tiba suara Boh Tan-ping teriang nyaring didalam
telinganya:
"Kalau kau cepat pergi kesana, kau mungkin masih sempat
mengantar kepergiannya"
Dia pasti Wie Ceng ayah kandungnya.
Segera Wie Kie-hong menjulurkan tangan untuk memeriksa
luka yang dideritanya.
Mendadak orang ini meloncat berdiri dan menyanderanya
seperti ketika dia menyandera Bu Tiat-cui.
Orang itu ternyata sama sekali tidak terluka, berpura-pura
sekarat dan menggunakan kesempatan untuk menangkapnya
adalah tindakan yang sangat picik.
Ini jelas adalah tipuan Cu Siau-thian yang lain.
Wie Kie-hong kembali merasa bimbang. Apakah orang ini
sungguh adalah ayahnya? Kalau memang benar, untuk apa
dia berbohong pura-pura sekarat? Bagaimana kalau
seandainya dugaannya salah?
Gerakannya sangat cepat, kekuatannya pun luar biasa.
Namun orang itu tidak tampak meng-gunakan tenaga apaapa.
hanya saja setelah bahunya dicengkram, betapapun Wie
Kie-hong berusaha melepaskan diri, dia tidak bisa.
"Mengapa kau kembali kesini?" orang itu bertanya.
"Aku mendengar kalau anda terluka, karena itu aku segera
berlari kemari"
"Kalau kau berbaik hati pada orang lain, kau sudah
menjahati dirimu sendiri"
Ternyata orang ini masih sempat memberikan petuah
padanya.
"Kau yang sudah datang sendiri kemari mengantar nyawa.
Jangan menyalahkanku"
Entah bagaimana caranya, namun hati Wie Kie-hong
mendadak menjadi dingin. Dia berbicara dengan tenang:
"Aku punya satu pertanyaan untukmu”
“Katakanlah”
“Siapa namamu?"
"Memang ada urusan apa denganmu?”
“Ada urusan yang sangat besar, aku segera datang kemari
karena seorang keluarga sedang terluka disini”
“Seorang keluarga? Keluarga siapa?”
“Aku" Wie Kie-hong menjawab dengan suara keras
"Apa hubunganmu dengannya?”
“Dia adalah ayahku"
"Coba kamu lihat sendiri, apakah aku mirip ayahmu?"
Hati Wie Kie-hong sungguh terasa dingin. Katakanlah
ayahnya tidak ingin mengakuinya, dia tidak mungkin
memperlakukannya seperti ini, dan berkata seperti ini
padanya.
"Tadi Boh Tan-ping sudah memberitahuku kalau ayahku
sedang terluka disini. Karena itu aku segera pergi kemari.
Kalau tidak demikian, untuk apa aku datang kembali masuk
kedalam bahaya setelah kau menyuruh aku pergi menjauh?"
"Ternyata kau sudah ditipu"
"Ini adalah balas budi seorang anak"
"Siapa nama ayahmu?"
"Wie Ceng"
"Wie Ceng? Siapa yang memberitahumu kalau ayahmu
masih hidup?"
"Sudah banyak orang yang memberitahuku. Bahkan Thiatyan
pun mengatakan padaku"
"Aku beritahu. Ayahmu sudah meninggal dari dulu"
"Betulkah? Dimana dia meninggal?"
"Seperti kabar yang beredar. Dia meninggal ketika pergi
keluar kota menunaikan tugas"
"Bagaimana dia meninggal?"
"Tentu saja dibunuh orang"
"Siapa yang sudah membunuh ayahku?"
"Sebenarnya ini adalah sebuah rahasia besar, namun
sekarang sepertinya sudah tidak penting lagi.... orang yang
membunuh ayahmu adalah Cu Siau-thian"
"Mengapa? Mengapa dia membunuh ayah-ku?"
"Menurut dugaanku, Leng Taiya sudah mengutusnya pergi
keluar kota untuk menyelidiki satu hal. Kalau hal ini memang
diketahuinya, pasti akan merugikan Cu Siau-thian."
"Kalau begitu siapa dirimu?"
"Aku adalah orang kepercayaan Cu Siau-thian. Aku juga
pembunuh bayarannya"
"Tapi tadi kau sudah melepaskan aku dan kakak...
"Itu karena aku masih memiliki hati nurani. Aku pasti
menolong pemuda yang berjiwa luhur..."
"Ada pepatah yang mengatakan, kalau membantu
seseorang, bantulah sampai selesai. Kalau mengantarkan
seorang Buddha, antarlah sampai ke barat."
"Sayang aku memiliki prinsip. Kalau mencoba membunuh
orang, aku tidak akan mencoba membunuhnya untuk kedua
kali. kalau menolong orang, aku pun tidak akan menolong
kedua kalinya. Lagipula tadi Cu Taiya tidak tahu kalau aku
ada kesempatan untuk membunuhmu. Sekarang jebakan ini
sudah dipersiapkan olehnya. Kalau aku tidak membunuhmu,
dia pasti tidak akan mengampuni diriku"
"Aku masih ingin bertanya padamu, jawab dengan jujur
sebagai permintaan terakhirku"
"Silahkan"
"Akhir-akhir ini kau sudah membunuh berapa banyak
orang?"
"Tidak sedikit”
“Siapa saja?"
"Kebanyakan yang mati sudah dibunuh olehku”
“Hui Taiya, Leng Taiya, masih ada Hiong-ki?”
“Tidak salah"
"Mengapa harus membunuh mereka?"
"Aku hanya membunuh berdasarkan perintah, kalau kau
mau tahu alasannya, sebaiknya kau bertanya pada Cu Siauthian."
"Apakah sekarang kau mendapat perintah untuk
membunuh aku dan Tu toako?"
"Betul. Sebentar lagi Tu Liong pasti akan menyusul kemari"
"Kemana perginya Thiat-yan?"
"Thiat-yan?" orang beralis putih ini tertawa dingin "HUH!
Seharusnya dia sekarang sedang ada di sebuah kuil dan
menjadi seorang nikoh"
Wie Kie-hong mengernyitkan kening.
"Apa maksud kata-katamu? Tadi dia masih ada disini
berdebat dengan Cu Siau-thian"
"Perempuan itu bukan Thiat-yan yang sesungguhnya"
"Kalaubegitu siapa dia?"
"Dia adalah anak kandung Cu Siau-thian. Hanya saja
rahasia itu tidak pernah diberitahukan pada siapapun"
Sekarang semuanya tiba-tiba menjadi jelas bagi Wie Kiehong.
ternyata dia dan Tu Liong sudah ditipu dari awal. Hanya
saja mereka tidak menyadarinya.
"Aku tidak mengerti. Semua orang sudah membuat
masalah ini menjadi pelik dan berputar-putar. Untuk apa
melakukannya??"
"Baiklah. Aku tidak ingin kau terlahir lagi sebagai hantu
penasaran. Sebaiknya aku sekaligus menjelaskannya padamu.
Pada waktu itu orang orang mencelakai Tiat Liong-san
memang demi merebut harta yang dimilikinya. Sebuah berlian
raksasa berwarna merah darah, hanya saja setelah kejadian
itu, tidak seorangpun menemukan berlian tersebut. Cu Siauthian
selalu menduga kalau berlian itu sudah jatuh di tangan
Leng Souw-hiang. Hanya karena waktu itu kedudukan Leng
Souw-hiang sangat tinggi, Cu Siau-thian hanya bisa menelan
ludah dan memendam dendam. Dia tidak berani berbuat apaapa.
tidak lama pemerintahan berdiri. Semua kuasa yang
dimiliki oleh Leng Souw-hiang jadi hilang. Barulah Cu Siauthian
kembali mengusut masalah ini. Tiba-tiba dia menyadari
kalau Tiat Liong-san tidak pernah memiliki berlian merah
darah raksasa sama sekali...."
Wie Kie-hong mendengarkan penjelasan ini dengan penuh
konsentrasi. Sepertinya dia mendadak lupa kalau nyawanya
sedang berada di ujung tanduk.
Orang itu melanjutkan kata-katanya:
"setelah Cu Siau-thian mengerti tentang hal ini, dia
berpura-pura berkata kalau berlian merah darah itu ada
didalam tangannya, berdasarkan janji yang sudah dibuat
sebelumnya, seharusnya hasil penjualan berlian itu dibagi
berlima. Seorang seharusnya mendapat sekitar lima puluh ribu
uang orang luar negeri. Namun dia tidak bersedia
membayarkan uang sebanyak itu. dia lalu mencoba
melemparkan kesalahan pada Leng Souw-hiang"
"Dan Leng Souw-hiang setuju pada keinginannya begitu
saja?"
"Leng Souw-hiang sangat menyukai berlian dan permata.
Tentu saja dia menyetujuinya.???
Dia lalu membuat siasat. Dia menyuruh anak
perempuannya berpura-pura menjadi nona Thiat-yan dan
keluar membereskan masalah. Dia ingin membuat Leng Souwhiang
yang penasaran tidak lagi mengejar-ngejar masalah
berlian ini. pada awalnya, Cu Siau-thian hanya ingin
membereskan orang-orang ini. dia tidak menyangka kalian
berdua terus mengejar masalah ini dan tidak sedikitpun
melepaskannya. Akhirnya Cu Siau-thian terpaksa membunuh
kalian juga"
Wie Kie-hong merasa ingin menangis keras-keras, namun
kesempatan untuk menangis pun sudah meninggalkannya.
Orang itu tidak berhenti menjelaskan:
"Hiong-ki juga terus mencoba menyelidiki tentang kematian
Tiat Liong-san. Tidak disangka pendekar tua itu juga sudah
berhasil ditipu Cu Siau-thian. Dia salah menyangka nona walet
yang palsu sebagai Thiat-yan anak kandung Tiat Liong-san
yang asli. Terakhir dia harus mati terbunuh..."
Hening beberapa saat. Sepertinya semua penjelasan sudah
dikatakan oleh orang ini.
"Sekarang sudah tiba waktunya...." tiba tiba dia berkata
sambil mencabut sebuah pisau dari sarung yang terikat di
pinggangnya.
Pisau yang dipegang tangan kanannya bersinar kebiruan
dibawah sinar lampu kamar.
Pisau ini memiliki ornamen yang unik.
Mendadak mata Wie Kie-hong bersinar sinar. Dia segera
bertanya:
"Darimana kau mendapat pisau itu?"
"Ini adalah barang jarahan kemenangan pertarungan"
"Barang jarahan?"
"Kejadiannya sudah sangat lama. bertahun tahun yang lalu,
Cu Siau-thian sudah menyuruhku membunuh seseorang. Aku
menemukan pisau unik ini padanya. Karena itu aku
mengambilnya dan menggunakannya sampai sekarang."
"HUH!! Ternyata kau yang sudah membunuh ayahku!"
mendadak emosi Wie Kie-hong meledak. Dia tidak
menghiraukan kalau dia bisa mati setiap saat, "sekarang aku
akan membuat perhitungan denganmu"
"Wie Kie-hong, sebenarnya karena aku sudah membunuh
ayahmu, aku tidak ingin membunuhmu lagi. Karena itu tadi
aku sudah menolongmu sekali. Namun tidak diduga jalan
langit yang aman tidak kau pilih, kau malah menyusuri jalan
neraka yang menuju kematian. Ini tidak bisa menyalahkanku"
Orang yang beralis putih menempelkan pisau Wie Ceng ke
leher Wie Kie-hong.
Air mata Wie Kie-hong meleleh, tidak disangka dia akan
menyusul ayahnya, bahkan mati dibunuh oleh pisau milik
ayahnya sendiri, dia memendam dendam yang mendalam. Dia
tidak rela semua ini berakhir begitu saja, namun dia tidak bisa
berbuat apa-apa. Wie Kie-hong hanya bisa menutup mata dan
menarik nafas dalam dalam.
"TAHAN!!"
Mendadak terdengar teriakan keras dari luar kamar. Suara
itu adalah suara Tu Liong.
"Pembunuh beralis putih! lepaskan dia!"
Wie Kie-hong terbengong-bengong melihat Tu toako yang
dipujanya selama ini.
"Untuk apa aku mematuhimu?"
"Ingatkah kau pernah berkata kalau kau masih mengabdi
padaku sampai batas waktu kontrak?"
"Tapi kau yang mengatakan kalau kau tidak butuh
bantuanku lagi"
ketika mereka berdua sedang berdebat, konsentrasi
pembunuh beralis putih sudah teralihkan. Wie Kie-hong tibatiba
teringat pada Bu Tiat-cui. Dia memanfaatkan kesempatan
ini untuk melepaskan diri. seperti Bu Tiat-cui waktu itu, segera
dia mengayunkan tangannya ke arah selangkangan pembunuh
beralis putih.
"BUUUKK!!!"
Pembunuh beralis putih sama sekali tidak menyangka Wie
Kie-hong akan berlaku seperti itu. dia langsung merasa
kesakitan yang teramat sangat sampai dia nyaris tidak bisa
bernafas. Cengkraman tangannya pada bahu Wie Kie-hong
segera melonggar, dan dia menunduk kesakitan.
Wie Kie-hong segera bergeser ke sisi Tu toakonya.
Mendadak dua buah bayangan melesat masuk ke dalam
ruangan, sebentar saja Cu Siau-thian dan Thiat-yan sudah
berdiri dihadapan mereka. Tidak... bukan nona Thiat-yan. Dia
seharusnya bermarga Cu.. jadi namanya adalah Cu Yan
Cu Siau-thian tertawa dingin dan berkata:
"Tu Liong, Wie Kie-hong, kalian berdua sungguh dua anak
kecil yang tidak tahu diuntung. Aku sudah berulang kali
mencoba melarang kalian ikut campur dalam urusan ini,
namun kalian tidak pernah mau mendengarkan, sekarang
mengapa kalian tidak memejamkan mata kalian dan mati baikbaik?
ini kesempatan terakhir mema tuhi permintaanku"
Tu Liong memohon Cu Siau-thian dengan suara memelas:
"Cu Taiya, saat itu kau sudah membunuh ayah kandung
Wie Kie-hong, apakah kau masih tega membunuhnya lagi?
Lepaskanlah Kie-hong, aku rela mati untuknya. Kalau aku mati
semua akan baik-baik saja. Anggaplah ini sebagai cara untuk
membalas semua hutang budiku"
"HUH! Kalau membasmi rumput liar tidak sampai
keakarnya, musim semi nanti pasti akan tumbuh tunas baru"
Ketika semua orang sedang lengah seperti ini, tiba-tiba Wie
Kie-hong mengeluarkan sebuah pisau kecil yang
disembunyikannya. Dia segera melempar-kan pisau ini ke arah
Cu Siau-thian.
Pisau ini melesat bagaikan panah yang terlepas dari
busurnya.
Tidak ada seorang pun kecuali Wie Kie-hong yang menduga
pisau ini datang meluncur.
Namun pisau ini tidak berhasil mencapai sasaran.
"TRAAANGG"
Tiba-tiba terdengar suara besi beradu dengan besi.
Pedang gigi gergaji Boh Tan-ping sudah menepis pisau
sesaat sebelum mengenai Cu Siau-thian.
Entah kapan atau dari mana dia masuk, namun
kenyataannya dia ada didalam bersama mereka.
Situasi sangat tidak menguntungkan, kalau mereka harus
bertarung sekarang posisinya empat orang melawan dua.
"Kie-hong, ayo cepat lari" Tu Liong tiba-tiba menjerit.
"Tidak...." Wie Kie-hong menjawab dengan
suara menyayat hati, "Tu toako, kita mati bersama-sama.
Biarkan orang-orang jahat ini melihat kematian kita dan
menyesali perbuatannya"
"Hahahahahaha..." Cu Siau-thian tertawa keras-keras
bagaikan orang gila.
Ditengah tawanya yang menggelegar, tiba-tiba terdengar
suara nyaring seorang perempuan yang terdengar lembut
"Omitohud"
"Siapa disana?" segera Cu Siau-thian bertanya Seorang
perempuan berpakaian serba putih dan berkepala botak
memasuki ruangan, perempuan ini masih berusia sangat
muda, namun kedua matanya bersinar terang bagaikan api
yang berkobar.
Tampaknya kecuali Tu Liong dan pembunuh beralis putih,
semua orang memandang ke arah nikoh perempuan itu
dengan tatapan kebingungan.
Tu Liong memperkenalkan dirinya dengan singkat:
"Beliau adalah anak perempuan asli Tiat Liong-san yang
bernama Thiat-yan. dia bercerita semenjak kecil, sudah
tertarik dengan ajaran agama Buddha. dan sangat mencintai
ayahnya Tiat Liong-san. Ketika ayahnya dicelakai, dia
mendapat pukulan batin yang sangat keras. Namun dia juga
sadar kalau peristiwa itu dapat dipandang dari sudut pandang
yang lain. Itu adalah kesempatan baginya untuk mencapai apa
yang diinginkannya. Pada akhirnya dia memutuskan untuk
pergi ke kuil dan menjadi Nikoh sesisa hidupnya."
Rupanya semua orang sudah mendengarkan ceritanya
dengan sungguh-sungguh.
Nikoh ini hanya membungkuk dalam-dalam sebagai tanda
salam.
Sekarang semuanya sudah berakhir.
Semua kartu sudah terbuka, dan semua orang sudah
terkumpul di dalam kamar tempat semua orang dibunuh.
Ke empat orang, Cu Siau-thian, Thiat-yan gadungan, Boh
Tan-ping dan pembunuh beralis putih, berdiri bersebelahan
dan menatap Tu Liong, Wie Kie-hong dan Nikoh yang berdiri
sebelah menyebelah disebrang mereka.
Yang tersisa hanyalah pertarungan terakhir.
Wie Kie-hong menatap pembunuh beralis putih dengan
tatapan tajam. Dia menyimpan dendam yang besar padanya.
Dia sudah menipunya selama ini dan dia pula yang sudah
membunuh ayah kandungnya Wie Ceng. Sekarang dia harus
membalaskan dendam dan merebut kembali pedang
pusakanya.
Tu Liong juga menatap Boh Tan-ping dengan tatapan
tajam. Boh Tan-ping tampak menghindari tatapannya. Bahu
kanannya masih terasa nyeri. Daging yang sudah lepas tidak
bisa dipasang kembali dengan mudah. Namun tetap suatu
saat bisa pulih. Hanya saja rasa kesal yang ada didalam hati
tidak akan hilang kalau tidak terlampiaskan. Tu Liong tidak
sungguh ingin membunuhnya. Dia berharap Boh Tan-ping bisa
merubah jalan hidupnya dan berbuat baik di kemudian hari.
Nikoh tidak berambut, berpakaian serba putih hanya
menatap lantai. Dia tidak melihat mata siapa-siapa. Sebaliknya
nona Thiat-yan gadungan yang menatap dirinya dengan
tajam. Dia tidak suka Nikoh ini muncul ditengah acara dan
membongkar jati diri aslinya. Dia tahu kalau menyerang
seorang nikoh adalah dosa, namun dia tidak
mengindahkannya. Dia tahu nikoh juga manusia, dan manusia
yang satu ini adalah manusia yang sedang dipalsukan dirinya.
Mereka semua sudah memilih lawannya masing-masing
bahkan sebelum mereka memasuki ruangan tempat
pertarungan terakhir ini. Sepertinya semuanya sudah diatur
oleh takdir.
Cu Siau-thian melihat kiri dan kanan, menyadari kalau
ketiga anak buahnya akan melawan ketiga orang pemuda
yang pernah dekat dengan dirinya. Dia hanya tertawa dingin.
Tawanya sangat panjang dan tanpa berhenti. Untuk saat ini
dia tidak memiliki siapapun untuk dilawan.
Ketika tawa Cu Siau-thian masih membahana, semua orang
bersiap-siap untuk menghadapi lawannya masing-masing.
Suasana menjadi tegang. Tawa Cu Siau-thian menjadi aba-aba
dimulainya pertarungan terakhir. Setelah tawa Cu Siau-thian
terhenti, pertarungan terakhir pun dimulai.
0-0-0
Nikoh tidak berambut masih menatap lantai ketika tawa Cu
Siau-thian berhenti. Sementara itu Thiat-yan gadungan sudah
meluncur ke arahnya dengan teriakan lengking tinggi khas
perempuan, pisau kecil yang tajam sudah terhunus ke depan.
Mendadak nikoh menutup matanya dan mengangkat
kepala. Dia kembali mengucap "Omitohud" dan mendadak
membuka matanya. Matanya berkilau terang. Mata ini
menatap mata Thiat-yan palsu dengan tajam.
Nikoh sudah disumpah untuk meninggalkan hidup
keduniawian dan berlatih diri. Tampaknya nikoh ini sudah
melatih diri dengan baik. dia memiliki kekuatan batin untuk
mengelabui lawan yang memandang matanya.
Setelah Thiat-yan palsu memandang matanya, dia tampak
seperti orang yang kebingungan. Dia berhenti dan
memandang ke sekeliling, nikoh ini tidak membuang waktu.
Setelah Thiat-yan palsu terkena hipnotisnya, dia kembali
menunduk memandang lantai dan berjalan menuju Cu Siauthian.
Pertama-tama Cu Siau-thian tampak kebingung an melihat
tingkah anak perempuannya, dan sekarang dia tampak mulai
gemetar ketakutan.
Setelah nikoh itu sampai ke hadapannya, dia kembali
menutup mata dan menegadahkan mukanya pada Cu Siauthian.
Kembali dia berkata "Omitohud" dan mem-buka mata,
matanya kembali berkilau.
Cu Siau-thian tampak terhuyung-huyung.
Nikoh ini hanya menutup mata dan berjalan kembali ke
tempatnya semula.
Dari sampingnya terdengar suara jeritan kesakitan Tu
Liong. Setelah itu jeritan panjang pembunuh beralis putih
yang memilukan. Tidak lama kemudian, suara jeritan lengking
Thiat-yan palsu.
Nikoh ini menghembuskan nafas yang panjang dan
berkata:
"Omitohud... jaring takdir memang tidak rapat, namun
tidak seorang pun yang bisa menembusnya."
0-0-0
Apa yang telah terjadi?
Saat itu Thiat-yan palsu memegang pegangan pisau dibalik
bajunya ketika Cu Siau-thian ayah kandungnya tertawa
panjang. Dia mendelik garang ke arah Nikoh tidak berambut.
"Dasar botak sialan" umpatnya dalam hati, 'Aku akan
membuat bajumu menjadi merah hari ini.'
Dia sudah memasang kuda-kuda bersiap untuk menerjang
cepat ke arahnya.
Ketika tawa Cu Siau-thian terhenti, dia tidak
memperhatikan apa-apa lagi.
Yang ada dalam matanya hanyalah bayangan tubuh nikoh.
Dia segera meneriakkan jerit peperangan, dan
menghentakkan kaki belakangnya dengan kuat dan segera
meluncur kedepan.
Dia berharap dia bisa melihat rasa takut yang mendalam
pada mata nikoh itu
Oleh karena itu dia tidak lepas-lepasnya memandang
kepala nikoh itu, berharap dia menegadahkan kepala dan
melihat matanya.
Harapannya terkabul
Tidak berapa lama, nikoh itu mengucapkan "Omitohud" dan
menegadahkan kepala. Namun ternyata dia masih
memejamkan matanya.
Thiat-yan palsu sempat bingung, 'Apa apaan ini?' umpatnya
dalam hati.
Namun tiba-tiba saja dia membuka matanya.
Thiat-yan palsu sempat merasa kaget.
Mata nikoh itu tampak bersinar terang bagaikan cahaya
matahari.
Mendadak nikoh ini menghilang dari pandangannya.
Thiat-yan palsu terpaksa menghentikan langkahnya.
Dia memandang berkeliling kebingungan berusaha mencari
kemana nikoh ini pergi.
Dia sempat melihat ayah kandungnya untuk membantunya
menunjuk dimana nikoh ini.
Tapi ternyata ayahnya pun sama-sama tampak
kebingungan.
Belum lagi Thiat-yan palsu memaklumkan rasa bingungnya,
dia bertambah gugup.
Entah mengapa ayahnya tiba-tiba gemetar ketakutan dan
lalu tampak terhuyung-huyung tanpa sebab.
Dia bermaksud berjalan mendekati ayahnya untuk
memeriksa apa yang salah dengan dirinya.
Mendadak nikoh itu muncul dihadapannya.
Thiat-yan palsu sedikit merinding.
Dia tidak menyangka nikoh memiliki kekuatan batin untuk
menghilang dan muncul begitu saja.
Tapi dia merasa nikoh itu tetap saja manusia biasa yang
tidak bisa ilmu silat.
Karena itu dia kembali melaju menyerang nikoh dengan
menghunuskan pisau tajam yang masih dipegangnya.
Namun belum sempat pisau ini menembus dada musuhnya,
tiba-tiba saja dia merasa ngilu yang dahsyat di bagian
tubuhnya.
Sebuah jeritan yang memilukan terlepas dari mulutnya.
Ternyata Cu Siau-thian ayahnya sendiri sudah berada
didekatnya dan menancapkan sebatang jarum besi yang
panjang ke dalam jalan darah mematikan di tubuhnya.
Tangan dan kakinya segera terkulai lemas, tidak memiliki
tenaga untuk terus berdiri.
Dia segera ambruk ke tanah bagaikan seonggok daging
tanpa tulang.
Mendadak Cu Siau-thian tampak sadar dari perbuatannya.
Dia lalu jatuh tersungkur dihadapannya dan menangis
keras.
Tidak lama terdengar suara jeritan Tu Liong d isusul
dengan suara jeritan pembunuh beralis putih.
Setelah itu terdengar nikoh berkata-kata.
0-0-0
Sedang kejadian yang dialami Cu Siau-thian adalah, dia
sendiri merasa sekarang dia tidak mungkin kalah. Semua
orang sudah mempunyai lawannya masing-masing. Dia hanya
perlu menyak sikan pertarungan terakhir ini dan membantu
bila dibutuh-kan.
Dia tertawa panjang.
Setelah tawanya berakhir, dia melihat ke tiga anak buahnya
menyerang.
Dia melihat pertarungan seru antara Tu Liong dengan Boh
Tan-ping, dan anaknya yang dijuluki Thiat-yan yang melawan
nikoh.
Boh Tan-ping tampak kewalahan, sebelumnya dia memang
sudah terkuras tenaganya ketika melawan Wie Kie-hong di
tempatTan Po-hai.
Namun Cu Siau-thian kaget ketika melihat anak
kandungnya tiba-tiba kelimpungan ditengah lajunya
menyerang nikoh.
Boh Tan-ping sempat menoleh padanya meminta
pertolongan.
Namun dia tidak menghiraukannya.
Dia ingin menolong anak kandungnya dulu menyerang
nikoh.
Dia melihat nikoh berjalan mendekat.
Rasa takut yang mencekam mulai menggerogoti rasa
percaya dirinya.
Rasa takutnya membuatnya terpaku dan tidak bisa
bergerak kemana-mana.
Walaupun nikoh ini sampai dihadapannya, dia tetap tidak
bisa bergerak.
Dia hanya terus memandang padanya.
"Omitohud"
Nikoh menegadahkan kepalanya.
Tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata nikoh.
Tiba-tiba saja mata nikoh bersinar terang.
Dia langsung merasa pusing, mendadak semuanya menjadi
gelap.
"GAWAT!" pikirnya dalam hati.
Ketika kesadarannya kembali pulih, dia melihat Thiat-yan
sedang dalam bahaya.
Nikoh sudah melesat menyerangnya dengan sebuah pisau
tajam.
Segera dia melesat mencoba menyelamatkan putri
kandungnya.
Dia mengeluarkan jarum besi yang selalu
disembunyikannya, dan segera menusukkan ke jalan darah
penting nikoh.
Dia sengaja memilih jalan darah yang tidak mematikan, tapi
hanya membuat cacat dan melumpuhkan.
Dia tidak ingin menanggung dosa membunuh seorang
nikoh.
Nikoh itu langsung terjatuh dengan jeritan yang tajam,
namun tiba-tiba dia berubah menjadi Thiat-yan.
Cu Siau-thian tertegun.
Pada awalnya dia tidak mengerti apa yang sudah terjadi.
Dia sangat menyayangi anak perempuan satu satunya ini.
Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mendadak
dia sadar
Nikoh itu sudah menghipnotisnya agar dia menyangka
bahwa Thiat-yan yang diserangnya adalah nikoh.
Dapat dikatakan dia sudah membuat cacat anaknya dengan
tangannya sendiri.
Kepala Cu Siau-thian serasa pecah.
Dia membelalakkan matanya sangat lebar dan jatuh lemas
terduduk dilantai.
Hal terakhir yang didengarnya dengan sadar adalah kata
kata nikoh.
Walaupun belum mulai bertarung, namun Boh Tan-ping
tampak sudah kehabisan tenaga.
Mukanya tampak sedikit pucat, dan sepertinya dia tidak
terlalu berkonsentrasi menghadapi pertarung-an
Dia sedang mempertimbangkan sesuatu berulang-ulang.
Pikirannya itu tampak memberatkan hatinya.
Ini sangat jelas tergambarkan pada mukanya. Tu Liong
segera melaju menyerang Boh Tan-ping. Pisau kecil yang
tajam segera melesat menuju dadanya.
Boh Tan-ping sepertinya sedikit melamun. Teriakan Tu
Liong yang mendadak mem-buatnya kembali sadar.
Dia berusaha menebaskan pedang gigi gergaji untuk
menghindari serangan "TRAAANG"
Seorang pendekar tangguh tetap bisa ber-tarung dengan
baik walaupun sedang banyak pikiran.
Setelah pisau Tu Liong terhempas ke sisi, dia segera
menebaskan pedang gigi gergajinya ke arah Tu Liong.
Namun dia sudah sangat letih. Gerakannya tidak lagi lincah.
Tu Liong bisa menghindari serangannya dengan sangat
mudah.
Selagi Boh Tan-ping berusaha mengangkat pedang gigi
gergajinya yang berat, Tu Liong sudah melangkah mendekat
dan menekankan telapak tangannya ke dada lawannya.
Rasa linu yang dahsyat segera menghantam dadanya.
Boh Tan-ping mundur beberapa langkah.
Dia tahu dia tidak bisa terus bertarung seperti ini.
Dia segera memalingkan muka melihat Cu Siau-thian
memohon bantuan.
Tapi tampaknya Cu Siau-thian tidak menghirau kan dirinya.
Dia sedang memalingkan muka dan melihat putri
kandungnya, padahal dia sama sekali tidak diserang oleh
nikoh.
Boh Tan-ping merasa kecewa. Saking kecewanya, dia tidak
memperhatikan Tu Liong kembali menghajarnya dengan
telapaknya.
Dia terlempar ke belakang sampai menabrak dinding.
Tu Liong tidak melepaskannya begitu saja, sebentar saja
dia sudah menempel lagi padanya dan berkata dengan jelas
ke dalam telinganya.
"Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian? Dia tidak
memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya."
Setelah itu Tu Liong sudah mengayunkan pisau yang
dipegangnya ke arah leher Boh Tan-ping.
Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu
centimeter dari kulit lehernya.
Tindakan ini disengaja olehTu Liong.
Dia hanya memandang mata Boh Tan-ping dalam-dalam.
Boh Tan-ping terkulai lemas.
Tu Liong segera memalingkan muka, membalikkan tubuh
dan berjalan menuju pembunuh beralis putih.
Pikiran mulai berkecamuk didalam kepala Boh Tan-ping.
Dia hanya setengah sadar ketika melihat tangan Tu Liong
yang terputus.
Dia bingung ketika Cu Siau-thian malah menusuk anaknya
sendiri, tidak percaya kepala pembunuh beralis putih sudah
tertancap sebuah pedang panjang.
Sayang dia melihat semua hal ini dengan mata kepalanya.
Dia tidak mungkin percaya.
Mendadak dia merasa jenuh dengan semua hal ini. Setelah
semua jeritan yang memilukan hati, dia mendengar sang
nikoh berkata-kata.
Tawa Cu Siau-thian menggelegar keras, namun Tu Liong
tidak banyak memperhatikannya.
Rasa ngilu pada luka sayat di bahu kanannya masih terasa,
namun dia sudah tidak menyimpan banyak dendam pada Boh
Tan-ping.
Dia tahu sebenarnya Boh Tan-ping adalah orang yang baik.
dia sudah membuktikan kesetia-annya. Selama itu dia selalu
setia pada Cu Siau-thian mantan majikannya.
"Sayang dia tidak bisa merubah pandangannya seperti ku"
katanya dalam hati.
Walau demikian Tu Liong masih berniat untuk mengalahkan
Boh Tan-ping dan membuatnya sadar.
Akhirnya tawa Cu Siau-thian berhenti.
Semua orang melesat menyerang.
Tu Liong juga tidak tinggal diam. Dia pun segera melesat
menuju Boh Tan-ping.
Namun alangkah terkejutnya dia, Boh Tan-ping hanya
berdiri diam ditempat.
Sepertinya dia sedang melamun memikirkan sesuatu.
Bahkan sampai pisau Tu Liong nyaris menusuk dadanya, dia
tampak masih termenung.
Tu Liong segera berteriak keras untuk menyadarkannya.
Setelah kembali sadar, Boh Tan-ping tampak sangat kaget
melihat Tu Liong sudah sangat dekat.
Dia segera mengayunkan pedang gigi gergaji dan menepis
pisau yang melesat menuju dadanya.
"TRAAANG"
Tu Liong bersyukur dia segera sadar sebelum terlambat.
Pedang gigi gergaji kembali berputar dan mengayun ke
arahnya.
Dari pertarungan sengitnya dengan Boh Tan-ping, Tu Liong
tahu sebenarnya ilmu silat Boh Tan-ping sangat hebat.
Namun kali ini ayunan tebasan pedang gigi gergaji tampak
serampangan.
Tu Liong dapat menghindarinya dengan mudah.
Dia berkelit ke sebelah kiri dan menghen-takkan kakinya
serta melayangkan telapak tangan ke arah dadanya.
Boh Tan-ping jelas sekali tidak siap meng-hadapi
pertarungan kali ini.
Dia terpukul mundur beberapa langkah.
Dia menoleh pada Cu Siau-thian meminta pertolongan.
Ternyata Cu Siau-thian tidak menghiraukan nya.
Tu Liong tahu ini adalah kesempatan emas baginya untuk
menyadarkan Boh Tan-ping.
Dia kembali melaju cepat ke arahnya.
Sekali lagi telapaknya menghantam keras dadanya.
Boh Tan-ping terpelanting keras dan menghantam tembok.
Kalau Tu Liong sungguh ingin membunuhnya, sekarang dia
sudah pasti mati.
"Ini saatnya" kata Tu Liong dalam hati.
Dia segera melesat menuju Boh Tan-ping, mendesaknya ke
dinding sampai tidak bisa bergerak.
Tu Liong berkata dengan jelas ke dalam telinganya.
"Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian? Dia tidak
memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya."
Setelah itu Tu Liong mengayunkan pisau yang dipegangnya
ke arah leher Boh Tan-ping.
Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu
centimeter dari kulit lehernya.
Tu Liong memandang mata Boh Tan-ping dalam dalam.
Boh Tan-ping terkulai lemas.
Tu Liong berpikir bahwa dia sudah cukup melakukan apa
yang dia bisa lakukan. Apakah dia akan membuka lembaran
hidup baru atau tetap mengabdi pada tuan yang salah,
semuanya terserah pada Boh Tan-ping.
Dia segera memalingkan muka, membalikkan badan dan
berjalan menuju Pembunuh beralis putih.
Wie Kie-hong masih sangat muda. Tu Liong tidak yakin dia
bisa menghadapi pembunuh beralis putih dengan baik. Tu
Liong tidak bisa tinggal diam. Dia harus menolongnya.
Pembunuh beralis putih sedang membelakanginya. Dia
tampak sedang bertarung sengit dengan Wie Kie-hong.
Wie Kie-hong tampaknya kewalahan menghadapinya.
Hingga suatu saat, Wie Kie-hong membuat kesalahan fatal.
Dia tidak berhasil memulihkan pertahanannya setelah gagal
menyerang Pembunuh beralis putih.
Tu Liong melihat Pembunuh beralis putih mengayunkan
pedang menyerang pertahanan yang lemah.
Tu Liong tahu, kalau dia tidak segera menolong, Wie Kiehong
pasti kehilangan nyawanya.
Tu Liong tidak berpikir panjang. Dia segera melesat menuju
Pembunuh beralis putih, segera menjulurkan tangan kiri dan
mencengkeram bahu nya.
Dia berseru keras:
"Kie-hong!! hati hati!!!"
Pembunuh beralis putih tampak kaget.
Dia tidak menyangka ada orang dibelakang-nya.
Konsentrasi pembunuh beralis putih menjadi buyar sesaat.
Berkat bantuan Tu Liong, Wie Kie-hong berhasil
menghindar serangan.
Namun mendadak Pembunuh beralis putih memutarkan
tubuhnya dan langsung menebas bahu kiri Tu Liong sampai
putus.
Rasa sakit yang sangat tajam menyengat bahu Tu Liong.
Dia berteriak keras dan berjalan terhuyung-huyung
kebelakang.
Darah segar bermuncratan kemana-mana.
Dia mendengar Wie Kie-hong berteriak pada nya..
"Tu Toako...!!!"
Setelah itu Pembunuh beralis putih pun ikut berteriak
dengan suara sangat memilukan.
Sebelum tidak sadarkan diri, dia masih sempat mendengar
sang nikoh berkata:
"Amitaba... jaring takdir memang tidak rapat, namun tidak
seorang pun yang bisa menembusnya."
Tubuh Wie Kie-hong masih terasa pegal
Staminanya belum pulih setelah bertarung dengan Boh
Tan-ping di kediaman Paman Tan.
Namun saat ini hal itu tidak diperhatikannya. Hatinya yang
panas dan emosinya yang meledak-ledak membuatnya ingin
membalaskan dendam pada pembunuh beralis putih
secepatnya.
Cu Siau-thian tertawa panjang.
Wie Kie-hong sudah memasang ancang ancang menyerang
Pembunuh beralis putih.
Dia tidak memperdulikan apa-apa lagi.
Matanya terus tertuju pada pedang milik ayahnya yang
sekarang bersinar biru terang.
Ketika tawanya berhenti, Wie Kie-hong segera menjerit
keras dan melesat cepat berusaha menebas Pembunuh beralis
putih sampai terbelah menjadi dua.
"HIAAAAAHHH!!!!"
Tampaknya Pembunuh beralis putih juga sama
bersemangatnya dengan dirinya.
Kedua pedang bentrok.
Sabetan sabetan pedang berulang kali terjadi.
TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!!
Pertama-tama, Pembunuh beralis putih tampak terdesak
mundur.
Wie Kie-hong merasa bahwa ilmu silat Pembunuh beralis
putih tidak sehebat yang dikatakan orang orang.
Dia tidak mengerti mengapa ayahnya bisa terbunuh
dibawah tangan orang yang seperti ini.
Dia lalu teringat semua orang yang sudah dibunuhnya.
Hiong-ki yang dia kagumi, Hui Taiya dan ayah angkatnya Leng
Souw-hiang. Semua membuat emosinya semakin berkobar,
namun pikirannya semakin kalut.
Serangannya makin membabi buta. Lama kelamaan,
tangan Wie Kie-hong mulai terasa pegal.
Wie Kie-hong sadar kalau dia belum siap menghadapi
Pembunuh beralis putih.
Dia harus beristirahat dulu beberapa saat untuk
memulihkan tenaga. Tapi dia tidak bisa mundur.
Mundur hanya berarti kematian baginya.
Setelah beberapa jurus, Pembunuh beralis putih tampak
menyeringai kejam.
Rupanya dia sedang memancing Wie Kie-hong untuk
mengeluarkan sisa tenaga yang dimilikinya.
Sekarang Wie Kie-hong sudah kehabisan tenaga, Saat
itulah dia mulai menyerang maju.
TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!!
Semakin lama Wie Kie-hong semakin terdesak mundur.
Tidak sedikit serangan Pembunuh beralis putih yang
melukai berbagai tempat pada tubuhnya.
Wie Kie-hong mulai merasa kewalahan.Dia tahu dia harus
membalikkan situasi. Dia berusaha memanfaatkan
kesempatan yang ada untuk balas menyerang.
Matanya seolah olah dibutakan oleh sinar biru pedang milik
ayahnya.
Ketika berpikir seperti ini, sekilas sinar biru melesat ke
arahnya.
Wie Kie-hong segera melemparkan tubuhnya kepinggir
menghindari serangan, setelah itu dia mengayunkan pedang
sekuatnya ke arah Pembunuh beralis putih.
Tidak disangka, pembunuh beralis putih menghindari
serangannya dengan mudah.
Sekarang Wie Kie-hong berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan. Dia tidak sempat mengangkat pedang
menutupi pertahanannya yang terbuka.
Pembunuh beralis putih segera mengambil kesempatan dan
menebaskan pedang biru sekuatnya ke arahnya.
Wie Kie-hong tahu ini adalah akhir baginya.
Namun hal yang tidak disangka-sangka terjadi. Saat itu Tu
Liong berteriak padanya.
Akibat teriakan Tu Long konsentrasi Pembunuh beralis
putih buyar.
Wie Kie-hong mendapat kesempatan untuk menghindari
serangan maut.
Dia sempat melihat Pembunuh beralis putih memutarkan
tubuh dan menebas tangan Tu Liong sampai putus.
Hatinya mendadak seperti ditusuk pedang yang tidak
terlihat. Hingga dia segera berteriak
Emosi yang tadi sudah nyaris padam karena letih,
mendadak meledak dengan kuat.
Ketika Pembunuh beralis putih yang sedang
membelakanginya. Tanpa berpikir, dia segera menusuk kan
pedangnya pada kepala Pembunuh beralis putih, pedang itu
langsung masuk dari belakang kepala dan tembus sampai ke
depan.
Pembunuh beralis putih menjerit keras dengan suara yang
sangat memilukan.
Sekarang semuanya sudah berakhir.
Dendam semua orang sudah terbalaskan, dia pun sudah
tidak ada tenaga terus berdiri.
Dia langsung jatuh berlutut dan terbaring di lantai seiring
dengan suara sang nikoh yang berkata-kata.
0-0-0
Langit pagi berwarna biru cerah. Tidak sedikitpun awan
yang terlihat, angin pagi berhembus sepoi sepoi membawa
bau rumpu t yang menyegarkan.
Tidak terasa satu bulan sudah berlalu sejak kejadian yang
mem ilukan di rumah Bu Tiat-cui.
Saat ini Wie Kie-hong sedang berlutut didepan pedang
ayahnya yang tertancap di tanah.
Di belakangnya berdiri batu pusara yang bertuliskan
"Kuburan Wie Ceng", di depannya menancap tiga batang dupa
yang terbakar dan menyebarkan bau harum. Disekelilingnya
banyak buah-buahan yang sudah tertata rapi.
Suara kicau burung terdengar samar-samar disela-sela
pembacaan mantra oleh dua orang ber-pakaian putih yang
juga berlutut disebelah kiri dan kanannya.
Kedua orang ini adalah Boh Tan-ping dan nikoh anak
kandung Tiat Liong-san. Sekarang Boh Tan-ping tampak agak
lucu karena dia telah kehilangan semua rambutnya.
Setelah terjadi pertarungan di kediaman Bu Tiat-cui, Boh
Tan-ping menyadari kalau dia sudah mengabdi pada orang
yang salah. Itu yang sudah membuatnya risau pada
pertarungan terakhir. Untunglah Tu Liong tidak membunuhnya
sewaktu mendapat kesempatan. Dia menyesali semua
perbuatan nya.
Setelah terkulai lemas, dia sempat ingin menggunakan
pedang gigi gergajinya untuk mencabut nyawanya sendiri,
untunglah nikoh itu datang dan berlutut disisinya,
membujuknya dengan lembut untuk ikut dengannya pergi
meninggalkan kehidupan duniawi.
Setelah beberapa lama, semua mantra pemberkatan
kematian selesai dibacakan. Wie Kie-hong segera berdiri.
Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Dia memalingkan
kepala dan melihat Tu Liong. Dia mengenakan baju sutra
tangan panjang, lengan baju kirinya dibiarkan menggantung
kosong.
Paman Tan Po-hai, pengurus Eng, dan banyak kerabat
kenalan Wie Kie-hong ikut menghadiri upacara pemakanam
ini. mereka semua berdiri dengan rapi dibelakang. Wie Kiehong
melihat mereka semua dan tersenyum.
Setelah upacara selesai dilakukan, Tu Liong dan Wie Kiehong
tampak berjalan berdua menyusuri tepian padang
pemakaman.
"Tu toako, bagaimana luka bahumu?"
"Sepertinya memang sudah takdirku kehi-langan bahu
kananku. Walau Boh Tan-ping tidak berhasil memutuskannya,
ternyata Pembunuh beralis putih yang melakukannya. Tapi
tenang saja. Walaupun masih belum terbiasa, namun luka ini
sudah tidak begitu sakit."
Mereka berdua terdiam beberapa lama sambil meneruskan
perjalanan menuruni bukit.
"Bagaimana kabar Cu Taiya?"
"Sepertinya dia sudah tidak bisa dipanggil Tuan besar lagi.
entah apa yang sudah dilakukan nikoh Thiat-yan, Cu Siauthian
tampak kehilangan akal sehatnya. Setelah dia
mengetahui anak kandungnya menjadi cacat karena
perbuatannya sendiri, dia menjadi gila. Sampai sekarang
nasibnya belum jelas, aku pernah menawarkan untuk
merawatnya, namun dia berkeras pergi seorang diri. katanya
seseorang pernah melihat-nya tinggal dalam sebuah rumah
penampungan di luar kota."
Diam lagi.
Tidak lama Tu Liong melanjutkan ceritanya "Kau pingsan
sangat lama. Tidak aneh kau tidak mengetahui apa-apa.
setelah kejadian itu, rumah Bu Tiat-cui sempat disegel polisi.
Untunglah Boh Tan-ping menjelaskan pada mereka tentang
duduk perkara yang sebenarnya. Kalau tidak mungkin
sekarang kita berdua sedang berada di sel tahanan."
"Padahal aku belum sempat melaksanakan permintaan
ayah angkatku untuk pergi kesana mencari informasi"
"Tampaknya sekarang sudah tidak penting lagi."
Mereka berdua terus berjalan menuruni bukit. Semua tamu
yang menghadiri upacara pemakaman sudah pulang kerumah
masing masing. Tu Long dan
Wie Kie-hong menghabiskan sisa perjalanan mereka turun
bukit dengan diam.
Di kaki bukit, kedua orang calon pendeta terlihat sedang
berdiri menunggu mereka, pakaian mereka yang berwarna
putih tampak berkibar menangkap angin sepoi yang bertiup.
Mereka tampak begitu suci ditengah keruhnya hidup di
kalangan dunia persilatan. Wajah mereka berdua tampak
berseri dan bercahaya. Sepertinya hidup biarawati sudah
memberi-kan dampak yang positif bagi Boh Tan-ping.
Sebelumnya Tu Liong dan Wie Kie-hong tidak pernah
melihatnya begitu tenang dan damai.
Setelah dekat, Boh Tan-ping segera membuka
pembicaraan.
"Tu Siauya, Wie Siauya, aku mohon pamit sekali lagi.
mohon maaf atas semua masalah yang sudah pernah aku
lakukan pada kalian."
"Paman Boh, anda tidak usah sungkan. Yang sudah lewat
biarkanlah berlalu" kata Tu Liong dengan ramah.
"Yang penting adalah apa yang akan kita lakukan sekarang
demi masa depan yang lebih baik" kata Wie Kie-hong sambil
tersenyum.
Mereka meneruskan pembicaraan singkat.
Setelah beberapa lama, akhirnya ke empat orang ini
berpisah.
Tu Liong dan Wie Kie-hong mengantar kepergian mereka
sambil melambaikan tangan.
Setelah bayangan tubuh mereka berdua hilang ditelan
bukit, Tu Liong dan Wie Kie-hong kembali berjalan pulang.
"Kie-hong, apa rencanamu sekarang?"
"Sepertinya beberapa bulan kedepan aku akan sibuk
mengurus persiapan pernikahanku."
"Aku tidak akan mengucapkan selamat dulu, jangan lupa
nanti memberikan undangan pernikah-anmu padaku"
"Tentu saja Tu toako, aku tidak akan lupa" Tu Liong
tersenyum
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar pak tua yang
menyuguhkan teh bagi kita? Rasanya kau masih berhutang
banyak uang padanya"
Tu Liong menepuk dahinya dengan tangan kanannya yang
masih sehat.
Mereka berdua langsung tertawa. Bersama-sama mereka
berjalan menyusuri jalan setapak menjauh dari bukit
pemakaman.
Langit berwarna biru cerah, matahari bersinar terang, ini
adalah pemandangan yang bagus untuk memulai hidup
yangbaru.
-TAMATBandung,
17 Nopember 2007 Salam Hormat
(See Yan Tjin Djin)
 
Design by Free Themes | Bloggerized by Wulunggeni - Blogger Themes